Uraian Materi Ulumul Qur’an-2
Daftar Isi : (klik Menu menuju Isinya dan klik kembali menuju ke Menu)
- 8. Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an
- 9.Wahyu Dalam Kontek Turunnya
- 10. Sejarah Tulisan Al-Qur’an (Rosm Utsmani)
- 11. Asbab An-Nuzul
- 12. Munasabah Al-Qur’an
- 13. Makkiyah Dan Madaniyah
- 14. Al-Muhkam Dan Al-Mutashabih
- 15. Fawatih As-Suwar
- 16. Qira’at Al-Qur’an
- 17. I’zaz Al-Qur’an
- 18. Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
8. Sejarah Pengumpulan Al-Qur’an
A. Pengertian
Yang dimaksud dengan pengumpulan al-Qurān (jam‟u al-Qurān ) oleh para ulama adalah pertama, pengumpulan al-Qurān dalam dada (as-sudūr), yaitu memelihara al-Qurān lewat hafalan dan ingatan penghafal (huffāz) al-Qurān. Pengertian tersebut berdasarkan firman Allah swt. dalam surat al-Qiyāmah ayat 16-19:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca al-Qurān karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”
Kedua, pengumpulan dalam arti penulisan dan pembukuan, baik dengan memisahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah.
B. Pengumpulan Al-Qurān pada Masa Nabi ﷺ
1. Pengumpulan al-Qurān dalam dada (hafalan)
Al-Qurān turun kepada Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis). Karena itu perhatian Nabi saw. hanyalah dituangkan untuk menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai al-Qurān persis sebagaimana halnya al-Qurān diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada orang-orang dengan begitu terang dan jelas agar merekapun dapat menghafal dan memantapkannya. Firman Allah SWT berbunyi:
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah.” (QS. Al-Jumu‟ah: 2)
Bangsa Arab pada masa turunnya al-Qurān berada dalam budaya Arab yang begitu tinggi. Ingatan mereka sangat kuat dan hafalan mereka cepat serta daya pikir begitu terbuka. Orang-orang Arab banyak yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab keturunannya. Begitu al-Qurān datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan kekuasannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal pikiran mereka tertimpa dengan al-Qurān, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada al-Qurān. Mereka menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat.
Karena keinginannya yang melambung tinggi untuk menguasai al-Qurān, Nabi menghiasi malam dengan membaca ayat-ayat al-Qurān melalui sholat, sebagai pengabdian dan penghayatan serta pendalaman terhadap maknanya sampai kedua telapak kakinya bengkak karena lamanya berdiri sebagai realisasi dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Karenanya tidaklah mengherankan kalau Rasulullah menjadi seorang yang paling menguasai al-Qurān . Ia bisa menghimpun al-Qurān dalam hatinya yang mulia. Ia menjadi titik tumpuan orang-orang Islam dalam masalah yang mereka perlukan sehubungan dengan al-Qurān .
Selain nabi Muhammad ﷺ para sahabat juga saling berlomba dalam membaca dan mempelajari al-Qurān. Segala kemampuannya mereka curahkan untuk menguasai dan menghafal al-Qurān. Mereka mengajarkan kepada keluarganya/isteri serta anak-anaknya di rumah masing-masing. Kalau ada orang yang melewati rumah mereka di waktu malam yang gelap gulita, ia akan mendengar alunan ayat-ayat al-Qurān bagaikan gema suara kumbang. Para sahabat banyak yang hafal al-Qurān dan Rasulullah ﷺ membakar semangat mereka untuk menghidupkan semangat menghafal al-Qurān.
Dari itu, penghafal-penghafal al-Qurān pada masa Rasulullah tidak terhitung banyaknya. Kiranya cukup kita ketahui bahwa mereka yang gugur dalam pertempuran Yamamah jumlahnya lebih dari 70 orang. Juga pada masa Nabi ﷺ dalam pertempuran di sumur “Ma‟unah” jumlah mereka yang gugur kira-kira sejumlah dengan itu. Dalam kitab shāhihnya Bukhari mengemukakan ada tujuh hafiz yang terkenal dari kalangan sahabat; mereka itu adalah Abdullah bin Mas‟ud, Salim bin Ma‟qal bekas budak Abu huzaifah, Mu‟adz bin Jabal, Ubai bin Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda‟. Penyebutan para hafiz ini tidak berarti pembatasan, tapi hal ini maksudnya adalah bahwa mereka itulah yang hafal seluruh isi al-Qurān di luar kepala dan telah menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi ﷺ.
2. Pengumpulan al-Qurān dalam bentuk tulisan
Setiap kali menerima wahyu, Rasulullah memanggil beberapa sahabat dan memerintahkan salah seorang diantara mereka untuk menulis dan membukukannya. Mereka itu disebut Kuttāb al-Waḥyī (para penulis wahyu), diantaranya adalah Khalifah yang empat, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka‟ab, Mu‟awwiyah bin Abi Sufyan, Khalid bin Walid, Tsabit bin Qais.
Pola pengumpulan al-Qurān pada masa Rasulullah adalah sebagaimana dikatakan Zaid bin Tsabit: “Kami bersama Rasulullah ﷺ dan mengurutkan al-Qurān pada kulit daun.” Maksudnya, kami mengumpulkannya secara teratur dan tertib ayat-ayatnya di kulit kayu atau dedaunan sesuai dengan petunjuk Nabi ﷺ dan menurut perintah Allah SWT. karena itu ulama sepakat bahwa pengumpulan al-Qurān adalah tauqīfī. Telah disebutkan bahwa Jibril as bila membawakan sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi ia mengatakan: “Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya pada urutan ke sekian surat anu…..” demikian pula halnya Rasul memerintahkan kepada para sahabat: “Letakkanlah pada urutan ini…”.
Adapun alat tulis yang dipergunakan para sahabat pada waktu itu bermacam-macam, di antaranya: al-usb (pelepah kurma), al-lihāf (batu-batu tipis), ar-riqā‟ (potongan dari kulit kayu atau dedaunan), al-kuranif (kumpulan pelepah kurma yang lebar), al-aqtāb (kayu yang diletakkan dipunggung unta sebagai alas untuk ditunggangi), aktaf (tulang kambing atau tulang unta yang lebar). Penulisan dan pengumpulan al-Qurān pada masa ini masih terpisah-pisah, belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.
C. Pengumpulan al-Qurān pada Masa Khalifah Abu Bakar رضي الله عنه
Setelah Rasulullah wafat, umat Islam mewarisi dua risalah agung, yaitu al-Qurān dan Sunnah Nabi ﷺ. Namun, keduanya belum terkodifikasi. Kedua risalah tersebut, sebagaimana disebutkan di atas, dipelihara umat melalui hafalan dan tulisan yang masih berserakan. Akan tetapi, hafalan para sahabat tersebut terancam musnah akibat perang Yamamah, yaitu saat kaum muslimin memerangi orang-orang murtad pengikut Muzailamah al-Kazzab. Dalam peperangan tersebut sekitar 70 huffaz dan qurra‟ menjadi syuhada. Sungguh duka yang teramat dalam yang dialami oleh Abu Bakar sebagai pemimpin menggantikan Rasulullah yang dibaiat tahun 632 M.
Umar bin Khattab melihat kenyataan tersebut merasa sangat khawatir dan takut hilangnya para qari‟ dan huffaz lebih banyak lagi sehingga ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul agar mengumpulkan dan membukukan al-Qurān . Abu Bakar menolak usulan ini dan keberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Akan tetapi, Umar tetap membujuknya, sehingga Allah SWT. membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, mengingat kedudukannya dalam qira‟at, pemahaman dan kecerdasannya, juga ia telah menulis wahyu untuk Rasulullah saw. Pada mulanya Zaid bin Tsabit menolak seperti halnya Abu Bakar, namun akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah pengumpulan al-Qurān itu.
Setelah Zaid menerima usulan tersebut, Abu Bakar menyuruh dia dan Umar untuk duduk di depan pintu masjid guna menerima dan menghimpun laporan para sahabat yang mempunyai kumpulan al-Qurān . Pengumpulan ini mempunyai pengertian pemindahan dan penghapusan suhūf para sahabat yang masih berserakan ke dalam satu mushaf yang terpadu. Dalam pekerjaan ini, Zaid dengan penuh ketelitiannya tidak mau menerima laporan al-Qurān dan menulisnya, kecuali jika terdapat dua bukti, yaitu hafalan dan tulisan. Itupun belum cukup, ditambah lagi dengan kesaksian dua orang saksi bahwa laporan itu sungguh-sungguh ayat al-Qurān yang berasal dari Rasulullah ﷺ.
Lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Abu Bakar memeliki beberapa keistimewaan sebagai berikut:
1. Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2. Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya.
3. Ijma‟ umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat al-Qurān
4. Mushaf mencakup qira‟at sab‟ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut membuat para sahabat kagum dan terpesona terhadap usaha Abu Bakar, dimana ia memelihara al-Qurān dari bahaya kemusnahan, dan itu berkat taufiq serta hidayah dari Allah SWT. Ali berkata, “Orang yang paling berjasa dalam hal al-Qurān adalah Abu Bakar رضي الله عنه Ia adalah orang yang pertama mengumpulkan al-Qurān”. Pengumpulan al-Qurān adalah perbuatan mulia lagi abadi. Sejarah senantiasa akan mengenangnya dengan keindahan dan pujian yang harum terhadap Abu Bakar karena pengarahan dan pengawasannya, dan kepada Zaid bin Tsābit karena pelaksanaan dan usahanya.
D. Pengumpulan al-Qurān Pada Masa Khalifah Usman رضي الله عنه
Pada masa ini, daerah kekuasaan Islam sudah meluas ke Armenia dan Azarbaijan di Timur, Tripoli di Barat, sehingga umat Islam terpencar-pencar di daerah yang saling berjauhan. Sejalan dengan itu permasalahan yang dihadapi umat Islam semakin komplek, juga kebutuhan pada al-Qurān untuk dipelajari pemeluk-pemeluk baru pun semakin besar.
Kondisi seperti di atas, ternyata membawa dampak tersendiri terhadap al-Qurān terutama dalam bacaannya karena mereka pada umumnya hanya mengikuti atau meniru bacaan ulama yang ada didaerahnya, penduduk Syam hanya tahu dan mengikuti bacaan Ubai bin Ka‟ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah bin Mas‟ud, penduduk Basrah mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy‟ari, penduduk Mesir mengikuti bacaan Amr bin Ash, dan sebagainya. Mereka tidak mengetahui bahwa al-Qurān diturunkan dalam “tujuh huruf”. Perbedaan mereka ini nyaris menimbulkan pertentangan dan perpecahan diantara kaum muslimin karena masing-masing mengaku yang benar, dan yang lain dianggap salah.
Adalah Huzaifah ibn Yaman yang mula-mula memiliki gagasan untuk menyeragamkan al-Qurān sekembali ia dari peperangan menaklukkan Armenia dan Azarbaijan. Dia mengusulkan pada Usman untuk menulis kembali mushaf yang telah ada. Ide tersebut diterima Usman dan dilaksanakan pada tahun 24/25 H. Beliau membentuk panitia ad hoc yang berjumlah empat orang, yaitu Zaid bin Tsābit, Abdullāh bin Zubair, Said bin Āsh, dan Abdurrahmān bin Ḥāris bin Ḥisyām, semuanya orang Quraisy, kecuali Zaid bin Tsābit.
Sebagai sumber kodifikasi, menurut hadits riwayat Bukhari dalam Ṣāḥiḥnya, Usman meminjam mushaf yang disimpan oleh Hafsah. Sebelum mulai bekerja, Usman berpesan jika terjadi perselisihan diantara mereka khususnya dengan Zaid bin Tsābit mengenai bacaan, hendaklah mereka menulisnya dengan dialek Quraisy karena al-Qurān diturunkan dalam bahasa mereka.
Melihat sumber yang dipakai, kodifikasi pada masa Usmān ini tetap menjaga kemurnian dan keotentikan al-Qurān karena hakikatnya yang ditulis oleh panitia empat adalah apa yang telah di tulis pada masa Abū Bakar. Setelah selesai pembukuan, Usmān mengembalikan mushaf yang dipinjam dari Hafsah dan ia selanjutnya menginstruksikan agar membakar semua mushaf yang ada setelah meminta persetujuan ulama.
Dalam penghancuran mushaf, mulanya banyak yang menentang termasuk Ali bin Abī Ṭālib dan Ibnu Mas‟ūd dimana keduanya juga memiliki kumpulan ayat al-Qurān hasil penulisannya sendiri. Tetapi setelah umat Islam mengetahui maksud Usmān yakni untuk menghilangkan sumber perselisihan, akhirnya mereka mematuhi instruksi Usmān tersebut.
Beberapa keistimewaan yang dimiliki mushaf Usmān ini adalah:
1. Mushaf ini hanya memuat lafaz-lafaz yang didengar dari Nabi secara mutawatir, membuang yang ahad.
2. Mushaf ini surat dan ayat-ayatnya tersusun seperti yang kita lihat sekarang ini.
3. Mushaf ini menyeragamkan atau menyatukan tulisan al-Qurān . Dengan kata lain, bahwa mushaf ini ditulis dengan satu tulisan kecuali pada lafaz yang Nabi ﷺ membacanya dengan bervariasi, maka ada dua kemungkinan.
E. Tertib Ayat dan Surah dalam Mushaf Usmāni
Khalifah Usmān bin Affān memerintahkan untuk menyempurnakan tertib ayat dalam surat-surat sebagaimana Allah turunkan kepada Muhammad ﷺ tanpa ada tambahan maupun pengurangan. Mayoritas ulama mengatakan bahwa apa yang kita lihat sekarang adalah tauqīfi. Jibril datang kepada Rasulullah untuk menyampaikan ayat-ayat al-Qurān sekaligus menentukan posisi ayat tersebut. Kemudian Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka: “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini,” atau “Letakkanlah ayat ini ditempat anu.” Hal ini didasarkan pada hadits dari Usmān bin Abil „Ās: “Aku tengah duduk di samping Rasulullah, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya, Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan aku meletakkan ayat ini di tempat anu dari surah ini: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat…” (QS. An-Nahl: 90)
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat itu:
1. Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqīfi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan jibril kepadanya atas perintah Allah SWT. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat yang mengatakan bahwa Rasulullah membaca sebagian surah al-Qurān secara berurutan didalam sholat. Ibn al-Hisār juga mengatakan bahwa letak surah dan urutannya adalah penetapan wahyu. Rasulullah mengatakan “Letakkanlah ayat ini di tempat ini.” Hal tersebut diperkuat pula oleh riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma‟para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini didalam mushaf.
2. Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib didalam mushaf-mushaf mereka, misalnya: mushaf Alī disusun menurut tertib nuzul, dimulai dengan Iqra‟, kemudian al-Mudatsir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzammil, dan seterusnya hingga akhir surah Makki dan Madani. Mushaf Ibn Mas‟ud yang pertama ditulis adalah surah al-Baqarah, kemudian an-Nisa‟ dan kemudian Ali Imran. Mushaf Ubay bin Kā‟ab, dimulai dengan surah al-Fatihah, al-Baqarah, kemudian an-Nisā‟ dan Ali Imrān.
3. Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqīfi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Aspek tauqīfi dipahami sebagai sebuah kenyataan empiris masa Nabi saw. pada sebagian surah-surah al-Qurān. Sedangkan aspek ijtihadi dilihat dari berbagai penetrasi opini sahabat.
Dari ketiga pendapat di atas, pendapat yang lebih kuat menurut kebanyakan ulama adalah yang mengatakan bahwa tertib surah al-Qurān adalah tauqīfi. Dalam hal terjadinya perbedaan urutan mushaf para sahabat hanyalah terjadi sebelum pengumpulan masa Usmān. Konsep ini pula yang mempunyai landasan yang kuat secara naqli.
Berpijak dari uraian di atas, sistematika mushaf Usmani adalah sebagai berikut:
1. at-Ṭiwāl, yang termasuk dalam kategori ini adalah al-Baqarah, Ali Imrān, an-Nisā‟, al-Maidah, al-An‟ām, dan al-A‟rāf. Keenam surah tersebut telah disepakati secara pasti. Yang ketujuh adalah al-Anfāl dan Bara‟ah dengan tidak adanya pembatas basmalah antara keduanya, seperti yang diungkapkan Usman. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa surah yang ketujuh adalah Yunus, seperti yang dikatakan oleh as-Suyūṭi dalam kitabnya al-Itqān. Dalam riwayat al-hakim, surah yang ketujuh adalah al-Kahfi.
2. Al-Mi‟ūn, yaitu surah yang tersusun lebih dari seratus ayat atau sekitar itu.
3. Al-Masāni, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya setelah kategori kedua. Penamaan ini karena keterulangan dalam al-Qurān yang melebihi nomor satu dan dua.
4. Al-Mufassāl. Tentang hal ini ada yang berpendapat berawal dari surah Qāf, ada juga yang berpendapat dari surah al-Hujurāt, dan yang lain mengatakan selain itu. Kategori ini dibagi dalam: pertama, Ṭiwāl, yaitu Qāf atau Hujurāt sampai al-Burūj kedua, Ausāt, dari al-Burūj sampai aḍ-Ḍuḥā ketiga, Qisār, dari aḍ-Ḍuḥā sampai akhir al-Qurān.
F. Mushaf Usmāni dalam Tahap Penyempurnaan
Seperti telah kita ketahui bahwa salinan mushaf Usmān ini belum bersyakal dan bertitik. Hal ini semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik. Ketika bahasa Arab mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka dirasa perlu perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Para ulama berbeda pendapat tentang usaha pertama yang dicurahkan untuk hal itu. Banyak ulama berpendapat bahwa orang yang pertama melakukan hal tersebut adalah Abul Aswad ad-Duali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab atas permintaan Ali bin Abi Thalib. Ada beberapa riwayat lain yang menisbahkan pekerjaan ini kepada orang lain, diantaranya kepada Hasan Basri, Yahya bin Na‟mar dan Nasr bin „Asim al-Laisi. Tapi Abul Aswad ad-Dualilah yang terkenal dalam hal ini.
Perbaikan rasm mushaf Usman ini berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik. Fathah berupa satu titik di atas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir huruf, dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalīl. Perubahan itu adalah fathah dengan tanda sempang diatas huruf, kasrah berupa tanda sempang dibawah huruf, dammah dengan wawu kecil di atas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa. Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf., dan lain sebagainya.
Pada abad ke-3 H, terjadi perbaikan dan penyempurnaan rasm mushaf. Orang pun berlomba-lomba memilih bentuk tulisan yang baik dan menemukan tanda-tanda yang khas. Mereka memberikan untuk huruf bersyaddah sebuah tanda yang khas seperti busur. Untuk alif washal diberi tanda lekuk di atasnya, di bawahnya atau di tengahnya sesuai dengan harakat sebelumnya: fathah, kasrah atau dammah. Kemudian secara bertahap orang juga meletakkan nama-nama surat dan bilangan ayat, dan rumus-rumus yang menunjukkan kepala ayat dan tanda-tanda waqaf. Tanda waqaf lāzim (َ ), waqaf mamnū‟ ( لا ), waqaf jāiz, yang boleh waqaf atau tidak (ج ), waqaf jāiz tapi wasalnya lebih utama (صىٍ ), waqaf jāiz tapi waqafnya lebih utama (ل ىٍ ), waqaf munā‟aqah yang bila telah waqaf pada satu tempat tidak dibenarkan waqaf di tempat lain diberi tanda “ .. .. “, selanjutnya pembuatan tanda juz, tanda hizb dan penyempurnaan-penyempurnaan lainnya.
Pada mulanya ulama tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam al-Qurān. Namun, pada akhirnya hal tersebut sampai kepada hukum boleh dan bahkan dianjurkan. Perbaikan titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan, karena ia dapat menjaga mushaf dari kesalahan dan penyimpangan. Perhatian utntuk menyempurnakan rasm mushaf kini telah sampai pada puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-Khāṭ al-„Arabi).
G. Rangkuman
Ada dua makna pengumpulan al-Qurān (jam‟u al-Qurān ) oleh para ulama adalah pertama, pengumpulan al-Qurān dalam dada (as-sudūr), yaitu memelihara al-Qurān lewat hafalan dan ingatan penghafal (huffāz) al-Qurān. Kedua, pengumpulan dalam arti penulisan dan pembukuan, baik dengan memisahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah.
Pengumpulan al-Qurān dalam bentuk tulisan tidak terjadi pada masa nabi Muhammad ﷺ hidup akan tetapi terjadi pada masa khalifah Abu Bakar ra dan penyempurnaannya pada masa khalifah Usman bin Affan RA, sehingga pada kedua masa kekhalifahan ini memiliki keistimewaan tersendiri bentuk lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushaf, pada masa Abu Bakar ra misalnya memeliki beberapa keistimewaan sebagai berikut:
1. Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2. Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya.
3. Ijma‟ umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat al-Qurān
4. Mushaf mencakup qira‟at sab‟ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
Dan pada masa khalifah Usman bin Affan ra lembaran-lembaran mushaf memiliki keistimewaan yang lain daripada mushaf pada masa khalifah Abu Bakar RA, misalnya :
1. Mushaf ini hanya memuat lafaz-lafaz yang didengar dari Nabi secara mutawatir, membuang yang ahad.
2. Mushaf ini surat dan ayat-ayatnya tersusun seperti yang kita lihat sekarang ini.
3. Mushaf ini menyeragamkan atau menyatukan tulisan al-Qurān . Dengan kata lain, bahwa mushaf ini ditulis dengan satu tulisan kecuali pada lafaz yang Nabi ﷺ membacanya dengan bervariasi, maka ada dua kemungkinan.
Sumber : Kajian Ulumul ur’an oleh, Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA., DSA
9. Wahyu Dalam Kontek Turunnya
Apa itu Wahyu
Wahyu adalah bentuk masdar dari auha-yuhi wahyan yang memiliki dua makna pokok yaitu al-khafa’ (tersembunyi) dan assur’ah (cepat). Berangkat dari dua makna pokok tersebut maka wahyu bisa diartikan sebagai “Pemberitahuan tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui oleh orang lain.”
Wahyu ada dua macam, yaitu:
1. Wahyu khusus kepada para Nabi. (QS. Asy-Syuro: 51)
● Allah berbicara langsung dari balik hijab
● Melalui perantara malaikat
● Diberi ilham oleh Allah baik saat tidur atau terjaga
2. Wahyu kepada selain Nabi.
● Kepada malaikat (QS. Al-Anfal: 12)
● Kepada manusia selain Nabi (QS. Al-Qashash: 7)
● Kepada makhluk yang tidak berakal (QS. An-Nahl: 68)
Bagaimana Al-Quran Diturunkan
1. Al-Quran turun pada malam lailatul qadar di bulan Ramadhan.
2. Al-Quran pertama diturunkan secara keseluruhan dan kedua secara bertahap.
3. Al-Quran diturunkan secara keseluruhan ke langit dunia pada malam lailatul qadar.
4. Al-Quran diturunkan secara bertahap kepada Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam selama 23 tahun semenjak beliau diutus.
5. Diantara hikmah agung Al-Quran diturunkan secara bertahap adalah untuk meneguhkan hati Nabi
shalallahu’alaihi wasallam, agar mudah difahal, difahami dan diamalkan.
Ayat yang Pertama dan Terakhir Turun
1. Al-Quran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam di gua Hiro’, dan ayat yang pertama kali turun adalah 5 ayat awal dari surat Al ‘Alaq.
2. Ayat yang terakhir turun adalah Al Baqarah ayat 281.
3. Surat yang terakhir turun secara lengkap adalah surat An Nashr.
Urutan Surat dan Ayat dalam Al Quran
1. Tidak ada khilaf (perselisihan) dalam pengurutan ayat Al-Quran, hal ini adalah dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam. Sedangkan dalam pengurutan surat terdapat khilaf yang cukup kuat antara apakah pengurutanya adalah dari Nabi ataukah dari para sahabat.
2. Pendapat yang rajih adalah pengurutan surat pun dari Nabi shalallahu’alaihi wasallam.
3. Setidaknya ada 3 dalil kuat dalam hal ini.
Nama-nama Al-Quran dan Surat
1. Nama-nama Al-Quran bersifat tauqifi.
2. Terdapat khilaf dalam menentukan jumlah nama-nama Al-Quran, hal ini karena adanya perbedaan nama Al-Quran dan sifat Al-Quran.
3. Sebagian ahli ilmu menyatakan bahwa nama Al-Quran hanya ada empat, yaitu: Al-Quran, Al-Kitab, Al-Furqon, Adz-Dzikr. Dan selain empat nama ini maka semuanya adalah sifat.
Sumber : Materi Dasar Kajian Ulumul Quran, oleh Muhammad Fatwa Hamidan
10. Sejarah Tulisan Al-Qur’an (Rosm Utsmani)
Rosm Utsmani adalah cara penulisan Al-Quran yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan dibakukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu.
Kaidah-kaidah Rosm Ustmani
1. Membuang huruf (al-hadhf), seperti membuang huruf alif dalam beberapa tempat, seperti lafadz ا شحْ ،ٓ ا عٌْٰ ي
2. Menambahkan huruf (al-ziyadah), seperti menambah huruf alif dalam beberapa tempat, seperti lafadz لَََاْرتَحَ
3. Penulisan hamzah, baik diawal, ditengah atau diakhir kata.
4. Pergantian huruf (al-badal), seperti penulisan hururf wau dalam lafadz ا ص ٍٰٛج sebagai ganti dari huruf alif ا صلاج
5. Kata yang disambung dan diputus penulisannya (al-fasl wa alwasl),
seperti dalam penulisan إ اِ dan إ أّ atau إ لَ dan .إلَ
6. Penulisan salah satu dari dua qira’at yang tidak bisa disatukan tulisannya (ma fihi qira’atani wa kutiba ‘ala ihdahuma), seperti pada penulisan lafadz سُ ىَ اسَ ٜ
Bolehkah Menulis Mushaf dengan Selain Rasm Utsmani ?
Para ulama salaf sepakat akan wajibnya mengikuti rosm utsmani dalam penulisan mushaf, karena rosm utsmani telah disepakati oleh para sahabat, terlebih hal tersebut lebih bisa menjaga mushaf agar tidak ada perbedaan dengan mushaf lainnya. Abu ‘Amr Ad-Dani berkata: “Imam Malik rahimahullah
ditanya, apakah boleh mushaf ditulis dengan model hija’i zaman ini? beliau menjawab: Tidak, tidak boleh kecuali dengan penulisan yang pertama (rosm utsmani). Sedangkan ulama mutaakhirin, mereka tidak mewajibkan mengikuti rosm utsmani dalam menulis mushaf. Dalam hal ini syaikh Musa’id Ath-Thoyyar menjelaskan bahwa bila ingin menulis mushaf secara keluruhan atau per-juz maka harus mengikuti rosm
utsmani adapun menulis ayat atau kalimat tertentu dalam selembar kertas, buku atau makalah, maka ini adalah perkara yang lebih ringan dan tidak wajib mengikuti rosm utsmani.
Keistimewaan Al-Quran
1. Keistimewaan Al-Quran itu bersifat tauqifi, landasannya berasal dari Al-Quran dan Sunnah.
2. Berbicara tentang keistimewaan Al-Quran maka dapat kita bagi menjadi tiga tema bahasan: keistimewaan Al-Quran secara umum, keistimewaan ahlil quran (pembaca dan penghafalnya), keistimewaan surat-surat dan ayat-ayat dalam Al-Quran.
Huruf Tujuh (Al-Ahruf As-Sab’ah)
Makna dari 7 huruf atau Al-Ahruf As-Sab’ah menurut pendapat yang paling kuat adalah 7 macam perubahan yang bisa terjadi pada sebuah lafadz dalam Al-Quran.
Sumber : Materi Dasar Kajian Ulumul Quran, oleh Muhammad Fatwa Hamidan
Asbabun nuzul adalah suatu peristiwa atau pertanyaan yang terjadi di zaman Nabi shalallahu’alaihi wasallam, yang kemudian hal tersebut menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau surat.
Bagaimana Mengetahui Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul hanya bisa diketahui dengan dalil dan tidak ada ruang ijtihad dalam masalah ini, sedangkan rujukan utamanya adalah kitab-kitab hadis. Dalam tema asbabun nuzul ini ada sebuah kaidah agung, yaitu:
ا عٌِثْشَجُ تِعُ ُّٛ ا فظ لََ تِخُصُْٛصِ ا سثَة
“Yang menjadi tolak ukur adalah teks (ayat) yang bersifat umum/atau general bukan sebab yang bersifat spesifik.”
Kaidah dalam Menentukan Asbabun Nuzul
1. Peristiwa tersebut haruslah terjadi pada masa Al-Quran diturunkan.
2. Ayat tersebut turun setelah peristiwa terjadi.
3. Adanya Riwayat yang shahih akan terjadinya sebuah peristiwa tersebut.
Faidah Mengetahui Asbabun Nuzul
1. Penjelasan bahwasannya Al-Qur’an benar-benar turun dari Allah ta’ala. Hal tersebut dikarenakan kadang Nabi shalallahu’aliihi wa sallam ditanya tentang suatu perkara, lalu beliau diam tidak menjawabnya hingga kemudian turun kepada beliau wahyu (menjawabnya); atau tersembunyi atas beliau tentang satu permasalahan yang terjadi, lalu turun wahyu yang menjelaskan tentangnya kepada beliau. Seperti dalam firman Allah ta’ala: “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah; Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al-Israa’: 85).
2. Penjelasan tentang pertolongan Allah ta’ala kepada Rasul-Nya shalallahu’alaihi wasallam untuk membela beliau. Contohnya dalam firman Allah ta’ala:
“Berkatalah orang-orang kafir: “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturnkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil
(teratur dan benar)” (QS. Al-Furqaan: 32).
3. Penjelasan tentang pertolongan Allah ta’ala kepada hamba-Nya dengan melapangkan kesusahan dan menghilangkan kesedihan mereka.
4. Memberikan pemahaman (makna) ayat secara benar.
Sumber : Materi Dasar Kajian Ulumul Quran, oleh Muhammad Fatwa Hamidan
A. Pengertian
Secara etimologis, munāsabah berarti cocok, patut, sesuai atau mendekati. Seperti dikatakan: “fulan yunāsib bi fulan”, berarti A mendekati atau menyerupai B, sedangkan secara terminologis, ada beberapa pendapat sebagai berikut.
1. Menurut Zarkāsyi dan as-Suyūṭi, yang dimaksud dengan munāsabah adalah hubungan yang mencakup antar ayat ataupun antar surat.
2. Menurut Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, munāsabah adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain, atau antara satu surat dengan surat yang lain.
3. M. Hasbi ash-Shiddieqy membatasi pengertian munāsabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja. Sementara al-Bagawī menyamakan munāsabah dengan ta‟wīl.
Melihat definisi-definisi di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan munāsabah adalah usaha pemikiran seorang penafsir dalam menggali rahasia korelasi antar ayat maupun surat dalam al-Qurān yang dapat diterima oleh akal, baik korelasi antar ayat dan antar surat itu bersifat korelasi umum dan khusus, sebab akibat, kesetaraan maupun kebalikannya. Atau dengan kata lain, munāsabah adalah ilmu yang membahas tentang hikmah korelasi urutan ayat maupun surat dalam al-Qurān , yang pada akhirnya ilmu ini diharapkan dapat menyingkap rahasia Ilahi yang tersembunyi dalam urutan-urutan ayat maupun surat sehingga menambah penghayatan terhadap kemukjizatan al-Qurān. Sekaligus sanggahan-Nya terhadap orang yang meragukan keberadaan al-Qurān sebagai wahyu
B. Macam-Macam Munāsabah
1. Munāsabah antar Sūrah dengan Sūrah sebelumnya
Munāsabah ini berfungsi menjelaskan atau menyempurna-kan ungkapan yang terdapat pada surat sebelumnya. Sebagai contoh: surat al-Fātihah ayat 1 terdapat ungkapan al-hamdulillāh. Ungkapan ini berkorelasi dengan surat al-Baqarah ayat 152 dan 186 berikut:
2. Munāsabah antara nama Sūrah dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol, dan hal tersebut dapat dilihat dari nama suratnya. Seperti: surat al-Baqarah, dll. Dalam surat al-Baqarah, dapat dilihat pada ayat 67-71 yang bercerita tantang al-Baqarah atau sapi betina.
3. Munāsabah antar-bagian suatu ayat
Munāsabah antar-bagian ayat sering berbentuk pola munāsabah perlawanan atau perbandingan, seperti munāsabah penyebutan ayat-ayat Rahmāt setelah ayat-ayat Azāb, penyebutan Rughbah (anjuran) setelah Ruḥbah (ancaman), antara sifat orang mukmin dengan sifat orang musyrik, antara ancaman dengan janji untuk mereka, dan lain-lain.
4. Munāsabah antar-ayat yang letaknya berdampingan
Munāsabah antar-ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas tapi sering juga tidak jelas. Untuk munāsabah yang terlihat jelas, maka munāsabah antar-ayat tersebut dapat bersifat ta‟kīd (penguat), tafsīr (penjelas), i‟tirāḍ (bantahan), dan tasydīd (penegasan). Contoh :
4.1. yang bersifat ta‟kīd, seperti dalam surat al-Fātihah: 1-2.
4.2. yang bersifat tafsīr, seperti pada surat al-Baqarah: 2-3.
4.3. yang bersifat I‟tiradh, seperti pada surat an-Nahl: 57, kata subhānah merupakan i‟tirāḍ dari dua ayat yang mengantarnya. Kata ini merupakan bantahan dari tuduhan orang kafir bahwa Allah SWT. memiliki anak perempuan.
4.4. yang bersifat tasydīd, seperti pada surat al-Fātihah: 6-7, Sementara munāsabah antar-ayat yang tidak jelas korelasinya dapat diketahui dengan qarā‟in ma‟nawiyah yang diartikulasikan pada empat sifat, yaitu at-tanzīr (perbandingan), al-muḍāḍaḍ (perlawanan), istiḍraḍ (penjelasan lebih lanjut), dan aṭ-ṭahallus (perpindahan).
4.5. yang bersifat at-tanzīr, seperti pada surat al-Anfāl: 4-5
4.6. yang bersifat al-Muḍāḍaḍ, seperti pada surat al-Baqarah: 6, Ayat ini berbicara tentang watak orang kafir dan sikap mereka terhadap peringatan, sedangkan ayat-ayat sebelumnya berbicara tentang watak orang mukmin.
4.7. yang bersifat al-istiḍraḍ, seperti pada surat al-A‟rāf: 26, Korelasi ayat ini adalah bahwa penciptaan pakaian yang berbentuk daun merupakan karunia Allah, sedangkan telanjang dan membuka aurat merupakan perbuatan yang hina dan menutupnya merupakan bagian yang besar dari Taqwa.
4.8. yang bersifat aṭ-ṭahallus, seperti pada surat al-A‟rāf: mula-mula Allah berbicara tentang para Nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan pengikutnya, selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad ﷺ dan umatnya.
5. Munāsabah suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya
Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 1-20, Allah membicarakan perihal orang mukmin, kemudian orang kafir dan dilanjutkan dengan orang munafiq yang merupakan posisi tengah antara mukmin dan kafir.
6. Munāsabah antara Fasilah dan Isi ayat
Jenis munāsabah ini mempunyai dua tujuan, yaitu pertama, menguatkan makna yang terkandung dalam suatu ayat. Contohnya pada surat al-Ahzāb: 25
Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan; bukan karena menganggapnya lemah, melainkan karena Allah Maha Kuat. Kedua, sebagai pemberi penjelasan tambahan, seperti pada surat an-Naml: 80, Kata yang digaris bawahi merupakan penjelasan tambahan terhadap makna tuli.
7. Munāsabah antara awal surat dengan akhir surat yang sama
Untuk munāsabah seperti ini, imam as-Suyuti telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Marāsid al-Maṭali fī Tanāsubil Maqāti wal Maṭali. Contoh munāsabah ini seperti terdapat dalam surat al-Qaṣāṣ, dimana awal surat ini menjelaskan tentang dakwah Nabi Musa yang penuh dengan tekanan dan ancaman dari Fir‟aun, dan atas perintah serta pertolongan Allah Nabi Musa dan kaumnya dapat berhasil keluar dari negerinya. Pada akhir surat, Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad ﷺ setelah beliau menghadapi cobaan dan ancaman-ancaman dari orang kafir dalam menyampaikan dakwahnya. Dan janji Allah akan kemenangannya Munāsabah disini terletak pada sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
8. Munāsabah antara penutup surat dengan awal surat berikutnya
Contoh munāsabah seperti ini diantaranya:
8.1. Pembukaan surat al-Hādid yang diawali dengan tasbih berkorelasi dengan akhir surat al-Waqī‟ah:
8.2. Pembukaan surat al-Isrā‟ dengan lafazh tasbih berkorelasi dengan pembukaan surat al-Kaḥfi yang menggunakan lafazh tahmid. Karena lafazh tasbih selalu mendahului tahmid.
C. Tokoh dan Karya-Karyanya
Menurut Abu Hasan asy-Syarahbani, seperti yang dikutip al-Zarkāsyī dalam al-Burḥān, orang yang pertama kali memunculkan munāsabah dalam penafsiran al-Qurān adalah Abū Bakar an-Naisaburī di Baghdad. Namun kitab tafsirnya itu sulit dijumpai sekarang; sebagaimana dinyatakan az-Zahabī, besarnya perhatian an-Naisaburī terhadap munāsabah nampak dari ungkapan as-Suyūṭī sebagai berikut: “Setiap kali ia (an-Naisaburī) duduk diatas kursi, apabila dibacakan al-Qurān kepadanya, beliau berkata: “mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat ini disamping surat ini?” Beliau mengkritik para ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui”.
Ulama lain yang ikut membahas munāsabah adalah „Alamah Abu Ja‟far bin Zubair dalam kitabnya al-Burḥān fi Munāsabah Tartīb al-Qurān, dimana ia hanya membahas korelasi antar-surat dengan surat yang lain saja. Sedangkan korelasi antar-ayat tidak dibahas. Selanjutnya diikuti oleh Abu Bakar al-Biqā‟ī dalam kitab tafsirnya Naẓmuḍ Ḍurar fi Tanāsub al-Āyati wa al-Suwār. Az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burḥān fī „Ulūm al-Qurān, memberikan satu bab untuk membahas munāsabah dengan judul Ma‟rifatul munāsabat bainal āyāti setelah membahas Asbāb an-Nuzūl. Ṣubḥī al-Ṣāliḥ memasukkan pembahasan munāsabah dalam Ilmu Asbāb an-Nuzūl, tidak dalam satu pasal tersendiri. Sementara Mannā Khālīl al-Qattān yang menulis lebih kemudian dari Ṣubḥī al-Ṣāliḥ tetap menempatkan pembahasan munāsabah dalam satu pasal tersendiri.
D. Kedudukan Munāsabah dalam Penafsiran al-Qurān
Pendapat para mufassir dalam menghadapi masalah munāsabah pada garis besarnya terbagi dua, yaitu66 pertama, sebagian mereka menampung dan mengembangkan munāsabah dalam menafsirkan ayat. Ar-Rāzi adalah orang yang sangat menaruh perhatian kepada munāsabah, baik antar-ayat atau antar-surat. Sedangkan Niẓāmuddīn an-Naisaburi dan Abu Hayyān al-Andalusī hanya menaruh perhatian besar kepada munāsabah antar ayat saja.
Kedua, sebagian yang lain tidak memperhatikan munāsabah dalam menafsirkan ayat. Mufassīr yang kurang setuju pada analisis munāsabah dalam menafsirkan ayat diantaranya Mahmud Syalṭūṭ, mantan Rektor al-Azhar yang memiliki karya tulis dalam berbagai cabang ilmu termasuk tafsir al-Qurān . Dan tokoh yang paling tajam menentang penggunaan munāsabah dalam menafsirkan ayat adalah Ma‟ruf Dualibi. Ia menyatakan: “maka termasuk usaha yang percuma untuk mencari hubungan apa di antara ayat-ayat dalam surat, sebagaimana andaikata urusan itu dalam satu hal saja dalam topik tentang aqaid, atau kewajiban-kewajiban atau urusan budi pekerti ataupun mengenai hak-hak. Sebenarnya kita mencari hubungannya atas dasar satu atau beberapa prinsip”.
E. Urgensi dan Kegunaan Munāsabah dalam Penafsiran al-Qurān
Kebanyakan ahli tafsir memulai penafsirannya dengan mengemukakan terlebih dahulu Asbāb an-Nuzūl ayat. Mereka bertanya-tanya manakah yang lebih baik memulai dengan menyebutkan Asbāb an-Nuzūl ayat terlebih dahulu atau dengan menyebutkan segi korelasinya dengan ayat yang lainnya. Pertanyaan itu mengandung pernyataan yang tegas mengenai kaitan ayat-ayat al-Qurān dan hubungannya dalam rangkaian-rangkaian yang serasi.
Walaupun berbeda pendapat mengenai urutan surat dalam al-Qurān, apakah hal itu merupakan tauqīfi ataukah ijtihadi, para mufassir sepakat bahwa pengetahuan mengenai korelasi antara ayat-ayat bukanlah merupakan suatu yang tauqifi melainkan ijtihad dari para mufassir, buah pemahaman dan penghayatan terhadap surat-surat dan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qurān. Seorang mufassir terkadang dapat membuktikan munāsabah antar ayat-ayat dan terkadang tidak. Oleh sebab itu, tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian itu karena ia akan menjadi sesuatu yang dibuat-buat.
Al-„Īzz bin Abdūs Sālam mengatakan: “Munāsabah adalah ilmu yang baik, tapi dalam menetapkan keterkaitan antar-kata secara baik disyaratkan hanya dalam hal yang awal dengan akhirnya yang memang bersatu dan berkaitan. Sedangkan dalam hal yang mempunyai sebab akibat yang berlainan tidak disyaratkan adanya munāsabah”. Selanjutnya ia mengatakan, “Orang yang menghubungkan hal-hal yang demikian berarti ia telah memaksakan diri dalam hal yang sebenarnya tidak dapat dihubung-hubungkan kecuali dengan cara yang sangat lemah yang tidak dapat diterapkan pada kata-kata yang baik, apalagi yang lebih baik. Itu semua mengingat al-Qurān diturunkan dalam waktu lebih dari dua puluh tahun, mengenai berbagai hukum dan karena sebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak mudah menghubungkan sebagiannya dengan sebagian yang lain”.
Munāsabah sebagaimana Asbāb an-Nuzūl sangat berperan dalam memahami al-Qurān. Muhammad Abdullah Darraz berpendapat: “Sekalipun permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya itu merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Bagi orang yang hendak memahami sistematika surat semestinya ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana memperhatikan juga segala permasalahannya”. Pengetahuan tentang munāsabah juga dapat membantah anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa tema-tema dalam al-Qurān kehilangan relevansinya antara satu bagian dengan bagian yang lainnya
Secara garis besarnya, ada dua arti penting munāsabah sebagai salah satu metode dalam memahami al-Qurān, yaitu pertama, memahami keutuhan, kehalusan dan keindahan bahasa al-Qurān. Dari sisi balaghah, korelasi antara ayat dengan ayat menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qurān, dan bila ia dipenggal maka keserasian, kehalusan dan keindahan ayat akan hilang, menambah keyakinan kita akan kemukjizatan bahasa al-Qurān. Kedua, memahami keutuhan al-Qurān itu sendiri. Ia memudahkan orang dalam memahami makna ayat atau surat, sebab penafsiran al-Qurān baik itu bi al-ma‟tsur ataupun bi ar-ra‟yi jelas membutuhkan pemahaman korelasi antara ayat dengan ayat lainnya. Maka apabila penafsiran ayat atau surat itu dipenggal-penggal akan hilang keutuhan maknanya
F. Rangkuman
Secara etimologis, munāsabah berarti cocok, patut, sesuai atau mendekati, sedangkan secara terminologis, ada beberapa pendapat ulama seperti : Zarkāsyi dan as-Suyūṭi, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan munāsabah adalah hubungan yang mencakup antar ayat ataupun antar surat. Dan menurut Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, munāsabah adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Sedangkan M. Hasbi ash-Shiddieqy membatasi pengertian munāsabah kepada ayat-ayat atau antar ayat saja.
Ada beberapa macam Munāsabah yang disampaikan oleh para ulama: Pertama : Munāsabah antar Sūrah dengan Sūrah sebelumnya. Kedua : Munāsabah antara nama Sūrah dan tujuan turunnya. Ketiga: Munāsabah antar-bagian suatu ayat Keempat: Munāsabah antar-ayat yang letaknya berdampingan. Kelima: Munāsabah suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya. Keenam: Munāsabah antara Fasilah dan Isi ayat. Ketujuh: Munāsabah antara awal surat dengan akhir surat yang sama. Kedelapan: Munāsabah antara penutup surat dengan awal surat berikutnya.
Sumber : Kajian Ulumul ur’an oleh, Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA., DSA
Pengertian
Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian Makkīyah dan Madanīyah. Namun, perbedaan itu frekuensinya relatif kecil. Perbedaan tersebut disebabkan tinjauan masing-masing ulama tafsir berlainan. Ada beberapa tinjauan mengenai hal tersebut.
1. Dari segi tempat turunnya, ayat atau surat Makkīyah adalah ayat atau surat yang diturunkan di Mekkah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah; dan ayat atau surat Madanīyah adalah ayat atau surat yang diturunkan di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba, dan Sil‟.
2. Dari segi waktu turunnya, ayat atau surat Makkīyah adalah ayat atau surat yang diturunkan sebelum hijrahnya Nabi ke Madinah, sedangkan ayat atau surat Madanīyah adah ayat atau surat yang diturunkan setelah hijrahnya Nabi ke Madinah.
3. Dari segi khiṭāb atau seruannya, ayat atau surat Makkīyah adalah ayat atau surat yang khiṭāb atau seruannya ditujukan kepada penduduk Mekkah, sedangkan ayat atau surat Madanīyah adalah ayat atau surat yang khiṭāb atau seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah.
Dari ketiga pendapat tersebut di atas, pengertian yang lebih masyhur adalah pendapat kedua, yakni dilihat dari segi waktu turunnya. Pendapat kedua ini lebih mudah dipahami dan dekat relevansinya dengan pengeterapan penafsiran. Bila berpijak pada pendapat pertama, akan kesulitan ketika berhadapan dengan kenyataan bahwa ada beberapa ayat al-Qurān yang diturunkan diantara kedua kota, yaitu Mekkah dan Madinah. Sementara pendapat ketiga akan sulit menentukan mana ayat yang khiṭāb atau seruannya ditujukan kepada penduduk Mekkah dan mana yang ditujukan kepada penduduk Madinah, karena ada beberapa ayat yang bersifat umum.
Sumber : Kajian Ulumul ur’an oleh, Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA., DSA
Jumlah Surat Makkiyah dan Madaniyah
1. 20 surat yang diperselisihkan oleh ulama antara makkiyah atau madaniyah, yaitu: Al-Fatihah, Ar-Ra’d, Al-Hajj, Ar-Rahman, Al-Hadid, As-Shoff, At-Taghabun, Al-Insan, Al-Muthaffifin, Al-Qadar, Al-Bayyinah, Al-Zalzalah, Al-‘Adiyat, At-Takatsur, Al-‘Ashr, Al-Ma’un, Al-Kautsar, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas.
2. 19 surat yang disepakati madaniyyah, yaitu: Al-Baqarah, Ali-Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah, An-Nur, Al-Ahzab, Muhammad, Al-Fath, Al-Hujurat, Al-Mujadilah, Al-Hasyr, Al-Mumtahinah, Al-Jum’ah, Al-Munafiqun, Ath-Thalaq, At-Tahrim, An-Nashr.
3. 75 surat sisanya disepakati makiyyah.
Perbedaan Makkiyah dan Madaniyah
1. Makkiyah pada umumnya gaya bahasanya sangat kuat dan khitab (pembicaraan)-nya tegas. Karena orang yang diajak bicara mayoritas adalah para pembangkang dan orang yang sombong. Tidak ada yang lebih patut bagi mereka selain hal itu. Adapun madaniyah, pada umumnya gaya bahasanya halus dan khitabnya mudah, karena mayoritas orang yang diajak bicara adalah orang-orang menerima dan tunduk.
2. Ayat makkiyah pada umumnya pendek-pendek dan kuat hujjahnya, Adapun madaniyah pada umumnya Panjang panjang dan menyebutkan hukum-hukum yang disampaikan dengan tanpa banyak alasan, karena kondisi dan keadaan mereka menuntut hal itu.
3. Ayat makkiyah berisi tentang pemantapan atau penguatan tauhid serta akidah yang lurus, khususnya terkait tauhid uluhiyah dan iman kepada hari kebangkitan. Hal ini karena mayoritas mereka mengingkari hal tersebut. Adapun ayat madaniyah umumnya besisi tentang penjelasan ibadah dan muamalah, karena tauhid dan akidah yang lurus telah menetap pada jiwa-jiwa orang yang diajak bicara, sedangkan mereka butuh akan penjelasan ibadah dan muamalah.
4. Pada ayat madaniyah banyak disebutkan tentang orang orang munafik. Hal itu disebabkan karena ketika disyariatkannya ayat-ayat tersebut telah muncul benih-benih kemunafikan, berbeda dengan ayat makkiyah.
Faidah Mengetahui Ayat Makkiyah dan Madaniyah
1. Menunjukkan ketinggian balaghah dan uslub dalam Al-Quran sehingga dalam berdakwah atau mengajak kepada setiap kaum selalu disesuaikan dengan kondisi dan keadaan mereka, baik yang menyangkut tentang keras lembutnya bentuk ajakan mapun berat ringannya suatu perintah.
2. Menunjukkan hikmah pensyari’atan hukum-hukum yang sangat sempurna, yaitu hukum-hukum itu diturunkan secara bertahap sesuai dengan keadaan, kondisi dan tuntutan umat manusia serta kesiapan mereka untuk menerima dan melaksanakan hukum-hukum tersebut.
3. Pendidikan dan pengarahan bagi para da’i agar mereka menerapkan prinsip-prinsip Qur’ani di dalam dakwah mereka. Baik menyangkut pemilihan uslub ataupun tahapan-tahapan materi yang tepat, disesuaikan dengan mad’u dakwah mereka.
4. Memprioritaskan ayat yang nasikh (menghapuskan) dari ayat yang mansukh (yang dihapuskan). Jika kedua ayat ini, (yaitu ayat makkiyah dan madaniyah) membahas suatu hukum yang sama yang mengharuskan adanya naskh (penghapusan), karena ayat madaniyah adalah penghapus bagi ayat
makkiyah. Hal itu disebabkan karena ayat madaniyyah lebih belakangan turunnya daripada ayat makiyyah.
Sumber : Materi Dasar Kajian Ulumul Quran, oleh Muhammad Fatwa Hamidan
Ciri Surat Makkiah
1. Surat Makkiyah didominasi oleh ayat-ayat pendek.
2. Surat Makkiyah didominasi oleh pembahasan mengenaimasalah akidah;
3. Setiap surat yang didalamnya mengandung ayat sajdah;
4. Tiap surat yang di dalamnya dinyatakan lafadz: Kallâ. Lafadz ini telah dinyatakan sebanyak 33 kali dalam 15 surat;
5. Jika didahului dengan panggilan: Yâ Ayyuhâ an-Nâs (wahai manusia) atau Yâ Banî Adam (wahai anak Adam);
6. Setiap surat yang di awali dengan fawatih as-suwar;
7. Setiap surat yang mengandung kisah-kisah Nabi dan ummat terdahulu, kecuali kisah Adam dan Iblis yang disebutkan dalam surat al-Baqarah adalah Madaniyah.
Ciri Ayat Madaniyyah
1. Surat Madaniyyah didominasi oleh ayat-ayat yang panjang;
2. Madaniyah didominasi oleh pembahasan mengenai masalah legislasi hukum, hukum ibadah, muamalah, sistem sosial, jihad dan derivatnya, seperti hukum tawanan, ghanîmah, perdamaian, perjanjiandan gencatansenjata;
3. Jika didahului dengan panggilan: Yâ Ayyuhâ al-Ladzîna Amanû (wahai orang-orang yang beriman) adalah Madaniyah, kecuali pada tujuh tempat, antara lain: (1) surat al-Baqarah: 21, (2) an-Nisâ’: 1, (3) al-Hujurât: 13, (4) al-Baqarah: 168, (5) an-Nisâ’: 133, (6) al-Hajj: 1. Pada ayat-ayat tersebut digunakan panggilan: Yâ Ayyuhâ an-Nâs (wahai manusia);
4. Surat-surat yang menyebutkan orang-orang munafik, kecuali surat al-Ankabut;
Sumber : Ebook Makkiyah dan Madaniyyah oleh, Mohamad Rana
14. Al-Muhkam Dan Al-Mutashabih
Muhkam artinya ayat ayat yang maknanya jelas tidak tersembunyi. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, hanya orang-orang yang kuat keilmuannya yang memahaminya dengan pemahaman yang benar.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
يخبر تعالى أن في القرآن آيات محكمات هن أم الكتاب، أي: بينات واضحات الدلالة، لا التباس فيها على أحد من الناس
“Allah Ta’ala mengabarkan bahwa di dalam Al Qur’an terdapat ayat ayat alquran yang merupakan induk Al Qur’an, yaitu ayat ayat yang jelas maknanya, tidak tersembunyi pada semua orang” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/6).
Syaikh Ibnu Al Utsaimin rahimhullah berkata:
“Allah Tabaroka wata’ala membagi Al Qur’an menjadi dua macam: muhkam dan mutasyabih. Yang dimaksud muhkam adalah yang jelas maknanya dan tidak tersembunyi. Contohnya kata: langit, bumi, bintang, gunung, pohon, dan sebagainya.
Adapun mutasyabih adalah ayat ayat yang samar maknanya dan tersembunyi dari kebanyakan manusia. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang kokoh keilmuannya. Contohnya adalah ayat ayat yang bersifat global dan tidak ada perinciannya di dalam alquran, seperti firman Allah:
وأقيموا الصلاة
“Dirikanlah sholat“.
Mendirikan sholat tidak dijelaskan tata caranya. Karena ayat ini hanya menyebutkan kewajiban mendirikan sholat saja, tapi bagaimana tatacaranya? Ini diketahui dari dalil lain.
Hikmah diturunkannya alquran dengan dua macam tadi adalah sebagai ujian. Orang yang ada di hatinya kecondongan kepada kesesatan akan mengikuti ayat ayat mutasyabih sehingga ia berada di dalam keheranan. Adapun orang orang yang kokoh ilmunya, mereka mengimani semuanya; baik yang mutasyabih maupun yang muhkam. Mereka meyakini bahwa alquran berasal dari sisi Allah dan tidak saling bertentangan” (Fatawa Nuur alad Darbi).
Termasuk dalam ayat-ayat mutasyabih juga adalah ayat ayat yang seolah olah bertentangan.
Kewajiban kita adalah menafsirkan ayat mutasyabih dengan ayat yang muhkam. Karena Al Quran dan hadits saling menafsirkan satu sama lainnya.
Sumber: https://muslim.or.id/28026-apa-yang-dimaksud-dengan-muhkam-dan-mutasyabih-dalam-al-quran.html
Ditinjau dari sisi muhkam dan mutasyabihnya, Alquran Al-Karim disifati dengan tiga sifat:
1. Alquran Al-Karim Seluruhnya adalah Muhkam dengan Jenis Ihkam Umum
Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi (indah) serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu” (QS. Huud:1).
الر ۚ تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ
“Alif laam raa. Inilah ayat-ayat Al-Quran yang mengandung kerapian dan keindahan yang sempurna” (QS. Yunus: 1).
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan sesungguhnya Al Quran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung keindahan sastra yang sempurna” (QS. Az-Zukhruf: 4).
Makna ihkam umum dalam konteks ini adalah seluruh ayat-ayat Alquran itu tersusun dengan rapi, indah, dan sempurna, baik lafal maupun maknanya, tak ada kekurangan dan aib sedikit pun dalam makna maupun lafalnya. Oleh karena itu, jika dicermati dengan baik, maka akan didapatkan bahwa ayat-ayat Alquran itu mengandung puncak kesempurnaan kefasihan dan sastra (balaghah).
Seluruh kabar yang terdapat di dalamnya adalah benar, sehingga tidak ada sedikitpun kedustaan dan pertentangan satu sama lain, serta sangat bermanfaat sehingga tidak ada sedikit pun keburukan dan kesia-siaan dalam Alquran. Seluruh hukum-hukumnya adalah adil dan bijaksana, tidak ada kezaliman, pertentangan, dan hukum yang buruk.
2. Alquran Al-Karim Seluruhnya adalah Mutasyabih dengan Jenis Tasyabuh Umum
Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemberi petunjukpun” (QS. Az-Zumar: 23).
Adapun makna tasyabuh umum dalam konteks ini adalah seluruh ayat-ayat Alquran itu sama satu sama lainnya dalam kesempurnaan, keindahan dan tujuan yang mulia. Karena memang semua ayat-ayat Alquran adalah dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau sekiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An-Nisa`: 82).
Sumber: https://muslim.or.id/29582-alquran-al-karim-muhkam-dan-mutasyabih-1.html
2. Alquran Al-Karim sebagiannya muhkam dengan jenis ihkam khusus, sedangkan sebagiannya lagi mutasyabih dengan jenis tasyabuh khusus
Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-induk (rujukan) isi Alquran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan (menyimpang), maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat darinya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.’ Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal” (QS. Ali Imran: 7).
Makna ihkam khusus dalam konteks ini adalah sebagian ayat-ayat Alquran itu ada yang maknanya jelas, tiada kesamaran di dalamnya, seperti yang ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 21).
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah: 275).
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih dengan nama selain Allah” (QS. Al-Maidah: 3).
Adapun makna tasyabuh khusus dalam konteks ini adalah sebagian ayat-ayat Alquran itu ada yang maknanya samar bagi sebagian manusia saja, namun bagi ulama yang mendalam dan kokoh ilmunya, maka maknanya jelas. Perlu diketahui bahwa di dalam Alquran tidak ada satu ayat pun yang tidak jelas maknanya bagi seluruh manusia, karena Allah Ta’ala telah berfirman:
هَٰذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
“(Alquran) ini adalah penjelasan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali Imran: 138).
وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِي كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِمْ مِنْ أَنْفُسِهِمْ ۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An-Nahl: 89).
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ، ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya, apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu” (QS. Al-Qiyamah: 18-19).
Para ulama yang kokoh ilmu mereka mengetahui bagaimana memahami ayat-ayat yang mutasyabihaat bagi sebagian orang tersebut, sehingga seluruh ayat Alquran bagi para ulama yang kokoh ilmunya menjadi jelas maknanya, tidak ada kesamaran baginya (muhkam).
Sumber: https://muslim.or.id/29609-alquran-al-karim-muhkam-dan-mutasyabih-2.html
Contoh Ayat yang Mutasyabihat
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ayat-ayat Alquran yang mutasyabihat itu adalah ayat-ayat yang maknanya samar bagi sebagian manusia, namun bagi ulama yang kokoh ilmunya, maka maknanya jelas.
Di antara contoh ayat-ayat yang mutasyabihat bagi sebagian orang adalah dua firman Allah Ta’ala berikut ini yang dianggap bahwa keduanya saling bertentangan. Tentunya ini adalah anggapan yang salah. Kedua ayat yang agung tersebut adalah sebagai berikut.
وَإِنْ تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَٰذِهِ مِنْ عِنْدِكَ ۚ قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: ‘Ini adalah dari sisi Allah’ dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: ‘Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad).’ Katakanlah: ‘Semuanya (datang) dari sisi Allah’” (QS. An-Nisaa`: 78).
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana (keburukan) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi” (QS. An-Nisaa`: 79).
Penjelasan:
Sebagian orang memahami bahwa kedua ayat ini terkesan saling bertentangan, hal ini dikarenakan sebagai berikut:
– Pada ayat pertama menunjukkan bahwa kebaikan maupun keburukan (bencana) semuanya dari sisi Allah Ta’ala.
– Adapun pada ayat yang kedua menunjukkan bahwa kebaikan itu dari Allah, sedangkan keburukan yang menimpamu, maka dari dari dirimu sendiri.
Padahal kedua ayat yang agung ini tidaklah saling bertentangan, berikut ini penjelasannya:
Kebaikan (hasanah) dan keburukan (sayyi`ah), semuanya dari sisi Allah Ta’ala, hal ini jika ditinjau dari sisi takdir. Adalah Allah yang menakdirkan keduanya terjadi. Namun, dikarenakan kebaikan itu terjadinya dengan sebab karunia Allah Ta’ala pada hamba-Nya, maka Allah Ta’ala menyandarkan kebaikan itu kepada diri-Nya,
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah”.
Sedangkan keburukan yang terkait dengan dosa atau musibah itu akibat dari perbuatan hamba, maka Allah Ta’ala menyandarkan keburukan kepada makhluk:
وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Dan apa saja bencana (keburukan) yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.”
Ayat ini selaras dengan firman Allah Ta’ala,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy-Syuuraa: 30)
Contoh ayat lainnya yang mutasyabihaat bagi sebagian orang, yaitu
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, ia tinggal lama di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (QS. An-Nisaa`: 93).
Sebagian orang memahami bahwa siksa bagi pembunuh seorang mukmin dengan sengaja adalah kekal di neraka, dan mereka berlakukan ayat ini pada seluruh pelaku dosa besar. Mereka berpaling dari ayat yang menunjukkan bahwa semua dosa yang di bawah tingkat kesyirikan besar itu bisa diampuni, jika Allah menghendakinya.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (besar), dan Dia mengampuni segala dosa yang di bawah dosa (syirik besar) bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (QS. An-Nisa` : 48).
Sumber: https://muslim.or.id/29619-alquran-al-karim-muhkam-dan-mutasyabih-3.html
Hikmah dalam Keanekaragaman Alquran, antara Muhkam dan Mutasyabih
Kita perlu ingat bahwa setiap perbuatan Allah Ta’ala pasti ada hikmahnya, baik hikmah tersebut kita ketahui ataupun tidak.
Tak terkecuali ketika Allah Ta’ala berfirman dengan beberapa ayat yang muhkamat dan mutsyabihat, tentulah ada hikmah besar yang terkandung di dalamnya. Di antara hikmah adanya ayat-ayat Alquran yang muhkamat dan mutsyabihat adalah:
Seandainya Alquran semuanya muhkamat, tentulah akan terluput hikmah untuk menguji manusia, siapakah di antara yang membenarkan dan mengamalkan kandungannya. Karena ayat-ayat muhkamat itu jelas maknanya sehingga manusia akan membenarkannya dan tertutup celah bagi manusia untuk memelintir maknanya.
Seandainya Alquran semuanya mutasyabihat, maka akan terluput status Alquran sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia, karena makna ayat-ayat yang mutasyabihat itu tidak jelas maknanya bagi mereka.
Akan tetapi Allah Ta’ala dengan kemahabijaksanaan-Nya menjadikan Alquran itu ada yang muhkamat dan ada pula yang mutasyabihat, sehingga terbedakan antara orang-orang yang benar imannya dan orang-orang yang di hati mereka terdapat penyimpangan (zaigh). Karena orang-orang yang beriman dengan benar itu mengetahui bahwa Alquran semuanya dari sisi Allah, dan sesuatu yang berasal dari sisi Allah adalah sebuah kebenaran dan mustahil terdapat di dalamnya kebatilan atau pertentangan, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Yang tidak datang kebatilan kepadanya (Al Quran), baik dari depan (terkait dengan kabar perkara yang akan datang) maupun dari belakangnya (terkait dengan kabar perkara lampau), yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” (QS. Fushshilat: 42).
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau sekiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An-Nisa`: 82).
Dan orang-orang yang beriman dengan benar itu akan mengembalikan pemahaman ayat-ayat yang mutasyabihat kepada ayat-ayat yang muhkamat, karena Allah Ta’ala menjadikan ayat-ayat yang muhkamat sebagai rujukan untuk memahami ayat-ayat yang mutasyabihat, sehingga menjadi jelaslah seluruh ayat-ayat Alquran, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
“Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-induk (rujukan) isi Alquran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat” (QS. Ali Imran: 7).
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mengambil ayat yang mutasyabihat untuk ‘memelintir’ makna yang benar, mengikuti hawa nafsu, membuat manusia ragu terhadap kabar Alquran dan mengingkari hukum-hukumnya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan (menyimpang),maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta`wilnya” (QS. Ali Imran: 7).
Oleh karena itu banyak didapatkan orang-orang yang menyimpang dalam akidah dan amal berdalil dengan ayat-ayat yang mutsyabihat untuk melegalkan penyimpangannya.
Sumber: https://muslim.or.id/29646-alquran-al-karim-muhkam-dan-mutasyabih-4.html
Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah
Fawatihus suwar terdiri dari dua kata yaitu fawatih dan suwar. Fawatih merupakan bentuk jamak dari mufrad fatihun yang artinya ‘pembuka’. Sementara suwarun adalah bentuk jamak dari mufrad suratun yang artinya ‘surat’. Dari kedua kata tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa fawatihus suwar adalah kalimat pembuka atau awal dari setiap surat di dalam Al-Quran.
10 Macam Fawatihus Suwar
1. Pujian
2. Huruf Hijaiyah
3. Panggilan
4. Kalimat Berita
5. Sumpah
6. Syarat
7. Perintah
8. Pertanyaan
9. Doa
10. Alasan
1. Fawatihus Suwar Pujian
Bentuk fawatihus suwar yang pertama adalah pujian kepada Allah SWT. Dalam kitab Al-Burhan fi Ulum al-Quran, Imam Badruddin Muhammad bin Abdillah az-Zarkasyi menyebutkan, fawatihus suwar berbentuk pujian kepada Allah ini ada dua macam, yaitu pujian untuk mengukuhkan sifat kesempurnaan-Nya dan pujian untuk meniadakan kekurangan-Nya.
Terdapat 14 surat yang diawali dengan fawatihus suwar berbentuk pujian kepada Allah SWT. Setengahnya untuk mengukuhkan sifat kesempurnaan dan setengah yang lain untuk meniadakan kekurangan.
a. Surat yang diawali dengan pujian atas pengukuhan kesempurnaan Allah adalah:
Dengan Memakai lafaz hamdalah yakni dibuka dengan اَلْحَمْدُ لِلّٰ ada 5 surat :
Surat Al-Fatihah, Surat Al-An’am, Surat Al-Kahfi, Surat Saba’, Surat Fathir
Dengan Memakai lafaz tabarakta yakni dibuka dengan تَبٰرَكَ ada 2 surat
Surat Al-Furqon dan Surat Al-Mulk
b. Surat yang diawali dengan pujian untuk meniadakan kekurangan-Nya adalah:
Dengan menggunakan lafaz tasbih (سُبْحٰنَ, سَبَّحَ, يُسَبِّحُ, سَبِّحِ اسْمَ) ada 7 surat :
Surat Al-Isra’, Al-Hadid, Al-Hasyr, Ash-Shaff, Al-Jumu’ah, At-Taghabun, Al-A’la
2. Fawatihus Suwar Huruf Hijaiyah
Fawatihus suwar berupa huruf hijaiyah (huruf muqaththa’ah/terputus-putus) paling banyak terdapat di dalam Al-Quran. Terdapat 29 surat yang diawali dengan huruf muqaththa’ah yaitu:
a. Terdiri dari satu huruf, Terdapat dalam 3 surat
Yakni (ص) QS.Shad (ق) QS.Qaf), dan (ن) QS, Qalam
b. Terdiri dari dua huruf, Terdapat dalam 9 surat
Dinamakan Hawamim (surat-surat yang dibuka dengan Hamim), yakni:
QS. Al-Mukmin, As Sajdah, Al-Zuhruf, Ad-Dukhan, Al-Jatsiyah, Al-Ahqaf, Taha, An-Naml, Yasin
c. Terdiri dari tiga huruf, terdapat pada 13 surat
-Enam (6) surat dimulai dengan الم
QS, Al-Baqarah, Al- Imran, Al-Ankabut, Ar-Rum, Lukman, Al-Sajdah
– Lima (5) surat dimulai dengan االر
QS, Yunus, Hud, Ibrahim, Yusuf, Al-Hijr
– Dua (2) surat dimulai dengan طسم
Yaitu: QS, Al Qashash dan Q.S Asy-Syu’ara
d. Terdiri dari empat (4) huruf
Yaitu QS, Ar ra’du, Al-A’raf
e. Terdiri dari lima (5) huruf
Yaitu QS, Maryam, Asy-Syura.
3. Fawatihus Suwar Panggilan
Macam fawatihus suwar yang ketiga adalah panggilan atau nida’ kepada orang yang diajak bicara (mukhotob). Bentuk yang satu ini biasanya menggunakan huruf-huruf nida’ seperti ya’ panjang. Terdapat 10 surat yang diawali dengan panggilan, lima surat berupa panggilan kepada Rasulullah SAW, sedangkan 5 surat lainnya panggilan kepada umat manusia.
Terdapat dalam 10 surat . Nida disini ada 3 macam, yaitu :
a. Nida untuk Nabi, misalnya (يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ )
Terdapat dalam lima surat : Q.S Al Ahzab, At Tahrim, At Thalaq, al Muzammil, Al Mudatsir
b. Nida untuk Mukminin (يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْ)
Terdapat dalam tiga surat : Q.S Al Maidah , Al Mumtahanah, Al Hujurat
c. Nida untuk Manusia (يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ)
Terdapat dalam dua surat : Q.S An Nisa dan Al Hajj
4. Fawatihus Suwar Jumlah (Khabariyah)
Kalimat berita atau dalam bahasa Arab disebut jumlah (khabariyah) yang mengandung kebenaran atau kebohongan. Fawatihus suwar yang satu ini berupa jumlah fi’liyah dan jumlah ismiyah. Terdapat 23 surat yang diawali dengan jumlah (khabariyah), yaitu:
a. Jumlah Ismiyah.
Terdiri dari 11 surat : Q.S At-Taubah, An-Nur, Az-Zumar, Muhammad, Al fath, Ar Rahman, Al Haaqqah, Nuh, Al Qodr, Al Qoriah dan Al Kautsar.
b. Jumlah Fi’liyah
Terdiri dari 12 surat : Q.S Al Anfal, An Nahl, Al Qomar, Al Mu’minun, Al Anbiya, Al Mujadalah, Al Ma’arij, Al Qiyamah, Al balad, Abasa, Al bayyinah, At Takatsur
5. Fawatihus Suwar Sumpah (Al Istiftah Bil Qasam)
Sumpah pada fawatihus suwar menggunakan huruf qasam wawu. Ilmu yang mempelajari sumpah dalam Al-Quran adalah ‘Ilmu Aqsamul Quran.Terdapat 15 surat dalam Al-Quran yang mengandung fawatihus suwar berupa sumpah, yaitu:
a. Sumpah dengan benda angkasa
Misalnya : Q.S.. Al-Shaffat, An-Najm, An Nazi’at, Al Buruj, Ath-Thariq, Al fajr, Al-Syams, Al Mursalat.
b. Sumpah dengan benda bawah
Misalnya : Q.S Al Dzariyyat, At Thur, At Thin, Al-Adiyat
c. Sumpah dengan waktu
Misalnya: Q.S Al-Layl, Ad Dhuha, Al Ashr
6. Fawatihus Suwar Syarat (Al Istiftah Bis Syarat)
Syarat merupakan kalimat yang membutuhkan jawaban ‘maka’. Saat membahas syarat, ada tiga unsur yang perlu diperhatikan: adat asy-syarthi, fi’lu asy-syarthi, dan jawab asy-syarthi.
Terdapat 7 surat di dalam Al-Quran yang diawali dengan syarat. Semua surat ini diawali dengan adat asy-syarthi berupa ‘idza’.
Yakni : Q.S At Takwir, Al Infithar, Al Insiqaq, Al Waqi’ah, Al Munafiqun, Al Zalzalah, An Nashr
7. Fawatihus Suwar Perintah (Al Istiftah Bil Amr)
Bentuk fawatihus suwar selanjutnya adalah perintah atau ‘amr. Terdapat 6 surat yang didahului dengan perintah yaitu:
Q.S Al-Alaq, al-Jin, al- Ikhlash, al-Kafirun, al-Falaq, dan An nas.
8. Fawatihus Suwar Istifham (pertanyaan)
Istifham merupakan kalimat pertanyaan yang juga menjadi salah satu dari bentuk fawatihus suwar. Jumlah surat yang didahului dengan kalimat pertanyaan ada 6 surat, yaitu:
a. Pertanyaan Positif : Yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat positif. Pertanyaan dalam
bentuk ini digunakan dalam 4 surat, yaitu : Q.S Al Insan, An Naba, Al Ghasyiyah, Al Maun
b. Pertanyaan Negative : Misalnya QS, Al-Insyirah dan Al Fil
9. Fawatihus Suwar Doa (Al Istiftah Bid Du’a)
Bentuk kalam fawatihus suwar yang selanjutnya adalah doa, baik berupa harapan baik maupun buruk. Terdapat 3 surat yang didahului dengan doa, yaitu: QS Al Muthaffifin, Al Humazah, Al-Lahab
10. Fawatihus Suwar At-Ta’lil (alasan)
Bentuk fawatihus suwar yang kesepuluh adalah at-ta’lil atau alasan. Hanya terdapat satu surat di dalam Al-Quran yang diawali dengan pertanyaan yaitu Surat Al-Quraisy.
A. Pengertian
Qirā‟at adalah jamak dari kata qirā‟ah, dan ia adalah masdar dari kata qara‟a – yaqra‟u – Qirā‟atan yang berarti bacaan Sedang menurut istilah ada beberapa pendapat sebagai berikut.
1. Az-Zarqāni, berpendapat bahwa qirā‟at adalah suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dalam membaca al-Qurān yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qurān serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafaznya.
2. Az-Zarkasyi mengemukakan bahwa perbedaan qirā‟at itu meliputi perbedaan lafaz-lafaz tasydid dan lainnya. Qirā‟at harus melalui talaqqi dan musyafahah, karena dalam qirā‟at banyak hal-hal yang tidak bisa dibaca kecuali dengan mendengar langsung dari seorang guru dan bertatap muka.
3. Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān menyatakan bahwa qirā‟at adalah salah satu mazhab pengucapan al-Qurān yang dipilih oleh salah seorang imam qurrā‟ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
4. Ibnu al-Jazari berpendapat bahwa qirā‟at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat al-Qurān dengan menyandarkan pada penukilnya.
5. Muḥammad Ali aṣ-Ṣābuni, menyatakan bahwa qirā‟at adalah salah satu mazhab atau aliran dalam mengucapkan al-Qurān yang dipakai oleh salah seorang imam qurrā‟ yang berbeda dengan lainnya.
Qirā‟at ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai pada Rasulullah ﷺ. Periode qurrā‟ yang mengajarkan bacaan al-Qurān kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan standar atau berpedoman kepada masa para Sahabat. Diantara Sahabat yang populer dengan bacaannya adalah Ubay, Āli, Zaid ibn Thābit, Ibnu Mas‟ūd, Abū Mūsa al-Ash‟ari, dan lain-lain. Dari mereka itulah kebanyakan para sahabat dan tabi‟in diseluruh daerah belajar. Mereka itu semua berpedoman kepada Rasulullah saw. sampai dengan datangnya masa tabi‟in pada permulaan abad ke II H. Selanjutnya timbul golongan-golongan yang begitu memperhatikan adanya tanda baca secara sempurna manakala diperlukan dan mereka menjadikannya sebagai satu cabang dari ilmu sebagaimana halnya ilmu-ilmu syari‟at yang lain.
B. Latar Belakang Timbulnya Qirā’at
Telah diketahui bahwa periodisasi qurra‟ adalah sejak masa sahabat sampai dengan masa tabi‟in. Orang-orang yang menguasai tentang al-Qurān adalah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam demi imam yang akhirnya berasal dari Nabi. Mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat di dalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis dengan mushaf dengan satu wajah kemudian ditulis pada mushaf lain dengan wajah yang lain dan begitulah seterusnya.
Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan adalah merupakan pedoman dasar dalam pembahasan qirā‟at. Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf, sedang yang lain ada yang mengambilnya dengan dua huruf/bacaan. Bahkan, yang lain lagi ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka bertebaran ke seluruh penjuru daerah dalam keadaan semacam ini.
Usman ra. ketika mengirim mushaf-mushaf ke seluruh penjuru kota, ia mengirimkan pula orang yang sesuai bacaannya dengan masing-masing mushaf. setelah para sahabat berpencar ke seluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu para tabi‟in pengikutnya mengambil dari sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka ragamlah pengambilan para tabi‟in, sehingga masalah ini bisa menimbulkan imam-imam qari‟ yang masyhur yang berkecimpung didalamnya dan mencurahkan segalanya untuk qirā‟at dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
Itulah sejarah timbulnya qirā‟at dan macam-macamnya, sekalipun ada perbedaan itu hanya berkisar pada hal yang ringan dibanding dengan jumlah yang disepakatinya. Perbedaan ini masih dalam batasan-batasan huruf sab‟ah dimana al-Qurān diturunkan dari Allah. Qirā‟at-qirā‟at hanya merupakan mazhab bacaan al-Qurān para imam yang secara ijma‟ masih tetap eksis dan digunakan umat hingga kini, dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhīm, tarqīq, imālah, idgām, izḥār, isybā‟, mād, qaṣr, tasydīd, takhfīf, dan lain-lain. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf yakni huruf Quraisy.
Adalah az-Zarqāni dalam kitabnya Manāhil al-Irfān yang dikutip dari karangan an-Nuairy yang dicetak dipercetakan Dār al-Kutub al-Mishrīyah, sebagai penjelasan dari kitab Ṭayyibah fi al-Qirā‟at, ia mengatakan:
“Pedoman dalam penukilan al-Qurān itu berdasarkan para Huffaz. Oleh karena itu, Usman r.a. mengirimkan setiap mushaf dibarengi dengan orang yang banyak persamaan dibidang bacaannya tetapi hal ini tidak merupakan keharusan. Masing-masing dari mereka membacakannya di setiap daerah menurut bacaan yang ada pada mereka. Mereka itu semuanya menerima bacaan dari kalangan sahabat yang langsung menerimanya dari Nabi ﷺ. Dari mereka itulah terdapat satu kelompok yang siang malam bekerja keras untuk mengutip bacaan al-Qurān . Selanjutnya mereka itulah yang menjadi tokoh ikutan, dan bintang-bintang petunjuk. Penduduk negeri mereka telah bersepakat untuk menerima bacaannya dan tidak pernah terjadi adanya dua orang yang berbeda pendapat tentang kebenaran riwayat dan dirayahnya. Untuk mempertahankan bacaan tersebut, maka qirā‟at tersebut dinamai dengan qirā‟ahnya dan dianggap sebagai orang yang ahli dalam hal qirā‟at .
Setelah adanya tokoh-tokoh tersebut banyaklah qāri‟ di antara mereka dan terkenal di seluruh penjuru daerah serta dikembangkan oleh generasi demi generasi yang berlainan tingkatnya dan berbeda-beda sifatnya. Diantara mereka ada yang sangat baik dalam membaca, masyhur dari segi riwayat dan dirayahnya dan sebagian yang lain hanya mempunyai satu segi bacaan dan lainnya ada pula yang lebih dari itu. Oleh karena itulah timbul banyak perbedaan dan kurang adanya keseragaman antara sesamanya.
Pada masa itu timbullah tokoh-tokoh dan pemimpin umat untuk bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan yang benar dan yang salah. Mereka mengumpulkan huruf dan qira‟ah, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah, menjelaskan yang benar dan yang salah serta yang berkembang dan yang punah dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang mereka utamakan”.
Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qirā‟at adalah Imam Abū Ubaid al-Qāsim bin Sallām (W. 224 H.). Ia menulis sebuah kitab dengan nama al-Qirā‟at yang menghimpun qirā‟at dari 25 orang perawi.
C. Qirā’at-Qirā’at yang Masyhur
Mazhab qirā‟at yang masyhur adalah qirā‟at sab‟ah, qirā‟at „Asyrah, dan Qirā‟at Arba‟a „Asyrah. Perbedaan ini disebabkan oleh berbedanya kapasitas intelektual dan kesempatan masing-masing sahabat dalam mengetahui cara membaca al-Qurān. Hal ini juga berkaitan dengan tulisan al-Qurān dalam mushaf Usmani yang belum diberi baris atau tanda baca apapun, sehingga bacaan al-Qurān dapat berbeda dari susunan huruf-hurufnya terutama pada saat wilayah Islam semakin meluas dan para sahabat yang mengajarkan al-Qurān menyebar ke berbagai daerah.
Qirā‟at sab‟ah adalah qirā‟at yang menunjuk pada tujuh imam masyhur, yaitu: pertama, Ibnu „Amir. Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshuby, seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid Ibnu Abdul Malik. Panggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi‟in, belajar qirā‟at dari al-Mughirah Ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Usman bin Affan dari Rasulullah ﷺ. Beliau wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang menjadi murid dalam qirā‟atnya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan.
Kedua, Ibnu Kathir. Nama lengkapnya adalah Abū Muḥammad Abdullah Ibnu Kathir ad-Dāry al-Makkī. Ia adalah imam dalam hal qirā‟at di Makkah. Ia adalah seorang tabi‟in yang pernah hidup bersama sahabat Abdullah Ibnu Jubair, Abu Ayyub al-Anṣāri dan Anas Ibnu Mālik. Ia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawi dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qumbul wafat tahun 291 H.
Ketiga, „Aṣīm al-Kūfiy. Nama lengkapnya adalah „Aṣīm Ibnu Abi an-Nujū al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar. Ia adalah seorang tabi‟in yang wafat sekitar tahun 127-128 H. di Kufah. Kedua perawinya adalah Syu‟bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat tahun 180 H.
Keempat, Abu „Amr. Nama lengkapnya adalah Abu „Amr Zabban „Ala Ibnu Ammar al-Bashry, seorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu „Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Daury wafat tahun 246 H. dan as-Susy wafat tahun 261 H.
Kelima, Ḥamzah al-Kūfiy. Nama lengkapnya adalah Ḥamzah Ibnu Hābib Ibnu „Imaroh az-Zayyat al-Fardhi ath-Thaimy, seorang mantan hamba Ikrimah Ibnu Robi‟ at-Taimy. Dipanggil dengan nama Ibnu „Imaroh, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja‟far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
Keenam, Imam Nafi‟. Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi‟ Ibnu Abdur Rahman Ibnu Abi Na‟im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan wafatnya Nafi‟ berakhirlah kepemimpinan para qari‟ di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qolun wafat tahun 220 H. dan Warasy wafat tahun 197 H.
Ketujuh, al-Kisaiy. Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan. Menurut sebagian orang disebut dengan nama Kisaiy karena memakai “kisa‟” pada waktu ihram. Beliau wafat di Ronbawiyah yaitu sebuah desa di negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H. Perawinya adalah Abul Harits wafat tahun 240 H. dan ad-Daury wafat tahun 246 H.
Adapun ketiga imam qirā‟at yang menyempurnakan qirā‟at tujuh, menjadi sepuluh adalah: kedelapan, Abu Ja‟far al-Madani. Nama lengkapnya adalah Yazid bin Qa‟qa, wafat di Madinah pada tahun 128 H; dan dikatakan pula tahun 132 H. Dua orang perawinya adalah Ibnu Wardan wafat tahun 160 H. dan Ibnu Jimaz wafat pada akhir tahun 170 H.
Kesembilan, Ya‟qub al-Basri. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Ya‟qub bin Ishaq bin Zaid al-Hadrami, wafat di Basrah pada tahun 205 H. tetapi dikatakan pula pada tahun 185 H. Perawinya adalah Ruwais wafat tahun 238 H. dan Rauh wafat sekitar tahun 234-235 H.
Kesepuluh, Khalaf. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa‟lab al-Bazar al-Baghdadi, wafat pada tahun 229 H. tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Perawinya adalah Ishaq wafat 286 H. dan Idris wafat 292 H.
Sebagian ulama menambahkan pula empat qirā‟at kepada yang sepuluh itu. Keempat qirā‟at itu adalah:
Kesebelas, al-Hasanul Basri, mantan sahaya kaum Anshar dan salah seorang tabi‟in besar yang terkenal dengan kezuhudannya. Ia wafat pada tahun 110 H. Kedua belas, Muhammad bin Abdurrahman yang dikenal dengan nama Ibnu Muhaisin. Ia wafat pada tahun 123 H. dan ia adalah seorang syaikh, guru Abu „Amr. Ketiga belas, Yahya bin Mubarak al-Yazidi an-Nahwi dari Baghdad. Ia mengambil qirā‟at dari Abu „Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh ad-Dauri dan as-Susi, ia wafat tahun 202 H. Dan keempat belas, Qirā‟at Abul Faraj Muhammad bin Ahmad asy-Syanbuzi, wfat tahun 388 H.
D. Macam-Macam Qirā’at dari Segi Sanadnya
Macam-macam Qirā‟at ditinjau dari segi sanadnya adalah sebagai berikut.
1. Qirā‟at Mutawatir, yaitu qirā‟at yang diriwayatkan oleh suatu jama‟ah dari jama‟ah lain yang semuanya dapat dipastikan tidak mungkin berdusta. Misalnya sistem qirā‟at yang isnadnya telah disepakati berasal dari imam tujuh.
2. Qirā‟at Masyhur, yaitu qirā‟at yang shahih sanadnya, perawinya adil, kuat hafalan dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab, juga sesuai dengan salah satu rasm Usmani. Contoh qirā‟at yang diriwayatkan oleh sebagian perawi saja dari qari‟ tujuh.
3. Qirā‟at yang shahih sanadnya, tapi tidak sesuai dengan rasm Usmani atau menyalahi bahasa Arab dan tidak terkenal sebagai airā‟at yang masyhur. Subhi al-Shalih dalam kitabnya tidak memberi nama pada jenis qirā‟at ini, tapi dalam kitab Mannā‟ al-Qattān jenis qirā‟at ini diberi nama dengan istilah qirā‟at ahad.
4. Qirā‟at Syadz, yaitu qirā‟at yang tidak shahih sanadnya.
5. Qirā‟at Maudhu‟, yaitu qirā‟at yang tidak ada asalnya.
6. Qirā‟at Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qirā‟at sebagai penafsiran.
Keempat macam qirā‟at yang terakhir tidak boleh diamalkan bacaannya. Dan jumhur ulama berpendapat bahwa qirā‟at yang tujuh itu adalah qirā‟at yang mutawatir. Dan yang tidak mutawatir seperti masyhur tidak boleh dibaca didalam maupun di luar shalat. Sementara an-Nawawy dalam Sarḥ al-Muḥāzzab mengatakan bahwa qirā‟at yang syadz, tidak boleh dibaca baik didalam maupun diluar shalat, karena ia bukan al-Qurān. Al-Qurān hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qirā‟at yang Syadz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah.
E. Kriteria Qirā’at yang diterima dan yang ditolak
Untuk membedakan mana qirā‟at yang diterima dan yang ditolak, para ulama menetapkan suatu kriteria. Bagi qirā‟at yang diterima harus memenuhi 3 syarat, yaitu:
1. Qirā‟at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih. Sebab qirā‟at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan isnad, bukan ra‟yu.
2. Qirā‟at sesuai dengan salah satu mushaf usmani, meskipun hanya sekadar mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm sesuai dengan bermacam-macam dialek Qirā‟at yang mereka ketahui.
Misalnya, lafaz اصٌاسا، pada QS. al-Fatihah: 6, ditulis dengan Ṣād sebagai ganti dari Sin. Mereka tidak menuliskan sin yang merupakan asal lafaz tersebut. Hal ini dimaksudkan agar lafaz tersebut dapat pula dibaca dengan sin yakni ا عٌاسا، . Meskipun dalam satu segi berbeda dengan rasm, qirā‟at dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itu pun dimungkinkan pula.
3. Qirā‟at itu harus shahih sanadnya, sebab qirā‟at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari sesuatu qirā‟at hanya karena qirā‟at itu tidak sejalan dengan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qirā‟at tidak menanggung beban apa pun atas keingkaran mereka itu.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam dhabit bagi qirā‟at yang shahih. Apabila ketiga syarat tersebut terpenuhi maka qirā‟at tersebut adalah qirā‟at yang shahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qirā‟at itu dinamakan qirā‟at yang lemah, syadz atau batil.
Yang mengherankan adalah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qirā‟at shahih yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut hanya semata-mata qirā‟at tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolak ukur bagi keshahihan bahasa. Seharusnya qirā‟at yang shahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya menjadikan kaidah ini sebagai pedoman bagi al-Qurān. Hal ini karena al-Qurān adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang al-Qurān sendiri didasarkan pada keshahihan penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para qari‟ bagaimanapun juga adanya.
Sumber : Kajian Ulumul ur’an oleh, Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA., DSA
A. Pengertian, Sebab, Syarat, Macam, dan Tujuannya
Kajian tentang kemu‟jizatan al-Qurān sangat penting karena al-Qurān sendiri adalah mukjizat bagi nabi Muhammad ﷺ banyak upaya dilakukan untuk menantang kehebatan al-Qurān tapi semuanya adalah usaha yang sia-sia karena tidak bisa mengalakannya, dan inilah yang dimanakan I‟jāz al-Qurān.
I‟jāz secara bahasa berasal dari kata اشاجػئ – أػجص ؼٌجص – yang berarti menjadikan lemah atau tidak kuasa. Sedangkan menurut istilah adalah suatu perbuatan dari manusia pilihan (Nabi) bahwa ia membawakan fungsi Ilahiah dengan cara melanggar ketentuan atau tradisi atau hukum alam yang membuat orang lain tidak mampu melakukan aksi terhadap apa yang dilakukan itu.
Menurut Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, yang dimaksud dengan i‟jāz adalah menetapkan kelemahan. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidakmampuan mengerjakan sesuatu, lawan dari kemampuan. Apabila kemukjizatan telah terbukti, maka nampaklah kemampuan mu‟jīz (sesuatu yang melemahkan). Yang dimaksud dengan i‟jāz disini adalah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizat yang abadi, yaitu al-Qurān, dan kelemahan-kelemahan generasi-generasi sesuadah mereka. Dan mukjizat adalah sesuatu yang luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.
Yang dimaksud dengan i‟jāz al-Qurān adalah kekuatan, keunggulan, dan keistimewaan yang dimiliki al-Qurān yang menampakkan atau menetapkan kelemahan manusia secara individu atau kolektif untuk mendatangkan yang semisal dengan al-Qurān .
Mukjizat berbeda dengan IPTEK, seperti naik ke bulan, hal ini tidak merupakan sesuatu yang istimewa karena telah diobservasi (teliti) dan dipelajari terlebih dahulu, sedangkan mukjizat terjadi begitu saja. Adapun sebab-sebab munculnya kemukjizatan al-Qurān adalah sebagai berikut.
1. Adanya tantangan atau ajakan berlomba Rasulullah ﷺ telah meminta orang Arab menandingi al-Qurān dalam empat tahap, yaitu:
a. Menantang mereka dengan seluruh al-Qurān dalam uslub umum yang meliputi orang Arab sendiri maupun non Arab, baik dari kalangan manusia maupun jin, seperti dalam firman-Nya QS. al-Isrā‟ ayat 88:
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا
b. Menantang mereka dengan sepuluh surat saja al-Qurān, sebagimana dalam firman-Nya QS. Hūd ayat 13:
اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۗقُلْ فَأْتُوْا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهٖ مُفْتَرَيٰتٍ وَّادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
c. Menantang mereka dengan satu surat saja dari al-Qurān , sebagaimana dalam QS. Yūnus ayat 38:
اَمْ يَقُوْلُوْنَ افْتَرٰىهُ ۗ قُلْ فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّثْلِهٖ وَادْعُوْا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
dan QS. al-Baqarah ayat 23
وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
d. Menantang mereka dengan suatu pembicaraan yang menyerupai al-Qurān, berdasarkan firman Allah swt. QS. aṭ-Ṭūr ayat 34
فَلْيَأْتُوْا بِحَدِيْثٍ مِّثْلِهٖٓ اِنْ كَانُوْا صٰدِقِيْنَۗ
Ajakan berlomba atau bertanding dalam al-Qurān itu ada dua macam:
1. Secara umum, ditujukan kepada golongan filosof, intelektual, ulama, orang awam, orang Arab, orang non-Arab, dan semua manusia tanpa kecuali sebagaimana tersebut dalam QS. al-Isrā‟ ayat 88.
2. Secara khusus, ditujukan kepada orang Arab, khususnya orang-orang kafir Quraisy. Ajakan bertanding secara khusus ini terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Yang bersifat kulli (keseluruhan), yaitu ajakan bertanding dengan seluruh al-Qurān mengenai hukum-hukumnya, keindahannya, balaghahnya dan kejelasannya.
b. Yang bersifat juz‟i ( bagian), yaitu ajakan bertanding dengan semisal satu surat al-Qurān walaupun dari surat yang terpendek seperti al-kautsar.
2. Yang mendorong untuk menangkis tantangan itu masih ada, seperti Nabi masih hidup atau al-Qurān masih ada.
3. Yang menghalang-halangi sudah tidak ada (hilangnya segala rintangan).
Adapun syarat-syarat mukjizat Ilahi adalah sebagai berikut.
1. Tidak disanggupi pembuatannya oleh manusia (selain Allah).
2. Tidak sesuai dengan kebiasaan umum dan berlawanan dengan hukum alam.
3. Menjadi saksi daripada kerasulan utusan Allah.
4. Seruan disertai pengakuan Nabi yang diajak bertanding.
5. Tidak akan ada seorang pun yang dapat membuktikan dan menandingi dalam pertandingan tersebut.
Mukjizat hanya diberikan kepada Nabi-nabi untuk menguatkan kenabiannya dan kerasulannya, dan bahwa agama yang dibawanya bukanlah bikinannya sendiri tapi benar-benar dari Allah SWT. Kepada Nabi-nabi sebelum Muhammad ﷺ telah diberikan mukjizat yang bermacam-macam, seperti tongkat yang diberikan kepada Nabi Musa yang dapat menelan semua ular yang didatangkan tukang-tukang sihir Fir‟aun dan dapat membelah laut sehingga Nabi Musa dan kaumnya dapat menyelamatkan diri dari kejaran tentara Fir‟aun dengan menyeberangi laut yang telah terbelah dua dan akhirnya Fir‟aun bersama tentaranya karam di lautan, sebagaimana tersebut dalam QS. asy-Syu‟arā ayat 45 dan ayat 63-66. Juga mukjizat yang diberikan kepada Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati atas izin Allah swt. dan lain sebagainya sebagaimana tersebut dalam QS. Ali Imrān ayat 49.
Mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muḥammad dan Nabi-nabi sebelumnya, ada dua macam yaitu:
1. Ḥissi, yaitu mukjizat yang dapat dilihat oleh mata, didengar, dirasa dan ditangkap oleh panca indra. Mukjizat ini hanya diperuntukkan kepada manusia yang tak mampu menggunakan akal pikiran dan kecerdasannya untuk menangkap keluarbiasaan Allah.
2. Maknawi, yaitu mukjizat yang tak dapat dicapai dengan kekuatan panca indra semata tapi haru dicapai dengan kekuatan dan kecerdasan akal pikiran. Hanya orang-orang yang mempunyai akal sehat dan kecerdasan tinggi, mempunyai hati nurani serta berbudi luhur sajalah yang mampu menangkap dan memahami kebesaran mukjizat model ini.
Ada perbedaan antara mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muḥamad ﷺ dan yang diberikan kepada Nabi-nabi sebelumnya, dimana mukjizat yang diberikan kepada mereka bersifat ḥissi, temporal, lokal dan material; hanya diperuntukkan bagi kaumnya dan akan hilang, lenyap seiring dengan meninggalnya Nabi yang bersangkutan. Sedangkan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad mencakup keduanya bahkan yang maknawi lebih besar porsinya dibandingkan dengan yang hissi. Mukjizat Nabi Muḥammad yang berupa al-Qurān bersifat universal, kekal dan rasional. Hal ini disebabkan misi yang diembannya diperuntukkan untuk seluruh manusia sepanjang masa.
Adapun tujuan i‟jāzul Qur‟an adalah sebagai berikut.
1. Untuk membuktikan kerasulan Nabi Muhammad ﷺ
2. Untuk membuktikan bahwa kitab suci al-Qurān benar-benar wahyu dari Allah.
3. Untuk menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasa manusia.
4. Untuk menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa manusia.
B. Pendapat Ulama tentang Kemukjizatan Al-Qurān dan Kadar Kemukjizatannya
Para ulama berbeda pendapat tentang kemukjizatan al-Qurān, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Abu Ishak Ibrahim an-Nazham berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qurān adalah dengan cara aṣ-Ṣarfah (pemalingan). Maksudnya adalah bahwa Allah memalingkan orang-orang Arab untuk menentang al-Qurān padahal sebenarnya mereka mampu menghadapinya, maka pemalingan inilah yang luar biasa (mukjizat). Senada dengan pendapat tersebut, Murtadha dari kalangan syi‟ah berpendapat bahwa Allah telah mencabut dari mereka ilmu-ilmu yang diperlukan untuk menghadapi al-Qurān agar mereka tidak mampu membuat yang seperti al-Qurān . Pendapat ini ditolak dan batal oleh al-Qurān sendiri berdasarkan QS. al-Isrā‟ ayat 88.
2. Satu golongan ulama berpendapat bahwa al-Qurān itu mukjizat dengan balaghahnya yang mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya. Ini adalah pendapat ahli bahasa yang gemar akan bentuk-bentuk makna yang hidup dalam untaian kata-kata yang terjalin kokoh dan retorika yang menarik.
3. Sebagian mereka berpendapat, segi kemukjizatan al-Qurān itu karena ia mengandung badī‟ yang sangat unik dan berbeda dengan apa yang telah dikenal dalam perkataan orang Arab, seperti fasilah dan maqta‟.
4. Golongan lain berpendapat kemukjizatan al-Qurān itu terletak pada pemberitaannya tentang hal-hal ghaib yang akan datang yang tak dapat di ketahui kecuali dengan wahyu.
5. Satu golongan berpendapat, al-Qurān itu mukjizat karena ia mengandung bermacam-macam ilmu dan hikmah yang sangat dalam.
Ada tiga pendapat berkaitan dengan kadar kemukjizatan al-Qurān.
1. Golongan Mu‟tazilah berpendapat bahwa kemukjizatan itu berkaitan dengan dengan keseluruhan al-Qurān , bukan dengan sebagiannya, atau dengan setiap suratnya secara lengkap.
2. Sebagian ulama berpendapat bahwa sebagian kecil atau sebagian besar dari al-Qurān tanpa harus satu surat penuh juga merupakan mukjizat.
3. Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan al-Qurān itu cukup hanya dengan satu surat lengkap sekalipun pendek, atau dengan ukuran satu surat, baik satu ayat atau beberapa ayat.
Namun, bukan berarti kemukjizatan itu hanya terdapat pada kadar tertentu, sebab kita dapat menemukannya pula pada bunyi huruf-hurufnya dan alunan kata-katanya, sebagaimana kita mendapatkannya pada ayat-ayat dan surat-suratnya; al-Qurān adalah kalamullah. Ini saja sudah cukup, tegas Mannā‟ al-Qattān.
C. Segi-Segi Kemukjizatan al-Qurān
Mengenai segi-segi kemukjizatan al-Qurān , para ulama berbeda satu dengan yang lainnya. Namun, di sini akan dikemukakan pendapatnya Quraisy Shihab yang berpendapat bahwa segi-segi kemukjizatan al-Qurān ada tiga sebagai berikut.
1. Susunan redaksinya yang mencapai puncak tertinggi dari sastra bahasa Arab.
2. Kandungan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkannya.
Misalnya, perkawinan tumbuh-tumbuhan itu ada yang zati dan ada yang khalti. Yang pertama ialah tumbuh-tumbuhan yang bunganya telah mengandung organ jantan dan betina. Dan yang kedua ialah tumbuh-tumbuhan yang organ jantannya terpisah dari organ betina, seperti pohon kurma sehingga perkawinannya melalui perpindahan. Dan diantara sarana pemindahnya adalah angin. Penjelasan demikian terdapat dalam QS. al-Ḥijr ayat 22:
وَاَرْسَلْنَا الرِّيٰحَ لَوَاقِحَ فَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَسْقَيْنٰكُمُوْهُۚ وَمَآ اَنْتُمْ لَهٗ بِخٰزِنِيْنَ
Artinya: ”Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan)”.
3. Ramalan-ramalan yang diungkapkan, yang sebagian telah terbukti kebenarannya.
Contoh QS. ar-Rūm ayat 1-4 yang berbunyi:
الۤمّۤ ۚ, غُلِبَتِ الرُّوْمُۙ, فِيْٓ اَدْنَى الْاَرْضِ وَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ غَلَبِهِمْ سَيَغْلِبُوْنَۙ, فِيْ بِضْعِ سِنِيْنَ ەۗ لِلّٰهِ الْاَمْرُ مِنْ قَبْلُ وَمِنْۢ بَعْدُ ۗوَيَوْمَىِٕذٍ يَّفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَۙ
Dalam ayat tersebut Allah menyatakan setelah kerajaan Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel kalah, ia akan menang kembali. Pernyataan al-Qurān tersebut terbukti kebenarannya sembilan tahun kemudian.
D. Bukti Historis Kegagalan Menandingi Al-Qurān
Syekh Muhammad Abduh dalam kitabnya “Risalah Tauhid”, menerangkan bagaimana ketinggian dan kemajuan bahasa serta sastra Arab pada masa turunnya al-Qurān, yaitu al-Qurān diturunkan pada suatu masa dimana pada masa itu banyak sekali terdapat ahli-ahli sastra dan ahli-ahli pidato yang menguasai ilmu retorika dengan bagus. Kemudian ia berkata mengenai tantangan al-Qurān terhadap ahli-ahli sastra tersebut: “Benarlah bahwa al-Qurān itu suatu mukjizat. Telah berlalu masa yang panjang, telah silih berganti datangnya angkatan demi angkatan, tantangan al-Qurān tetap berlaku, tetapi tak seorang pun yang dapat menjawabnya…semua kembali dengan tangan hampa karena lemah dan tiada berdaya. Bukankah lahirnya kitab al-Qurān ini dibawa oleh seorang Nabi yang Ummi, suatu mukjizat terbesar yang dapat membuktikan bahwa ia bukan buatan manusia. Memang sebenarnyalah ia mukjizat untuk membuktikan kebenaran Nabi Muhammad yang terpancar dari ilmu Ilahi”.
Sejarah membuktikan bahwa belum ada, bahkan tidak ada yang bisa menandingi al-Qurān, seperti yang diungkapkan oleh Mannā‟ al-Qattān: “Sebenarnya mereka (orang-orang kafir Quraisy) telah menela‟ah ayat-ayat al-Qurān, membolak-baliknya dan mengujinya dengan metode yang mereka gunakan untuk menguntai puisi dan prosa, namun mereka tidak mendapatkan jalan untuk menirunya atau celah-celah untuk menghadapinya. Sebaliknya yang meluncur dari mulut mereka adalah kebenaran yang membuat mereka bisu secara spontan ketika ayat-ayat al-Qurān menggoncangkan hati mereka, seperti yang terjadi pada Walid bin Mughirah, Utbah bin Rabi‟ah dan sastrawan lainnya. Di saat mereka sudah tidak sanggup lagi berdaya upaya, mereka melemparkan kepada al-Qurān kata-kata yang membingungkan. Mereka mengatakan bahwa al-Qurān adalah sihir yang dipelajari, karya penyair gila atau dongengan bangsa purbakala. Dengan demikian terbuktilah kemukjizatan al-Qurān.
Salah satu contoh bisa dilihat pada peristiwa yang terjadi pada Ibnul Muqaffa. Peristiwa ini terjadi ketika sekelompok orang zindik dan atheis tidak senang melihat pengaruh al-Qurān terhadap masyarakat. Mereka menawarkan kepada Ibnul Muqaffa, seorang sastrawan besar dan penulis terkenal asal Persia agar bersedia membuat karya tulis semacam al-Qurān. Ibnul Muqaffa menerima tawaran tersebut dan ia berjanji akan menyelesaikan tugas itu dalam waktu satu tahun. Sebagai imbalannya mereka (orang zindik dan atheis) harus menanggung semua biayanya selama satu tahun itu. Setelah berjalan setengah tahun, kaum zindik dan atheis itu mendatangi Ibnul Muqaffa untuk mengetahui sampai sejauh mana hasil yang telah dicapai oleh sastrawan tersebut. Pada waktu memasuki kamar Ibnul Muqaffa mereka menemukan banyak sobekan-sobekan kertas yang telah ditulisi. Penulis terkenal ini telah mencurahkan segenap kemampuannya untuk menjawab tantangan al-Qurān tapi ia tidak berhasil bahkan menemui jalan buntu, akhirnya ia mengakui kegagalannya dan memutuskan perjanjian dengan mereka serta menyerah kalah.
Sumber : Kajian Ulumul ur’an oleh, Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA., DSA
18. Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
1. Pengertian
Tafsīr menurut bahasa berasal dari kata fasara yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata at-tafsīr dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisānul Arab dinyatakan: kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata at-tafsīr berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil atau pelik. Diantara kedua bentuk kata itu (al-fasr dan at-tafsīr), kata tafsīrlah yang paling banyak dipergunakan.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burḥān, tafsīr adalah ilmu untuk mengetahui kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi ﷺ dan penjelasan maknanya serta pengambilan hukum dan hikmah-hikmahnya.
2. Az-Zarqāni dalam kitabnya Manāḥil al-Irfān, tafsīr adalah ilmu yang membahasan tentang al-Qurān dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
3. Abu Hayyan menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsīr adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz al-Qurān, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya. Dari beberapa pengertian yang di kemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa tafsīr adalah usaha untuk memahami dan mempelajari isi kandungan al-Qurān yang merupakan sumber segala hikmah dan kemuliaan. Tujuan utama mempelajari tafsīr adalah untuk dapat berpegang teguh pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan yang hakiki.
2. Macam-Macam Tafsīr
Berdasarkan tinjauan ilmiah, tafsīr ada tiga macam adalah sebagai berikut.
a. Tafsīr Riwāyat, lazim juga disebut dengan tafsīr naql atau tafsīr ma‟tsūr.
Adalah tafsīr yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih, yakni menafsirkan al-Qurān dengan al-Qurān, al-Qurān dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, al-Qurān dengan perkataan (atsar) sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi‟in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.
Contoh tafsīr al-Qurān dengan al-Qurān : QS Al-Māidah : 1
اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ
Dijelaskan oleh firman Allah: QS Al-Māidah : 3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ
Contoh tafsīr al-Qurān dengan Sunnah: QS Al-Insyiqāq : 7 – 9
فَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِيَمِيْنِهٖۙ, فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَّسِيْرًاۙ, وَّيَنْقَلِبُ اِلٰٓى اَهْلِهٖ مَسْرُوْرًاۗ
Kata yang digaris bawahi diatas, dijelaskan oleh sabda Nabi ﷺ yang berbunyi:
ٛKedua macam tafsīr tersebut, yaitu penafsiran al-Qurān dengan al-Qurān dan penafsiran al-Qurān dengan Sunnah tidaklah diragukan lagi bahwa penafsiran tersebut adalah merupakan jenis tafsīr yang paling luhur dan tidak ragu lagi untuk menerimanya. Bentuk penfasiran pertama (al-Qurān dengan al-Qurān) karena Allah swt. lebih mengetahui maksudnya daripada yang lain-Nya. Sedangkan bentuk tafsīr kedua (al-Qurān dengan Sunnah), dimana ditegaskan bahwa Rasul berfungsi sebagai penegas dan penjelas al-Qurān : QS An-Nahl:44
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
karenanya seluruh yang disampaikan oleh Rasulullah baik berupa penjelasan maupun keterangan yang sanadnya shahih dan benar maka hal demikian adalah termasuk yang tidak diragukan lagi akan kebenarannya dan patut untuk dijadikan pegangan.
Mengenai tafsīr sahabat, tafsīr ini juga termasuk yang mu‟tamad (dapat dijadikan pegangan) dan dapat diterima. Al-Hakim berkata bahwa tafsīr sahabat yang menyaksikan wahyu dan turunnya al-Qurān, kedudukan hukumnya adalah marfu‟. Pengertiannya bahwa tafsīr tersebut mempunyai kedudukan sebagaimana kedudukan hadits Nabi yang silsilahnya sampai kepada Nabi. Karena itu tafsīr sahabat adalah termasuk ma‟tsur. Adapun tabi‟in kedudukan tafsīrnya ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa tafsīr tabi‟in itu termasuk tafsīr ma‟tsur karena sebagian besar pengambilannya secara umum dari sahabat. Sebagian ulama berpendapat bahwa tafsīr tabi‟in adalah termasuk tafsīr dengan ra‟yu (akal), dengan pengertian bahwa kedudukannya sama dengan kedudukan para mufassir lainnya. Mereka menafsirkan al-Qurān sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa arab, tidak berdasarkan pertimbangan dari atsar (hadits).
Penafsiran al-Qurān dengan ma‟tsur dari sahabat atau tabi‟in mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya sebagai berikut:
1. Campur baur antara yang shahih dengan yang tidak shahih serta banyak mengutip kata-kata yang dinisbatkan kepada sahabat atau tabi‟in dengan tidak mempunyai sandaran dan ketentuan, yang akan menimbulkan pencampur-adukkan antara yang hak dan yang batil.
2. Riwayat-riwayat tersebut ada yang dipengaruhi oleh cerita-cerita israiliyat dan khurafat yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah. Dan telah ada dalil yang menyatakan kesalahan cerita-cerita tersebut, hal ini dibawa masuk ke dalam kalangan umat Islam dari kelompok Islam yang dahulunya ahli kitab.
3. Di kalangan sahabat, ada golongan yang extrim. Mereka mengambil beberapa pendapat yang membuat-buat kebathilan yang dinisbatkan kepada sebagian sahabat. Misalnya kelompok syi‟ah yaitu yang fanatik kepada Ali, atau golongan pendukung Abbasiyah, mereka mengemukakan kata Ibnu Abbas padahal tidak benar Ibnu Abbas mengatakan demikian.
4. Musuh-musuh Islam dari orang-orang Zindik ada yang mengicuh sahabat dan tabi‟in sebagaimana mereka mengicuh Nabi ﷺ perihal sabdanya. Hal ini dimaksudkan untuk menghancurkan agama dengan jalan menghasut dan membuat-buat hadits.
Az-Zarqāni dalam kitabnya berkata: pendapat yang paling adil dalam hal ini adalah bahwa tafsīr dengan ma‟tsur itu ada dua macam, yaitu pertama, tafsīr yang dalil-dalilnya memenuhi persyaratan shahih dan diterima. Tafsīr yang demikian tidak layak untuk ditolak oleh siapapun, bahkan tafsīr tersebut merupakan sarana yang kuat untuk mengambil petunjuk dari al-Qurān. Kedua, tafsīr yang dalil/sumbernya tidak shahih karena beberapa faktor (seperti di sebut di atas) atau sebab lain. Tafsīr yang demikian harus di tolak dan tidak boleh di terima serta tidak patut untuk di pelajari.
Kitab-kitab tafsīr riwayat yang masyhur, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Jamī‟ul Bayān fi Tafsīril Qurān, karya Muḥammad Ibnu Jarir aṭ-Ṭābari (w. 310 H ), populer dengan nama Tafsīr aṭ-Ṭābari.
2. Baḥrul Ulūm, karya Naṣr bin Muḥammad as-Samarqandy (w. 373 H.), populer dengan nama Tafsīr as-Samarqandy.
3. Al-Kasyfu wa al-Bayān, karya Aḥmad bin Ibraḥim ats-Tsa‟labi an-Naisabury (w. 427 H.), populer dengan nama Tafsīr ats-Tsa‟labi.
4. Ma‟alimut Tanzil, karya al-Husain bin Mas‟ud al-Baghawy (w. 510 H.), populer dengan nama Tafsīr al-Baghawy.
5. Al-Muḥarrār al-Wajiz fi Tafsīril Kitab al-„Aziz, karya Abdul Ḥaq bin Ghālib al-Andalusy (w. 546 H.), populer dengan nama Tafsīr Ibnu „Athiyah.
6. Tafsīr al-Qurān al-„Aẓim, karya Ismail bin Umar ad-Dimasqy (w. 774 H.), populer dengan nama tafsīr Ibnu Katsīr.
7. Al-Jawāḥir al-Ḥasan fi Tafsīr al-Qurān, karya Abdurraḥman bin Muḥammad ats-Tsa‟laby (w. 876 H.), populer dengan nama Tafsīr al-Jawāhir.
8. Ad-Durul Mantsur fi at-Tafsīr bi al-Ma‟tsur, karya Jalāluddīn aṣ-Ṣuyūti (w. 911 H.), populer dengan nama Tafsīr aṣ-Ṣuyūti.
b. Tafsīr Dirāyah, lazimnya disebut tafsīr bi ar-ra‟yi (dengan akal).
Adalah tafsīr yang di dalam menjelaskan maknanya mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istimbat) yang didasarkan pada ra‟yu. Ra‟yu disini tidaklah dimaksud dengan hawa nafsu, atau menafsirkan al-Qurān dengan kata hati atau kehendaknya. Melainkan yang dimaksud dengan ra‟yu adalah ijtijad yang didasarkan pada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti serta sewajarnya diambil oleh orang yang hendak mendalami tafsīr al-Qurān atau mendalami pengertiannya.
Al-Qurṭubi berkata: “siapa yang menafsirkan al-Qurān berdasarkan imajinasinya (yang tepat menurut pendapatnya) tanpa berdasarkan kaidah-kaidah maka ia adalah orang yang keliru dan tercela, dia termasuk orang yang menjadi sasaran hadits, yang artinya: “siapa orangnya yang mendustakanku secara sengaja niscaya ia harus bersedia menempatkan diri di neraka”. Dan barangsiapa yang menafsirkan al-Qurān berdasarkan ra‟yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menempatkan diri di neraka”.
Berdasarkan pengertian di atas, tafsīr bi ar-ra‟yi terbagi menjadi dua, yaitu pertama, tafsīr mahmudah (terpuji), ialah tafsīr yang sesuai dengan tujuan syara‟, jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-Qurān. Barangsiapa yang menafsirkan al-Qurān menurut ra‟yunya atau ijtihadnya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut serta berpegang pada makna-makna al-Qurān maka penafsirannya dapat diambil serta patut dinamai dengan tafsīr mahmudah atau tafsīr masyru‟ (berdasarkan syari‟at). Kedua, tafsīr mazmumah (tercela), ialah bila al-Qurān di tafsīrkan dengan tanpa ilmu atau menurut kehendaknya dengan tidak mengetahui dasar-dasar bahasa dan syari‟at, atau Kalam Allah itu di tafsīrkan menurut pendapat yang salah dan sesat, atau mendalami Kalam Allah hanya berdasarkan pengetahuannya semata-mata.
Faktor-faktor yang harus dipenuhi dalam penafsiran bi ar-ra‟yi adalah sebagai berikut.
1. Dikutip dari Rasul dengan memperhatikan hadits-hadits yang dha‟if dan maudhu‟.
2. Mengambil dari pendapat sahabat dalam hal tafsīr karena kedudukan mereka adalah marfu‟ (sampai kepada Nabi).
3. Mengambil berdasarkan bahasa secara mutlak karena al-Qurān diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam bahasa Arab.
4. Pengambilan berdasarkan ucapan yang populer di kalangan orang Arab serta sesuai dengan ketentuan syara‟.
Seorang mufassir memerlukan beberapa macam ilmu pengetahuan sehingga ia benar-benar ahli di bidang tafsīr. Diantara ilmu-ilmu yang harus dipenuhi oleh seorang mufassir adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui bahasa Arab dan ketentuan-ketentuannya (ilmu nahwu, sharaf, etimologi).
2. Mengetahui ilmu balaghah (ma‟ani, bayan, badi‟).
3. Mengetahui ushul fiqh (tentang „ām, khāsh, mujmal, dan sebagainya).
4. Mengetahui asbāb al-nuzūl.
5. Mengetahui tentang nāsikh dan mansūkh.
6. Mengetahui ilmu qirā‟at.
7. Ilmu mauhibah (pembawaan).
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan menafsirkan al-Qurān dengan ra‟yu adalah sebagai berikut.
1. Tidak diperbolehkan menafsirkan al-Qurān dengan ra‟yu karena tafsīr ini harus bertitik tolak dari penyimakan, itulah pendapat sebagian ulama. Mereka beralasan sebagai berikut.:
a. Tafsīr dengan ra‟yu adalah membuat-buat (penafsiran) al-Qurān dengan tidak berdasarkan ilmu, karena itu tidak dibenarkan berdasarkan firman Allah QS. al-baqarah ayat 169:
اِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوْۤءِ وَالْفَحْشَاۤءِ وَاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
b. Sebuah hadith tentang ancaman terhadap orang yang menafsirkan dengan ra‟yu, yang artinya: “berhati-hatilah dalam mengambil haditsku kecuali benar-benar telah anda ketahuinya. Siapa yang mendustakan secara sengaja maka bersedialah ia bertempat di neraka. Dan barangsiapa menafsirkan al-Qurān menurut pendapatnya (ra‟yunya) maka hendaklah ia bersedia menempatkan diri di neraka pula”.
c. Firman Allah swt. QS. An-Naḥl: 44
بِالْبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِۗ وَاَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Tugas menjelaskan al-Qurān adalah dikaitkan kepada Rasul ﷺ karena itu dapatlah di pahami bahwa selain dari Rasul tidak ada hak sedikit pun untuk menjelaskan makna al-Qurān .
d. Para sahabat dan tabi‟in merasa berdosa menafsirkan al-Qurān dengan ra‟yunya, sehingga Abu Bakar as-Siddiq mengatakan: “Langit manakah yang akan menaungiku, dan bumi manakah yang akan melindungiku? Bila aku tafsīrkan al-Qurān menurut ra‟yuku atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul”.
2. Pendapat yang membolehkan penafsiran dengan ra‟yu, dengan syarat harus memenuhi persyaratan-persyaratan di atas. Ini adalah pendapat jumhur ulama, alasannya sebagai berikut.
a. Allah telah menganjurkan kita untuk memperhatikan dan mengikuti al-Qurān seperti dalam firman-Nya: QS. Ṣād : 29
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Dan firman Allah: QS. Muḥammad: 24
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا
Tadabbur dan tazakkur tidak akan bisa tanpa mendalami rahasia-rahasia al-Qurān dan berusaha keras dalam memahami artinya.
b. Allah swt. membagi manusia ke dalam dua klasifikasi yaitu kelompok awam dan kelompok ulama. Allah memerintahkan untuk mengembalikan segala persoalan kepada ulama yang bisa mengambil dasar hukum, firman-Nya: QS. An-Nisā‟ : 83
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا
Makna istimbath pada ayat tersebut adalah menggali makna-makna yang mendetail dengan penuh pemikiran. Langkah tersebut dapat dicapai dengan ijtihad dan menyelami rahasia-rahasia al-Qurān sebagaimana halnya seorang penyelam harus dapat menyelami dalamnya lautan guna mengeluarkan intan dan berlian.
c. Mereka berpendapat: “bila menafsirkan menurut ijtihad tidak dibenarkan maka ijtihad itu sendiri tidak diperbolehkan”, akibatnya hukum banyak yang terkatung-katung dan ini tidak karena seorang mujtahid dalam hukum syara‟ mendapat pahala baik benar maupun salah dalam ijtihadnya, selama ia mencurahkan segala kemampuannya dan membaktikan kesungguhannya untuk mencapai yang hak dan yang benar.
d. Para sahabat, mereka membaca al-Qurān dan ternyata mereka berbeda pendapat dalam cara penafsirannya. Dapat dimaklumi karena mereka tidak mendengar seluruh yang mereka ucapkan tentang penafsiran al-Qurān itu dari Nabi saw. lantaran Nabi sendiri tidak menjelaskan semuanya kepada mereka secara terperinci tetapi hanya yang penting-pentingnya saja dan tidak menjelaskan bagian yang mereka ketahui dengan akal dan ijtihadnya. Seandainya Rasul ﷺ menjelaskan kepada para sahabat semua arti yang terkandung niscaya tidak akan terjadi perbedaan penafsiran sesama mereka.
e. Nabi ﷺ mendo‟akan Ibnu Abbas dengan sabdanya: “Ya Allah berilah ia pengetahuan tentang agama dan ajarilah ia tentang ta‟wīl”. Bila yang di maksud dengan ta‟wīl di sini hanya terbatas pada penyimakan dan kutipan sebagaimana halnya al-Qurān niscaya tidak ada faedahnya dalam mengkhususkan do‟a untuk Ibnu Abbas. Dengan demikian, dinyatakan bahwa ta‟wīl adalah penafsiran dengan ra‟yu atau ijtihad.
Kitab-kitab tafsīr dirāyah yang masyhur, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Mafātih al-Ghāib, karya Muḥammad bin Umar bin Ḥusain ar-Rāzi (w. 606 H.), populer dengan nama Tafsīr ar-Rāzi.
2. Anwār at-Tanzil wa Asrār at-Ta‟wīl, karya Abdullah bin Umar al-Baiḍawy (w. 685 H.), populer dengan nama Tafsīr al-Baiḍawy.
3. Gharāib al-Qurān wa Raghāib al-Furqān, karya Niẓāmuddin Ḥasan Muḥammad an-Naisabury (w. 728 H.), populer dengan nama Tafsīr an-Naisabury.
4. Ruh al-Ma‟āni, karya Syiḥabuddin Muḥammad al-Alusy al-Baghdady (w. 1270 H.), populer dengan nama Tafsīr al-Alusy.
5. Tafsīr jalālain, karya jalāluddin al-Mahālly (w. 864 H.) dan jalāluddin aṣ-Ṣuyūti (w. 911 H), populer dengan nama Tafsīr al-Jalalain.
c. Tafsīr Isyārah, lazim disebut dengan tafsīr isyāri.
Adalah suatu tafsīr dimana mufassir berpendapat dengan makna lain tidak sebagaimana yang tersurat dalam al-Qurān , tetapi penafsiran tersebut tidak di ketahui oleh setiap insan kecuali mereka yang hatinya telah dibukakan dan disinari oleh Allah dan termasuk golongan orang-orang yang shahih yaitu mereka yang telah dikaruniai pemahaman dan pengertian dari Allah, sebagaimana difirmankan oleh Allah sehubungan dengan kisah Nabi Khidir dengan Nabi Musa a.s.: QS. Al-Kaḥfi; 65
فَوَجَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا
Tafsīr semacam ini tidak termasuk dalam ilmu hasil usaha/penemuan yang dapat dicapai dari pembahasan dan pemikiran tetapi termasuk ilmu laduniy, yaitu pemberian sebagai akibat dari ketaqwaan, keistiqamahan dan kebaikan seseorang sebagaimana firman Allah swt. Dalam QS al-Baqorah : 282
وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
Para ulama berselisih tentang tafsīr isyāri dan pendapat mereka tentang ini berbeda-beda. Ada yang membenarkannya dan ada yang tidak membenarkannya, ada yang menganggapnya sebagai kesempurnaan iman dan kebersihan kema‟rifatan, ada pula yang menganggap sebagai suatu penyelewengan dan penyesatan dari ajaran Allah SWT.
Mereka yang membolehkan tafsīr isyāri beralasan dengan hadits Bukhari dalam “shahihnya”, yang artinya: “diriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata: Umar mempersilahkanku bersama tokoh-tokoh pertempuran Badar. Diantara mereka ada yang berkata: kenapa engkau mempersilahkan anak kecil ini bersama kami padahal kami mempunyai beberapa orang anak yang sesuai dengannya? Umar menjawab: Ia adalah orang yang telah kau ketahui kepandaiannya. Pada suatu ketika aku dipanggil dan dimasukkan ke dalam kelompok mereka. Ibnu Abbas berkata: aku berkeyakinan bahwa Umar memanggilku semata-mata untuk diperkenalkan kepada mereka. Umar berkata: apakah pendapat kalian tentang firman Allah: اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ i kalangan mereka ada yang menjawab: kami disuruh memuji dan meminta ampun kepada Allah ketika mendapat pertolongan dan kemenangan. Sahabat yang lain bungkam dan tidak mengatakan apa-apa. Umar melempar pertanyaan kepadaku, begitukah pendapatmu Ibnu Abbas? Aku menjawab: ayat itu menunjukkan tentang ajal Rasulullah ﷺ dimana Allah memberitahukan kepadanya, Ia berfirman: اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ Itu adalah tanda-tanda tentang (dekatnya) ajalmu
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا
Umar menjawab: Aku tidak tahu pengertian ayat diatas sebelum engkau jelaskan”.
Pemahaman Ibnu Abbas tersebut tidak bisa di ketahui oleh sahabat-sahabat yang lain. Yang memahaminya hanyalah Umar dan Ibnu Abbas sendiri. Inilah bentuk tafsīr isyari yang diilhamkan Allah kepada makhluk-Nya yang Ia kehendaki untuk diperlihatkan kepada hamba-hamba lainnya.
Az-Zarkasyi dalam kitabnya al-Burḥān mengatakan: kata-kata golongan Sufi dalam menafsirkan al-Qurān itu bukanlah berarti tafsīr tetapi hanyalah merupakan ilustrasi yang mereka peroleh ketika membaca. Sebagaimana kata-kata mereka tentang firman Allah:
كاحي أ الَّي يي سُٔ الهفار
yang di maksud adalah “nafsu”. Mereka mengartikan bahwa „illat dari perintah itu adalah untuk mememerangi orang yang mengiringi kita yaitu karena faktor dekat, sedangkan yang terdekat dengan manusia adalah nafsunya.
Tafsīr isyāri ini tidak bisa di terima kecuali harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut.
a. Tidak bertolak belakang dengan susunan al-Qurān yang zhahir.
b. Tidak mengatakan bahwa (maksud yang sebenarnya) hanyalah isyari yang tersirat bukan yang tersurat.
c. Pena‟wilan tersebut harus lah tidak terlalu jauh, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan lafazh.
d. Tidak bertentangan dengan hukum syari‟at dan aqli.
e. Tidak membuat kacau kalangan masyarakat.
Kitab-kitab tafsīr isyari, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Tafsīr al-Qurān al-Karim, karya Sahl bin Abdullah at-Tustury, populer dengan nama tafsīr at-Tustury.
2. Haqāiq at-Tafsīr, karya Abu Abdir Raḥman as-Silmy, populer dengan nama tafsīr as-Silmy.
3. Al-Kasyfu wa al-Bayān, karya Aḥmad bin Ibrahim an-Naisabury, populer dengan nama tafsīr an-Naisabury.
4. Tafsīr Ibnu „Arabi, karya Muhyiddin bin „Arabi, populer dengan nama tafsīr Ibnu „Arabi.
5. Rūh al-Ma‟ani, karya Syihabuddin Muḥammad al-Alusy, populer dengan nama tafsīr al-Alusy.
B. Ta’wīl
1. Pengertian
Ta‟wīl menurut bahasa berasal dari kata “aul” yang artinya kembali ke asal. Sedangkan menurut istilah, menurut golongan Salaf, ta‟wīl mempunyai dua makna yatiu pertama, ta‟wīl dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataannya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Dan kalam itu kembali dan merujuk kepada makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang di maksud. Kalam ada dua macam yaitu Insya‟ dan Ikhbar. Salah satu yang termasuk insya‟ adalah amr. Maka ta‟wīl al-amr adalah esensi perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan ta‟wīl al-ikhbar adalah esensi dari apa yang diberitakan itu sendiri yang benar-benar terjadi.
Kedua, ta‟wīl dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Jadi yang dimaksud dengan ta‟wīl disini adalah tafsīr. Sedangkan ta‟wīl menurut golongan Muta‟akhkhirin adalah memalingkan makna lafaz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena tidak ada dalil yang menyertainya.
2. Perbedaan Tafsīr dengan Ta’wīl
a. Apabila kita berpendapat, ta‟wīl adalah menafsirkan perkataan dan menjelaskan maknanya, maka ta‟wīl dan tafsīr adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya. Termasuk pengertian ini adalah do‟a Rasulullah untuk Ibnu Abbas: “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta‟wīl”.
b. Apabila kita berpendapat, ta‟wīl adalah esensi yang dimaksud dari suatu perkataan, maka ta‟wīl dari talab (tuntutan) adalah esensi perbuatan yang dituntut itu sendiri dan ta‟wīl dari khabar adalah esensi sesuatu yang diberitakan. Atas dasar ini maka perbedaan antara tafsīr dengan ta‟wīl cukup besar; sebab tafsīr merupakan syarah dan penjelasan bagi suatu perkataan dan penjelasan ini berada dalam pikiran dengan cara memahaminya dan dalam lisan dengan ungkapan yang menunjukkannya. Sedang ta‟wīl adalah esensi sesuatu yang berada dalam realita (bukan dalam pikiran), sebagai contoh jika dikatakan: matahari telah terbit, maka ta‟wīl ucapan ini adalah terbitnya matahari itu sendiri.
c. Dikatakan, tafsīr adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalam Sunnah yang shahih karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedang ta‟wīl adalah apa yang disimpulkan para ulama. Karena itu sebagian ulama mengatakan, tafsīr adalah apa yang berhubungan dengan riwayat, sedang ta‟wīl adalah apa yang berhubungan dengan dirayah.
d. Dikatakan pula, tafsīr lebih banyak dipergunakan dalam (menerangkan) lafaz dan mufradat (kosa kata), sedang ta‟wīl lebih banyak dipakai dalam (menjelaskan) makna dan susunan kalimat.
C. Tarjamah
1. Pengertian
Tarjamah adalah memindahkan al-Qurān pada bahasa lain yang bukan bahasa Arab dan mencetak terjemah ini ke dalam beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa Arab sehingga ia bisa memahami maksud Kitab Allah swt. dengan perantara terjemah ini.
2. Macam-Macamnya
Tarjamah ini ada dua yaitu pertama, Terjemah harfiyyah, adalah menterjemahkan al-Qurān kepada bahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan lain-lain mengenai lafazh, kosa kata, jumlah dan susunannya dengan terjemahan yang sesuai dengan bahasa aslinya. Kedua, Terjemah tafsīriyyah (ma‟nawiyah), adalah menterjemahkan arti ayat-ayat al-Qurān dimana si penterjemah sama sekali tidak terikat dengan lafazhnya, tetapi yang menjadi perhatiannya adalah arti al-Qurān di terjemahkan dengan lafaẓ-lafaẓ yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat. Penterjemah hanya berpegang pada bahasa asal lalu memahaminya kemudian dituangkan ke dalam bentuk bahasa lain dan arti ini sesuai dengan maksud pemakai bahasa asal tanpa memaksakan diri membahas dan meneliti setiap suku kata atau lafazh.
3. Syarat-syaratnya
Baik terjemahan harfiyyah maupun terjemahan tafsīriyyah, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Penterjemah hendaknya mengetahui dua bahasa (bahasa asli dan bahasa terjemah).
b. Mendalami dan menguasai uslub-uslub dan keistimewaan-keistimewaan bahasa yang hendak ia terjemahkan.
c. Hendaknya shighoh (bentuk) terjemah itu benar, dimana mungkin dituangkan kembali ke dalam bahasa aslinya.
d. Terjemah itu bisa memenuhi semua arti dan maksud bahasa asli dengan lengkap dan sempurna.
Sedang untuk terjemahan harfiyyah, disamping syarat-syarat tersebut diatas di syaratkan pula dua syarat berikut ini:
a. Adanya kosa kata-kosa kata yang sempurna dalam bahasa terjemah sama dengan kosa kata-kosa kata bahasa asli.
b. Harus adanya persesuaian kedua bahasa mengenai kata ganti dan kalimat penghubung yang menghubungkan antara satu jumlah dengan jumlah yang lain untuk menyusun kalimat.
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bagi kita bahwa terjemahan harfiyyah tidak boleh untuk menerjemahkan al-Qurān karena beberapa faktor sebagai berikut.
a. Bahwasanya tidak boleh menulis al-Qurān bukan dengan huruf-huruf bahasa Arab, dimaksudkan agar tidak menjadi penyalahgunaan dan perubahan arti.
b. Bahasa-bahasa yang bukan bahasa Arab didalamnya tidak terdapat lafaẓ-lafaẓ , kosa kata dan kata ganti yang bisa menduduki lafaẓ-lafaẓ bahasa Arab.
c. Meringkas lafaẓ-lafaẓ bahasa Arab, besar kemungkinan menimbulkan kerusakan arti yang menyebabkan cacat dalam redaksi dan susunan.
Sedangkan menterjemahkan al-Qurān dengan makna asal memenuhi syarat-syarat tersebut di atas itu diperbolehkan. Dan terjemahan semacam ini tidak boleh dinamakan al-Qurān tetapi dinamakan “Tafsīr al-Qurān”, sebab Allah menganggap kita beribadah apabila kita mengucapkan lafaẓ-lafaẓ al-Qurān, begitu pula sebaliknya kita tidak bisa dianggap ibadah jika kita berkata bukan dengan lafaẓ-lafaẓ al-Qurān .
Terjemah disini sebenarnya bukan terjemah al-Qurān tertapi merupakan terjemahan mengenai arti-arti al-Qurān atau terjemah tafsīr al-Qurān. Allah telah menurunkan kitab-Nya kepada seluruh makhluk untuk menjadi sumber petunjuk, bimbingan dan kebahagiaan bagi mereka. Maka tidak ada seorang pun yang boleh melarang kita untuk memindahkan arti-arti al-Qurān kepada bahasa-bahasa lain yang tidak mengerti bahasa Arab, agar mereka bisa memanfaatkan sinar al-Qurān dan bisa mengambil petunjuk dan bimbingannya. Ini jelas merupakan salah satu tujuan dari al-Qurān . Allah berfirman: artinya: “Sesungguhnya al-Qurān ini memberi petunjuk pada jalan yang lurus”.
Menterjemahkan al-Qurān dengan arti ini jelas dibolehkan oleh ulama bahkan diwajibkan kepada seluruh orang Islam agar mereka bisa menyampaikan dakwah Allah kepada manusia, serta membawa hidayah al-Qurān kepada mereka. Dan dengan tidak memakai terjemah seperti ini manusia tidak akan bisa mengetahui kebesaran syari‟at, kiendahan agama dan keelokan al-Qurān itu sendiri. Allah senantiasa memfirmankan kebenaran dan menunjukkan jalan yang lurus.
Sumber : Kajian Ulumul ur’an oleh, Dr. H. Subhan Abdullah Acim, MA., DSA