Definisi Bid’ah dan beberapa contohnya
Pertanyaan:
Apa definisi bid’ah dan apa saja contoh bid’ah? Mohon penjelasannya.
Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, ash-shalatu was salamu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, wa ‘ala alihi was shahbihi ajma’in, amma ba’du.
Bid’ah secara bahasa Arab artinya sesuatu yang baru yang belum ada sebelumnya. Dalam kitab Maqayis al-Lughah disebutkan:
الباء والدال والعين أصلان لشيئين:أحدهما: ابتداء الشيء وصنعه لا عن مثال سابق مثال، والله بديع السموات والأرض.الثاني: الانقطاع والكلال كقولهم: أبدعت الراحلة إذا كلت وعطبت
“Terdiri dari huruf ب dan د dan ع asalnya menunjukkan dua makna: Pertama, memulai sesuatu atau membuatnya sementara belum ada hal yang semisal itu sebelumnya. sebagaimana ayat:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah menciptakan langit dan bumi (yang sebelumnya tidak ada).” (QS. al-Baqarah: 117)
Kedua, keterputusan atau berhenti karena lelah. Sebagaimana ungkapan أبدعت الراحلة إذا كلت وعطبت (tunggangan itu berhenti ketika lelah atau rusak).” (Maqayis al-Lughah, 1/209)
Dalam kitab Lisanul ‘Arab (9/351) disebutkan:
بدع الشيء يبدعه بَدْعًا وابتدعه: أنشأه وبدأه، وبدع الركيّة: استنبطها وأحدثها. والبدعة: الحدث، وما ابتدع من الدين بعد الإكمال. ابن السكيت: البدعة كلّ محدثة
“Bada’asy syai’, yabda’uhu, bad’an, wab tada’ahu artinya menumbuhkan atau memulai sesuatu. Badda‘ar rakiyyah, artinya menggali sumur atau membuatnya. Al-Bid‘ah artinya hal yang baru, atau (secara istilah, pent.) segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama setelah sempurnanya. Ibnu Sukait berkata, al-bid’ah artinya segala sesuatu yang baru.”
Maka secara bahasa, semua yang baru yang tidak ada sebelumnya disebut bid’ah. Contohnya seperti benda-benda modern semisal handphone, internet, pesawat terbang, mobil, sepeda motor, kereta api, dan semisalnya. Namun bukan ini yang dibahas dalam bahasan bid’ah dalam syariat. Benda-benda tersebut hukum asalnya boleh digunakan dan boleh dibuat.
Adapun bid’ah dalam bahasan syariat atau definisi bid’ah secara istilah syar’i, adalah semua bentuk cara beragama yang tidak ada contohnya dan tidak ada tuntunannya dari syariat. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam asy-Syathibi rahimahullah (wafat 790 H):
طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية، يقصَد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه
“Bid’ah adalah sebuah tata cara beragama yang diada-adakan, menyerupai syariat, dilakukan dengan maksud berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah subhanahu.” (Al-I’tisham, 1/37)
Ibnu Rajab rahimahullah (wafat 795 H) juga menjelaskan:
والمراد بالبدعة ما أحدِث مما لا أصل له في الشريعة يدلّ عليه، وأما ما كان له أصل من الشرع يدلّ عليه فليس ببدعة شرعًا وإن كان بدعة لغة
“Makna bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak ada landasan dalil dari syari’at. Sedangkan segala sesuatu yang memiliki landasan dalil dari syari’at, ia bukanlah bid’ah secara syar’i walaupun kadang termasuk bid’ah secara bahasa.” (Jami’ al-‘Ulum Wal Hikam, 265)
Imam as-Suyuthi rahimahullah (wafat 911 H) juga berkata:
البدعة عبارة عن فعلةٍ تصادم الشريعة بالمخالفة أو توجب التعاطي عليها بزيادة أو نقصان
“Bid’ah adalah sebuah istilah untuk perbuatan yang menentang syari’at dengan menyelisihinya atau mengutak-atik syari’at dengan menambah-nambah atau mengurangi.” (Al-Amru Bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, 88)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H) juga menjelaskan:
البدعة في الدين هي ما لم يشرعه الله ورسوله، وهو ما لم يأمر به أمر إيجاب ولا استحباب، فأما ما أمر به أمر إيجاب أو استحباب وعلم الأمر به بالأدلة الشرعية فهو من الدين الذي شرعه الله، وإن تنازع أولو الأمر في بعض ذلك، وسواء كان هذا مفعولاً على عهد النبي صلى الله عليه وسلم أو لم يكن
“Bid’ah dalam agama adalah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu perkara agama yang tidak diperintahkan dengan pewajiban atau penganjuran. Sedangkan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya baik dengan bentuk pewajiban atau penganjuran dan itu diketahui dari dalil-dalil syar’i, maka yang demikian merupakan bagian dari agama yang disyariatkan oleh Allah. Walaupun diperselisihkan hukumnya setelah itu, baik pernah dilakukan di masa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ataupun belum pernah.” (Majmu’ al-Fatawa, 4/ 107-108)
Inilah bid’ah yang dilarang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Allah ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan ajaran agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. asy-Syura: 21)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap memulai khutbah biasanya beliau mengucapkan,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)
Adapun contoh-contoh bid’ah, Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Kitabut Tauhid (hal. 121-127) memberikan beberapa contoh kebid’ahan yang banyak tersebar di tengah kaum muslimin di masa ini, di antaranya:
- Peringatan Maulid Nabi
- Tabarruk (ngalap berkah) dengan tempat-tempat keramat, atau peninggalan orang shalih atau kuburan
- Melafalkan niat dalam ibadah
- Dzikir jama’i (bersama-sama) setelah shalat
- Meminta orang-orang untuk membaca al-Fatihah di acara-acara atau mengirimkannya untuk orang mati
- Mengadakan acara makan-makan untuk memperingati orang yang meninggal
- Perayaan Isra Mi’raj
- Perayaan tahun baru Hijriyah
- Dzikir-dzikir dengan tata cara tertentu ala kaum Sufi
- Puasa dan shalat di hari Nishfu Sya’ban
- Membangun kuburan dan menjadikannya sebagai tempat ibadah
- Ziarah kubur untuk tabarruk dan tawassul
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan juga menjelaskan: “Bid’ah dalam agama dibagi menjadi dua:
Pertama, bid’ah qauliyah i’tiqadiyah. Seperti bid’ahnya keyakinan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhah, dan keyakinan sekte-sekte sesat lainnya.
Kedua, bid’ah fil ibadah (bid’ah dalam ibadah). Yaitu menyembah Allah ta’ala dengan ibadah-ibadah yang tidak disyariatkan oleh Allah. Disebut juga dengan bid’ah amaliyah.
Bid’ah jenis ini ada 4 macam:
1. Bid’ah yang terjadi pada ashlul ibadah (pokok ibadah). Yaitu dengan mengerjakan ibadah yang tidak ada asalnya sama sekali dari syariat. Seperti membuat shalat yang baru atau puasa yang baru atau hari raya yang baru seperti hari perayaan Maulid Nabi, yang sama sekali tidak ada asalnya dari syariat.
2. Bid’ah yang berupa penambahan pada ibadah yang disyariatkan. Seperti jika ditambahkan rakaat yang kelima pada shalat dzuhur atau ashar, dengan sengaja bukan karena lupa.
3. Bid’ah yang berupa membuat tata cara baru dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu mengerjakan ibadah dengan tata cara yang tidak disyariatkan. Contohnya seperti berdzikir dengan dzikir-dzikir yang masyru’ namun dilakukan dengan berjama’ah (bersama-sama) dan satu suara. Contoh lainnya seperti bersengaja menyusahkan diri dalam ibadah sampai keluar dari batas tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Bid’ah yang berupa mengkhususkan satu waktu tertentu untuk beribadah yang disyariatkan namun penentuan waktunya tersebut tidak dikhususkan oleh syariat. Seperti mengkhususkan hari Nisfu Sya’ban untuk puasa dan shalat. Puasa dan shalat pada asalnya disyariatkan, namun ketika dikhususkan pada suatu waktu tertentu ini membutuhkan dalil.” (Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqad, hal. 375)
Bid’ah yang disebutkan pada nomor 1 disebut juga dengan bid’ah haqiqiyah. Sedangkan yang disebutkan pada nomor 2 sampai 4, disebutkan juga dengan bid’ah idhafiyah.
Semoga Allah ta’ala menjauhkan kita semua dari segala bentuk kebid’ahan dan menjadikan kita istiqomah di atas tuntunan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin, walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
Dijawab oleh Ustadz Yulian Purnama, S.Kom.
Referensi: https://konsultasisyariah.com/39462-definisi-bidah-dan-beberapa-contohnya.html