• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Selasa, 28 Januari 2025

Bab Thaharah

Bagikan

AIR YANG TELAH DIPAKAI WANITA

Pertanyaan ke5:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya tentang hukum air sisa yang telah dipergunakan wanita.

Jawaban:
Sabda beliau صلی الله عليه وسلم:
"Hadats seorang pria tidak bisa dihapuskan dengan air suci sedikit yang telah dipakai wanita untuk mensucikan diri secara sempurna dari hadats.”

Maka menggunakan air ini adalah tidak sempurna, tapi sebagian besar ulama menyatakan bahwa air yang telah dipergunakan wanita dapat menghilangkan hadats pada tubuh pria berdasarkan hadits Maimunah yang berbunyi:
"Bahwa beliau (Rasulullah) berwudhu dengan menggunakan air sisa yang telah ia (Maimunah) pakai untuk bersuci.”

Dan untuk memadukan kedua hadits yang saling bertentangan ini maka larangan yang terdapat pada hadits yang pertama, yaitu larangan yang bersifat untuk dijauhkan dan bukan berarti untuk diharamkan.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, 2/28.

Via HijrahApp

APA BETUL SYAIKH IBNU UTSAIMIN BERPENDAPAT BAHWA CAIRAN TIDAK MEMBATALKAN WUDHU ?

Pertanyaan ke163:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Seseorang berkata bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa cairan itu tidak membatalkan wudhu, benarkah ini?

Jawaban:
Yang mengatakan bahwa saya berpendapat seperti ini adalah tidak benar, tampaknya ia memahami pendapat saya bahwa cairan itu suci tidak membatalkan wudhu.

Majmu' Fatawa wa Rasai Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/287.

Via HijrahApp

APA YANG HARUS DILAKUKAN SEORANG WANITA JIKA LA MENDAPATKAN HAIDH DAN TIDAK SANGGUP MELAKSANAKAN SHALAT-SHALATNYA

Pertanyaan ke87:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lit Ifta’ ditanya:
Apa yang harus dilakukan seorang wanita jika ia mendapatkan haidh dan tidak sanggup melaksanakan shalat shalatnya?

Jawaban:
Jika seorang wanita mendapatkan haidh maka selama haidh itu kewajiban shalatnya tidak berlaku baginya, bahkan haram baginya untuk melaksanakan shalat pada hari-hari haidhnya dan tidak wajib baginya untuk mengqadha (menggantikan) shalat-shalat yang ia tinggalkan di masa haidh pada saat selesai haidhnya.

Hal ini Allah tetapkan untuk memberi kemudahan serta sebagai ungkapan kasih sayang Allah pada hambanya terutama kaum wanita, telah disebutkan dalan Sunnah bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda kepada kaum wanita:
"Bukankah wanita haidh itu tidak boleh melakukan puasa dan juga tidak boleh shalat"

kaum wanita itu berkata: "Benar wahai Rasulullah", maka beliau bersabda:
"Demikian itulah sebagian dari kurangnya agama mereka (kaum wanita).” (Muttafaq ’alaihi)

Juga telah diriwayatkan dari Mu'adzah bahwa ia bertanya kepada Aisyah رضى الله عنها:

"Mengapa wanita haidh harus mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untukmengqadha shalat?''

Maka Aisyah, menjawab:

"Hal itu pernah terjadi pada kami di masa hidup Nabi صلی الله عليه وسلم, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat". Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari danMuslim serta para penyusun kitab-kitab Sunan.

Ibid, 5/396.

Via HijrahApp

APAKAH ADA BATASAN WAKTU TERTENTU UNTUK MASA HAIDH YANG PALING SEDIKIT DAN YANG PALING LAMA?

Pertanyaan ke50:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apakah ada batasan waktu tertentu untuk masa haidhtercepat dan masa haidh terlama dengan hitungan hari?

Jawaban:
Tidak ada batasan tertentu dengan jumlah hari untuk masa haidh tercepat dan masa haidh terlama, berdasarkan firman Allah aza wajalla:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci." (Al-Baqarah: 222)

Dalam ayat ini terdapat larangan untuk berhubungan badan dengan wanita yang sedang haidh, di sini Allah tidak menyebutkan batasan masa larangan itu menurut hitungan hari, akan tetapi batasan masa larangan itu hanya disebut sampai keadaan suci,

berarti ayat ini menunjukkan bahwa alasan hukum Allah dalam hal itu adalah adaa tau tidak adanya darah haidh, jika darah haidh itu ada maka ketetapan hukum larangan menyetubuhi wanita itu berlaku, dan jika wanita itu telah bersuci maka ketetapan hukum larangan menyetubuhi wanita itu tidak berlaku lagi.

Kemudian pula,tentang penetapan batasan masa haidh tidak ada dalil yang menunjukkannya, padahal keterangan batasan masa haidh ini amat penting untuk diketahui, seandainya batasan masa haidh ini ada ketetapan waktunya maka pasti hal itu akan diterangkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulnya.

Berdasarkan ini, maka setiap kali seorang wanita melihat darah yang telah diketahui oleh kaum wanita bahwa darah itu adalah darah haidh, maka berarti wanita itu sedang dalam masa haidh tanpa perlu menghitung dengan waktu-waktu tertentu, kecuali jika keluarnya darah itu terus menerus dan tidak ada terputus, atau berhenti sebentar, satu atau dua hari dalam satu bulan, maka berarti darah yang keluar itu bukan darah haidh melainkan darah istihadhah(darah karena penyakit).

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/271.

Via HijrahApp

APAKAH ANGIN YANG KELUAR DARI KEMALUAN WANITA MEMBATALKAN SHALAT

Pertanyaan ke23:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Seorang wanita jika sedang melakukan shalat, termasuk ruku' dansujud, kemudian keluar angin dari kemaluannya khususnya pada saat sujud, duduk di antara dua sujud, duduk tasyahud dan ruku, terkadang keluarnya angin ini terdengar oleh rekannya yang berada disebelahnya,

apakah hal serupa ini membatalkan shalat wanita itu? dan terkadang angin yang keluar itu amat sedikit sekali hingga tidak terdengar, apakah hal serupa ini membatalkan wudhu dan juga shalat?

Jawaban:
Keluarnya angin dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu dan juga tidak membatalkan shalat.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Dalmah lil Ifta; 5/159.

Via HijrahApp

APAKAH CAIRAN YANG KELUAR DARI WANITA ITU NAJIS DAN MEMBATALKAN WUDHU

Pertanyaan ke153:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apa hukumnya cairan-cairan yang keluar pada sebagian wanita, apakah cairan tersebut najis?

Jawaban:
Cairan-cairan yang keluar dari kemaluan wanita tanpa syahwat tidak mewajibkan mandi, akan tetapi jika cairan tersebut keluar dari tempat keluarnya bayi, maka para ulama berbeda pendapat tentang najis dan tidaknya. Sebagian ulama berpendapat: Sesungguhnya kelembaban pada kemaluan wanita adalah najis yang harus dibersihkan, sebagaimana ia membersihkan dari hal-hal najis.

Sebagian ulama lainnya berpendapat: Sesungguhnya kelembaban pada kemaluan wanita adalah suci, akan tetapi dapat membatalkan wudhu jika keluar. Ini adalah pendapat yang kuat, dan dengan demikian bagi orang pria tidak diharuskan mencuci zakarnya setelah bersetubuh sebagaimana mencuci najis, adapun jika cairan itu keluarnya dari tempat keluar air kencing maka cairan tersebut adalah najis karena cairan itu memiliki hukum yang sama dengan air kencing.

Allah aza wajalla telah menciptakan dua jalan keluar pada kemaluan seorang wanita: Satu jalan untuk keluarnya air kencing dan satu jalan untuk keluarnya bayi, maka tetesan-tetesan yang keluardari jalan keluarnya bayi adalah tetesan-tetesan yang alami dan merupakan cairan-cairan yang Allah ciptakan di tempat ini untuk suatu hikmah.

Sedangkan cairan-cairanyang keluar dari jalan keluarnya air kencing adalah cairan-cairan najis yang membatalkan wudhu, karena tidak semua yang membatalkan wudhu dinamakan najis, buktinya adalah angin yang keluar dari tubuh manusia, yang mana keluarnya angin ini dapat membatalkan wudhu akan tetapi angin ini tidak najis melainkan suci. Kenapa dikatakan suci?

Karena Allah aza wajalla tidak mewajibkan beristinja' (bersuci) ketika seseorang mengeluarkan angin, akan tetapi keluarnya angin itu tetap membatalkan wudhu.

Majmu' Fatawa wa Rasal Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/284.

Via HijrahApp

APAKAH CREAM MINYAK RAMBUT DAN LIPSTIK MEMBATALKAN WUDHU

Pertanyaan ke28:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah wanita yang menggunakan cream minyak rambutdan lipstik dapat membatalkan wudhunya?

Jawaban:
Wanita yang memakai minyak cream atau lainnya tidak membatalkan wudhunya, dan juga tidak membatalkan puasa, akan tetapi dalam hal puasa jika pemerah bibir itu memiliki rasa, maka sebaiknya pemerah bibir itu tidak dipakai karena dikhawatirkan rasa itu akan masuk ke dalam mulut dan tertelan.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/201.

Via HijrahApp

APAKAH DISYARATKAN EMPAT PULUH HARI UNTUK DIBOLEHKANNYA MENCAMPURI ISTRI SETELAH MELAHIRKAN

Pertanyaan ke130:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Ada seorang istri yang mengalami keguguran janin di dalam perutnya tanpa sebab (kecuali ketetapan Allah), apakah boleh bagi suaminya untuk langsung mencampurinya ataukah ia harus menunggu hingga empat puluh hari?

Jawaban:
Jika janin tersebut telah berbentuk manusia dengan telah menampakkan organ-organnya, yaitu tangan, kaki dan kepala, maka diharamkan bagi suaminya untuk menyetubuhi istrinya itu selama darah nifas terus mengalir hingga empat puluh hari, dan dibolehkan bagi seorang suami untuk menyetubuhi istrinya itu pada saat berhentinya darah itu di antara masa empat puluh hari setelah istrinya itu mandi.

Adapun bila janin itu belum menampakkan bentuk manusia dengan tidak menampakkan organ-organ tubuh manusia seperti yang disebutkan di atas, maka boleh bagi suaminya untuk menyetubuhi istrinya itu walaupun saat itu istrinya sedang mengeluarkan darah, karena darah yang keluar itu tidak dianggap sebagai darah nifas, melainkan darah rusak (darah penyakit),

dan untuk itu wajib baginya untuk melaksanakan shalat serta puasa, dan bagi suaminya dibolehkan untuk menyetubuhi istrinya itu, kemudian hendaknya wanita itu berwudhu setiap kali akan shalat.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 5/422.

Via HijrahApp

APAKAH MASA NIFAS ITU DAPAT LEBIH DARI EMPAT PULUH HARI?

Pertanyaan ke108:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah masa nifas seorang wanita dapat mencapai lebih dari empat puluh hari? Dan apakah wajib baginya untuk mengqadha shalat yang telah ia tinggalkan semasa haidh atau nifasnya?

Jawaban:
Darah yang keluar setelah empat puluh hari dari masa kelahiran pada seorang wanita bukanlah darah nifas melainkan darah istihadhah, maka wajib mandi baginya setelah empat puluh hari serta melaksanakan shalat dan puasa, ia pun harus berwudhu setiap kali akan shalat dan menggunakan kapas atau sejenisnya pada kemaluannya untuk mencegah menetesnya darah.

Tidak ada kewajiban baginya untuk mengqadla shalat yang telah ia tinggalkan selama masa haidh dan masa nifasnya, yang wajib untuk diqadha oleh wanita itu adalah puasanya yang ia tinggalkan selama bulan Ramadhan yang disebabkan oleh haidh ataupun nifas. Lain halnya jika darah yang keluar itu adalah darah haidh yang menyusul habisnya darah nifas setelah empat puluh hari, maka dalam hal ini tidak boleh baginya untuk shalat danpuasa.

Ibid, 5/416

Via HijrahApp

APAKAH MENYENTUH WANITA ASING MEMBATALKAN WUDHU

Pertanyaan ke25:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Batalkah wudhu karena berjabatan tangan dengan wanita asing, sementara telah diketahui bahwa perbuatan itu adalah haram?

Dan dalam kitab-kitab fiqh kami menemukan beberapa hadits yang menyatakan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu, dan ungkapan itu bersifat umum. Apakah ungkapan yang bersifat umum ini menjadi terikat dengan sesuatu yang membolehkan seorang pria menyentuh wanita atau tidak?

Jawaban:
Yang benar menurut pendapat para ulama adalah bahwa menyentuh wanita atau berjabat tangan dengan wanita tidaklah membatalkan wudhu, baik wanita itu orang asing atau istri atau mahram, karena pada dasarnya seorang pria itu tetap dalam keadaan berwudhu (suci) hingga terdapat dalil syar'i yang menetapkanbahwa wudhu itu batal,

sementara tidak ada dalam hadits shahih yang menyatakan bahwa menyentuh wanita asing membatalkan wudhu. Sedangkan kata menyentuh dalam firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepatamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buangair (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoteh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu" (Al-Ma'idah: 6),

bahwa yang dimaksud dengan menyentuh disini adalah bersetubuh, demikian pendapat yang benar di antara pendapat- pendapat para ulama.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Dalmah Lil Ifta’, 5/268.

Via HijrahApp

APAKAH MENYENTUH WANITA MEMBATALKAN WUDHU

Pertanyaan ke24:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah menyentuh wanita membatalkan wudhu?

Jawaban:
Yang benar adalah bahwa menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu kecuali jika keluar sesuatu dari kemaluannya, hal ini berdasarkan riwayat shahih dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwasanya :

Rasulullah mencium salah seorang istrinya lalu beliau melaksanakan shalat tanpa mengulang wudhu beliau.

Karena pada dasarnya tidak ada sesuatu apapun yang membatalkan wudhu hingga terdapat dalil jelas dan shahih yang menyatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu, dan karena si pria dianggap telah menyempurnakan wudhunya sesuai dengan dalil syar'i. Sesuatu yang telah ditetapkan dalil syar'i tidak bisa dibantah kecualidengan dalil syar'i pula. Jika ditanyakan bagaimana dengan firman Allah yang berbunyi:

"atau menyentuh perempuan" (An-Nisa': 43, Al-Ma'idah: 6),

maka jawabannya adalah: Yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat ini adalah bersetubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahih dari Ibnu Abbas.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/201.

Via HijrahApp

APAKAH PENGGUNAAN INAI PADA MASA HAIDH AKAN MEMPENGARUHI SAHNYA MANDI SETELAH MASA HAIDH?

Pertanyaan ke44:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah penggunaan inai pada masa haidh akan berpengaruh pada sah atau tidak sahnya mandi haidh?

Jawaban:
Penggunaan inai tidak akan berpengaruh apapun pada mandi wajib atau pada wudhu, karena inai tidak memiliki ketebalan dan juga tidak memiliki ketinggian sehingga tidak menghalangi mengalirnya air pada kulit seseorang.

Namun jika inai itu memiliki bentuk yang bisa diraba, maka wajib menghilangkan inai itu sebelum mandi agar tidak menghalangi air untuk sampai di kulit.

Ibid. 5/222.

Via HijrahApp

APAKAH SEORANG WANITA HARUS SEGERA BERSUCI DENGAN TIDAK MELIHAT ADANYA DARAH YANG KELUAR

Pertanyaan ke75:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Pada hari terakhir dari masa haidh seorang wanita dan sebelum habis masa haidhnya ia tidak melihat bekas darah, haruskah wanita itu berpuasa pada hari itu sementara ia belum melihat gumpalan putih atau apa yang harus ia kerjakan?

Jawaban:
Jika kebiasaan wanita itu tidak melihat gumpalan putih pada akhir masa haidhnya sebagaimana kebiasaan kaum wanita, maka ia harus melaksanakan puasa, akan tetapi jika kebiasaan wanita itu mendapatkan gumpalan putih pada akhir masa haidhnya maka ia belum boleh melaksanakan puasa sebelum ia melihat gumpalan putih.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 16.

Via HijrahApp

APAKAH TAYAMUM KHUSUS UNTUK PRIA, ATAU DIBOLEHKAN UNTUK PRIA DAN WANITA

Pertanyaan ke46:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ditanya:
Apakah tayamum itu berlaku bagi wanita sebagaimana berlaku bagi kaum pria, ataukah ketentuan tayamum itu dikhususkan bagi pria saja tanpa ditetapkan bagi wanita di saat tidak adanya air untuk melaksanakan shalat?

Jawaban:
Pada dasarnya semua ketetapan-ketetapan hukum adalah bersifat umum, yaitu berlaku bagi kaum pria maupun kaum wanita kecuali jika ada pengkhususan bagi salah satunya, berdasarkan firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan shalat,maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih) -

 

sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatnya bagimu, supaya kamu bersyukur." (Al-Ma'idah: 6)

Maka perintah untuk bertayamum dalam ayat ini adalah bersifat umum bagi kaum pria maupun kaum wanita, jadi mereka mempunyai ketetapan hukum yang sama dalam hal bertayamum, maka ijma' ulama menetapkan disyari'atkannya tayamum bagi kaum pria dan kaum wanita.

Ibid, 5/399

Via HijrahApp

APAKAH TUBUH ORANG YANG SEDANG JUNUB ITU NAJIS SEBELUM LA MANDI JUNUB

Pertanyaan ke45:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lilIfta' ditanya:
Jika terjadi persetubuhan antara pria dan wanita, apakah dibolehkan bagi keduanya sebelum mandi menyentuh sesuatu? Dan jika ia menyentuh sesuatu, apakah sesuatu itu akan menjadi najis atau tidak?

Jawaban:
Ya, dibolehkan bagi seseorang yang sedang junub menyentuh sesuatu, seperti pakaian, piring, gelas serta perkakas rumah tangga lainnya, baik ia seorang pria maupun seorang wanita, karena orang yang sedang junub itu bukanlah najis dan sesuatu yang disentuhnya tidak akan menjadi najis.

Begitu juga orang yang sedang dalam keadaan haidh ataupun nifas, kedua orang itu bukanlah orang yang najis, bahkan badan serta keringat kedua orang itu adalah suci, begitu pula dengan sesuatu yang disentuh oleh tangan kedua orang itu, yang najis itu adalah darah yang keluar dari mereka.

Via HijrahApp

APAKAH TUBUH WANITA NIFAS MENJADI NAJIS

Pertanyaan ke133:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Seorang pria berkata: Istri saya melahirkan lalu salah seorang sahabatku enggan untuk masuk ke dalam rumahku, dengan alasan bahwa jika seorang wanita yang sedang dalam keadaan nifas maka tubuh dan perbuatannya dianggap najis, untuk itu tidak dibolehkan bagi seseorang memakan makanan dari tangannya.

Hal ini menimbulkan keraguan bagi diri saya dalam kehidupan saya, saya harap Anda berkenan menerangkan hal ini karena sepengetahuan saya bahwa seorang wanita yang sedang nifas dilarang untuk melaksanakan shalat, puasa, dan membaca Al-Qur'an?

Jawaban:
Seorang wanita tidak menjadi najis karena haidh juga tidak menjadi najis karena nifas, dan tidak diharamkan bagi seseorang untuk memakan makanannya atau untuk meminum minuman yang dibuat oleh tangannya, dan bagi suaminya dibolehkan untuk menggauli istrinya selain pada kemaluannya, hanya saja dimakruhkan menggauli istrinya pada bagian tubuh antara pusar dan lutut,

berdasarkan hadits Muslim dari Anas رضى الله عنه, bahwa umat Yahudi pada zaman dahulu tidak memakan makanan dari wanita haidh, maka Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
"Berbuatlah sesuka hati kalian kecuali nikah (bersetubuh) ",

juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah رضى الله عنها, ia berkata:

"Rasulullah صلی الله عليه وسلم memerintahkan kepadaku, maka aku menggunakan kain, lalu beliau mencumbuiku, dan saat itu aku sedang dalam keadaan haidh".

Larangan shalat, puasa dan membaca Al-Qur'an pada wanita saat haidh atau saat nifas tidak berpengaruh terhadap memakan makanan-makanan yang dibuat atau dipersiapkan dengan tangannya.

Majalah Al-Buhuts Al-lslamiyah, Fatawa Al-Lajnah Da’imah, 25/63.

Via HijrahApp

APAKAH WANITA HAMIL MENDAPAT HAIDH ATAU TIDAK

Pertanyaan ke81:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah wanita hamil bisa mendapatkan haidh atau tidak?

Karena tentang masalah ini, saya mendapatkan dua riwayat Aisyah radiallahu anha yang bertentangan antara satu dengan lainnya, dalam suatu riwayat Aisyah رضى الله عنها berkata:

Bahwa wanita hamil tidak mendapatkan haidh,

dan dalam riwayat lain Aisyah berkata:

Jika wanita hamil mendapatkan haidh maka hendaklah ia meninggalkan shalat,

manakah yang lebih benar di antara kedua ucapan Aisyah ini?

Jawaban:
Para ahli Fiqh berbeda pendapat tentang wanita hamil, apakah ia bisa mendapat haidh atau tidak, pendapat yang benar di antara kedua pendapat ini adalah bahwa wanita tidak mengalami haidh pada masa hamilnya, pendapat ini berdasarkan firman Allah yang menjadikan salah satu masa 'iddah (menunggu) bagi wanita yang diceraikan hendaknya ia mendapatkan haidh sebanyak tiga kali haidh untuk diketahui bahwa rahimnya tidak berisi (tidak hamil),

seandainya wanita hamil mendapat haidh maka tidaklah benar bahwa Allah menjadikan masa haidh sebagai masa 'iddah seorang wanita yang diceraikan untuk menetapkan bahwa wanita itu tidak hamil.

Fatawa AL-Lajnah 5/392.

Via HijrahApp

APAKAH WANITA NIFAS YANG SUCI SEBELUM GENAP EMPAT PULUH HARI TETAP WAJIB MELAKSANAKAN IBADAH

104. Pertanyaan ke104:
Syaikh Muhammad bin Utsaimin ditanya:
Apakah wanita nifas wajib melakukan puasa dan shalat sebelum genap empat puluh hari?

Jawaban:
Ya, jika ia telah suci dari nifasnya walaupun belum genap empat puluh hari, wajib baginya untuk berpuasa jika hal itu terjadi di bulan Ramadhandan juga wajib baginya untuk melaksanakan shalat, juga dibolehkan bagi suaminya untuk mencampurinya, karena wanita itu telah suci sehingga tidak ada yang menghalanginya untuk melaksanakan puasa dan juga tidak ada sesuatu yang menghalanginya untuk shalat dan melakukan hubungan badan dengan suaminya.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 10.

Via HijrahApp

ARTI PUTUS ASA DAN WAKTUNYA

Pertanyaan ke83:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apakah putus asa itu? dan apakah putus asa itu berkaitan dengan usia tertentu atau karena terhentinya masa haidh (menopause)?

Jawaban:
Putus asa tidak berikatan dengan usia tertentu, karena arti dari putus asa adalah berlawanan dengan arti pengharapan.

Jika wanita telah memasuki masa menopause (tidak mendapat haidh lagi) maka ia tidak dapat lagi mengharapkan datangnya haidh, inilah yang dinamakan putus asa, oleh karena itu bisa jadi seorang wanita mendapatkan haidh pada saat berumur lebih dari lima puluh tahun.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/237.

Via HijrahApp

ARTI: MASA HAIDH TIDAK BISA DIPASTIKAN KECUALI DENGAN TIGA

Pertanyaan ke57:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya: Apakah maksud ungkapan "Masa haidh tidak bisa dipastikan kecuali dengan tiga’?

Jawaban:
Jika seorang wanita mendapatkan masa haidhnya, maka ia harus berhenti shalat sampai habis masa haidh itu, yang mana masa haidh itu akan berlangsung satu hari satu malam atau sepuluh hari atau lima belas hari atau kurang dari itu semua atau lebih dari itu semua.

Kemudian pada haidh kedua wanita itu mengalami masa haidh yang sama dengan masa haidh yang telah disebutkan di atas, begitu juga ketika mendapatkan haidh ketiga, maka dengan demikian wanita itu tidak terikat oleh suatu macam masa haidh di bulan-bulan berikutnya.

Ketentuan semacam ini amat sesuai sekali dengan pokok syari'at Islam, karena syari'at Islam menuntut agar wanita muslimah itu melaksanakan ketetapan asal, yaitu setiap darah yang keluar dari kemaluan wanita adalah darah haidh dan jika terdapat indikasi yang mengeluarkanketetapan dasar tentang darah itu, maka tidak diragukan lagi bahwa darah itu bukan darah haidh melainkan darah istihadhah.

Dari sini kita dapat mengetahui hukum syari'at yangbenar dan yang harus dikerjakan serta tidak layak dikeluarkannya fatwa yang bertentangan dengan ketetapan tersebut.

Ibid, 2/100.

Via HijrahApp

BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA CAIRAN ITU MENGENAI BAGIAN TUBUH

Pertanyaan ke160:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Jika cairan itu mengenai bagian dari tubuh atau pakaian wanita itu, bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Jika cairan yang mengenai tubuh atau pakaiannya ini adalah cairan suci (cairan yang keluar melalui jalan lahir, bukan jalan kencing). maka hal itu tidak mengapa, tapi jika cairan itu adalah cairan najis, yaitu cairan yang keluar dari saluran keluarnya air kencing, maka wajib baginya untuk membasuh noda cairan yang mengenai tubuh atau pakaiannya itu.

Majmu' Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/287.

Via HijrahApp

BAHAYA PENGGUNAAN PIL PENCEGAH HAIDH

Pertanyaan ke98:
Syaikh Muhammad bin Shallh Al-Utsaimin ditanya:
Sejak beberapa tahun lalu saya mengalami masa haidh enam hari, lalu pada hari ketujuh saya sudah tidak mendapatkan haidh untuk itu saya bereuci (mandi wajib).

Pada hari terakhir itu saya mengeluarkan cairan berwama kuning begitu juga selama enam hari masa haidh tersebut akan tetapi sebagaimana saya katakan tadi bahwa pada hari ketujuh itu saya tidak mengeluarkan darah haidh Lagi, melainkan saya terus mengeluarkan cairan kuning hingga tujuh hari berikutnya atau bahkan lebih.

Dan pada bulan lalu cairan kuning itu terus menerus keluar selama sebulan tanpa henti, ringkasnya bahwa cairan itu keluar selama sebulan dan terkadang berhenti sebentar, lalu beberapa detik kemudian cairan itu keluar lagi, demikianlah keadaan saya. Walaupun demikian saya menganggap masa haidh saya adalah tujuh hari pada dasarnya, dan selain tujuh hari itu saya tidak menganggap diri saya dalam keadaan haidh.

Apakah hukumnya tentang masalah saya ini? Pertu diketahui bahwa dahulunya saya berhenti dari haidh dan mandi pada permulaan hari ketujuh, sementara untuk saat ini saya melakukan mandi wajib pada akhir hari ketujuh dan melakukan shalat sebagai langkah kehati -hatian, berilah saya fatwa, semoga Anda mendapat pahala?

Jawaban:
Kaidah umum dalam masalah ini adalah bahwa cairan kuning dan keruh yang keluar setelah berhentinya darah haidh adalah bukan bagian dari darah haidh, berdasarkan ucapan Ummu Athiah رضى الله عنها:

"Kami tidak menganggap cairan kuning dan keruh setelah berhentinya darah haidh sebagai haidh."

Juga Kaidah urnurn lainnya yang menyebutkan: 'Janganlah seorang wanita tergesa-gesa untuk mengatakan dirinya telah suci sebelum ia mengeluarkan gumpalan putih", sebagaimana disebutkan oleh Aisyah رضى الله عنها pada kaum wanita yang mengatasi masalah dengan menggunakan kapas:

"Janganlah kalian tergesa-gesa hingga kalian melihat (mendapatkan) gumpalan putih.”

Masalah-m asalah seperti ini adalah masalah-masalah yang amat mendetail hingga hal ini menjadi tidak begitu jelas bagi sebagian ulama. Sebaiknya bagi seorang wanita yang mengalami hal semacam ini agar berhubungan langsung kepada orang yang dianggapnya dapat memberinya fatwa dalam hal ini.

Dalam kesempatan ini saya ingin memberi peringatan keras kepada kaum wanita untuk tidak menggunakan pil pencegah haidh, karena pil-pil ini sebagaimana dinyatakan kepada saya oleh para dokter di wilayah Timur dan wilayah Barat Saudi, kesemuanya berkebangsaan Saudi, demikian juga para dokter muslim yang bekerja pada pemerintah Saudi di wilayah Tengah, yang saya tanya tentang pil pencegah haidh, mereka semua sepakat menyatakan bahwa pilpil tersebut berbahaya.

Ada di antara mereka yang memberitahukan kepada saya tentang bahaya yang diakibatkan oleh pil-pil semacam itu, ia menuliskannya dalam satu lembar biisan sebanyak empat belas macam bahaya, yang terutama di antararrya adalah; bahwa pil-pil tersebut menyebabkan terjadinya luka pada rahim, menyebabkan terjadinya perubahan pada darah dan sirkulasinya, dan banyak sekali keluhan-keluhan yang disampaikan wanita pengguna pil-pil tersebut.

Pil- pil itu juga menyebabkan keburukkan bagi janin bayi di masa depannya jika pengguna pil ini adalah wanita yang belum bersuami maka pil itu dapat menyebabkan kemandulan pada dirinya yaitu dia tidak dapat hamil.

Bahaya-bahaya ini adalah amat besar, seorang manusia dengan akalnya akan tahu, walaupun ia bukan seorang dokter dan walaupun ia tidak mengetahui tentang kedokteran, ia akan tahu bahwa mencegah masalah yang amat alami ini, yang sengaja Allah ciptakan pada diri wanita pada waktu-waktu tertentu, bahwa mencegahnya adalah suatu hal yang membahayakan bagi dirinya.

Sebagaimana halnya jika Anda berusaha untuk mencegah dan menahan buang air, tanpa diragukan lagi bahwa untuk menahan keluamya kotoran-kotoran pada waktunya itu akan membahayakan diri sendiri. Maka dari itu saya peringatkan kepada kaum wanita untuk tidak menggunakan pil-pil pencegah haidh.

Begitu juga saya mengharapkan kepada kaum pria untuk mewaspadai masalah ini bagi istri-istri serta anak-anak putri kalian, pokoknya jika kalian mau mengkonsultasikan hal ini kepada para dokter untuk mendapat keterangan yang jelas, ini adalah suatu tindakan yang baik. Yang penting adalah, hendaknya kita tidak main-main terhadap suatu kejadian yang alami ini, hendaknya para wanita tidak mengkonsumsi pil-pil pencegah haidh ini hanya untuk tetap bisa berpuasa pada bulan Ramadhan, mengapa hal ini harus dilakukan?

Nabi صلی الله عليه وسلم datang menemui Aisyah yang sedang umrah pada saat haji Wada, beliau datang menemuinya yang sedang menangis, maka beliau bertanya kepadanya: ‘Mengapa engkau menangis?, mungkin engkau sedang mengeluarkan darah “ lalu beliau bersabda:
"Sesungguhrrya hal ini adalah ketetapan Allah yang ditetapkan bagi putri- putri keturunan Adam "

Durus wa Fatwa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 2/280.

Via HijrahApp

BANYAK MENGELUARKAN DARAH SAAT KEGUGURAN

Pertanyaan ke117:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Seorang wanita mengalami kecelakaan pada awal kehamilannya, kecelakaanitu menyebabkan keguguran pada janinnya yang disertai banyaknya darah yang keluar. Bolehkah wanita ini membatalkan puasanya ataukah ia harus meneruskan puasanya? Berdosakah jika ia membatalkan puasanya ?

Jawaban:
Kami katakan bahwa wanita hamil tidaklah mendapat haidh sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad, yaitu bahwa diketahuinya kaum wanita dengan berhentinya haidh. Para utama mengatakan, bahwa haidh adalah ciptaan Allah yang pasti mengandung hikmah yaitu sebagai makanan bagi janin yang ada di dalam perut ibunya, maka jika telah terjadi kehamilan akan mengakibatkan terhentinya haidh.

Akan tetapi sebagian kaum wanita hamil masih terus mengalami haidh sebagaimana biasa sebelum terjadinya kehamilan, maka haidhnya itu adalah benar-benar haidh, karena yang terjadi adalah memang haidh dan tidakterpengaruh oleh kehamilan, maka haidh ini menjadi halangan seperti halnya haidh yang dialami oleh wanita yang tidak hamil. Kesimpulannya adalah bahwa darah yang dikeluarkan oleh wanita hamil ada dua jenis;

pertama ditetapkan sebagai darah haidh yaitu darah yang terus keluar pada masa haidh sebagaimana sebelum hamil, artinya adalah bahwa kehamilan tidak mempengaruhi keluarnya darah haidh.

Jenis kedua adalah: Darah yang tiba-tiba keluar dari wanita hamil karena kecelakaan atau membawa sesuatu yang berat atau terjatuh dari suatu tempat atau hal-hal serupa lainnya yang menyebabkan wanita hamil mengeluarkan darah, maka darah yang keluar ini bukanlah darah haidh melainkan darah luka, yang mana darah semacam ini tidak menghalangi seorang wanita untuk melaksanakan shalat dan puasa bahkan bagi wanita ini tetap berlaku hukum sebagaimana wanita suci lainnya.

Akan tetapi jika kecelakaan itu menyebabkan keluarnya janin dari perutnya, maka dalam hal ini ada ketetapan lain, yaitu: Jika janin yang dikeluarkan telah berbentuk manusia maka darah yang keluar setelah setelah keluarnya janin itu adalah darah nifas yang menghalangi seorang wanita untuk melakukan shalat, puasa dan bagi suaminya tidak boleh menyetubuhinya sampai ia mendapat kesuciannya.

Dan jika janin yang dilahirkan itu belum berbentuk manusia maka darah yang keluar setelah keluarnya janin itu bukanlah darah nifas melainkan darah penyakit yang tidakmenghalanginya untuk melasanakan shalat, puasa serta ibadah-ibadah lainnya. Para ulama mengatakan bahwa waktu yang paling minim dalam proses pembentukan janin menjadibentuk manusia adalah delapan puluh satu hari umur janin di dalam perut ibunya, sebagaimana disebutkan Abdullah bin Mas'ud رضى الله عنه, bersabda Rasulullah shalallahualaihi wasallam kepada kami:
"Sesungguhnya seseorang di antara kalian dipadukan bentuk ciptaannya didalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk air mani, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut lalu ditetapkan baginya empat macam, yaitu: rizkinya, ajalnya, perbuatannya dan kebahagiaannya atau kesengsaraannya."

Jadi janin itu tidak mungkin berbentuk manusia sebelum delapan puluh satu hari,dan pada umumnya bentuk janin belum jelas sebelum sembilan puluh hari sebagaimana diungkapkan oleh para ahlul ilmi.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 2.

Via HijrahApp

BATALKAH WUDHU KARENA MELIHAT PRIA DAN WANITA DALAM KEADAAN TELANJANG

Pertanyaan ke26:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah wudhu akan menjadi batal hanya karena melihat kaum pria dan wanita yang sedang bertelanjang? dan batalkah wudhu seorang pria jika ia melihat kemaluannya?

Jawaban:
Wudhu tidak batal hanya dikarenakan melihat kaum pria dan wanita yang sedang bertelanjang, juga wudhu tidak batal hanya karena melihat kemaluannya sendiri, karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan wudhu.

Via HijrahApp

BATALKAH WUDHU SEORANG BIDAN YANG MENANGANI PERSALINAN

Pertanyaan ke27:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Apakah bidan yang menangani persalinan wajib mandi atau cukup berwudhu?

Jawaban:
Tidak wajib baginya untuk mandi ataupun berwudhu hanya karena menangani persalinan seorang wanita hamil, akan tetapi yang wajib baginya adalah mencuci badannya atau pakaiannya yang terkena najis darah atau lainnya jika ia hendak melakukan shalat, akan tetapi wudhunya batal jika ia menyentuh kemaluan wanita yang hamil itu saat melahirkan

Fatawa Al-Lajnah Ad-Dalmah lil ifta’, 5/316.

Via HijrahApp

BATALKAH WUDHU SEORANG IBU YANG MEMBERSIHKAN NAJIS BAYINYA

Pertanyaan ke18:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya: Seorang wanita telah berwudhu untuk melakukan shalat, kemudian bayinya buang air besar atau buang air kecil sehingga perlu dibersihkan, lalu wanita itu membasuh dan membersihkan bayi itu dari najis, apakah hal ini membatalkan wudhunya?

Jawaban:
Jika wanita itu menyentuh kemaluan atau dubur bayinya itu maka dengan demikian wudhunya itu batal, jika tidak menyentuh satu di antara dua tempat keluar kotoran itu maka wudhunya itu tidak batal kalau hanya sekedar membasuh kotorannya, bahkan sekalipun ia langsung membersihkan najis itu dengan tangannya, walaupun demikian hendaknya ia memperhatikan kesucian tangannya setelah itu dan selalu waspada jangan sampai najis mengenai badannya serta pakaiannya.

Fatawa wa Wasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/75.

Via HijrahApp

BATALKAH WUDHU SEORANG WANITA YANG MENGELUARKAN ANGIN DARI KEMALUANNYA (FARAJNYA)

Pertanyaan ke22:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah keluarnya angin dari kemaluan wanita menyebabkan batalnya wudhu atau tidak?

Jawaban:
Angin yang keluar dari kemaluan wanita tidak membatalkan wudhu karena angin itu tidak keluar dari tempat najis sebagaimana keluarnya angin dari dubur.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/197.

Via HijrahApp

BATALKAH WUDHU WANITA YANG MENCUCI NAJIS ANAK-ANAKNYA

Pertanyaan ke20:
Al-Lajnah Ad-Da’imah LitIfta' ditanya: Saya seorang ibu dengan beberapa orang anak, setelah berwudhu saya membersihkan kotoran dan najis yang ada pada anak saya, apakah haL itu membatalkan wudhu atau tidak?

Jawaban:
Membersihkan najis yang ada di badan orang yang telah berwudhuatau pada badan orang Lain tidak membatalkan wudhu, akan tetapi jika Anda menyentuh kemaluan anak itu maka hal itu akan membatalkan wudhu, sebagaimana seseorang menyentuh kemaluan dirinya sendiri.

Majalah AL-Buhuts Al-lslamiyyah, 22/62.

Via HijrahApp

BERDOSAKAH SEORANG WANITA YANG MIMPI BERSETUBUH DENGAN SEORANG PRIA

Pertanyaan ke38:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lilIfta' ditanya:
Apa yang wajib dikerjakan seorang wanita jika mimpi bersetubuh dengan seorang pria?

Jawaban:
Jika seorang pria bermimpi menyetubuhi seorang wanita, atau seorang wanita bermimpi disetubuhi oleh seorang pria, maka tak ada dosa bagi keduanya, karena sesuatu ketetapan hukum tidak berlaku dalam keadaan tidur,

juga karena tidak mungkin bagi seseorang untuk menghindarkan dirinya dari mimpi tersebut,juga dikarenakan Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan sesuatu yang mampu diembannya. Lain dari itu, terdapat hadits shahih dari Nabi shalallahu alaihiwasallam, bahwa beliau bersabda:
"Telah diangkat pena (ketetapan hukum tidak berlaku) pada tiga golongan, yaitu; pada orang yang sedang tidur hingga ia terbangun, pada orang gila hingga ia sadar, dan pada anak kecil hingga ia mengalami mimpi (yang menyebabkan ia mandi)"

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i dan Al-Hakim, Al-Hakim berkata: Memenuhi syaratnya dan wajib mandi bagi orang yang mengalami mimpi jika mengeluarkan mani.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/311

Via HijrahApp

BERLUMURNYA PAKAIAN DOKTER DENGAN AIR KETUBAN

Pertanyaan ke4:
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta' ditanya: Jika pakaian seorang dokter berlumuran dengan air ketuban atau darah (lahiran), maka apakah dibolehkan melakukan shalat dengan pakaian tersebut karena kesulitan mengganti pakaian di setiap waktu shalat sebagai konsekwensi pekerjaannya itu?

Jawaban:
Hendaknya ia menyediakan pakaian suci yang khusus ia gunakan untuk shalat sebagai pengganti pakaian yang terkena najis, dan hal itu bukanlah suatu hal yang menyulitkan baginya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/384.

Via HijrahApp

BERSETUBUH SETELAH TIGA PULUH HARI MELAHIRKAN

Pertanyaan ke131:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah dibolehkan bagi seorang suami untuk menyetubuhi istrinya setelah tiga puluh hari melahirkan atau dua puluh lima hari, ataukah tidak dibolehkan kecuali setelah empat puluh hari?

Jawaban:
Tidak boleh bagi seorang suami untuk menyetubuhi istrinya setelah melahirkan pada hari-hari nifasnya hingga hal itu berlangsung selama empat puluh hari sejak hari kelahirannya, kecuali jika darah nifas itu terhenti sebelum empat puluh hari, maka saat itu dibolehkan bagi suaminya untuk menyetubuhi istrinya itu selama tidak mengalir darah nifas dan setelah mandi (bersuci).

Jika darah itu kembali mengalir sebelum mencapai empat puluh hari, maka haram bagi suaminya untuk menyetubuhi istrinya saat itu, dan wanita itu harus kembali meninggalkan shalat serta puasa hingga mencapai empat puluh hari atau terhentinya darah.

Ibid, 5/412.

Via HijrahApp

BERSUCI SETELAH MENGALAMI HAIDH SELAMA DUA HARI PADA MASA HAIDH

Pertanyaan ke72:
Al-Lajnah Ad-Da'imah III Ifta' ditanya:
Terkadang seorang wanita mengeluarkan darah pada waktu haidhnya kemudian setelah dua hari haidh itu terhenti, maka ia mandi untuk bersuci, akan tetapi sehari atau dua hari setelah itu ia mendapatkan haidh lagi, pertanyaannya adalah;

apakah darah yang keluar pada dua hari pertama itu dianggap haidh dan apakah wanita itu harus shalat atau bagaimana?

Jawaban:
Pada dua hari yang termasuk masa haidhnya, di mana ia mengeluarkan darah, maka pada dua hari tersebut ia harus meninggalkan shalat,karena darah yang keluar adalah darah haidh, sedangkan dua hari berikutnya di mana ia mengalami masa kering (tidak mengeluarkan darah) maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat setelah mandi bersuci, sementara pada dua hari setelahnya di mana ia kembali mengeluarkan darah, maka ia harus meninggalkan shalat karena darah yang keluar pada dua hari itu adalah darah haidh.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta', 5/390.

Via HijrahApp

BERSUCI DARI AIR KENCING BAYI

Pertanyaan ke3:
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta' ditanya:
Ketika seorang wanita melahirkan bayi laki-laki ataupunperempuan, selama dalam asuhannya bayi itu selalu bersamanya dan tidak pernah berpisah, hingga terkadang pakaiannya terkena air kencing sang bayi.

Apakah yang harus ia lakukan pada saat itu, dan apakah ada perbedaan hukum pada air kencing bayi laki-laki dengan bayi perempuan dari sejak kelahiran hingga berumur dua tahun atau lebih? Inti pertanyaan ini adalah tentang bersuci dan shalat serta tentang kerepotan untuk mengganti pakaian setiap waktu.

Jawaban:
Cukup memercikkan air pada pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki jika ia belum mengkonsumsi makanan, jika bayi lelaki itu telah mengkonsumsi makanan, maka pakaian yang terkena air kencing itu harus dicuci, sedangkan jika bayi itu adalah perempuan, maka pakaian yang terkena air kencingnya harus dicuci baik dia sudah mengkonsumsi makanan ataupun belum.

Ketetapan ini bersumber dari hadits yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud dan lain-lainnya, sedangkan lafazhnya adalah dari Abu Daud. Abu Daud telah mengeluarkan hadits ini dalam kitab sunannya dengan sanadnya dari Ummu Qubais bintu Muhshan:

"Bahwa ia bersama bayi laki-lakinya yang belum mengkonsumsi makanan datang kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم, kemudian Rasulullah صلی الله عليه وسلم mendudukkan bayi itu di dalam pangkuannya, lalu bayi itu kencing pada pakaian beliau, maka Rasulullah meminta diambilkan air lalu memerciki pakaian itu dengan air tanpa mencucinya."

Dikeluarkan oleh Abu Daud danIbnu Majah dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci, sedangkan pakaian yang terkena kencing bayi taki-laki cukup diperciki dengan air."

Dalam riwayat lain menurut Abu Daud:
"Pakaian yang terkena air kencing bayi perempuan harus dicuci,sedangkan pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki maka diperciki dengan air jika belum mengkonsumsi makanan.”

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/368.

Via HijrahApp

BERSUCI DENGAN AIR SISA YANG TELAH DIPERGUNAKAN WANITA

Pertanyaan ke6:
Syaikh AbdurrahmanAs-Sa'di ditanya: Bagaimanakah yang benar tentang bersucinya seorang pria dengan air sisa yang telah dipakai wanita?

Jawaban:
Perbedaan pendapat dalam masalah ini cukup terkenal, adapun pendapat sebagian besar ulama dan satu di antara dua riwayat Imam Ahmad: bahwa tidak dilarang bagi seorang pria untuk bersuci dengan menggunakan air sisa bersuci wanita, apakah itu air sisa dia mandi sendiri ataupun bukan, baik untuk mensucikanhadats besar maupun hadats kecil,

ini adalah pendapat yang benar dan betul berdasarkan hadits mandinya Nabi صلی الله عليه وسلم dengan menggunakan sisa air yang telah dipergunakan Maimunah, hadits ini adalah yang lebih shahih dari pada hadits yang melarang seorang pria untuk mandi dengan air sisa yang telah dipergunakan wanita untuk bersuci.

Sebagian ahlul ilmi menganggap bahwa hadits terakhir ini adalah tidak benar dan bukan hadits shahih, jadi hadits seperti yang terakhir ini tidak bisa dijadikan hujjah untuk membantah adanya dalil syar'i yang bersifat umum yang memerintahkan bersuci dengan air apa saja tanpa ada pengecualian, maka setiap air yang belum berubah bentuknya karena terkena najis maka air itu termasuk yang umum, dan juga Allah aza wajalla telah berfirman:
"Jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih)" (Al-Maidah: 6).

Ayat ini menerangkan bahwa tidak boleh bertayamum kecuali jika tidak ada air, dan air sisa dari air yang telah dipergunakan wanita adalah termasuk dalam kategori air, ini adalah suatu hal yang tidak diragukan lagi, dan Allah Sang pembuat syari'at tidak akan melarang sesuatu tanpa alasan jelas (pasti), dan air yang dipergunakan Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam hadits Maimunah ini adalah air yang digambarkan dalam sabda beliau lainnya yaitu:
"Sesungguhnya air itu tidak junub (dikotori suatu apapun)."

Seandainya seorang pria dilarang untuk bersuci dengan air sisa yang telah dipergunakan oleh wanita, sementara airnya itu banyak di samping adanya kesulitan (untuk memperoleh air lainnya) karena kondisi umumnya demikian, jika larangan itu memang benar pasti larangan itu akan disampaikan dalam nash-nash shahih yang menerangkan masalah ini. Dengan demikian menjadi jelas bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang membolehkan pria bersuci dengan air sisa yang telah dipergunakan wanita.

Sedangkan riwayat Imam Ahmad lainnya yaitu pendapat yang amat dikenal oleh ulama muta'akhirin yang melarang seorang pria untuk bersuci dengan air sisa yang telah dipakai wanita untuk mensucikan hadats, hadits yang mereka pergunakan untuk berdalil adalah hadits yang tidak sah untuk dijadikan dalil pada masalah ini karena lemahnya hadits ini dan juga bertentangan dengan beberapa dalil-dalil lainnya, kemudian juga pengkhususan yang mereka lakukan pada hadats besar saja tidak memiliki dalil yang menunjukkan hal itu.

Al-Majmu'Al-Kamilah limu'allafat Asy-Syaikh Ibnu Sa'di, 7/88.

Via HijrahApp

BERTAMBAHNYA MASA HAIDH DAN BERUBAHNYA WARNA DARAH

Pertanyaan ke70:
Ada seorang wanita yang biasanya mendapatkan haidh selama sepuluh hari, lalu pada suatu bulan Ramadhania mendapat haidh dan meninggalkan shalat selama empat belas hari, kemudian wanita itu mulai mengeluarkan darah yang berwarna hitam atau kuning,

keadaan semacam itu berlangsung selama delapan hari dan ia tetap melaksanakan shalat dan puasa selama delapan hari ini, apakah puasa dan shalatnya yang delapan hari itu dianggap sah? Dan apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
Haidh adalah suatu perkara yang telah diketahui oleh kaum wanita dan mereka lebih mengetahuinya dari pada kaum pria, jika wanita yang mengalami kelebihan masa haidh dari biasanya ini mengetahui bahwa darah yang keluar itu adalah darah yang telah dikenal sebagai darah haidh, maka wajib baginya untuk tidak shalat dan tidak puasa kecuali jika darah itu keluar lebih dari satu bulan,

sebab jika darah itu keluar lebih dari satu bulan maka darah itu adalah darah istihadhah dan tidak boleh baginya meninggalkan shalat kecuali pada ukuran masa haidh yang biasa.

Berdasarkan kaidah ini maka kami katakan kepada wanita tersebut, bahwa puasa yang ia lakukan pada hari-hari setelah ia suci, kemudian ia melihat darah yang diasumsikan bukan sebagai darah haidh karena berwarna kuning atau keruh dan terkadang hitam, maka darah ini tidak dianggap darah haidh dan puasa yang ia lakukan adalah sah dan cukup baginya, begitu pula dengan shalat yang ia lakukan.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/279.

Via HijrahApp

BOLEHKAH BERTAYAMUM BAGI ORANG TUA YANG KESULITAN UNTUK BERWUDHU

Pertanyaan ke48:

Al-Lajnah Ad-Da'imah I'difta’ ditanya:
Wanita tua berumur sembilan puluh tahun lebih kesulitan untukberwudhu dan mandi, karena ia adalah seorang wanita jompo, apalagi jika tiba musim dingin ditambah jauhnya tempat berwudhu darinya,

apakah wanita itu memiliki keringanan untuk bertayamum pada setiap waktu shalat, atau bolehkah baginya untuk mengumpulkan dua waktu shalat dengan satu kali wudhu?

Jawaban:
Jika keadaan wanita itu sebagaimana yang telah Anda sebutkan, maka bagi wanita itu ia dibolehkan untuk berwudhu sesuai dengan kemampuannya walaupun dengan cara mendekatkan air wudhu pada dirinya, dan jika hal itu tidak bisa ia lakukan dan juga tidak bisa dilakukan dengan bantuan orang lain, makadi bolehkan baginya untuk bertayamum berdasarkan firman Allah:

"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (At-Taghabun: 16).

Sedangkan untuk membersihkan kotoran yang keluar dari dubur atau kemaluannya,maka cukup istijmar, yaitu mengusapnya dengan batu, tisu atau sapu tangan bersih yang dapat membersihkan, dengan syarat usapan itu dilakukan tidak kurang dari tiga kali pada masing-masing tempat keluarnya najis di bagian depan maupun dibagian belakang.

Jika tiga usapan itu belum cukup, maka wajib menambah jumlah usapan itu hingga tempat keluarnya najis itu bersih dari kotoran ataupun najis, dan baginya dibolehkan untuk menjama' shalat Zhuhur dengan shalat Ashar pada salah satu waktu di antara dua waktu itu, begitu juga shalat Maghrib dan Isya untuk dikerjakan pada satu di antara dua waktu shalat tersebut, karena kondisi wanita tua ini termasuk dalam kategori hukum orang yang sedang sakit.

Ibid, 5/356.

Via HijrahApp

BOLEHKAH BERTAYAMUM PADA MUSIM DINGIN?

Pertanyaan ke47:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Ibu saya adalah seorang yang telah lanjut usia dan memiliki fisik yang lemah, sementara kami bertempat tinggal di daerah yang suhu udaranya dingin, maka dari itu ia tak sanggup berwudhu khususnya untuk melaksanakan shalat Subuh,

bolehkah ia bertayamum, dan bila ibu saya bertayamum ia berkeyakinan bahwa shalatnya itu tidak sempurna, maka dari itu ia mengulangi shalat itu setelah terbit matahari?

Jawaban:
Tetap wajib menggunakan air dalam bersuci pada saat musim dingin jika seseorang mempunyai alat penghangat air dan tidak sah bertayamum dalam keadaan seperti ini.

Ibid. 5/340

Via HijrahApp

BOLEHKAH MELAKUKAN SHALAT TAHAJUD DENGAN WUDHU SHALAT ISYA BAGI WANITA YANG TERUS MENGELUARKAN CAIRAN?

Pertanyaan ke158:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apakah boleh bagi wanita yang terus mengeluarkan cairan untuk melaksanakan shalat Tahajud setelah melewati tengah malam dengan wudhu shalat Isya?

Jawaban:
Masalah ini menjadi ajang perbedaan pendapat di kalangan ulama, sebagian di antara mereka berpendapat:

Bahwa jika shalat Tahajud itu dilakukan setelah pertengahan malam maka wajib bagi wanita itu untuk memperbaharui wudhu, ada juga yang berpendapat:

Bahwa tidak wajib baginya berwudhu, walaupun shalat Tahajud itu dilakukan setelah pertengahan malam, dan ini adalah pendapat yang kuat.

Ibid, halaman 287.

Via HijrahApp

BOLEHKAH MENGKONSUMSI OBAT UNTUK MENCEGAH HAIDH

Pertanyaan ke100:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah boleh bagi seorang wanita menggunakan obat untuk mencegah haidh di bulanRamadhan?

Jawaban:
Dibolehkan bagi wanita untuk mengkonsumsi obat-obat pencegah haidh di bulan Ramadhan jika para dokter serta orang-orang yang ahli dalam bidang ini telah menyatakan bahwa obat tersebut tidak membahayakan diri wanita itu, juga tidak memberi pengaruh negatif pada organ-organ tubuh kehamilannya.

Namun sebaiknya menahan diri untuk menggunakan obat tersebut, karena Allah aza wajalla telah memberi keringanan untuk tidak berpuasa jika haidh datang pada bulan Ramadhan, dan Dia pun ridha dengannya sebagai bagian agamanya.

Ibid, 5/400.

Via HijrahApp

BOLEHKAH MENUNDA MANDI WAJIB HINGGA TERBIT FAJAR

Pertanyaan ke41:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Apakah boleh menunda mandi karena junub hingga fajar terbit? Danapakah boleh bagi wanita untuk menunda mandi haidh dan mandi nifas hingga terbitnya fajar?

Jawaban:
Jika masa haidh seorang wanita telah habis sebelum fajar, maka ia diharuskan untuk berpuasa dan tidak ada larangan baginya untuk menunda mandi wajibnya itu hingga terbitnya fajar. Akan tetapi tidak boleh baginya untuk menunda mandinya hingga terbit matahari, bahkan wajib baginya untuk mandi dan melaksanakan shalat sebelum matahari terbit,

begitu pula hukum mandi junub bagi pria, yaitu tidak boleh ditunda sampai setelah terbitnya matahari, bahkan wajib baginya mandi dan shalat Subuh sebelum terbitnya matahari, dan juga wajib bagi pria untuk bersegera mandi agar dapat melaksanakan shalat Subuh berjama'ah.

Fatawa Ash-Shiyam, Syaikh Ibnu Baaz, 65.

Via HijrahApp

BOLEHKAH ORANG YANG JUNUB TIDUR SEBELUM BERWUDHU

Pertanyaan ke42:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Apakah orang yang junub boleh tidur tanpa berwudhu terlebih dahulu?

Jawaban:
Tidak ada dosa baginya untuk tidur sebelum berwudhu, akan tetapi yang lebih utama adalah hendaknya ia berwudhu terlebih dahulu sebelum tidur, karena Nabi صلی الله عليه وسلم melakukan hal itu dan memerintahkannya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta', 5/298.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA HAIDH MASUK KE DALAM MASJID

Pertanyaan ke94:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Bolehkah seorang wanita yang sedang haidh masuk ke dalam masjid dan apa dalilnya?

Jawaban:
Tidak boleh seorang wanita yang sedang haidh masuk ke dalam masjid kecuali hanya untuk berjalan melewati masjid jika hal itu diperlukan,sebagaimana halnya orang yang sedang junub berdasarkan firman Allah aza wajalla:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi." (An-Nisa': 43).

Fatawa Al-Lajnah 5/398

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA HAIDH MELAKUKAN SHALAT DAN BAGAIMANA HUKUM BERSETUBUH SAAT HAIDH

Pertanyaan ke88:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah wanita haidh dibolehkan melakukan shalat? Bolehkah melakukan hubungan badan pada masa haidh, pada malam Idul Adha dan pada malam Lailatul Qadar? Dan kapankah diharamkan bagi seorang muslim untuk menyetubuhi istrinya?

Jawaban:
Pertama; Tidak boleh bagi wanita haidh melakukan shalat, kewajiban shalat hilang bagi wanita haidh dan tidak ada perintah untuk mengqadha shalat itu setelah habis masa haidh, dan jika masa haidh telah habis maka wajib baginya untuk bersuci serta melaksanakan shalat.

Kedua; Diharamkan bagi seorang suami untuk menyetubuhi istrinya pada kemaluannya saat ia sedang haidh, dan dibolehkan bagi seorang suami untuk mencumbui istrinya pada selain kemaluannya. Boleh bagi seorang suami untuk menyetubuhi istrinya pada malam Lailatul Qadar atau Idul Adha kecuali jika ia dalam keadaan ihram saat melaksanakan ibadah haji atau umrah.

Larangan menyetubuhi istrinya pada saat ihram haji atau umrah berlaku hingga ia telah bertahallul pada saat haji setelah melempar jumrah aqabah pada hari raya Idul Adha, melaksanakan thawaf ifadhah, melaksanakan sa'i antara Shafa dan Marwah kemudian bertahallul.

Dibolehkan bersetubuh setelah umrah yaitu setelah melakukan thawaf dan sa'i serta bertahallul yaitu mencukur rambut. Ketetapan ini berlaku pula bagi wanita yang sedang ihram haji atau umrah walaupun suaminya tidak dalam keadaan ihram.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta', 5/395.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA HAIDH MELAKUKAN THAWAF DAN SA'I

Pertanyaan ke92:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya:
Apakah wanita haidh dilarang untuk melakukan thawaf dan sa'i?

Jawaban:
Fatwa yang telah dikenal dari kalangan para ulama adalah tidak ada larangan bagi wanita haidh untuk melakukan sa'i, karena bersuci dalam melaksanakan sa'i adalah sunnah hukumnya. Sedangkan thawaf menurut pendapat yang masyhur adalah, bahwa bersuci adalah syarat thawaf.

Fatawa ma Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/97.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA YANG SEDANG HAIDH MENGGUNAKAN INAI PADA TANGAN DAN KEPALANYA

Pertanyaan ke95:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apakah dibolehkan bagi wanita yang sedang haidh untuk menggunakan inai pada tangan dan kepalanya, dan apakah benar jika ia mati maka ia tidak akan dikubur jika kedua tangannya putih?

Jawaban:
Dibolehkan bagi wanita yang sedang haidh untuk menggunakan inai pada tangannya, pada kepalanya dan pada kedua kakinya, tidak mengapa baginya untuk melakukan hal seperti itu. Sedangkan tentang apa yang disebutkan bahwa seorang wanita jika ia mati dan di kedua tangannya tidak ada inai putih maka ia tidak dikubur, adalah pendapat yang tidak benar dan tidak memiliki dasar.

Yang benar adalah jika seorang wanita mati maka ia seperti wanita-wanita lainnya, jika wanita itu adalah seorang Muslimah maka ia dikuburkan di pemakaman orang-orang Islam dan jika wanita itu bukan seorang Muslimah maka ia akan dikubur pula di pemakaman untuk orang orang yang non muslim. Ketetapan ini berlaku bagi yang menggunakan inai atau yang tidak menggunakannya.

Majmu 'Fatawa wa Rasail Asy Syaik Ibnu Utsaimin, 4/288.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA YANG TERUS MENGELUARKAN CAIRAN MELAKUKAN SHALAT DHUHA DENGAN WUDHU SHALAT SHUBUH

Pertanyaan ke157:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Bagi wanita yang terus menerus mengeluarkan cairan, apakah boleh ia melaksanakan shalat Dhuha dengan wudhu shalat Shubuh?

Jawaban:
Hal itu tidak dibolehkan sebab shalat Dhuha memiliki waktu tersendiri, karena itu ia harus wudhu kembali setelah tibanya waktu Dhuha, sebab wanita ini mustahadhah. Nabi صلی الله عليه وسلم telah memerintahkan wanita mustahadhah untuk berwudhu setiap kali akan shalat.

Waktu Zhuhur adalah sejak condongnya matahari ke barat hingga waktu Ashar, waktu Ashar dimulai dari habisnya waktu Dzuhur hingga matahari berwarna kuning, jika dalam keadaan terdesak bisa hingga terbenamnya matahari,

waktu Maghrib sejak terbenamnya matahari hingga hilangnya cahaya kemerah-merahan, waktu Isya sejak hilangnya cahaya matahari yang kemerah-merahan hingga tengah malam, dan waktu shalat Shubuh adalah sejak terbitnya fajar kedua hingga terbitnya matahari.

Ibid, halaman 286.

Via HijrahApp

CAIRAN BERWARNA KUNING DAN CAIRAN KERUH, JUGA TENTANG CAIRAN PUTIH

Pertanyaan ke146:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Kami mohon Anda berkenan menerangkan kepada kami tetang cairan berwarna kuning dan cairan keruh, apakah hukumnya sama dengan hukum darah haidh? Lalu apakah cairan putih itu? Apakah seorang wanita harus mengetahui berakhirnya darah tersebut,kemudian setelah itu apakah ia diwajibkan mandi (bersuci) atau tidak?

Jawaban:
Cairan berwarna kuning dan keruh adalah jenis cairan yangkeluar dari seorang wanita dan dapat berubah warna menjadi cairan keruh, itu serupa dengan air sisa pembersih daging, merah akan tetapi merahnya tidak begitu jelas, sementara cairan kuning adalah cairan yang berwarna kuning yang terkadang cairan itu keluar dari seorang wanita, para ulama berbeda pendapat tentang hal ini hingga terdapat lima pendapat,

akan tetapi pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah pendapat yang menyatakan bahwa jika cairan itu keluar setelah habisnya masa haidh dalam jarak yang tidak begitu jauh dengan terhentinya darah haidh maka berarti cairan itu termasuk dalam kategori haidh (dikenakan hukum haidh), jika keluarnya cairan itu tidak setelah habisnya masa haidh, yakni berselang beberapa waktu dariwaktu berhentinya masa haidh, maka cairan itu tidak termasuk dalam kategori darah haidh (tidak dikenakan hukum haidh).

Adapun mengenai cairan putih, maka yang dimaksud dengannya adalah jika seorang wanita menggunakan kapas atau pembalut di tempat keluarnya cairan itu, lalu cairan itu tidak berubah dan tetap keluar dengan warna putih, maka itulah yang dinamakan dengan cairan putih, dan jika cairan putih itu berubah warna maka ini adalah merupakan bukti bahwa darah haidh belum berhenti.

Sebagian kaum wanita ada yang tidak mengeluarkan cairan putih ini akan tetapi kebiasaannya adalah mengeluarkan cairan yang berwarna keruh pada masa antara satu masa haidh dengan masa haidh lainnya jika demikian berarti cairan keruh ini merupakan tanda berhentinya darah haidh dan mulainya masa suci walaupun ia tetap mengeluarkan cairan berwarna kuning, karena wanita ini tidak biasa mengeluarkan cairan putih.

Pada kenyataanya, terkadang permasalahan seputar haidh merupakan permasalahan yang masih samar-samar karena beragamnya peristiwa yang dialami kaum wanita, akan tetapi haidhnya wanita yang alami (yang menjalani hidup dengan normal) tidak mengalami kejanggalan. Kejanggalan pada masalah haidh ini lebih banyak terjadi pada kaum wanita yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan,yakni berupa tablet-tablet yang biasa dikonsumsi oleh sebagian wanita.

Sebenarnya, obat-obatan itu di samping dapat membahayakan rahim, juga dapat menimbulkan banyak kejanggalan haidhnya wanita yang mengkonsumsinya, juga dapat membingungkan orang-orang yang dimintai fatwa tentang hal ini. Karena itu, saya memperingatkan kepada kaum wanita untuk tidak menggunakan pil-pil semacam ini, apalagi para wanita yang belum bersuami, karena sebagian dokter telah mengatakan kepada saya, bahwa menggunakan pil-pil ini dapat menyebabkan kemandulan bagi kaum wanita yang mengkonsumsinya.

Logikanya, tidak diragukan lagi, bahwa mencegah sesuatu yang alami dapat menimbulkan suatu kejanggalan yang tidak alami. Darah haidh adalah darah yang alami, jika seorang wanita mengkonsumsi suatu pil untuk menghambat keluarnya darah haidh yang alami ini, maka sudah pasti pil tersebut akan menimbulkan efek buruk pada tubuh, karena obat tersebut berusaha untuk menyimpangkan sesuatu yang alami yang telah ditetapkan Allah pada tubuh wanita.

Maka sekali lagi saya peringatkan, hendaknya para wanita tidak mengkonsumsi pil-pil semacam itu.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/285.

Via HijrahApp

CAIRAN KUNING YANG KELUAR DARI WANITA PERAWAN DAN JANDA TANPA MIMPI

Pertanyaan ke166:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Jika seorang wanita perawan atau yang sudah bersuami mengeluarkan cairan berwarna kuning tanpa mimpi, bagaimanakah hukumnya, apakah ia harus mandi karena keluarnya cairan itu?

Jawaban:
Jika cairan yang keluar ini adalah madzi maka tidak diwajibkan baginya untuk mandi, akan tetapi jika cairan yang keluar itu adalah mani, yang mana keluarnya itu adalah karena syahwat atau karena mimpi, maka wajib baginya untuk mandi.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/310.

Via HijrahApp

CARA BERSUCINYA WANITA MUSTAHADHAH

Pertanyaan ke143:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya:
Apakah cukup dengan membasuh kemaluannya dan membalutnya serta berwudhu bagi wanita yang mengeluarkan darah istihadhah (wanita mustahadhah) untuk melaksanakan shalat, ataukah ia harus mandi setiap akan shalat sebagaimana mandi junub?

Jawaban:
Diwajibkan bagi wanita mustahadhah untuk mandi satu kali setelah habis masa haidhnya, kemudian setelah itu tidak diwajibkan baginya untuk mandi sampai tibanya masa haidh berikutnya, namun ia harus berwudhu setiap kali akan melaksanakan shalat. Ketetapan ini bersumber dari riwayat yang terdapat dalam kitab Ash Shahihain dari Aisyah رضى الله عنها, bahwa ia berkata:

"Fatimah binti Hubaisy datang menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan bertanya, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sedang mengalami istihadhah maka saya tidak suci, apakah saya harus meninggalkan shalat?' Maka Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda:
'Tidak, sebab darah itu darah peluh dan bukan darah haidh, jika engkau mendapatkan haidhmu maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah habis masa haidhmu maka mandilah engkau dan bersihkanlah darah itu kemudian berwudhulah engkau setiap kali akan shalat hingga tiba waktunya (waktu haid yang lain)."

Dan juga berdasarkan riwayat lain dalam kedua kitab tersebut, dari 'Aisyahradiallahu anha "Bahwa Ummu Habibah mengalami istihadhah selama tujuh tahun, lalu ia bertanya kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم tentang hal itu, maka beliau pun memerintahkannya untuk mandi, beliau bersabda:
"Ini adalah darah peluh",

Maka dari itu Ummu Habibah selalu mandi setiap akan shalat".

Yang ditunjukkan oleh kedua hadits ini, adalah bahwa hadits Ummu Habibah bersifat mutlak (umum) sementara hadits Fatimah bersifat terikat (khusus), dan sesuai dengan kaidah, maka ungkapan yang bersifat umum harus diartikan kepada ungkapan yang bersifat khusus, dengan begitu kedua hadits ini mempunyai makna; hendaklah seorang wanita melakukan mandi wajib pada saat habis masa haidhnya lalu berwudhu setiap kali akan shalat.

Jadi pada dasarnya seorang wanita mustahadhah diharuskan mandi setiap kali akan shalat, namun perintah ini tidak berarti wajib, sebab seandainya perintah ini wajib maka Rasulullah صلی الله عليه وسلم pasti telah menerangkannya sebab hal ini memerlukan penjelasan, dan para ulama telah sepakat bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم tidak akan menunda suatu keterangan saat keterangan itu dibutuhkan.

An-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim berkata setelah menyebutkan kedua hadits ini:
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada kewajiban mandi bagi wanita mustahadhah pada setiap shalat, juga tidak ada kewajiban mandi pada setiap waktu kecuali satu kali mandi yaitu pada saat habisnya masa haidh.

Dan oleh karena itu sebagian besar ulama salaf dan khalaf berpendapat seperti ini, yaitu yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan Aisyah رضى الله عنهم, pendapat ini juga merupakan pendapat dari Urwah bin Az-Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman, Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad.

Fatawa wa Rawa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/100.

Via HijrahApp

CARA SHALAT WANITA YANG TERUS MENGELUARKAN DARAH

Pertanyaan ke135:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Bagaimanakah cara shalat seorang wanita yang terus menerus mengeluarkan darah dan kapankah ia harus puasa?

Jawaban:
Wanita yang terus menerus mengeluarkan darah seperti ini hukumnya adalah meninggalkan shalat serta puasa selama hari-hari yang biasanya ia mengalami masa haidh pada bulan-bulan sebelum terjadinya kejadian ini,

jika biasanya haidh datang pada setiap awal bulan selama enam hari misalnya, maka ia harus meninggalkan shalat selama enam hari pada awal bulan, kemudian jika telah berlalu selama enam hari maka ia harus mandi (bersuci) kemudian melaksanakan shalat serta puasa.

Cara shalat bagi wanita seperti ini adalah mencuci kemaluannya dengan sempurna lalu menggunakan kapas atau sejenisnya dan berwudhu, hal ini ia lakukan setiap kali telah masuk waktu shalat fardhu dan jangan melakukan hal itu sebelum masuk waktu shalat. Hal itu di lakukan setelah masuk waktu shalat kemudian barulah ia shalat, dan begitu pula yang harus ia lakukan setiap kali akan melakukan shalat sunat di luar waktu-waktu shalat fardhu.

Jika hal ini menyulitkan, maka bagi wanita itu dibolehkan untuk menjama' shalat Zhuhur dengan Ashar atau sebaliknya dan shalat Maghrib dengan shalat Isya atau sebaliknya, kemudian melakukan shalat Subuh pada waktunya, dengan demikian ia melakukan langkah tadi sebanyak tiga kali untuk lima shalat fardhu.

Majmu' Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/293.

Via HijrahApp

CUKUPKAH MEMBASUH ANGGOTA WUDHU BAGI WANITA YANG TERUS MENGELUARKAN CAIRAN?

Pertanyaan ke159:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Dalam berwudhu, cukupkah membasuh anggota wudhu bagi wanita yang terus mengeluarkan cairan?

Jawaban:
Ya, hal itu cukup baginya jika cairan itu keluar melalui saluran tempat keluarnya bayi dan tidak keluar dari saluran tempat keluarnya air kencing.

52 Su'alan an Ahkamul Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 33.

Via HijrahApp

DARAH NIFAS BERHENTI KEMUDIAN KEMBALI LAGI SETELAH EMPAT PULUH HARI

Pertanyaan ke127:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Seorang wanita telah berhenti masa nifasnya lima hari sebelum mencapai hari keempat puluh, maka ia melaksanakan shalat dan puasa, kemudian setelah empat puluh hari, darah nifas itu kembali mengalir lagi, bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Jika wanita nifas telah mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat dan puasa jika hal itu terjadi di bulan Ramadhan dan bagi suaminya dibolehkan untuk menyetubuhinya walaupun belum mencapai empat puluh hari,

dan wanita yang telah mendapatkan kesuciannya pada hari ketiga puluh lima dari saat persalinannya ini wajib melaksanakan puasa dan shalat sebagaimana biasanya,

lalu jika darah nifas itu kembali mengalir setelah empat puluh hari, maka darah yang keluar itu dianggap darah haidh, kecuali jika keluarnya darah itu di luar masa haidh yang biasa ia alami, maka ia hanya meninggalkan shalat selama waktu yang biasanya ia mendapatkan masa haidh saja kmudian setelah itu ia harus mandi dan melaksanakan shalat sebagaimana biasanya.

Majmu' Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/289.

Via HijrahApp

DARAH NIFAS BERHENTI SEBELUM EMPAT PUTUH HARI

Pertanyaan ke107:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya:
Jika darah nifas berhenti sebelum empat puluh hari, apakah boleh bagi seorang wanita untuk mandi wajib serta melakukan shalat, bahkan sekalipun darah itu keluar lagi sebelum hari keempat puluh ?.

Jawaban:
Jika wanita nifas telah mendapatkan kesuciannya (tidak mengeluarkan darah nifas lagi) sebelum mencapai hari keempat puluh maka ia harus mandi, shalat serta puasa dan bagi suaminya dibolehkan untuk mencampurinya, dan jika ia tetap mengeluarkan darah setelah empat puluh hari maka ia tetap menganggap dirinya dalam keadaan suci, karena hari keempat puluh dianggap hari terakhir dari masa nifas menurut pendapat yang lebih kuat di antara dua pendapat para ulama.

Sementara darah yang keluar setelah empat puluh hari dianggap darah penyakit dan hukumnya sama dengan hukum darah istihadhah, kecuali jika darah itu keluar sebagai darah haidh yang menyusul darah nifas, maka pada saat itu ia dianggap dalam keadaan haidh yang harus meninggalkan shalat dan puasa serta diharamkan suaminya untuk mencampurinya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/417.

Via HijrahApp

DARAH NIFAS MENGALIR KEMBALI SETELAH EMPAT PULUH HARI

Pertanyaan ke125:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Jika seorang wanita telah mandi setelah habisnya masa nifas,kemudian darah nifas itu kembali mengalir setelah empat puluh hari dari masa persalinan, dan wanita itu yakin bahwa darah itu adalah darah nifas, maka apa yang harus dilakukan wanita itu?

Jawaban:
Kami berpendapat bahwa wanita itu harus meninggalkan puasa dan shalat saat ia mengeluarkan darah nifas setelah empat puluh hari, karena yang benar adalah bahwa nifas tidak memiliki batas masa waktunya, dan darah yang disebut dalam pertanyaan bukan darah istihadhah, maka jika darah itu telah jelas sebagai darah nifas dengan tidak memiliki ciri keruh dan tidak pula berwarna kuning, maka wanita itu harus meninggalkan shalat dan puasa, dan hukumnya adalah hukum darah nifas.

Al-Majmu'ah Al-Kamilah Asy-Syaikh Ibn As-Sa’di, halaman 99.

Via HijrahApp

DARAH YANG KELUAR DARI WANITA HAMIL

Pertanyaan ke79:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apa hukumnya darah yang keluar dari wanita hamil?

Jawaban:
Wanita hamil tidak mengalami haidh sebagaimana pendapat Imam Ahmad, bahkan kehamilan itu sendiri bisa diketahui dengan berhentinya haidh.

Haidh adalah ciptaan Allah yang salah satu di antara hikmahnya adalah bahwa darah haidh yang tidak keluar akan berubah menjadi makanan bagi janin yang beradadalam kandungan ibunya, untuk itu jika telah terjadi kehamilan maka akan terputus pula masa haidh.

Akan tetapi sebagian kaum wanita tetap mengalami haidh saat hamil seperti biasanya di saat sebelum hamil, maka wanita yang mendapatkan haidh ini tetap dikenakan hukum-hukum sebagaimana wanita haidh yang tidak hamil, karenaia terus mengeluarkan darah haidh dan kehamilannya tidak mempengaruhi masa haidhnya.

Karena itu, haidh ini menjadi penentu untuk melarang, menetapkan atau menggugurkan kewajiban seperti halnya haidh biasa yang dialami di luar masa kehamilan.

Kesimpulannya, bahwa darah yang dikeluarkan oleh wanita hamil ada dua macam, yaitu:

• Pertama: Darah yang hukumnya ditetapkan dengan hukum darah haidh, yaitu darah yang terus menerus keluar sebagaimana di luar masa kehamilan, hal ini menunjukkan bahwa kehamilannya itu tidak berpengaruh terhadap kebiasaan haidhnya, maka darah yang keluar darinya adalah darah haidh.

• Kedua: Darah yang keluar dari terjadinya sesuatu yang menimpa wanita hamil karena suatu kecelakaan atau karena membawa sesuatu yang berat atau terjatuh dari suatu tempat atau lainnya, maka darah yang keluar karena sebab-sebab ini bukan darah haidh melainkan darah penyakit, maka bagi wanita itu tetap diwajibkan untuk shalat, puasa serta ibadah-ibadah lainnya seperti halnya wanita-wanita yang sedang tidak mengalami haidh.

Fatawa wa Rasa'il Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/270.

Via HijrahApp

DARAH YANG KELUAR DARI WANITA HAMIL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PELAKSANAAN IBADAH

Pertanyaan ke80:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apakah darah yang keluar dari wanita hamil pada siang hari di bulan Ramadhan dapat mempengaruhi puasanya?

Jawaban:
Jika wanita mengeluarkan darah saat berpuasa, maka puasanya menjadi batal, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم:
"Bukankah wanita haidh itu tidak berpuasa dan tidak shalat"

Maka adanya haidh pada wanita akan membatalkan puasanya.

Demikian juga darah nifas, bahwa keluarnya darah nifas membatalkan puasa. Adapun wanita hamil yang mengeluarkan darah di siang hari bulan Ramadhan Jika darah itu adalah darah haidh maka hukum haidh berlaku baginya, sebagaimana berlakunya hukum haidh pada wanita yang tidak hamil, dengan demikian keluarnya darah haidh pada wanita hamil akan berpengaruh terhadap puasanya yaitu puasanya menjadi batal,

akan tetapi jika darah itu bukan darah haidh maka keluarnya darah pada wanita hamil tidak berpengaruh terhadap puasanya yaitu puasanya tetap sah.

Haidh yang mungkin terjadi pada wanita hamil adalah haidh yang selalu datang pada masa haidhnya sejak dimulainya masa kehamilan, menurut pendapat yang kuat bahwa pada wanita yang mengalami kondisi seperti ini berlaku hukum-hukum haidh. Namun, jika haidh terhenti pada masa kehamilan, kemudian setelah itu ia mengeluarkan darah yang bukan darah biasa, maka keluarnya darah ini tidak mempengaruhi puasanya karena darah itu bukan darah haidh.

52 Sualan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 14.

Via HijrahApp

DARAH YANG KELUAR DARI WANITA YANG MELAHIRKAN MELALUI OPERASI

Pertanyaan ke132:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ditanya:
Sebagian wanita mengalami kesulitan saat melahirkan hingga terpaksa mereka melahirkan dengan cara operasi (bedah cesar). Proses yang ditempuh dalam operasi adalah mengeluarkan janin tidak melalui kemaluan,

maka bagaimana hukumnya wanita yang melahirkan dengan cara seperti ini menurut syari'at khususnya ditinjau dari segi darah nifas? Dan apa hukum mandi bagi wanita tersebut secara syari'at?

Jawaban:
Hukum wanita yang melahirkan dengan cara operasi adalah sama dengan hukum wanita yang melahirkan dengan cara normal (tidak operasi), tetap dikenakan hukum nifas, yaitu jika mengeluarkan darah maka ia harus meninggalkan shalat hingga ia mendapat kesuciannya, dan jika ia tidak mengeluarkan darah maka ia harus shalat dan berpuasa sebagaimana wanita suci lainnya.

Ibid, 5/419.

Via HijrahApp

DATANGNYA DARAH DAN BERHENTINYA DALAM BULAN YANG SAMA

Pertanyaan ke69:
Jika seorang wanita mendapat haidh lalu haidh itu berhenti kemudian ia bersuci dan mandi, setelah ia melakukan shalat selama sembilan hari, wanita itu mendapat darah kembali selama tiga hari, untuk itu ia tidak shalat selama tiga hari itu, setelah haidh itu habis maka ia mandi dan melakukan shalat selama sebelas hari, kemudian ia mendapat haidh lagi seperti biasa, apakah ia harus mengulangi shalat yang ia tinggalkan selama tiga hari itu ataukah tiga hari itu dianggap masa haidh?

Jawaban:
Jika seorang wanita mengeluarkan darah haidh maka berarti ia sedang dalam masa haidh, baik masa antara haidh itu dengan haidh yang sebelumnya panjang maupun pendek. Jika ia mendapatkan haidh kemudian ia suci dan melaksanakan shalat, lalu setelah lima hari, atau enam hari atau sepuluh hari wanita itu mendapatkan haidh lagi untuk kedua kalinya maka ia harus meninggalkan shalat karena ia dalam keadaan haidh, begitulah seterusnya setiap kali ia suci lalu datang masa haidh maka wajib baginya untuk meninggalkan shalat,

sedangkan jika darah itu keluar terus menerus atau terputus-putus sebentar maka berarti darah yang keluar itu adalah darah istihadhah dan pada saat itu ia tidak boleh meninggalkan shalat kecuali pada masa haidh yang telah terbiasa.

Majmu' Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/278.

Via HijrahApp

DI BULAN RAMADHAN MENGELUARKAN DARAH SEDIKIT YANG TERUS BERLANJUT SEPANJANG BULAN

Pertanyaan ke141:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Jika seorang wanita mengeluarkan sedikit darah pada siang hari bulan Ramadhan, kemudian darah ini terus mengalir selama bulan Ramadhan, namun wanita ini tetap melaksanakan puasa, apakah puasanya itu sah?

Jawaban:
Ya, puasanya sah. Adapun darah yang sedikit ini bukanlah darah apa-apa melainkan darah peluh, dalam atsar dari Ali bin Abu Thalib radiallahu anhu,disebutkan bahwa ia berkata:

"Seandainya noda darah ini seperti darah yang keluar dari lubang hidung maka darah itu bukanlah darah haidh",

demikianlah yang disebutkandari Ali رضى الله عنه.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 18.

Via HijrahApp

HAIDH MENYERTAI KEHAMIIAN

Pertanyaan ke77:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya tentang haidh yang terjadi di masa kehamilan?

Jawaban:
Orang hamil dan apa yang dialaminya saat ia dalam keadaan hamil yang telah ia kenal, jika darah itu keluar pada waktu kebiasaannya dan memiliki ciri-ciri darah haidh maka itu adalah haidh.

Akan tetapi jika darah itu keluar dengan disertai suatu kejanggalan maka darahyang keluar itu dapat dikategorikan sebagai darah yang rusak atau darah penyakit dan bukan darah haidh, karena terkadang seorang yang sedang hamil dapat mengeluarkan darah yang bukan darah haidh, bisa jadi darah yang keluar itu adalah darah yang menyertai janin dalam kandungan, demikian pendapat yang benar dan telah difatwakan oleh para Muhaqiq.

Fatawa wa Rasa’il Syaikh Ibn Ibrahim, 2/97.

Via HijrahApp

HAIDH SETELAH LIMA PULUH TAHUN

Pertanyaan ke51:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya: Bagaimanakah hukumnya jika haidh masih datang setelah umur lima puluh tahun?

Jawaban:
Yang benar adalah bahwa haidh tidak dibatasi dengan usia lima puluh tahun, bahkan jika terus mengeluarkan darah pada waktu putarannya, dengan sifat darah haidh dan sesuai dengan masa haidnya, maka berarti wanita itu sedang dalam masa haidh.

Akan tetapi jika wanita itu telah lama tidak mengalami haidh setelah umur lima puluh tahun, maka darah yang keluar itu tidak dianggap darah haidh akan tetapi dianggap darah penyakit. Adapun ucapan 'Aisyah رضى الله عنها :

"Jika seorang wanita telah mencapai umur lima puluh tahun, maka ia telah keluar dari batas waktu haidh.''

Ucapannya ini disebutkan oleh Ahmad, ucapan Aisyah ini berita yangmenggambarkan tentang kondisi wanita pada umumnya. Hal ini ia ucapkan untuk melakukan sikap mawas diri terhadap pokok-pokok syariat, karena pada dasarnya darah yang keluar itu tetap dianggap darah haidh kecuali ada dalil yang menyatakan bahwa darah itu bukan darah haidh.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/96.

Via HijrahApp

HAIDH TIDAK DATANG DALAM WAKTU YANG CUKUP LAMA KEMUDIAN KELUAR DARAH YANG AMAT SEDIKIT SEKALI

Pertanyaan ke73:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Seorang wanita tidak mendapatkan haidh dalam waktu yang cukup lama yaitu enam bulan, dan saat wanita itu sedang melaksanakan i'tikaf pada sepersepuluh pertama di awal bulan, tiba-tiba pada hari kelima ia mengeluarkan darah yang amat sedikit sekali, maka apakah iaharus meninggalkan i'tikaf?

Jawaban:
Wanita itu tidak perlu meninggalkan i'tikaf karena darah yang keluar adalah bukan darah haidh, sebab darah haidh dapat diketahui oleh seorang wanita melalui warna dan gejala-gejalanya.

Fatawa wa Durus Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/256.

Via HijrahApp

HARUSKAH DUA KALI BERSUCI KARENA DUA HADATS

Pertanyaan ke34:
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta' ditanya:
Seorang pria bersetubuh dengan istrinya setelah itu ia buang air besar, untuk bersucinya, manakah yang harus didahulukan?

Jawaban:
Cukup baginya melakukan satu kali istinja (membersihkan najis) dari persetubuhan dan buang air besar yang telah ia lakukan, dan untuk itu ia harus mandi wajib karena telah melakukan persetubuhan.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/316.

Via HijrahApp

HARUSKAH MERESAPKAN AIR KE DALAM KULIT KEPALA DALAM MANDI JUNUB?

Pertanyaan ke31:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Seorang wanita yang junub lalu mandi wajib, apakah ia harus mencuci rambutnya hingga air masuk dan menyentuh kulit kepalanya?

Jawaban:
Mandi junub atau mandi wajib lainnya memiliki beberapa kewajiban yang di antaranya adalah sampainya air ke bagian tumbuhnya rambut, kewajiban ini berlaku bagi kaum pria maupun wanita, berdasarkan firman Allah aza wajalla:
"dan jika kamu junub maka mandilah" (Al-Ma'idah: 6)

Maka tidak boleh bagi wanita hanya sekadar mencaci rambutnya saja, akan tetapi wajib baginya untuk mengalirkan air itu hingga ke tempat tumbuhnya rambut termasuk kulit kepala, akan tetapi bila rambutnya itu berlilit, maka tidak wajib membukanya, hanya saja ia wajib mengalirkan air pada setiap lilitan rambut,yaitu dengan meletakkan lilitan itu dibawah tuangan air, kemudian rambut itu diperas hingga air masuk ke seluruh rambutnya.

Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/226.

Via HijrahApp

HUKUM CAIRAN KUNING YANG KELUAR SEHARI ATAU DUA HARI SEBELUM MASA HAIDH

Pertanyaan ke149:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apa hukum cairan berwarna kuning yang keluar dari seorang wanita sehari atau dua hari sebelum haidh?

Jawaban:
Jika cairan berwarna kuning ini keluar sebelum datangnya haidh berarti itu bukan haidh, berdasarkan ucapan Ummu Athiah:

"Kami tidak menganggap cairan kuning dan cairan keruh sebagai suatu apa pun".

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Kami tidak menganggap cairan kuning dan cairan keruh sebagai suatu apa pun setelah datangnya masa suci".

Dan jika cairan kuning ini keluar sebelum haidh kemudian beriringan dengan keluarnya darah haidh maka cairan kuning ini bukan bagian dari haidh. Akan tetapi jika wanita ini mengetahui bahwa cairan kuning ini adalah pendahuluan haidhnya. maka ia harus meninggalkan shalat hingga ia mendapatkan kesuciannya.

Majmu Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin. 4/280.

Via HijrahApp

HUKUM CAIRAN KUNING YANG KELUAR DARI WANITA SETELAH SUCI

Pertanyaan ke151:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apa hukum cairan yang keluar dari wanita setelah ia suci?

Jawaban:
Kaidah umum tentang masalah ini dan masalah-masalah serupa lainnya adalah:
Bahwa cairan kekuning-kuningan dan cairan keruh yang keluar dari wanita setelah ia suci bukan apa-apa berdasarkan ucapan Ummu Athiah:

"Kami tidak menganggap cairan kuning dan cairan keruh sebagai sesuatu apa pun setelah suci",

sebagaimana kaidah umum lainnya mengatakan:

Hendaknya seorang wanita tidak tergesa-gesa untuk menyatakan telah habis masa haidhnya hanya karena berhentinya darah haidh sebelum ia mengeluarkan cairan putih, sebagaimana diucapkan Aisyah رضى الله عنها, kepada para wanita yang datang menemuinya dengan menggunakan kapas (pembalut wanita):

"Janganlah kalian tergesa-gesa (mengatakan habisnya masa haidh) hingga kalian melihat (mengeluarkan) cairan putih."

Pada kesempatan ini saya peringatkan dengan tegas kepada kaum wanita agar menghindari penggunaan tablet-tablet pencegah haidh, karena obat-obatan ini, sebagaimana dinyatakan oleh sejumlah dokter yang saya tanya tentang masalah ini, mereka sepakat mengklaim bahwa obat-obatan ini berbahaya, bahkan ada diantara para dokter itu yang menuliskan untuk saya sejumlah bahaya yang terkandung di dalam obat-obatan ini, ada empat belas macam bahaya.

Di antara bahayanya yang terbesar adalah dapat menyebabkan luka pada rahim dan dapat mempengaruhi sirkulasi darah serta menimbulkan ketidakteraturan haidh. Ini kenyataannya, dan masih banyak problematika lainnya yang bisa dialami oleh para wanita yang mengkonsumsinya, bahkan bisa mempengaruhi bentuk janin ketika mengandung. Jika wanita yang mengkonsuminya itu belum menikah, kelak bisa menyebabkan kemandulan sehingga tidak dapat mempunyai anak. Ini sungguh bahaya yang besar.

Lain dari itu, sebenarnya seorang manusia dengan akal sehatnya bisa melogikakan, bahwa mencegah sesuatu yang alami ini, yang telah ditetapkan oleh Allah padanya padamasa-masa tertentu, dapat membahayakannya, seperti halnya bila seseorang berusaha menahan kencing atau air besar, tentu ini dapat membahayakan.

Begitu juga darah haidh,ini adalah alami yang telah ditetapkan Allah pada diri setiap wanita, tidak diragukan lagi bahwa berusaha mencegah keluarnya darah haidh pada waktunya akan membahayakan diri wanita itu sendiri. Saya peringatkan kepada para wanita muslimat, hendaknya mereka tidak menggunakan obat-obatan tersebut, dan kepada kaum pria saya sarankan agar mereka mencegah para isterinya menggunakan obat-obatan itu.

Ibid, 4/282.

Via HijrahApp

HUKUM CAIRAN YANG KELUAR SETETES DEMI SETETES

Pertanyaan ke169:
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ ditanya:
Apa hukum cairan yang keluar dari kemaluan wanita setetes demi setetes, apakah hukum cairan itu sama dengan hukum madi?

Jawaban:
Hukum cairan itu sama dengan air kencing, hendaknya wanita itu beristinja', berwudhu sebagaimana disyari'atkan, juga hendaknya ia mencuci badan dan pakaian yang terkena itu.

Ibid, 5/384.

Via HijrahApp

HUKUM DARAH NIFAS YANG KELUAR LAGI

Pertanyaan ke126:
Syaikh Ibnu As-Sa'di ditanya:
Ada yang mengatakan tentang wanita yang sedang nifas: "Jika darah itu datang lagi maka itu diragukan (sebagai darah nifas)" apakah ungkapan ini bisa diterima atau tidak?

Jawaban:
Tidak bisa diterima. Yang benar, bila darah itu datang lagi maka tidak diragukan lagi bahwa itu adalah nifas, dan karena itu berlaku seluruh hukum nifas. Apa bedanya dengan ucapan mereka tentang haidh, misalnya, kebiasaan haidh seorang wanita sepuluh hari, kemudian pada suatu kali ia mengalami haidh hanya lima hari lalu berhenti selama tiga hari, kemudian darah itu keluar lagi dalam kurun sepuluh hari itu, mereka menyatakan, tidak diragukan bahwa itu memang darah haidh.

Sebenarnya ungkapan ini persis seperti yang tadi, hanya saja mengenai penetapan hukum yang mereka sebutkan, bahwa si wanita itu tetap melaksanakan shalat, puasa dan mengqadha kewajibannya, bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan syari'at. Sesungguhnya syari'at tidak ditetapkan pada suatu ibadah dua kali, kecuali karena adanya kekurangan pada pelaksanaannya, yaitu kekurangan pada syarat dan kewajiban-kewajibannya.

Adapun yang tadi itu adalah seperti yang mereka ungkapkan (dalam masalah haidh), bukan karena adanya kekurangan. Karena itu tidak mungkin menambahkan pada ketetapan yang telah ada. Inilah pendapat yang kami benarkan di antara dua pendapat mereka, semoga Allah merahmati mereka dan memberi mereka balasan pahala yang sebaik-baiknya karena jasa mereka pada kami dan kaum muslimin.

Ibid.

Via HijrahApp

HUKUM DARAH YANG KELUAR SETELAH KELUARNYA JANIN

Pertanyaan ke115:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apa hukum darah yang mengalir setelah keluarnya janin?

Jawaban:
Jika janin bayi telah keluar dari mulut rahim lalu disusul oleh keluarnya darah, maka hukum darah yang keluar dari rahim itu tergantung padabentuk janin yang dilahirkan, jika janin yang keluar ini telah berbentuk manusia dengan memiliki kepala, dua tangan, dua kaki serta anggota tubuh lainnya, maka darah yang keluar ini adalah darah nifas yang menghalangi seorang wanita mengerjakan shalat dan puasa sampai datangnya masa suci, yaitu terhentinya darah nifas tersebut.

Sedangkan jika janin yang dilahirkan itu belum memiliki bentuk-bentuk manusia, maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas yang tidak menghalanginya untuk shalat dan puasa kecuali jika keluarnya darah ini sesuai dengan waktu yang biasanya ia mendapat haidh, jika demikian halnya maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa hingga habisnya masa haidh yang biasanya ia alami.

ibid, 4/292.

Via HijrahApp

HUKUM DARAH YANG MENGATIR TERUS MENERUS DALAM WAKTU YANG LAMA SETELAH KEGUGURAN

Pertanyaan ke113:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Saya mempunyai seorang istri yang sedang hamil, pada bulan kedua dari masa kehamilannya ia mengalami keguguran karena banyaknya darah yang dikeluarkan, dan darah itu masih tetap mengalir hingga saat ini, apakah diwajibkan baginya untuk melakukan shalat dan puasa? Atau apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
Jika wanita hamil mengalami keguguran kandungan pada bulan kedua dari masa kehamilannya, maka sesungguhnya darah yang dikeluarkan ini adalah darah penyakit, bukan darah haidh dan bukan pula dari nifas,

maka dari itu diwajibkan bagi wanita untuk berpuasa dan puasanya sah, wajib baginya melaksanakan shalat dan shalatnya adalah sah, boleh bagi suaminya untuk menyetubuhinya dan tidak ada dosa baginya, karena para ulama mengatakan bahwa syarat diberlakukannya hukum nifas, yaitu jika janin yang dilahirkan sudah berbentuk manusia dengan telah terbentuknya organ-organ tubuh dan telah memiliki bentuk kepala, kaki dan tangan.

Jika seorang wanita mengeluarkan janin sebelum memiliki bentuk manusia, maka darah yang dikeluarkan oleh wanita yang melahirkan janin ini bukan darah nifas. Keterangan ini menimbulkan pertanyaan: Kapan janin itu berbentuk manusia?

Jawabnya adalah: Janin itu telah memiliki bentuk jika telah berumur delapan puluh hari atau dua bulan dua puluh hari, bukan empat bulan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud yang terkenal, ia berkata: Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda kepada kami:
"Sesungguhnya seseorang di antara kalian dipadukan bentuk ciptaannya di dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk air mani, kemudian menjadi segumpal daging selama empat puluh hari pula"

(maka inilah masa empat bulan) kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dst hingga akhir hadits. Tentang segumpal daging itu diterangkan Allah aza wajalla dalam kitabnya, bahwa segumpal daging adalah segumpal darah yang belum sempurna bentuknya, jadi janin itu tidak mungkin memiliki bentuk sebelum berumur delapan puluh hari, dan setelah delapan puluh hari bisa jadi berbentuk dan bisa jadi tidak berbentuk.

Para ulama berpendapat bahwa umumnya janin itu telah berbentuk menjadi manusia jika janin bayi telah berumur sembilan puluh hari, maka janin yang ada dalam perut wanita yang baru dua bulan ini belum memiliki bentuk manusia karena baru enam puluh hari, dengan demikian darah yang keluar darinya adalah darah penyakit yang tidak menghalanginya untuk berpuasa, shalat serta ibadah-ibadah lainnya.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/266.

Via HijrahApp

HUKUM DARAH YANG MENYERTAI KEGUGURAN PREMATUR SEBELUM SEMPURNANYA BENTUK JANIN DAN SETELAH SEMPURNANYA JANIN

Pertanyaan ke112:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Di antara para wanita hamil terkadang ada yang mengalami keguguran, ada yang janinnya telah sempurna bentuknya dan ada pula yang belum berbentuk, saya harap Anda dapat menerangkan tentang shalat pada kedua kondisi ini?

Jawaban:
Jika seorang wanita melahirkan janin yang telah berbentuk manusia, yaitu ada tangannya, kakinya dan kepalanya, maka dia itu dalam keadaan nifas, berlaku baginya ketetapan-ketetapan hukum nifas, yaitu tidak berpuasa, tidak melakukan shalat dan tidak dibolehkan bagi suaminya untuk menyetubuhinya hingga ia menjadi suci atau mencapai empat puluh hari,

dan jika ia telah mendapatkan kesuciannya dengan tidak mengeluarkan darah sebelum mencapai empat puluh hari maka wajib baginya untuk mandi kemudian shalat dan berpuasa jika di bulan Ramadhan dan bagi suaminya dibolehkan untuk menyetubuhinya, tidak ada batasan minimal pada masa nifas seseorang wanita,

jika seorang wanita telah suci dengan tidak mengeluarkan darah setelah sepuluh hari dari kelahiran atau kurang dari sepuluh hari atau lebih dari sepuluh hari, maka wajib baginya untuk mandi kemudian setelah itu ia dikenakan ketetapan hukum sebagaimana wanita suci lainnya sebagaimana disebutkan di atas, dan darah yang keluar setelah empat puluh hari ini adalah darah rusak (darah penyakit),

jadi ia tetap diwajibkan untuk berpuasa, sebab darah yang dikeluarkan itu termasuk ke dalam kategori darah istihadhah, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم kepada Fatimah binti Abu Hubaisy, yang mana saat itu ia mustahadhah (mengeluarkan darah istihadhah):
"Berwudhulah engkau setiap kali waktu shalat".

Dan jika terhentinya darah nifas itu diteruskan oleh mengalirnya darah haidh setelah empat puluh hari, maka wanita itu dikenakan hukum haidh, yaitu tidak dibolehkan baginya berpuasa, melaksanakan shalat hingga habis masa haidh itu, dan diharamkan bagi suaminya menyetubuhinya pada masa itu.

Sedangkan jika yang dilahirkan wanita itu janin yang belum berbentuk manusiamelainkan segumpal daging saja yang tidak memiliki bentuk atau hanya segumpal darah saja, maka pada saat itu wanita tersebut dikenakan hukum mustahadhah, yaitu hukum wanita yang mengeluarkan darah istihadhah, bukan hukum wanita yang sedang nifas dan juga bukan hukum wanita haidh.

Untuk itu wajib baginya melaksanakan shalat serta berpuasa di bulan Ramadhan dan dibolehkan bagi suaminya untuk menyetubuhinya, dan hendaknya ia berwudhu setiap akan melaksanakan shalat serta mewaspadainya keluarnya darah dengan menggunakan kapas atau sejenisnya sebagaimana layaknya yang dilakukan wanita yang mustahadhah, dan dibolehkan baginya untuk menjama' dua shalat, yaitu Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya'.

Dan disyari'atkan pula baginya mandi untuk kedua gabungan shalat dan shalat Shubuh berdasarkan hadits Hamnah bintu Zahsy yang menetapkan hal itu, karena wanita yang seperti ini dikenakan hukum mustahadhah menurut para ulama."

Kitab Fatawa Ad-Dawah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/78

Via HijrahApp

HUKUM DUDUK DALAM MASJID BAGI WANITA HAIDH KARENA CUACA YANG AMAT PANAS

Pertanyaan ke93:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Seorang wanita haidh tidak mendapatkan tempat berteduh untuk melindungi dirinya dari sinar matahari yang amat panas kecuali masjid, apakah boleh bagi wanita itu masuk masjid untuk berteduh dalam keadaan seperti ini?

Jawaban:
Tidak boleh bagi wanita haidh masuk ke dalam masjid, dalilnya adalah sabda Nabi صلی الله عليه وسلم, yang mana saat itu disebutkan bahwa Shafiah binti Huyyay رضى الله عنها, Ummul Mukminin sedang dalam keadaan haidh, maka beliau bersabda:
"Apakah ia mengurung kita "

Hal itu beliau ucapkan karena Shafiah tidak akan Thawaf, maka Nabi shalallahualaihi wasallam melarangnya untuk meninggalkan Mekkah kecuali setelah Thawaf Wada'. Ibnu Abbas berkata: Akan tetapi Rasulullah memberi keringanan kepada wanita haidh yaitu dikarenakan wanita haidh tidak boleh berdiam di dalam masjid maka dibolehkan baginya untuk melewati masjid.

Dan dalam kondisi seperti yang disebutkan oleh penanya maka dibolehkan baginya untuk masuk masjid dan duduk di dalamnya karena dalam keadaan darurat.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/137.

Via HijrahApp

HUKUM MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN HAFALAN ATAU DENGAN MELIHAT MUSHAF BAGI YANG SEDANG JUNUB

Pertanyaan ke90:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya:
Apa hukumnya membaca Al-Qur'an dengan hafalan atau dengan melihat mushaf bagi orang yang sedang junub?

Jawaban:
Tidak boleh bagi orang yang sedang junub untuk membaca Al-Qur'an sebelum ia mandi junub, baik dengan cara melihat Al-Qur'an ataupun yang sudah dihafalnya. Dan tidak boleh baginya membaca Al-Qur'an kecuali dalam keadaan suci yang sempurna, yaitu suci dari hadats yang paling besar sampai hadats yang paling kecil.

Fatawa Al-Lajnah -Da’imah Lil Ifta’, 5/328.

Via HijrahApp

HUKUM MENCAMPURI WANITA MUSTAHADHAH

Pertanyaan ke144:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya:
Apa hukumnya mencampuri wanita yang sedang mengeluarkan darah istihadhah?

Jawaban:
Mencampuri wanita yang mengeluarkan darah Istihadhah tidak dilarang dan dibolehkan bagi suaminya untuk mencampuri istrinya walaupun tidak ada kekhawatiran untuk berbuat zina, hanya saja perbuatan itu makruh.

Pada zaman Rasulullah صلی الله عليه وسلم, wanita-wanita mustahadhah dicampuri oleh suami-suami mereka, riwayat ini bisa dijadikan hujjah bahwa mencampuri wanita mustahadhah dibolehkan hanya saja hukumnya makruh. Pendapat yang mengatakan tidak diharamkannya mencampuri wanita mustahadhah adalah pendapat yang lebih kuat, namun berusaha untuk tidak mencampuri wanita mustahadlah adalah lebih utama.

Ibid, 2/101.

Via HijrahApp

HUKUM MENCUCI KEPALA BAGI WANITA HAIDH

Pertanyaan ke96:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apa hukumnya mencuci kepala bagi wanita yang sedang mendapatkan haidh,karena sebagian orang mengatakan bahwa hal itu tidak dibolehkan?

Jawaban:
Dibolehkan bagi wanita haidh untuk mencuci kepalanya di tengah masa haidhnya, sedangkan pendapat yang mengatakan tidak dibolehkan melakukan hal itu adalah tidak benar dan tidak memiliki dasar. Jadi, dibolehkan bagi wanita haidh untuk mencuci kepalanya dan seluruh tubuhnya.

Ibid.

Via HijrahApp

HUKUM MENGKONSUMSI PIL ATAU OBAT YANG MELANCARKAN HAIDH

Pertanyaan ke97:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Istri saya tidak mendapatkan haidh selama lima bulan dan juga belum ada kepastian hamil darinya menurut test dan pemeriksaan kedokteran, lalu dokter memberinya resep obat untuk memperlancar datangnya haidh, bolehkan wanita ini mengkonsumsi obat-obatantersebut?

Jawaban:
Dibolehkan bagi wanita itu untuk mengkonsumsi obat-obat yang diresepkan dokter, jika dokter telah menetapkan bahwa manfaat obat-obat tersebut lebih besar daripada bahayanya bagi wanita itu.

Fatwa Al-Lajnah 5/401

Via HijrahApp

HUKUM MENGUSAP KAIN PENUTUP KEPALA SAAT MANDI JUNUB

Pertanyaan ke33:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Apa hukum nya seorang wanita yang mengusap kain penutup kepalanya saat mandi junub?

Jawaban:
Merupakan suatu hal yang sudah diketahui dari pendapat para ulama, bahwa dalam syariat Islam yang suci ini telah ada ketetapan mengenai mengusap khuf dan mengusap kain penutup kepala bagi rambut wanita dan pria (seperti telekung, jilbab ataupun sorban bagi laki-laki. pent), bahwa hal ini tidak dibolehkan dalam mandi junub menurut ijma para ulama, dan hanya dibolehkan dalam berwudhu berdasarkan hadits Shafwan bin As-sal رضى الله عنه, ia berkata:
'Rasulullah memerintahkan kami, jika kami dalam safar hendaknya kami tidak melepaskan khuf (sepatu yang melebihi mata kaki) kami selama tiga hari dan tiga malam kecuali jika kami junub, akan tetapi mengusap khuf itu dibolehkan setelah buang air besar, buang air kecil, atau bangun dari tidur'.

Tidak diragukan lagi bahwa syariat Islam adalah syariat yang amat mudah serta bertoleransi, tapi membasuh kepala dalam mandi janabat itu bukan suatu yang sulit sekali, karena saat Rasulullah ditanya Urnmu Salamah tentang mandi junub dan mandi haidh dengan berkata: “Wahai Rasulullah,sesungguhnya aku mengikat rambut kepalaku, apakah aku harus melepaskan ikatan rambut itu saat mandi junub dan saat mandi haidh?" maka Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya cukup bagi kamu menuangkan air sebanyak tiga tuangan diatas kepalanu kemudian kamu membasuh seluruh tubuhmu dengan air, maka (dengan denikian) kamu telah bersuci.” (Dikeluarkan oleh Muslim dalam shahihnya).

Hadits ini menunjukkan bahwa beliau menganjurkan kepada kaum wanita yang mendapatkan kesulitan untuk membasuh rambut mereka dalam mandi junub untuk menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga kali, sehingga air tersebut mengenai setiap rambut tanpa harus melepaskan ikatan rambut atau mengubah susunan rambut yang menyulitkannya dalam mandi junub,

juga disertai keterangan tentang apa yang didapati mereka dari sisi Allah berupa pahala yang besar, kehidupan yang baik dan mulia serta kekal di alam Surga jika mereka bersabar serta konsisten dalam menjalankan hukum-hukum syariat Allah.

Akan tetapi dalam kondisi-kondisi darurat yang mana saat itu seseorang berhalangan untuk bisa membasahi seluruh bagian kepalanya karena terdapat suatu luka, penyakit ataupun lainnya, maka saat itu ia dibolehkan untuk mengusap kepalanya saat bersuci, baik dari hadits besar maupun kecil.

Demikian ini jika kondisinya mengharuskan semacam itu dan tidak terbatas waktunya, yakni dibolehkan demikian selama dibutuhkan, demikian berdasarkan hadits Jabir tentang seorang pria yang di kepalanya terdapat luka, bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم memerintahkannya:
"Hendaknya ia membalut lukanya dengan sepotong kain kemudian hendaknya ia mengusapkan di atas kain itu lalu membasuh seluruh anggota tubuhnya." (Dikeluarkanoleh oleh Abu Daud dalam Sunannya).

Dan di antara hal yang sebaiknya diingatkan ketika menghadapi masalah atau bingung mengenai hukum, terutama terhadap orang-orang yang cenderung terhadap Islam, hendaknya dikatakan kepada mereka bahwa Surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci dan pengekangan syahwat, dan bahwa sesungguhnya ketika Allah aza wajalla memerintahkan para hambanya itu adalah untuk menguji mereka serta untuk mengetahui siapa yang terbaik amalnya di antara mereka,

sebab untuk mendapatkan ridha Allah dan untuk mendapatkan Surganya bukanlah sesuatu yang mudah dan tanpa kesulitan, akan tetapi hal itu akan bisa didapati dengan kesabaran dan perjuangan melawan hawa nafsu, bersusah payah dalam mendapatkan ridha Allah adalah salah satu jalan untuk menghindari murka Allah dan siksaanya, sebagaimana firman Allah azawajalla.
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya' (Al-Kahfi: 7).

Juga firman Allah:
"Yang menjadikan mati dan hidtp, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi MahaPengampun." (Al-Mulk : 2)

dan firmannya pula:
"Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu; dan agar Kami menyatakan ( baik buruknya) hal ihwalmu.' (Muhammad: 31)

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang bermakna dengan ayat-ayat tereebut, kita memohon kepada Allah untuk menjadikan kita semua sebagai penyeru kepada petunjuk. Semoga Allah senantiasa memperbaiki keadaan kaum Muslimin, menganugerahkan kepada semuarrya berupa pemahaman tentang penciptaan mereka dan memperbanyak pula penyeru-penyeru kebenaran, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Majmu1 Fatawa wa Afaqalat Asy-Syaikh Ibnu Baaz, 6/237.

Via HijrahApp

HUKUM MENGUSAP KHIMAR (JILBAB)

Pertanyaan ke13:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Bolehkah wanita mengusap kain penutup kepalanya (semacam jilbab)?

Jawaban:
Pendapat yang terkenal dalam madzhab Imam Ahmad, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa wanita dibolehkan untuk mengusap kain penutup kepalanya jika kain tersebut menutupi hingga di bawah lehernya, karena hal ini telah dilakukan oleh sebagian istri-istri para sahabat رضى الله عنهم.

Yang jelas; jika membuka penutup kepala itu menyulitkan, karena udara yang amat dingin atau sulit untuk membukanya kemudian harus memasangnya lagi, maka bertoleransi dalam hal semacam ini adalah dibolehkan, jika tidak, maka yang lebih utama adalah membuka penutup kepala itu untuk mengusap rambutnya secara langsung.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/171.

Via HijrahApp

HUKUM MENGUSAP RAMBUT YANG DISANGGUL (ATAU DIKEPANG)

Pertanyaan ke11:
Syaikh Muhammad bin ShalihAl-Utsaimin ditanya: Apa hukumnya mengusap rambut yang disanggul (atau dikepang) pada seorang wanita saat berwudhu?

Jawaban:
Dibolehkan bagi seorang wanita untuk mengusap rambutnya yang disanggul (atau dikepang) atau terurai, akan tetapi ia tidak boleh mengepang atau menyanggul rambut di bagian atas kepalanya, karena saya khawatir wanita itu akan masuk dalam sabda Nabi صلی الله عليه وسلم yang berbunyi:
"Dan para wanita yang berpakaian tapi (seperti) telanjang, kepala mereka bagaikan punuk unta yang berlenggak-tenggok, mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium aroma Surga, walaupun aromanya itu dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.”

Via HijrahApp

HUKUM MENYENTUH BUKU ATAU MAJALAH YANG DI DALAMNYA TERDAPAT AYAT-AYAT SUCI AL-QUR'AN BAGI WANITA HAIDH

Pertanyaan ke91:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apakah diharamkan bagi orang yang sedang junub,atau haidh untuk menyentuh buku-buku serta majalah-majalah yang di dalamnya terdapat ayat-ayat suci Al-Qur'an?

Jawaban:
Tidak diharamkan bagi orang yang sedang junub atau sedang haidh atau yang tidak berwudhu untuk menyentuh buku atau majalah yang di dalamnya terdapat ayat-ayat Al-Qur'an, karena buku-buku dan majalah-majalah itu bukan Al-Qur'an."

Majmu' Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/225.

Via HijrahApp

HUKUM MENYETUBUHI ISTRI YANG SEDANG HAIDH

Pertanyaan ke84:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya tentang hukumnya persetubuhan yang dilakukan seorang pria terhadap istrinya yang sedang dalam keadaan haidh?

Jawaban:
Persetubuhan yang dilakukan seorang pria terhadap istrinya yang sedang haidh adalah haram berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulnya shalallahu alaihiwasallam, Allah berfirman:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: 'Haidh itu adatah suatu kotoran'. Oieh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh." (Al-Baqarah: 222)

Maksud ayat ini adalah larangan untuk menyetubuhi wanita yang sedang haidh. Al-Mahidl artinya adalah tempat keluarnya darah haidh yaitu faraj (kemaluan), dan jika seorang pria berani menyetubuhi istrinya yang sedang haidh itu maka hendaknya pria itu bertaubat dan tidak mengulangi perbuatan itu lagi, kemudian pria itu dikenakan kaffarah (denda) sebanyak satu dinar atau setengah dinar berdasarkan hadits marfu' Ibnu Abbas tentang pria yang menyetubuhi istrinya yang sedang mendapatkan haidh, ia berkata:
"Hendaknya ia bersedakah dengan satu dinar atau setengah dinar",

hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi danAn-Nasa'i. Yang dimaksud dengan satu dinar adalah satu mitsqol emas (satu dinar atau satu mitsqol emas adalah 4 1/4 gram), dan jika ia tak mendapatkannya maka sebagai penggantinya adalah seukuran harga perak, Wallahu A'lam.

Fatawa wa Rasa’il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/98.

Via HijrahApp

HUKUM ORANG YANG YAKIN BAHWA CAIRAN-CAIRAN ITU TIDAK MEMBATALKAN WUDHU

Pertanyaan ke154:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apakah cairan yang keluar dari wanita itu suci atau najis? Apakah cairan itu dapat membatalkan wudhu?

Perlu diketahui, bahwa sebagian wanita berkeyakinan bahwa cairan itu tidak membatalkan wudhu.

Jawaban:
Setelah melakukan penelitian saya berpendapat, bahwa cairan yang keluar dari kemaluan wanita, jika cairan itu tidak keluar melalui saluran kencing melainkan keluar melalui saluran rahim maka cairan itu adalah suci dan tidak najis, akan tetapi menbatalkan wudhu walaupun cairan itu suci, karena sesuatu yang membatalkan wudhu tidak mesti najis,

sebagaimana angin yang keluar dari dubur, angin tersebut tidak memiliki bentuk maupun warna, walaupun demikian keluarnya angin tersebut dari dubur akan membatalkan wudhu.

Dengan demikian berdasarkan ini, jika cairan itu keluar dari kemaluan wanita saat ia dalam keadaan punya wudhu maka wudhunya itu menjadi batal dan ia harus memperbaharui wudhunya, akan tetapi jika cairan itu keluar terus menerus maka cairan itu tidak membatalkan wudhu,

hanya saja, jika demikian yang terjadi maka wanita itu harus berwudhu setiap kali akan shalat dan wudhu itu ia lakukan setelah masuknya waktu shalat yang akan ia kerjakan, baik shalat wajib maupun shalat sunnah,

juga dibolehkan baginya untuk membaca Al-Qur'an serta melaksanakan hal-hal yang dibolehkan baginya, sebagaimana dinyatakan oleh para ulama tentang masalah itu terhadap orang yang terus menerus menetes air kencingnya.

Demikianlah hukum cairan itu ditinjau dari segi kesucian, yakni bahwa cairan itu dianggap suci dalam arti kata tidak menyebabkan najis pada pakaian dan badan. Sedangkan jika ditinjau dari segi wudhu, maka keluarnya cairan itu dapat membatalkan wudhu,

lain halnya jika keluarnya cairan itu terus menerus, jika keluarnya itu terus menerus maka tidak membatalkan wudhu, hanya saja hendaknya tidak berwudhu kecuali setelah masuknya waktu shalat yang akan ia kerjakan kemudian berusaha menjaganya agar tidak menetes dengan menggunakan kapas atau sejenisnya.

Adapun jika cairan tersebut terputus-putus keluarnya yaitu biasanya cairan itu akan berhenti mengalir pada saat-saat shalat, maka sebaiknya wanita itu menunda shalatnya hingga tiba waktu yang biasanya cairan ini tidak mengalir, dengan syarat penundaan waktu itu tidak menyebabkan habisnya waktu shalat,

dan jika ia khawatirkan akan habisnya waktu shalat maka sebaiknya ia segera berwudhu dan menggunakan pembalut wanita misalnya dan kemudian shalat, sebab tidak ada bedanya baik yang keluar itu sedikit maupun banyak, bila itu keluar dari jalan tersebut maka sedikit atau pun banyak dapat membatalkan wudhu.

Sedangkan tentang keyakinan sebagian wanita yang menyatakan bahwa cairan itu tidak membatalkan wudhu, maka tentang pendapat ini saya katakan, bahwa saya tidak mengetahui sumber pendapat ini kecuali pendapat dari Ibnu Hazm yang mengatakan: "Bahwa cairan ini tidak membatalkan wudhu" akan tetapi ia tidak menyebutkan dalilnya, seandainya beliau menyebutkan dalil dari Al-Kitab atau As-Sunnah ataupun ucapan para sahabat, tentu bisa menjadi hujjah.

Hendaknya para wanita itu bertaqwa kepada Allah dan berusaha untuk memperhatikan kesuciannya, karena sesungguhnya shalat seseorang tidak akan diterima jika ia tidak suci walaupun ia melakukan shalat sebanyak seratus kali, bahkan sebagian ulama mengatakan:

Sesungguhnya orang yang melaksanakan shalat tanpa bersuci berarti ia telah kufur, karena berlaku seperti ini berarti memperolok-olok ayat-ayat Allah aza wajalla.

Ibid, 4/284.

Via HijrahApp

HUKUM PAKAIAN BAWAH WANITA YANG TERKENA NAJIS

Pertanyaan ke1:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya tentang hukumnya pakaian wanita bagian bawah yang terkena najis?

Jawaban:
Sama hukumnya dengan alas kaki yang terkena najis kemudian mengenai sesuatu yang kering dan suci, maka sesuatu yang kering dan suci itu akan mensucikan najis itu, ini adalah pendapat yang kuat.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, 2/92.

Via HijrahApp

HUKUM PAKAIAN WANITA YANG TERKENA AIR KENCING BAYI SAAT MELAKUKAN SHALAT

Pertanyaan ke2:
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil ifta1 ditanya: Saya telah berwudhu untuk melakukan shalat Lalu saya bawa seorang bayi, kemudian bayi itu menodai pakaian saya dengan air kencingnya, maka saya mencuci bagian yang terkena air kencing itu lalu saya shalat tanpa mengulangi wudhu. Apakah shalat saya itu sah?

Jawaban:
Shalat Anda sah, karena air kencing bayi yang mengenai Anda tidak membatalkan wudhu, akan tetapi Anda wajib mencuci noda yang mengenai Anda.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/286.

Via HijrahApp

HUKUM WANITA YANG MENGALAMI HAIDH PERTAMA

Pertanyaan ke56:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya tentang hukum wanita yang baru pertama kali mengalami haidh?

Jawaban:
Pendapat yang benar, yang tidak boleh bagi kaum wanita untuk mengambil pendapat-pendapat lainnya selain pendapat ini adalah bahwa jika seorang wanita yang belum pernah mengalami haidh mengeluarkan darah pada suatu waktu yang diperkirakan sebagai masa haidh, maka ia harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya hingga habis masa haidnya, masa itu adalah masa haidh, dan tidak perlu baginya untuk menunggu sampai berulangnya peristiwa serupa (untuk menetapkan sebagai masa haidhnya).

Kaum wanita pada masa sekarang dan juga pada masa-masa sebelumnya hanya melaksanakan pendapat ini. Ini adalah pendapat yang benar dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan pendapat ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini.

Adapun pendapat-pendapat ulama madzhab Hambali sejauh yang saya ketahui adalah sama dengan pendapat ini, kemudian mereka menta'birkannya lima belas hari.

Yang benar, pendapat ini adalah pendapat yang tidak ada dalil yang menguatkannya, untuk itu jika seorang wanita masih mengeluarkan darah hingga enam belas hari atau tujuh belas hari, atau delapan belas hari maka ia harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Seorang wanita harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainya selama masih mengalir darinya darah yang bukan darah istihadhah (darah penyakit) dan darah istihadhah itu dapat dikenali.

Darah istihadhah adalah darah yang keluar terus menerus dalam jumlah yang banyak (definisi darah istihadhah menurut Syaikhul Islam). Dan perlu saya beritahukan di sini bahwa ketika Allah menyebutkan tentang haidh, Allah tidak menyebutkan batas umur haidh, tidak menyebutkan masa haidh dan tidak merinci permulaan masa haidh, begitu pula Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak menyebutkan bahwa permulaan haidh adalah begini dan begitu.

Pada dasarnya bahwa darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita adalah darah haidh, memang benar jika disebutkan bahwa ada darah yang dinamakan darah istihadhah, akan tetapi darah istihadhah ini memiliki hukum tersendiri dan darah tersebut dapat dibedakan dengan darah haidh. Untuk itu tidak ada jalan bagi kaum wanita kecuali harus melaksanakan pendapat ini.

Bahkan sekalipun seseorang hendak mengobati wanita sehingga mereka melaksanakan pendapat tentu mereka tidak mampu dan tidak melaksanakan pendapat orang tersebut. Dan ini meskipun bukan hujjah tapi bisa menerangkan bahwa apa yang disebutkan didalam pendapat ini terdapat kesulitan.

Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/99.

Via HijrahApp

HUKUM WUDHUNYA ORANG YANG MENGGUNAKAN INAI (PACAR)

Pertanyaan ke8:
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta' ditanya: Diriwayatkan dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang maksudnya: Tidak sah wudhunya seseorang bila pada jari-jarinya terdapat adonan (sesuatu yang dicampur air) atau tanah.

Kendati demikian saya banyak melihat kaum wanita yang menggunakan inai (pacar) pada tangan atau kaki mereka, padahal inai yang mereka pergunakan itu adalah sesuatu yang dicampur dengan air dalam proses pembuatannya, kemudian para wanita itu pun melakukan shalat dengan menggunakan inai tersebut, apakah hal itu dibolehkan? Perlu diketahui bahwa para wanita itu mengatakan bahwa inai ini adalah suci, jika ada seseorang yang melarang mereka.

Jawaban:
Berdasarkan yang telah kami ketahui bahwa tidak ada hadits yang bunyinya seperti demikian. Sedangkan inai (pacar) maka keberadaan warnanya pada kaki dan tangan tidak memberi pengaruh pada wudhu, karena warna inai tersebut tidak mengandung ketebalan/lapisan, lain halnya dengan adonan, kutek dan tanah yang memiliki ketebalan dapat menghalangi mengalirnya air pada kulit, maka wudhu seseorang tidak sah dengan adanya ketebalan tersebut karena air tidak dapat menyentuh kulit.

Namun jika inai itu mengandung suatu zat yang menghalang air untuk sampai pada kulit, maka inai tersebut harus dihilangkan sebagaimana adonan.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta', 5/217.

Via HijrahApp

HUKUM WUDHUNYA ORANG YANG MENGGUNAKAN KUTEK

Pertanyaan ke7:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah hukum wudhunya orang yang menggunakan kutek pada kuku-kukunya?

Jawaban:
Sesungguhnya kutek itu tidak boleh dipergunakan wanita jika ia hendak shalat, karena kutek tersebut akan menghalangi mengalirnya air dalam bersuci (pada bagian kuku yang tertutup oleh kutek itu), dan segala sesuatu yang menghalangi mengalirnya air (pada bagian tubuh yang harus disucikan dalam berwudhu) tidak boleh dipergunakan oleh orang yang hendak berwudhu atau mandi, karena Allah aza wajalla telah berfirman:
"maka basuhlah mukamu dan tanganmu" (Al-Maidah: 6)

Jika wanita ini menggunakan kutek pada kukunya, maka hal itu akan menghalangi mengalirnya air hingga tidak bisa dipastikan bahwa ia telah mencuci tangannya, dengan demikian ia telah meninggalkan satu kewajiban di antara beberapa yang wajib dalam berwudhu atau mandi.

Adapun bagi wanita yang tidak shalat, seperti wanita yang mendapat haidh, maka tidak ada dosa baginya jika ia menggunakan kutek tersebut, akan tetapi perlu diketahui bahwa kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah kebiasaan wanita-wanita kafir,dan menggunakan kutek tersebut tidak dibolehkan karena terdapat unsur menyerupai mereka.

Via HijrahApp

HUKUM WUDHUNYA WANITA YANG TIDAK MENGHILANGKAN KUTEK

Pertanyaan ke9:
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Ifta' ditanya: Kami mendengar sebagian ulama mengatakan: Dibolehkan bagi wanita untuk berwudhu tanpa harus menghilangkan kutek (cat kuku), bagaimanakah menurut Anda?

Jawaban:
Jika cat kuku itu memiliki bentuk di atas permukaan kuku maka tidak boleh berwudhu tanpa menghilangkannya sebelum berwudhu, sementara jika cat kuku itu tidak memiliki bentuk maka diperbolehkan berwudhu tanpa harus menghilangkan cat kuku itu seperti halnya inai.

Ibid, 5/218.

Via HijrahApp

JIKA DARAH HAIDH BERUBAH MENJADI CAIRAN LAIN

Pertanyaan ke128:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Seorang wanita mengeluarkan darah nifas selama dua minggu kemudian darah itu secara bertahap berubah menjadi cairan yang agak kental (lendir) kekuning-kuningan dan hal itu terus terjadi hingga mendekati penghujung hari keempat puluh, apakah keluarnya lendir ini yang menyusul darah nifas ini dikenakan hukuman sebagaimana hukumnya nifas atau tidak?

Jawaban:
Cairan ini yang berwarna kekuning-kuningan atau cairan seperti lendir, selama belum nampak kesucian yang jelas dan nyata maka hukum cairan itu dikategorikan sebagai darah nifas, dengan demikian wanita itu belum dikatakan suci sebelum terhentinya aliran cairan berwarna kekuning-kuningan ini,

jika cairan ini berhenti dan ia telah mendapatkan kesuciannya yang jelas dan nyata, maka wajib baginya untuk mandi, shalat dan puasa walaupun kesucian itu ia dapatkan sebelum empat puluh hari.

Adapun masalah yang diduga oleh sebagian wanita, bahwa seorang wanita harus tetap meninggalkan shalat hingga mencapai empat puluh hari, walaupun ia telah mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari itu, adalah dugaan yang salah dan tidak benar.

Yang benar adalah; jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya maka wajib baginya untuk shalat sebagaimana wanita-wanita suci lainnya, walaupun kesucian itu didapati pada hari kesepuluh setelah masa persalinan.

Ibid, 4/291.

Via HijrahApp

JIKA DARAH TERUS MENGALIR SETELAH EMPAT PULUH HARI

Pertanyaan ke105:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Jika darah nifas terus keluar setelah empat puluh hari, apakah wanita itu harus puasa dan shalat?

Jawaban:
Wanita yang sedang nifas jika terus mengeluarkan darah hingga lebih dari empat puluh hari, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan,

pertama: Darah yang keluar setelah empat puluh hari itu bukan lagi darah nifas melainkan darah haidh yang menyusul keluarnya darah nifas, jika waktu itu bertepatan dengan masa haidh yang biasanya, maka saat itu ia harus meninggalkan shalat.

Kemungkinan kedua adalah, bila setelah empat puluh hari nifas bukan merupakan masa haidh yang biasanya, maka para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Di antara ulama ada yang berpendapat: Hendaknya wanita ini segera mandi wajib serta melaksanakan shalat walaupun wanita itu tetap mengeluarkan darah, karena darah yang keluar setelah itu adalah darah istihadhah.

Di antara mereka ada yang berpendapat: Wanita itu tetap tidak melaksanakan shalat hingga enam puluh hari, karena ada sebagian kaum wanita yang tetap dalam keadaan nifas hingga enam puluh hari, dan ini adalah suatu kejadian yang nyata.

Berdasarkan ini, maka wanita yang tetap mengeluarkan darah lebih dari empat puluh hari hendaknya ia menunggu sampai enam puluh hari kemudian setelah itu darah yang keluar dianggap darah haidh hingga habisnya masa haidh yang biasa ia alami kemudian setelah itu ia wajib mandi serta shalat, sementara darah yang keluar setelah itu dianggap darah istihadhah.

Majmu'Fatawa wa Rasa’il Asy-syaikh Ibnu Utsaimin, 4/289.

Via HijrahApp

JIKA MASA HAIDH LEBIH DARI BIASANYA

Pertanyaan ke61:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Seorang wanita biasanya mengalami masa haidh selama enam hari, kemudian pada suatu bulan ia mengalamimasa haidh melebihi masa haidh biasa selama beberapa hari?

Jawaban:
Jika masa haidh seorang wanita biasanya selama enam hari kemudian pada bulan tertentu masa masa haidh itu bertambah panjang hingga mencapai sembilan hari atau sepuluh hari, maka hukum haidh tetap berlaku pada dirinya, yaitu meninggalkan shalat hingga haidh itu berhenti, ketetapan ini diberlakukan karena Nabi صلی الله عليه وسلم tidak membatasi masa haidh pada batasan tertentu, dan Allah berfirman:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: 'Haidh itu adalah suatu kotoran'." (Al-Baqarah: 222)

Maka selama seorang wanita masih mengeluarkan darah haidh berarti ia tetap dikenakan hukum haidh hingga berhenti darah haidh itu lalu ia mandi, bersuci dan melaksanakan shalat, dan jika pada bulan berikutnya ia mengalami masa haidh kurang dari itu maka ia harus segera mandi jika telah selesai haidhnya kendatipun masa haidhnya itu tidak selama masa haidh sebelumnya.

Dan yang penting bagi seorang wanita adalah jika ia mengeluarkan darah haidh maka hukum haidh berlaku baginya dengan meninggalkan shalat, walaupun masa haidhnya itu tidak sama dengan kebiasaan masa haidh yang lalu, ataupun masa haidh itu lebih cepat atau lebih lama dari masa haidh yang biasanya, kemudian jika habis masa haidnya maka hukum haidh tidak berlaku lagi baginya, yaitu ia kembali mengerjakan shalat.

Majmu' Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/277.

Via HijrahApp

JIKA ORANG HAMIL MENGELUARKAN DARAH HAIDH

Pertanyaan ke78:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Jika seorang wanita dinyatakan hamil kemudian ia mengeluarkan darah haidh apakah ketetapan hukum haidh tetap berlaku?

Jawaban:
Seorang wanita telah dinyatakan hamil kemudian mengeluarkan darah haidh, perbedaan pendapat tentang hal ini cukup terkenal yang bertumpu pada satu pertanyaan yaitu:

Apakah wanita hamil bisa mendapatkan haidh atau tidak? Madzhab-madzhab Fiqh yang ada menyatakan bahwa wanita hamil tidak mengeluarkan darah haidh, maka darah yang keluar dari wanita hamil bukanlah darah haidh melainkan darah penyakit untuk itu ia tetap diwajibkan untuk melaksanakan ibadah.

Riwayat kedua dari Imam Ahmad, bahwa terkadang wanita hamil dapat mengalami masa haidh dan pendapat ini adalah pendapat yang benar, karena kenyataannya tersebut banyak dan sering terjadi, dan ini adalah pendapat yang kami pilih, yaitu wanita hamil dapat mengeluarkan darah haidh. Dengan demikian tetap berlaku baginya semua hukum haidh. Wallahu a’lam.

Al-Majmu'ah Al-Kamilah li mu'ailafat Ibnu As-Sa'di, 7/98.

Via HijrahApp

JIKA SEORANG RAGU TENTANG JUNUBNYA

Pertanyaan ke40:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Pada malam hari, seorang wanita sering merasa ragu bahwa iadalam keadaan junub tanpa disentuh oleh suaminya, keadaan junub yang ia rasakan itu hanya sekedar keraguan saja, bahkan terkadang keraguan ini timbul pada saat ia juga (tidak tidur), wajibkah wanita ini mandi junub?

Jawaban:
Tidak ada kewajiban mandi bagi wanita itu hanya berdasarkan keraguan bahwa dirinya dalam keadaan junub, karena asal keadaan (dia itu) tidak junub: "Sebagaimana asal (keadaan dia) itu lepas dari tanggungan wajibnya mandi."

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/291.

Via HijrahApp

JIKA SEORANG WANITA BERMIMPI DAN MENGELUARKAN CAIRAN YANG TIDAK MENGENAI PAKAIANNYA, APAKAH LA WAJIB MANDI

Pertanyaan ke36:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lilIfta' ditanya:
Saat saya bermimpi, saya segera sadar dan bangun untuk menahan keluarnya cairan pada pakaian saya, lalu saya keluarkan di kamar mandi, apakah wajib bagi saya untuk mandi atau cukup berwudhu saja untuk melakukan shalat dan membaca Al-Qur'an?

Jawaban:
Anda wajib mandi karena mimpi itu menyebabkan keluar cairan, baik mani itu Anda keluarkan di pakaian Anda ataupun di kamar mandi, karena wajib mandi pada mimpi berdasarkan pada keluarnya mani sesuai dengan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:
"Air (mandi) dikarenakan air (keluarnya mani ) ",

juga berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم pula, saat Ummu Salamah bertanya kepada beliau: "Sesungguhnya Allah tidak malu pada kebenaran, apakah wajib mandi bagi wanita yang mengalami mimpi?", maka beliau bersabda:
“Ya, wajib baginya untuk mandi jika ia melihat air (mimpi itu menyebabkan keluarnya mani)"

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/307

Via HijrahApp

JIKA TERJADI KEJANGGALAN DATANGNYA HAIDH, LEBIH CEPAT ATAU TERLAMBAT DAN BIASANYA

Pertanyaan ke58:

Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Jika seorang wanita mengalami kejanggalan dalam hal datangnya haidh, yaitu lebih cepat atau terlambat dari masa biasanya, atau lebih lama atau kurang dari masa haidh yang biasanya, apa yang harus dilakukannya?

Jawaban:
Pendapat madzhab Hambali menyebutkan, bahwa hendaknya wanita tersebut tidak langsung menetapkannya sebagai masa haidhnya sampai terulangnya masa tersebut.

Pendapat ini selayaknya tidak diikuti, dan umumnya orang-orang tetap menganut pendapat yang benar yang diucapkan oleh Imam Ahmad bin Hambali dalam Kitab Al-lnshaf, bahwa tidak ada jalan bagi kaum wanita tentang masa haidh dan masa datangnya haidh kecuali mengikuti pendapat ini, yaitu bahwa bila seorang wanita mengeluarkan darah maka ia harus meninggalkan shalat, puasa serta ibadah lainnya.

Lalu jika darah itu telah berhenti maka ia harus segera mandi wajib (bersuci) dan melaksanakan shalat. Ketetapan itu berlaku dalam keadaan Bagaimanapun, baik datangnya haidh itu lebih awal dari biasanya ataupun terlambat dari biasanya, dan baik masa haidh itu lebih lama dari biasanya ataupun lebih cepat dari biasanya,

sebagai contoh: Jika seorang wanita mengalami masa haidh selama lima hari lalu pada bulan lain ia mengalami masa haidh selama tujuh hari, maka ia harus berhenti shalat selama tujuh hari tanpa perlu menunggu kejadian haidh tujuh hari itu berulang-ulang.

Beginilah yang dilakukan istri-istri sahabat رضى الله عنهم serta istri-istri tabi'in setelah mereka, bahkan hingga para syaikh kami, tidak mengeluarkan fatwa tentang ini kecuali dengan pendapat ini.

Sementara pendapat yang mengatakan bahwa seorang wanita tidak boleh menetapkan berpindahnya kebiasaan haidhnya karena kejanggalan baru kecuali kejanggalan itu telah terjadi sebanyak tiga kali, pendapat ini adalah pendapat yang tidak berdasarkan dalil, bahkan pendapat ini bertentangan dengan dalil, juga bertentangan dengan pendapat yang benar,

bahwa tidak ada batasan tentang umur wanita dalam mengalami haidh, maka jika ada wanita yang masih berumur di bawah sembilan tahun atau sudah melewati umur lima puluh tahun, jika ia mengeluarkan darah haidh maka ia harus meninggalkan shalat, karena hukum asalnya memang demikian, sedangkan darah istihadhah jelas bisa dibedakan dari darah haidh.

Al-Majmu'ah Al-Kamilah li Mu'allafat Asy-Syaikh Ibnu As-Sa'di, 7/98.

Via HijrahApp

JIKA WAKTU HAIDH BERUBAH DARI AWAL BULAN MENJADI AKHIR BULAN

Pertanyaan ke62:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Seorang wanita biasa mengalami masa haidh di awal bulan, kemudian tiba-tiba ia mengalami haidh diakhir bulan, bagaimanakah pendapat Anda tentang hal ini?

Jawaban:
Jika seorang wanita mengalami keterlembatan masa haidhnya, misalnya; jika biasanya ia mengalami haidh pada awal bulan lalu pada suatu bulan haidhnya itu datang pada akhir bulan, maka pendapat yang benar adalah, jika ia melihat darah berarti ia sedang haidh, dan bila ia tidak lagi melihat darah keluar berarti ia telah suci, demikian sebagaimana keterangan di atas.

Ibid, 4/278

Via HijrahApp

JIKA WANITA HAMIL MENGELUARKAN DARAH DALAM JUMLAH BANYAK TAPI BAYI YANG DIKANDUNGNYA TIDAK KELUAR

Pertanyaan ke110:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Jika seorang wanita hamil mengeluarkan banyak darah sementara bayi yang dikandungnya tidak keluar, apa hukum darah ini?

Jawaban:
Darah itu adalah darah penyakit, maka tidak boleh bagi wanita itu untuk meninggalkan shalat hanya karena hal itu, walaupun darah itu terus mengalir hendaknya ia tetap berwudhu setiap akan shalat, Wallahu A'lam.

Al-Majmu'ah Al-Kamilah li mu'allafat Asy-Syaikh Ibn As-Sa'di, 7/100.

Via HijrahApp

JIKA WANITA YANG MENGELUARKAN CAIRAN TERUS MENERUS ITU BERWUDHU, BOLEHKAH LA MELAKUKAN SHALAT SUNAT DAN MEMBACA AL-QUR'AN

Pertanyaan ke155:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Jika wanita yang mengeluarkan cairan terus menerus itu berwudhu untuk shalat wajib, apakah boleh baginya untuk melaksanakan shalat sunat serta membaca Al-Qur'an dengan wudhu tersebut?

Jawaban:
Jika wanita itu berwudhu untuk melakukan shalat fardhu di awal waktu, maka boleh baginya untuk shalat sekehendak hatinya, baik itu shalat-shalat fardhu, shalat-shalat sunat maupun membaca Al-Qur'an hingga masuknya waktu shalat yang lain.

Ibid, halaman 286.

Via HijrahApp

JIKA WANITA YANG MENGELUARKAN CAIRAN TERUS MENERUS ITU BERWUDHU, TAPI KEMUDIAN SETELAH BERWUDHU ITU DAN SEBELUM SHALAT CAIRAN ITU KELUAR LAGI

Pertanyaan ke156:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Jika wanita yang mengeluarkan cairan terputus-putus berwudhu, kemudian setelah wudhu itu dan sebelum sempat shalat, cairan itu keluar lagi, apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
Jika cairan itu mengalir secara terputus-putus, maka hendaklah wanita itu menunggu waktu yang diperkirakan cairan itu tidak mengalir lagi. Jika keluarnya cairan itu tidak bisa dipastikan, misalnya kadang keluar pada saat-saat tertentu tapi kadang juga tidak keluar, maka hendaknya ia berwudhu setelah masuknya waktu shalat yang akan ia kerjakan, setelah itu barulah ia megerjakan, dan tidak mengapa walaupun cairan itu keluar ketika ia sedang mengerjakan shalat.

Ibid, halaman 287

Via HijrahApp

KAPANKAH DARAH KEGUGURAN PREMATUR DIANGGAP DARAH NIFAS

Pertanyaan ke120:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Jika seorang wanita hamil mengalami keguguran pada bulan pertama atau bulan kedua atau bulan ketiga ataupun bulan keempat dari masa kehamilannya, apakah ia telah dianggap nifas, ataukah ia harus tetap shalat?

Jawaban:
Jika seorang wanita telah mengalami keguguran pada bulan keempat pada masa kehamilannya dan janin yang dikeluarkan telah berbentuk manusia maka darah yang ia keluarkan adalah darah nifas, untuk itu ia tidak boleh puasa dan shalat hingga mencapai kesuciannya,

begitu juga tidak boleh bagi seorang suami untuk menyetubuhinya, sedangkan jika keguguran itu terjadi pada tiga bulan pertama dari masa kehamilannya, maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas,

dengan demikian wanita itu tetap diajibkan untuk shalat serta berpuasa di bulan Ramadhan dan bagi suaminya boleh menyetubuhinya jika janin yang dikeluarkan belum berbentuk manusia.

Via HijrahApp

KEBIASAAN HAIDH BERUBAH DI MASA TUA

Pertanyaan ke59:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Jika biasanya masa haidh seorang wanita adalah lima hari, lalu pada saat berumur empat puluh delapan tahun kebiasaan haidh itu hilang selama beberapa bulan bahkan terkadang mencapai empat bulan empat belas hari, dan setelah kembali mengalami haidh terkadang masa haidh itu selama kurang lebih empat belas hari, bagaimanakah hukumnya hari-hari yang selebihnya?

Jawaban:
Umumnya seorang wanita mengalami masa haidh dan masa suci setiap bulan, akan tetapi dengan izin Allah wanita itu tidak mendapatkan haidh selama empat bulan, kemudian pada bulan kelima ia mengalami haidh dengan masa haidh yang lama, seakan-akan haidh itu berkumpul pada bulan kelima,

wanita yang lanjut usia ini, yang mengalami keterlambatan haidh dalam waktu yang lama, lalu datang haidhnya dalam beberapa hari yang lebih lama dari biasanya, maka untuk itu kami katakan kepada wanita itu, bahwa hari-hari tersebut adalah masa haidhnya.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/278.

Via HijrahApp

KEBIASAAN HAIDH YANG BERUBAH-UBAH

Pertanyaan ke71:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Seorang wanita biasanya mengalami masa haidh selama lima hari,terkadang enam hari, terkadang empat hari, dan terkadang tiga hari, yang ditanyakan adalah:

Apakah seorang wanita harus melaksanakan shalat dan puasa jika masa haidh itu berhenti setelah dua hari,ataukah ia harus menunggu sampai melalui jumlah hari yang biasa dialaminya?

Jawaban:
Jika wanita itu mendapat haidh satu hari atau beberapa hari kemudian darah haidh itu tidak keluar lagi, maka berarti wanita itu telah suci dan wajib baginya untuk melaksanakan shalat.

Lain halnya dengan wanita yang mengalami masa haidh, jika darah itu tidak mengalir lagi maka wajib baginya untuk segera mandi,shalat dan puasa, dan tidak boleh baginya untuk menunggu sampai hari-hari tertentu jika darah haidh itu telah tidak ada.

Bila haidh itu kembali datang pada wanita itu maka ia harus segera meninggalkan shalat dan puasa, lalu jika habis masa haidh itu maka hendaknya ia segera bersuci untuk melaksanakan puasa dan shalat.

Fatawa Al Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta', 5/389.

Via HijrahApp

KEGUGURAN PADA BULAN KETIGA DARI MASA KEHAMILAN, KEMUDIAN SETELAH LIMA HARI MELAKSANAKAN PUASA DAN SHALAT

Pertanyaan ke118:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Seorang wanita hamil mengalami keguguran pada bulan ketiga dari umur kehamilannya di permulaan bulan Ramadhan, ia tidak berpuasa selama lima hari setelah keguguran karena adanya darah akibat keguguran itu, dan darah tersebut masih terus mengalir dari kemaluannya, walaupun demikian wanita tersebut tetap melaksanakan shalat dan puasa selama dua puluh lima hari, apakah shalat dan puasanya itu sah dalam kondisi semacamitu?

Dan perlu diketahui bahwa wanita itu selalu berwudhu setiap kali akan shalat, dan kondisi itu masih terus berlangsung hingga saat ini yaitu adanya darah dan basah pada kemaluan, dan wanita itu juga menyebutkan bahwa ia mengkonsumsi pil pencegah kehamilan dan pencegah haidh sebelum ia hamil?

Jawaban:
Jika kejadiannya seperti apa yang telah Anda sebutkan di atas,yaitu: Janin keluar pada bulan ketiga dari umur kehamilannya, maka darah yang keluar tidak dianggap sebagai darah nifas, karena janin yang ia keluarkan itu masih dalam bentuk segumpal darah yang belum memiliki bentuk manusia,

maka dengan demikian puasa yang ia lakukan dianggap sah walaupun darah masih tetap mengalir dari kemaluannya selama wanita itu tetap berwudhu setiap kali akan shalat sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan, dan wajib baginya untuk mengqadha puasa serta shalat yang ia tinggalkan selama lima hari, padahal diketahui bahwa darah yang dikeluarkan itu adalah istihadhah.'

Fatawa Al-Lajnah Da’imah, 5/418.

Via HijrahApp

KEGUGURAN PADA UMUR TIGA BULAN KEHAMILAN, APAKAH TETAP WAJIB SHALAT

Pertanyaan ke114:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Jika seorang wanita mengalami keguguran pada umur tiga bulan dari masa kehamilannya, apakah ia harus melaksanakan shalat atau harus meninggalkannya?

Jawaban:
Pendapat yang dikenal di kalangan ahlul ilmi mengatakan, bahwa seorang wanita yang mengalami keguguran pada umur tiga bulan dari kehamilannya maka ia harus meninggalkan shalat, karena ia telah melahirkan janin yang telah berbentuk manusia, dengan demikian darah yang keluar darinya adalah darah nifas sehingga ia tidak boleh melakukan shalat.

Para ulama mengatakan: Kemungkinan janin yang ada dalam kandungan seorangwanita telah berbentuk manusia jika telah berumur delapan puluh satu hari, berarti kurang dari tiga bulan, dengan demikian jika seorang wanita telah yakin bahwa ia telah mengalami keguguran pada umur tiga bulan dari kehamilannya maka darah yang keluar darinya adalah darah nifas, sedangkan jika keguguran itu terjadi sebelum delapan puluh hari, maka darah yang keluar darinya adalah darah penyakit yang tidak boleh baginya untuk meninggalkan shalat.

Dan bagi wanita yang menanyakan hal ini hendaknya ia mengingat-ingat masa kehamilan dirinya itu, jika keguguran terjadi sebelum delapan puluh hari maka hendaknya ia mengqadha shalat yang ditinggalkannya, jika ia tidak mengetahui berapa banyak shalat yang telah ditinggalkannya, maka hendaknya ia memperkirakannya lalu mengqadhanya berdasarkan kemungkinannya dalam meninggalkan shalatnya.

MaJmu' Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/291.

Via HijrahApp

KEGUGURAN SEBELUM DAN SETELAH TERBENTUKNYA JANIN

Pertanyaan ke116:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Para wanita yang mengalami keguguran akan mengalami satu di antara dua hal, yaitu keguguran sebelum janin terbentuk dan keguguran setelah terbentuknya janin, bagaimanakah hukum puasanya pada hari keguguran itu serta puasa yang ia lakukan pada hari-hari iabmengeluarkan darah?

Jawaban:
Jika janin yang dilahirkan itu belum berbentuk manusia maka darah yang dikeluarkan oleh wanita itu bukan darah nifas, untuk itu ia tetap diwajibkan berpuasa dan shalat, dan puasa yang dilakukan pada hari saat ia melahirkan itu adalah sah. Akan tetapi jika janin yang dikeluarkan itu tetah berbentuk manusia maka darah yang keluar adalah darah nifas yang tidak membolehkannya untuk mengerjakan shalat dan juga puasa, dan puasa yang ia lakukan pada hari kelahiran itu menjadi batal.

Kaidah dasar dalam masalah ini adalah: Jika janin telah terbentuk maka darah itu adalah darah nifas, dan jika janin itu belum terbentuk maka darah itu bukanlah darah nifas. Jika darah itu adalah darah nifas maka ia dikenakan hukum sebagaimana wanita nifas, dan jika bukan darah nifas maka ia dianggap seperti wanita suci lainnya.

Ibid, 4/292.

Via HijrahApp

KEJANGGALAN DAN PERUBAHAN HAIDH

Pertanyaan ke63:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Seorang wanita mengalami perubahan dalam masa haidh dengan bertambahnya masa haidh sebanyak dua, tiga atau empat hari, misalnya, kebiasaannya mengalami haidh selama enam atau tujuh hari, kemudian berubah menjadi sepuluh atau lima belas hari, dan haidh itu berhenti selama satu hari atau satu malam, lalu setelah itu haidh itu datang lagi.

Apakah wanita itu harus mandi dan shalat ataukah ia tidak mandi dan tidak shalat hingga benar benar habis masa haidnya, karena masa haidh itu melebihi dari kebiasaannya yang semula, dan perlu diketahui bahwa darah itu bukan darah istihadhah, bagaimanakah ketentuan syari'at Islam tentang hal ini?

Jawaban:
Jika kenyataannya sebagaimana yang disebutkan di atas yaitu terhentinya haidh selama satu hari atau satu malam di tengah-tengah masa haidhnya, maka wanita ini harus mandi dan shalat pada terhentinya haidh karena saat itu ia dalam keadaan suci berdasarkan ucapan Ibnu Abbas:

"Sedangkan jika wanita itu mengalami haidh maka ia tidak boleh shalat, namun jika ia mengalami keadaan suci beberapa saat maka hendaknya ia mandi".

Dan telah diriwayatkan bahwa jika masa haidh berhenti kurang dari satu hari maka hal itu tidak perlu dijadikan alasan - untuk mandi dengan demikian wanita itu masih mengalami masa haidh berdasarkan ucapan Aisyah رضى الله عنها :

"Hendaknya kaum wanita tidak tergesa-gesa untuk mandi sebelum mereka melihat gumpalan putih", karena mengalirnya darah haidh itu tidak terus menerus melainkan terkadang terhenti terkadang mengalir,

maka seorang wanita haidh tidak bisa ditetapkan bahwa ia telah suci hanya berdasarkan berhentinya darah sejenak, seperti misalnya berhentinya kurang dari satu jam, ini adalah pendapat yang dipilih pengarang kitab Al-Mughni Al-Hambali.

Majalah Al-Buhuts Al-lslamiyyah 12/102.

Via HijrahApp

KELUAR DARAH SEPERTI DARAH HAIDH SETELAH BERUSIA TUJUH PULUH TAHUN

Pertanyaan ke52:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya: Jika seorang wanita telah mencapai umur tujuh puluh tahun kemudian keluar darah seperti darah haidh, apakah ia harus berhenti shalat?

Jawaban:
Wanita yang telah mencapai umur tujuh puluh tahun kemudian keluar darah seperti darah haidh dan tidak bisa dibantah bahwa darah itu adalah darah haidh, maka tidak diragukan lagi bahwa ia harus meninggalkan shalatnya,

karena pendapat yang benar adalah bahwa keluarnya darah haidh itu tidak ada batasan umur termuda juga tidak ada batasan umur tertuanya, dan hukum darah tersebut adalah hukum darah haidh.

Al-Majmu'ah Al-Kamilah li Mu'allafat Asy-Syaikh Ibnu As-Sa'di, 7/98.

Via HijrahApp

KELUAR DARAH SETELAH MANDI HAIDH

Pertanyaan ke64:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Saya perhatikan, setelah saya mandi sehabis datang bulan dan setelah saya tidak mengerjakan shalat dan sejenisnya selama masa haidh yang biasanya, yaitu selama lima hari, terkadang setelah itu keluar lagi darah yang sangat sedikit sekali, dan itu keluar langsung setelah mandi, kemudian setelah itu tidak keluar lagi.

Saya tidak tahu, apakah saya harus berpatokan pada kebiasaan masa haidh saya saja yaitu lima hari, sedangkan hari-hari yang melebihi masa haidh itu tidak saya anggap, sehingga saya langsung melakukan shalat dan puasa,

dan apakah saya tidak berdosa karenanya? Ataukah saya harus menganggap hari yang melebihi masa haidh itu sebagai masa haidh saya pula dengan meninggalkan shalat dan puasa?

Perlu diketahui bahwa hal semacam ini tidak selalu terjadi pada diri saya, hanya saja kadang terjadi setelah dua atau tiga kali haidh dengan normal, mohon keterangan tentang hal ini ?

Jawaban:
Jika yang keluar setelah suci itu berwarna kuning atau keruh, maka cairan itu bukanlah darah haidh dan tidak dikenakan hukum haidh, akan tetapi dikenakan hukum air kencing. Sedangkan jika yang keluar itu adalah darah yang dikenal sebagai darah haidh, maka Anda akan tetap dianggap dalam keadaan haidh saat darah itu keluar, dan wajib bagi Anda untuk mengulangi mandi berdasarkan ketetapan Ummu Athiah رضى الله عنها, seorang sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم wanita itu berkata:

"Kami tidak menganggap cairan kuning dan keruh sebagai haidh setelah habis masa haidh."

Fatawa Ad-Dakwah Syaikh Ibnu Baaz, 1/45.

Via HijrahApp

KELUAR DARAH TERUS MENERUS TANPA TERPUTUS KECUALI BEBERAPA SAAT

Pertanyaan ke68:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Ada wanita yang mengalami pendarahan terus menerus, terkadang pendarahan itu terhenti selama satu atau dua hari kemudian darah itu kembali lagi, bagaimanakah hukum keadaan seperti ini sehubungan dengan pelaksanaan shalat, puasa atau ibadah-ibadah lainnya?

Jawaban:
Pendapat yang banyak dikemukan para ulama dalam hal ini adalah, bahwa jika seorang wanita memiliki masa-masa haidh yang telah biasa, kemudian masa haidh itu habis, maka wajib baginya untuk mandi, shalat dan puasa, sementara darah yang keluar setelah dua atau tiga hari adalah bukan darah haidh,

karena para ulama itu berpendapat bahwa masa suci yang paling sedikit adalah tiga belas hari, sementara sebagian ulama lain mengatakan bahwa jika seorang wanita melihat darah maka ia dalam keadaan haidh dan jika darah itu terhenti maka ia dalam keadaan suci, walaupun masa suci antara dua masa haidh itu kurang dari tiga belas hari.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 19.

Via HijrahApp

KELUARNYA MANI BESERTA AIR KENCING KEMUDIAN SETELAH ITU KELUAR MARTI TANPA SYAHWAT

Pertanyaan ke167:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Saya mengeluarkan mani yang disertai air kencing, kemudian setelah itu keluar mani tanpa syahwat, dan saya pun tidak terangsang, apakah saya harus mandi dan apakah cairan yang keluar itu termasuk najis atau bukan?

Jawaban:
Cairan yang keluar dari Anda yang disertai dengan air kencing tanpa syahwat adalah wadi, hukum cairan tersebut adalah najis sama halnya dengan air kencing, Anda tidak wajib mandi karenanya akan tetapi wajib bagi Anda untuk membersihkan najis tersebut dan bagian yang terkena itu.

Ibid, 5/292.

Via HijrahApp

KETIKA WANITA SAMAR TERHADAP DARAH YANG KELUAR DARINYA

Pertanyaan ke74:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Jika seorang wanita samar terhadap darah yang keluar darinya sehinggatidak bisa membedakan antara darah haidh dengan darah istihadhah atau lainnya, apakah yang harus dilakukan wanita tersebut?

Jawaban:
Pada dasarnya darah yang keluar dari wanita adalah darah haidh dan umumnya wanita telah mengetahui darah haidh, jika darah yang keluar itubukan darah haidh maka berarti darah itu adalah darah istihadhah, dan jika darah yang keluar itu bukan darah istihadhah berarti darah itu adalah darah haidh.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/275.

Via HijrahApp

KEWAJIBAN WANITA NIFAS PADA AKHIR MASA NIFAS

Pertanyaan ke124:
Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata tentang yang wajib dilakukan oleh wanita nifas pada saat akhir masa nifasnya?

Jawaban:
Wajib baginya untuk mandi sebagaimana diwajibkannya terhadap wanita yang telah habis masa haidhnya, dalil yang menunjukkan pada hal tersebutadalah:

1. Dari Ummu Salamah رضى الله عنها, ia berkata: Wanita-wanita yang mengalami nifas pada zaman Rasulullah adalah empat puluh hari.

2. Dari Ummu Salmah رضى الله عنها ia berkata: Seorang wanita di antara istri-istri Nabi صلی الله عليه وسلم duduk (tidak mengerjakan shalat) saat nifasnya selama empat puluh hari, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak memerintahkannya untuk mengqadha shalat di masa nifas itu.

At-Tanbihat, Syaikh Ai-Fauzan. halaman 19.

Via HijrahApp

MANDI JUNUB MERANGKAP MANDI JUM'AT, ATAU MERANGKAP MANDI HAIDH DAN MANDI NIFAS

Pertanyaan ke43:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Apakah dibolehkan melaksanakan mandi junub sekaligus merangkap mandi untuk shalat Jum'at, mandi setelah habis masa haidh dan masa nifas?,

Jawaban:
Barangsiapa yang diwajibkan baginya untuk melaksanakan satu mandi wajib atau lebih, maka cukup baginya melaksanakan satu kali mandi wajib yang merangkap mandi mandi wajib lainnya, dengan syarat dalam mandi itu ia meniatkan untuk menghapuskan kewajiban-kewajiban mandi lainnya, dan juga berniat untuk dibolehkannya shalat dan lainnya seperti Thawaf dan ibadah-ibadah lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam:
"Setiap perbuatan itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan bagian sesuai dengan yang diniatkannya." (Muttafaqun 'alaih)

Karena yang hendak dicapai dari mandi hari Jum'at bisa sekaligus tercapai dengan mandi junub jika bertepatan harinya.

Ibid, 5/328.

Via HijrahApp

MASA HAIDH LEBIH LAMA DUA HARI DARI MASA HAIDH BIASANYA

Pertanyaan ke60:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Seorang wanita mengalami masa haidhnya itu lebih lama dua hari dari masa haidh yang biasanya, bagaimana hukum yang berlaku bagi wanita ini pada dua hari yang lebih itu?

Jawaban:
Pertama, perlu kita ketahui bahwa darah haidh adalah darah alami yang Allah ciptakan pada diri seorang wanita jika ia telah siap untuk hamil, karena darah haidh itu diciptakan untuk makan janin yang berada dalam perut ibunya,

karena itu, wanita hamil tidak dapat haidh, sebab dengan izin Allah darah itu berubah menjadi makanan janin, lalu jika darah haidh itu adalah darah biasa maka darah itu akan keluar menjadi kotoran jika tidak ada janin bayi dalam rahim seorang wanita, dan Allah telah mensifati darah ini dengan menyebutnya sebagai kotoran, Allah berfirman:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: 'Haidh itu adalah suatu kotoran'." (Al-Baqarah: 222)

Karena darah itu adalah kotoran maka darah itu adalah najis, dan setiap kali terdapat darah haidh maka hukum haidh berlaku bagi wanita itu walaupun masa haidh itu lebih dari masa haidh yang menjadi kebiasaannya,

artinya jika kebiasaan masa haidh seorang wanita adalah enam hari kemudian pada bulan tertentu masa haidh itu lebih lama dua hari dari biasanya, maka dua hari tambahan masa haidh ini mengikuti ketetapan hukum masa haidh yang enam hari itu,

jadi selama delapan hari itu ia harus meninggalkan shalat, puasa dan juga ia tidak boleh disetubuhi oleh suaminya, karena Allah aza wajalla tidak menentukan waktu tertentu bagi masa haidh begitu juga Sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم.

Dengan demikian, selama masih ada darah haidh maka selama itu pula hukum haidh berlaku, lalu jika darah itu telah berhenti maka pada saat itu pula hukum haidh tidak berlaku walaupun berhentinya darah haidh di luar kebiasaannya.

Ketetapan semacam ini juga berlaku bagi orang yang mengalami masa nifas, maka bagi wanita yang telah berhenti darah nifasnya sebelum masanya, apakah harus shalat atau menunggu sampai masanya berakhir?

Seharusnya ia shalat karena ia telah suci dari nifas, dan di bulan Ramadhan apakah ia harus berpuasa atau tidak? Ya, tentu ia ia harus berpuasa jika itu terjadi di bulan Ramadhan. Kemudian, apakah boleh suaminya menggaulinya? Ya, boleh bagi suaminya untuk menggaulinya tanpa dimakruhkan.

Sebab, bila ia telah dibolehkan untuk mengerjakan shalat, maka boleh pula untuk senggama.

Durus wa Fatana Al-Haram Al-Makki, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/283.

Via HijrahApp

MASA DI MANA PARA WANITA YANG SEDANG NIFAS TIDAK BOLEH MELAKSANAKAN SHALAT

Pertanyaan ke101:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya:
Berapakah lamanya waktu yang tetap diberlakukan untuk tidak boleh shalat bagi wanita yang sedang mengeluarkan darah setelah melahirkan (nifas)?

Jawaban:
Ada beberapa kondisi wanita yang sedang nifas:

• Pertama: Darah berhenti mengalir sebelum sampai pada hari keempat puluh dan tidak kembali setelah itu. Jika darah itu telah berhenti mengalir darinya, maka saat itu ia harus segera mandi (bersuci) untuk melakukan shalat dan puasa.

• Kedua: Darah berhenti mengalir sebelum sampai pada hari keempat puluh kemudian darah itu kembali mengalir sebelum mencapai empat puluh hari. Dalam kondisi semacam ini, jika darah berhenti mengalir maka ia harus mandi (berusuci) untuk melaksanakan shalat dan puasa, lalu jika darah nifas itu mengalir lagi maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa, lalu puasanya di qadha tanpa harus mengqadha shalat.

• Ketiga: Darah terus mengalir hingga hari keempat puluh. Dengan demikian si wanita harus meninggalkan shalat serta puasa selama empat puluh hari penuh, dan jika darah berhenti mengalir, maka ia harus segera bersuci untuk melaksanakan shalat dan puasa.

• Keempat: Darah terus mengalir hingga melebihi empat puluh hari. Kondisi semacam ini ada dua macam, yaitu;

Pertama, hal ini terjadi karena berhentinya darah nifas dilanjutkan dengan keluarnya darah haidh yang biasa, jika hal ini terjadi maka ia diharuskan untuk tetap meninggalkan shalat. Kemudian yang kedua adalah: Darah yang dikeluarkan setelah empat puluh hari tidak bertepatan dengan kebiasaan masa haidh, maka bagi wanita ini tetap wajib mandi setelah sempurna empat puluh hari untuk melaksanakan shalat dan puasa.

Dan jika keluarnya darah itu berulang hingga tiga kali, berarti itulah masa haidhnya, dan dengan begitu ia harus mengqadha puasa yang telah dilaksanakannya (karena tidak sah), tapi tidak harus mengqadha shalatnya. Akan tetapi, jika ini tidak terulang, maka tidak dikategorikan darah haidh melainkan darah istihadhah.

Fatawa wa Rasa’ill Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/102.

Via HijrahApp

MASA YANG TIDAK BOLEH SEORANG WANITA MELAKSANAKAN SHALAT SETELAH MELAHIRKAN

Pertanyaan ke106:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Bagi wanita yang baru melahirkan, apakah ada masa tertentu untuk tidak melaksanakan shalat, atau apakah ia harus melaksanakan shalat dengan sucinya ia dari darah kelahiran?

Jawaban:
Wanita itu harus melaksanakan shalat jika darah nifasnya telah berhenti mengalir darinya, dan shalat itu dilakukan setelah ia bersuci (mandi) walaupun sebelum empat puluh hari.

Majalah Al-Buhuts Al-lslamiyyah, Fatawa Al-lajnah Ad-Da’imah, 19/152.

Via HijrahApp

MELEPASKAN IKATAN RAMBUT UNTUK MANDI HAIDH

Pertanyaan ke30:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya: Apakah hukumnya melepaskan ikatan rambut ketika mandi setelah habis masa haidh?

Jawaban:
Menurut dalil yang lebih kuat adalah tidak ada kewajiban melepaskan ikatan rambut ketika hendak mandi bagi wanita yang telah selesai haidh, sebagaimana tidak adanya kewajiban tersebut untuk mandi junub.

Hanya saja, memang terdapat dalil-dalil yang mensyari'atkan untuk melepaskan ikatan rambut ketika mandi haidh, akan tetapi perintah yang terdapat dalam dalil-dalil ini bukan menunjukkan hal yang wajib berdasarkan dari hadits Ummu Salamah :

"Sesungguhnya aku seorang wanita yang mengikat rambut kepalaku, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub?" dan dalam riwayat lain: "dan untuk mandi haidh?", maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
"Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air di atas kepalamu sebanyak tiga kali, ...” (HR. Muslim)

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Pengarang kital Al-lnshaf dan Az-Zarkasyi, sedangkan dalam mandi junub maka- hukum melepaskan ikatan rambut bagi wanita tidaklah sunnah (mandub). Abdullah bin Umar meriwayatkan bahwa 'Aisyah berkata: "Apakah aku harus memerintah mereka untuk memotong rambut itu?"Kesimpulannya adalah: melepaskan ikatan rambut tidaklah disyari'atkan saat mandi junub akan tetapi hal itu ditekankan dan dianjurkan saat mandi haidh.

Penekanan ini pun berbeda beda, ada yang kuat dan ada pula yang lemah, berdasarkan keringanan dan kesulitan melepaskan ikatannya.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/81.

Via HijrahApp

MEMBACA AL-QUR'AN BAGI WANITA HAIDH

Pertanyaan ke89:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Kami pernah mendengar fatwa Anda yang menyatakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haidh adalah tidak membaca Al-Qur'an kecuali untuk suatu kebutuhan, mengapa tidak membaca Al-Qur'an yang lebih utama, sementara dalil-dalil yang ada menunjukkan hal yang bertentangan dengan yang Anda katakan?

Jawaban:
Saya tidak tahu yang dimaksud oleh penanya, apakah ia menginginkan dalil-dalil yang dijadikan alasan oleh yang melarangnya ataukah penanya ini menginginkan dalil-dalil yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur'an, tapi yang perlu saya sampaikan di sini adalah bahwa ada beberapa hadits dari Nabi shalallahualaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
"Wanita haidh tidak boleh membaca suatu apapun dari Al-Qur'an "

Akan tetapi hadits-hadits seperti ini yang menyatakan larangan bagi wanita haidh untuk membaca Al-Qur'an bukan hadits-hadits shahih, jika hadits-hadits tersebut bukan hadits-hadits shahih, maka hadits-hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak boieh melarang wanita haidh membaca Al-Qur'an hanya berdasarkanhadits-hadits yang tidak shahih ini,

tapi adanya hadits-hadits seperti ini menjadikan adanya syubhat, maka berdasarkan inilah kami katakan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita haidh adalah tidak membaca Al-Qur'an kecuali jika hal itu dibutuhkan, seperti seorang guru wanita atau seorang pelajar putri atau situasi-situasi lain yang serupa dengan guru dan pelajar itu.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 2/278.

Via HijrahApp

MEMBASUH KEPALA BAGI WANITA

Pertanyaan ke10:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah disunnahkan bagi wanita ketika mengusap kepala dalam berwudhu untuk memulai dari bagian depan kepala hingga bagian belakang, kemudian kembali lagi ke bagian depan kepala sebagaimana yang dilakukan laki-laki dalam berwudhu?

Jawaban:
Ya, karena pada dasarnya segala sesuatu yang ditetapkan bagi kaum pria dalam hukum-hukum syari'at adalah ditetapkan pula bagi kaum wanita, dan begitu juga sebaliknya, suatu ketetapan yang ditetapkan bagi kaum wanita ditetapkan pula bagi kaum pria kecuali dengan dalil,

dalam hal ini saya tidak mengetahui adanya dalil yang memberi kekhususan pada wanita maka dari itu hendaknya kaum wanita mengusap dari bagian depan kepala hingga bagian belakangnya walaupun berambut panjang, karena hal itu tidak memiliki pengaruh, sebab arti dari ketetapan Allah dalam hal ini bukan berarti harus meremas rambut dengan kuat hingga basah melainkan cukup mengusapnya dengan tenang.

Majmu' Fatawa wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/151.

Via HijrahApp

MENCAMPURI ISTRI YANG SEDANG HAIDH

Pertanyaan ke86:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya:
Apa hukumnya bagi seorang yang pria menyetubuhi istrinya sementara ia masih dalam keadaan haidh?

Jawaban:
Tidak boleh seorang pria menyetubuhi istrinya yang sedang haidh, dan jika hal itu dilakukan maka ia wajib bertaubat kepada Allah dan dikenakan kaffarah (denda) baginya.

Ibid, 5/107.

Via HijrahApp

MENGAPA TIDAK ADA RIWAYAT DARI RASULUTLAH صلی الله عليه وسلم YANG MENYATAKAN BAHWA CAIRAN YANG KELUAR DARI WANITA DAPAT MEMBATALKAN WUDHU

Pertanyaan ke162:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apa alasan tidak adanya hadits dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang menunjukkan bahwa keluarnya cairan dari wanita dapat membatalkan wudhu, sementara para shahabiyah selalu bertanya tentang perkara-perkara agama mereka?

Jawaban:
Karena cairan semacam itu tidak mesti dialami oleh setiap wanita.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 33.

Via HijrahApp

MENGELUARKAN CAIRAN KERUH SEHARI ATAU DUA HARI SEBELUM DATANGNYA MASA HAIDH

Pertanyaan ke148:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Apa hukumnya cairan keruh yang keluar dari wanita sehari atau dua hari sebelum haidh? Cairan tersebut terkadang berbentuk benang tipis Berwarna hitam atau seperti warna kopi?

Dan apa hukumnya jika cairan tersebut keluar setelah haidh?

Jawaban:
Jika cairan atau gumpalan keruh itu termasuk bagian dari pendahuluan datangnya haidh maka berarti cairan itu adalah haidh, hal itu dapat diketahui dengan timbulnya rasa sakit dan rasa mules pada perut yang biasanya hal ini dialami oleh wanita haidh,

adapun jika cairan keruh ini keluar setelah haidh maka wanita ini harus menunggu hingga lenyapnya cairan tersebut, karena cairan keruh yang keluar beriringan (menyambung) dengan haidh berarti cairan itu adalah bagian dari haidh, berdasarkan ucapan Aisyah رضى الله عنها:

"Janganlah kalian tergesa-gesa (menyatakan habisnya masa haidh) hingga kalian melihat cairan putih".

Wallahu a'lam.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 34.

Via HijrahApp

MENGELUARKAN CAIRAN SETELAH MANDI JUNUB DAN SETELAH BANGUN TIDUR

Pertanyaan ke164:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Sekelompok wanita bertanya tentang hukum cairan yang mengalir dari mereka setelah mandi junub, dan terkadang setelah bangun dari tidur untuk shalat Shubuh? Juga mereka bertanya tentang hukum membaca Al-Qur'an bagi wanita haidh?

Jawaban:
Tidak wajib mandi bagi seorang wanita yang mengeluarkan cairan dari kemaluannya jika tidak disertai syahwat. Akan tetapi jika cairan itu keluar dari tempat keluarnya bayi maka para ulama berbeda pendapat tentang najis atau tidaknya cairan tersebut, sebagian ulama berpendapat:

Bahwa kelembaban yang terjadi pada kemaluan wanita adalah najis, dan wajib bagi wanita itu untuk mensucikan dirinya sebagaimana ia membersihkan diri dari najis.

Sebagian ulama lainnya berpendapat:

bahwa kelembaban yang terjadi pada kemaluan wanita adalah suci, tetapi walaupun demikian kelembaban itu dapat membatalkan wudhu jika keluar. Sedangkan cairan yang keluar dari tempat keluarnya kencing, maka cairan tersebut adalah najis karena cairan tersebut mempunyai hukum yang sama dengan air kencing. Allah azawajalla telah menjadikan dua saluran pada wanita, satu saluran untuk keluarnya air kencing dan satu saluran untuk keluarnya janin.

Tetesan yang keluar dari tempat keluarnya janin adalah cairan alarm yang sengaja Allah ciptakan bagian tersebut untuk suatu hikmah, dan cairan itu suci tetapi dapat membatalkan wudhu, sedangkan cairan yang keluar dari tempat keluarnya saluran kencing adalah najis hukumnya.

Sama halnya dengan angin yang keluar dari dubur, angin ini suci akan tetapi membatalkan wudhu. Dan jika cairan itu keluar terus menerus maka hukumnya seperti hukum orang yang air kencingnya terus menerus menetes, yaitu hendaknya wanita tersebut untuk berwudhu kecuali telah masuk waktu shalat yang akan ia kerjakan, dan setelah ia mencucinya hendaknya ia menjaganya, yaitu dengan menggunakan pembalut hingga selesai shalat.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/730.

Via HijrahApp

MENGELUARKAN DARAH LEBIH DARI TIGA HARI SEBELUM PERSALINAN

Pertanyaan ke121:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Apa hukumnya darah yang keluar dari wanita hamil pada lebih dari tiga hari sebelum persalinan?

Jawaban:
Para ahli Fiqh telah mengatakan dengan jelas bahwa darah yang keluar dari wanita hamil pada lebih dari tiga hari sebelum persalinan adalah darah rusak (darah penyakit) dan bukan darah nifas, dengan demikian wanita itu tiada dikenakan hukum nifas walaupun telah ada tanda-tanda menunjukkan akan datangnya masa nifas, namun demikian perlu diketahui bahwa dalam hal ini ada perbedaan pendapat.

Landasan pendapat para ahli fiqh ini adalah tanda kejadian yang telah biasa terjadi dan tidak berdasarkan nash karena tidak ada nash yang menetapkan hal ini, bahkan jika Anda memperhatikan darah yang keluar sebelum terjadinya persalinan terkadang lebih dari tiga hari sebagaimana telah banyak terjadi, maka dengan demikian, merujuk kepada pendapat para ulama fiqh itu tentang batasan masa nifas yang berdasarkan pada kebiasaan adalah lebih utama dari pada merujuk pada suatu pendapat yang tidak memiliki dalil dalam hal ini.

Al-Majmu'ah Al-Kamilah li mu'aliafat Asy-Syaikh Ibn As-Sa'di, halaman 100

Via HijrahApp

MENGELUARKAN DARAH LIMA HARI SEBELUM DATANGNYA MASA NIFAS

Pertanyaan ke122:
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta' ditanya:
Seorang wanita hamil mengeluarkan darah saat lima hari sebelum masa nifas (melahirkan) di bulan Ramadhan, apakah darah itu termasuk darah haidh atau darah nifas, dan apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
Jika keadaannya sebagaimana yang disebutkan di atas, yaitu bahwa wanita itu mengeluarkan darahnya pada saat lima hari sebelum persalinan, maka jika ia belum melihat tanda-tanda mendekatnya masa persalinan, seperti rasa sakit (mulas) akan melahirkan, maka darah yang keluar itu bukan darah haidh dan bukan pula darah nifas melainkan darah rusak (darah penyakit),

jika demikian halnya maka wanita itu tidak boleh meninggalkan puasa, shalat serta ibadah-ibadah lainnya, sedangkan jika keluarnya darah ini disertai dengan tanda-tanda mendekatnya masa persalinan, seperti adanya rasa sakit akan melahirkan, maka darah yang keluar itu adalah darah nifas, jika demikian halnya maka wanita itu harus meninggalkan puasa, shalat serta ibadah-ibadah lainnya, dan jika ia telah mendapatkan kesuciannya setelah persalinan maka ia harus mengqadha puasanya namun shalatnya tidak di qadha.

Majalah Al Buhuts Al-lslamiyah, 25/43.

Via HijrahApp

MENGELUARKAN DARAH SATU ATAU DUA HARI SEBELUM PERSALINAN

Pertanyaan ke123:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Jika wanita hamil mengeluarkan darah pada saat sehari atau dua hari sebelum persalinan, apakah wanita itu harus meninggalkan puasa dan shalat karenanya atau bagaimana?

Jawaban:
Jika wanita hamil mengeluarkan darah pada saat menjelang persalinannya sehari atau dua hari dengan disertai rasa sakit untuk melahirkan, maka darah yang keluar itu adalah darah nifas yang diharuskan baginya untuk meninggalkan shalat karena adanya darah tersebut, adapun jika keluarnya darah itu tidak disertai rasa sakit sebagaimana sakitnya orang hendak melahirkan maka darah itu adalah darah rusak (darah penyakit) yang tidak menghalanginya untuk melakukan shalat dan puasa.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 18.

Via HijrahApp

MENGELUARKAN TETESAN BENING YANG BERWARNA AGAK KUNING DI LUAR WAKTU HAIDH

Pertanyaan ke152:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Kadang-kadang dan di luar masa haidh, saya mengeluarkan tetesan bening yang berwarna agak kuning. Ada kalanya, bila hal itu terjadi, saya meninggalkan shalat dan ada kalanya pula saya tetap melakukan shalat, bagaimana hukumnya tentang hal ini?

Jawaban:
Cairan kuning dan keruh yang keluar dari tubuh wanita setelah habisnya masa haidh tidak dianggap haidh, maka hendaknya wanita itu tetap melaksanakan shalat, puasa dan bagi suaminya dibolehkan untuk mencampurinya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya dan Abu Daud dalam kitab Sunannya, dari Ummu 'Athiah radiallahu anha - salah seorang shahabiyah yang terkenal di antara para sahabat Nabi, ia berkata:

"Kami tidak menganggap cairan kuning dan cairan keruh sebagai suatu apapun setelah suci". Ini Lafazh dari Abu Daud.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/290.

Via HijrahApp

MENGGUNAKAN PIL PENCEGAH HAIDH SAAT HAJI DAN DI BULAN RAMADHAN

Pertanyaan ke99:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lit Ifta’ ditanya:
Apa hukumya menggunakan pil pencegah haidh saat bulan Ramadhan dan saat melaksanakan ibadah haji untuk bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna?

Jawaban:
Kami tidak mendapatkan dalil atau keterangan yang melarang hal tersebut jika tujuannya untuk hal yang seperti disebutkan dan dalampenggunaannya tidak membahayakan kesehatan. Wallahu A 'lam.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta", 5/400.

Via HijrahApp

MENGUSAP KEPALA YANG MENGGUNAKAN MINYAK RAMBUT

Pertanyaan ke17:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Jika seorang wanita memakai minyak rambut dikepalanya lalu ia mengusap rambutnya dalam wudhu, apakah wudhunya itu sah atau tidak?

Jawaban:
Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menerangkan bahwa Allah aza wajalla berfirman dalam kitabnya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki" (Al-Maidah: 6)

Di sini terkandung perintah untuk membasuh anggota wudhu dan mengusap bagian yang harus disapu serta mengharuskan untuk menghilangkan sesuatu yang menghalangi mengalirnya air pada anggota wudhu, karena jika terdapat sesuatu yang dapat menghalangi mengalirnya air pada anggota wudhu, berarti orang itu belum membasuh atau mengusap bagian itu.

Berdasarkan hal ini kami katakan: Jika seseorang menggunakan minyak pada anggota wudhunya, misalnya minyak itu akan menjadi beku hingga menjadi suatu benda padat, maka pada saat itu wajib baginya untuk menghilangkan benda padat itu sebelum ia membersihkan anggota wudhunya, sebab jika minyak itu telah berubah menjadi benda padat maka hal itu akan menghalangi air untuk sampai pada kulit anggota wudhu, dan pada saat itulah wudhunya dianggap tidak sah.

Sedangkan jika minyak itu tidak berubah menjadi benda padat, sementara bekasnya masih tetap ada pada anggota wudhu, maka hal ini tidak membatalkan wudhu, akan tetapi dalam keadaan seperti ini hendaknya seseorang mengencangkan tekanan telapak tangannya saat membasuh atau mengusap anggota wudhu tersebut, karena umumnya minyak itu bisa mengalihkan aliran air, bahkan bisa jadi bagian anggota wudhu tidak terkena air jika tidak ditekankan saat membasuh atau mengusapnya.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/147.

Via HijrahApp

MENGUSAP KHUF YANG TERBUAT DARI EMAS ATAU PERAK

Pertanyaan ke12:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya: Bagaimanakah hukumnya mengusap khuf (sepatu yang melebihi mata kaki) yang terbuat dari emas atau perak?

Jawaban:
Tidak sah mengusap khuf yang terbuat dari emas atau perak atau khuf yang dilapisi emas atau perak bagi pria maupun wanita, kecuali jika khuf itu mengandung sedikit perak sebagaimana disebutkan dalam bahasan bejana.

Dan tidak boleh bagi kaum wanita menggunakan logam perak kecuali pada kebiasaan yang telah berjalan bagi kaum wanita dalam menggunakan bahan logam perak tersebut, yaitu untuk menarik perhatian suami-suami mereka, namun bila berlebihan maka tidak dibolehkan, bahkan pada dasarnya itu dilarang.

Adapun menggunakannya sebagaimana yang telah disebutkan tadi termasuk rukhshah (keringanan), akan tetapi jika penggunaan logam itu berlebihan, maka hukumnya adalah tidak boleh, baik untuk menggunakan khuf tersebut maupun mengusapnya (saat berwudhu)."

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/67.

Via HijrahApp

MENGUSAP PERHIASAN YANG ADA DI ATAS KEPALA

Pertanyaan ke14:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya tentang mengusap perhiasan yang ada di atas kepala?

Jawaban:
Tidak boleh mengusap perhiasan yang ada di atas kepala ketika mengusap rambut saat berwudhu, karena hal ini tidak sama artinya dengan mengusap khuf.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/62.

Via HijrahApp

MENGUSAP PERNIK-PERNIK PERHIASAN DI KEPALA

Pertanyaan ke15:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya tentang mengusap pernik-pernik perhiasan yangada di atas kepala (sebagaimana penutup kepala wanita pada beberapa pakaian upacara adat)?

Jawaban:
Tidak boleh mengusap penutup kepala itu, karena kedudukan penutup kepala itu tidak sama dengan khuf ditinjau dari segi arti penggunaan atau ditinjau dari segi bentuk lahirnya. Pernik-pernik perhiasan kepala itu digunakan hanya untuk kemegahan dan bukan untuk kebutuhan ataupun sesuatu yang mendesak sehingga diperlukan.

Ibid.

Via HijrahApp

MENGUSAP RAMBUT YANG DIBERI INAI

Pertanyaan ke16:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Jika seorang wanita menggunakan inai pada rambutnya atau lainnya yang sejenis, apakah boleh ia mengusap rambutnya itu (dalam berwudhu)?

Jawaban:
Jika seorang wanita menggunakan inai pada rambut, maka hendaknya ia mengusap kepalanya itu dan tidak perlu baginya untuk menghilangkan inai itu,karena telah disebutkan dalam suatu hadits bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melakukan ihram dengan menggunakan inai pada rambutnya, kemudian beliau tidak menghilangkan inai itu dari atas kepalanya akan tetapi beliau tetap memakainya.

Hal ini menunjukkan bahwa mensucikan bagian kepala terdapat suatu ketetapan hukum yang meringankan.

Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/62.

Via HijrahApp

MENINGGALKAN SHALAT KARENA MENGELUARKAN CAIRAN KERUH SEBELUM HAIDH

Pertanyaan ke150:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Seorang wanita mengeluarkan cairan keruh sebelum tiba masa haidhnya yang biasa, karena itu ia meninggalkan shalat, kemudian setelah itu ia mengeluarkan darah haidhnya, bagaimanakah hukumnya hal ini?

Jawaban:
Ummu Athiah berkata:

"Kami tidak menganggap cairan kuning dan cairan keruh sebagai suatu apa pun setelah datangnya masa suci".

Berdasarkan ucapan ini, saya berpendapat bahwa cairan ini bukanlah bagian dari haidh, apalagi jika cairan ini datang sebelum masa haidnya yang biasa, ditambah pula keluarnya cairan keruh ini tidak disertai tanda-tanda datangnya haidh, seperti rasa mules di perut, rasa sakit di punggung atau lainnya, maka yang lebih utama bagi wanita ini adalah melaksanakan kembali shalat yang telah ditinggalkannya ketika mengeluarkan cairan keruh ini.

Ibid.

Via HijrahApp

MENYENTUH AURAT ANAK KECIL, APAKAH MEMBATALKAN WUDHU

Pertanyaan ke21:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Apakah menyentuh Aurat anak kecilku saat mengganti pakaian membatalkan wudhu saya?

Jawaban:
Menyentuh aurat tanpa adanya pembatas membatalkan wudhu, baik yang disentuh itu anak kecil ataupun orang dewasa, berdasarkan sabda Nabi shalallahualaihi wasallam:
"Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaklah iaberwudhu."

Maka menyentuh kemaluan orang lain sama hukumnya dengan menyentuh kemaluan sendiri.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Dalmah lil Ifta', 5/265. Disusun oleh Ad-Duwaisy.

Via HijrahApp

PADA MASA HAIDH KELUAR DARAH KEMUDIAN TERPUTUS

Pertanyaan ke66:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Jika seorang wanita yang pada masa haidnya melihat adanya darah selama satu hari, kemudian pada hari selanjutnya tidak keluar lagi sepanjang siang hari, apa yang harus dilakukan wanita itu?

Jawaban:
Pada kenyataannya bahwa masa suci atau masa kering yang terjadi pada masa haidh ini tetap mengikut pada masa haidh sehingga tidak dianggap sebagai masa suci, berdasarkan ini maka masa haidh yang terputus beberapa saat itu tetap diberlakukan larang-larangan bagi orang haidh,

sebagian ulama mengatakan, bahwa barangsiapa yang mengalami masa haidh satu hari kemudian kering satu hari, maka jika darah keluar darinya berarti ia dalam keadaan haidh, dan jika darah haidh tidak keluar (masa kering), maka ia dalam keadaan suci hingga hal semacam ini berlangsung selama lima belas hari, dan jika telah sampai pada hari kelima belas maka darah yang keluar setelah itu dianggap darah istihadhah, ini adalah pendapat yang terkenal dari madzhab Imam Ahmad bin Hambali.

Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 15.

Via HijrahApp

PALING SEDIKIT DAN PALING LAMANYA MASA HAIDH

Pertanyaan ke49:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya: Berapa lamakah masa haidh itu?

Jawaban:
Masa haidh yang paling cepat adalah satu hari satu malam dan masa haidh yang paling lama adalah lima belas hari. Akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah tidak ada batasan masa haidh yang tercepat, juga tidak ada batasan masa haidh yang terlama, karena tidak ada dalil yang menunjukkan pada kedua masalah ini, demikian pendapat yang dipilih oleh Syaikh Taqiyuddin.

Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, 2/97.

Via HijrahApp

PENDAPAT YANG KUAT TENTANG MASA NIFAS

Pertanyaan ke102:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya tentang dalil yang kuat mengenai masa nifas.

Jawaban:
Selama darah nifas itu masih keluar pada diri seorang wanita maka tidak diwajibkan baginya untuk mandi kecuali jika darah itu telah berhenti mengalir, walaupun berhentinya darah nifas itu melebihi dari empat puluh hari. Tidak ada dalil yang menunjukkan tentang masa nifas ini, kecuali bunyi hadits

"adalah para wanita yang nifas" dengan sanad yang lemah.

Ibid, 2/103.

Via HijrahApp

PENGGUNAAN PIL-PIL PENCEGAH KEHARMILAN MENGAKIBATKAN TIMBULNYA CAIRAN KERUH YANG MERUSAK HAIDH

Pertanyaan ke147:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Keluarnya cairan keruh merusak masa haidh,sementara saya tetap mengkonsumsi pil pencegah hamil, orang yang menggunakan pil pencegah hamil pada umumnya tidak mendapatkan haidh, Apakah cairan keruh ini dapat dianggap sebagai bagian dari pada haidh?

Jawaban:
Sebenarnya pil pencegah kehamilan akan banyak menimbulkan kejanggalan-kejanggalan bagi para pengguna pil tersebut dan juga para ulama,karena pil tersebut dapat merusak kebiasaan yang telah berjalan pada kehidupan normal kaum wanita serta dapat menjadikan mereka gelisah dan bingung karena kejanggalan kejanggalan yang ditimbulkan pil-pil tersebut.

Sebagian dokter yang telah saya percayai mengatakan kepada saya, bahwa pil-pil tersebut dapat menimbulkan lebih dari empat belas macam bahaya, kesimpulannya adalah bahwa pil tersebut dapat mendatangkan bahaya.

Musuh-musuh Islam telah memproduksi pil-pil tersebut untuk sengaja menghancurkan populasi Islam dengan cara memporak-porandakan generasi Islam melalui pil-pil itu, karena obat-obatan tersebut dapat merusak rahim, kemudian dari itu, bahwa ada kelemahan pada diri wanita sehingga sebagian wanita merasakan penurunan stamina secara menyeluruh karena mengkonsumsi obat-obatan tersebut.

Untuk itulah saya sarankan kepada saudari-saudari kita untuk tidak mengkonsumsi pil-pil ini selama-lamanya, karena hal tersebut dapat mendatangkan bahaya. Jikaseorang wanita tidak sanggup untuk hamil, maka ada beberapa cara lain yang harus ia tempuh atau ditempuh oleh suaminya jika kondisi memaksanya untuk tidak hamil, sebab jika kaum wanita menggunakan pil-pil ini maka hal itu akan membahayakan dirinya dan juga membahayakan umat ini secara keseluruhan.

Sebenarnya saya tidak terlalu banyak tahu masalah haidh yang disebabkan penggunaan pil-pil ini, karena kenyataannya penggunaan pil-pil ini menimbulkan kebingungan bagi pemberi fatwa seperti saya, untuk itu saya selalu memberi saran kepada para wanita yang menanyakan masalah ini kepada para dokter, saya katakan:

Bertanyalah kalian kepada para dokter tentang masalah ini, jika dokter mengatakan, bahwa ini haidh maka berarti itu adalah haidh, dan jika mengatakan, bahwa cairan itu adalah akibat dari pil-pil ini maka berarti itu bukan haidh. Inilah jawaban saya saat ini.

Ibid 3/284.

Via HijrahApp

PERBEDAAN ANTARA DARAH HAIDH DAN DARAH ISTIHADHAH

Pertanyaan ke145:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Sebagian wanita tidak bisa membedakan antara darah haidh dengan darah istihadhah, karena pada umumnya wanita meninggalkan shalat selama ia mengeluarkan darah, bagaimanakah hukumnya tentang hal ini?

Jawaban:
Haidh adalah darah yang telah Allah tetapkan pada diri kaum hawa yang umumnya terjadi setiap bulan sebagaimana telah disebutkan dalam hadits shahih dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم Adapun mengenai wanita mustahadhah dalam hal ini ada tiga kondisi:

Pertama: Wanita yang mengalami haidh pada masa-masa haidh yang pertama kali, maka baginya harus meninggalkan shalat dan puasa selama mengeluarkan darah haidh itu pada tiap bulannya, dan tidak boleh bagi suaminya untuk menyetubuhi istrinya saat itu hingga habis masa haidh itu, yaitu lima belas hari paling lama menurut sebagian besar ulama.

Jika darah tetap mengalir selama lebih dari lima belas hari makadarah ini adalah darah istihadhah, dan untuk itu hendaknya ia menganggap bahwa dirinya mengalami masa haidh selama enam atau tujuh hari saja dengan memperhatikan serta mengikuti apa yang telah terjadi pada kerabat-kerabat wanitanya jika iatidak bisa membedakan antara darah haidh dan yang bukan darah haidh.

Kedua: Jika ia bisa membedakan, maka hendaknya ia meninggalkan shalat, puasa dan tidak bercampur dengan suaminya selama ada darah yang bisa dibedakan dengan hitamnya atau baunya, setelah selesai masa itu barulah ia mandi (bersuci) dan melaksanakan shalat, dengan syarat bahwa masa haidh itu tidak lebih dari lima belas hari. Kemudian keadaan

ketiga adalah: Wanita ini memiliki masa haidh yang telah ia ketahui, maka ia harus meninggalkan shalat pada masa itu, lalu jika masa haidh itu telah habis maka ia harus segera mandi dan berwudhu setiap kali akan melakukan shalat jika telah masuk waktu shalat, ketetapan ini berlaku jika ia masih tetap mengeluarkan darah di luar masa haidh yang biasanya, dan dibolehkan bagi suaminya untuk mencampuri istrinya itu hingga tiba masa haidh di bulan selanjutnya.

Pendapat ini adalah ringkasan dari apa yang telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Nabi صلی الله عليه وسلم tentang wanita yang mengeluarkan darah istihadhah,pendapat ini disebutkan oleh pengarang kitab Bulughul Maram yaitu Al-Hafizh Ibnu Hajar dan pengarang kitab Al-Muntaqa yaitu Syaikhul Islam Almajd Ibnu Taimiyah -semoga rahmat Alah dilimpahkan pada keduanya.

Fatawa Muhimmah Tata'allaq bish Shalah, Syaikh Ibnu Baaz, halaman. 12.

Via HijrahApp

SAMAKAH WANITA YANG MEMILIKI RAMBUT PANJANG YANG TIDAK DIGULUNG DENGAN YANG DIGULUNG

Pertanyaan ke32:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:

Bolehkah mengkiaskan wanita yang memiliki rambut panjang yang tidak diikat dan orang yang memiliki rambut panjang yang diikat dalam hal mandi junub, ataukah rambut panjang yang tidak diikat itu harus dibasuh secara keseluruhan?

Jawaban:
Orang yang mandi wajib dikarenakan junub atau setelah haidh,wajib baginya untuk membasuh seluruh tubuhnya dan seluruh rambutnya dengan air dan dengan niat bersuci, ketetapan ini berlaku bagi yang memiliki rambut panjang ataupun yang berambut pendek, berlaku pula bagi rambutnya yang diikat ataupun yang tidak diikat.

Via HijrahApp

SAYA MENGELUARKAN CAIRAN PUTIH DAN TERKADANG CAIRAN ITU KELUAR KETIKA SAYA SEDANG SHALAT

Pertanyaan ke168:
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta' ditanya:
Pada saat-saat tertentu keluar cairan putih dari saya dan terkadang cairan tersebut keluar saat saya melakukan shalat. Apakah saya harus menghentikan shalat lalu berwudhu atau menyempurnakan shalat tersebut?

Apakah cairan tersebut najis dan wajib bagi saya untuk mandi karenanya, atau cukup membersihkan diri saya, sebab terkadang itu keluar hingga mengenai pakaian saya, apakah saya harus menggantinya atau tidak?

Apakah cairan itu berbahaya bagi diri saya, sebab cairan itu kadang keluar ketika saya sedang menuju masjid, padahal saya sudah mandi Jum'at, ketika itu saya menuju masjid untuk melaksanakan shalat, tiba-tiba cairan itu keluar. Apa yang harus saya lakukan, apakah saya meneruskan masuk ke masjid dan shalat, atau saya sekadar masuk dan mendengarkan khutbah tapi tidak shalat. Apa fatwa Anda kepada saya sehubungan dengan cairan putih tersebut?

Jawaban:
Cairan putih ini adalah najis yang sama hukumnya dengan hukum air kencing, maka hendaknya Anda berwudhu karenanya setelah Anda membersihkan najis tersebut dan tidak diwajibkan bagi Anda untuk mandi jika keluarnya cairan putih ini tidak disertai dengan syahwat, walaupun demikian Anda tetap diharuskan membersihkan badan dan pakaian yang terkena itu.

Dan dibolehkan bagi Anda untuk masuk ke dalam Masjid serta mendengarkan khutbah akan tetapi Anda tidak boleh melaksanakan shalat bersama orang-orang sebelum beristinja' dan berwudhu serta membersihkan badan dan pakaian yang terkena oleh itu.

Ibid, 5/258.

Via HijrahApp

SEDIKIT DARAH PADA MASA HAIDH DAN BUKAN PADA MASA HAIDH

Pertanyaan ke67:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Ada seorang wanita yang terkadang mendapatkan sedikit bekas darah atau tetesan-tetasan darah yang amat sedikit sekali yang tercerai berai pada hari-hari yang bukan waktu haidh, dan terkadang darah itu ditemukan pada waktu haidh, sementara darah haidh itu sendiri belum keluar, bagaimanakah hukum puasanya pada kedua keadaan tersebut?

Jawaban:
Jawaban pertanyaan ini telah dikemukakan pada pertanyaan yang baru lalu, akan tetapi ada yang perlu kami sampaikan, bahwa jika setetes darah itu ada pada hari-hari biasanya terjadi haidh, dan dia menganggapnya darah haidh yang dia ketahui, maka darah itu tetap dikategorikan darah haidh, dengan demikian ia terkena ketetapan hukum-hukum haidh.

Ibid, halaman 12.

Via HijrahApp

SEORANG PRIA MENYETUBUHI ISTRINYA SETELAH HAIDH DAN NIFAS SEBELUM BERSUCI (MANDI WAJIB)

Pertanyaan ke85:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lit Ifta’ ditanya:
Seorang pria menyetubuhi istrinya yang telah habis masa haidhnya atau masa nifasnya sebelum istrinya itu mandi wajib, hal itu ia lakukan karena tidak mengetahuinya, apakah pria itu dikenakan kaffarah (denda)? Dan berapa banyak dendanya itu? Lalu jika wanita itu hamil karena persetubuhan itu, apakah anak hasil persetubuhan itu disebut dengan anak haram?

Jawaban:
Menyetubuhi wanita haidh pada kemaluannya adalah haram berdasarkan firman Allah:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: 'Haidh itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.“ (Al-Baqarah: 222)

Barangsiapa yang melakukan hal itu maka hendaklah ia memohon ampunan kepadaAllah serta bertaubat kepadanya, kemudian hendaknya ia bersedekah setengah dinar sebagai denda atas apa yang telah ia lakukan, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Ahmad dan para penyusun kitab-kitab Sunan dengan sanad yang baik dari Ibnu Abbas رضى الله عنه, bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda kepada seorang pria yang menyetubuhi istrinya yang sedang haid:
"Bersedekahlah engkau dengan satu dinar atau setengah dinar "

Berapapun yang Anda keluarkan sebagai denda di antara dua pilihan itu dibolehkan, ukuran satu dinar adalah empat pertujuh kebutuhan per kapita Saudi. Jika kebutuhan per kapita Saudi adalah tujuh puluh real, maka kaffarah itu sebanyak dua puluh real atau empat puluh real yang Anda sedekahkan kepada fakir miskin. Dan tidak boleh bagi seorang pria menyetubuhi istrinya setelah habis masa haidh sebelum sang istri bersuci (mandi wajib) berdasarkan firman Allah:
"dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (Al-Baqarah: 222)

Ayat itu menerangkan bahwa Allah tidak mengizinkan seorang pria menyetubuhi istrinya yang sedang haidh sebelum berhenti haidhnya dan sebelum bersuci (mandi haidh), dan bagi para pria yang menyetubuhi istrinya sebelum mandi maka pria itu telah berbuat dosa serta dikenakan denda, kemudian jika persetubuhan itu menyebabkan kehamilan maka anak yang dilahirkan bukanlah anak haram melainkan anak yang sah secara syar'i.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’, 5/398.

Via HijrahApp

SEORANG WANITA MENINGGALKAN SHALAT KARENA MENGELUARKAN DARAH

Pertanyaan ke136:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Seorang wanita mengeluarkan darah selama sembilan hari maka ia meninggalkan shalat karena ia berkeyakinan bahwa darah itu adalah darah haidh, lalu beberapa hari kemudian ia mengeluarkan darah haidh yang sebenarnya, apa yang harus ia lakukan, apakah la harus melakukan shalat shalat yang telah ia tinggalkan beberapa hari itu atau bagaimana?

Jawaban:
Yang lebih utama baginya adalah melakukan shalat yang telah ia tinggalkan selama beberapa hari pertama, jika hal itu tidak ia lakukan maka hal itu tidak mengapa dan ia tidak berdosa, kami mengatakan hal itu karena Nabi صلی الله عليه وسلم tidak memerintahkan wanita mustahadhah (mengeluarkan darah istihadhah) yang menyatakan bahwa dirinya sedang mengalami istihadhah yang amat banyak dan ia telah meninggalkan shalat selama itu,

maka Nabi صلی الله عليه وسلم memerintahkan untuk menganggap dirinya haidh selama enam hari atau tujuh hari saja, kemudian setelah itu ia harus melaksanakan shalat pada sisa harinya selama dalam sebulan. Dalam hal ini Nabi صلی الله عليه وسلم tidak memerintahkan wanita itu untuk mengulangi shalat-shalat selama istihadhah yang telah ia tinggalkan, akan tetapi jika ia mengulangi shalat-shalat itu maka hal itu adalah baik.

Ibid, 4/275.

Via HijrahApp

SEORANG WANITA TELAH BERHENTI MASA HAIDHNYA KARENA USIANYA YANG SUDAH LANJUT

Pertanyaan ke138:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Bersama kami ada seorang wanita berusia lima puluh lima tahun, sejak kurang lebih dua tahun lalu ia telah berhenti dari haidhnya, ketika kami dalam suatu perjalanan dari Riyadh, tiba-tiba wanita itu mengeluarkan darah dan ia tidak mengetahui apakah darah itu darah haidh atau bukan,

lalu ketika kami sampai di Miqat ia mandi serta mulai melaksanakan rangkaian ibadah umrah, akan tetapi karena darah itu tetap mengalir hingga sekarang, maka ia tidak melakukan umrah, hal itu terjadi selama dua hari. Apa yang harus ia lakukan, apakah ia boleh melaksanakan umrah? Perlu diketahui bahwa ia juga telah meninggalkan shalat karena itu.

Jawaban:
Sebagian besar ulama telah membatasi masa habisnya haidh bagi wanita yaitu lima puluh tahun, berdasarkan pendapat ini maka darah yangmengalir dari wanita itu bukanlah darah haidh, dengan demikian tidak menghalanginya untuk shalat, puasa dan thawaf, hanya saja tidak boleh baginya untuk masuk Masjidil Haram atau Masjid lainnya jika dia khawatir akan menodai Masjid itu dengan darah yang keluar dari dirinya.

Ulama lain berpendapat bahwa haidh tidak memiliki umur tertentu untuk habisnya masa haidh, dengan demikian menurut pendapat ini merupakan suatu hal yang mungkin bagi seorang wanita untuk mendapatkan haidh walaupun umurnya telah lebih dari lima puluh tahun, berarti darah yang dikeluarkan wanita ini adalah darah haidh.

Akan tetapi tentang wanita ini, penanya menyebutkan bahwa wanita itu telah berhenti masa haidh sejak dua tahun, lalu ia mengeluarkan darah yang merupakan suatu kejanggalan, karena jika darah itu keluar terus tanpa berhenti selama duatahun sebelumnya berarti bukan suatu kejanggalan, maka berarti darah itu adalah darah haidh menurut pendapat yang lebih kuat,

akan tetapi kenyataannya wanita itutelah berhenti haidh selama dua tahun kemudian tiba-tiba ia mengeluarkan darah hingga menjadi suatu hal yang janggal, maka darah yang keluar dari wanita itu bukanlah darah haidh, sehingga saat itu ia tetap diperintahkan untuk shalat dan puasa di bulan Ramadhan, juga boleh baginya untuk thawaf.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/262.

Via HijrahApp

SETELAH BERSUCI DARI HAIDH YANG BIASANYA, KELUAR LAGI DARAH PADA WAKTU-WAKTU YANG TIDAK TENTU

Pertanyaan ke140:
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta' ditanya:
Saya mendapatkan haidh biasanya sembilan hari atau sepuluh hari,dan ketika habis masa haidh itu saya mandi untuk bersuci, lalu ketika saya melaksanakan pekerjaan rutin rumah tangga darah itu keluar kembali dengan terputus-putus, hal ini membuat saya bingung,

tolong beritahulah saya tentang masa haidh ini, dan jika hal ini terjadi terus menerus pada diri saya apakah ada ketentuan syari'at yang membolehkan saya untuk melakukan shalat, puasa serta melakukan umrah, juga bolehkah saya menggunakan pil pencegah haidh di bulan Ramadhan?

Jawaban:
Pertama: Masa haidh bagi Anda adalah masa haidh yang biasa Anda alami yaitu sembilan atau sepuluh hari, dan jika haidh itu telah berhenti setelah sembilan atau sepuluh hari maka segeralah Anda mandi, shalat, puasa serta thawaf di Ka'bah untuk haji atau umrah, juga halal bagi suami Anda untuk berhubungan badan dengan Anda.

Adapun darah yang biasa keluar pada saat-saat tertentu setelah habisnya masa haidh karena melakukan pekerjaan rumah atau karena sebab lain, maka darah itu bukanlah darah haidh melainkan darah rusak (darah penyakit), dan darah ini tidak menghalangi Anda untuk shalat, puasa, thawaf serta ibadah-ibadah lainnya,

jika itu terjadi maka cucilah itu sebagaimana Anda mencuci najis-najis lainnya, hanya saja disyari'atkan bagi Anda untuk berwudhu setiap kali hendak shalat, setelah itu Anda boleh shalat, thawaf di Ka'bah dan membaca Al-Qur'an.

Kedua: Dibolehkan bagi Anda untuk menggunakan pil pencegah haidh di bulan Ramadhan jika dalam penggunaannya tidak membahayakan kesehatan Anda secara umum, tidak mengakibatkan kemandulan, tidak mengakibatkan kejanggalan pada haidh bulanan Anda, karena terkadang pil itu mengakibatkan mengalirnya darah terus menerus, jika semua demikian yang terjadi maka haram hukumnya menggunakan pil tersebut.

Untuk mengetahui hal ini lebih mendalam silahkan Anda bertanya kepala para ahlinya yaitu para dokter yang ahli dalam bidang ini.

Ibid, 5/388.

Via HijrahApp

SETELAH HAIDH ENAM HARI DARAH TERUS MENGALIR

Pertanyaan ke134:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Seorang wanita mengalami haidh selama enam hari disetiap awal bulan, kemudian setelah itu ada lagi darah yang keluar, bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Wanita ini yang mengalami haidh selama enam hari di setiap awal bulan kemudian darah mengalir secara terus menerus, hendaknya ia meninggalkanshalat selama enam hari di setiap awal bulan dan ditetapkan baginya hukum-hukum haidh, adapun darah yang keluar setelah enam hari ini dianggap darah istihadhah,

maka hendaklah ia mandi dan shalat dengan tidak perlu memperdulikan darah yang ada saat itu, berdasarkan hadits Ai-syah رضى الله عنها :

"Bahwa Fathimah binHubaish berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sedang mengeluarkan darah istihadhah maka berarti saya tidak suci, apakah saya harus meninggalkan shalat?" Rasulullah shalallahualaihi wasallam bersabda:
'Tidak, sesungguhnya darah itu adalah darah peluh, akan tetapi tinggalkan shalat sesuai hari-hari yang biasanya engkau mengalami masa haidh, kemudian setelah itu mandilah engkau dan shalatlah " Hadits riwayat Al-Bukhari.

Dan juga berdasarkan riwayat dari Muslim, bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy:
"Tinggalkanlah shalat sesuai dengan hari-hari yang biasa engkau mengalami masa haidh kemudian setelah itu mandilah engkau dan shalatlah"

Majmu'Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/279.

Via HijrahApp

SETELAH NIFAS MENGELUARKAN DARAH SEDIKIT YANG BUKAN DI MASA HAIDH

Pertanyaan ke142:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya:
Seorang wanita telah melalui masa nifasnya selama empat puluh hari, karena itu ia segera bersuci dengan mandi secara benar. Sepuluh hari kemudian wanita itu mengeluarkan darah yang amat sedikit, dan karena itu ia meninggalkan shalat Zhuhur, kemudian darah itu berhenti setelah lima kali waktu shalat. Perlu diketahui bahwa darah itu keluar bukan pada masa haidh yang biasa.

Pertanyaannya adalah;
apakah ia harus melakukan enam shalat yang ditinggalkannya itu selama ia mengeluarkan darah yang amat sedikit ini, yaitu dua atau tiga tetes darah yang bukan pada masa haidh, atau apakah ia boleh meninggalkan shalat-shalat tersebut sebagaimana yang telah ia lakukan?

Jawaban:
Jika seorang wanita telah suci dari nifasnya lalu sepuluh hari kemudian ia mengeluarkan darah yang amat sedikit sekali dan bukan pada masa haidh yang biasa, maka tidak boleh baginya meninggalkan shalat dan juga tidak boleh meninggalkan puasa, karena darah itu adalah darah rusak (darah penyakit), dan hendaknya ia melaksanakan (mengqadha) shalat-shalat yang telah ia tinggalkan semasa keluarnya darah yang amat sedikit itu.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’, 5/425.

Via HijrahApp

SETELAH OPERASI DAN SEBELUM MASA HAIDH MENGELUARKAN DARAH HITAM, KEMUDIAN SETELAH ITU MASA HAIDH DATANG

Pertanyaan ke137:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Seorang wanita menjalani operasi, lalu setelah operasi dan sebelum masa yang biasanya datang haidh, tepatnya empat hari atau lima hari sebelum waktu haidh, ia mengeluarkan darah Berwarna hitam yang bukan darah haidh, dan setelah itu ia langsung mengeluarkan darah haidh yang biasa selama tujuh hari, apakah hari-hari sebelum masa haidh itu dianggap sebagai masa haidh?

Jawaban:
Rujukan masalah ini seharusnya kepada para dokter, karena dilihat dari segi lahirnya saja dapat dikatakan bahwa darah yang keluar dari wanita ini adalah akibat dilakukannya operasi, dan darah yang keluar akibat pengaruh operasi tidak bisa dinyatakan sebagai darah haidh, dengan demikian tidak bisa dikenakan hukum darah haidh berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tentang wanita mustahadhah:
"Sesungguhnya darah itu adalah darah peluh."

Hal ini mengisyaratkan bahwa darah yang keluar itu jika sebagai darah peluh,yang di antaranya adalah darah yang diakibatkan operasi, maka darah itu tidak dianggap sebagai darah haidh, dengan demikian tidak diharamkan baginya apa-apa yang diharamkan bagi wanita yang sedang haidh, sehingga ia tetap diwajibkan melaksanakan shalat dan puasa jika di bulan Ramadhan.

Ibid, 4/277.

Via HijrahApp

SIFAT MANDI JUNUB DAN PERBEDAANNYA DENGAN MANDI HAIDH

Pertanyaan ke29:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah ada perbedaan antara mandi junub seorang pria dengan mandi junub seorang wanita? Dan apakah seorang wanita harus melepas ikatan rambutnya atau cukup baginya menuangkan air di atas kepalanya tiga kali tuang berdasarkan suatu hadits? Apa bedanya antara mandi junub dengan mandi haidh?

Jawaban:
Tidak ada perbedaan bagi pria dan wanita dalam hal sifat mandi junub, dan masing-masing tidak perlu melepaskan ikatan rambutnya akan tetapi cukup baginya untuk menuangkan air di atas kepalanya sebanyak tiga tuang kemudian setelah itu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya berdasarkan hadits Ummu Salamah رضى الله عنها, bahwa ia berkata kepada Nabi صلی الله عليه وسلم:

"Sesungguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepala saya, apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub?" Rasulullah menjawab:
‘Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali diatas kepatamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, maka (dengan demikian) kamu telah bersuci". (HR. Muslim).

Jika di atas kepala seorang lelaki maupun wanita terdapat ikatan atau pewarna rambut atau sesuatu lainnya yang dapat menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala, maka wajib dihilangkan, akan tetapi jika itu ringan dan tidak menghalangi mengalirnya air ke kulit kepala maka tidak wajib dihilangkan. Adapun mandinya wanita setelah haidh, para ulama berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya melepaskan ikatan rambutnya untuk mandinya.

Yang benar, bahwa ia tidak harus melepaskan ikatan rambutnya untuk mandi tersebut, hal ini berdasarkan beberapa riwayat hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan Muslim bahwaia (Ummu Salamah) berkata kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم: "Sesungguhnya saya seorang wanita yang mengikat gulungan rambut kepalaku,apakah saya harus melepaskan ikatan rambut itu untuk mandi junub?" Rasulullah menjawab:
"Tidak, akan tetapi cukup bagimu untuk menuangkan air sebanyak tiga kali di atas kepalamu, kemudian kamu sirami seluruh tubuhmu dengan air, (dengan demikian) maka kamu telah bersuci."

Riwayat hadits Nabi ini adalah merupakan dalil yang menunjukkan tidak adanya kewajiban untuk melepaskan ikatan rambut untuk mandi junub atau untuk mandi haidh, akan tetapi sebaiknya ikatan rambut itu dilepas saat mandi haidh sebagai sikap waspada dan untuk keluar dari perselisihan pendapat serta memadukan dalil-dalil dalam hal ini.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil ifta', 5/320.

Via HijrahApp

SUCI SEBELUM EMPAT PULUH HARI LALU BERPUASA

Pertanyaan ke103:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Jika wanita nifas mendapatkan kesuciannya sebelum empat puluh hari lalu ia berpuasa, apakah puasanya itu sah?

Jawaban:
Puasanya sah dan sempurna karena ia telah mendapatkan kesuciannya walaupun belum empat puluh hari, sebab dengan begitu berlaku baginya hukum yang berlaku bagi wanita-wanita lainnya yang telah suci.

Al-Majmu'ah Al Kamilah Asy-Syaikh Ibnu As-Sa'di, 7/100.

Via HijrahApp

TERLAMBAT DATANG BULAN PADA BULAN RAMADHAN KEMUDIAN KELUAR DARAH YANG TERPUTUS-PUTUS

Pertanyaan ke55:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Seorang wanita mengalami terlambat datang bulan pada bulan Ramadhan kemudian setelah beberapa hari dari hari biasanya, ia mengeluarkan darah yang terputus-putus tidak seperti biasanya, lalu ia mandi, shalat dan melakukan puasa, apakah shalat dan puasanya itu sah? Dan apa yang harus ia lakukan bila shalat dan puasanya tidak sah?

Jawaban:
Jika darah yang keluar itu adalah darah haidh yang dapat diketahui berdasarkan warna, bau, kadar kehangatan dan rasa sakitnya maka darah itu adalah darah haidh, walaupun masa berhentinya darah itu amat pendek dengan keluarnya darah haidh sebelumnya,

sedangkan jika darah yang keluar itu tidak sesuai dengan ciri-ciri darah haidh maka berarti darah itu adalah darah istihadhah (darah penyakit) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat, puasa serta ibadah-ibadah lainnya.

Para ulama telah menyebutkan bahwa ciri-ciri darah haidh ada tiga, yaitu:
1. Baunya busuk
2. Warnanya hitam
3. Lunak dan kental

Kemudian orang-orang pada zaman modern ini menyebutkan ciri keempat yaitu, bahwa darah haidh tidak bisa beku sementara darah yang bukan darah haidh dapat membeku.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/268.

Via HijrahApp

TERUS MENERUS MENGELUARKAN CAIRAN BERWARNA KUNING SETELAH BERSUCI

Pertanyaan ke76:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Ada seorang wanita setelah habis masa haidhnya tidak mengalami keluarnya gumpalan putih akan tetapi ia mengeluarkan cairan Berwarna kuning terus menerus, bagaimana hukumnya ini?

Jawaban:
Jika wanita itu tidak mengeluarkan cairan putih sebagai tanda berakhirnya masa haidh maka cairan kuning itu telah menggantikan kedudukan cairan atau gumpalan putih, karena cairan putih adalah merupakan tanda dan tanda itu bisa dipastikan dalam satu macam bentuk,

karena tanda berakhirnya masa haidh tidak bisa dipastikan dengan satu macam petunjuk akan tetapi banyak penunjuk yang menunjukkan pada hal itu, pada umumnya tanda berakhirnya masa haidh pada sebagian besar wanita adalah terdapatnya cairan/gumpalan putih, akan tetapi bisa jadi tanda habisnya masa haidh itu adalah selain itu,

dan terkadang pula seorang wanita tidak mengeluarkan cairan putih dan tidak pula mengeluarkan cairan kuning sebagai tanda habisnya masa haidh, melainkan kering begitu saja hingga ia mendapatkan masa haidh selanjutnya, setiap wanita bisa memiliki kebiasaan yang berbeda dalam hal mengakhiri masa haidhnya.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/247.

Via HijrahApp

TIDAK BERWUDHU SAAT MENGELUARKAN CAIRAN ITU KARENA TIDAK TAHU

Pertanyaan ke161:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Jika wanita itu tidak berwudhu saat mengeluarkan cairan tersebut karena ketidaktahuannya dalam masalah ini, bagaimanakah hukumnya?

Jawaban:
Hendaknya ia bertaubat kepada Allah aza wajalla, kemudian jika ia berada di tempat di mana tidak ada orang yang bisa ia tanyai mengenai masalah ini, seperti halnya seorang remaja putri yang tinggal di suatu pedalaman ditambah lagi jika ia tidak mengetahui bahwa cairan itu dapat membatalkan wudhu, maka hal itu tidak mengapa baginya.

Lain halnya jika di tempat tinggalnya itu ada ulama yang bisa ditanyai tapi ia tidak mau bertanya tentang hai itu, maka wajib baginya untuk mengqadha shalat shalat yang telah ia tinggalkan itu.

Ibid, 4/288.

Via HijrahApp

TIDAK MENGELUARKAN DARAH SETELAH MELAHIRKAN, BOLEHKAH SUAMINYA MENCAMPURINYA?

Pertanyaan ke109:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya:
Jika wanita hamil telah melahirkan dan tidak mengeluarkan darah,apakah boleh bagi suaminya untuk menggaulinya? Dan apakah wanita itu pun harus tetap melaksanakan shalat dan puasa atau tidak?

Jawaban:
Jika wanita hamil telah melahirkan dan tidak mengeluarkan darah maka ia wajib mandi, shalat dan puasa, dibolehkan bagi suaminya untuk mencampurinya setelah mandi, karena pada umumnya kelahiran akan mengeluarkan darah walaupun sedikit yang mana darah itu keluar bersamaan dengan janin bayi yang dilahirkan atau setelah bayi itu dilahirkan.

Ibid, 5/420.

Via HijrahApp

UMUR LIMA PULUH TAHUN LEBIH MENGELUARKAN DARAH YANG CIRINYA SEPERTI DARAH HAIDH

Pertanyaan ke54:
Syaikh Muhammad binShalih Al-Utsaimin ditanya: Seorang wanita berumur lima puluh tahun lebih mengeluarkan darah yang cirinya seperti darah kebiasaan wanita, sementara wanita lain yang juga berumur lima puluh tahun lebih mengeluarkan darah yang cirinya tidak seperti biasanya, tapi berwarna kuning atau keruh?

Jawaban:
Wanita yang mengeluarkan darah yang cirinya seperti darah kebiasaan wanita, maka darah yang keluar itu adalah darah haidh, ini adalah pendapat yang lebih kuat karena pada dasarnya tidak ada batasan umur tertua bagi wanita yang mengalami masa haidh,

maka berdasarkan ini hendaknya wanita yang mengeluarkan darah itu dikenakan hukum- hukum yang berhubungan dengan haidh, berupa larangan untuk melakukan shalat, puasa dan berhubungan badan serta wajib baginya untuk mandi setelah habis masa haidh serta mengqadha puasa di hari yang lain dan sebagainya.

Sedangkan bagi wanita yang mengeluarkan darah yang Berwarna kuning serta keruh,jika cairan yang Berwarna kuning dan keruh itu keluar di waktu yang biasanya datang masa haidh, berarti cairan itu adalah darah haidh, akan tetapi jka cairan kuning dan keruh itu keluar di waktu yang bukan pada masa haidh maka cairan itu bukanlah darah haidh.

Adapun jika yang keluar itu adalah darah yang telah diketahui cirinya bahwa darah itu adalah darah haidh akan tetapi darah itu keluar bukan pada masa haidh terkadang cepat dan terkadang terlambat, maka berarti wanita itu sedang mengalami haidh (yang tidak membolehkannya untuk shalat serta ibadah- ibadah lainnya hingga habis masa haidh itu) dan dia mandi jika darah sudah terputus.

Ini juga berdasarkan pendapat yang lebih kuat yang mengatakan bahwa masa haidh tidak memiliki batasan umur tertua, adapun menurut madzhab (Hambali) tidak ada haidh bagi wanita yang telah melebihi umur lima puluh tahun, meskipun wanita itumengeluarkan darah biasa yang kehitam-hitaman, dan wanita itu harus tetap berpuasa, shalat dan tidak wajib mandi jika pendarahan itu berhenti, akan tetapi pendapat seperti itu adalah tidak benar.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/269.

Via HijrahApp

WAJIB MANDIKAH BILA KELUARNYA MANI KARENA SYAHWAT TANPA BERSETUBUH

Pertanyaan ke37:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya:
Wajib mandikah bagi wanita yang mengeluarkan mani karena adanya syahwat tanpa melakukan persetubuhan?

Jawaban:
Jika keluarnya mani dari seorang wanita dengan disertai rasa nikmat maka wajib baginya untuk mandi.

Ibid, 5/311.

Via HijrahApp

WAJIB MANDIKAH JIKA SEORANG WANITA MEMASUKKAN TANGANNYA KE DALAM KEMALUANNYA

Pertanyaan ke39:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya:
Jika seorang wanita memasukkan jarinya untuk membersihkan najis di dalam kemaluannya, atau memasukkan sesuatu ke dalam kemaluannya untuk pengobatan, atau untuk memeriksa berbagai macam penyakit kewanitaan, yang mana seorang dokter harus memasukkan tangannya atau alat-alat kedokteran ke dalam kemaluannya, apakah wajib bagi wanita itu untuk mandi?

Jika hal ini dilakukan pada siang hari di bulan Ramadhan apakah hal ini membatalkan puasanya hingga wajib baginya untuk mengqadha puasanya?

Jawaban:
Jika terjadi hal seperti yang telah Anda sebutkan itu, maka tidak ada kewajiban untuk mandi dan juga hal tersebut tidak membatalkan puasa.

Ibid, 5/315.

Via HijrahApp

WAJIB MANDIKAH WANITA YANG BERMIMPI (MIMPI BASAH)

Pertanyaan ke35:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Apakah seorang wanita mengalami mimpi (mimpi basah)? Jika ia mengalami mimpi itu, apakah yang wajib ia lakukan? Dan jika seorang wanita mengalami mimpi itu kemudian ia tidak mandi, apakah yang harus ia lakukan?

Jawaban:
Terkadang wanita itu mengalami mimpi (mimpi basah), sebab kaum wanita adalah saudara kaum pria, jika kaum pria mengalami mimpi maka demikian pulalah halnya wanita.

Jika seorang wanita mengalami mimpi dan tidak keluar cairan syahwat pada saat bangun dari tidurnya, maka tidak ada kewajiban bagi wanita itu untuk mandi.

Akan tetapi jika mimpi itu menyebabkan adanya air dari kemaluannya, maka wanita itu diwajibkan untuk mandi. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salim yang bertanya kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم: "Wahai Rasulullah, apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mandi jika ia bermimpi?" Rasulullah صلی الله عليه وسلم menjawab:
"Ya, jika ia melihat air"

jadi jika mimpi itu menyebabkan keluar air maka wajib baginya untuk mandi. Jika mimpi itu telah berlalu lama sekali dan mimpi itu tidak menyebabkan keluar air maka tidak ada kewajiban mandi atasnya, akan tetapi jika mimpi itu menyebabkan keluarnya air maka hendaknya ia menghitung berapa shalat yang telah ia tinggalkan lalu hendaknya ia melaksanakan shalat yang ia tinggalkan itu.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 4/230.

Via HijrahApp

WAJIBKAH PUASA DAN SHALAT BAGI WANITA YANG MENGALAMI KEGUGURAN

Pertanyaan ke119:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Jika seorang wanita mengalami keguguran, apakah wajib baginya untuk puasa dan shalat sejak keluarnya darah sebelum keguguran, ataukah hukum darah itu sama dengan hukum darah haidh, dan saat terjadinya keguguran apakah setelahnya ada nifas atau tidak?

Jawaban:
Jika seorang wanita hamil keguguran berupa segumpal darah atau daging yang belum memiliki bentuk manusia maka darah yang keluar bukanlah darah nifas, adapun darah yang keluar beberapa saat sebelum keguguran dan beberapa saat setelah keguguran, maka darah itu dianggap darah rusak (darah penyakit) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk melaksanakan puasa dan shalat dengan keberadaan darah tersebut,

dengan catatan, setiap akan shalat hendaknya ia berwudhu serta menjaga agar darah itu tidak menetes dengan menggunakan kapas atau sejenisnya.

Sedangkan jika wanita itu keguguran berupa janin yang telah memiliki bentuk manusia, maka hukum darah yang keluar adalah hukum darah nifas yang mengharuskannya meninggalkan shalat, puasa dan haram bagi suaminya menyetubuhinya hingga ia mendapat kesuciannya dengan tidak mengeluarkan darah atau hingga mencapai hari yang keempat puluh dari sejak masa keguguran.

Dan jika wanita itu telah suci sebelum empat puluh hari maka hendaknya ia mandi wajib serta melaksanakan shalat, puasa dan boleh bagi suaminya menyetubuhinya walaupun belum empat puluh hari jika telah suci.

Ibid, 5/419.

Via HijrahApp

WANITA BERUMUR LIMA PULUH DUA TAHUN MENGELUARKAN BANYAK DARAH SELAMA TIGA HARI

Pertanyaan ke53:

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Seorang wanita yang berumur lima puluh dua tahun, pada umur tersebut ia banyak mengeluarkan darah selama tiga hari, kemudian ia mengeluarkan darah sedikit- sedikit pada hari- hari selanjutnya selama satu bulan, apakah darah itu dianggap darah haidh, padahal wanita itu telah berumur lebih dari lima puluh tahun?

Perlu diketahui bahwa darah tersebut terkadang berhenti selama satu bulan, dua bulan atau bahkan selama tiga bulan, apakah ia harus tetap shalat sementara darah tetap keluar? dan apakah ia juga boleh melakukan shalat- shalat sunnat, seperti shalat rawatib dan shalat malam dalam keadaan seperti itu?

Jawaban:
Wanita yang mengeluarkan darah seperti ini, darahnya itu dianggap darah penyakit karena umurnya yang telah lanjut, juga dikarenakan wanita itu mengalami kegelisahan (kejanggalan karena tidak terbiasa) dengan keluarnya darah yang semacam itu.

Demikian ini dapat diketahui berdasarkan kenyataan dan juga berdasarkan ucapan dari 'Aisyah رضى الله عنها yang menyatakan bahwa jika seorang wanita telah mencapai umur lima puluh tahun, maka akan berhenti darinya darah haidh dan masa kehamilan, atau darah datang dan tidak teratur,

maka keadaan tidak teratur saat keluarnya darah pada umur lebih dari lima puluh tahun bukanlah darah haidh, maka dari itu wajib baginya untuk tetap melaksanakan shalat serta ibadah-ibadah lainnya,

juga darah ini sama dengan darah istihadhah yang tidak menghalangi seorang wanita untuk melakukan shalat, puasa, dan juga tidak menghalangi suaminya untuk bersetubuh dengannya menurut pendapat yang paling benar di antara pendapat-pendapat para ulama,

dan hendaknya wanita itu berwudhu setiap kali akan mendirikan shalat serta mewaspadai keluarnya darah itu dengan menggunakan pembalut wanita atau kapas atau lainnya berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم kepada orang yang mengeluarkan darah istihadhah (darah penyakit dan bukan darah haidh):

"Hendaklah engkau berwudhu untuk setiap shalat", (HR. Al-Bukhari dalam shahihnya).

Kitab Fatawa Ad-Dawah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/72.

Via HijrahApp

WANITA HAMIL MENGALAMI CONCANGAN NAMUN LA TIDAK TAHU APAKAH KANDUNGANNYA KEGUGURAN ATAU TIDAK, DALAM KEADAAN LA MENGALAMI HAIDH

Pertanyaan ke111:
Syaikh Ibnu As-Sa'di ditanya:
Bila wanita hamil mengalami goncangan, namun ia tidak tahu apakah kandungannya keguguran dalam keadaan ia haidh, sementara ia pun telah meminum obat untuk membersihkan bekas keguguran. Bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Jika telah diketahui kehamilannya, maka terlebih dahulu harus diketahui dengan pasti bahwa di dalam perutnya tidak ada lagi sesuatu, baik itu berupa bekas keguguran, ataupun dengan berselangnya waktu yang cukup lama yang bisa memastikan bahwa dirinya tidak hamil.

Untuk masa tersebut, di antara ulama ada yang berpendapat selama empat tahun, ada pula yang mengatakan; harus diyakini kepastiannya selama kurang lebih empat tahun. Demikianlah pendapat yang benar. Wallahu A'lam.

Ibid

Via HijrahApp

WANITA HAMIL MENGELUARKAN CAIRAN SEJAK SATU BULAN

Pertanyaan ke165:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya:
Kandungan seorang wanita hamil telah mencapai bulan keenam, sejak usia kandungannya berumur tiga bulan ia terus mengeluarkan cairan dari kemaluannya. Apakah cairan itu dapat mempengaruhi shalatnya? Perlu diketahui bahwa janin dalam perutnya itu belum keluar.

Jawaban:
Jika cairan yang keluar itu adalah bukan darah yang sama sifatnya dengan darah haidh maka cairan itu adalah bukan darah haidh dan tidak ada pengaruhnya pada shalat dan puasa yang ia ketjakan, cairan yang keluar ini dapat membatalkan wudhu akan tetapi cairan itu adalah suci dalam pengertian tidak menyebabkan najis pada pakaian dan badannya.

Ibid, 3/256.

Via HijrahApp

WANITA HAMIL MENGELUARKAN DARAH YANG BUKAN DARAH HAIDH

Pertanyaan ke82:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Seorang wanita hamil mengeluarkan darah yang bukan darah haidh di bulan Ramadhan yang suci ini, walaupun demikian ia tetap shalat serta puasa, apakah perbuatan seperti ini benar?

Jawaban:
Darah yang keluar dari wanita hamil itu bukanlah darah haidh melainkan darah penyakit, maka hendaknya ia berwudhu setiap kali memasuki waktu shalat untuk melaksanakan shalat, ia juga wajib melaksanakan puasa di bulan Ramadhan itu serta boleh bagi suaminya untuk berhubungan badan dengannya.

Ibid, 5/393.

Via HijrahApp

WANITA MENGELUARKAN DARAH YANG BUKAN DARAH HAIDH DAN BUKAN PULA DARAH NIFAS

Pertanyaan ke139:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Apa hukumnya darah yang keluar dari seorang wanita yang mana darah itu bukan darah haidh dan bukan pula darah nifas, apakah ia harus meninggalkan puasa jika darah itu keluar pada siang hari bulan Ramadhan kemudian mengqadha di bulan lainnya?

Jawaban:
Jika darah semacam itu keluar pada siang hari bulan Ramadhan, yang mana darah itu bukan darah haidh dan bukan pula darah nifas, maka wajib baginya untuk tetap berpuasa dan shalat dengan berwudhu setiap hendak melaksanakan shalat. Dengan demikian tidak boleh mengqadha shalat dan puasa."

Fatawa AL-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta', 5/403.

Via HijrahApp

YANG DIBOLEHKAN BAGI SUAMI TERHADAP ISTRINYA YANG SEDANG NIFAS

Pertanyaan ke129:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya:
Apa yang dibolehkan bagi seorang suami terhadap istrinya yang sedang nifas?

Jawaban:
Yang dibolehkan bagi seorang suami terhadap istrinya yang sedang nifas adalah menggaulinya selain kemaluan, hal ini berdasarkan hadits Aisyah رضى الله عنها, ia berkata:

"Sesungguhnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم memerintahkanku maka aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku, dan saat itu aku sedang haidh,"

yang dimaksud mencumbui di sini adalah menyentuhnya selain kemaluannya, dan makruh menyetubuhi isteri sebelum empat puluh hari walaupun telah habis darah nifasnya serta setelah bersuci.

Ahmad mengatakan:
Hal yang mengejutkanku adalah jika seorang suami mencampuri istrinya (sebelum empat puluh hari), disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Utsman bin Abu Al-Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, maka Utsman berkata:

"Wahai istriku janganlah engkau mendekatiku karena sesungguhnya dikhawatirkan darah nifas itu akan kembali saat melakukan persetubuhan".

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/102.

Via HijrahApp

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M