Hadits Maqthuu’
Maqthuu’ (الْمَقْطُوعُ)
Yaitu hadits yang disandarkan kepada tabi’i baik berupa perkataan atau perbuatan.
Hukum hadits Maqthu’ tudak bisa dijadikan hujjah.
Perbedaan antara Maqthu’ dan Munqathi’
Maqthu’ : Dalam pembahasan sanad berupa ucapan tabi’i (bisa saja muttasil)
Munqathi’ : Dalam pembahasan sanad tidak muttasil dan kerkaitan dengan maatan hadits.
Menurut sebagian ulama mauquf dan maqthu’ disebut juga Atsar.
Contohnya perkataan Ibnu Sirin, “Sesungguhnya ilmu ini adalah din, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil ilmu kalian”. Dan perkataan Malik, “Lakukanlah sebagian amal dengan sembunyi-sembunyi yaitu amal-amal yang tidak bisa kau kerjakan dengan baik jika dilakukan dengan terang-terangan.”
Dari segi bahasa, berarti hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan:
ما جاء عن تابعيّ من قوله او فعله موقوفاعليه سواءاتّصل سنده أملا
“Ialah perkataan atau perbuatan yang berasal dari seorang tabi’in serta dimauqufkan padanya, baik sandanya bersambung maupun tidak.”
Contohnya ialah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’in besar, ujarnya:
المؤمن اذا عرف ربّه عزّوجلّ أحبّه واذا أحبّه أقبل إليه
“Orang mukmin itu bila telah mengenal tuhanya azza wajalla, niscaya ia mencintainya dan bila ia mencintainya Allah menerimanya.”
Contoh lain seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang tabi’in, yang mengatakan:
من السنّة أن يصلّى بعد الفطر اثنتى عشرة ركعة وبعد الأضحى ستّ ركعات
“Termasuk sunnat ialah mengerjakan shalat 12 rakaat setelah shalat Idul Fitri, dan 6 rakaat sehabis shalat Idul Adha.”
Asy-Syafi’i dan Ath-Thabarani menggunakan istilah maqthu untuk munqathi. Tetapi sebenarnya ditinjau dari segi istilah, memang kedua-duanya mempunyai perbedaan. Sebab suatu hadits dikatakan dengan munqathiitu dalam lapangan pembahasan sanad, yakni sanarnya tidak muttashil. Sedang untuk hadits dikatakan maqthu itu dalam lapangan pembahasan matan, yakni matannya tidak dinisbatkan kepada Rasulullah saw atau sahabat r.a.
Apabila para muhadditsin mengatakan: “Ini hadits maqthu”, maka maksudnya: Hadits (khabar) yang disandarkan kepada tabi’in, baik perbuatan maupun perkataan, baik muttashil maupun munqathi.”
Hukum Hadits Maqthu
Hadits maqthu tidak dapat dijadikan hujjah, mengenai hadits ini para ulama berpendapat, bahwa hadits maqthu itu tidak dapat dijadikan hujjah. Tetapi jika pendapat itu berkembang dalam masyarakat dan tidak diperoleh bantahan dari seseorang, maka ada ulama yang menyamakannya dengan pendapat sahabat yang berkembang dalam masyarakat yang tidak didapati bantahan dari seseorang, yakni dipandang sebagai suatu lama.
Analisis
Hadits marfu adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi saw, tidak dipersoalkan apakah itu memiliki sanad dan matan yang baik atau sebaliknya. Hadits marfu itu dapat mencakup hadits mutawatir dan ahad, dapat mencakup hadits muttashil dan ghair muttashil seperti hadits mursal, munqathi, mu’dhal, mu’allaq, serta dapat mencakup hadits shahih, hasan dan dha’if.
Apabila ditinjau dari segi sanarnya, hadits marfu dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu hadits, shahih, hasan dan dha’if . Bila sanadnya bersambung maka dapat disifati hadits shahih atau hadits hasan berdasarkan derajat kedhabitan dan keadilan perawi. Bila sanadanya terputus dapat disifati hadits dha’if mengikuti macam-macam putusnya perawi. Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dapat diklasifikasikan menjadi marfu qauly, marfu fi’ly dan marfu taqriry.
Kehujjahan hadits marfu yang shahih dan hasan dapat dijadikan untuk menentukan suatu hukum, karena kedua hadist ini dapat dogolongkan kepada hadits mutawatir, sedangkan taraf kapasitas tentang benarnya hadits mutawatir berasal dari Nabi saw adalah tertinggi atau 100 %, keshahihannya berasal dari Nabi bersifat pasti, tidak bersifat dugaan; kerana itu kedudukannya sebagai sumber ajaran agama Islam adalah tertinggi ketimbang hadits-hadits lain, sedangkan hadits marfu yang dha’if tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan akidah dan hukum, kecuali yang menjelaskan tentang berbagai keutamaan yang terkandung dalam suatu amal yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya.
Hadits mauquf bukanlah hadits Nabisaw, tetapi hadits yang disandarkan kepada sahabat. Hadits mauquf ada yang sunguh-sungguh sebagai hadits shahih dan ada hadits mauquf yang sebenarnya bukan hadits sahabat. Dengan kata lain taraf kebenaran bahwa hadits mauquf sebagai sungguh-sungguh hadits sahabat ada yang shahih, hasan dan ada pula yang dha’if.
Hadits mauquf apapun tingkatan dan martabatnya, tidak dapat dijadikan hujjah dalam menentukan suatu hukum karena yang dapat dijadikan hujjah adalah al-Qur’an dan Hadits yang benar-benar dari Nabi saw.
Hadits maqthu adalah hadits yang disandarkan kepada tabi-in, hadits tersebut tidak dinisbatkan kepada nabi ataupun sahabat. Hadits ini berupa perkataan, perbuatan dan taqrir tabi’in yang mereka lakukan dan kerjakan pada waktu nabi masih hidup dan tidak mendapat teguran atau sapaan dari Nabi saw, artinya Nabi saw membiarkan yang sedang dilakukan sahabat tersebut. Hadits maqthu tidak dapat dipegang sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum karena hadits tersebut bukanlah perkataan atau perbuataan tabi’in.
KESIMPULAN
1. Hadits mauquf dapat berupa hadits shahih, hasan dan dha’if diihat dari bersambung atau tidaknya sanad.
2. Hadits mauquf termasuk hadits dha’if apabila terdapat qarinah dari sahabat yang lain maka derajatnya menjadi shahih atau hasan.
3. Hadits maqthu tidak dapat dijadikan hujjah, ada ula yang menyamakannya dengan pendapat sahabat yang berkembang dalam masyarakat yang tidak didapati bantahan dari seseorang, yakni dipandang sebagai suatu ijma.