• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Senin, 10 Maret 2025

Diet atau Pola Makan Sehat ala Rasulullah?

Bagikan

Daftar Isi

1. Menisbatkan Metode Diet dengan Islam
2. Berbagai Dalil yang Berkaitan dengan Makanan
3. Penjelasan Ulama Tentang Pokok Kesehatan
4. Kesederhanaan Rasulullah dalam Masalah Makanan
5. Bolehkah Mengamalkan Puasa Wishol?
6. Anjuran Menyegerakan Buka Puasa
7. Berpuasa Demi Diet dan Menurunkan Kolesterol
8. Menyikapi Manfaat Kesehatan dari Puasa
9. Niat Puasa untuk Ibadah dan Kesehatan
10. Amal yang Disebutkan Balasannya di Dunia
11. Amal yang Tidak Disebutkan Balasannya di Dunia
12. Kesimpulan

1. Menisbatkan Metode Diet dengan Islam
Sebagian orang ingin memiliki badan yang ideal atau ingin menurunkan berat badan. Karena keinginan itu, banyak di antara mereka yang menempuh berbagai metode diet, menjaga aktivitas dan latihan fisik, serta menjaga pola tidur yang cukup dan tidak stres. Sebagian yang lain melakukan diet khusus karena memang ingin menjaga diri dari penyakit.

Jika hal itu tidak disangkut-pautkan dengan syariat atau ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu tidak masalah. Dengan catatan bahwa pola diet tersebut tidak justru membahayakan tubuh. Hanya saja sebagian pihak bersikap lancang dengan menisbatkan pola makan atau pola diet tertentu sebagai ajaran (sunnah) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, menisbatkan sesuatu sebagai sunnah atau ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah perkara yang berat dan berbahaya. Oleh karena itu, dalam bab ini akan kami sampaikan hadits-hadits atau petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah ini dan bagaimanakah penjelasan ulama tentangnya.

2. Berbagai Dalil yang Berkaitan dengan Makanan
Di dalam Al-Qur’an kita dapati petunjuk dari Allah Ta’ala agar makan makanan yang halal dan thayyib, serta menjauhkan diri dari makanan haram. Selain itu, kita diperintahkan untuk tidak berlebih-lebihan ketika makan, meskipun makanan halal. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)

يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang salih. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 51)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا

“Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf [7]: 31)

Larangan sikap berlebih-lebihan juga ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، حَسْبُ الْآدَمِيِّ، لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ غَلَبَتِ الْآدَمِيَّ نَفْسُهُ، فَثُلُثٌ لِلطَّعَامِ، وَثُلُثٌ لِلشَّرَابِ، وَثُلُثٌ لِلنَّفَسِ

“Tidaklah seorang manusia memenuhi satu wadah yang lebih berbahaya dibandingkan perutnya sendiri. Sebenarnya seorang manusia itu cukup dengan beberapa suap makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Namun jika tidak ada pilihan lain, maka hendaknya sepertiga perut itu untuk makanan, sepertiga yang lain untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas.” (HR Ibnu Majah no. 3349, dinilai shahih oleh Al-Albani)

3. Penjelasan Ulama Tentang Pokok Kesehatan
Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala– berkata,

“Pokok (inti) kesehatan ada tiga.

Pertama, menjaga kesehatan dengan memanfaatkan (melakukan) berbagai hal yang bermanfaat.

Ke dua, menjaga diri dari berbagai hal yang membahayakan kesehatan.

Ke tiga, menghilangkan (membuang) kotoran atau penyakit yang masuk ke badan.

Semua permasalahan kesehatan kembali kepada tiga inti pokok tersebut. Dan sungguh Al-Qur’an telah mengingatkan dalam firman-Nya tentang menjaga kesehatan dan membuang kotoran (penyakit) (yang artinya), “Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf [7]: 31).” (Al-Qawa’idul hisaan, hal. 150)

Kemudian beliau –rahimahullahu Ta’ala- menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala memerintahkan untuk makan dan minum, dua aktivitas yang sangat dibutuhkan oleh badan (poin pertama). Perintah tersebut bersifat mutlak, yang menunjukkan bahwa makanan dan minuman yang dikonsumsi hendaklah sesuatu yang baik dan bermanfat untuk manusia di setiap waktu dan keadaan.

Dan Allah Ta’ala melarang dari sikap berlebih-lebihan, misalnya dengan terlalu banyak makan dan minum. Ini adalah bentuk penjagaan dari segala sesuatu yang berpotensi membahayakan badan manusia. Jika makanan pokok yang sangat dibutuhkan saja tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi ketika ada potensi membahayakan kesehatan badan, maka bagaimana lagi dengan yang selain makanan pokok?

Diperbolehkan bagi orang yang sakit untuk tayammum, sebagai pengganti berwudhu dengan air, jika menggunakan air dapat membahayakan kesehatannya. Hal ini sebagai bentuk penjagaan dari hal-hal yang dapat membahayakan kesehatan (poin ke dua). Demikian pula diperbolehkan bagi orang yang sedang berihram jika ada penyakit di kepalanya untuk mencukurnya. Ini termasuk dalam bentuk menghilangkan penyakit yang ada di badan (poin ke tiga). Lalu bagaimana lagi jika ada hal-hal yang lebih berbahaya dari itu semua? (Lihat Al-Qawa’idul hisaan, hal. 150)

Ayat-ayat dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan secara global petunjuk syariat dalam urusan makanan. Allah Ta’ala tidak merinci makanan apa saja yang baik dimakan, karena tentunya sangat banyak makanan halal di dunia ini yang Allah Ta’ala sediakan.

4. Kesederhanaan Rasulullah dalam Masalah Makanan
Kalau kita memperhatikan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang urusan makanan, kita dapati potret kesederhanaan yang luar biasa dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam urusan makanan, beliau tidaklah berlebih-lebihan dan hanya meminta rizki makanan secukupnya. Hal ini sebagaimana doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ قُوتًا

“Ya Allah, jadikan rizki keluarga Muhammad berupa makanan yang secukupnya.” (HR. Muslim no. 1055)

Berbeda dengan kita umumnya yang makan 2-3 kali sehari sampai kenyang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru merasakan kenyang tiap 2-3 hari sekali. Kondisi ini diceritakan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan mengatakan,

ما شبع آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ من خبزِ شعيرٍ ، يومَين مُتتابِعَينِ ، حتى قُبِضَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum dalam dua hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (HR. Muslim no. 2970)

Dalam riwayat yang lain, kondisi tidak kenyang tersebut berlangsung sampai tiga hari,

مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ قَدِمَ المَدِينَةَ، مِنْ طَعَامِ بُرٍّ ثَلاَثَ لَيَالٍ تِبَاعًا، حَتَّى قُبِضَ

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan burr (gandum kasar) dalam tiga hari berturut-turut, sampai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” (HR. Bukhari no. 6454 dan Muslim no. 2970)

Terkadang, makanan berupa roti gandum tersebut dicampur dengan semacam kuah. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan,

ما شبِعَ آلُ محمدٍ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم من خُبزِ بُرٍّ مَأدومٍ ثلاثةَ أيامٍ حتى لحِقَ باللهِ

“Keluarga Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam tidak pernah merasakan kenyang karena makan roti gandum yang diberi idam (semacam kuah) dalam tiga hari, sampai dia bertemu dengan Allah (wafat).” (HR. Bukhari no. 5423)

Adapun yang dimaksud idam, dijelaskan dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith,

ما يُسْتَمْرَأُ به الخبز

“sesuatu (makanan atau kuah) yang biasa digunakan untuk membantu menelan roti.”

Terkadang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan sama sekali karena memang tidak punya makanan. Dan pada kondisi semacam itu, beliau pun kemudian berpuasa sunnah.

Dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟ قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء قال فإني صائمٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku pada suatu hari, “Wahai ‘Aisyah, apakah Engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini)?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki makanan sedikit pun (untuk dimakan).” Beliau lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan puasa hari ini.” (HR. Muslim no. 1154)

Kondisi semacam ini bisa berlangsung berhari-hari hingga sebulan. Hal ini sebagaimana penuturan ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَانَ يَأْتِي عَلَيْنَا الشَّهْرُ مَا نُوقِدُ فِيهِ نَارًا، إِنَّمَا هُوَ التَّمْرُ وَالمَاءُ، إِلَّا أَنْ نُؤْتَى بِاللُّحَيْمِ

“Pernah kami melalui suatu bulan yang ketika itu kami tidak menyalakan api sekali pun. Yang kami miliki hanyalah kurma dan air, kecuali ada yang memberi kami hadiah berupa potongan daging kecil untuk dimakan.” (HR. Bukhari no. 6458)

Kemungkinan yang lebih mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit makan bukan karena sengaja ingin diet, akan tetapi karena memang demikian sederhananya rizki yang Allah Ta’ala karuniakan kepada beliau yang banyak sekali hikmah yang bisa kita petik dari hal ini. Di antara indikasinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, apakah ada makanan? Artinya, kalau ada makanan, tentu akan Nabi makan.

Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan akan berpuasa, tidak lama kemudian, ‘Aisyah diberi hadiah berupa makanan -atau dengan redaksi: seorang tamu mengunjungi ‘Aisyah-.

‘Aisyah berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, saya pun berkata, “Ya Rasulullah, tadi ada orang datang memberi kita makanan dan aku simpan untukmu.”

Beliau bertanya, “Makanan apa itu?”

Saya menjawab, “Roti khais (yakni roti yang terbuat dari kurma, minyak samin, dan keju).”

Beliau bersabda, “Bawalah kemari.”

Maka roti itu pun aku sajikan untuk beliau. Lalu beliau makan, kemudian berkata,

قَدْ كُنْتُ أَصْبَحْتُ صَائِمًا

“Sungguh dari pagi tadi aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154)

Dalam lanjutan hadits di atas, jelas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan puasanya ketika ada makanan. Kalau maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk diet, tentu Nabi tetap melanjutkan puasa meskipun ada makanan. Sehingga sekali lagi, makna yang lebih mendekati dari hadits-hadits di atas adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jarang makan karena keterbatasan dan kondisi ekonomi yang sederhana yang Allah tetapkan untuk beliau, bukan karena sengaja ingin diet demi kesehatan tubuh.

Demikian juga jika kita melihat keterangan para sahabat Nabi yang mereka sangat memahami kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana atsar dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, dia mengatakan,

ألَسْتُم في طعامٍ وشرابٍ ما شِئْتُم ؟ لقد رأَيْتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وما يجِدُ مِن الدَّقَلِ ما يملَأُ به بطنَه

“Bukankah kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum sesuka kalian? Sungguh aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau tidak mendapati sekedar daql (kurma yang buruk kualitasnya) untuk memenuhi perutnya.” (HR. Muslim no. 2977)

Di sini An-Nu’man bin Basyir menasihati para sahabat untuk senantiasa bersyukur atas kecukupan rizki berupa makanan dan minuman, dengan mengambil ibrah dari kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka jelas sekali dari hadits ini bahwa para sahabat memahami bahwa keadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkadang tidak mendapati makanan atau jarang sekali mendapati perutnya kenyang oleh makanan ini bukan karena beliau bersengaja atau untuk melakukan metode diet atau untuk mempraktekkan gaya hidup sehat tertentu. Andaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersengaja melakukan itu karena mempraktekkan metode diet atau semisalnya, tentu An-Nu’man bin Basyir tidak akan menjadikannya sebagai ibrah.

Dan dari hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu ini juga, kita memahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itu semua bukan dalam rangka qurbah (ibadah) dan beliau tidak mengajarkan para sahabatnya untuk memiliki pola makan yang sama seperti beliau. Nyatanya, An-Nu’man bin Basyir mengatakan kepada para sahabat, “Bukankah kalian senantiasa memiliki makanan untuk dimakan dan minuman untuk diminum sesuka kalian?”

Artinya, umumnya para sahabat berkecukupan dalam masalah makanan dan minuman, bahkan mereka makan setiap hari. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Andaikan apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam rangka qurbah dan bernilai ibadah atau merupakan pola maka terbaik, maka tentunya para sahabat ridhwanullah ‘alaihim ajma’in sudah berlomba-lomba untuk menirunya.

5. Bolehkah Mengamalkan Puasa Wishol?
Di antara kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau boleh melakukan puasa wishal

Puasa wishal adalah puasa tanpa berbuka dan tanpa sahur. Puasa dengan model semacam ini, hanya dikhususkan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ، فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ

”Janganlah kalian melakukan puasa wishal! Jika salah seorang di antara kalian ingin melakukan puasa wishal, maka wishal-lah sampai waktu sahur”.

Sahabat berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Engkau sendiri melakukan puasa wishal.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أَبِيتُ لِي مُطْعِمٌ يُطْعِمُنِي، وَسَاقٍ يَسْقِينِ

”Keadaanku tidak sama dengan kalian. Saat aku berada di waktu malam, Allah memberi aku makan dan minum.” (HR. Bukhari no. 1967)

Para ulama berbeda pendapat dalam memahami perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saat aku berada di waktu malam, Allah memberi aku makan dan minum.” Sebagian ulama mengatakan bahwa maksudnya, Nabi mendapatkan kiriman makanan (konkret) dari Allah Ta’ala. Pemahaman ini kurang tepat, karena kalau yang dikirimkan adalah makanan yang sesungguhnya, maka sama saja artinya Nabi tidak bisa dikatakan melakukan puasa, termasuk puasa wishal.

Sehingga yang lebih kuat adalah pendapat sebagian ulama lainnya bahwa “makanan” yang dimaksud adalah makanan yang bersifat abstrak. Maksudnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sibuk beribadah kepada Allah Ta’ala di waktu malam sebagai santapan ruhaninya, sibuk menyendiri dan bermunajat kepada Allah Ta’ala, sehingga beliau melupakan makan minum yang sesungguhnya dan tidak merasa lapar. (Lihat Lathaa’iful Ma’aarif, hal. 207)

6. Anjuran Menyegerakan Buka Puasa
Adapun untuk umat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang paling afdhal adalah segera berbuka puasa ketika matahari sudah tenggelam. Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ

”Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098)

Inilah yang lebih utama bagi kita, yaitu segera berbuka puasa. Yang kurang afdhal adalah menyatukan berbuka dengan sahur, artinya menunda buka puasa sampai waktu sahur sebagaimana hadis di atas. Adapun tidak buka dan tidak sahur sama sekali, ini tidak boleh karena menjadi kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu jika kita cermati semua kondisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, dimana beliau lebih sering lapar daripada kenyang, bahkan terkadang hanya makan kurma dan minum air, dan beliau juga puasa wishal tidak sahur dan tidak berbuka, maka kondisi-kondisi ini sebetulnya bukanlah pola makan yang ideal menurut ilmu kesehatan saat ini, apalagi untuk orang-orang yang memiliki penyakit tertentu di saluran pencernaan atau penyakit sistemik lainnya.

7. Berpuasa Demi Diet dan Menurunkan Kolesterol
Puasa adalah di antara contoh perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau maksudkan untuk berbibadah (ta’abbudiyyah). Oleh karena itu, kita dapati perintah dan motivasi berpuasa baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah motivasi akhirat. Berkaitan dengan puasa Ramadhan, maka disebutkan hikmahnya agar kita menjadi hamba yang bertakwa. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Sedangkan untuk puasa sunnah, disebutkan di antara motivatornya adalah agar dosa-dosa diampuni.

Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata,

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ؟ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ قَالَ: وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ: يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa pada hari Arafah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Menghapus dosa satu tahun yang telah lalu dan yang akan datang.”

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Menghapus dosa dosa yang telah lewat.” (HR. Muslim no. 1162)

Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata,

إِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، وَسُئِلَ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنَّ أَعْمَالَ الْعِبَادِ تُعْرَضُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ

”Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di hari Senin dan Kamis. Ketika Nabi ditanya tentang hal tersebut, beliau berkata, “Sesungguhnya amal seseorang itu dihadapkan pada Allah ketika hari Senin dan Kamis.” (HR. Abu Dawud no. 2436, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Demikian pula untuk puasa-puasa sunnah yang lain. Motivator utamanya adalah ibadah, bisa karena itulah puasa yang paling dicintai Allah, atau ada pahala yang besar, atau menghapus dosa, dan seterusnya. Oleh karena itu, kami terheran-heran dengan perkataan sebagian orang yang memotivasi kaum muslimin untuk puasa ini dan puasa itu agar sehat dan bisa menurunkan kolesterol, misalnya. Padahal, hadits yang menyebutkan hal itu derajatnya lemah (dha’if) sehingga tidak bisa digunakan sebagai sandaran dalil.

Hadits yang kami maksud adalah,

صوموا تصحوا

“Berpuasalah kalian, agar kalian menjadi sehat.”

Hadits ini lemah (dha’if) sebagaimana penjelasan para ulama ahli hadits dalam hal ini. Sayangnya, hadits ini dikenal luas sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan populer disebutkan oleh para penceramah di bulan Ramadhan. (Lihat Silsilah Al-Ahaadits Ash-Dha’ifah, 1: 420)

8. Menyikapi Manfaat Kesehatan dari Puasa
Taruhlah memang ada manfaat kesehatan tertentu dari berpuasa dengan dilandasi oleh bukti ilmiah yang valid. Meskipun demikian, manfaat kesehatan ini tidak boleh disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga seolah-olah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi umatnya puasa agar berpuasa demi meraih manfaat kesehatan tersebut. Sekali lagi, ini termasuk dusta atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah kami bahas di bab persalinan.

Selain itu, ada bahaya tersendiri dari motivasi semacam ini, yaitu mendorong kaum muslimin agar berpuasa murni demi diet, niatnya murni demi menurunkan kolesterol, dan manfaat duniawi lainnya. Atau, shalat demi olahraga melancarkan peredaran darah. Padahal, ini adalah perbuatan tercela dan terlarang. Allah Ta’ala telah mencela orang-orang yang hanya meminta kepada-Nya tentang urusan-urusan dunia. Allah Ta’ala berfirman,

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ

”Maka di antara manusia ada orang yang berdoa, ’Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia’, dan tiadalah baginya bagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (QS. Al Baqarah [2]: 200)

Allah Ta’ala juga berfirman,

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

”Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Dan Kami tentukan baginya neraka jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (QS. Al-Isra’ [17]: 18)

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ؛ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia serta sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Huud [11]: 15-16)

Al-Qurthubi mengatakan,

أي من أراد بعمله ثواب الدنيا عجل له الثواب ولم ينقص شيئاً في الدنيا، وله في الآخرة العذاب لأنه جرد قصده إلى الدنيا

“Maksudnya, siapa yang beramal karena menghendaki pahala dunia, maka Allah akan segerakan harapannya (di dunia), dan Allah tidak mengurangi bagiannya sedikit pun di dunia. Sementara di akhirat, dia mendapatkan siksaan karena dia memurnikan semua tujuannya untuk dunia.” (Tafsir Al-Qurthubi, 9: 14)

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah berkata,

“Orang-orang yang semata-mata niat, tujuan, dan perbuatannya hanyalah demi dunia adalah orang-orang kafir saja. Oleh karena itu, ayat ini sebenarnya diturunkan berkenaan dengan orang-orang kafir. Akan tetapi, lafadz ayat ini juga mencakup orang-orang yang beramal untuk meraih keuntungan duniawi (sebagaimana orang-orang kafir).” (At-Tamhiid li Syarhi Kitaab Tauhiid, hal. 424)

9. Niat Puasa untuk Ibadah dan Kesehatan

Bagaimana jika niatnya digabungkan, untuk ibadah sekaligus memperoleh manfaat kesehatan?

Yang kami bahas sebelumnya adalah jika seseorang berpuasa dengan 100% niat untuk diet dan menurunkan kolesterol, tidak ada niat untuk akhirat sama sekali. Lalu, jika niatnya digabungkan, untuk ibadah sekaligus memperoleh manfaat kesehatan, bolehkah hal ini?

Perlu diketahui bahwa berkaitan dengan masalah ini, ada dua jenis ibadah.

10. Amal yang Disebutkan Balasannya di Dunia
Amal ibadah yang dikaitkan oleh syariat dengan pahala di dunia. Allah Ta’ala atau Rasul-Nya juga memotivasi hamba-Nya dengan menyebutkan pahala yang akan diperoleh di dunia. Seperti ketika Rasulullah memotivasi umatnya untuk bersilaturahmi agar mendapatkan kelapangan rizki dan memperpanjang umur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya atau meninggalkan nama sebagai orang baik setelah kematiannya, hendaklah dia menyambung silaturrahim.” (HR. Bukhari no. 2067)

Maka, jika dia meniatkan untuk mendapatkan pahala di akhirat dan dunia sekaligus ketika silaturahmi, hal ini tidak mengapa. Karena tidaklah syariat menyebutkan pahala di dunia kecuali untuk mendorong melakukan amal tersebut.

Contoh lain adalah motivasi untuk jihad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا لَهُ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ، فَلَهُ سَلَبُهُ

“Siapa saja yang berhasil membunuh musuh, dan dia memiliki bukti (kalau dia yang berhasil membunuhnya, pent.), maka dia berhak mendapatkan salab (harta rampasan).” (HR. Bukhari no. 3142 dan Muslim no. 2)

“Salab” adalah harta yang melekat di badan orang kafir yang terbunuh di medan jihad. Harta salab ini menjadi milik kaum muslimin yang berhasil membunuh orang kafir tersebut.

Juga sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ؛ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 2-3)

Dalam ayat ini Allah menjanjikan dunia dengan ibadah yang dilakukan oleh manusia dan ini pun dengan syarat niat utamanya adalah untuk beribadah. Karena pada asalnya, kita hendaknya tidak beribadah untuk meraih manfaat duniawi. Adapun hasil dari dunia hanyalah buah dari keutamaan yang Allah Ta’ala berikan kepadanya.

Namun perlu diperhatikan, syariat memang memperbolehkan bagi seseorang untuk berniat mencari pahala dunia di samping juga untuk mencari pahala akhirat bagi amal ibadah yang dikaitkan dengan balasan di dunia. Namun, yang perlu diperhatikan bahwa hal itu akan mengurangi kesempurnaan pahala yang akan dia raih di akhirat. Karena seseorang yang masih meniatkan untuk dunia ketika beribadah menunjukkan kurangnya kesempurnaan ikhlas dan tauhid yang ada dalam hatinya. Seharusnya, dia memurnikan niatnya hanya untuk meraih balasan di akhirat, dan tidak meniatkan untuk dunia. Hal ini justru merupakan sebab kemudahan untuk mendapatkan dunia sesuai dengan janji Allah dalam surat Ath-Thalaq di atas. Dan kelak di akhirat dia akan mendapatkan balasan yang sempurna.

Akan tetapi, kalau dia berniat untuk meraih dunia semata, maka dia akan mendapatkan dunia sebatas pada apa yang dia inginkan dan sebatas yang telah Allah takdirkan. Sedangkan di akhirat, dia tidak mendapatkan apa-apa kecuali siksa yang pedih di neraka. Artinya, jika niat untuk akhirat dihilangkan, dia terkena ancaman dalam surat Huud di atas.

11. Amal yang Tidak Disebutkan Balasannya di Dunia
Ke dua, amal ibadah yang tidak dikaitkan oleh syariat dengan pahala atau balasan di dunia. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya juga tidak mendorong umatnya untuk melakukan ibadah tersebut dengan menyebutkan balasan di dunia. Seperi shalat untuk melancarkan peredaran darah atau puasa untuk menurunkan kolesterol. Maka jika dia shalat atau puasa untuk meraih hal tersebut, hal ini tidak diperbolehkan, dan bisa jadi dia terjatuh ke dalam kemusyrikan. (Lihat At-Tamhiid li Syarhi Kitaab Tauhiid, hal. 424-426 dan Al-Qaulul Mufiid ‘ala Kitabit Tauhiid, 2: 138-139)

12. Kesimpulan
Petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah makanan bersifat global saja, tidak disebutkan secara rinci harus makan dengan metode diet tertentu dan sejenisnya. Berkaitan dengan pola makan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita jumpai hadits-hadits yang menerangkan kondisi sulit beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau sedikit makan, sering kelaparan, dan jarang kenyang. Kondisi ini bukan beliau maksudkan demi diet, namun yang lebih mendekati adalah karena sederhananya rizki dari Allah Ta’ala kepada beliau dalam masalah makanan dan minuman ketika itu. Demikian pula berkaitan dengan puasa, motivasi utama yang selalu beliau sebutkan adalah pahala akhirat, bukan manfaat duniawi. Sehingga siapa saja yang menyandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adanya manfaat puasa terkait kesehatan sebagai motivator ibadah puasa, maka sama saja dengan berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, sekali lagi kami tekankan, istilah “diet sehat ala Rasulullah” atau “pola makan sehat ala Rasulullah” atau yang sejenis dengan itu, bukanlah bahasa atau istilah yang dipakai oleh para ulama. Hal ini karena termasuk menisbatkan sesuatu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa dalil. Dan tentu saja, tidak boleh disebut sebagai thibb nabawi.

Penulis: M. Saifudin Hakim
Sumber: 1. https://muslim.or.id/52404-diet-sehat-ala-rasulullah-1.html
2. https://muslim.or.id/52420-diet-sehat-ala-rasulullah-2.html
Copyright © 2025 muslim.or.id

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M