Bab Niat, Thaharah, Fitrah
Hukum Berhadats Kecil Dan Menyentuh Mushaft
HUKUM BERHADATS KECIL DAN MENYENTUH MUSHAF
Pertanyaan:
Mohon pencerahannya tentang hukum membaca al-Qur'an bagi orang yang sedang dalam kondisi berhadats kecil?
Jawaban:
Membaca al-Quran al-Karim bagi orang yang sedang dalam kondisi berhadats kecil tidak apa-apa hukumnya bila tidak menyentuh mushafnya sebab kondisi seseorang harus suci bukan merupakan syarat dibolehkannya membaca al-Qur'an. Adapun bila dia dalam kondisi junub, maka secara mutlak (sama sekali) dia tidak boleh membaca al-Quran hingga mandi dulu, akan tetapi tidak apa-apa membaca dzikir dari al-Qur'an, seperti mengucapkan,
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Atau bila mendapatkan suatu musibah, dia mengucapkan,
Inalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun
Dan dzikir-dzikir dari al-Quran lainnya yang semisal itu.
Rujukan:
Kitab ad-Da'wah, volume V, dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz II, hal. 50, 51.
Via HijrahApp
Hukum Mencukur Jenggot
HUKUM MENCUKUR JENGGOT
Pertanyaan:
Mohon pencerahan dari yang mulia mengenai penjelasan hukum mencukur jenggot atau mengambil sesuatu darinya serta apa saja batasan jenggot yang syar'i itu?
Jawaban:
Mencukur jenggot diharamkan karena merupakan perbuatan maksiat kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Dalam hal ini, beliau bersabda,
أَعْفُوْااللِّحَىوَأَحْفُواالشَّوَارِبَ
"Perbanyaklah (perlebatlah) jenggot dan potonglah kumis (hingga habis)." (Sunan an-Nasa'i, kitab az-Zinah (5046)).
Demikian pula (diharamkan), karena hal itu keluar dari petunjuk (cara hidup) para Rasul menuju cara hidup orang-orang majusi dan orang-orang musyrik. Sedangkan batasan jenggot sebagaimana yang disebutkan oleh ahli bahasa, yaitu (mencakup) bulu wajah, dua tulang dagu dan dua pipi. Artinya, bahwa setiap yang tumbuh di atas dua pipi dan dua tulang dagu serta dagu maka ia termasuk jenggot.
Adapun mengambil sesuatu darinya termasuk ke dalam perbuatan maksiat karena Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, أعفوااللحى (perbanyaklah atau perteballah jenggot); أرخوااللحى (biarkanlah jenggot memanjang); وفروااللحى (perbanyaklah jenggot); أوفوا اللحى (sempurnakanlah -biarkan tumbuh lebat- jenggot).
Ini semua menunjukkan bahwa tidak boleh hukumnya mengambil sesuatu darinya, akan tetapi perbuatan-perbuatan maksiat terhadap hal itu berbeda-beda; mencukur tentu lebih besar dosanya dari sekedar mengambil sesuatu darinya karena ia merupakan penyimpangan yang lebih serius dan jelas daripada mengambil sesuatu saja darinya.
Rujukan:
Kitab Risalah Fi Shifati Shalatin Nabi, karya Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 31.
Via HijrahApp
Hukum Riya
HUKUM RIYA'
Jawaban:
Riya' termasuk syirik paling kecil (asy- Syirk al- Ashghar) sebab menusia telah mempersekutukan seseorang selain Allah di dalam ibadahnya, bahkan ia bisa mencapai syirik paling besar (asy- Syirk al- Akbar). Mengenai hal tersebut, Ibnul Qayyim rahimahullah telah memberikan contoh untuk syirik paling kecil akibat perbuatan riya' yang paling ringan. Ini menunjukkan bahwa riya' yang berat dan banyak terkadang bisa mencapai syirik paling besar. Allah berfirman,
"Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, "Bahwa sesungguhnya ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb- nya maka hendaklah in mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabbnya."
Amal shalih adalah amal yang benar (tepat) disertai dengan keikhlasan. Amal yang disertai dengan keikhlasan adalah apa yang dilakukan dengan tujuan semata mendapatkan wajah Allah sedangkan amal yang benar adalah apa yang dilakukan sesuai dengan syariat Allah. Apa yang dilakukan dengan tujuan selain Allah, bukan dikatakan sebagai amal shalih dan apa yang dilakukan di luar ketentuan syariat Allah, bukanlah amal yang benar (tepat) bahkan akan mental kembali kepada pelakunya (ditolak).
Hal ini semua berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam,
"Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (di dalam agama) yang tidak sesuai dengan perkara kami, maka ia tertolak" Diriwayatkan Imam Bukhari secara 'ta'lid (hadits muallaq) di dalam kitab al-Buyu' dan al-Itisham namun di-washl (disambung sanadnya yang dipotong) oleh Imam Muslim di dalam Shahihnya, kitab al- Aqdliyah, Juz. 18 (1718).
Demikian pula sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam,
"Sesungguhnya semua amal itu tergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu tergantung kepada apa yang diniatkannya" (Shahih al- Bukhari, kitab Bad'u al- Wahyi (1); Shahih Muslim, kitab al- Imarah (1907) )
Sebagian ulama berkata, "Hadits ini adalah neraca semua amal; hadits tentang niat adalah neraca amal- amal batiniah dan hadits yang lain adalah neraca amal- amal lahiriah."
[ Kumputan Fatwa- Fatwa Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 199-200. ]
Via HijrahApp
Hukum Suatu Ibadah Bila Terkait Dengan Riya
HUKUM SUATU IBADAH BILA TERKAIT DENGAN RIYA'
Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Apakah hukum ibadah bila terkait (disertai) dengan riya'?
Jawaban:
Mengenai hukum suatu ibadah bila terkait (disertai) dengan riya', dapat dikatakan di sini, bahwa kaitannya dengan riya' dapat terjadi pada tiga aspek:
Aspek Pertama, motivasi melakukan ibadah tersebut adalah agar dilihat oleh manusia sedari awal, seperti orang yang melakukan shalat untuk Allah dengan maksud dilihat oleh manusia sehingga mereka memujinya atas shalatnya tersebut; maka ini akan membatalkan pahala ibadah tersebut.
Aspek Kedua, motivasi itu menyertai ibadah saat melakukannya, dalam artian, pada mulanya motivasi tersebut semata ikhias kepada Allah namun kemudian tiba- tiba menyusup riya' di tengah ibadah; maka ibadah seperti ini tidak terlepas dari dua kondisi:
Pertama, permulaan ibadah tidak terkait dengan akhir ibadah; permulaannya benar sama sekali sedangkan akhirya malah batil. Contohnya, ada seorang lelaki yang memiliki uang 100 Riyal, dengan uang ini dia ingin bersedekah, Ialu dia menyedekahkan sebesar 50 Riyal darinya sebagai sedekah yang murni (ikhlas), kemudian tiba- tiba riya' menyusup ke dalam 50 Riyal sisanya tersebut.
50 Riyal pertama adalah sedekah yang benar (sah) dan diterima sedangkan pada 50 Riyal sisanya adalah sedekah yang batil karena di dalamnya sudah bercampur antara riya' dan ikhlas.
Kedua, permulaan ibadah terkait dengan akhirnya; maka ketika itu, seseorang tidak lepas dari dua hal:
1. Dia menolak riya' dan tidak condong kepadanya bahkan berpaling darinya dan membencinya; maka hal ini tidak mempengaruhi apapun, karena Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah mengganggap lewat (boleh dan tidak tercatat dosa/ mengampuni) dari umatku hal- hal ynng dibisikkan oleh jiwa mereka selama tidak melakukannya atau berbicara (tentangnya)." ( Shahih al-Bukhari, kitab ath- Thaaq (5269); Shahih Muslim, kitab al- Iman (177) )
2. Seseorang condong kepada riya' tersebut dan tidak menolaknya; maka ketika itu batallah seluruh ibadahnya karena permulaannya terkait dengan akhimya.
Misalnya, seseorang memulai shalat dengan perasaan ikhlas semata karena Allah, lalu tiba- tiba menyusup ke dalamnya riya' pada rakaat kedua; maka batallah semua shalat yang dikerjakannya tersebut karena permulaannya terkait dengan akhimya.
Aspek Ketiga, riya' menyusup tiba- tiba setelah ibadah usai; maka hal ini tidak mempengaruhinya dan tidak membatalkannya karena ia sudah sempurna dan benar. Dengan demikian, ia tidak rusak dengan adanya riya' setelah itu.
Tidaklah termasuk riya', seseorang bergembira karena ada banyak orang yang mengetahui ibadahnya, sebab ini hanya datang tiba- tiba setelah dia selesai melakukan ibadah tersebut. Tidaklah riya' pula seseorang senang berbuat ketaatan, karena hal itu merupakan tanda keimanannya. Dalam hal ini, Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang bergembira dengan kebaikan (yang diperbuatnya) dan merasa bersedih (tidak suka) dengan kejelekan (yang diperbuatnya), maka itulah seorang Mukmin." (Sunan at- Tirmidzi, kitab al- Fitan (2156); Musnad Ahmad, Juz I, hal. 26)
Nabi shalallahu 'alaihi wasallam pemah ditanyai tentang hal itu, maka beliau bersabda,
"Itulah berita gembira yang disegerakan buat seorang Mukmin." (Dikeluarkan oleh Imam Muslim, kitab al -Birr wa ash-Shllah wa al- Adam (2642))
[ Kumputan Fatwa- Fatwa Aqidah dari Syaikh ibnu Utsaimin, hal. 200-201. ]
Via HijrahApp
Makna Ikhlas
MAKNA IKHLAS
Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pemah ditanyai tentang apa makna 'al-Ikhlas'? Dan, bila seorang hamba menginginkan melalui ibadahnya sesuatu yang lain, apa hukumnya?
Jawaban:
Ikhlas kepada Allah subhanahu wata'ala maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah subhanahu wata'ala dan mendapatkan keridhaanNya. Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka di sini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi- klasifikasi berikut:
Pertama, dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik. Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah radiyallahu anhu bahwasanya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Allah subhanahu wata'ala berfirman,
"Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukanKu dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya." ( Shahih Muslim, kitab az- Zuhd (2985) )
Kedua, dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah aza wajalla. Dalam hal ini, Allah aza wajalla berfirman,
"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang- orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia- sialah apa yang telah mereka kerjakan." (Hud: 15-16).
Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama; bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.
Ketiga, dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah subhanahu wata'ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya -disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya; dia berhaji -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi- lokasi syiar haji (al-Masya'ir) dan bertemu para jamah haji; -
"Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu." (Al-Baqarah: 198).
maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah aza wajalla mengenai para jama'ah haji, Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu.
Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka, dia tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya,
"Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah." (At- Taubah: 58).
Di dalam Sunan Abu Baud dari Abu Hurairah radiyallahu 'anhu disebutkan bahwa ada seorang laki- laki berkata, 'Wahai Rasulullah, (bagaimana bila -penj.) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?" Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda;
"Dia tidak mendapatkan pahala." Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, tetap menjawab sama, "Dia tidak mendapatkan pahala." (Sunan Abu daud, kitab al- Jihad (2516); Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul) lihat juga anotasi dari Syaikh Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad, no. 7887.)
Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab ash- Shahihain dari Umar bin al- Khaththab radiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut" (Shahih al- Bukhari, kitab Bad'u a;- Wahyi (1); Shahih Muslim, kitab al- Imarah (1907))
Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selainNya juga.
Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai melalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan- akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.
Jika ada yang mengatakan, "Apa standarisisi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?" Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka baik hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.
Yang jelas, perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash- Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali. Sebagian ulama Salaf berkata, "Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas."
Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugerahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.
[ Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh ibnu Utsaimin, Juz I, hal. 98-100. ]
Via HijrahApp
Memotong Kuku Termasuk Fithrah
MEMOTONG KUKU TERMASUK FITHRAH
Pertanyaan:
Apakah hukum syariat terhadap orang yang memanjangkan seluruh kukunya atau sebagiannya?
Jawaban:
Memanjangkan kuku jika tidak haram, minimal makruh hukumnya sebab Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah menentukan masa memotong kuku agar tidak dibiarkan di atas 40 hari. (Shahih Muslim, Kitab ath- Thaharah (258)). Adalah aneh sekali bilamana mereka yang mengklaim sebagai kaum metropolis dan berperadaban membiarkan kuku- kuku mereka padahal itu membawa kotoran dan konsekuensi logisnya bahwa manusia yang seperti ini malah menyerupai binatang.
Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda;
"Sesuatu yang ditumpahkan darahnya (disembelih) dan disebutkan narna Allah (padanya), maka makanlah ia. Bukanlah gigi dan kuku... (hingga ucapan beliau -penj.) adapun gigi, maka ia termasuk tulang sedangkan (memelihara) kuku adalah cara hidup orang- orang Habasyah (Ethiophia)." ( Shahih al- Bukhari, kitab asy- Syirkah (2507); Shahih Muslim, kitab al- Adhahi (1968) )
Yang dimaksud, bahwa mereka itu menjadikan kuku- kuku tersebut sebagai pisau untuk menyembelih dan memotong daging atau selain itu. Ini semua merupakan cara hidup mereka yang lebih mirip dengan ala hidup binatang.
[ Kitab ad- Da'wah, Vol. V, dari Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid. II, hal 79, 80. ]
Via HijrahApp
Memperalat Islam Untuk Tujuan Pribadi
MEMPERALAT ISLAM UNTUK TUJUAN PRIBADI
Pertanyaan:
Apa pendapat para ulama yang mulia perihal orang yang memperalat Islam untuk mencapai tujuan pribadinya?
Jawaban:
Islam adalah dien yang hak sebagaimana diketahui dan hanya bagi Allah segala pujian, sebagaimana firman Allah
"Sesungguhnya Kami telah mengutus (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggung jawaban) tentang penghuni- penghuni neraka.” (Al-Baqarah: 119).
Dien al- Islam sangat terhormat, mulia dan tinggi daripada hanya sekedar untuk dijadikan alat seseorang untuk mencapai tujuan pribadinya. Setiap orang yang mengklaim sebagai pembela Islam dan penjaganya, semua ucapannya wajib dicocokkan dulu kepada semua perbuatannya sehingga diketahui bahwa dia jujur dalam hal tersebut, sebab orang- orang munafik juga menyatakan berpegang teguh kepada Islam bilamana ada seseorang mendengar dari mereka tentang hal itu. Ini sebagaimana diberitakan oleh Allah melalui lisan mereka yang beriman
"Apabila orang- orang munafik datang kepadamu, mereka berkata, "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar- benar Rasul Allah"." (Al-Munafiqun: 1).
Kemudian Allah berfirman lagi,
"Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar RasulNya; dan Allah mengetahii bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar- benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. Yang demikian itu adalah karena bahwa sesunggulinya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti.
Dan apabila melihat mereka, tubuh- tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka seakan- akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap- tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenamya) maka waspadalah terhadap mereka: semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)." (Al-Munafiqun: 1-4).
Orang-orang munafik tersebut memiliki kemampuan berbahasa dan kefasihan sehingga bilamana seseorang mendengarkan mereka pastilah dia mengira bahwa mereka berada di atas al- haq.
Oleh karena itu, apapun kondisinya seseorang tidak boleh memperalat dien al- Islam untuk mencapai tujuan pribadinya. Sebaliknya, dia harus berpegang teguh kepada dien al- lslam sehingga dapat mencapai buah- buahnya yang demikian agung, salah satunya adalah kemuliaan dan tamkin (diberi kekuasaan) di muka bumi sebelum mendapatkan pahala akhirat.
Dalam hal ini, Allah subhanahu wata'ala berfirman,
"Dan Allah telah berjanji kepada orang- orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa.-
Mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik." (An- Nur: 55).
Dan firmanNya,
"Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki- laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97).
[ Kumpulan Fatwa- Fatwa Syaikh lbnu Utsaimin, Kitab ad- Da'wah, hat. 33-35. ]
Via HijrahApp
Mencium Isteri Tidak Membatalkan Wudhu
MENCIUM ISTERI TIDAK MEMBATALKAN WUDHU
Pertanyaan:
Suami saya selalu mencium saya bila akan berangkat ke luar rumah, bahkan bila hendak keluar menuju masjid. Terkadang, saya merasa dia mencium saya dalam kondisi bernafsu; apa hukum syariat mengenai status wudhunya?
Jawaban:
Dari Aisyah -rodhiallaahhuanhu- bahwasanya Nabi صلی الله عليه وسلم mencium salah seorang isteri beliau, kemudian keluar untuk melaksanakan shalat dan beliau tidak berwudhu lagi. (Sunan Abu Daud, kitab ath-Thaharah (178-180); Sunan at-Tirmidzi, kitab ath-Thaharah (86); Sunan an-Nasa'i, kitab ath-Thaharah, Jilid I (104); Sunan Ibnu Majah, kitab ath-Thaharah (502)).
Hadits ini menjelaskan hukum tentang menyentuh wanita dan menciumnya (bagi suami penj.); apakah membatalkan wudhu atau tidak? Para ulama -rohimahullah- berbeda pendapat mengenainya:
Ada pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wduhu dalam kondisi apapun.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa menyentuh wanita dengan syahwat, membatalkan wudhu dan jika tidak, maka tidak membatalkan.
Ada pula pendapat lain yang mengatakan bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu secara mutlak (sama sekali), dan inilah pendapat yang rajih (kuat).
Yang dimaksud, bahwa seorang suami bila mencium isterinya, menyentuh tangannya atau menggenggamnya sementara tidak menyebabkannya keluar mani dan dia belum berhadats maka wudhunya tidak rusak (batal) baik baginya ataupun bagi isterinya. Hal ini dikarenakan hukum asalnya adalah wudhu tetap berlaku seperti sediakala hingga didapati dalil yang menyatakan bahwa wudhu' tersebut sudah batal. Padahal tidak terdapat dalil, baik di dalam kitabullah maupun sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang menyatakan bahwa menyentuh wanita membatalkan wudhu.
Maka berdasarkan hal ini, menyentuh wanita meskipun tanpa pelapis, dengan nafsu syahwat, menciumnya dan menggenggamnya; semua ini tidak membatalkan wudhu. Wallahu a'lam.
Rujukan:
Kumpulan Fatwa-Fatwa Seputar Wanita dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 20.
Via HijrahApp
Menguburkan Rambut Yang Sudah Dipangkas
MENGUBURKAN RAMBUT YANG SUDAH DIPANGKAS
Pertanyaan:
Apa hukumnya menguburkan (menanam) rambut yang terjatuh dan sudah dipangkas?
Jawaban:
Sebagian ulama menganjurkan agar seseorang menguburkan rambut, kuku atau gigi yang sudah dihilangkan (diambil). Mereka menyebutkan berkenaan dengan hal itu, sebuah atsar dari sahabat, Abdullah bin Umar. Tidak dapat disangkal lagi tentunya bahwa perbuatan seorang sahabat lebih utama untuk diikuti ketimbang perbuatan orang selainnya. Para Fuqaha kita telah mengambil pendapat ini sembari berkomentar, "Selayaknya rambut, kuku, gigi dan lainnya yang telah tanggal atau dipotong agar dikuburkan."
Sumber:
Kitab ad-Da'wah, vol. V, dari Syaikh Ibnu Utsaimin, Jld II, hal. 79.
Via HijrahApp