Ghairu Shariih
Marfu’ Hukman (المرفوع حكما )
Marfu’ hukman adalah khabar yang secara hukum (status) dapat disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini ada beberapa macam.
Pertama :
Perkataan sahabat; jika tidak mungkin ucapan sahabat itu berdasarkan logika atau ucapan tersebut bukan merupakan tafsir suatu ayat atau sahabat yang mengucapkannya tidak dikenal sebagai orang yang suka mengambil berita-berita israiliyat. Misalnya, seorang sahabat memberitakan tentang tanda-tanda kiamat, keadaan ketika hari kiamat atau tentang balasan-balasan amal.
Jika khabar dari sahabat berdasarkan logika, maka ia adalah khabar yang berstatus mauquf.
Jika khabar berupa tafsir, maka pada dasarnya bukan status tersendiri. Dan tafsirnya merupakan hadits mauquf.
Dan jika sahabat tersebut dikenal suka mengambil berita israiliyat maka perkataannya meragukan, boleh jadi merupakan berita israiliyat boleh jadi merupakan hadits marfu’. Maka haditsnya tidak bisa diterima karena meragukan.
Para ulama menyebutkan bahwa empat sahabat yang bernama ‘Abdullah, yaitu, ‘Abdullah ibn Abbas, ‘Abdullah ibn Zubair, ‘Abdullah ibn Umar ibn Khattab, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash mengambil berita-berita israiliyat dari Ka’ab Al Ahbar atau yang selainnya (1)
Marfu’ Qauly Hukmi adalah hadits marfu’ yang penisbatan sahabat terhadap Nabi SAW tidak tegas, melainkan dengan perantara qorinah yang lain.
Contoh :
امر بلال اي يشفع الاذان شفعا ويوتر الاقامة. متفق عليه عن انس
“Bilal diperintahkan untuk menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamah.”
Kedua :
Perbuatan sahabat; jika tidak mungkin hadits tersebut berdasarkan logika. Para ulama (2) memberi contoh untuk hal tersebut yaitu shalat ‘Ali radhiallahu ‘anhu dalam shalat kusuf, beliau melakukan ruku lebih dari dua kali dalam setiap rakaat.
Marfu’ Fi’li Hukmi adalah perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan Rasul atau dikerjakan di jaman Rasul diwaktu Rosul masih hidup.
Contoh :
شهدت الاضحى و الفطر مع ابى هريرة فكبر في الركعة الاولى سبع تكبيرات قبل القراءة و في الاخرة خمس تكبيرات قبل القراءة. رواه مالك عن ابن عمر
Saya menghadiri idil Adha dan idil Fithri bersama Abi Hurairah, maka ia bertakbir tujuh kali di raka’at pertama sebelum membaca al Fatihah, dan lima kali pada raka’at kedua sebelum membaca al Fatihah.
Ketiga :
Jika sahabat menyandarkan sesuatu pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ditegaskan apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengetahuinya atau tidak. Seperti perkataan Asma binti Abu Bakar radhiallahu ‘anha, “Kami menyembelih kuda di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kami saat itu di Madinah lalu kami memakannnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Marfu’ Taqrir Hukmi adalah apabila pemberitaan sahabat diikuti dengan kalimat-kalimat Sunnatu Abi Qasyim, Sunnatu nabiyyina, Minas Sunnati dsb. yang bukan ranah ijtihad para sahabat.
Contohnya: Jabir dan Abu sa’id berdalil bolehnya azl, karena para sahabat melakukannya kepada para hamba sahaya perempuan mereka, sementara wahyu masih turun.
Keempat :
Perkataan sahabat tentang sesuatu diiringi pernyataan bahwa hal tersebut adalah bagian dari sunnah. Seperti perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, “Adalah termasuk sunnah membaca tasyahud dengan lirih, yaitu tasyahud dalam shalat.”
Jika yang berkata tabi’in maka ulama berselisih pendapat, ada yang mengatakan marfu’ dan ada yang mengatakan mauquf. Seperti perkataan ‘Abdullah ibn ‘Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud, “Termasuk sunnah seorang imam pada sholat hari raya berkhutbah dua kali dengan dipisahkan antara keduanya dengan duduk.”
Kelima :
Perkataan sahabat, “kami diperintahkan” (أمرنا), “kami dilarang” (نهينا), “manusia diperintahkan” (أمر الناس) dan yang semacam itu. Misalnya :
Perkataan Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, “Kami diperintahkan untuk mengajak gadis-gadis untuk menghadiri shalat hari raya”.
Perkataannya Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anha, “Kami dilarang dari mengikuti jenazah akan tetapi tidak ditegaskan bagi kami”.
Perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, “Para jamaah haji diperintahkan agar kegiatan terakhir mereka adalah tawaf di Ka’bah.”
Perkataan Anas radhiallahu ‘anhu, “Kami diberi batasan waktu dalam memotong kumis, memotong kuku,mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan, agar bulu-bulu tersebut tidak dibiarkan lebih dari empat puluh malam.”
Keenam :
Penilaian sahabat terhadap sesuatu sebagai sebuah kemaksiatan. Seperti perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang seseorang yang keluar dari masjid setelah adzan, “Orang ini telah durhaka kepada Abul Qosim shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Demikian pula, jika sahabat menilai sesuatu sebagai ketaatan, karena sesuatu tidak bisa dinilai maksiat atau tidak kecuali berdasarkan dalil syari’at. Dan tidaklah mungkin para sahabat menetapkan maksiat atau ketaatan kecuali mereka memiliki ilmu tentangnya.
Ketujuh :
Ucapan seorang rawi berkaitan dengan sahabat: “Sahabat tersebut me-marfu-’kan hadits atau riwayatan.”
Seperti perkataan Sa’id ibn Jubair dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Obat itu ada tiga, meminum madu, sayatan hijamah, dan kai dengan api. Dan aku melarang umatku dari kai. Ibnu Abbas me-marfu’-kan hadits.”
Dan perkataan Sa’id ibn Musayyib dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sebagai riwayat,
“Fitrah itu ada lima, atau ada lima hal termasuk fitrah, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis.”
Demikianlah, jika para ulama berkata tentang sahabat : “beliau menukil hadits” (ياثر الحديث), atau “menyandarkan hadits” (يُنميه), “menyampaikan hadits” (يُبلغ به) dan yang semacamnya. Maka semisal ungkapan-ungkapan ini haditsnya bernilai marfu’ sharih, walaupun ungkapan tersebut tidak jelas menunjukkan penyandaran kepada pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ungkapan tersebut menunjukkan akan hal tersebut.
Hadits yang dikatagorikan kepada Marfu’ hukmi :
Apabila diikuti dengan kata : Yarwihi, rafa’ahu
Perkataan sahabat : umirna bikadza au nuhinaa ‘an kadza
Perkataan sahabat : kunaa naf’alu kadza
Sesuatu yang bersumber dari sahabat yang bukan semata-mata hasil pendapat atau ijtihad beliau sendiri.
Foot note:
(1) Akan tetapi penisbahan untuk Ibnu Abbas tidaklah benar. Karena beliau keras dalam berita-berita israiliyat. Hal ini dijelaskan Syaikh Utsaimin dalam Tafsir Ayat Kursi.
(2) Arti dari kalimat ini “para ulama mengatakan” berarti menisbatkan pada orang lain yang menyatakan dan ini menjadi isyarat bahwa Syaikh Utsaimin tidak terlalu menerima contoh tersebut.