Paduan Praktis Zakat Barang Dangangan
Daftar Isi :
- Hukum Zakat Perdagangan
- Syarat-syarat dan Ketentuan Zakat pada Barang-barang Perdagangan
- Kapan dihitung Nishab pada harta Perdagangan
- Bagaimana menghitung dan mengeluarkan Zakat Harta Perdagangan ?
- Apa Zakat barang perdagangan dikeluarkan dalam bentuk barang dagangan atau harganya saja
- Zakat Kepada Saudara Perokok
- Zakat Kepada Perempuan Fakir
- Zakat Peralatan Dan Mobil Yang Dijual Dengan Angsuran
- Apakah Hutang Menghalangi Kewajiban Zakat?
Zakat Perdagangan atau Perniagaan ialah zakat yang dikeluarkan atas kepemilikan harta apa saja selain emas dan perak berupa barang, properti, berbagai jenis hewan, tanaman, pakaian, perhiasan dan selainnya yang dipersiapkan untuk diperdagangkan, baik secara perorangan maupun perserikatan (seperti CV, PT, Koperasi dan sebagainya).
Sebagian Ulama mendefenisikannya sebagai segala sesuatu yang dipersiapkan untuk diperjualbelikan dengan tujuan memperoleh keuntungan.
1. HUKUM ZAKAT PERDAGANGAN
Para Ulama berselisih pendapat tentang hukum zakat barang perdagangan dalam dua pendapat:
Pendapat Pertama : Wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama. Sebagian mereka mengatakan bahwa hal ini adalah ijma’ (konsensus) para sahabat dan tabi’in.
Mereka melandasi pendapatnya dengan dalil-dalil dari al-Qur’ân, as-Sunnah, atsar para sahabat, tabi’in serta qiyâs.
A. Dalil Dari Al-Qur’ân Yaitu Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh ) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.” [al-Baqarah/2:267]
Imam al-Bukhâri telah membuat bab khusus tentang hal ini dalam kitab Zakat dalam Shahih-nya, yaitu: Bab Shadaqatu al-Kasbi wa at-Tijarati (bab zakat usaha dan perdagangan).
Firman Allâh Azza wa Jalla , “Dari hasil usahamu,” maknanya ialah perdagangan.[1]
B. Dalil Dari As-Sunnah yaitu hadits Samurah bin Jundab Radhiyallahu anhu , ia berkata: “Dahulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kami persiapkan untuk diperjual-belikan.”[2]
Dan hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu secara marfu’:
فِى الإِبِلِ صَدَقَتُهَا ، وَفِى الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِى الْبَزِّ صَدَقَتُهُ
Pada onta ada zakatnya, dan pada kambing ada zakatnya, dan pada pakaian ada zakatnya. [3]
Kata al-Bazz (di dalam hadits di atas) artinya pakaian, termasuk didalamnya kain, permadani, bejana dan selainnya. Benda-benda ini jika dipergunakan untuk kepentingan pribadi, maka tidak ada zakatnya tanpa ada perbedaan pendapat diantara para Ulama. Dari sini menjadi jelaslah bagi kita, bahwa yang dimaksud ialah jika benda-benda tersebut dijadikan obyek bisnis.
Hanya saja kedua hadits tersebut dha’if (lemah). Tetapi masih bisa berdalil tentang wajibnya zakat barang perdagangan dengan memasukkannya ke dalam keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِى فُقَرَائِهِمْ
Beritahukan kepada mereka, bahwa Allâh mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari (harta-harta) orang-orang kaya diantara mereka…”.[4]
Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu tentang penolakan Khâlid bin Walid Radhiyallahu anhu membayar zakat, dan orang-orang (yakni para sahabat) mengadukannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا ، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Adapun Khâlid, sesungguhnya kalian telah menzhaliminya. Dia menahan pakaian perangnya dan mempersiapkannya untuk perang fi sabilillah…”.[5]
Seolah-olah mereka menyangka bahwa barang-barang itu dipersiapkan untuk perdagangan, sehingga mereka bersikukuh untuk mengambil zakat dari hasil penjualannya. Lalu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada mereka bahwa tidak ada zakat pada harta yang ditahannya itu.[6]
C. Dalil Dari Atsar Para Sahabat
Diriwayatkan dari Ibnu Abidin al-Qari rahimahullah , ia berkata, “Dahulu aku bekerja di Baitul Mal pada masa (pemerintahan) Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu . Tatkala dia mengeluarkan pemberiannya, dia mengumpulkan harta-harta para pedagang dan menghitungnya, baik yang hadir maupun yang tidak hadir, kemudian mengambil zakat dari pemilik harta yang hadir dan tidak hadir.”[7]
Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , ia berkata, “Tidak ada zakat pada barang-barang kecuali jika dipersiapkan untuk diperdagangkan.”[8]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Tidak mengapa menahan barang hingga dijual, dan zakat wajib padanya.”[9]
Tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menyelisihi perkataan Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , putranya dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhum. Bahkan hal ini terus diamalkan dan difatwakan pada masa tabi’in dan pada zaman Umar bin Abdul Aziz rahimahullah. Demikian pula para Ulama fiqih di masa tabi’in dan orang-orang yang datang sesudah mereka telah bersepakat tentang wajibnya zakat pada barang-barang perdagangan.
Pendapat Kedua: Tidak Wajib zakat pada barang-barang perdagangan. Ini adalah madzhab Zhâhiriyah dan orang-orang yang mengikuti mereka seperti imam Syaukani, Shiddiq Hasan Khan, dan syaikh al-Albâni. Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya, dalil dari hadits:
1. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِى عَبْدِهِ وَلاَ فَرَسِهِ صَدَقَةٌ
Tidak ada zakat atas seorang Muslim pada budak dan kuda tunggangannya.[10]
Hadits yang dijadikan hujjah bagi pendapat kedua ini telah dijawab oleh mayoritas Ulama (penganut pendapat pertama), bahwa yang ditiadakan dalam hadits di atas yaitu kewajiban zakat dari budak yang biasa membantu dan kuda yang biasa ditungganginya. Keduanya merupakan kebutuhan yang tidak terkena beban zakat, menurut ijma’ para Ulama.
2. Hadits Qais bin Abu Gharzah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui kami, ketika kami menjual budak yang kami namakan as-Samasirah, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِنَّ ْبَيْعَكم يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلِفُ فَشُوبُوهُ بِالصَّدَقَةِ
Wahai para pedagang, sesungguhnya penjualan kalian ini tercampur oleh perkara sia-sia dan sumpah, maka tutupilah dengan sedekah (zakat) atau dengan sesuatu dari sedekah. [11]
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Ini adalah sedekah yang difardhukan tanpa ditentukan, tetapi yang mereka keluarkan dengan kerelaan hati dan menjadi kafarat (penghapus kesalahan) bagi semua yang mengotori jual-beli berupa hal-hal yang tidak sah seperti kata-kata kotor dan sumpah.” Dan berbagai dalil atau argument lainnya yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (V/233 dan sesudahnya).
Itulah dua pendapat tentang hukum zakat perniagaan ini. Setelah kita paparkan kedua pendapat di atas beserta dalilnya masing-masing, maka yang nampak rajih (kuat dan benar) adalah pendapat pertama, yakni pendapat mayoritas Ulama yang menetapkan wajibnya mengeluarkan zakat harta perdagangan.” wallahu a’lam bish-showab.
Kembali ke menu/atas
2. SYARAT-SYARAT DAN KETENTUAN ZAKAT PADA BARANG-BARANG PERDAGANGAN
Barang-barang yang jadi obyek bisnis ini tidak termasuk barang yang asalnya wajib dizakati, seperti binatang ternak, emas, perak, dan sejenisnya. Karena menurut ijma’ para Ulama, dua macam kewajiban zakat tidak bisa berkumpul pada satu barang. Tetapi ia wajib mengeluarkan zakat barang-barang perdagangan itu –berdasarkan pendapat yang rajih-, karena zakat benda lebih kuat dalilnya daripada zakat perdagangan, karena telah terjadi ijma’ (konsensus para ulama) atas hal itu. Barangsiapa memperdagangkan barang-barang di bawah nishob benda-benda tersebut , maka ia harus mengeluarkan zakat perniagaan.[12]
Mencapai nishab, yaitu seukuran nishab uang (atau sama dengan nilai 85 gram emas murni).
Barang-barang tersebut telah berputar selama satu tahun Hijriyyah.
Kewajiban zakat ini dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.
Pada badan usaha yang berbentuk serikat (kerjasama), maka jika semua anggota serikat tersebut beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang berserikat. Tetapi jika anggota serikat terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota serikat Muslim saja (apabila jumlahnya telah mencapai nishab).
Kembali ke menu/atas
3. KAPAN DIHITUNG NISHAB PADA HARTA PERDAGANGAN
Berkenaan dengan waktu perhitungan nishab harta perdagangan ada tiga pendapat :
Pertama : Nishab dihitung pada akhir haul (ini pendapat imam Mâlik dan imam asy-Syâfi’i).
Kedua : Nishab dihitung sepanjang haul (putaran satu tahun hijriyyah), dengan pertimbangan sekiranya harta berkurang dari nishabnya sesaat saja, maka terputus haul itu (ini madzhab mayoritas ulama).
Ketiga : Nishab dihitung pada awal haul dan di akhirnya, bukan di tengahnya (madzhab Abu Hanîfah).
Kembali ke menu/atas
4. BAGAIMANA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT HARTA PERDAGANGAN ?
Jika telah tiba waktu mengeluarkan zakat, maka wajib bagi pedagang untuk mengumpulkan dan mengkalkulasi hartanya. Harta yang wajib dikalkulasi ini meliputi :
Modal usaha, keuntungan, tabungan (harta dan barang simpanan) dan harga barang-barang dagangannya.
Piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi.
Ia menghitung harga barang-barang dagangannya lalu ditambahkan dengan uang yang ada di tangannya dan piutang yang masih ada harapan dan masih ada kemungkinan akan dilunasi, lalu dikurangi dengan utang-utangnya. Kemudian dari nominal itu, ia mengeluarkan sebanyak dua setengah persen (2,5 %) berdasarkan harga penjualan ketika zakatnya hendak ditunaikan, bukan berdasarkan harga belinya.
Inilah pendapat mayoritas Ulama fiqih dan disepakati oleh imam Mâlik rahimahullah.
Berikut ini kami cantumkan rumus sederhana perhitungan zakat barang-barang perdagangan.
BESAR ZAKAT = [(Modal diputar + Keuntungan + Piutang yang dapat dicairkan) – (Hutang + Kerugian)] x 2.5%
Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 Dinar (setara dengan 85 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas murni (asumsi jika per-gram Rp. 550.000,- = Rp Rp.46.750.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %.
Contohnya : Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 2012 dengan keadaan sbb :
• Meubel dan kusen yang belum terjual seharga Rp. 250.000.000 (Dua ratus lima puluh juta rupiah)
• Uang tunai Rp 50.000.000 (Lima puluh juta rupiah)
• Piutang Rp. 27.000.000 (Dua puluh tujuh juta rupiah)
• Jumlah Rp 327.000.000 (Tiga Ratus dua puluh tujuh juta rupiah)
• Utang Rp. 17.000.000 (Tujuh belas juta rupiah)
• Saldo Rp 310.000.000 (Tiga ratus sepuluh juta rupiah)
• Besar zakat = 2,5 % x Rp 310.000.000,- = Rp. 7.750.000,- (Tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Inilah jumlah zakat barang dagangan yang harus dikeluarkan.
Catatan: Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang).
Kembali ke menu/atas
5. APA ZAKAT BARANG PERDAGANGAN DIKELUARKAN DALAM BENTUK BARANG DAGANGAN ATAU HARGANYA SAJA ?
Dalam masalah ini ada tiga pendapat Ulama :
Pertama : Wajib mengeluarkannya dalam bentuk harganya (uang), dan tidak boleh mengeluarkan barangnya, karena nishabnya dihitung berdasarkan harga barang. Ini pendapat mayoritas Ulama.
Kedua : Seorang pedagang diberi plihan antara mengeluarkan barang atau harganya (uang). Ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan asy-Syâfi’i –pada salah satu pendapatnya-.[13]
Ketiga : Memberikan rincian dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan orang yang akan menerima zakat. Ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.[14]
Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat harta perdagangan serta tata cara menghitung dan mengeluarkannya. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya, amiin. Wallahu Ta’ala A’lam Bish-Showab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsir ath-Thabari (V/555), Ahkâmul Qur’an karya Ibnu al-‘Arabi (I/235), dan selain keduanya
[2]. HR. Abu Daud no.1562, al-Baihaqi I/97, dan ad-Daruquthni , dan selainnya dengan sanad dha’if. Lihat Irwâ’ al-Ghalîl karya Syaikh al-Albâni no.827
[3]. HR. Ahmad dalam al-Musnad V/179 no.7848, al-Baihaqi IV/147 no.7389, dan ad-Daruquthni II/101. Lihat Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah karya syaikh al-Albâni III/177 no.1178
[4]. HR. al-Bukhâri II/505 no.1331, dan Muslim I/50 no.29.
[5]. HR. al-Bukhâri II/534 no.1399, dan Muslim II/676 no.983.
[6]. Lihat Fathul Bâri III/392. al-Hâfizh Ibnu Hajar t berkata, “Perkara ini membutuhkan penukilan khusus sehingga dapat dijadikan hujjah.”
[7]. al-Amwâl, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dan al-Muhalla. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm
[8]. Sanadnya shahih. Diriwayatkan oleh imam asy-Syâfi’i dalam kitab al-Umm II/68, Abdurrazzaq, IV/97, dan al-Baihaqi IV/147, dengan sanad shahih
[9]. al-Amwâl, hlm.426, Ibnu Hazm dalam al-Muhalla V/234
[10]. HR. al-Bukhâri II/532 no.1395, dan Muslim II/675 no. 982.
[11]. HR. Ahmad dalam al-Musnad IV/6 no.16184, an-Nasai VII/247 no.4463, Abu Daud II/262 no.3326, dan Ibnu Mâjah II/726 no.2145, dan selainnya.
[12]. Lihat al-Majmû’ karya imam an-Nawawi VI/50, dan al-Mughni karya Ibnu Qudâmah III/34.
[13]. Lihat al-Badâ’i II/21, dan al-Mughni karya Ibnu Qudâmah III/31.
[14]. Lihat Majmû’ al-Fatâwâ XXV/80.
Referensi : https://almanhaj.or.id/3683-panduan-praktis-zakat-barang-perdagangan.html
Kembali ke menu/atas
6. Zakat Kepada Saudara Perokok
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang saudara tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya namun ia sendiri termasuk perokok berat sehingga setengah kebutuhan hidupnya habis oleh biaya rokok, bolehkah ia diberi hasil zakat harta dan dibayarkan hutangnya.?
Jawaban.
Tak diragukan bahwa merokok itu haram. Orang yang membiasakan merokok, berarti ia senantiasa berbuat maksiat. Terbiasa dengan dosa-dosa kecil maka lambat laun akan terjerumus berbuat dosa besar. Karena itu, kami sarankan kepada saudara-saudaraku yang suka merokok hendaklah taubat kepada Allah dengan cara menjauhinya agar badan sehat dan harta hemat, sebab jelas sekali merokok itu dapat merusak kesehatan dan memboroskan harta.
Selanjutnya menurut kami jika seseorang suka merokok dan ternyata fakir, maka sebaiknya harta zakat diberikan langsung kepada istrinya agar dibelikan kepada kebutuhan hidupnya. Atau bisa saja diberikan kepada perokok tadi dengan syarat ditanya dulu apakah harta zakat itu akan dibelikan kepada kebutuhan pokok atau tidak .? Ketika diberi zakat, kami menuntut pula agar ia didampingi oleh seorang wakil agar membeli hal-hal yang pokok terpenuhi dan terhindar dari hal-hal yang dilarang.
Sebab barang siapa yang memberi uang kepada seseorang lalu dibelikannya untuk rokok, berarti ia telah membantu berbuat dosa dan termasuk ke dalam larangan Allah berikut :
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ,….. ” [Al-Maidah/5 : 2]
Begitu juga, orang tersebut boleh dilunasi hutangnya dari hasil zakat.
[Disalin dari buku Fatwa Syaikh Muhmmad Al-Shalih Al-Utsaimin, Edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-Fatwa Al-Utsaimi, Terbitan Gema Risalah Press, alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy]
Referensi : https://almanhaj.or.id/2250-zakat-kepada-saudara-perokok.html
Kembali ke menu/atas
7. Zakat Kepada Perempuan Fakir
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bolehkah mengeluarkan zakat kepada anak perempuan yang sudah menikah dan dalam keadaan membutuhkan ?
Jawaban
Setiap orang mempunyai ciri-ciri golongan yang berhak mendapatkan zakat pada dasarnya boleh memberikan zakat kepadanya, berdasarkan ini, jika seseorang tidak mampu memberi infak kepada anak perempuannya dan kepada anak laki-lakinya, maka hendaknya zakat tersebut diberikan kepada anak perempuannya, dan yang lebih baik dan lebih selamat adalah memberikan zakat tersebut kepada suami anaknya itu.
[Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/397]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penejemah Amir Hamzah Fakhruddin]
Referensi : https://almanhaj.or.id/2246-berzakat-kepada-anak-perempuan-yang-fakir.html
Kembali ke menu/atas
8. Zakat Peralatan Dan Mobil Yang Dijual Dengan Angsuran
oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Seorang laki-laki menjual sejumlah mobil dengan angsuran. Apakah ia harus membayar zakatnya sekalipun belum menerima seluruh pembayarannya, atau cukup menzakati uang yang sudah terkumpul saja dari angsuran-angsuran tersebut ?
Jawaban.
Ia hanya menzakati uang yang sudah terkumpul dari angsuran-angsuran tersebut. Adapun yang masih ada tenggang waktunya di tangan orang lain yang dianggap berkecukupan dan bisa diambil dari mereka dengan mudah pada saat yang telah disepakati, maka ia langsung menzakatinya. Tapi jika yang tersisa itu berada di tangan orang-orang yang fakir atau sering kesulitan keuangan, maka tidak perlu menzakatinya saat itu, tetapi setelah menerimanya. Ini hukum zakat hutang.
Ada juga yang mengatakan, bahwa hutang yang tertangguh tidak ada zakatnya kecuali setelah tiba waktunya, jika tiba waktunya, maka dilihat orang yang berhutang itu, jika ia seorang yang kesulitan, maka tidak ada zakatnya sampai ia menerimanya, walaupun itu berlangsung sampai lima tahun, maka zakatnya cukup satu tahun saja saat setelah diterimanya. Jika orang yang berhutang itu orang yang berkecukupan, sementara anda sebdiri tidak sedang membutuhkan uang tersebut, maka anda tetap harus menzakatinya, karena uang itu statusnya sebagai titipan.
[Syaikh Ibnu Jibrin, Fatawa Az-Zakah, dikumpulkan oleh Abu Luz, hal.96]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad
Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
Referensi : https://almanhaj.or.id/959-zakat-peralatan-dan-mobil-yang-dijual-dengan-angsuran.html
Kembali ke menu/atas
9. Apakah Hutang Menghalangi Kewajiban Zakat?
oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc
Salah satu syarat harta yang wajib dizakati adalah dimiliki secara penuh. Artinya bahwa seseorang memiliki harta tersebut secara penuh, tidak ada pihak lain yang bersyarikat dalam harta itu sehingga dia bebas menggunakan harta itu tanpa ada yang menghalanginya.
Permasalahan muncul pada harta hutang yang di satu sisi seseorang dapat menggunakannya secara bebas karena sudah menjadi miliknya, namun di sisi lain ada kewajiban mengembalikan kepada orang yang berpiutang, sehingga seakan-akan ada dua kepemilikan terhadap harta hutang itu. Apalagi saat ini, banyak sekali orang yang mengembangkan proyek bisnis dengan hutang yang muncul dari transaksi bisnis yang bisa berefek kepada pembayaran zakat.
Apabila kita memiliki harta tapi juga memiliki hutang, apakah hutang tersebut berpengaruh dalam zakatnya?
DEFENISI HUTANG
Yang dimaksudkan dengan hutang disini adalah semua jenis hutang, baik hutang yang diakibatkan perbuatan yang merusakkan atau menghilangkan barang orang lain atau hutang yang diakibatkan oleh transaksi, misalnya transaksi jual beli atau transaksi yang lain termasuk akad nikah yang maharnya masih dihutang.
KESEPAKATAN PARA ULAMA
Jika seseorang memiliki harta yang mencapai nishâb dan telah berlalu satu tahun, namun dia masih mempunyai hutang kepada orang lain, maka para ahli fikih sepakat :
Hutang tidak menghalangi kewajiban zakat bila hutang tersebut menjadi tanggungan orang yang berhutang setelah kewajiban zakat menghampirinya. [1]
Hutang tidak menghalangi kewajiban zakat bila hutang tersebut tidak mengurangi harta dari nishâb. [2]
PERBEDAAN PENDAPAT
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah hutang menghalangi kewajiban zakat pada harta yang dimiliki oleh orang yang memiliki tanggungan hutang diluar dua keadaan (yang telah disepakati para ulama) di atas?
Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat:
1. Hutang menghalangi kewajiban zakat secara mutlak, baik pada harta yang terlihat (zhâhirah) maupun harta yang tidak terlihat (Bâthinah), baik hutang itu telah jatuh tempo atau belum, baik hutang itu terkait hak Allâh Azza wa Jalla atau hak manusia, serta sejenis dengan harta yang wajib dizakati atau bukan.
Ini adalah pendapat (qaul qadim) Imam asy-Syâfi’i rahimahullah ,[3] dan riwayat paling shahih di kalangan Hanâbilah,[4]. Sebagian Ulama Syâfi’iyah dan Hanâbilah menetapkan syarat bahwa hutang yang menghalangi kewajiban zakat yaitu hutang yang jatuh tempo.[5]
Penulis kitab Kasysyâful Qanna’, 2/13, mengatakan bahwa kewajiban zakat terhalangi oleh hutang sesuai dengan kadar hutangnya. Artinya, jika harta yang tersisa masih cukup nishab, maka ia tetap wajib mengeluarkan zakatnya. Misalnya, dia mempunyai seratus ekor kambing, namun dia juga memikul hutang yang setara dengan enam puluh ekor. Maka dia harus menzakati empat puluh yang tersisa karena angkanya masih mencapai nishab sempurna. Apabila hutangnya mencapai kadar enam puluh satu ekor, maka tidak ada kewajiban mengeluarkan zakat dari jumlah kambing yang tersisa, karena yang tersisa kurang dari nishâb.[6]
DALIL PENDAPAT YANG PERTAMA
Pendapat pertama berargumen dengan beberapa alasan diantaranya:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا كاَنَ لِرَجُلٍ أَلفُ دِرْهَمٍ وَعَلَيْهِ أَلْفُ دِرْهَمٍ فَلاَ زَكاَةَ عَلَيْهِ
Apabila seseorang mempunyai seribu dirham dan dia juga menanggung hutang seribu dirham maka tidak wajib zakat atasnya.
Ibnu Qudâmah rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini merupakan nash[7] dalam menetapkan bahwa hutang yang mencapai nishab menggugurkan kewajiban zakat.
Namun menjadikan hadits di atas sebagai dalil tidak benar, karena hadits tersebut tidak shahih dinisbatkan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hadits ini disampaikan Ibnu Qudâmah dengan menyebut sanad dari Mâlikiyah sebagaimana dalam al-Mughni, 4/264, di mana dia berkata, “Para murid Imam Mâlik meriwayatkan dari Umair bin Imrân dari Syuja’ dari Nâfi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, …Kemudian Ibnu Qudâmah rahimahullah menyebutkan hadits di atas.
Namun dari sisi makna terdapat beberapa atsar yang serupa dari Sulaimân bin Yasâr rahimahullah, Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu dan al-Laits bin Sa’ad rahimahullah dalam kitab al-Amwâl karya Abu Ubaid , hlm. 443. Oleh karena itu Ibnu Abdul Hadi rahimahullah dalam kitabnya Tanqîh Tahqîq Âhâdîts at-Ta’lîq 2/142 berkata, “Hadits ini mungkar, tidak jauh kalau dikatakan maudhu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Umair bin Imrân. Sedangkan Ibnu ‘Adi rahimahullah dalam al-Kâmil, 5/70 menilai Umair bin ‘Imrân adalah dhaif (perawi lemah) dan al-Uqaili rahimahullah menyebutkannya dalam adh-Dhu’afa, 3/318. Demikian juga dengan Ibnul Jauzi rahimahullah memasukkannya dalam adh-Dhu’afa wal Matrukîn 2/234. Wallâhu a’lam.
2. Atsar dari Utsmân Radhiyallahu anhu bahwa dia berkata ; “Ini adalah bulan pembayaran zakat kalian, barangsiapa memikul hutang maka hendaknya dia membayar hutangnya sehingga harta kalian terkumpul lalu kalian mengeluarkan zakat darinya.”[8] Utsmân Radhiyallahu anhu mengucapkannya di hadapan para Sahabat dan mereka tidak menyanggahnya. Ini menunjukkan bahwa mereka setuju[9]
Disini Utsmân Radhiyallahu anhu memerintahkan orang-orang membayar hutang sebelum mengeluarkan zakat, agar zakat bisa dikeluarkan dari sisa harta yang telah terpotong oleh hutang. Karena para Sahabat tidak mengingkarinya, maka ini menunjukkan bahwa mereka sepakat dengan yang disampaikan Utsman Radhiyallahu anhu.
3. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat atas orang-orang kaya dan memerintahkan mereka agar menyerahkannya kepada orang-orang fakir, sebagaimana dalam sabda beliau,
أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الصَّدَقَةَ مِنْ أَغْنِيَائِكُمْ فَأَرُدَّ عَلىَ فُقَرَاءِكُمْ
Aku diperintahkan untuk mengambil zakat dari orang-orang kaya dari kalian dan memberikannya kepada orang-orang fakir dari kalian. [10]
Orang yang berhutang memerlukan harta untuk membayar hutangnya sebagaimana orang fakir memerlukan zakat yang dikeluarkan oleh orang yang kaya. Sehingga orang yang berhutang tidak patut disebut kaya yang membuatnya wajib zakat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ صَدَقَةَ إِلاَّ عَنْ ظَهْرِ غِنَى
Tidak ada sedekah kecuali berasal dari kekayaan (kecukupan).” [11]
Bahkan, orang yang berhutang bisa saja disebut fakir sehingga dia berhak menerima zakat karena dia termasuk gharim.
4. Lemahnya kepemilikan orang yang memikul hutang karena pemilik uang (kreditor) berkuasa dan berhak menuntutnya agar membayar hutangnya serta berhak atas harta itu.[12]
5. Pemilik piutang (kreditor) tentu akan menzakatinya juga. Seandainya orang yang berhutang (debitor) juga mengeluarkan zakatnya, itu berarti zakatnya berganda (double), karena pemilik piutang (kreditor) dan penghutangnya (debitor) sama-sama membayar zakatnya. Ini tidak boleh.[13]
6. Qiyas (analogi) kepada ibadah haji, sebagaimana hutang bisa menghalangi kewajiban haji, maka hutang juga bisa menghalangi kewajiban zakat.
Namun qiyas ini tersanggah, karena termasuk qiyas yang disertai perbedaan. Karena antara zakat dan haji ada beberapa perbedaan sehingga zakat tidak bisa diqiyaskan ke haji. Diantara perbedaan itu :
Zakat tetap wajib atas anak-anak dan orang gila, sementara ibadah haji tidak wajib atas mereka.
Haji juga wajib atas orang-orang fakir di Mekah sementara zakat tidak wajib atas mereka.[14]
7. Zakat diwajibkan untuk membantu orang-orang fakir dan sebagai ungkapan rasa syukur dari orang kaya, sementara pemikul hutang butuh harta untuk melunasi hutangnya. Tidak termasuk tindakan bijak, menutup mata dari kebutuhan pemilik uang demi menutup kebutuhan orang lain. Definisi kaya belum terwujud pada diri orang yang menanggung hutang.[15]
8. Hutang tidak menghalangi zakat sama sekali, ini adalah pendapat yang lebih terkenal di kalangan Syâfi’iyah[16] dan sebuah riwayat di kalangan Hanâbilah.[17]
DALIL PENDAPAT YANG KEDUA
Para Ulama yang berpendapat dengan pendapat yang kedua ini berargumentasi dengan beberapa dalil, diantaranya:
1. Keumuman Nash-nash syariat yang mewajibkan zakat pada harta, seperti firman Allâh Azza wa Jalla :
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allâh Maha mendengar lagi Maha mengetahui. [At-Taubah/9:103]
2. Tidak ada dalil dari al-Qur`an, sunnah dan ijma’ yang menetapkan bahwa hutang bisa menggugurkan kewajiban zakat dari harta yang berkait dengan hutang.[18]
3. Kepemilikan nishâb pada harta masih berlaku. Kalau begitu harta itu adalah miliknya dan hutang yang ditanggungnya tidak merubah status harta itu menjadi bukan miliknya, sehingga zakatnya tetap ditanggung oleh dia.[19]
4. Hutang menghalangi atau menggugurkan kewajiban zakat pada harta bâthinah (yang tidak terlihat), dan tidak menggugurkan kewajiban zakat pada harta yang zhâhirah (tampak). Ini adalah pendapat madzhab Mâlikiyah,[20] sebuah pendapat dalam madzhab Syâfi’iyah[21] dan sebuah riwayat dalam madzhab Hanâbilah.[22]
Pengertian harta Zhâhirah dan bâthinah ini dijelaskan Qâdhi Abu Ya’la dalam al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 115 dengan pernyataan, “Harta yang dizakati itu terbagi menjadi dua yaitu zhâhirah (yang tampak) dan bâthinah (yang tidak terlihat). Harta yang zhâhirah adalah harta yang tidak mungkin disembunyikan, seperti tanaman, buah-buahan dan hewan ternak. Sedangkan yang bâthinah adalah harta yang mungkin disembunyikan seperti emas, perak dan perniagaan.” (Lihat Mu’jam Lughah al-Fuqaha`, hlm. 71)
Walaupun saat ini, harta perniagaan tidak sepenuhnya termasuk harta yang bâthinah, karena berbagai bentuk perniagaan di zaman ini telah menjadi harta yang paling tampak. Ini karena ia harus menjalani proses birokrasi dan pemasaran yang menuntut diiklankannya barang perniagaan tersebut.
DALIL PENDAPAT KETIGA
Mereka yang berpegang dengan pendapat ini berargumentasi dengan seluruh dalil pendapat pertama, hanya saja mereka mengecualikan harta-harta yang zhâhiriyah. Mereka berpendapat bahwa hutang tidak bisa menggugurkan kewajiban zakat dari harta yang zhâhiriyah. Disamping dalil-dalil pada pendapat pertama, ada beberapa alasan lainnya, di antaranya:
1. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus para petugas zakat dan para juru tebas untuk mengambil zakat ternak, biji-bijian dan buah-buahan dan mereka tidak bertanya kepada para pemilik harta tentang hutang. Ini menunjukkan bahwa hutang tidak menghalangi kewajiban zakat pada harta-harta tersebut.[23]
2. Penglihatan orang-orang fakir lebih terfokus kepada harta-harta zhâhirah (yang tampak), sehingga kewajiban zakat padanya lebih ditekankan.[24]
3. Pertanian dan hewan ternak tumbuh dengan sendirinya, sehingga kenikmatan padanya lebih sempurna. Kewajiban zakat padanya lebih kuat sebagai wujud syukur nikmat. Sehingga hutang tidak berpengaruh dalam menggugurkannya, lain halnya dengan uang.[25]
4. Hanafiyah berdalil atas pengecualian hasil bumi dengan menyatakan bahwa zakatnya adalah hak bumi. Kekayaan pemiliknya tidak menjadi bahan pertimbangan dan ia tidak gugur oleh sebab hak bani Adam berupa hutang.[26]
TARJIH
Pendapat yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa hutang menghalangi kewajiban zakat pada orang yang berhutang dengan syarat-syarat :
1.Hutang sudah jatuh tempo dan penghutang tidak mampu membayarnya.
Hutang yang belum jatuh tempo tidak menghalangi kewajiban zakat pada harta debitor. Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah, Mâlikiyah, Syâfi’iyah dan Hanâbilah.[27] Alasannya karena tidak ada kepemilikan sempurna saat hutang telah jatuh tempo disebabkan pemilik piutang berhak menagihnya. Dan alasan ini tidak ada, apabila hutang belum jatuh tempo, kecuali atas cicilan yang menjadi hak pemilik piutang. Selain itu tetap masih menjadi hak pemilik hutang secara utuh.
2. Orang yang berhutang tersebut tidak memiliki arudh qaniyah[28] diluar kebutuhan pokoknya, seperti arûdh qaniyah yang bisa dijual saat dia bangkrut untuk menutupi hutangnya. Ini adalah pendapat sebagian Hanafiyah, madzhab Mâlikiyah, sebuah pendapat dalam madzhab Hanâbilah dan dipilih oleh Abu Ubaid,[29] hal ini dengan pertimbangan berikut:
Harta kekayaan tersebut termasuk harta milik debitor (orang yang berhutang).
Harta tersebut memiliki nilai yang memungkinkan pemiliknya untuk menjualnya dan beraktifitas dengan harta tersebut saat dibutuhkan.
Pihak kreditor (orang yang memberikan hutang-red) berhak meminta debitor menjual harta tersebut guna menutupi hutangnya bila ia tidak bisa melunasinya dengan harta yang lain.
Pendapat yang memandang bahwa jenis harta tersebut tidak bisa digunakan untuk menutup hutang yang menghalangi kewajiban zakat, akan menyebabkan terhapusnya kewajiban zakat dari orang kaya yang menginvestasikan harta mereka pada Urûdh Lil Qinyah (barang-barang yang tidak diperjual belikan-red) atau di bidang investasi berkembang seperti pabrik-pabrik. Misalnya, orang yang memiliki satu pabrik yang hasilnya bisa mencukupi kebutuhan pokoknya, lalu ia membeli pabrik lain dengan uang hutang, sementara hutang tersebut menghabiskan seluruh hasil dua pabrik tersebut. Berdasarkan pendapat ini, dia tidak berkewajiban membayar zakat, padahal dia kaya karena memiliki banyak barang dan pabrik.[30]
Orang yang memiliki tanggungan hutang tersebut bukan orang kaya yang gemar mengulur-ulur pembayaran hutang.
Bila dia tergolong orang mampu namun gemar mengulur-ulur pembayaran hutangnya, maka hutang tersebut tidak menghalangi atau tidak menggugurkan kewajiban zakat atasnya. Inilah kandungan perkataan Utsman Radhiyallahu anhu yang memberikan dua pilihan: membayar hutang kepada pemiliknya atau menzakati hartanya dan saat itu hutang tidak mengurangi nilai nishâbnya.
Wallâhu a’lam.
sumber: Diadaptasi secara bebas dari kitab Nawazil Fi as-Zakat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Bidâyatul Mujtahid 3/309, Mughni al-Muhtâj 2/125, al-Mughni 4/266
[2] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 2/12, al-Muntaqâ Syarh al-Muwaththa` 2/118, Mughni al-Muhtâj 2/125, al-Mughni 4/266.
[3] Lihat al-Bayân karya al-Imrani 3/146 dan Raudhah ath-Thâlibîn 2/197.
[4] Lihat al-Mughni 4/263
[5] Lihat al-Hâwi 3/309 dan asy-Syarhul Kabîr 6/340.
[6] Lihat, Kasysyâful Qanna’, 2/13
[7] Al-Mughni 4/264.
[8] Diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa` no. 596 dan Abdurrazzâq dalam al-Mushannaf no. 7086 serta al-Baihaqi no. 7856. Sanad atsar Utsmân Radhiyallahu anhu ini shahih sebagaimana jelaskan oleh Ibnu Hajar t dalam al-Mathâlib al-Âliyah 5/504, dan al-Albâni dalam Irwa`ul Ghalil, 3/260 no. 789.
[9] Lihat al-Mughni 4/264.
[10] HR al-Bukhâri no. 1395 dan Muslim no. 19.
[11] HR al-Bukhâri secara muallaq Kitab al-Washâyâ Bab Ta`wil Qaulillahi Ta’ala, ‘Min Ba’di Washiyyah.’ dan Ahmad 2/230. Al-Bukhâri juga meriwayatkan yang semakna dalam Shahîhnya no. 1426 dan Muslim dalam Shahîhnya no. 1034, dari hadits Abu Hurairah z akan tetapi dengan lafazh, “Sebaik-baik sedekah adalah yang dilakukan dalam keadaan kecukupan, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah, mulailah dengan nafkah orang yang wajib kamu nafkahi.”
[12] Lihat Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ 2/18 dan al-Umm 2/67
[13] Lihat al-Hâwi 3/310.
[14] lihat Syarh al-Mumti’ karya Ibnu Utsaimin 6/35.
[15] Lihat asy-Syarhul Kabîr karya Ibnu Qudâmah 6/340.
[16] Lihat al-Bayân karya al-Imrâni 3/146 dan Raudhah ath-Thalibîn 2/197.
[17] Lihat al-Mughni 4/266
[18] Lihat al-Muhalla 1/65.
[19] Lihat al-Hâwi 3/310.
[20] Lihat al-Isyraf ala Nukat Masâ`il al-Khilaf 1/407 dan Hasyiyah al-Adawi 1/473.
[21] Lihat al-Bayân karya al-Imrâni 3/147 dan Raudhah ath-Thalibîn 2/197.
[22] Al-Mughni 4/264 dan asy-Syarhul Kabîr 6/338.
[23] Lihat al-Mughni 4/265.
[24] Lihat asy-Syarhul Kabîr 6/342.
[25] Lihat al-Furuq karya al-Qarafi 3/43.
[26] Lihat Bada`i’ ash-Shana`i’ 2/12.
[27] Lihat Bada`i’ ash-Shana`i’ 2/12, at-Taj wal Iklil 3/199, al-Hawi 3/309 dan asy-Syarhul kabir 6/336.
[28] Arudh Qaniyah adalah semua yang dimiliki oleh seseorang dengan tujuan untuk dimanfaatkan bukan untuk dijadikan barang dagangan. Barang tersebut dimanfaat dengan cara digunakan untuk membantu proses aktifitas kerja yang beraneka ragam seperti alat untuk kerja dan hewan untuk menggarap sawah atau dikembangbiakkan, tanah atau rumah untuk tempat tinggal sendiri. Istilah ini sinonim dengan istilah al-Ushûl ats-tsâbitah dalam istilah akuntansi zakat modern.
[29] Lihat al-Amwal hlm. 443, al-Mabsûth 2/198, al-Muntaqa karya al-Baji 2/119 dan al-Mughni 4/267.
[30] Lihat kajian-kajian fikih terkait dengan persoalan-persoalan zakat kontemporer, kajian dengan judul Mada Ta`tsir ad-Duyun al-Istitsmariyah wal iskaniyah al-Muajjalah fi Tahdid Wi’a` az-Zakah 1/317. Penulisnya menyebutkan ciri-ciri harta yang dimaksud dalam kajian tersebut secara rinci, silakan merujuknya bila berkenan di hal 318.
oleh Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc, MA.
Referensi : https://almanhaj.or.id/6800-apakah-hutang-menghalangi-kewajiban-zakat.html