• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Minggu, 19 Mei 2024

Fiqih Puasa

Bagikan

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan Ash Shiyaam (الصيام) atau ‎Ash Shaum (الصوم). Secara bahasa Ash Shiyam artinya adalah al imsaak (الإمساك) yaitu menahan diri. Sedangkan secara istilah, ash shiyaam artinya: beribadah kepada Allah Ta’ala dengan menahan diri dari makan, minum dan pembatal puasa lainnya, dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah Ta’ala:

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصّيَام كما كُتب على الذين من قبلكم لعلّكم تتّقون‎

“wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah: 183).

Dan juga karena puasa ramadhan adalah salah dari rukun Islam yang lima. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

بُني الإِسلام على خمس: شهادة أن لا إِله إِلا الله وأنّ محمّداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإِيتاء الزكاة، والحجّ، وصوم رمضان‎

“Islam dibangun di atas lima rukun: syahadat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, menegakkan shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari – Muslim).

1.Puasa adalah ibadah yang tidak ada tandingannya. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada Abu Umamah Al Bahili:

عليك بالصيام فإنه لا مثل له‎

“hendaknya engkau berpuasa karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya” (HR. Ahmad, An Nasa-i. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i)

2. Allah Ta’ala menyandarkan puasa kepada diri-Nya.

قال الله عز وجل: كل عمل ابن آدم له إلا الصوم، فإنه لي وأنا أجزي به‎

“Allah ‘azza wa jalla berfirman: setiap amalan manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalas pahalanya” (HR. Bukhari – Muslim).

3. Puasa menggabungkan 3 jenis kesabaran: sabar dalam melakukan ketaatan kepada Allah, sabar dalam menjauhi hal yang dilarang Allah dan sabar terhadap takdir Allah atas rasa lapar dan kesulitan yang ia rasakan selama puasa.

4. Puasa akan memberikan syafaat di hari kiamat.

الصيام والقرآن يشفعان للعبد‎

“Puasa dan Al Qur’an, keduanya akan memberi syafaat kelak di hari kiamat” (HR. Ahmad, Thabrani, Al Hakim. Al Haitsami mengatakan: “semua perawinya dijadikan hujjah dalam Ash Shahih“).

5. Orang yang berpuasa akan diganjar dengan ampunan dan pahala yang besar.
Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمً‎ا‎

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabameninggalkan. dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Ahzab: 35)

6. Puasa adalah perisai dari api neraka.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصيام جُنة‎

“puasa adalah perisai” (HR. Bukhari – Muslim)

7. Puasa adalah sebab masuk ke dalam surga
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

في الجنة ثمانية أبواب، فيها باب يسمى الريان، لا يدخله إلا الصائمون‎

“di surga ada delapan pintu, diantaranya ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari).

1.Puasa adalah wasilah untuk mengokohkan ketaqwaan kepada Allah

2. Puasa membuat orang merasakan nikmat dari Allah Ta’ala

3. Mendidik manusia dalam mengendalikan keinginan dan sabar dalam menahan diri

4. Puasa menahan laju godaan setan

5. Puasa menimbulkan rasa iba dan sayang kepada kaum miskin

6. Puasa membersihkan badan dari elemen-elemen yang tidak baik dan membuat badan sehat

  1. Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
  2. Menepati rentang waktu puasa

1. Wajib menentukan awal bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.

2. Para ulama mensyaratkan minimal satu orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Ramadhan.

3. Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Ramadhan sendirian, ulama khilaf. Jumhur ulama mengatakan ia wajib berpuasa sendirian berdasarkan ru’yah-nya. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Al Utsaimin. Sebagian ulama berpendapat ia wajib berpuasa bersama jama’ah kaum Muslimin. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Baz.

4 .Rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain (ittifaqul mathali’), ataukah setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing di negerinya (ikhtilaful mathali’)? Para ulama khilaf dalam masalah ini. Jumhur ulama berpendapat rukyah hilal suatu negeri berlaku untuk seluruh negeri yang lain. Adapun Syafi’iyyah dan pendapat sebagian salaf, setiap negeri mengikuti rukyah hilal masing-masing. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ash Shanani dan juga Ibnu Utsaimin.

5. Wajib menentukan akhir bulan Ramadhan dengan ru’yatul hilal, bila hilal tidak terlihat maka bulan Ramadhan digenapkan menjadi 30 hari. Para ulama ijma akan hal ini, tidak ada khilaf di antara mereka.

6. Jumhur ulama mensyaratkan minimal dua orang yang melihat hilal untuk bisa menetapkan terlihatnya hilal Syawal.Jika ada seorang yang mengaku melihat hilal Syawal sendirian, maka ia wajib berbuka bersama jama’ah kaum Muslimin.

7. Jika hilal Syawal terlihat pada siang hari, maka kaum Muslimin ketika itu juga berbuka dan shalat Id, jika terjadi sebelum zawal (bergesernya mata hari dari garis tegak lurus).

Puasa dimulai ketika sudah terbit fajar shadiq atau fajar yang kedua. Allah Ta’ala berfirman:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ‎

“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah: 187).

Yang dimaksud dengan khaythul abyadh di sini adalah fajar shadiq atau fajar kedua karena berwarna putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar kadzib atau fajar pertama itu bentuknya seperti dzanabus sirhan (ekor serigala). Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الفجر فجران: فأما الفجر الذي يكون كذنب السرحان فلا يحل الصلاة ولا يحرم الطعام، وأما الفجر الذي يذهب مستطيلا في الأفق فإنه يحل الصلاة و يحرم الطعام‎

“Fajar itu ada dua: pertama, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka ini tidak menghalalkan shalat (shubuh) dan tidak mengharamkan makan. Kedua, fajar yang memanjang di ufuk, ia menghalalkan shalat (shubuh) dan mengharamkan makan (mulai puasa)” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’).

Puasa berakhir ketika terbenam matahari. Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ‎

“lalu sempurnakanlah puasa hingga malam” (QS. Al Baqarah: 187).

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا أقبل الليل من هاهنا وأدبر النهار من هاهنا، وغربت الشمس، فقد أفطر الصائم‎

“jika datang malam dari sini, dan telah pergi siang dari sini, dan terbenam matahari, maka orang yang berpuasa boleh berbuka” (HR. Bukhari – Muslim).

1.Islam

2. Baligh

3. Berakal

4. Muqim (tidak sedang safar)

5. Suci dari haid dan nifas

6. Mampu berpuasa

7. Niat

1.Sunnah-sunnah terkait berbuka puasa

  • Disunnahkan menyegerakan berbuka
  • Berbuka puasa dengan beberapa butir ruthab (kurma segar), jika tidak ada maka denganbeberapa butir tamr (kurma kering), jika tidak ada maka dengan beberapa teguk air putih
  • Berdoa ketika berbuka dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله    /dzahabazh zhomaa-u wabtallatil ‘uruuqu watsabatal ajru insyaa Allah/ “telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan, dan telah diraih pahala, insya Allah” (HR. Abu Daud, An Nasa-i, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud)

2. Sunnah-sunnah terkait makan sahur

  • Makan sahur hukumnya sunnah muakkadah. Dianggap sudah makan sahur jika makan atau minum di waktu sahar, walaupun hanya sedikit. Dan di dalam makanan sahur itu terdapat keberkahan
  • Disunnahkan mengakhirkan makan sahur mendekati waktu terbitnya fajar, pada waktu yang tidak dikhawatirkan datangnya waktu fajar ketika masih makan sahur.
  • Disunnahkan makan sahur dengan tamr (kurma kering).

3. Orang yang berpuasa wajib meninggalkan semua perbuatan yang diharamkan agama dan dianjurkan untuk memperbanyak melakukan ketaatan seperti: bersedekah, membaca Al Qur’an, shalat sunnah, berdzikir, membantu orang lain, i’tikaf, menuntut ilmu agama, dll

4. Membaca Al Qur’an adalah amalan yang lebih dianjurkan untuk diperbanyak di bulan Ramadhan. Bahkan sebagian salaf tidak mengajarkan ilmu di bulan Ramadhan agar bisa fokus memperbanyak membaca Al Qur’an dan mentadabburinya.

1.Orang sakit yang bisa membahayakan dirinya jika berpuasa.

  • Jumhur ulama mengatakan bahwa orang sakit yang boleh meninggalkan puasa adalah yang jika berpuasa itu dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan serius pada kesehatannya.
  • Adapun orang yang sakit ringan yang jika berpuasa tidak ada pengaruhnya sama sekali atau pengaruhnya kecil, seperti pilek, sakit kepala, maka ulama empat madzhab sepakat orang yang demikian wajib tetap berpuasa dan tidak boleh meninggalkan puasa.
  • Terkait adanya kewajiban qadha atau tidak, orang sakit dibagi menjadi 2 macam:
  • Orang yang sakitnya diperkirakan masih bisa sembuh, maka wajib meng-qadha ketika sudah mampu untuk menjalankan puasa. Ulama ijma akan hal ini.
  • Orang yang sakitnya diperkirakan tidak bisa sembuh, maka membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Diqiyaskan dengan keadaan orang yang sudah tua renta tidak mampu lagi berpuasa. Ini disepakati oleh madzhab fikih yang empat.

2.Musafir.

  • Orang yang bersafar boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik perjalanannya sulit dan berat jika dilakukan dengan berpuasa, maupun perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa.
  • Namun jika orang yang bersafar itu berniat bermukim di tempat tujuan safarnya lebih dari 4 hari, maka tidak boleh meninggalkan puasa sejak ia sampai di tempat tujuannya.
  • Para ulama khilaf mengenai musafir yang perjalanannya ringan dan tidak berat jika dilakukan dengan berpuasa, semisal menggunakan pesawat atau kendaraan yang sangat nyaman, apakah lebih utama berpuasa ataukah tidak berpuasa. Yang lebih kuat, dan ini adalah pendapat jumhur ulama, lebih utama tetap berpuasa.
  • Orang yang hampir selalu bersafar setiap hari, seperti pilot, supir bus, supir truk, masinis, dan semacamnya, dibolehkan untuk tidak berpuasa selama bersafar, selama itu memiliki tempat tinggal untuk pulang dan menetap. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al Utsaimin.

3. Orang yang sudah tua renta

  • Orang yang sudah tua renta dan tidak lagi mampu untuk berpuasa dibolehkan untuk tidak berpuasa Ramadhan. Ulama ijma akan hal ini.
  • Wajib bagi mereka untuk membayar fidyah kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.

4. Wanita hamil dan menyusui

  • Wanita hamil atau sedang menyusui boleh meninggalkan puasa Ramadhan, baik karena ia khawatir terhadap kesehatan dirinya maupun khawatir terhadap kesehatan si bayi.
  • Ulama berbeda pendapat mengenai apa kewajiban wanita hamil dan menyusui ketika meninggalkan puasa.
  1. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka cukup membayar fidyah tanpa qadha, ini dikuatkan oleh Syaikh Al Albani.
  2. Sebagian ulama berpendapat bagi mereka  cukup meng-qadha tanpa fidyah, ini dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Ibnu Al Utsaimin, Syaikh Shalih Al Fauzan, Al Lajnah Ad Daimah, juga pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.
  3. Sebagian ulama madzhab juga berpendapat bagi mereka qadha dan fidyah jika meninggalkan puasa karena khawatir akan kesehatan si bayi.
  • Yang lebih rajih –insya Allah– adalah pendapat kedua, bagi mereka wajib qadha saja tanpa fidyah.

5. Orang yang memiliki sebab-sebab yang membolehkan tidak berpuasa, diantaranya:

  • Orang yang pekerjaannya terasa berat. Orang yang demikian tetap wajib meniatkan diri berpuasa dan wajib berpuasa. Namun ketika tengah hari bekerja lalu terasa sangat berat hingga dikhawatirkan dapat membahayakan dirinya, boleh membatalkan puasa ketika itu, dan wajib meng-qadha-nya di luar Ramadhan.
  • Orang yang sangat kelaparan dan kehausan sehingga bisa membuatnya binasa. Orang yang demikian wajib berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain.
  • Orang yang dipaksa untuk berbuka atau dimasukan makanan dan minuman secara paksa ke mulutnya. Orang yang demikian boleh berbuka dan meng-qadha-nya di hari lain dan ia tidak berdosa karenanya.

Mujahid fi sabilillah yang sedang berperang di medan perang. Dibolehkan bagi mereka untuk meninggalkan berpuasa. Berdasarkan hadits: إنكم قد دنوتم من عدوكم، والفطر أقوى لكم، فكانت رخصة “sesungguhnya musuh kalian telah mendekati kalian, maka berbuka itu lebih menguatkan kalian, dan hal itu merupakan rukhshah” (HR. Muslim).

1.Makan dan minum dengan sengaja

2.Keluar mani dengan sengaja

3.Muntah dengan sengaja

4.Keluarnya darah haid dan nifas

5.Menjadi gila atau pingsan

6.Riddah (murtad)

7.Berniat untuk berbuka

8.Merokok

9.Jima (bersenggama) di tengah hari puasa. Selain membatalkan puasa dan wajib meng-qadha puasa, juga diwajibkan menunaikan kafarah membebaskan seorang budak, jika tidak ada maka puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin.

10.Hijamah (bekam) diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama, hijamah tidak membatalkan puasa. Sedangkan pendapat Hanabilah bekam dapat membatalkan puasa. Pendapat kedua ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz dan Ibnu Al Utsaimin.

11.Masalah donor darah merupakan turunan dari masalah bekam. Maka donor darah tidak membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat jumhur ulama, dan bisa membatalkan puasa dengan men-takhrij pendapat Hanabilah.

12.Inhaler dan sejenisnya berupa aroma yang dimasukan melalui hidung, diperselisihkan apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Pendapat jumhur ulama ia dapat membatalkan puasa, sedangkan sebagian ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah mengatakan tidak membatalkan. Pendapat kedua ini juga dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah.

1.Mengakhirkan mandi hingga terbit fajar, bagi orang yang junub atau wanita yang sudah bersih dari haid dan nifas. Puasanya tetap sah.

2. Berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)

3. Mandi di tengah hari puasa atau mendinginkan diri dengan air

4. Menyicipi makanan ketika ada kebutuhan, selama tidak masuk ke kerongkongan

5. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang mampu mengendalikan birahinya

6. Memakai parfum dan wangi-wangian

7. Menggunakan siwak atau sikat gigi

8. Menggunakan celak

9. Menggunakan tetes mataMenggunakan tetes telinga

10. Makan dan minum 5 menit sebelum terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh, yang biasanya disebut dengan waktu imsak. Karena batas awal rentang waktu puasa adalah ketika terbit fajar yang ditandai dengan adzan shubuh.

1.Terlalu dalam dan berlebihan dalam berkumur-kumur dan istinsyaq (menghirup air ke hidung)

2. Puasa wishal, yaitu menyambung puasa selama dua hari tanpa diselingi makan atau minum sama sekali.

3. Menyicipi makanan tanpa ada kebutuhan, walaupun tidak masuk ke kerongkongan

4. Bercumbu dan mencium istri, bagi orang yang tidak mampu mengendalikan birahinya

5. Bermalas-malasan dan terlalu banyak tidur tanpa ada kebutuhan

6. Berlebihan dan menghabiskan waktu dalam perkara mubah yang tidak bermanfaat

1.Niat puasa tidak perlu dilafalkan, karena niat adalah amalan hati. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga tidak pernah mengajarkan lafal niat puasa. Menetapkan itikad di dalam hati bahwa esok hari akan berpuasa, ini sudah niat yang sah.

2. Berpuasa namun tidak melaksanakan shalat fardhu adalah kesalahan fatal. Diantara juga perilaku sebagian orang yang makan sahur untuk berpuasa namun tidak bangun shalat shubuh. Karena dinukil bahwa para sahabat berijma tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, sehingga tidak ada faedahnya jika ia berpuasa jika statusnya kafir. Sebagian ulama berpendapat orang yang meninggalkan shalat tidak sampai kafir namun termasuk dosa besar, yang juga bisa membatalkan pahala puasa.

3. Berbohong tidak membatalkan puasa, namun bisa jadi membatalkan atau mengurangi pahala puasa karena berbohong adalah perbuatan maksiat.

4. Sebagian orang menahan diri melakukan perbuatan maksiat hingga datang waktu berbuka puasa. Padahal perbuatan maksiat tidak hanya terlarang dilakukan ketika berpuasa, bahkan terlarang juga setelah berbuka puasa dan juga terlarang dilakukan di luar bulan Ramadhan. Namun jika dilakukan ketika berpuasa selain berdosa juga dapat membatalkan pahala puasa walaupun tidak membatalkan puasanya.

5. Hadits “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” adalah hadits yang lemah. tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah. Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

6. Tidak ada hadits “berbukalah dengan yang manis“. Pernyataan yang tersebar di tengah masyarakat dengan bunyi demikian, bukanlah hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

7. Tidak tepat mendahulukan berbuka dengan makanan manis ketika tidak ada kurma. Lebih salah lagi jika mendahulukan makanan manis padahal ada kurma. Yang sesuai sunnah Nabi adalah mendahulukan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka dengan air minum. Adapun makanan manis sebagai tambahan saja, sehingga tetap didapatkan faidah makanan manis yaitu menguatkan fisik.

Wallahu ta’ala a’lam.

*

Diringkas dari Mausu’ah Fiqhiyyah Duraris Saniyyah, Kitab Ash Shiyam, ensiklopedi fikih yang disusun dibawah bimbingan Syaikh Alwi bin Abdil Qadir As Segaf, di alamat: http://www.dorar.net/enc/feqhia/1690​, dengan beberapa tambahan dari penyusun.

Penyusun: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan barakah dan penuh dengan keutamaan. Allah subhanahu wa ta’ala telah mensyariatkan dalam bulan tersebut berbagai macam amalan ibadah yang banyak agar manusia semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Akan tetapi sebagian dari kaum muslimin berpaling dari keutamaan ini dan membuat cara-cara baru dalam beribadah. Mereka lupa firman Allah ta’ala“Pada hari ini Aku telah menyempurnakan agama kalian.” (QS. Al-Maidah: 3). Mereka ingin melalaikan manusia dari ibadah yang disyariatkan. Mereka tidak merasa cukup dengan apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau ridhwanullahi ‘alaihim ajma’iin.

Oleh sebab itu pada tulisan ini kami mencoba mengangkat beberapa amalan bid’ah yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin, yaitu amalan-amalan yang dilakukan akan tetapi tidak diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau, semoga dengan mengetahuinya kaum muslimin bisa meninggalkan perbuatan tersebut.

Daftar Isi

 

Cukup banyak hadits shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang menjelaskan keutamaan bulan Ramadhan dan amal-amal shalih di dalamnya. Namun, banyak pula hadits-hadits seputar keutamaan bulan Ramadhan yang dha’if (lemah)[1. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, karya Abu ‘Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi, cetakan Daar Ibnu Hazm, cetakan ke-1, tahun 1423 H / 2002 M, Beirut, Libanon], maka kami pandang perlunya dipaparkan sekilas tentang beberapa hadits dha’if tersebut, yang telah banyak beredar di masyarakat, dan mencakup segala jenisnya.

Hadits dha’if dampak negatifnya cukup besar pada masyarakat, disebabkan adanya keyakinan orang-orang yang mengamalkannya bahwa hadits tersebut benar-benar berasal dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, baik berupa sabda atau perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, padahal kenyataannya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak pernah mengamalkan atau mengucapkannya. Karena inilah, maka kami anggap perlu menjelaskan hakikat hadits-hadits lemah tersebut, agar kita waspada selalu terhadap syariat yang tidak benar adanya dari Nabi kita Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam. Di antara hadits-hadits dha’if yang cukup masyhur dan sering dibawakan oleh banyak khatib dan penceramah di bulan Ramadhan tersebut adalah beberapa hadits berikut ini:

1. Hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ إذا دخلَ رجَبٌ ، قالَ : اللَّهمَّ بارِكْ لَنا في رجَبٍ وشَعبانَ ، وبارِكْ لَنا في رمَضانَ

Adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika memasuki bulan Rajab, beliau berdoa, “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan berkahi kami (pula) di bulan Ramadhan”.

Hadits ini dha’if (lemah) atau munkar[2. Lihat kitab Fadha-ilu Syahri Rajab, karya al-Imam al-Hafizh Abu Muhammad al-Hasan bin Muhammad bin al-Hasan al-Khallal t (352-439 H), halaman 45, tahqiq Abu Yusuf Abdurrahman bin Yusuf bin Abdurrahman Alu Muhammad, cetakan Daar Ibnu Hazm, cetakan ke-1, tahun 1416 H / 1996 M, Beirut, Libanon].

Dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad dalam Musnadnya (4/180 nomor 2346), dan lain-lain. Pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad, Syaikh Syu’aib al-Arnauth menyatakan bahwa sanadnya dha’if. Dan hadits ini dilemahkan pula oleh al-Imam al-Albani t dalam kitabnya Misykatul Mashabih (1/432) dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (4395).

2. Hadits Mu’adz bin Zuhrah rahimahullah (seorang tabi’i), telah sampai kepadanya kabar bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa beliau berdoa:

اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

Ya Allah, untukmu aku berpuasa dan atas rizki-Mu aku berbuka puasa”.

Hadits ini mursal dan dha’if.

Dikeluarkan oleh al-Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (2358), dan lain-lain.

Hadits ini lemah dengan sebab irsal, yaitu terputusnya sanad antara Mu’adz bin Zuhrah dan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lihat penjelasan terperincinya pada kitab Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (4349) dan Irwa-ul Ghalil (4/38 nomor 919).

Hadits ini diriwayatkan pula dari sahabat Anas bin Malik radhiallahu’anhu dan Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhuma. Namun, kedua-duanya pula hadits dha’if.

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya Nailul Authar (8/340-341):

“Hadits Mu’adz (bin Zuhrah) mursal, karena dia tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan hadits serupa telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir dan ad-Daruquthni; dari hadits Ibnu ‘Abbas dengan sanad yang dha’if… dan ath-Thabrani (meriwayatkan) dari Anas, beliau berkata, “Adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam apabila berbuka puasa beliau mengucapkan:

بسم الله اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

Dengan nama Allah, ya Allah untukmu aku berpuasa dan atas rizki-Mu aku berbuka puasa”.

Namun sanadnya lemah (pula). Karena di dalamnya terdapat Dawud bin az-Zabarqan, dan dia (periwayat) matruk (yang ditinggalkan haditsnya)”[3. Lihat pula at-Talkhishul Habir (2/202) karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah, dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (631 dan 4350) karya al-Imam al-Albani rahimahullah].

Syaikh Abu ‘Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi berkata:

“Ketahuilah! Semoga Allah memberkahi Anda; bahwa sesungguhnya doa ini telah diriwayatkan dengan berbagai lafazh (redaksi yang mirip antara satu hadits dengan yang lainnya), yang seluruhnya lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Sehingga tidak bisa digunakan untuk beribadah, dan tidak boleh (seseorang) beribadah dengannya, disebabkan kelemahan sanad-sanadnya”[4. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 74].

Lalu, apa doa berbuka puasa yang dapat kita amalkan?

Doanya adalah:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah”.

Hadits ini hasan, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2357), ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/185 nomor 25), dan lain-lain; dari Abdullah bin Umar. Dan al-Imam ad-Daruquthni mengatakan, “Sanad-nya hasan”. Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar (8/341) menjelaskan:

“(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, ad-Daruquthni, dan al-Hakim; dari hadits Ibnu Umar

dengan tambahan lafazh:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat, dan telah tetap pahala, insya Allah”.

Ad-Daruquthni mengatakan, “Sanad-nya hasan”.

3. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

Barangsiapa berbuka puasa satu hari di bulan Ramadhan tanpa rukhshah (keringanan) yang diizinkan oleh Allah; niscaya ia tidak akan dapat menggantikannya (walaupun dengan berpuasa) sepanjang masa”.

Hadits ini dha’if. Hadits ini dikeluarkan dengan lafazh seperti di atas oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya ( 2396). Dan lafazh serupa diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (723), an-Nasa-i dalam as-Sunanul Kubra (3265), Ibnu Majah (1672), Ahmad (14/554 nomor 9012), dan lain-lain. Al-Imam al-Albani t menjelaskan dalam kitabnya Tamamul Minnah fit Ta’liqi ‘ala Fiqhis Sunnah (halaman 396): “Hadits ini dha’if (lemah), dan al-Bukhari telah mengisyaratkan[5. Dalam Shahih-nya, sebelum hadits ke-1935] dengan perkataannya yudzkaru (yakni; telah disebutkan). Dan telah dilemahkan pula oleh Ibnu Khuzaimah, al-Mundziri, al-Baghawi, al-Qurthubi, adz-Dzahabi, ad-Damiri sebagaimana yang telah dinukilkan oleh al-Munawi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar dan beliau menyebutkan tiga penyakit hadits ini; al-idhthirabal-jahalah, dan al-inqitha’. Silahkan merujuk ke Fat-hul Bari (4/161)…”. Lihat pula Dha’if Abi Dawud (2/273-274), dan Dha’if at-Targhib wat-Tarhib (1/152 nomor 605), dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (5462).

4. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

يقولُ اللهُ عزَّ وجلَّ : إنَّ أحَبَّ عبادي إلَيَّ أسرَعُهم فِطْرًا

“Allah berfirman: Sesungguhnya di antara hamba-hambu-Ku yang paling Aku cintai adalah yang paling segera berbuka puasa”

Hadits ini dha’if, dengan sebab adanya periwayat dha’if dalam sanadnya. Dikeluarkan oleh at-Tirmidzi (700), Ahmad (12/182 nomor 7241), dan lain-lain. Lihat Dha’iful Jami’ ash Shaghir (4041).

Dan cukuplah bagi kita hadits shahih dari sahabat Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لا يزالُ النَّاسُ بخَيرٍ ما عجَّلوا الفِطرَ عجِّلوا الفطرَ

“Manusia akan senantiasa dalam keadaan baik selama mereka menyegerakan berbuka puasa”.

Dikeluarkan oleh al-Bukhari (1957), dan Muslim (2/771 nomor 1098).

5. Hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:

سُئِلَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ أيُّ الصومِ أفضلُ بعدَ رمضانَ قال شعبانُ لتعظيمِ رمضانَ قال فأيُّ الصدقةِ أفضلُ قال الصدقةُ في رمضانَ

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ditanya: Puasa apa yang paling utama setelah Ramadhan? Beliau bersabda, “(Puasa) Sya’ban untuk mengagungkan Ramadhan”. Kemudian dikatakan kepada beliau: Sedekah apa yang paling utama?Beliau bersabda, “Sedekah di bulan Ramadhan”. 

Hadits ini dha’if, dengan sebab adanya periwayat dha’if dan bermasalah dalam sanadnya.

Dikeluarkan oleh at -Tirmidzi (663), dan lain-lain. Lihat penjelasan terperincinya pada kitab Irwa-ul Ghalil (889), dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (1023).

Dan cukuplah pula bagi kita hadits shahih dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu’anhuma, beliau berkata:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس ، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل ، وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيُدارسه القرآن ، فالرسول الله صلى الله عليه وسلم أجودُ بالخير من الريح المرسَلة

Adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau paling tinggi pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam berjumpa dengan beliau pada setiap tahunnya di bulan Ramadhan hingga berakhir, dan beliau membacakan (memperdengarkan) al-Quran kepada Jibril. Maka jika Jibril berjumpa dengannya, Rasulullah `adalah lebih mulia (dermawan) dari angin yang berhembus. Dikeluarkan oleh al-Bukhari (6, 1902, 3220, 3554, 4997), dan Muslim (4/1803 nomor 2308), dan lafazh hadits di atas dalam Shahih Muslim.

6. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أول شهر رمضان رحمة ووسطه مغفرة وآخره عتق من النار

Permulaan bulan Ramadhan adalah rahmat (kasih sayang Allah), pertengahannya adalah maghfirah (ampunan Allah), dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka”.

Hadits ini dha’ifun jiddan (lemah sekali), atau munkar[6. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 146]. Tentang hadits ini, al-Imam al-Albani tmenjelaskan dalam kitabnya Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (4/70 nomor 1569): “Dikeluarkan oleh al-‘Uqaili dalam ad-Dhu’afa (172), dan Ibnu ‘Adi (1/165), dan al-Khathib dalam al-Mudhih (2/77), dan ad-Dailami (1/1/10-11), dan Ibnu ‘Asakir (8/506/1); dari Sallam bin Sawwar, dari Maslamah bin ash-Shalt, dari az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah; beliau berkata, Rasulullah `bersabda… dan kemudian beliau sebutkan haditsnya. Dan al-‘Uqaili berkata, “Tidak ada asal-usulnya dari hadits az-Zuhri”. Saya (al-Albani) katakan bahwa Sallam bin Sulaiman bin Sawwar, dia menurutku Munkarul Hadits (haditsnya munkar), sedangkan Maslamah tidak dikenal. Demikianlah yang juga disebutkan oleh adz-Dzahabi. Adapun Maslamah, maka Abu Hatim juga telah berkata tentangnya, “Matrukul Hadits (haditsnya ditinggalkan)”, sebagaimana disebutkan pada biografi beliau dalam kitab al-Mizan…”. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (2/262-264 nomor 871).

7. Hadits Abu Mas’ud al-Ghifari radhiallahu’anhu, beliau berkata:

سمِعتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ذاتَ يومٍ وأهلَّ رمضانُ فقال لو يعلمُ العبادُ ما رمضانُ لتمنَّت أمَّتي أن تكونَ السَّنةُ كلُّها رمضانَ فقال رجلٌ من خزاعةَ يا نبيَّ اللهِ حدِّثْنا فقال إنَّ الجنَّةَ لتُزيَّنَ لرمضانَ من رأسِ الحوْلِ إلى الحوْلِ فإذا كان أوَّلُ يومٍ من رمضانَ هبَّت ريحٌ من تحتِ العرشِ فصفَّقت ورقُ أشجارِ الجنَّةِ فتنظرُ الحورُ العينُ إلى ذلك فيقلن يا ربَّنا اجعلْ لنا من عبادِك في هذا الشَّهرِ أزواجًا نقرُّ بهم وتقرُّ أعينُهم بنا قال فما من عبدٍ يصومُ يومًا من رمضانَ إلَّا زُوِّج زوجةً من الحورِ العينِ في خيمةٍ من درَّةٍ كما نعت اللهُ عزَّ وجلَّ { حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ } على كلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون حُلَّةً ليس منها حُلَّةٌ على لونِ الأخرَى وتُعطَى سبعين لونًا من الطِّيبِ ليس منه لونٍ على ريحِ الآخرِ لكلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون ألفَ وصيفةٍ لحاجتِها وسبعون ألفَ وصيفٍ مع كلِّ وصيفٍ صفحةٌ من ذهبٍ فيها لونُ طعامٍ يجِدُ لآخرِ لُقمةٍ منها لذَّةً لم يجدْه لأوَّلِه ولكلِّ امرأةٍ منهنَّ سبعون سريرًا من ياقوتةٍ حمراءَ على كلِّ سريرٍ سبعون فراشًا بطائنُها من إستبرقٍ فوق كلِّ فراشٍ سبعون أريكةً ويُعطَى زوجُها مثلَ ذلك على سريرٍ من ياقوتٍ أحمرَ موشَّحًا بالدُّرِّ عليه سُوران من ذهبٍ هذا بكلِّ يومٍ صامه من رمضانَ سوَى ما عمِل من الحسناتِ

Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada suatu hari menjelang Ramadhan, beliau bersabda, “Seandainya para hamba tahu apa yang terdapat pada bulan Ramadhan, niscaya umatku berangan-angan agar satu tahun seluruhnya bulan Ramadhan”. Lalu seorang dari Khuza’ah berkata, “Wahai Nabi Allah! Kabarilah kepada kami (keutamaan Ramadhan tersebut)!”. 

Maka Rasulullah pun bersabda, “Sesungguhnya surga dihiasi untuk (menghadapi) bulan Ramadhan dari permulaan tahun ke tahun (berikutnya). Maka apabila masuk hari pertama di bulan Ramadhan, bertiuplah angin dari bawah ‘Arsy, dan berdesirlah dedaunan pohon-pohon surga. Kemudian para bidadari melihatnya , dan mereka berkata, Wahai Rabb kami, jadikanlah untuk kami dari hamba -hamba-Mu yang shalih di bulan ini para suami yang kami berbahagia dengan mereka dan mereka pun berbahagia dengan kami”.

Beliau pun kembali bersabda, “Maka tidaklah seorang hamba pun berpuasa satu hari di bulan Ramadhan, melainkan ia pasti akan dinikahkan dengan isteri dari kalangan bidadari di dalam kemah yang terbuat dari mutiara, sebagaimana Allah sifatkan mereka dalam firman-Nya: (Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah (kemah). [QS. Ar-Rahman: 72]. Setiap orang dari bidadari-bidadari tersebut memiliki tujuh puluh jubah, yang masing-masingnya berwarna berbeda dari warna jubah yang lainnya. Para bidadari itu pun diberi tujuh puluh jenis parfum, yang masing-masingnya beraroma berbeda dari yang lainnya. Mereka pun memiliki tujuh puluh ribu pelayan, yang masing-masing dari pelayan tersebut membawa nampan dari emas yang di atasnya terdapat makanan yang setiap suapan dari makanan tersebut memiliki kelezatan yang berbeda dari kelezatan suapan-suapan berikutnya. Kemudian para bidadari itu pun memiliki tujuh puluh ranjang terbuat dari permata berwarna merah, yang di atas setiap ranjang tersebut terdapat permadani yang bantalannya terbuat dari sutera . Dan di atas setiap permadani tersebut terdapat dipan-dipan. Demikianlah para suami mereka pun diberi hal yang sama. Mereka berada di atas ranjang yang terbuat dari permata merah yang dihiasi oleh mutiara, dan berpagarkan emas. Ini adalah balasan untuk satu harinya di bulan Ramadhan, belum termasuk pahala lainnya dari amal-amal baik yang ia kerjakan”.

Hadits ini maudhu’ (palsu)[7. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 151-155. Lihat pula Dha’if at-Targhib wat-Tarhib (1/149 nomor 596)]

Syaikh Abu ‘Amr Abdullah Muhammad al-Hammadi berkata[8. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 151 dan yang setelahnya, dengan sedikit pengurangan]:

“(Hadits ini) dikeluarkan oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya [sebagaimana dalam al-Matholibul ‘Aliyah (1/396) (1032)], dan asy-Syasyi dalam Musnad-nya (2/277) (852), dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (3/160) (1886), dan al-Ashbahani dalam at-Targhib wat Tarhib (2/356) (1765), dan Ibnu Abid Dun-ya dalam Fadha-ilu Ramadhan (halaman 49) (22), dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/313) (3634) dan dalam Fadha-ilul Awqat (halaman 158) (46), dan Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (2/547) (1119); dari jalan Jarir bin Ayyub, dari asy-Sya’bi, dari Nafi’ bin Burdah, dari Abdullah bin Mas’ud (atau dari Abu Mas’ud), ia berkata, Aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda di permulaan bulan Ramadhan… kemudian menyebutkan haditsnya”.

Hadits ini terkadang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, dan terkadang dari Abu Mas’ud al-Ghifari. Oleh karena itu, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya al-Matholibul ‘Aliyah (1/397) setelah beliau membawakan hadits ini, “Dan Ibnu Mas’ud bukanlah al-Hudzali yang masyhur, akan tetapi dia adalah al-Ghifari, (sahabat) yang lain”.

Dan yang menyebabkan hadits ini dihukumi palsu adalah karena di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Jarir, yaitu Jarir bin Ayyub bin Abi Zur’ah bin ‘Amr bin Jarir al-Bajali al-Kufi. Seorang perawi hadits yang dihukumi oleh para ulama hadits; munkarul hadits (haditsnya munkar), atau dha’iful hadits (haditsnya lemah), atau bahkan pemalsu hadits[9. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 207. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (13/640 nomor 6294)].

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Maudhu’at (2/549): “Hadits ini palsu (dipalsukan) atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, dan yang tertuduh memalsukannya adalah Jarir bin Ayyub”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah mengatakan dalam kitabnya al-Matholibul ‘Aliyah (1/397): “Jarir bin Ayyub menyendiri dalam (periwayatan) hadits ini, sedangkan dia sangat lemah sekali”.

Dan al-Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan pula dalam kitabnya al-Fawa-idul Majmu’ah (halaman 88): “Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Ibnu Mas’ud secara marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam), dan hadits ini palsu. Penyakitnya adalah Jarir bin Ayyub”.

8. Hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ تأمَّل خَلْقَ امرأةٍ حتى يتبيَّنَ له حجمُ عظامِها من ورائِها وهو صائمٌ فقد أفطرَ

Barangsiapa memperhatikan bentuk (rupa) seorang wanita hingga jelas baginya bentuk tulangnya dari balik pakaiannya sedangkan ia sedang berpuasa; maka batal (puasanya)”.

Hadits ini maudhu’ (palsu)[10. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 207. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (13/640 nomor 6294)].

Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dalam kitabnya al-Kamil fi adh-Dhu’afa (3/204), dan melalui jalannya Ibnul Jauzi mengeluarkan dalam kitabnya al-Maudhu’at (2/559), dan lain-lain; dari jalan al-Hasan bin ‘Ali al-‘Adawi, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Kharasy bin Abdillah seorang pelayan Anas bin Malik, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami Anas bin Malik, beliau berkata: Rasulullah ` bersabda… kemudian menyebutkan haditsnya.

Pada sanad hadits ini terdapat dua orang perawi yang bermasalah, yaitu al-Hasan bin ‘Ali al-‘Adawi, ia seorang pemalsu dan pencuri hadits. Dan orang yang kedua adalah Kharasy bin Abdillah, seorang perawi yang majhul (tidak diketahui keberadaan periwayatannya) dan tidak dikenal.

Al-Imam Ibnul Jauzi t berkata dalam kitabnya al-Maudhu’at (2/559): “Ini adalah hadits palsu, dalam (sanadnya) terdapat dua orang pendusta, yang pertama; al-‘Adawi, dan yang kedua; Kharasy”.

9. Hadits Salman bin ‘Amir adh-Dhabbi radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

Orang yang berpuasa dalam (keadaan) beribadah, walaupun ia tidur di atas ranjangnya”.

Hadits ini dha’if atau dha’ifun jiddan (lemah sekali)[11. Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 207. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (13/640 nomor 6294)].

Hadits ini dikeluarkan oleh Tammam dalam Fawa-id-nya (2/49) (1109) dari jalan; Hasyim bin Abi Hurairah al-Himshi, dari Hisyam bin Hassan, dari Ibnu Sirin, dari Salman bin ‘Amir adh-Dhabbi, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.

Sanad hadits ini dha’if, disebabkan adanya beberapa perawi yang majhul dan dha’if, seperti Hasyim bin Abi Hurairah al-Himshi dan Hisyam bin Hassan yang telah disebutkan di atas.

10. Hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الصومُ نِصفُ الصَّبرِ

Puasa adalah setengah kesabaran…”.

Hadits ini dha’if (lemah)[12.Lihat kitab Tahdzirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi adh-Dha’ifati Hawla Ramadhan, halaman 287. Lihat pula Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (8/281 nomor 3811), dan Dha’iful Jami’ ash-Shaghir (3581 dan 3582)].

Al-Imam al-Albani rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya Silsilatul Ahaditsi adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah (8/281 nomor 3811):

“Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1/531), dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab (3/292/3577, 3578), dan al-Qadha’i dalam Musnad asy-Syihab (1/13); dari Musa bin ‘Ubaidah, dari Jahman, dari Abu Hurairah secara marfu’ (sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam). Dan ini sanad yang dha’if, disebabkan Musa bin ‘Ubaidah, dan ia telah disepakati atas kelemahannya”.

Demikianlah beberapa hadits dari sekian banyak hadits lemah dengan segala jenisnya yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang seputar bulan Ramadhan, namun tidak sah dan tidak benar asalnya dari beliau Shallallahu’alaihi Wasallam.

Al-Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah (181 H) telah berkata:

في صحيح الحديث شغل عن سقيمه

Pada sebuah hadits yang shahih terdapat sesuatu yang menyibukkan dari (beramal dengan) hadits lemah”[13.Lihat al-Jami’ li Akhlaqir Rawi wa Adabis Sami’ (2/159), karya al-Imam al-Khathib al-Baghdadi t (463 H)].

Mudah-mudahan tulisan ringkas ini bermanfaat, menambah ilmu, iman dan amal shalih kita semua.

Wallahu A’lamu bish Shawab.

***

Penulis: Ust. Arief Budiman, Lc.

Artikel Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/28116-hadits-hadits-dhaif-seputar-bulan-ramadhan.html

Telah masyhur di tengah masyarakat sebuah hadits yang menyatakan bahwa Ramadhan dibagi menjadi tiga; awalnya terdapat rahmat, tengahnya terdapat ampunan dan akhirnya terdapat pembebasan dari api neraka. Ketahuilah bahwa hadits ini adalah hadits yang dhaif bahkan munkar. Justru rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka ada di seluruh Ramadhan bukan sepertiga saja.

Derajat Hadits

Diriwayatkan oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (6/512)

ثنا سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ ثَوَابٍ ،ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْجُدْعَانِيُّ ،ثنا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ ، عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ ، قَالَ : خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آخِرَ يَوْمٍ فِي شَعْبَانَ أَوْ أَوَّلَ يَوْمٍ فِي رَمَضَانَ , فَقَالَ : “أَيُّهَا النَّاسُ ، قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ ، شَهْرٌ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ اللَّهُ صِيَامَهُ فَرِيضَةً ، وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا ، مَنْ تَقَرَّبَ فِيهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ ، وَشَهْرُ الْمُوَاسَاةِ ، وَشَهْرٌ يَزْدَادُ فِيهِ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ ، مَنْ فَطَّرَ فِيهِ صَائِمًا كَانَ مَغْفِرَةً لِذُنُوبِهِ ، وَعِتْقَ رَقَبَتِهِ مِنَ النَّارِ ، وَكَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أَجْرِهِ شَيْءٌ ” . قَالُوا : لَيْسَ كُلُّنَا نَجِدُ مَا يُفَطِّرُ الصَّائِمَ . فَقَالَ : ” يُعْطِي اللَّهُ هَذَا الثَّوَابَ مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا عَلَى تَمْرَةٍ ، أَوْ شَرْبَةِ مَاءٍ ، أَوْ مَذْقَةِ لَبَنٍ ، وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ ، مَنْ خَفَّفَ عَنْ مَمْلُوكِهِ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ، وَأَعْتَقَهُ مِنَ النَّارِ ، وَاسْتَكْثِرُوا فِيهِ مِنْ أَرْبَعِ خِصَالٍ : خَصْلَتَيْنِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ ، وَخَصْلَتَيْنِ لا غِنًى بِكُمْ عَنْهُمَا ، فَأَمَّا الْخَصْلَتَانِ اللَّتَانِ تُرْضُونَ بِهِمَا رَبَّكُمْ : فَشَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَتَسْتَغْفِرُونَهُ ، وَأَمَّا اللَّتَانِ لا غِنًى بِكُمْ عَنْهَا : فَتُسْأَلُونَ اللَّهَ الْجَنَّةَ ، وَتَعُوذُونَ بِهِ مِنَ النَّارِ ، وَمَنْ أَشْبَعَ فِيهِ صَائِمًا ، سَقَاهُ اللَّهُ مِنْ حَوْضِي شَرْبَةً لا يَظْمَأُ حَتَّى يَدْخُلَ الْجَنَّةَ “

Sa’id bin Muhammad bin Tsawab menuturkan kepadaku, Abdul Aziz bin Abdillah Al Jud’ani menuturkan kepadaku, Sa’id bin Abi ‘Arubah menuturkan kepadaku, dari Ali bin Zaid, dari Sa’id bin Musayyib, dari Salman Al Farisi, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah kepada kami di akhir hari bulan Sya’ban atau di awal hari bulan Ramadhan, beliau bersabda:
Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka”.

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dari Ali bin Hujr As Sa’di, dari Yusuf bin Ziyad, dari Hammam bin Yahya dari Ali bin Zaid bin Jud’an, dari Sa’id bin Musayyab dari Salman Al Farisi.

Hadits ini lemah karena terdapat perawi Ali bin Zaid bin Jud’an. Yahya bin Ma’in berkata: “ia dha’if dalam segala hal”. Imam Ahmad berkata: “dhai’ful hadits“. Ad Daruquthni berkata: “fihi layyin“. Ali Al Madini berkata: “ia dhaif menurut kami”. Adz Dzahabi berkata: “ia salah seorang huffadz, namun tidak tsabt“.

Namun At Tirmidzi menyatakan: “shaduq“. Tapi yang tepat adalah sebagaimana yang dikatakan Ibnu Hajar: “dhai’ful hadits, haditsnya tidak bisa dihasankan kecuali dengan mutaba’ah dan syawahid“. Dan untuk Ali bin Zaid ini tidak terdapat mutaba’ah yang menguatkannya.

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al ‘Aini dalam ‘Umdatul Qari (10/383), Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), Al Albani dalam Takhrij Al Misykah (1906), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110).

Ramadhan Seluruhnya Rahmat, Ampunan, dan Pembebasan dari Neraka

Bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini munkar. Karena matan hadits ini bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang shahih yang menyatakan bahwa di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Dantaranya hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja.

Lebih jelas lagi pada hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Juga hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ للهِ في كلِّ يومٍ وليلةٍ عُتَقاءَ مِنَ النَّارِ في شهرِ رمضانَ وإنَّ لكلِّ مسلمٍ دَعوةً يدعو بها فيُسْتجابُ له

sesungguhnya di setiap hari dan malam bulan Ramadhan dari Allah ada pembebasan dari api neraka. dan bagi setiap Muslim ada doa yang jika ia berdoa dengannya maka akan diijabah” (HR. Ahmad 2/254, Al Bazzar 3142, Al Haitsami berkata: “semua perawinya tsiqah”).

Dengan demikian jelaslah bahwa di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Walhamdulillah.

Wabillahi at taufiq was sadaad

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/22019-hadits-lemah-ramadhan-dibagi-tiga-bagian.html

Diantara sunnah-sunnah yang dituntunkan oleh syariat kita pada bulan Ramadhan adalah shalat Tarawih. Hadits-hadits Nabi yang mulia telah banyak yang menerangkan tentang keutamaan shalat tarawih tersebut.

Berkaitan dengan hal itu, terdapat sebuah hadits yang masyhur, khususnya di Indonesia, yaitu “30 keutamaan shalat tarawih” atau “keutamaan shalat tarawih per malam”. Apakah hadits itu shahih ? Bolehkah kita menyampaikannya di tengah-tengah kaum muslimin? Berikut ini sedikit bahasan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Daftar Isi

Teks hadits

عن علي بن ابي طالب رضي الله تعالى عنه أنه قال : ” سئل النبي عليه الصلاة والسلام عن فضائل التراويح فى شهر رمضان فقال
يخرج المؤمن ذنبه فى اول ليلة كيوم ولدته أمه
وفى الليلة الثانية يغفر له وللأبوية ان كانا مؤمنين
وفى الليلة الثالثة ينادى ملك من تحت العرش؛ استأنف العمل غفر الله ماتقدم من ذنبك
وفى الليلة الرابعة له من الاجر مثل قراءة التوراه والانجيل والزابور والفرقان
وفى الليلة الخامسة أعطاه الله تعالى مثل من صلى في المسجد الحرام ومسجد المدينة والمسجد الاقصى
وفى الليلة السادسة اعطاه الله تعالى ثواب من طاف بالبيت المعمور ويستغفر له كل حجر ومدر
وفى الليلة السابعة فكأنما أدرك موسى عليه السلام ونصره على فرعون وهامان
وفى الليلة الثامنة أعطاه الله تعالى ما أعطى ابراهيم عليه السلام
وفى الليلة التاسعة فكأنما عبد الله تعالى عبادة النبى عليه الصلاة والسلام
وفى الليلة العاشرة يرزقة الله تعالى خير الدنيا والآخرة
وفى الليلة الحادية عشر يخرج من الدنيا كيوم ولد من بطن أمه
وفى الليلة الثانية عشر جاء يوم القيامة ووجهه كالقمر ليلة البدر
وفى الليلة الثالثة عشر جاء يوم القيامة آمنا من كل سوء
وفى الليلة الرابعة عشر جاءت الملائكة يشهدون له أنه قد صلى التراويح فلا يحاسبه الله يوم القيامة
وفى الليلة الخامسة عشر تصلى عليه الملائكة وحملة العرش والكرسى
وفى الليلة السادسة عشر كتب الله له براءة النجاة من النار وبراءة الدخول فى الجنة
وفى الليلة السابعة عشر يعطى مثل ثواب الأنبياء
وفى الليلة الثامنة عشر نادى الملك ياعبدالله أن رضى عنك وعن والديك
وفى الليلة التاسعة عشر يرفع الله درجاته فى الفردوس
وفى الليلة العشرين يعطى ثواب الشهداء والصالحين
وفى الليلة الحادية والعشرين بنى الله له بيتا فى الجنة من النور
وفى الليلة الثانية والعشرين جاء يوم القيامة آمنا من كل غم وهم
وفى الليلة الثالثة والعشرين بنى الله له مدينة فى الجنة
وفى الليلة الرابعة والعشرين كان له اربعه وعشرون دعوة مستجابة
وفى الليلة الخامسة والعشرين يرفع الله تعالى عنه عذاب القبر
وفى الليلة السادسة والعشرين يرفع الله له ثوابه أربعين عاما
وفى الليلة السابعة والعشرين جاز يوم القيامة على السراط كالبرق الخاطف
وفى الليلة الثامنة والعشرين يرفع الله له ألف درجة فى الجنة
وفى الليلة التاسعة والعشرين اعطاه الله ثواب الف حجة مقبولة
وفى الليلة الثلاثين يقول الله : ياعبدى كل من ثمار الجنة واغتسل من مياه السلسبيل واشرب من الكوثرأنا ربك وأنت عبدى”

Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang keutamaan Shalat Tarawih pada Bulan Ramadhan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

  • Di malam pertama, Orang mukmin keluar dari dosanya , seperti saat dia dilahirkan oleh ibunya.

  • Di malam kedua, ia diampuni, dan juga kedua orang tuanya, jika keduanya mukmin.

  • Di malam ketiga, seorang malaikat berseru di bawah Arsy: ‘Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang telah lewat.’

  • Di malam keempat, dia memperoleh pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Furqan.

  • Di malam kelima, Allah Ta’ala memberikan pahala seperti pahala orang yang shalat di Masjid al-Haram, masjid Madinah, dan Masjid al-Aqsha.

  • Di malam keenam, Allah Ta’ala memberikan pahala orang yang ber-thawaf di Baitul Makmur dan dimohonkan ampun oleh setiap batu dan cadas.

  • Di malam ketujuh, seolah-olah ia mencapai derajat Nabi Musa ‘alaihissalam dan kemenangannya atas Firaun dan Haman.

  • Di malam kedelapan, Allah Ta’ala memberinya apa yang pernah Dia berikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.

  • Di malam kesembilan, seolah-olah ia beribadat kepada Allah Ta’ala sebagaimana ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

  • Di malam kesepuluh, Allah Ta’ala mengaruniai dia kebaikan dunia dan akhirat.

  • Di malam kesebelas, ia keluar dari dunia seperti saat ia dilahirkan dari perut ibunya.

  • Di malam kedua belas, ia datang pada hari kiamat dengan wajah bagaikan bulan di malam purnama.

  • Di malam ketigabelas, ia datang di hari kiamat dalam keadaan aman dari segala keburukan.

  • Di malam keempat belas, para malaikat datang seraya memberi kesaksian untuknya, bahwa ia telah melakukan shalat tarawih, maka Allah tidak menghisabnya pada hari kiamat.

  • Di malam kelima belas, ia didoakan oleh para malaikat dan para pemikul Arsy dan Kursi.

  • Di malam keenam belas, Allah menerapkan baginya kebebasan untuk selamat dari neraka dan kebebasan masuk ke dalam surga.

  • Di malam ketujuh belas, ia diberi pahala seperti pahala para nabi.

  • Di malam kedelapan belas, seorang malaikat berseru, ‘Hai hamba Allah, sesungguhnya Allah ridha kepadamu dan kepada ibu bapakmu.’

  • Di malam kesembilan belas, Allah mengangkat derajatnya dalam surga Firdaus.

  • Di malam kedua puluh, Allah memberi pahala para Syuhada (orang-orang yang mati syahid) dan shalihin (orang-orang yang saleh).

  • Di malam kedua puluh satu, Allah membangun untuknya gedung dari cahaya.

  • Di malam kedua puluh dua, ia datang pada hari kiamat dalam keadaan aman dari setiap kesedihan dan kesusahan.

  • Di malam kedua puluh tiga, Allah membangun untuknya sebuah kota di dalam surga.

  • Di malam kedua puluh empat, ia memperoleh duapuluh empat doa yang dikabulkan.

  • Di malam kedua puluh lima, Allah Ta’ala menghapuskan darinya azab kubur.

  • Di malam keduapuluh enam, Allah mengangkat pahalanya selama empat puluh tahun.

  • Di malam keduapuluh tujuh, ia dapat melewati shirath pada hari kiamat, bagaikan kilat yang menyambar.

  • Di malam keduapuluh delapan, Allah mengangkat baginya seribu derajat dalam surga.

  • Di malam kedua puluh sembilan, Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.

  • Di malam ketiga puluh, Allah ber firman : ‘Hai hamba-Ku, makanlah buah-buahan surga, mandilah dari air Salsabil dan minumlah dari telaga Kautsar. Akulah Tuhanmu, dan engkau hamba-Ku.’

Hadits ini disebutkan oleh Syaikh al-Khubawi dalam kitab Durrotun Nashihiin, hal. 16 – 17.

Indikasi-indikasi kepalsuan hadits

Perlu diketahui bahwasanya hadits yang munkar dan palsu membuat hati penuntut ilmu menjadi geli dan mengingkarinya. Rabi’ bin Hutsaim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya hadits itu memiliki cahaya seperti cayaha di siang hari, sehingga engkau dapat melihatnya. Dan memiliki kegelapan seperti gelapnya malam, sehingga engkau mengingkarinya.” (al-Maudhuu’aat 605, Ibnul Jauzi rahimahullah)

Berikut ini beberapa indikasi atas palsunya hadits tersebut:

  • Pahala yang terlalu besar untuk amalan yang sederhana. Banyak keutamaan-keutamaan yang terdapat dalam hadits di atas termasuk dalam kejanggalan jenis ini, misalkan pada lafadz “Allah memberinya pahala seribu haji yang diterima.

  • Bahkan, yang lebih parah adalah seseorang bisa mendapatkan pahala sebanding dengan pahala para Nabi (keutamaan shalat tarawih malam ke-17). Hal tersebut mustahil terjadi, karena sebanyak apapun amalan ibadah manusia biasa, tentu dia tidak akan mampu menyamai pahala Nabi. Nubuwah merupakan pilihan dari Allah semata. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Hajj [22] : 75) (Lihat al-Manaarul Muniif hal. 55 – 105, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah)

  • Tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad. Hadits tentang 30 keutamaan shalat tarawih di atas, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits yang mu’tamad. DR. Lutfi Fathullah mengatakan, “Jika seseorang mencari hadits tersebut di kitab-kitab referensi hadits, niscaya tidak akan menemukannya.” Hal tersebut mengindikasikan bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu. (Lihat Hadits-hadits Lemah dan Palsu dalam Kitab Durrotun Nashihiin, karya DR. Ahmad Luthfi Fathullah; dan http:/majalah.hidayatullah.com/?p=1490)

Pendapat para ulama dan penuntut ilmu

Lebih jauh lagi, apabila kita memperhatikan perkataan para ulama tentang hadits itu, tentu akan kita dapati mereka menganggapnya hadits palsu.

Al-Lajnah ad-Da’imah pernah ditanya tentang hadits tersebut, kemudian mereka menjawab,

كلا الحديثين لا أصل له، بل هما من الأحاديث المكذوبة على رسول الله صلى الله عليه وسلم

“Hadits tersebut adalah hadits yang tidak ada sumbernya (laa ashla lahu). Bahkan, hadits tersebut merupakan kebohongan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta no. 8050, juz 4, hal 476-480. Ditanda tangani oleh Syaikh Abdul Azin bin Baaz sebagai ketua, Syaikh Abdurrazaq Afifi sebagai wakil, Syaikh Abdullah Ghuddayan sebagai anggota dan Syaikh Abdullah bin Qu’ud sebagai anggota)

Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan DR. Lutfi Fathullah, dimana disertasi beliau meneliti kitab Durratun Nashihin. Beliau mengatakan:

Ada sekitar 30 persen hadits palsu dalam kitab Durratun Nashihin. Diantaranya adalah hadits tentang fadhilah atau keutaman shalat tarawih, (yaitu) dari Ali radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallaam ditanya tentang keutamaan shalat tarawih, (lalu beliau bersabda) malam pertama pahalanya sekian, malam kedua sekian, dan sampai malam ketiga puluh.

Hadits tersebut tidak masuk akal. Selain itu, jika seseorang mencari hadits tersebut di kitab-kitab referensi hadits, niscaya tidak akan menemukannya. (Lihat http://majalah.hidayatullah.com/?p=1490)

Sibukkan diri dengan yang Shahih

Setelah mengetahui lemahnya hadits tersebut, maka hendaklah para penulis dan penceramah meninggalkannya, karena dikhawatirkan akan masuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits mutawatir :

من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

Barangsiapa yang berdusta atas nama saya dengan sengaja, maka hendaknya dia bersiap-siap mengambil tempat di Neraka

Hendaklah mereka mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama kita mengatakan:

في صحيح الحديث شغل عن سقيمه

“Dalam hadits yang shahih terdapat kesibukan dari hadits yang lemah” (al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawi wa Adaabis Saami’ 1524, al-Khatiib al-Baghdaadi rahimahullah)

Diantara Keutamaan Shalat Tarawih dari Hadits yang Shahih

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).

Yang dimaksud qiyam Ramadhan adalah shalat tarawih sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Nawawi (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6:39)

Selain itu, beliau beliau juga pernah mengumpulkan keluarga dan para shahabatnya. Lalu beliau bersabda,

مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً

Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh” (HR. An-Nasai dan selainnya, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 447)

(Lihat https://rumaysho.com/446-keutamaan-shalat-tarawih.html)

Semoga Allah selalu melimpahkan karunai-Nya kepada kita semua, dan menjaga lisan-lisan kita dari perkataan dusta, apalagi berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu a’lam.

Penulis: Abu Ka’ab Prasetyo
Artikel: Muslim.or.id

Sumber: https://muslim.or.id/9839-hadits-palsu-30-keutamaan-shalat-tarawih.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M