• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Selasa, 28 Januari 2025

Bab Haji

Bagikan

ANAK LAKI-LAKI YANG SUDAH MUMAYYIZ MENJADI MAHRAM

Pertanyaan ke393:
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin ditanya: "Apabila seorang wanita pergi haji tanpa disertai mahram apakah sah hajinya dan apakah anak yang telah mumayyiz apakah boleh menjadi mahram?"

Jawaban:
Adapun hajinya sah, akan tetapi ia bermaksiat terhadap Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Berdasarkan sabda beliau:

"Tidaklah Wanita dibolehkanbepergian kecuali bersama mahramnya"

Tentang anak kecil yang belum baligh ia belum pantas menjadimahram, karena ia masih membutuhkan pendamping dan pengawas, barangsiapa yang keadaannya demikian, maka tidak mungkin ia menjadi pendamping dan pengawas orang Lain. Sementara syarat untuk menjadi mahram adalah laki-laki, baligh dan berakal.

Ada masalah yang sangat serius yaitu banyaknya wanita yang meremehkanmasalah bepergian melalui pesawat terbang tanpa didampingi mahram, kita jumpai sebagian wanita sendirian di dalam pesawat terbang, mereka beralasan karena di antara mereka telah diantarkan mahramnya sampai dibandara dan tatkala sampai bandara tujuan, sudah ada mahram yang menjemputnya.

Jelas alasan ini cacat karenamahram tadi tidak ikut masuk ke dalam peshalallahu alaihi wasallamat dan hanya mengantarkan sampai ruang boarding saja, boleh jadi pesawatnya terlambat sehingga wanita tersebut terancam atau boleh jadi pesawatnya bisa terbang tetapi tidak bisa mendarat di bandara tujuan karena sesuatu hal, lalu terpaksa pesawat mendarat di tempat lain, maka ia lebih terancam lagi,

atau mungkin pesawat tersebut mendarat tepat di bandara tujuan, tapi mahram wanita tersebut terlambat. Mungkin karena tertidur, sakit, macet atau terjadi kecelakaan sehingga menghambat penjemputan.

Meskipun tidak ada hambatan dan gangguan sama sekali, pesawat mendarat tepat waktunya dan dijemput oleh mahramnya, tetapi siapa yang mendampinginyatatkala ia dalam pesawat. Kemungkinan ia duduk di samping laki-laki yang tidak takut terhadap Allah lalu lelaki tersebut menggoda dan merayunya sehingga iapuntergoda dan terjadilah fitnah serta kemaksiatan.

Wajib bagi wanita untuk selalu bertakwa kepada Allah aza wajalla dan tidak bepergiankecuali bersama mahramnya. Bagi laki-laki yang diberi amanah menjadi pengendali wanita hendaknya bertakwa kepada Allah dan tidak membiarkan mahramnya, tidak boleh agama dan kecemburuannya sirna, karena setiap manusia nanti bertanggung jawab dihadapan Allah di hari Kiamat. Allah aza wajallaberfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamnu dari apiNeraka yang bahan bakarnya manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (At-Tahrim: 6).

Fatawal Haj Lil Syaikh Utsaimin 48-49.

Via HijrahApp

APA YANG HARUS DILAKUKAN BAGI WANITA YANG DATANG HAID ATAU NIFAS SEBELUM THAWAF IFADHAH

Pertanyaan ke444:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: "Seorang wanita datang haid atau nifas sebelum thawaf ifadhah, apakah ia harus tetap tinggal di Makkah hinggasuci lalu thawaf ataukah boleh pergi keJeddah atau ke tempat lain, setelah suci kembali ke Makkah untuk melaksanakan thawaf?"

Jawaban:
Apabila memungkinkan tetap tinggal di Makkah, maka ia wajib tetap menunggu di Makkahhingga suci lalu menyelesaikan thawaf ifadhah. Tetapi jika tidak memungkinkan tinggal di Makkah, boleh pergi ke Jeddah atau Thaif atau ke tempat lain asalkanditemani oleh mahramnya, setelah suci ia kembali bersama mahramnya dan menyelesaikan manasik hajinya.

Majallatul Buhuts Islamiyah, 19/169.

Via HijrahApp

APAKAH BOLEH WANITA MENYEMBELIH KURBAN

Pertanyaan ke464:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Apakah boleh wanita menyembelih hewan dan apakah boleh kita memakan hasil sembelihannya?

Jawaban:
Dibolehkan bagi wanita menyembelih hewan sebagaimana laki-laki berdasarkan beberapa hadits shahih. Dan dibolehkan juga memakan dagingnya, dengan syarat wanita tersebut muslimah atau ahlul kitab dan dia melakukan penyembelihan tersebut secara syar'i walaupun laki-laki yang mampu menyembelih ada, sebab tidak adanya laki-laki bukan menjadi syarat halalnya sembelihan wanita tersebut.

Syaikh Utsaimin berfatwa dalam hal ini sebagai berikut:
Dibolehkan bagi wanita menyembelih hewan kurban dan semisalnya, sebab dalamurusan ibadah wanita sama halnya dengan laki laki, kecuali ada dalil yang membedakan antara keduannya. Hal tersebut berdasarkan kisah seorang wanitabudak penggembala kambing kemudian ada serigala yang menerkam kambingnya lalu budak tersebut mengambil batu yang tajam untuk menyembelih kambing tersebut, lalu Rasulullah memerintahkan untuk memakan sembelihan tersebut.

Kitab Fatawa Dakwah Syaikh bin Baz, juz 2/183.

As’ilah wa Ajwibah fishalatil 'Idaini, 32-33.

Via HijrahApp

APAKAH SUAMI SEORANG PEREMPUAN BISA MENJADI MAHRAM BAGI BIBI PEREMPUAN TERSEBUT

Pertanyaanke382:
Syaikh Ibrahim ditanya: "Bolehkah seorang bibi yang telah berumur sekitar tujuh puluh tahun tinggal bersama keponakannya yang telah bersuami, dan bolehkah si bibi tersebut pergi haji dengan didampingi suami keponakannya sebagai mahram?"

Jawaban:
Suamimu tidak bisa menjadi mahram bibimu, dan adapun dia tinggal bersama serumah maka dibolehkan jika dia tidak melakukan khalwah bersama suamimu tatkala kamu tidak ada.

Fatwa dan Risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/197.

Via HijrahApp

APAKAH TEMPAT SA'I TERMASUK BAGIAN MASJIDIL HARAM

Pertanyaan ke448:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Apakah tempat sa'i termasuk Masjidil Haram, dan bolehkah wanita haid memasukinya dan apakah orang yang masukMasjidil Haram lewat tempat sa'i harus melakukan shalat tahiyatul masjid?"

Jawaban:
Menurut saya tempat sa'i bukan termasuk Masjidil Haram, oleh sebab itu dijadikan pemisah antara keduanya yaitu tembok pendek. Dan tidak diragukanbahwa demikian itu demi kemaslahatan jamaah haji, jika tempat sa'i termasuk bagian dari Masjidil Haram, maka wanita yang sedang haid akan kesulitanmelakukan sa'i, dan saya berfatwa bahwa jika wanita haid setelah thawaf dan sebelum sa'i, maka ia dibolehkan melanjutkan sa'inya karena tempat sa'i bukan termasuk bagian Masjidil haram.

Jika seseorang setelah thawaf dansa’i kembali lagi ke Masjidil Haram lebih baik ia shalat tahiyatul masjid dan jika tidak melakukan shalat tersebut, tidaklah berdosa. Akan tetapi hendaknyadia memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya, karena shalat di Masjidil Haram memiliki keutamaan yang sangat besar.

52 Soal an Ahkamil haidh, hal. 45.
Fatawal haj, hal. 31.
Durus wa Fatawal haram, 3/233 oleh Syaikh Utsaimin.

Via HijrahApp

APAKAH WANITA MEMPERCEPAT SA'I TATKALA BERADA DI ANTARA DUA TANDA HIJAU

Pertanyaan ke402:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: "Apakah wanita mempercepat sa'inya tatkala sampai pada batas tanda hijau?"

Jawaban:
Wanita tidak disunnahkan mempercepat sa'inya di antara dua tanda tersebut, dan begitu juga orang yang menemani wanita tersebut supaya bisa menjaganya.

Al-Fatawa Al-Makkiyah Syaikh Utsaimin, hal. 13-14.

Via HijrahApp

BAGAIMANA HUKUM WANITA YANG HAID SETELAH DATANG KE MAKKAH, PADAHAL KELUARGANYA HENDAK PULANG

Pertanyaan ke435:
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: "Bagaimana hukumnya wanita yang haid setelah sampai di Makkah sementara keluarganya ingin pulang. Apakah mereka haras menunggu atau dibolehkan pergi baik jarak bepergiannya jauh ataupun dekat?"

Jawab:
Jika seorang wanita haid, maka ia haras menunggu hingga suci, setelah itu ia menyelesaikan thawaf dan umrahnya, kecuali jika iatelah mengucapkan udzur ihram: "Jika ada yang menghalangi ihramku, maka tahallulku di saat terjadi halangan tersebut". Dalam keadaan seperti ini ia boleh bertahallul dan pulang bersama keluarganya.

Al-Fatawa Al Makkiyah Syaikh Utsaimin, 33-34.

Via HijrahApp

BAGAIMANA WANITA HAID SHALAT DUA RAKAAT IHRAM

Pertanyaan ke436:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: "Bagaimana hukumnya wanita yang sedang haid melaksanakan shalat dua rakaat ihram dan apakah dibolehkan bagi wanita haid membaca ayat-ayat dzikir di dalam hati?"

Jawaban:
Wanita yang sedang haid tidak boleh melakukan shalat dua rakaat ihram, bahkan cukup berihram tanpa shalat. Shalat dua rakaat ihram sunnah menurut jumhur ulama dan sebagian ulama berpendapat tidak sunnah karena tidak ada dalil yang menganjurkan secara khusus. Adapun jumhur ulama berpedoman dari sebagian riwayat bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Telah datang kepadaku dari Tuhanku dan berkata: 'Shalatlah di lembah penuh berkah ini dan ucapkan: 'Umrah di dalam haji'.”

Yaitu di lembah Aqiq dalam haji wada'. Sebagian sahabat juga ihram dan shalatdua rakaat. Jumhur ulama menganjurkan hendaknya niat ihram dilakukan setelah shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunnah dan caranya, wudhu lalu shalat dua rakaat.

Dan wanita haid atau nifas tidak boleh shalat dua rakaat ihram, karena bukantermasuk orang yang terkena kewajiban shalat, sehingga cukup niat ihram saja dan tidak diperintahkan menggantikan shalat tersebut.

Menurut sebagian ulama dibolehkan bagi wanita haid atau nifas membaca Al-Qur'andengan keras. Adapun membacanya dalam hati, para ulama tidak ada yang berbeda dalam membolehkannya.

Sebagian ulamamengharamkan wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Qur'an baik lewat hafalan atau membaca mushaf, juga dilarang menyentuhnya. Sebagian mereka ada yang hanya melarang membaca mushaf dan membolehkan membaca dari hafalan. Sebab waktu haid dan nifas biasanya lama, dan tidak ada dalil yang jelas yang melarang hal tersebut. Lain halnya dengan orang yang junub, dia dilarang membaca sebelum mandi atau tayammum tatkala tidak mungkin mandi. Dan pendapat ini yang lebih kuat dari sisi dalil.

Fatawa dakwah Li Syaikh bin Baz, 1/135.

Via HijrahApp

BENTUK PAKAIAN IHRAM BAGI WANITA

Pertanyaan ke407:
Syaikh Shalih Fauzan ditanya: "Apakah wanita mengenakan pakian ihram wama tertentu pada waktu melaksanakan manasik haji?"

Jawaban:
Tidak ada pakaian khusus bagi wanita dalam berihram. Maka tatkala melaksanakan manasik haji, cukup baginya mengenakan pakian biasa, dengansyarat menutup aurat dan bukan pakaian tabarruj atau menyerupai pakaian laki-laki. Wanita hanya dilarang secara khusus mengenakan cadar dan purdah ataumengenakan sarung tangan.

Wanita tetap wajib menutup wajah dengan kain lainselain cadar dan purdah dan kedua telapak tangannya dengan kain lain selain sarung tangan karena keduanya adalah aurat yang wajib ditutup. Sebetulnya pada waktu ihram wanita tidak dilarang secara mutlak mengenakan penutup tangan dan wajah akan tetapi yang dilarangadalah menutupinya dengan cadar dan purdah serta sarung tangan saja.

Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan, 176-177.

Via HijrahApp

BIAYA HAJI DITANGGUNG WANITA

Pertanyaan ke388:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya: "Para ulama berpendapat bahwa ongkos haji mahram ditanggung wanita, apa yang di maksud dengan penjelasan tersebut?"

Jawaban:
Yang dimaksud adalah bekal dan biaya perjalanan haji menjadi tanggungan wanita, baik biaya untuk dirinya dan mahramnya. Karena bekal perjalanan haji mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan pada saat menunaikan haji. Adapun kebutuhan lain yang tidak ada hubungan dengan ibadah haji bukan menjadi tanggungannya.

Majmu' Kamilah li mualifat As-Sa'di, hal. 167.

Via HijrahApp

DATANG NIFAS DI HARI TARWIYAH

Pertanyaan ke442:
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: "Seorang wanita yang sedang nifas di hari tarwiyah dan telah menyelesaikan semua manasik haji kecuali thawaf dan sa'i, tapi setelah sepuluh hari dia merasakan nifasnya mulai berhenti dan suci. Apakah ia harus membersihkan diri dan mandi lalu menyelesaikan rukun haji yang tersisa yaitu thawaf haji?"

Jawaban:
Tidak boleh mandi dan melaksanakan thawaf sebelum yakin benar bahwa ia telah suci, kata-kata "mulai berhenti" memberi pemahaman bahwa nifasnya belum sempuma berhenti, dan sebenamya ia harus yakin bahwa ia bebar-benar sudah suci sehingga bisa mandi lalu mengerjakan thwaf dan sa'i. Dan boleh melaksanakan sa'i terlebih dahulu kemudian thawaf karena Rasulullah pernah ditanya tentang orang yang melakukan sa'i sebelum thawaf beliau menjawab:

"Boleh saja"

Fatawal haj Syaikh Utsaimin 46-47 wa 52 Soal an ahkamil haidh, hal 41-42.

Via HijrahApp

HARUSKAH WANITA HAID DAN NIFAS THAWAF WADA

Pertanyaan ke446:
Lajnah Daimah ditanya: Apakah wanita haid, nifas, lemah dan orang sakit boleh meninggalkan thawaf wada', karena saya bertanya kepada beberapa ulama jawabannya berbeda-beda, ada yang mengatakan harus dan ada yang mengatakan tidak harus?.

Jawaban:
Bagi wanita yang sedang haid atau nifas tidak ada kewajiban thawaf wada'. Adapun orang yang kondisinya lemah dan sakit tetap harus thawaf wada' dengan ditandu, berdasarkan sabda Rasulullah shalallahualaihi wasallam-

"Janganlah kalian pergi (meninggalkan Makkah) sebelum mengakhiri manasiknya di Baitullah ".

Dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Ibnu Abbas berkata Nabi memerintahkan jamaah haji hendaknya mengakhiri manasiknya di Baitullah kecuali wanita yang sedang haid. Dan dari hadits lain wanita yang nifas sama hukumnya dengan haid.

Majalatul Buhuts Islamiyah, 19/354.

Via HijrahApp

HIKMAH DILARANG MENGENAKAN PAKAIAN BERJAHIT

Pertanyaan ke412:
Lajnah Daimah ditanya: "Kenapa Allah aza wajallamelarang orang berihram mengenakan pakaian berjahit dan apa hikmahnya?"

Jawaban:
Pertama, Allah mewajibkan haji kepada orang yang telah mampu seumur hidup sekali dan dijadikan sebagai salah satu rukun Islam dan ini telah dimaklumi dengan mudah. Maka setiap muslim hendaknya melaksanakan perintah itu dengan rasa patuh dan tunduk dalam rangka mencari pahala dan ridha Allah aza wajalla serta takut siksaanNya.

Kita percaya bahwa Allah Maha Bijak dalam tindakanNya dan dalam meletakkan syariatNya, Maha penyayang terhadap semua hambaNya. Tidak mungkin Allah meletakkan aturan kecuali telah ada didalamnya maslahat dan manfaat buat hambaNya baik di dunia dan akhirat. Hanya hak Allah dalam membuat syariat dan sebagai hamba, hanya sekedar tunduk terhadap semua yang menjadi putusannya.

Kedua, Larangan mengenakan pakaian berjahit dalam ihram memiliki hikmah sangatbanyak, antara lain;

1. mengingatkan orang akan Hari Kebangkitan karena mereka akan dibangkitkandalam keadaan telanjang dan tidak bersandal kemudian mereka diberi pakaian. Dalam masalah ini banyak pelajaran dan peringatan;

2. mengendalikan jiwa untuk bersikap rendah diri dan membersihkan diri darisifat sombong;

3. dan menumbuhkan sikap kebersamaan, solidaritas, kesederhanaan dan menjauhisikap berlebihan serta merasakan apa yang dirasakan oleh orang fakir miskin; dan Lain-lain.

Fatawa Lajnah Daimah lil Ifta; Juz 11 hal. 179 no. 9059.

Via HijrahApp

HUKUM HAJI BAGI WANITA TIDAK MENDAPAT IZIN DARI SUAMINYA

Pertanyaanke387:
Lajnah Daimah ditanya: "Bagaimana hukumnya wanita pergi haji tanpa mendapat izin dari suaminya?"

Jawaban:
Melaksanakan haji bagi yang mampu adalah wajib walaupun tanpa mendapat izin suami, dan tidak berhak suami melarang istrinya untuk menunaikan haji bahkan ia wajib membantunya.

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal. 20 no. 5866.

Via HijrahApp

HUKUM LARI-LARI KECIL BAGI WANITA

Pertanyaan ke401:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: "Apakah lari-lari kecil pada tiga putaran pertama dari thawaf qudum khusus bagi laki-laki saja, ataukah berlaku bagi laki-laki dan perempuan?"

Jawaban:
Lari-lari kecil hanya khusus bagi laki-laki saja, dan tidak disunnahkan bagi kaum wanita, apalagi berlari dengan kencang.

Al Fatawa Al-Makkiyah Syaikh Al-Utsaimin, hal. 9.

Via HijrahApp

HUKUM MEMAKAI EMAS TATKALA IHRAM

Pertanyaan ke466:
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: Apa hukumnya wanita memakai emas berupa cincin atau yang lainnya pada saat ihram dan sering kali perhiasan tersebut diperlihatkan kepada selain mahramnya?.

Jawaban:
Diperbolehkan bagi wanita memakai perhiasan emas asalkan tidak berlebihan dan tidak diperiihatkan kepada laki-laki lain sebab takut menimbulkan fitnah.

Fatawa Al-Makkiyah Syaikh Ustaimin, 34-35.

Via HijrahApp

HUKUM MEMBATALKAN NIAT UMRAH

Pertanyaan ke468:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Seorang wanita dari daerah seiatan Saudi niat umrah tiga hart sebelum Ramadhan, setelah ihram dan niat mengerjakan umrah tiba-tiba membatalkan niat umrahnyadan bemiat umrah di bulan Ramadhan, sementara kejadian ini sebelum sampai di Miqat, kemudian wanita tersebut masuk ke Makkah tidak melakukan umrah kecuali setelah masuk bulan Ramadhan lalu dia berihram dari Syara'i, apakah amalan seperti ini benar dan apakah merubah niat umrah tersebut ada sanksinya?"

Jawaban:
Perbuatan tersebut tidak dibenarkan, sebab seseorang apabila telah niat ihram untuk umrah atau haji, maka tidak boleh membatalkannya kecuali ada udzur syar'i. Allah aza wajalla berfirman:

"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kamuterkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat". (Al-Baqarah: 196).

Dan hendaknya dia bertaubat kepada Allah. Adapun umrah yang dilakukan setelahpembatalan tersebut dianggap sah sebab ibadah umrah tidak bisa dibatalkan dan demikian itu termasuk keunikan ibadah haji dan ibadah haji memiliki banyak keunikan yang tidak ada pada ibadah lain, di antaranya apabila telah berniat melakukan ibadah haji, maka ibadah tersebut tidak bisa dibatalkan pelaksanaannya,

sementara ibadah yang lainnya bisa dibatalkan, suatu contohjika seseorang puasa lalu berniat membatalkan puasanya, atau seseorang sedang shalat dan berniat untuk membatalkan shalatnya, atau seseorang sedang wudhu dan di tengah tengah wudhu berniatmembatalkan wudhunya, karena ada niat untuk membatalkan maka ibadah-ibadah tersebut menjadi batal.

Akan tetapi lain halnya dengan ibadah haji dan umrah, jika seseorang berniatmembatalkan maka ibadah tersebut tidak bisa menjadi batal. Oleh sebab itu para ulama berkata: "Manasik tidak bisa batal karena ditolak". Maka saya katakan kepada wanita tersebut bahwa dia sejak awal masih tetap dalam keadaan ihram umrah dan tidak gugur kewajiban tersebut sebelum mengerjakan manasik secara sempuma serta tidak menjadi batal karena ada niat membatalkannya.

Dan sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah wanita tersebut mendapatkan umrah di bulan Ramadhan atau tidak?

Jawaban:
Wanita tersebut tidak mendapatkan umrah di bulan Ramadhan, sebab dia bemiat ihram tiga hari sebelum Ramadhan, karena seseorang dikatakan umrah di bulan Ramadhan bila pelaksaan ibadah umrah tersebut seluruhnya dari mulai niat ihram hingga tahallul di dalam bulan Ramadhan baik dilaksanakan pada awal atau akhir bulan. Suatu contoh seseorang sampai di miqat di saat-saat akhir bulan Sya'ban dan berihram kemudian matahari terbenam.

Danpada waktu itu hilal awal bulan Ramadhan sudah terlihat, kemudian dia masuk Makkah menyelesaikan thawaf, sa'i lalu menggunting rambut, apakah mungkin orang tersebut dikatakan telah umrah di bulan Ramadhan?.

Jawabnya tidak, sebab orang tersebut memulai berniat ihram sebelum masuk bulanRamadhan. Contoh lain, seseorang berniat ihram umrah sebelum terbenam matahari di akhir bulan Ramadhan, lalu melakukan thawaf dan sa'i di malam hari raya. Apakah bisa dikatakan orang tersebut telah umrah di bulan Ramadhan?.

Jawabnya tidak, karena dia telah mengeluarkan sebagian manasik umrahnyadiluar bulan Ramadhan. Bisa dikatakan seseorang telah umrah di bulan Ramadhan bila telah melakukan semua manasik umrah di bulan Ramadhan dari mulai niat ihram hingga selesai.

Kesimpulan dari seluruh jawaban di atas bahwa umrah yang dikerjakan wanitatersebut sah, akan tetapi wanita tersebut tidak mendapatkan umrah di bulan Ramadhan. Dan hendaknya dia tidak mengulangi lagi perbuatannya, karena apapun yang dilakukan tidak akan bisa lepas dari tanggung jawab menyelesaikan manasik umrah. Walaupun telah mengerjakan semua yang menjadilarangan ihram, maka tetap di anggap sah umrahnya, karena ketidaktahuan terhadap larangan- larangan ihram.

Sebab barangsiapa yang mengerjakan larangan ihram karena ketidaktahuan, lupa atau dipaksa, maka umrahnya tetap sah dan tidak ada denda.

Durus wa Fatawal Haram Li Syaikh Utsaimin, juz 3/164-166.

Via HijrahApp

HUKUM MEMBUKA WAJAH DAN TELAPAK TANGAN

Pertanyaan ke423:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: "Wanita yang sedans ihram tidak boleh mengenakan cadar dan kaos tangan Apakah ini berarti wanita harus membuka wajah dan telapak tangan?"

Jawaban:
Yang dimaksud adalah wanita yang sedang dalam keadaan ihram tidak boleh mengenakan cadar dan kaos tangan akan tetapi jika berpapasan dengan laki-laki, maka ia wajib menutup wajahnya seperti yang dilakukan wanita di zaman Rasulullah صلی الله عليه وسلم, karena fungsi cadar bagi wajah adalah seperti fungsi gamis bagi badan laki-laki.

Adapun mengenakan kaos tangan bagi wanita yang sedang ihram dilarang dan dibolehkan bila tidak dalam keadaan ihram kecuali jika berpapasan dengan laki-laki, maka ia harus menutupi telapak tangannya dengan jilbab atau bajunya.

Durus wa Fatawa Al-Haramul Makki Syaikh Utsaimin, 3/155.

Via HijrahApp

HUKUM MEMBUKA WAJAH DI HADAPAN LAKI-LAKI

Pertanyaan ke467:
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: "Apa hukumnya wanita yang sedang melaksanakan haji atau umrah membuka wajah di depan laki-laki yang bukan mahramnya?"

Jawaban:
Haram hukumnya bagi wanita membuka wajah di depan laki-laki yang bukan mahramnya baik pada saat haji, umrah atau yang lainnya.

Fatawa Al-Makkiyah Syaikh Ustaimin, 35-36.

Via HijrahApp

HUKUM MENGENAKAN PURDAH DAN MASKER

Pertanyaan ke422:
Syaikh Utsaimin ditanya: 'Tentang hukum wanita mengenakan purdah dan masker saat ihram?"

Jawaban:
Rasulullah melarang wanita yang sedang ihram untuk mengenakan cadar. Dan purdah lebih utama untuk dilarang. Dan dia menutupi seluruh wajahnya dan kerudung yang ia kenakan tatkala berpapasan dengan kaum laki-laki. Jika telah lewat hendaknya dibuka kembali penutup wajahtersebut dan yang demikian itu lebih baik dan sesuai sunnah.

Al-Fatawa Al-Makkiyah Lil Syaikh Utsaimin, hal.36.

Via HijrahApp

HUKUM SARUNG TANGAN DAN KAOS KAKI

Pertanyaan ke421:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: "Apakah boleh wanita yang sedang ihram mengenakan sarung tangan dan kaos kaki?"

Jawaban:
Wanita dalam keadaan ihram boleh mengenakan kaos kaki karena Nabi صلی الله عليه وسلم tidakmelarang perempuan dan mengenakannya. Dan dilarang memakai sarung tangan, karena Rasulullah melarang wanita yang sedang dalam keadaan ihram mengenakan sarung tangan.

Fatawal Haj Lil Syaikh Utsaimin, hal.11.

Via HijrahApp

HUKUM WANITA HAID MASUK MASJIDIL HARAM

Pertanyaan ke447:
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: "Apakah boleh wanita haid masuk Masjidil Haram?"

Jawaban:
Tidak boleh bagi wanita haid masuk Masjidil Haram melainkan hanya lewat saja. Dan tidak diperbolehkan berdiam di dalamnya untuk thawaf membaca Al-Qur'an atau mendengarkan dzikir, tasbih dan tahlil.

Apabila ia merasa datangnya haid di tengah-tengah thawaf, ia terus melanjutkan thawafnya hingga ia yakin bahwa darah tersebut benar-benar darah haid dan setelah ia yakin bahwa darah tersebut haid ia hams memutuskan thawafnya dan keluar dariMasjidil haram. Setelah suci ia harus mengulangi thawafnya dari awal.

Al-Fatawa Al-Makkiyah Syaikh Utsaimin, 19-20

Via HijrahApp

HUKUM WANITA MENGHAJIKAN LAKI-LAKI

Pertanyaan ke461:
Syaikh Fauzan ditanya: "Apakah sah wanita mewakili laki-laki dalam mengerjakan haji atau umrah?"

Jawaban:
Boleh dan sah bagi wanita mewakili haji dan umrah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' Fatawanya: "Boleh bagi wanita menghajikan wanita lain berdasarkan kesepakatan para ulama, baik menghajikan anaknya maupun yang lainnya. Menurut pendapat imam empat dan jumhur ulama dibolehkan perempuan menghajikan laki-laki.

Sebagaimana Rasulullah صلی الله عليه وسلم memerintahkan perempuan Khutsa'miyah agar menghajikan bapaknya tatkala perempuan tersebut bertanya kepada beliau: "Wahai Rasulullah, Allah telah memerintahkan haji kepada semua hambaNya, sementara bapak saya sangat tua sekali, maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan kepadanya untuk menghajikan bapaknya, padahal ihramnya laki-laki lebih sempurna daripada ihramnya perempuan.

At-Tanbihaat Syaikh Fauzan, hal. 40.

Via HijrahApp

IHRAM DARI SAIL DALAM KEADAAN HAID LALU PERGI KE JEDDAH DAN SETELAH SUCI MENYEMPURNAKAN IBADAH HAJI

Pertanyaan ke429:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: "Seorang wanita ihram dari Sail dalam keadaan haid, setelah sampai di Makkah pergi ke Jeddah untuk suatu keperluan, setelah berada di Jeddah iapun suci, lalu mandi dan menyisir rambut kemudian menyempurnakan manasik haji. Apakah hajinya sah? Ataukah dia harus dikenakan sangsi?"

Jawaban:
Haji yang dikerjakan sah dan tidak dikenakan sangsi apapun.

Fatawa Hajj Syaikh Utsamin, 47; dan 52 Sualan An Ahkamil Haidh, hal 42.

Via HijrahApp

IHRAM DI SAAT HAID

Pertanyaan ke425:
Lajnah Daimah ditanya: Apa hukumnya wanita haid melakukan ibadah haji?

Jawaban:
Haid tidak menghalangi seorang wanita untuk melaksanakan ibadah haji, barangsiapa berihram sedang dalam kondisi haid, maka boleh menyempumakan manasik haji kecuali melakukan thawaf sehinggadarah benar-benar berhenti dan mandi. Begitu pula wanita yang sedang nifas, maka jika ia melakukan segala rukun haji makaibadah hajinya dianggap sah.

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal. 172 no. 687.

Via HijrahApp

ISTRI MENGHAJIKAN SUAMINYA

Pertanyaan ke454:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Apakah boleh ibu saya menghajikan bapak saya dan ibu saya telah melaksanakan kewajiban haji?"

Jawaban:
Kalau memang ibu anda telah melaksanakan kewajiban haji, maka ia boleh menghajikan bapak anda?

Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/193.

Via HijrahApp

ISTRI SAYA HAID SETELAH IHRAM

Pertanyaan ke432:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: Saya datang dari Yanbu' untuk menunaikan umrah bersama istri tetapi setelah sampai di Jeddah istri saya haid, kemudian saya menyelesaikan umrah sendirian tanpa ditemani istri saya, bagaimana hukumnya bagi istri saya tersebut?

Jawab:
Hukum bagi istri anda, hendaknya dia tetap menunggu hingga suci, kemudian melaksanakan umrah. Sebab tatkala Shafiyah sedang haid, Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Adakah iamenahan kita? "

Mereka menjawab: "la telah melakukan thawafifadhah. Kemudian Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Kalau demikianhendaklah ia berangkat".

Dari sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم: "Adakah ia menahan kita". Menjadi dasar bahwa jika wanita haid sebelum thawaf ifadhah hendaknya menunggu hingga suci lalu thawaf, begitu juga thawaf umrah. Karena thawaf adalah termasuk rukun umrah. Apabila seorang wanita menunaikan umrah kemudian haid, maka ia harus menunggu hingga suci lalu melakukan thawaf.

52 Sualan 'An Ahkamil Haidh, Ibnu Al-Utsaimin hal 44-45.

Via HijrahApp

IZIN SUAMI UNTUK PERGI HAJI

Pertanyaanke386:
Lajnah Daimah ditanya: "Saya seorang wanita yang telah menikah dan telah berkeluarga selama empat puluh tahun. Saya meminta izin suami untuk pergi haji dan saya mendapat persetujuan tetapi tatkala datang musim haji atau umrah ia menolak pergi alasannya sibuk mengurusi kambing atau sapi dan ia telah haji sebanyak lima kali, sementara saya hingga saat ini belum pernah menunaikan haji, lalu saya memutuskan pergi bersama menantu laki-laki saya. Akan tetapi suami saya tidak memperbolehkan?

Jawaban:
Apabila kondisi anda demikian, maka anda tidak mungkin menunaikan kewajiban haji atau umrah kecuali setelah mendapatkan mahram. Jika anda telah mendapatkannya, maka diperbolehkan bagi anda untuk menunaikan haji walaupun tanpa mendapat persetujuan dari suami anda, karena meninggalkan haji dalam keadaan mampu diharamkan. Dan tidak boleh seseorang mentaati makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah.

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal. 19 no. 5659.

Via HijrahApp

JIKA SUCI SETELAH SEPULUH HARI, APAKAH DIA MANDI DAN MELAKUKAN THAWAF HAJI?

Pertanyaan ke441:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: "Seorang wanita datang haid di hari tarwiyah dan menyelesaikan semua manasik haji selain thawaf dan sa'i, setelah sepuluh hari haidnya terhenti dan suci, apakah ia harus mandi dan menyelesaikan sisa manasiknya termasuk thawaf ifadhah."

Jawaban:
Apabila wanita datang haid pada hari tarwiyah boleh menger-jakan manasik haji seperti yang dikerjakan jamaah haji yang lainnya, dari mulai wukuf di Arafah, menginap di Mudzdalifah melempar jumrah dan menggunting rambut serta menyembelih dam. Adapun thawaf dan sa'i ditunda dan dikerjakan setelah suci.

Jika sucisetelah sepuluh hari, maka ia harus secepatnya mandi dan boleh melakukan shalat, puasa, thawaf dan sa'i karena tidak ada batasan minimal waktu terhentinya darah nifas, mungkin bisa lebih berkurang, tetapi batas maksimal waktu nifas empat puluh hari.

Apabilalebih dari empat puluh hari darah masih keluar maka dianggap darah tersebut darah rusak dan ia harus segera mandi dan boleh melakukan shalat, puasa dan bersenggama dengan suaminya. Akan tetapi ia harus menjaga darahnya dengan mengenakan pembalut dan berwudhu' setiap hendak shalat. Dibolehkan menjama' shalat antara zhuhur dengan ashar dan antara maghrib dengan isya' sebagaimana yang diwasiatkan Rasulullah kepada Hamnah binti Jahsy.

Fatawa Dakwah Syaikh bin Baz, 1/134.

Via HijrahApp

MAHRAM TIDAK SANGGUP MENDAMPINGI DALAM IBADAH HAJI

Pertanyaanke380:
Lajnah Daimah Lil Ifta' ditanya: "Akhi yang mulia, saya mempunyai masalah dan saya ingin mendapatkan solusinya dari Allah yang Maha Pengasih terhadap hambaNya yaitu khusus masalah pelaksanaan ibadah haji saya.

Selama dua tahun saya telah berniat untuk menunaikan haji dan saya telah berumur lima puluh tahun, yang menjadi masalah adalah tidak ada mahram yang mendampingi saya, suami saya hanya sibuk dengan urusan dunia yang tidak pernah berniat untuk menunaikan haji, kecuali jika perusahaan tempat kerjanya memberi bonus pergi haji dan demikian itu sangat susah untuk diharapkan, sementara saya takut datang ajal sebelum saya menunaikan haji dan saya takut berdosa, padahal saya sudah memiliki bekal dan kemampuan.

Sebetulnya saya mempunyai dua anak laki-laki tetapi salah satunya bertugas diluar negeri dan sibuk dengan urusan persiapan biaya pemikahannya, begitu pula yang satu lagi. Suami putriku juga tugas di luar negeri. Kesimpulannya semua mahram saya tidak bisa mendampingiku dalam menunaikan ibadah haji karena kesibukan. Saya telah berusaha mengajak mereka tapi selalu tidak bisa.

Apakah setelah saya dalam kondisi seperti ini, ada hukum fiqh yangmembolehkan saya untuk menunaikan ibadah haji dengan ditemani istri saudara laki-laki saya yang telah meninggal dan bersama beberapa wanita lain? Saya selalu berusaha menjaga hijab dan pakaian saya. Dalam hal ini saya tidak memuji-muji diri sendiri dan perlu diketahui ini adalah haji yang pertama kali?"

Jawaban:
Apabila kondisi yang saudari sebutkan benar, bahwa suami dan mahram anda tidak bisa pergi menemani anda, maka gugurlah kewajiban menunaikan ibadah haji, karena syarat bagi seorang wanita dalam menunaikan ibadah haji harus didampingi suami atau mahramnya. Maka menurut pendapat ulama yang shahih haram bagimu pergi haji atau pergi ke tempat lain tanpa mahram, walaupun dengan ditemani istri saudaramu atau kaum wanita yang bisa dipercaya, berdasarkan hadits Nabi:

"Janganlah seorang wanita bepergian (jauh) kecuali bersamamahramnya" (Muttafaq alaih).

Kecuali apabila istri saudara anda tersebut bersama suaminya maka boleh andapergi bersamanya karena dia adalah mahram bagi anda. Kerjakanlah amal shalih yang pelaksanaannya tanpa membutuhkan bepergian. Bersabarlah semoga Allah aza wajalla memudahkan jalan untuk menunaikan haji bersama suami atau mahrammu.

Fatwa Lajnah Daimah, hal 7 no. 8392.

Via HijrahApp

MAHRAM WANITA MENINGGAL PADA SAAT IBADAH HAJI

Pertanyaan ke385:
Syaikh Ibrahim ditanya: "Jika mahram yang menemani wanita meninggal bagaimana hukumnya?"

Jawaban:
Jika memungkinkan untuk mendatangkan mahram dari salah satu tempat, maka ia harus menunggu, apabila tidak mungkin maka ia pergi walaupun tanpa ditemani mahram dan tidak boleh
memilih jalan yang membahayakan dirinya.

Fatwa dan Risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/199.

Via HijrahApp

MELAKSANAKAN IBADAH HAJI TANPA IHRAM

Pertanyaan ke413:
Lajnah Daimah ditanya: "Bapak saya melaksanakan haji tahun lalu, karena sakit parah, maka ia tidak mampu melakukan ihram, kewajiban apa yang harus ia lakukan?"

Jawaban:
Apabila ia berihram dengan pakaian biasa disebabkan kondisi yang tidak memungkinkan seperti cuaca dingin atau sakit atau hal lainnya, maka demikian tersebut dibolehkan. Dan bagi yang mengenakan pakaian berjahit, maka harus berpuasa tiga hari atau memberi makam enam orang miskin dan setiap satu orang miskin setengah sha' dari makanan pokok negeri setempat atau menyembelih kambing.

Demikian juga bagi orang yang menutup kepala. Dibolehkanberpuasa dimana saja. Adapun memberi makan atau menyembelih kambing harus dilakukan di tanah Haram (Makkah).

Fatawa Lajnah Daimah lil Ifta; juz 11 hal. 181 no. 518

Via HijrahApp

MEMPERBANYAK THAWAF ATAU IBADAH LAIN

Pertanyaan ke469:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Apakah yang lebih baik memperbanyak thawaf padahal kondisi sedang berdesak desakan ataukah ibadah lain yang jauhdari kerumunan laki-laki?"

Jawaban:
Apabila di musim haji atau umrah lebih baik seseorang tidak perlu memperbanyak thawaf walaupun laki-laki apalagi perempuan.

Al-Fatawa Al-Makkiyah Syaikh Utsaimin 35.

Via HijrahApp

MENCIUM HAJAR ASWAD PADA WAKTU MULAI THAWAF

Pertanyaan ke398:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Apa hukumnya mencium hajar aswad pada waktu memulai thawaf?"

Jawaban:
Menurut ketentuan sunnah, tidak boleh saling berdesak-desakkan untuk mencium hajar aswad dan sebenarnya mencium hajar aswad itu tidak disyari'atkan ataswanita, begitu juga lari-lari kecil, bahkan yang terbaik bagi wanita adalah menjauh dari ka'bah, karena wanita adalah aurat, sementara dalam proses mencium hajar aswad tidak terlepas dari berdesak desakan dengan laki-laki dan bagi wanita menjaga aurat adalah wajib, sementara mencium hajar aswad hanya sekedar sunnah.

Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/240-241.

Via HijrahApp

MENELAN PIL ANTI HAID UNTUK MELAKSANAKAN IBADAH HAJI DAN SETELAH SELESAI HAJI, DARAH KELUAR DALAM WAKTU YANG PANJANG

Pertanyaan ke471:
Lajnah Daimah ditanya: "Saya menunaikan ibadah haji bersama istri, agar pelaksaaan ibadah haji tersebut lancar, maka saya membelikan istri pilanti haid. Alhamdulillah ternyata harapan tersebut tercapai dan haji kami terlaksana dengan sempurna.

Pada tanggal 17/12/1407 istri saya mengalami haid terusmenerus hingga saat surat ini saya tulis yaitu tanggal 23/2/1408 dan para dokter mengatakan bahwa hal tersebut pengaruh dari tablet anti haid. Yang menjadipertanyaan saya adalah apakah darah tersebut haid ataukah bukan dan apakah dia wajib shalat atau tidak?"

Jawaban:
Pendarahan yang terjadi pada istri kamu bukanlah darah haid akan tetapi termasuk darah istihadhah dan hendaknya dia mengira-ngirakan waktu haid,yaitu waktu-waktu yang biasa keluar haid sebelum terjadi pendarahan tersebut.

Kemudian ia mandi dan berwudhu' setiap hendak melakukan shalat dengan memakaipembalut atau yang lainnya untuk menjaga agar darah tidak menetes. Dan dia harus mengqadha shalat fardhu yang ditinggalkan pada waktu pendarahan kecualiwaktu-waktu yang dianggap waktu haid.

Fatawa Lajnah Daimah, 5/405 kumpulan Ahmad Duwais.

Via HijrahApp

MENELAN TABLET ANTI HAMIL DI SAAT HAJI ATAU UMRAH

Pertanyaan ke470:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Apa hukumnya menelan tablet pencegah kehamilan pada saat haji atau umrah atau sengaja untuk mencegah kehamilan, sebab tablet tersebut mengganggu kesehatannya?"

Jawaban:
Saya tidak menyarankan kepada wanita untuk menggunakan tablet pencegah kehamilan kecuali kondisi sangat mendesak seperti perempuan tersebut kondisi tubuhnya sangat lemah, sakit-sakitan atau semisalnya, maka dibolehkan menggunakan tablet pencegah kehamilan dengan syaratdapat persetujuan dari suaminya. Sebab suaminya punya hak dalam masalah keturunan sebagaimana perempuan juga punya hak.

Oleh sebab itu para ulamaberpendapat: Tidak boleh laki-laki melakukan azel dari perempuan merdeka kecuali atas seizinnya karena azel adalah bagian dari cara mencegah kehamilan. Sayamenasehati untuk semua wanita agar menghindari tablet pencegah kehamilan sebab semakin banyak anak semakin banyak berkah dan lebih mendekati sunnah Rasulullahshalallahu alaihi wasallam-

Tetapi jika menggunakan tablet tersebut untukmemperlancar ibadah haji atau umrah maka hal tersebut dibolehkan, karena kondisi seperti ini hanya insidental dan setiap penggunaan tablet tersebutharus mendapat petunjuk dan saran dari dokter.

Durus wa Fatawal Haram Li Syaikh Utsaimin, juz 3/236-237.

Via HijrahApp

MENELAN TABLET UNTUK MEMPERLAMBAT HAID DI SAAT HAJI

Pertanyaan ke472:
Lajnah Daimah ditanya: "Apakah boleh menelan tablet untuk mencegah atau memperlambat haid pada saat menunaikan ibadah haji sebab khawatir datanghaid di tengah-tengah melaksanakan ibadah haji?"

Jawaban:
Boleh bagi wanita menelan tablet pencegah haid pada saat haji bila khawatir keluar haid di tengah-tengah menunaikan manasik haji dan juga bolehmenggunakan tablet tersebut pada saat Ramadhan agar bisa puasa dengan sempuraa, akan tetapi semuanya setelah mendapat petunjuk dan saran dari dokter bahwa demikian itu tidak membahayakan kesehatan tubuhnya.

Majalatul Buhuts, 6/254.

Via HijrahApp

MENGGANTI HAJI WANITA TUA LAGI BUTA

Pertanyaan ke389:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya: "Seorang wanita lanjut usia lagi buta belum menunaikan haji, apakah bisa dihajikan?"

Jawaban:
Adapun Hajjatul Islam (haji yang merupakan rukun Islam) jika dia kuat untuk naik kendaraan - dan zaman sekarang sebenarnya semua mampu naik kendaraan- maka ia harus melaksanakan sendiri, karena ia memiliki anak dan mahram, walaupun mereka jauh tempat tinggalnya."

Majmu' Kamilah li mualifat As-Sa'di, hal. 167.

Via HijrahApp

MENGGAULI ISTRI DISAAT IBADAH HAJI

Pertanyaan ke414:
Syaikh Shalih Fauzan ditanya: "Apa hukumnya orang menggauli istri pada saat melaksanakan ibadah haji?"

Jawaban:
Orang berihram tidak boleh bercumbu dengan istrinya baik berpelukan atau senggama atau perkataan yang menimbulkan birahi berdasarkan firman Allah:

"Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (Al-Baqarah: 197).

Yang dimaksud dengan rafats adalah senggama dan faktor-faktor penyebabnya baik berupa perkataan, pelukan, memandang atau sejenisnya. Adapun arti farodho fihinna adalah berihram dengan haji. Apabila ia telah tahallul dengan cara melakukan seluruh manasik dengan cara telah jumrah aqabah, mencukur, menggunting rambut atau thawaf ifadhah beserta sa'inya, maka ia boleh bercumbu dengan istrinya baik berupa pelukan, ciuman maupun senggama.

Al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan, juz 3 186-187.

Via HijrahApp

MENGGAULI ISTRI SETELAH SELESAI IHRAM

Pertanyaan ke424:

Syaikh Utsaimin ditanya: "Seseorang dari Abha datang di Makkah pada waktu malam lalu di pagi harinya tergoda oleh syaitan sehingga ia menggauli istrinya, apa hukumnya?"

Jawaban:
Orang tersebut datang bersama istrinya untuk umrah pada bulan puasa, lalu di pagi hari menggauli istrinya sementara dalam keadaan puasa. maka saya katakan bahwa tidak ada kewajiban melainkan mengganti puasa hari itu saja dan tidak berdosa dan tidak ada kafarat karena orang yang sedang musafir boleh membatalkan puasanya baik dengan makan, minum atau bersenggama. Sebab orang yang sedang musafir tidak wajib berpuasa. Sebagaimana Allah berfirman:

"Karena itu barangsiapa diantara kamu hadir di negeri tempat tinggalnya di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajiblah baginya berpuasa, sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari -hari yang lain ". (Al-Baqarah: 185).

maka saya sarankan bagi penduduk makkah jika ada orang yang meminta fatwa tentang hukum menggauli istri dalam keadaan puasa, maka hendaknya diklarifikasi terlebih dahulu, apakah ia sedang musafir atau tidak?

Apabila ia menjawab bahwa sedang musafir, maka tidak ada kewajiban melainkan mengganti. Akan tetapi jika berasal dari penduduk setempat menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan, maka dia terkena sangsi sebagai berikut: Pertama, puasanya rusak. Kedua, wajib menahan sisa harinya. Ketiga, mengganti puasa. Keempat, berdosa. Dan kelima, membayar kafarat yaitu memerdekakan budak dan jika tidak mendapatkan, maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu, maka memberi makan terhadap enam puluh orang miskin.

Durus wa Fatawa Al-haramul AAakki Syaikh Utsaimin, 3/52.

Via HijrahApp

MENGGAULI ISTRI SETELAH TAHALLUL AWAL

Pertanyaan ke415:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Apa hukumnya menggauli istri setelah tahallul awal?"

Jawaban:
Menggauli istri setelah tahallul awal tidak merusak haji, akan tetapi hanya merusak ihram saja, baik melaksanakan haji ifrad atau qiran. Artinya tidak dianggap sah thawaf ifadhah sehingga ia keluar ke tanah halal dan melakukan ihram dari tempat tersebut kemudian masuk ke Makkah lalu melakukan thawaf ifadhah dengan ihram yang sah, sebab ia telah mengumpulkan antara tanah haram dan tanah halal.

Dan orang tersebut wajib membayar dam denganmenyembelih satu kambing di tanah haram dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin di sekitarnya dan tidak boleh sama sekali memakan dagingnya. Begitu juga istrinya wajib menyembelih satu kambing, jika melakukan pelanggaran tersebut dengan suka rela, akan tetapi jika dipaksa, maka tidak perlu menyembelih dam.

Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/228.

Via HijrahApp

MENGHAJIKAN IBU YANG SUDAH HAJI TUJUH KALI

Pertanyaan ke460:
Lajnah Daimah ditanya: Ibu saya telah melakukan haji sebanyak tujuh kali, apakah boleh saya menghajikannya lagi ?.

Jawaban:
Dibolehkan bagi seseorang menghajikan ibunya ke delapan kali atau lebih dari itu dan perbuatan tersebut termasuk birul walidain, dengan syaratorang tersebut telah menunaikan ibadah haji. Dan orang yang menghajikan ibunya akan mendapatkan pahala dari Allah. Semoga Allah selalu memberikan kefahaman dan keteguhan kita semua dalam masalah agama.

Majallatul Buhuts wa Fatawa Syaikh bin Baz, juz 18 hal. 118.

Via HijrahApp

MENGHAJIKAN KEDUA ORANG TUA YANG TELAH WAFAT

Pertanyaan ke463:
Lajnah Daimah ditanya: "Bolehkah saya menghajikan kedua orang tua saya yang sudah meninggal tidak mampu haji karena keduanya miskin dan apahukumnya?"

Jawaban:
Boleh bagi saudara untuk menghajikan kedua orang tua atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghajikan keduanya, asalkan saudaraatau orang yang akan menghajikan sudah pernah menunaikan ibadah haji. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abdullah Ibnu Abbas رضى الله عنه bahwasannya Rasulullah pernah mendengar seseorang yang niat ihram dengan mengucapkan " Labaik an Syubrumah" beliau bertanya:

"SiapakahSyubrumah itu? "

Orang tersebut menjawab: "Saudara saya ataukerabat saya". Beliau bersabda:

"Apakah kamu sudah haji untuk dirimusendiri?

la menjawab: "Belum". Beliau صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Hajilah untuk dirimu kemudian untuk Subrumah ". (HR Ibnu Majah dan Al-Baihaqi berkata: "Sanadnya shahih dan tidak ada yang lebihshahih dari hadits ini dalam masalah ini").

Majallatul Buhuts wa Fatawa Syaikh bin Baz, juz 13 hal. 72

Via HijrahApp

MENGHAJIKAN ORANG TUA YANG MASIH HIDUP

Pertanyaan ke457:
Lajnah Daimah ditanya: "Apakah boleh orang tua dihajikan sementara mereka masih hidup?"

Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan ini harus dirinci, artinya apabila haji dan umrah tersebut dihukumi fardhu baginya, maka tidak boleh dihajikan kecuali ia tidak mampu selama-lamanya, ini seperti menghajikan orang yang sakit menahun atau orang jompo yang tidak mungkin mampu mengadakan perjalanan dan menunaikan manasik haji,

berdasarkan hadits bahwa seorang wanita bertanya kepada Rasulullah tentang menghajikan orang tua yang sudah tidak mampu melakukan kewajiban ibadah haji dikarenakan tidak mampu untuk mengadakan perjalanan jarak jauh, maka beliau menjawab:

"Silahkahanda menghajikannya".

Adapun haji sunnah maka boleh saja dan umrahnya sangat lapang. Tidak apa-apamenghajikannya meskipun dia sendiri mampu melaksanakannya, ini menurut sejumlah ulama.

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal. 333 no. 2252.

Via HijrahApp

MENGHAJIKAN ORANG YANG TAKUT BERDESAK-DESAKAN

Pertanyaan ke453:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Apa hukumnya menghajikan orang yang takut berdesak-desakan yang bisa berakibat kematian atau yangsemisalnya?"

Jawaban:
Jika berdesak-desakan yang bisa mengakibatkan kematian atau yang lainnya seperti cidera atau sakit, tidak berarti semua kewajiban haji gugur begitu saja, di saat itu ia boleh mencari orang untuk menggantikan, seperti orang yang takut melempar jumrah sebaiknya iamencari orang untuk melemparkannya begitu pula orang yang sakit dan kondisinyalemah. Inilah jalan keluar
yang sesuai dengan syariat.

Tidak boleh kita katakan bahwa udzur yang ada padaorang yang diwakili secara otomatis ada pada orang yang mewakili, karena masing-masing orang memiliki kemampuan berbeda-beda, boleh jadi orang yang ketakutan, sakit atau lemah hanya sebagiankecil saja tidak mampu melaksanakan manasik haji dan kondisi berdesakan itupuntergantung waktu dan tempat. Sehingga banyak jalan keluar dari kesulitan yang bisa ditempuh orang yang melakukan ibadah haji seperti mencari waktu yang tidak ada desak-desakan.

Fatawawa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/102.

Via HijrahApp

MENGHAJIKAN SAUDARINYA YANG TELAH MATI

Pertanyaan ke455:
Lajnah Daimah ditanya: "Saya punya saudari kandung yang telah lama meninggal dunia dan saya ingin mengerjakan haji, umrah dan ziarah makam Rasulullah untuknya, apa hukum perbuatan tersebut?"

Jawaban:
Apabila saudarimu tersebut sudah mukallaf, boleh bagi anda untuk menghajikan dan mengumrahkan dengan syarat anda telah mengerjakan haji dan umrah. Adapun ziarah makam Rasul tidak diperbolehkan sebab dilarang ziarah kubur dengan sengaja mempersiapkan kendaraan. Oleh sebab itu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

"Janganlah kalian mengadakan ziarah berkendaraan melainkan ke tigamasjid; Masjidil Haram, Masjidil Aqsa dan Masjidku ini."

Ziarah berkendaraan hanya boleh ke tiga tempat tersebut. Dan ziarah makam Rasulvmasuk ke dalam bagian ziarah Masjid Nabi, maka dibolehkan sekaligus berziarah pada kedua sahabatnya dan hal yang demikian tidak mungkin diwakilkan.

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal. 55 no. 7790.

Via HijrahApp

MENGHAJIKAN WANITA YANG BELUM NIKAH

Pertanyaan ke456:
Lajnah Daimah ditanya: "Saya mempunyai saudara perempuan yang telah meninggal yang berumur kurang lebih 25 tahun dan belum menikah. Dia meninggal lima tahun sebelum ayahnya dan saya telah bertanya kepada para ulama apakah dia sudah berkewajiban haji atau tidak?

Mereka menjawab: 'Tidak", sebab diameninggal sebelum ayahnya dan belum juga menikah, sementara tidak menikah atas kemauan sendiri. Saya berharap dari syaikh memberi penjelasan yang baik buat saya?"

Jawaban:
Apabila keadaannya seperti yang anda jelaskan, maka anda tidak wajib menghajikan, tetapi dibolehkan bagi anda menghajikannya secara sukarela dan sunnah. Akan tetapi jika ia memiliki harta warisan yang cukup untuk haji, maka ia wajib dihajikan dan harta tersebut disisihkan sebelum pembagian warisan.

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal. 55-56 no. 6528.

Via HijrahApp

ORANG SYIAH MENGHAJIKAN ORANG AHLI SUNNAH

Pertanyaan ke459:

Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Seorang laki-laki syiah Ja'fariyah ingin menghajikan seorang wanita ahli sunnah yang telah meninggal dunia, apakah haji tersebut diterima dan sempurna seperti jika dikerjakan sendiri dan apa pahala bagi orang yang menghajikannya?"

Jawaban:
Seseorang boleh menghajikan orang yang telah meninggal berdasarkan hadits yang diriwajatkan oleh Al-Bukhari di dalam bab "Seorang YangMeninggal Mempunyai Tanggungan Nazar Haji". Dan Ibnu Abbas berkata bahwa seseorang datang kepada Rasulullah lalu bertanya: "Sesungguhnya saudara perempuankutelah meninggal dan bernazar untuk haji?" Nabi menjawab:

"Bukankah jikadia memiliki utang engkau harus membayarnya? "

la berkata: "Ya".Beliau bersabda:

"Bayarlah hak Allah sebab hakNya lebih utama untuk dipenuhinya"

Disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhari satu bab tersendiri yaitu Bab Haji danNazar. Adapun bolehnya orang laki-laki menghajikan wanita berdasarkan dalil dari riwayat Ibnu Abbas bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan bertanya: "Sesungguhnya ibuku bernazar untuk haji danmeninggal sebelum melaksanakannya, apakah saya boleh menghajikannya? Beliau bersabda:

"Ya, hajikanlah, bukankah jika ibumu memiliki utang engkau akan membayarkannya?

la berkata:"Ya". Beliau bersabda:

"Bayarlah hutang Allah, sebab utangNya lebih berhak untukdibayarkan".

Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya menyimpulkan bahwa yang dimaksud lafazh: "Uqdhu" adalah mencakup laki-laki dan perempuan. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama tentang dibolehkannya seorang laki-laki menghajikan perempuan dan seorang perempuan menghajikan laki-laki. Dan di dalam masalah ini yang berbeda pendapat hanyalah Hasan bin Shalih.

Tidak diperbolehkan orang syiah menghajikan orang ahli sunnah, karena adabeberapa syarat yang tidak terpenuhi seperti adil. Al' Alamah Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Fatawa Kubra menyebutkan bahwa wajib bagi setiap wali menyewa orang yang adil dan bersikap hati-hati untukmenghajikan keluarganya yang telah meninggal sebab orang yang tidak terpercaya tidak mungkin menghajikan orang lain walaupun disaksikan.

Sebab masalah niat adalahurusan hati yang tidak diketahui manusia, kemudian di akhir makalahnya Al-Haitsami berkata: 'Tidak ada perbedaan dalam menyewa orang untuk mengerjakan haji wajib atau sunnah sebagaimana menggantikan hajinya anak kecil. Sebab walaupun hukumnya sunnah tetapi dalam melaksanakannya dihukumi wajib karena ada wasiatnya.

Dan pekerjaan apa saja yang pelaksanaannya bersifat wajib, maka tidak boleh diserahkan kepada orang yang fasiq. Sebab ciri utama orang fasiq adalah tidakamanah sedangkan dalam pekerjaan seperti ini sangat dibutuhkan sifat amanah karena berhubungan niat dan sangat sulit mengetahui isi hati orang. Orang yangdiwasiati saja dilarang apalagi orang lain. Berdasarkan dalil-dalil yang shahih maka orang yang dihajikan akan mendapatkan pahala secara sempurna. Rasulullah pernah bersabda kepada sebagian sahabat:

"Hajikanlah bapak kamu"

Dan juga bersabda kepada perempuan:

"Hajikanlah ibu kamu"

Berdasarkan hadits-hadits di atas bahwa mayyit mendapatkan pahala dari ibadahhaji yang diwakilkan. Dan Ibnu Qayyim membantah secara tuntas terhadap orang yang mengatakan bahwa mayyit hanya mendapatkan pahala infaq. Adapun orang yang menghajikan tetap akan mendapatkan pahala bila dilakukan dengan ikhlas. Olehsebab itu Abu Daud meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau ditanya seorang laki-laki: "Saya ingin menghajikan ibu saya, apakah saya mendapatkanpahala dari haji tersebut".

Inilah kesimpulan dari hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Ausathdari Abu Hurairah bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Barangsiapa yang menghajikan mayit maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang dihajikan, barangsiapa yang memberi makan orang berbukapuasa maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang puasa dan barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya".

Dan apabila seseorang disewa untuk menghajikan orang lain, maka dalam kitabFatawa Kubra Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata: "Barangsiapa yang disewa untuk menghajikan orang lain atau semisalnya, jika hanya untuk mendapatkan upah dan tidak mau melaksanakan tugas tersebut bila tidak ada upahnya, maka orangtersebut tidak mendapatkan pahala, dan jika tujuan utama untuk mendapatkan pahala, maka akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya."

Dalam Ihktiyaraat Ibnu Taimiyah yang dikumpulkan Al-'Allamah Al-Ba'li beliauberfatwa: "Dianjurkan bagi orang yang disewa untuk menghajikan orang lain agar tidak menjadikan upah sebagai tujuan utama. Apabila tujuannya untuk ibadah, maka akan mendapatkan materi sekaligus kebaikan. Orang yang menjadikan agama sebagai tujuan dan dunia sebagai sarana berbeda dengan orang yang menjadikan agama sebagai sarana dan dunia sebagai tujuan.

Orang yang menjadikan agama sebagaisarana dan dunia sebagai tujuan tidak akan mendapatkan pahala dan keuntungan akhirat. Apabila amal kebaikan yang bernilaikan taqarrub tidak boleh dijadikan sebagai amalan biasa, maka tidak diperbolehkan mengambil upah, sebab jika dikerjakan dengan dasar imbalan, maka bukan lagi disebut amalan taqarrub.

Setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya dan Allah tidak akan menerima amal kebaikan melainkan dikerjakan hanya mencari ridha Allah. Tetapi jika kita mengikutipendapat dibolehkannya mengambil upah dari amal perbuatan taqarrub, berarti perbuatan tersebut berubah menjadi amalan biasa. Dan beliau berkata: "Bolehmengambil upah dari amalan yang bersifat taqarrub demi kemaslahatan orang yang disewa".

Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/202-205.

Via HijrahApp

PAKAIAN IHRAM WANITA DAN HUKUM MENGENAKAN CADAR DAN SARUNG TANGAN

Pertanyaan ke420:
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin ditanya: "Apakah boleh bagi wanita mengganti pakaian kapan saja dan apakah ada pakaian ihram khusus bagi wanita,dan apa hukumnya mengenakan cadar dan sarung tangan di saat ihram'?

Jawaban:
Boleh bagi wanita berganti pakaian ihram kapan saja, dengan syarat pakaian tersebut tidak menampakkan hiasan dan keindahannya dihadapan laki-laki lain.Dengan demikian, maka setiap saat wanita dibolehkan berganti pakaian.

Dan tidakada pakaian khusus bagi wanita yang harus dikenakan tatkala sedang ihram, bahkan segala macam pakaian boleh dipakai kecuali cadar dan sarung tangan. Adapun bagikaum laki-laki ada pakaian ihram khusus yaitu selendang dan sarung dan tidak boleh memakai gamis, celana, surban, gamis yang ada penutup kepalanya (bumus) dan sepatu. Dan hanya dibolehkan mengganti sarung dan selendang dengan sejenisnya.

Fatawal Haj Lil Syaikh Utsaimin, hal.11.

Via HijrahApp

PERGI HAJI HANYA DITEMANI WANITA YANG DIPERCAYA

Pertanyaanke384:
Syaikh Ibrahim ditanya: "Tentang hajinya wanita yang hanya didampingi wanita yang dipercaya saja?"

Jawaban:
Ini hanya sekedar pendapat sebagian para ulama dan setiap ketetapan hukum tergantung dari kondisinya. Pada kondisi sekarang yang serba rusak, tidak bijak jika pendapat ini diterapkan, apalagi wanita suka tergoda dan kehilangan kontrol apabila digoda oleh seorang laki-laki, tidak bisa tegas karena sedikitnya pemahaman agama.

Akan tetapi jika jaraknya dekat maka sebagian ulamamembolehkannya berdasarkan riwayat perginya istri Zubair ke tempat ujung kota Madinah, dasar inilah yang dipakai oleh sebagian ulama dalam membolehkan hal tersebut dan hukum ini bisa berbeda sesuai dengan berbedaaan negara, tempat dan kondisi serta sikap wanita sendiri dalam menjaga dirinya.

Karenaterkadang wanita diculik di jalan atau ditipu sehingga keluar dari rumah baik dengan tipudaya atau bisa saja dengan rayuan.

Fatwa dan Risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/198-199.

Via HijrahApp

PUASA DI JEDDAH LALU BERIHRAM HAJI TANGGAL DELAPAN

Pertanyaan ke395:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Saya berpuasa Ramadhan di Jeddah dan tatkala masuk tanggal delapan Dzulhijjjah saya melakukan ihram haji dari Jeddah dan saya melaksanakan ibadah haji dengan sempurna, apakah saya harus membayar fidyah?"

Jawaban:
Tidak ada kewajiban membayar fidyah dan juga orang yang mengerjakan amal serupa seperti anda.

Fatawa ar Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/220.

Via HijrahApp

RAMBUT KEPALA RONTOK DENGAN SENDIRINYA

Pertanyaan ke418:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: "Apa yang harus dilakukan bagi seorang wanita yang sedang ihram apabila rambutnya rontok dengan sendirinya?"

Jawaban:
Apabila rambut seseorang rontok baik laki-laki ataupun wanita ketika mengusap kepalanya di waktu wudhu atau ketika mencucinya maka tidak terkena denda, begitu juga bagi seseorang yang rambut, jenggot,kumis atau kukunya terjatuh tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak terkena denda apapun. Yang dilarang adalahapabila sengaja dirontokkan. Jika rontok dengan sendirinya, maka tidak adadenda apapun.

Fatawa Da'wah Syaikh bin Baz 1/129.

Via HijrahApp

SEORANG WANITA KAYA BELUM HAJI

Pertanyaan ke452:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Bibi saya seorang yang kayadan selama hidupnya belum pemah melaksanakan haji, apakah ia wajib dihajikandengan harta peninggalannya, ataukah disedekahkan hartanya untuk hajinya?"

Jawaban:
Wajib dihajikan dari hartanya atau disedekahkan hartanya untuk hajinya.

Fatawa wa RasaailSyaikh Muhammad bin Ibrahim, 192.

Via HijrahApp

SEORANG WANITA MENDATANGKAN IBUNYA UNTUK DIAJAK PERGI HAJI

Pertanyaan ke392:
Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya: Seorang wanita bertanya: "Ibu saya ada di Maroko sedangkan saya bekerja di Saudi Arabia, saya ingin mendatangkannya ke Saudi untuk mendampingi saya dalam menunaikan haji, akan tetapi ia tidak memiliki mahram karena bapak saya telah wafat, sementara saudara-saudara saya tidak mampu menunaikan haji, apakah boleh ia datang sendirian ke Saudi dan haji bersama saya?"

Jawaban:
Tidak boleh baginya datang sendirian walaupun untuk menunaikan ibadah haji, karena Rasulullah bersabda:

"Tidak boleh bagi wanita bepergian kecuali bersama mahramnya".

Inidiucapkan Rasulullah صلی الله عليه وسلم tatkala ia sedang khutbah, Lalu seorang berdiri dan bertanya: 'Ya Rasulullah. sesungguhnya istriku akan pergi menunaikan haji, sementara saya telah mendaftarkan diri dalam suatu peperangan. Lalu Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Pergilahdan berhajilah bersama istrimul"

Seorang wanita bila tidak mendapatkan mahram, maka gugurlah kewajiban haji darinya, mungkin iatermasuk tidak mampu untuk pergi ke Makkah dan alasan tersebut dibenarkan oleh syariat. Kalau memang tidak mampu menunaikannya hingga ia meninggal, maka boleh dihajikan atas biaya dari harta warisannya. Kesimpulannya, jika wanita meninggal dunia belum menunaikan haji dikarenakan tidak adanya mahram, maka ia tidak berdosa, sebab ia dianggap tidak mampu Allah aza wajalla berfirman:

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97).

Fatawa Nurun ala darb lil Syaikh Utsaimin, 1/29-30.

Via HijrahApp

SEORANG WANITA MENGALAMI HAID DAN SUCI YANG MERAGUKAN

Pertanyaan ke430:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: Seorang wanita pergi haji setelah lima hari, keluar darah haid. Pada saat sampai di miqat wanita tersebut mandi dan niat ihram dalam keadaan haid. Dan setelah sampai di Makkah tidak melakukan manasik apapun.

Setelah tinggal selama dua hari di Mina ia pun suci lalu mandi dan menyelesaikanseluruh manasik umrah dalam keadaan suci. Ternyata darah tersebut keluar lagi pada saat melakukan thawaf ifadhah, tetapi karena malu iapun terns mengerjakan manasik haji dan tidak memberi tahu walinya kecuali setelah sampai di rumah. Apa hukumnya?.

Jawaban:
Apabila darah yang keluar pada saat thawaf ifadhah bisa diketahui secara pasti bahwa darah tersebut adalah haid, maka thawaf ifadhah tersebut tidak sah. Dan wajib kembali ke Makkah untuk mengulangi thawaf ifadhah. Caranya Ihram dari miqat dengan niat umrah, setelah sampai di Makkah menuju ke Baitullah lalu mengerjakan thawaf, sa'i dan menggunting rambut lalu
dilanjutkan thawaf ifadhah.

Apabila darah tersebut bukan darah haid akan tetapidarah yang keluar akibat kelelahan atau yang lainnya, maka thawafnya sah menurut ulama yang tidak mensyariatkan thawaf dalam keadaan suci dari hadats kecil.

Mengenai masalah yang pertama, yaitu wanita yang wajib kembali ke Makkah untukmengulangi thawaf ifadhah karena dulu thawaf dalam keadaan haid; jika wanita tersebut tidak mungkin kembali ke Makkah karena negaranya sangat jauh, maka hajinya dianggap sah sebab dia tidak mampu melakukan lebih dari itu.

Fatawa Haj Syaikh AHJtsamln, 44-45 dan 52 Sualan An Ahkamil Haidh, hal 38.

via hijrahapp

SEORANG WANITA PERGI HAJI TANPA MAHRAMNYA

Pertanyaanke379:
Lajnah Daimah Lil Ifta' ditanya: "Apakah boleh wanita menunaikan haji dengan hanya didampingi wanita yang dipercaya, bila wanita tersebut tidak mendapatkan mahram, misalnya bapaknya telah wafat apakah cukup ibunya, bibinya atau siapa saja menjadi mahram baginya dalam menunaikan ibadah haji?"

Jawaban:
Tidak boleh wanita menunaikan ibadah haji hanya didampingi oleh wanita walaupun bibi atau ibunya atau laki-laki bukan mahramnya tetapi harus ditemani oleh suaminya atau laki-laki yang masih ada hubungan mahram, jika tidak mendapatkan mahram yang menjadi pendampingnya, maka tidak berkewajiban menunaikan ibadah haji, karena ia dianggap tidak mampu. Berdasarkan firman Allah:

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi)orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97).’

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal: 91 no. 4909.

Via HijrahApp

SUAMI MENGHAJIKAN ISTRI YANG MASIH HIDUP

Pertanyaan ke458:
Lajnah Daimah ditanya: "Apakah boleh saya mengumrahkan istri sedangkan dia masih hidup?"

Jawaban:
Menghajikan atau mengumrahkan orang yang masih hidup harus dijelaskan secara rinci, jika untuk umrah atau haji wajib, tidak dibolehkan kecuali yang bersangkutan tidak mampu sama sekali. Mungkin disebabkan jompo atau sakit menahun sehingga tidak mampu menunaikan haji atau umrah. Jika seseorang dalam kondisi demikian, maka boleh mewakilkan kepada orang lain untuk menghajikannya, karena sudah tidak sanggup untuk melaksankan haji sendiri.

Tetapi jika masih ada harapan untuk bisa melaksanakan sendiri, maka tidak bolehmewakilkan haji dan umrah tersebut. Mengenai haji dan umrah yang sunnah, pelaksanaannya lebih longgar, tetapi apabila mampu lebih baik dikerjakan sendiri bahkan jika mampu sebagian ulama menyatakan wajib dilaksanakan sendiri walaupun haji tersebut sunnah.

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal. 333 no. 2252.

Via HijrahApp

THAWAF IFADHAH DIGANTI DENGAN THAWAF WADA’

Pertanyaan ke411:
Lajnah Daimah ditanya: "Apakah boleh thawaf wada' dibuat mengganti thawaf ifadhah bagi orang yang belum melakukan thawaf ifadhah? Dan apakah cukup thawaf sekali saja atau harus duakali thawaf yaitu empat belas kali putaran yang setiap thawaf ada niat tersendiri?”

Jawaban:
Apabila seseorang belum thawaf ifadhah hingga hendak meninggalkan Makkah, maka boleh dia mencukupkan diri dengan thawaf ifadhah tanpa thawaf wada', meskipun setelah itu melakukan sa'i seperti orang yang sedang melakukan haji tamattu'. Dan apabila ia melakukan thawaf dua kali, itu lebih baik dan utama.

Fatawa Lajnah Daimah llllfta; Juz HI hal. 300 no. 7141.

Via HijrahApp

THAWAF WADA GUGUR DARI WANITA HAID

Pertanyaan ke445:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Jika wanita haid kesulitan melaksanakan thawaf wada', apakah thawaf tersebut gugur darinya?"

Jawaban:
Secara mutlak tidak gugur begitu saja, apalagi kondisi sekarang segala sesuatu sangat mudah, maka tidak boleh kita memberi fatwa sebelum benar-benar tahukondisi dan keadaan. Seperti penduduk Nejed, tidak ada kesulitan bagi mereka untuk tinggal di Makkah selama seminggu, karena bukan negara asing danmenakutkan. Yang menjadi masalah adalah apabila kondisinya seperti masa lalu. Adapun penduduk lain yang jauh tempat tinggalnya, mungkin gugur dan mungkin tidak.

Fatawa wa Rasaall Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/124.

Via HijrahApp

WAKIL DALAM MELEMPAR JUMRAH

Pertanyaan ke409:
Lajnah Daimah ditanya: "Seorang Laki-Laki menunaikan ibadah haji dengan disertai kaum wanita yang masih muda.

Sementara berdesakan menyulitkanmereka apalagi penuh dan padat pada pelaksanaan haji adalah suatu hal yang biasa terjadi, sementara bila para wanita tersebut memaksa menerobos, makakhawatir jatuh dan mati, apakah boleh mewakilkan melempar jumrah kepada laki-laki yang merupakan kerabat mereka? Dan apakah boleh mereka melemparjumrah aqabah sebelum terbit matahari pada hari raya dan sisanya diwakilkan kepadanya dan dilakukan pelemparan setelah tergelincir matahari?"

Jawaban:
Barang siapa yang tidak mampu melempar jumrah, maka ia boleh mewakilkan kepada orang lain baik jumrah aqabah atau yang lainnya. Dan hendaknya mencari orang yang bisa dipercaya yang telah menunaikan ibadah haji saat itu juga. Bagi wanita remaja boleh wakil kepada orang lain, jika ia takut berdesak-desakan dengan laki-laki.

Dan boleh bagi wanita melempar jumrah aqabah di akhir malam padamalam hari raya idul adha atau sebelum terbit matahari di pagi hari raya idul adha karena Nabi member! rukhsah (dispensasi) bagi orang-orang yang lemah.

Fatawa Lajnah Daimah, 11 hal. 286 no. 3774.

Via HijrahApp

WANITA BERIHRAM DARI MIQAT SEBELUM SUCI

Pertanyaan ke426:
Syaikh Abdul Aziz ditanya: "Seorang wanita melaksanakan ibadah haji, setelah sampai di miqat datang haid, namun wanita tersebut tetap melakukan ihram, setelah sampai di Makkah dia tidak masuk ke Masjidil Haram dan tidak melakukan manasik apapun, dan dia diam selama dua hari di Mina kemudian ia suci dan mandi lalu wanita tersebut melaksanakan semua manasik umrah.

Kemudian pada waktu thawaf ifadhah untuk haji keluar darah lagi,karena malu ia pun melanjutkan manasik haji dan tidak memberitahukan hal tersebut kepada wali kecuali setelah sampai di rumah. Apa hukum hajinya?"

Jawaban:
Apabila kejadiannya seperti yang disebutkan, maka wanita tersebut harus kembali ke Makkah dan melakukan thawaf tujuh kali dengan niat thawaf haji sebagai pengganti thawaf yang dilakukan dalam keadaan haid, lalu shalat dua rakaat di belakang Makam Ibrahim atau di tempat mana saja di sekitar Masjidil Haram.

Dengandemikian ia telah menyempumakan ibadah haji, dan jika ia dicampuri suaminya, maka wajib menyembelih dam dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin, karena wanita yang sedang ihram tidak boleh dicampuri kecuali telah menyelesaikan thawaf ifadhah, melempar jumrah (aqabah) pada hari raya dan menggunting rambut.

Dan jika melakukan haji tamattu'sementara belum sa'i, makahendaknya melakukan sa'i. Adapun jika melakukan haji ifrad atau qiran tidah perlu sa'i lagi, apabila dahulu telah melakukan sa'i bersama thawaf qudum. Dan harus bertaubat kepada Allah karena ia melakukan thawaf pada waktu haid dan keluar dari Makkah sebelum menyelesaikan thawaf. Semoga Allah menerima taubatnya dari mengakhirkan thawaf dalam waktu yang sangat lama.

Fatawa Dakwah li Syaikh bin Baz, 1/136

Via HijrahApp

WANITA DALAM KEADAAN HAID MENGERJAKAN THAWAF, SA'I DAN SHALAT

Pertanyaan ke431:
Syaikh Muhammad bin Al-Utsaimin ditanya: "Saya mengerjakan haji dalam keadaan haid karena malu hal tersebut tidak saya beritahukan kepada siapapun, lalu saya mengerjakan shalat, thawaf dan sa'i. Apa yang harus saya lakukan, sementara haid tersebut datang setelah nifas?"

Jawaban:
Wanita yang sedang haid atau nifas tidak boleh mengerjakan shalat baik di Makkah atau di luar Makkah berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم -

"Bukankah wanita tatkalasedang haid tidak boleh shalat dan puasa!"

Umat Islam sepakat bahwa wanita haid dilarang mengerjakan shalat dan puasa.Bagi wanita yang melakukan perbuatan tersebut hendaknya bertaubat kepada Allah dan beristighfar. Dan tidak sah thawaf yang dilakukan di saat haid, sementara sa'inya dianggap sah, sebab menurut pendapat yang kuat bahwa boleh mengerjakan sa'i sebelum thawaf. Dan dia harus mengulangi thawaf ifadhah karena thawaf tersebut termasuk rukun haji dan tahallul tsani (kedua) tidak sempuraa selagi belum melakukannya.

Selagi wanita tersebut belum menyelesaikan thawaf ifadhah, maka tidak boleh digaulioleh suaminya dan jika belum nikah, maka tidak boleh melakukan akad nikah hingga menyelesaikan thawaf tersebut.

52 Sualan 'An Ahkamil Haidh, hal 46.

Via HijrahApp

WANITA DALAM KONDISI HAID DAN NIFAS

Pertanyaan ke428:
Syaikh Al-Utsaimin Ditanya: "Seorang wanita telah niat ihram, namun ia sedang dalam keadaan haid atau nifas, apa yang harus dikerjakan? Dan apa hukumnya jika datang haid setelah ihram atau setelah melakukan thawaf?"

Jawaban:
Apabila seorang wanita hendak mengerjakan haji atau umrah kemudian melewati miqat dalam keadaan haid ataunifas, maka wanita tersebut harus mengerjakan apa saja yang dikerjakan wanita yang sedang suci yaitu mandi dan niat ihram namun dia harus mengenakan pembaiutagar darah tidak berceceran. Setelah suci dia harus segera pergi ke Baitullah untuk mengerjakan thawaf dan sa'i dan menggunting rambut.

Dengan demikian ibadah umrah telahsempurna. Dan jika datang haid atau nifas setelah melakukan ihram maka dia tetap dalam keadaan ihramnya hingga suci, kemudian melaksanakan thawaf dan sa'i yang dilanjutkan dengan menggunting rambut. Dan bila datang haid setelah melakukanthawaf maka dia boleh menyelesaikan umrah, karena pelaksanaan semua manasik setelah thawaf tidak disyaratkan suci dari hadats ataupun haid.

Al-Fatawa Makkiyah Syaikh Utsaimin, hal 19.

Via HijrahApp

WANITA DATANG HAID PADA HARI ARAFAH

Pertanyaan ke449:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Jika wanita datang haid pada hari Arafah, apa yang harus dia lakukan?"

Jawaban:
Apabila wanita datang haid di hari Arafah ia terus melanjutkan manasik hajinya seperti jamaah haji lainnya namuntidak boleh thawaf hingga ia telah suci.

52 Soal an Ahkamil haidh Li Syaikh Utsaimin, hal. 47.

Via HijrahApp

WANITA DATANG HAID DI SAAT MELAKSANAKAN HAJI

Pertanyaan ke433:
Lajnah Daimah ditanya: "Apabila seorang wanita datang haid di saat menunaikan ibadah haji, apakah hajinya sah?"

Jawaban:
Apabila seorang wanita datang haid di saat melaksanakan haji, maka hendaknya ia terus menyempurnakan manasik haji kecuali thawaf dan sa'i, karenatidak boleh bagi wanita melakukan thawaf dan sa'i hingga ia suci. Jika telah suci maka dia mandi terus thawaf dan sa'i. Dan jika datang haid setelahmenyelesaikan seluruh manasik haji kecuali thawaf wada, maka ia boleh pergi dan tidak perlu melakukan thawaf wada' karena wanita haid tidak diwajibkan thawaf wada' dan hajinya sah.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi dan Abi Daud bahwaRasulullah bersabda:

"Wanita yang sedang haid dan nifas apabila melewati miqat hendaknyamandi, berihram dan menyelesaikan seluruh manasik haji kecuali thawaf di Baitullah".

Dalam hadits shahih disebutkan bahwa tatkala Aisyah haid sebelum melaksanakanmanasik umrah, maka Rasulullah صلی الله عليه وسلم menyuruh untuk berihram haji dan mengerjakan seluruh manasik kecuali thawaf hingga suci. Al-Bukhari meriwayatkan dari Aisyah bahwa tatkala Sofiyah istri Nabi sedang haid, beliau bersabda:

"Adakah ia menahan kita?

Mereka menjawab: "la telah thawaf ifadhah". Maka beliau bersabda:

"Jika begitu, maka ia tidak menahan".

Dandalam riwayat lain Aisyah berkata: "Sofiyah kedatangan haid setelah thawaf ifadhah, dan saya menyampaikan hal itu kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan beliau bersabda:

"Adakah iamenahan kita?".

Saya berkata: "Wahai Rasulullah dia haid setelah selesai thawaf ifadhah". Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

"Jikalau begitu hendaknya berangkat semuanya"

Syaikh Utsaimin menjawab pertanyaan yang sama dengan pertanyaan ini antaralain: Pertanyaan seperti ini tidak mungkin dijawab sebelum kita ketahui kapan haid itu datang, karena sebagian manasik haji bisa dikerjakan walaupun sedang haiddan sebagian yang lainnya tidak boleh dikerjakan bila wanita sedang haid seperti thawaf. Tidak mungkin thawaf dilakukan kecuali dalam kondisi suci dan selainthawaf boleh dilaksanakan oleh wanita haid.

Fatawal haj Syaikh utsaimin 45 wa 52 Soalan Ahkamil Haidh, hal 39.

Via HijrahApp

WANITA DIHAJIKAN KARENA TIDAK MAMPU NAIK KENDARAAN

Pertanyaan ke462:
Lajnah Daimah ditanya: "Seorang laki-laki memiliki ibu tua renta yang berumur kurang lebih tujuh puluh tahun dan tidak mungkin naik kendaraan walaupun jarak dekat, apabila dipaksa naik kendaraan akan berakibat lemahnya kesadaran. Padahal ia belum melaksanakan haji, apakah boleh bagi saya untuk menghajikannya dari harta saya sebab saya adalah anak satusatunya?"

Jawaban:
Apabila kondisinya seperti yang saudara sebutkan, maka boleh bagi saudara menghajikan ibu saudara dengan biaya dariharta yang saudara miliki, bahkan suatu keharusan dalam rangka birrul walaidain karena dia tidak mampu menunaikan haji sendiri, namun boleh juga saudara menyuruh orang lain untuk menghajikannya.

Majallatul Buhuts wa Fatawa Lajnah, juz 13 hal. 73.

Via HijrahApp

WANITA HAID HARUS PERGI SEBELUM THAWAF IFADHAH TETAPI TIDAK BISA KEMBALI LAGI KE MAKKAH

Pertanyaan ke443:
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: "Apabila wanita datang haid setelah melempar jumrah dan sebelum thawaf ifadhah dan ia hams cepat pulangbersama suaminya berikut rombongan, sementara tidak mungkin dia kembali lagi ke Makkah, apa yang harus dia lakukan?"

Jawaban:
Apabila ia tidak mungkin kembali lagi, maka ia harus melakukan thawaf dan menjaga haid sebaik-baiknyakarena keadaan seperti ini termasuk darurat dan tidak berdosa jika ia menyelesaikan manasik hajinya.

52 Soal an ahkamil haidh, hal 47.

Via HijrahApp

WANITA HAID INGIN KEMBALI DAHULU KE JEDDAH SEMENTARA

Pertanyaan ke440:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Apabila serombongan wanita berdomisili di Jeddah hendak melakukan haji kemudian datang haid di tengah-tengah melaksanakan haji, apakah dibolehkan pulang sebentar ke Jeddah hingga suci, kemudian kembali ke Makkah untuk menyelesaikan manasik hajinya ataukah mereka harus tetap tinggal di Makkah hingga suci dan menyelesaikan semua manasik haji?"

Jawaban:
Tidak dibolehkan pergi dan singgah di Jeddah, bahkan ia harus tetap tinggal di Makkah hingga suci dan menyelesaikan semua manasik haji termasuk thawaf ifadhah dan thawaf wada', tapi thawaf ifadhah saja sudah mencukupi jika diniatkan ifadhah dan wada'.

Kemudian langsung kembali ke Jeddah setelah melakukan thawaf ifadhahkecuali jika masih kelelahan. Dan telah saya sampaikan bahwa wanita yang sedang haid hendaknya tetap tinggal di Makkah hingga suci sehingga melakukan thawaf ifadhah dan wada'.

Akan tetapi jika tinggal di Makkah mengalami kesulitan karena tempatnya sempitdan yang lainnya, maka ia boleh singgah ke Jeddah dan tetap dalam keadaan ihram artinya tidak boleh bersenggama dengan suaminya.

Setelah suci langsung kembali ke Makkah untuk melakukan thawaf ifadhah. Lebih baik jika ia ihram lagi dari Jeddah dengan niat umrah lalu thawaf, sa'i dan menggunting rambut. Setelah selesai dari umrah dilanjutkan dengan thawaf ifadhah.

Fatawa wa Rasaaii Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/61-62.

Via HijrahApp

WANITA HAID MELEWATI MIQAT DENGAN TIDAK IHRAM

Pertanyaan ke396:
Syaikh AAuhammad Al-Utsaimin ditanya: "Saya pergi untuk menunaikan umrah, dan saya melalui Miqat dalam keadaan haid, maka saya pun tidak berihram hingga berada di Makkah, setelah suci lalu saya melakukan ihram dari Makkah. Apakah hal ini diperbolehkan dan sebaiknya apa yang harus saya kerjakan?"

Jawaban:
Amal tersebut tidak boleh, karena bagi siapa saja yang hendak umrah tidak boleh melewati miqat kecuali harus berihram meskipun ia sedang haid, karena boleh bagi wanita haid melakukan ihram dan dianggap sah berdasarkan sebuah riwayat bahwa Asma' binti Umais istri Abu Bakar melahirkan dan Nabi berada di Dzulhulaifah hendak berangkat menunaikan haji Wada', lalu Asma' bertanya kepada Nabi apa yang harus ia perbuat, beliau bersabda:

"Mandilah dan balutlah dengan kain lalu ihramlah"

Darah nifas hukumnya sebagaimana darah haid, maka kepada wanita yang haid atau nifaskita perintahkan: "Mandi dan balutlah lalu berihramlah". Yang dimaksud membalut adalah membalut vaginanya dengan kain atau yang lainnya lalu melakukan ihram baik untuk haji ataupun umrah, tetapi setelah sampai di Makkah tidak boleh masuk Baitullah dan tidak boleh melakukan thawaf hingga suci.

Oleh sebab itu Nabi menyarankan kepada Aisyah tatkala haid di tengah-tengah melaksanakan umrah:

"Kerjakanlah apa saja yang dikerjakan oleh orang yang haji asalkan jangan thawaf di Baitullah sehingga kamu suci".

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dan dalam Shahih Al-Bukharijuga disebutkan bahwa tatkala Aisyah رضى الله عنها suci beliau melakukan thawaf dan sa'i. Ini menjadi dalil bahwa wanita yang sudah ihram untuk haji atau umrah sedang dia dalam keadaan haid atau wanita tersebut haid sebelum menunaikan thawaf maka ia tidak boleh thawaf dan sa'i hingga ia suci dan mandi.

Apabila ia haid setelah thawaf, maka ia terus melanjutkan manasik sa'i walaupunia sedang haid lalu ia menggunting rambutnya dan menyelesaikan umrahnya, karena sa'i antara Shafa dan Marwah tidak disyaratkan dalam keadaan suci.

52 Sualan an Ahkamil Haid Syaikh Al-Utsaimin, 42-44.

Via HijrahAp

WANITA HAID SEMENTARA MAHRAMNYA HARUS PULANG

Pertanyaan ke434:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Wanita sedang haid dan mahramnya terpaksa harus pulang, sementara tidak seorang pun yang mungkin menjadi mahramnya?"

Jawaban:
Jika ia tinggal di Saudi maka ia pulang bersama mahramnya dan tetap dalam keadaan ihram kemudian setelah suci, ia kembali ke Makkah bersama mahramnya, sebab tidak sulit untuk kembali bagi orang yang daerahnya ada di Saudi, Apabila negerinya jauh dan susah untuk kembali lagi ke Makkah, dalam kondisi seperti ini boleh baginya melanjutkan manasik haji dari mulai thawaf, sa'i hinggamenggunting rambut, sebab thawaf dalam kondisi demikian termasuk darurat dan setiap yang darurat membolehkan segala yang dilarang.

Fatawal haj Syaikh Utsaimin 45 wa 52 Soal an ahkamil haidh, hal 39.

Via HijrahApp

WANITA HAID SETELAH IHRAM UMRAH LALU TAHALLUL

Pertanyaan ke451:
Lajnah Daimah ditanya: Seorang wanita telah niat ihram umrah lalu datang haid sebelum thawaf dan sa'i, kemudian ia bertahallul dan pulang ke rumahnya,apakah hal tersebut dibenarkan, dan jika dia tidak bertahallul apakah terkena denda?

Jawaban:
Barangsiapa niat ihram umrah lalu datang haid kemudian bertahallul sebelum thawaf dan sa'i dikarenakan tidak mengerti, sementara suaminya belum menggaulinya, maka harus menyempumakan umrahnya setelah suci dari haidnya, artinya setelah haid terhenti mandi seperti mandijunub lalu mengerjakan thawaf dan sa'i, kemudian bertahallul dengan menggunting rambut dan tidak ada kewajiban selain itu.

Apabila suaminya telah menggaulinyabatallah umrahnya dan ia harus menyempumakan umrahnya dengan thawaf, sa'i dan memotong rambutnya dan disamping itu dia wajib menqadha umrahnya itu dengan umrah lain, artinya berihram dari miqat yang pertama dululalu mengerjakan thawaf, sa'i dan menggunting rambutnya.

Dan dia harus membayardenda dengan menyembelih domba berumur enam bulan atau kambing berumur satu tahun atau lebih dan disembelih di Makkah lalu dagingnya dibagikan kepada fakirmiskin sekitar tanah haram. Jika ia belum tahallul sama sekali dari umrahnya, maka ia boleh melanjutkan thawaf, sa’i dan bertahallul dengan menggunting sebagian rambutnya karena dalam keadaan apapun haid tidak membatalkan dan mengganggu ibadah umrah.

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal. 333 no. 2252.

Via HijrahApp

WANITA HAID SHALAT DUA RAKAAT IHRAM

Pertanyaan ke437:
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: "Bagaimana hukumnya wanita yang sedang haid melaksanakan shalat dua rakaat ihram dan apakah dibolehkan bagi wanita haid membaca ayat-ayat dzikir di dalam hati?"

Jawaban:
Pertama, kita harus tahu bahwa tidak ada shalat khusus untuk ihram dan tidak ada sedikitpun riwayat dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan.

Kedua, wanita yang datang haid sebelum ihram boleh melakukan ihram, sebab Nabimemerintahkan Asma' binti Umais istri Abu Bakar tatkala ia nifas di Dzul Hulaifah diperintahkan untuk mandi dan kemudian melakukan ihram. Demikian pula wanita yang haid. Setelah suci ia menyelesaikan thawaf dan sa'inya.

Adapun pertanyaan: "Apakah boleh bagi dia membaca Al-Qur'an?"Jawabnya: "Ya, boleh baginya membaca Al-Qur'an asalkan ada maslahat dan kebutuhan. Apabila tidak ada keperluan dan kemaslahatannya, maka lebih baik tidak membaca".

Fatawal HaJ Syaikh Utsaimin 44 wa 52 Soal an ahkamil haidh, hal 37.

Via HijrahApp

WANITA HAID TERPAKSA MENINGGALKAN MAKKAH SEBELUM THAWAF IFADHAH

Pertanyaan ke439:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Seorang wanita haji bersama mahramnya dan telah menyelesaikan semua manasik haji kecuali thawaf ifadhah, lalu ia terpaksa pulang bersama rombongannya sebelum thawaf ifadhah, apa sebaiknya yang harus dilakukan?"

Jawaban:
Dia dilarang melakukan apa saja yang menjadi larangan setelah tahallul awal dan dia harus menyelesaikan tahallul tsani (kedua), dilarang digauli dan semua faktor pendorongnya serta akad nikah.

Dandia wajib kembali ke Mekkah secepatnya di saat telah mampu. Dimulai dari miqat kemudian masuk Makkah untuk melaksanakan umrah setelah itu lang-sung thawaf ifadhah. Dengan demikian hajinya telah sempuma dan tidak ada denda apapun atas tindakan tersebut.

Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/62-63.

Via HijrahApp

WANITA HAIDTINGGAL DI JEDDAH SEBELUM THAWAF IFADHAH DANTHAWAF WADA' SETELAH SUCI DIGAULI SUAMINYA

Pertanyaan ke416:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Seorang wanita berihram haji bersama suaminya dari Jeddah, dan ia pun melakukan manasik haji namun setelah singgah di Makkah datang haid, maka ia pun pergi ke Jeddah lagi sebelum menunaikan thawaf ifadhah dan wada' dan tatkala suci suami mencampurinya sementara ia belum melakukan thawaf ifadhah dan wada?"

Jawaban:
Tidak selayaknya bagi wanita tersebut pergi ke Jeddah sebelum menyempurnakan manasik haji, bahkan sebaiknya tetap tinggal di Makkah hingga suci lalu menuntaskan manasik hajinya, berdasarkan hadits:

"Apakah menghalangi kami haid tersebut".

Tetapi tidak ada denda atasnya karena kepergiannya itu. Adapun suaminyamenggauli sebelum ia tahallul maka itu tidak halal karena belum thawaf ifadhah dan wada', maka wanita tersebut harus memilih sangsi di antara menyembelih kambing, atau puasa tiga hari, atau memberi makan enam orang miskin.

Dan ia harus kembali ke Makkah untukmelaksanakan umrah lagi, artinya ia berihram dari Jeddah lalu menuju ke Makkah, setelah itu pergi ke Baitullah untuk melakukan thawaf dan sa'i lalu menggunting rambut.

Setelah melaksanakan umrah ia harus thawaf ifadhah dan thawaf wada'. Apabila ia pergi keluar dari Makkah langsung setelah thawaf ifadhah maka ia tidak perlu lagi melakukan thawaf wada' (karena thawaf tersebut cukup menjadi pengganti thawaf wada').

Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/64-65.

Via HijrahApp

WANITA HAJI BERSAMA LELAKI YANG BUKAN MAHRAM

Pertanyaan ke390:
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: "Seorang wanita miskin pergi haji dengan ditemani laki-laki bukan mahramnya karena kerabatnya menolak untuk menjadi mahram, lalu ia berangkat bersama seorang lelaki dan dua perempuan, apakah sah hajinya?"

Jawaban:
Hajinya sah akan tetapi ia dianggap maksiat karena ia be-pergian tanpa disertai mahram dan dalil-dalil tentang hal tersebut cukup kuat. Oleh karena itu ia harus bertaubat kepada Allah aza wajalla dari perbuatan tersebut.

Fatawa Mar'ah, 47.

Via HijrahApp

WANITA HAJI DALAM MASA IDDAH

Pertanyaan ke450:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Apakah wanita yang sedang menjalani iddah wafat dan iddah bukan wafat dibolehkan menjalankan ibadah haji?"

Jawaban:
Bagi wanita yang sedang dalam iddah wafat tidak boleh melakukan haji karena dianggap tidak mampu sebab ia tidak boleh pergi keluar rumah sebelum habis masa iddah dan wajib menunggu di rumah berdasarkan firman Allah:

"Orang-orans yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkanistri-istri hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari". (Al-Baqarah: 234).

Jika wanita menjalani iddah selain wafat, berupa iddah dari talaq raj'iy iatidak boleh pergi melainkan seizin suaminya. Dan jika ada maslahatnya, dibolehkan bagi suami memberi izin berangkat haji bersama mahramnya.

Adapun wanita yang menjalani talaq bain harus tetap tinggal di rumahnya, akan tetapi bila bekas suaminya menyetujui pergi, maka ia dibolehkan keluar untuk haji. Sebab bekas suaminya masih punya hak atasnya selagi masa iddahnya belum habis.

Kesimpulannya, wanita yang menjalani iddah wafat harus tetap tinggal di rumahdan tidak keluar. Adapun wanita yang dalam keadaann iddah dari talaq raj'iy posisinya masih sebagaimana istri biasa, tergantung suaminya. Mengenai wanita yang menjalani iddah bain kondisinya agak lebih bebas daripada wanita talaq raj'iy akan tetapi bekas suaminya boleh saja menghalangi keluar karena menjaga kemaslahatan masa iddahnya.

Fatawal haj hal. 50 wa Durus wa Fatawal haram 3/156 Lil Syaikh Utsaimin.

 

Via HijrahApp

WANITA IHRAM BERSAMA SUAMINYA DALAM KEADAAN HAID DAN TATKALA LA TELAH SUCI, LA UMRAH SENDIRIAN

Pertanyaan ke427:
Syaikh Muhammad bin Shallh Al-Utsaimin ditanya: Seorang wanita sedang haid berihram bersama suaminya, dan setelah suci wanita tersebut melakukan umrah sendirian dan sehabis umrah darah pun keluar lagi, apakah harus mengulangi umrah lagi? Dan apakah dia berdosa masuk ke halaman masjidil Haram tatkala sedang haid?

Jawaban:
Boleh bagi wanita berihram dalam keadaan haid sebab tatkala Asma' binti Umais berada di Dzil Hulaifah bertanya kepada Rasulullah:'Wahai Rasulullah صلی الله عليه وسلم saya sedang nifas". Rasulullah صلی الله عليه وسلم menjawab:

"Mandi dan balutlahdengan kain lalu berihramlah."

Dan dia melakukan Ihram secara benar. Dan boleh seorang wanita melakukan umrah sendiri tanpa disertai mahrom, sebab masih berada di dalam kota. Akan tetapi keluar darah haid kembali membuat permasalahan baru. Jika wanita tersebut yakin bahwa benar-benar telah suci, maka dia berarti melakukan umrah secara sah.

Apabila wanita tersebut ragu-ragu, maka lebih baik mengulangi umrah. Ini bukan berarti harus kembali lagi ke miqat, tetapi cukup mengulangi thawaf, sa'i dan menggunting rambut saja.

Durus wa Fatawal Haram Al-Makky Syaikh Utsaimin, 3/235-236.

Via HijrahApp

WANITA INGIN HAJI DIDAMPINGI ANAK LAKI-LAKINYA YANG BELUM BALIGH

Pertanyaanke383:
Syaikh Ibrahim ditanya: "Perempuan ingin menunaikan haji dengan didampingi anaknya yang berumur tiga belas tahun bersama dengan seorang laki-laki dan keluarganya?"

Jawaban:
Dibolehkan bagi seorang wanita menunaikan haji bersama rombongan yang dimana ada didalamnya beberapa wanita yang dapat dipercaya apalagi ada anak laki-lakinya yang berumur tiga belas tahun, walaupun umur tersebut belum memenuhi syarat tetapi kekurangan syarat tersebut bisa tertutupi dengan beberapa wanita yang menemaninya.

Apalagi sebagian ulama membolehkanseorang wanita pergi haji hanya ditemani kaum wanita yang bisa dipercaya, sebagaimana yang saya sebutkan tadi.

Fatwa dan Risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/198.

Via HijrahApp

WANITA KELUAR DARI MUZDALIFAH

Pertanyaan ke405:
Syaikh Shalih Fauzan berfatwa: "Tentang hukumnya wanita keluar dari Muzdalifah bersama orang-orang yang lemah setelah terbenamnya bulan untuk kemudian melempar jumrah."

Jawaban:
Beliau berkata:" Boleh bagi wanita keluar dari Muzdalifah bersama orang-orang yang lemah setelah terbenamnya bulan, Lalu sesampainya di Mina ia melempar jumrah Aqabah, karena khawatir berdesak-desakan dengan laki-laki.

Dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwa dibolehkan mendahulukan orang-oranglemah dan wanita pergi ke Mina. Adapun mereka yang pemah melakukan demikian itu adalah Abdurahman bin Auf dan Aisyah dan pendapat ini diikuti oleh Atha', Tsaury, Imam Syafi'i, Abu Tsaur dan Ahlu Ra'yu. Tidak ada perbedaan di antara ulama dalam masalah ini, karena lebih sesuai dengan tuntutan kondisi dan lebih aman dari berdesak-desakan serta lebih tepat dengan sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم.

Imam Syaukani dalam kitab Nailul Author berkata: "Dalil-dalil sangatbanyak yang menunjukkan bahwa waktu untuk melempar jumrah aqabah adalah setelah terbit matahari bagi orang yang tidak beruzur dan adapun orang yang berhalangan seperti wanita, orang sakit, lemah atau semisalnya dibolehkan melempar sebelumnya.

Imam Nawawiberkata: "Imam Syafi'i dan ahli madzhab berpendapat bahwa bagi orang-orang lemah baik dari kaum wanita dan semisalnya dianjurkan keluar dari Muzdalifah menuju Mina sebelum terbit fajar setelah pertengahan malam, untuk melempar jumrah aqabah agar tidak berdesak-desakan dengan kaum lakilaki. Dan beliau menyebutkanhadits-hadits yang menguatkan pendapat tersebut".

At-Tanbihaat Syaikh Fauzan hal. 46.

Via HijrahApp

WANITA MELETAKKAN KAYU ATAU PENGIKAT UNTUK MENGANGKAT JILBAB DARI WAJAHNYA

Pertanyaan ke417:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Tentang sebagian wanita yang meletakkan kayu atau pengikat untuk mengangkat jilbab dari wajahnya."

Jawaban:
Tidak dianjurkan bagi wanita untuk meletakkan kayu atau penyekat untuk mengangkat jilbab dari wajahnya. Melestarikan amalan yang tidak sunnah sepertimeletakkan kayu di depan wajah atau surban pengikat kepala adalah termasuk perbuatan bid'ah. Adapun ucapan mereka: 'Tidak boleh kain itu menyentuh wajahwanita". Ini bukan hadits dan tidak ada seorangpun yang berpendapat demikian.

Adapun hadits: "Ihram wanita adalah di wajahnya", merupakanhadits palsu, dan yang benar adalah dibolehkan kain (jilbab) itu menyentuh wajahnya, bahkan wajib menutupi wajah tatkala berpapasan dengan laki-laki lain.Apabila wajahnya tertutup atau tersentuh kain, maka tidak ada sangsi atau denda dan tidak perlu meletakkan sesuatu di depan muka untuk mengangkat kain jilbabitu.

Larangan menutup wajah bagi wanita tidaklah mutlak, buktinya Aisyah رضى الله عنهاberkata: "Tatkala sekelompok laki-laki melewati kami sementara kami bersama Rasulullah صلی الله عليه وسلم, sedang dalam kondisi ihram, ketika mereka berpapasan dengan kami, maka masing-masing wanita di antara kami menutup wajahnya dengan kain di atas kepalanya dan tatkala telah lewat, kami membuka lagi wajah kami". Dalam riwayat iniAisyah tidak menyebutkan denda.

Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/229.

Via HijrahApp

WANITA MENCIUM HAJAR ASWAD

Pertanyaan ke404:
Syaikh Shalih Fauzan berfatwa tentang hukumnya wanita mencium hajar aswad.

Beliau berkata:
"Imam An-Nawawi di dalam kitab Majmu' (8/37) berkata: "Para ulama dari kalangan madzhab Syafi'i berpendapat bahwa tidak dianjurkan bagi wanita mencium atau mengusap hajar aswad kecuali pada waktu malam hari atau kondisi longgar, karena bisa berbahaya dan memba-hayakan wanita sendiri dan lainnya.

Disebutkandalam kitab Al-Mughni bahwa dianjurkan bagi wanita untuk melakukan thawaf pada malam hari karena yang demikian itu lebih aman dan Lebih sedikit resikonya. Dan sangat mungkin baginya untuk mendekat ke Ka'bah dan bisa mengusapnya.

At-Tanbihaat Syaikh Fauzan hal. 43.

Via HijrahApp

WANITA MENCUKUR RAMBUT PADA SAAT HAJI DAN UMRAH

Pertanyaan ke406:
Syaikh Shalih Fauzan berfatwa: "Tentang dibolehkannya wanita mencukur rambutnya tatkala bertahallul dari haji atau umrah."

Jawaban:
Beliau berkata: "Wanita cukup menggunting rambutnya sepanjang ujung jari dan tidak boleh mencukurnya. Dalam kitab Al-Mughni disebutkan bahwawanita hanya dianjurkan menggunting rambut bukan mencukurnya, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Ibnu Mundzir berkata: "Seluruh ulama bersepakat bahwa wanita hanyadianjurkan menggunting rambut bukan mencukur karena mencukur rambut bagi wanita adalah perusakan berdasarkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata sesungguhnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Perempuantidak boleh mencukur (rambut), tetapi hanya boleh mengguntingnya". (HR. Abu Daud).

Dari Ali beliau berkata bahwa Rasulullah melarang wanita untuk mencukur rambutkepalanya. Imam Ahmad berkata bahwa wanita boleh menggunting rambut dari setiap kuncir rambutnya sepanjang ujung jari dan inilah pendapat yang diikuti oleh Ibnu Umar, Syafi'i, Ishaq dan Abu Tsaur.

Abu Daud berkata: "Saya mendengar Imam Ahmad pernah ditanya tentang seberapawanita harus menggunting rambutnya, beliau menjawab: "Semua rambut dikumpulkan ke depan lalu digunting rambut paling ujung sepanjang ujung jari. Dan Imam Nawawi dalam kitab Majmu' berkata: "Semua ulama sepakat (ijma') bahwa tidak ada perintah mencukur rambut kepada wanita bahkan yang dibolehkan hanya mengguntingnya, karena mencukur adalah perbuatan bid'ah dan perusakan".

At-Tanbihaat Syaikh Fauzan hal. 46.

Via HijrahApp

WANITA MENDAKI SHAFA DAN MARWAH

Pertanyaan ke400:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: Tentang ucapannya: "Wanita tidak boleh mendaki Shafa dan Marwah."

Jawaban:
Lebih baik untuk kehati-hatian menurut madzhab Mambali, wanita mendaki sekali saja. Karena meninggalkan amalan sedikit yang berat dalam melaksanakannya adalah dibolehkan.

Untuk lebihhati-hatinya wanita tidak boleh meninggalkan sama sekali amalan manasik dan sebagian ulama menganjurkan agar menunaikan ibadah haji sebaik mungkin, agar tidak muncul keraguan, karena bagi orang awam terkadang menjadi pikirannya dan menganggap tidak sempurna bahkan batal hajinya bila meninggalkan sebagian amalan manasik meskipun itu sekedar sunnah.

Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/246.

Via HijrahApp

WANITA MENGENAKAN PURDAH, EMAS DAN PARFUM DI SAAT HAJI

Pertanyaan ke465:
Lajnah Daimah ditanya: "Apakah boleh wanita yang sedang ihram mengenakan purdah, sebab istri saya mengenakannya dan tatkala pulang sebagian orang mengatakan bahwa hajinya tidak diterima karena mengenakan purdah. Dan apakah boleh wanita sedang ihram haji memakai parfum, menelan pil anti haid dan berpegangan dengan laki-laki yang bukan mahramnya, disebabkan kondisi berdesak-desakan dan takut hilang? dan apakah boleh wanita mengenakan emas pada saat ihram haji?

Jawaban:
Tidak boleh bagi wanita yang sedang ihram mengenakan purdah berdasarkan hadits Nabi صلی الله عليه وسلم:

"Janganlah wanita (sedang ihram) mengenakan cadar dan kaos tangan ". (HR. Al-Bukhari).

Tetapi barangsiapa yang mengenakan purdah karena tidak tahu, maka hajinyadinyatakan sah. Setalah melakukan ihram seseorang tidak boleh memakai parfum, baik laki-laki atau perempuan, berdasarkan hadits bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:

'Tidak boleh kalian mengenakan pakaian yang terkena zafaron atau parfum"

Dan juga berdasarkan riwayat dari Aisyah bahwa beliau berkata: "Saya memberiwewangian untuk Rasulullah صلی الله عليه وسلم pada saat hendak ihram sebelum ihramnya dan pada saat tahallul sebelum thawaf di Baitullah." (Mutafaqun 'alaih). Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم tatkala seorang laki-laki meninggal sedang dalam keadaan ihram:

"Jangan diberi wewangian ". (Mutafaqun 'alaih).

Boleh bagi wanita menelan pil anti haid tatkala sedang menunaikan ibadah haji.

Fatawa Lajnah Daimah, juz 11 hal. 191-192 no. 3184.

Via HijrahApp

WANITA MENYESAL KARENA BERUMRAH, TAPI TIDAK MENZIARAHI MAKAM RASUL

Pertanyaan ke403:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Saya berziarah ke Makkah dengan niat umrah, akan tetapi setelah menetap sehari saya sakit dan tidak mampu menyempurnakan ibadah umrah. Saya telah melakukan thawaf dan sa'i masing-masing tujuh kali, namun sayang sekali tidak bisa berziarah ke makam Rasulullah karena sakit tadi, sehingga saya pulang dalam keadaan menyesal dan sedih sekali akibat hal tersebut, apakah umrah saya dianggap sempurna dalam kondisi seperti ini?"

Jawaban:
Amalan yang dkerjakan wanita tersebut dianggap sempurna bila telah melakukan thawaf, sa'i dan menggunting rambut. Apabila seorang wanita telah melakukan tiga amalan tersebut yaitu thawaf, sa'i dan menggunting rambut, maka dia telah menyempurnakan umrahnya. Adapun ziarah ke makam Rasulullah صلی الله عليه وسلم bukanlah bagian dari kesempurnaan ibadah umrah dan bahkan tidak ada hubungan dengan umrah.

Ziarah ke makam Rasul صلی الله عليه وسلم adalah amalam sunnah tersendiri yang bisa dilakukan kapan saja. Dari pertanyaan yang ada ia belum menggunting rambutnya berarti sekarang umrahnya tinggal menggunting rambut saja dan itu bisadilakukan setiap saat, dan jika ia menggunting sekarang juga seketika itu umrahnya telah sempurna. la juga masih memiliki tanggungan thawaf wada' apabila ia tidak langsung pulang.

Dan jika ia selesai sa'i dan menggunting rambut ia langsung pulang,maka tidak ada keharusan melakukan thawaf wada'. Dan menurut pendapat yang benar, thawaf wada' termasuk kewajiban umrah berdasarkan umumnya hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:

"Janganlah di antara kalian pergi meninggalkan (Makkah), sebetummelakukan akhir thawaf di Baitullah"

Ibadah umrah hampir sama dengan haji kecuali jika memang ada perbedaan diantarakeduanya, berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam-

"Kerjakanlah ibadah umrahmu seperti kamu mengerjakan ibadah hajimu"

Umrah adalah haji kecil, setiap yang wajib dilakukan dalam haji maka harus jugadilakukan dalam umrah. Kecuali jika ada dalil yang mengecualikan, seperti wukuf, melempar jumrah dan mabit. Apabila anda pulang langsung setelah melakukan sa'i, maka anda tidak perlu thawaf Lagi karena thawaf yang beriringan dengan sa'i tersebut sudah dianggap thawaf wada', akan tetapi bila anda setelah itu menetap di Makkah maka anda berarti telah meninggalkan thawaf wada'.

Adapun perkataan dia: saya tidak menziarahi makam Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Dia bertujuan berziarah ke kuburan Nabi صلی الله عليه وسلم pada perjalanannya keMadinah. Dan syaddurrihal untuk ziarah kubur itu tidak boleh (baik kuburan Nabi atau pun yang lainnya) karena Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:

"Tidak boleh kalian mengencangkan ikatan kendaraan (untuk bepergian jauh untuk ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini danMasjid Al-Aqsha"

Maksud hadits ini: bahwa kendaraan tidak boleh dipersiapkan dengan tujuan ibadahke tempat mana saja kecuali ke tiga masjid ini. Adapun tempat lainnya tidak boleh.

Fatawal Haj Syaikh Utsaimin, 35-36.

Via HijrahApp

WANITA MEWAKILKAN THAWAF IFADHAH KARENA HAID

Pertanyaan ke438:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: Seorang wanita melaksanakan manasik haji, sebelum ia melaksankan thawaf ifadhah datang darah haid kemudian ia mewakilkan kepada salah satu walinya untuk menggantikan thawaf dan sa'inya, setelah selesai mereka pulang bersama-sama, apakah boleh mewakilkan thawaf tersebut? Perlu diketahui bahwa haji kali ini hanyalah sekedar sunnah bagi saya.

Jawaban:
Apabila hajinya hanya sekedar sunnah, maka para ulama membolehkan, apalagi dalam keadaan sangat darurat, dengan syarat orang yang menjadi wakil telah haji pada tahun itu juga dan telah selesai dan melaksanakan manasik hajinya.

Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6/60.

Via HijrahApp

WANITA NIAT HAJI TAMATTU', KEMUDIAN TIDAK MEMUNGKINKAN THAWAF DAN SA'I KEMUDIAN DIA MENUJU KE MINA DAN ARAFAH

Pertanyaan ke397:
Syaikh Al-Utsaimin ditanya: "Beberapa tahun yang lalu kami pergi haji, diantara jama'ah ada seorang wanita lanjut usia yang sakit-sakitan didampingi oleh putrinya. Kami semua memilih haji tamattu', setelah sampai di Makkah dan pergi ke Masjidil Haram wanita tua tersebut tidak mampu menyempurnakan thawaf dan sa'i karena sakitnya kambuh disamping berdesak-desakkan kami langsung ke Mina, lalu ke Arafah dia telah menyelesaikan seluruh rangkaian ibadah haji seperti wukufdi Arafah, mabit di Muzdalifah, sa'i dan thawaf ifadhah.

Dan dia itu mewakilkandalam melempar jumrah, menyembelih dam, sa'i dan thawaf wada' dan perlu diketahui bahwa putrinya juga mengerjakan hal yang sama dengan ibunya. Apakah sah manasik haji seperti penjelasan di atas dan apa yang diwajibkan kepadanya?"

Jawaban:
Apa yang terjadi pada wanita tua tersebut tidak mempengaruhi ibadah hajinya, sebetulnya ia telah memasukkan umrah dalam ibadah haji. Dan dalamkondisi seperti itu otomatis menjadi haji qiran, maka ia wajib melakukan thawaf dan sa'i sekali saja, dengan demikian sempurnalah haji dan umrahnya.

Jika putrinya mengerjakan seperti ibunya, maka dihukumi sebagaimana ibunya. Adapun thawaf wada' dalam konsidi seberat apapun harus dilaksanakan dan cukup thawaf tanpa sa'i. Dengan demikian, maka keduanya harus membayar fidyah dengan menyembelih kambing dan dagingnya dibagikan kepada fakir miskin sekitar Makkah.

Fatawa Hajj Lil Syaikh Utsaimin, 28.

Via HijrahApp

WANITA PERGI HAJI BERSAMA LELAKI SHATIH YANG DISERTAI KELUARGANYA

Pertanyaan ke391:
Syaikh Utsaimin ditanya: "Ada seorang wanita yang terkenal keshalihannya, umumya mendekati masa tua dan ia menginginkan haji. Akan tetapi ia tidak memiliki mahram, sementara ada seorang laki-laki dari daerah itu yang dikenal baik ingin menunaikan haji bersama beberapa wanita yang masih ada hubungan mahram dengan laki-laki tersebut, apakah boleh wanita tersebut pergi haji bersama mereka,

sebab ia tidak mendapatkan mahramyang bisa menemaninya padahal dari sisi harta ia mampu, maka mohon dijelaskan, karena kami berselisih dengan sebagian temam dalam masalah ini?"

Jawaban:
Tidak boleh bagi wanita itu pergi haji tanpa mahram walaupun bersama beberapa wanita dan seorang laki-laki yang shalih, karena Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam khutbahnya bersabda:

'Tidaklah boleh bagi wanita bepergian kecuali bersama mahramnya"

Lalu berdiri seorang lelaki dan berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnyaistriku akan pergi haji, sementara aku telah mendaftarkan diri pada satu peperangan". Nabi صلی الله عليه وسلم menjawab:

"Pergilah dan berhajilah bersama istrimu"

Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak bertanya apakahperempuan itu seorang yang dapat dipercaya atau tidak, ataukah ditemani oleh wanita atau lelaki yang baik, padahal suaminya mendapat panggilan jihad, akan tetapi suaminya diperintahkan meninggalkan jihad dan pergi bersama istrinya.

Para ulamaberpendapat bahwa apabila wanita tidak mendapatkan mahram, maka tidak wajib menunaikan haji walaupun hingga ia meninggal dan ahli warisnya tidak wajib menghajikan karena ia termasuk dalam katagori tidak mampu, sementara Allah aza wajallahanya mewajibkan haji bagi yang mampu.

Fatawa Haj lil Syaikh Utsaimin, hal. 48.

Via HijrahApp

WANITA PERGI HAJI DENGAN HARTA SUAMINYA

Pertanyaan ke394:
Lajnah Daimah ditanya: "Apakah boleh istri saya menunaikan haji dengan biaya dari harta saya, dan apakah hajinya sah?"

Jawaban:
Boleh bagi wanita menunaikan ibadah haji atas biaya dari harta suaminya dan dinyatakan sah, sehingga tidak ada kewajiban berhaji lagi atasnya. Semoga Allah membalas kebaikan anda.

Majalatul Buhuts Islamiyah, 13/72.

Via HijrahApp

WANITA PULANG KE NEGERINYA SEBELUM THAWAF IFADHAH

Pertanyaan ke419:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: "Saya menunaikan ibadah haji tahun lalu dan semua manasik telah saya selesaikan kecuali thawaf ifadhah dan thawaf wada', saya pulang ke Madinah sebelum menyelesaikan thawaf tersebut disebabkan udzur syar'i. Tetapi saya telah berniat kembali ke Makkahdi suatu waktu untuk melakukan thawaf ifadhah dan wada'.

Karena ketidaktahuansayaterhadap hukum agama, saya telah melakukan semua larangan ihram, setelah bertanya kepada seseorang tentang thawaf yang akan saya lakukan tersebut, dia berfatwa bahwa thawaf tersebut tidak sah dan haji tersebut telah rusak danwajib mengulangi tahun depan serta menyembelih sapi atau unta, apakah fatwa ini benar, ataukah ada jalan keluar lain, ataukah haji saya telah rusak dan harus mengulanginya? Mohon penjelasannya."

Jawaban:
Ini adalah bagian dari bencana yang disebabkan dari fatwa yang tidak dilandasi ilmu. Tidak wajib bagi anda melainkan kembali ke Makkah dan melakukan thawaf ifadhah.

Adapun thawaf wada', jika memang anda keluar dari Makkah duludalam keadaan haid, maka sekarang anda tidak harus melakukan thawaf wada' karena orang yang sedang haid tidak diwajibkan thawaf wada', berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم memerintahkan setiap jamaah haji mengakhiri manasiknya di Baitullah kecuali wanita yang sedang haid.

Dalam riwayat laindari Abu Daud disebutkan:

"Hendaknya akhir manasik di Baitullah tersebut thawaf".

Dan pada waktu Rasulullah صلی الله عليه وسلم mendengar khabar bahwaShafiyah (yang di saat itu sedang haid) telah melakukan thawaf ifadhah, beliau bersabda: "Kalau begitu
silakan ia pergi".
Ini berarti thawaf wada' tidak diwajibkan bagi orang yang sedang haid. Adapunthawaf ifadhah tetap harus dilaksanakan. Apabila kamu telah melakukan semua yang
menjadi larangan ihram karena bodoh (tidak tahu), maka kamu tidak terkena sangsiapapun. Sebab segala pelanggaran pada saat ihram apabila dilakukan karena tidak
tahu, maka tidak merusak ibadah berdasarkan firman Allah aza wajalla: "(Merekaberdo'a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah".
(Al-Baqarah: 286).
Dan Allah aza wajallaberfirman: "Telah Aku kabulkan ". Lalu firman Allah:
"Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu (Al-Ahzab: 5).
Semua larangan ihram apabila dilanggar karena lupa, tidak tahu atau dipaksamaka tidak ada sangsi. Akan tetapi jika sudah hilang udzur tersebut, maka wajib
menghindar darinya.
52 Soal an Ahkamil Haid Syaikh Utsaimin 39-41.

Fatawal Haj hal. 46.

Via HijrahApp

WANITA SHALAT DI BELAKANG MAQAM IBRAHIM

Pertanyaan ke399:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: 'Tentang hukumnya wanita shalat dibelakang maqam Ibrahim?"

Jawaban:
Apabila berdesak-desakan dengan laki-laki, maka hukumnya seperti mencium hajar aswad. Wanita adalah aurat sehingga lebih baik menjauh. IbnuRusyd menyebutkan bahwa ulama bersepakat bahwa tidak dianjurkan bagi wanita untuk berdesak desakan. Akan tetapi saya tidak mendapatkan ijma' ini, menurutmadzhab yang masyhur bahwa wanita dilarang berdesak-desakan dengan laki-laki, ini berarti bila berdesak-desakan dengan sesama kaum wanita dibolehkan. Makapemyataan Ibnu Rusyd tersebut tidak lebih sekedar pendapat jumhur ulama.

Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/243.

Via HijrahApp

WANITA TELAH MENYELESAIKAN SEMUA MANASIK HAJI KECUALI MELEMPAR JUMRAH KARENA PUNYA ANAK KECIL

Pertanyaan ke408:
Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin ditanya: "Seorang wanita telah menyelesaikan semua manasik haji kecuali melempar jumrah dan ia mewakilkannya kepada orang lain,sebab ia bersama anaknya yang masih kecil, bagaimana hukum hajinya?"

Jawaban:
Apabila tidak ada orang yang menjaga anaknya kecuali dia, maka boleh mewakilkan melempar jumrah kepada orang lain, tetapi bila ada orang yang bisa menjaganya, maka tidak boleh mewakilkannya baik haji wajib ataupun sunnah.

Fatawal Haj Syaikh Utsaimin. hal. 58.

Via HijrahApp

WANITA YANG MENGAKU ISLAM INGIN MENUNAIKAN HAJI

Pertanyaanke381:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya: "Beberapa wanita mengaku telah masuk Islam dan ingin menunaikan haji?"

Jawaban:
Orang masuk Islam tidak dianggap sah kecuali harus disaksikan adalah kebiasaan yang tidak kita kenal, dan seandainya mereka atau yang lainnya benar telah masuk Islam, maka anda semua sudah mengetahui bahwa ibadah haji itu diwajibkan atas orang Islam yang mampu saja, berdasarkan firman Allah:

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Al-lmran: 97).

Dan wanita dinyatakan mampu bila pergi hajinya bersama mahram dari mulai berangkathingga kembali ke kampung, jika tidak mendapatkan mahram yang mendampinginya maka dianggap tidak mampu menunaikan ibadah haji.

Fatwa dan Risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 5/196.

Via HijrahApp

WANITATELAH SELESAI DARI SELURUH MANASIK KECUALI MENGGUNTING RAMBUT

Pertanyaan ke410:
Lajnah Daimah ditanya: ”Wanita telah menyelesaikan seluruh manasik haji kecuali menggunting rambut karena tidak tahu hukumnya atau lupa, sementara dia telah sampai ke negaranya dan telah melakukan hal-hal yang menjadi larangan ihram, bagaimana hukumnya?"

Jawaban:
Apabila masalah tersebut seperti yang ditanyakan bahwa ia telah selesai dari seluruh manasik kecuali menggunting rambut, maka secepatnya menggunting rambut di tempat negerinya, dengan niat menyempumakan hajinya dan tidak ada dosa atas wanita itu karena ia lupa atau tidak tahu. Semoga Allah melindungi kita semua.

Jika suaminya telah menggauli sebelum ia menggunting rambut, maka wajib membayar dam dengan menyembelih satu kambing atau sepertujuh dari onta atau sapi yang cukup untuk hewan kurban dan dibagikan kepada seluruh fakir miskin sekitar Makkah. Tetapi apabila suaminya menggauli setelah keluar dari tanah haram atau sampai di negerinya, maka harus menyembelih hewan tersebut di mana saja dan dibagikan dagingnya kepada kafir miskin yang ada di sekitarnya.

Majallatul Buhuts Islamiyah, 13/69.

Via HijrahApp

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M