• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Senin, 10 Maret 2025

Siapakah Ulil Amri atau Penguasa yang Wajib Ditaati?

Bagikan

Daftar Isi :

1. Pengertian “Imam” atau “Ulil Amri” menurut manhaj ahlus sunnah dan metode penetapannya
1.1. Imamah (kepemimpinan) bisa terwujud atau bisa diperoleh dengan tiga cara, sebagaimana yang disepakati oleh para ulama ahlus sunnah:
2. Ulil amri: Diketahui keberadaannya dan diakui kepemimpinannya
3. Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan seseorang boleh memberontak kepada penguasa yang sah
3.1. Hadits pertama
3.2. Hadits kedua
3.3. Hadits ketiga
4. Syarat-syarat bolehnya melengserkan penguasa yang sah
4.1. Syarat yang berkaitan dengan perbuatan kekafiran yang dilakukan oleh sang penguasa
4.2. Syarat yang berkaitan dengan sang penguasa itu sendiri
4.3. Syarat yang berkaitan dengan kondisi orang yang ingin melengserkan penguasa atau kondisi (proses) pengambil-alihan kekuasaan
5. Nasihat dan penjelasan ulama ahlus sunnah dalam masalah melengserkan penguasa atau pemerintah yang sah
6. Penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, apakah bukan ulil amri?
6.1. Menjadikan selain hukum Allah Ta’ala sebagai sumber hukum, apakah termasuk kafir akbar atau kafir ashghar?
6.2. Adanya perselisihan ulama dalam masalah ini
7. Perhatian penting
8. Kesimpulan

Ulil amri (pemerintah atau penguasa) perlu dibahas dengan jelas, mengingat munculnya berbagai penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dari aqidah dan manhaj ahlus sunnah. Sebagian di antara mereka mengangkat seorang imam, padahal orang tersebut tidak bisa mewujudukan kepemimpinan dan kekuasaan, tidak pula memiliki power dan kekuatan sebagai seorang pemimpin.

Misalnya, orang-orang Syi’ah yang meyakini adanya imam (ulil amri), namun mereka tidak mengetahui siapakah dia, apa perintahnya, dan apa larangannya. Mereka juga tidak memiliki metode untuk mengetahuinya, bahkan tidak mengetahui di mana keberadaan sang imam yang mereka yakini tersebut.

Sebaliknya, sebagian orang mengingkari dan tidak mau mengakui bahwa pemimpinnya (yang sah berkuasa) adalah ulil amri yang wajib ditaati. Dan berdasarkan keyakinan tersebut, muncullah berbagai kerusakan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat.

1. Pengertian “Imam” atau “Ulil Amri” menurut manhaj ahlus sunnah dan metode penetapannya
Imam atau ulil amri menurut ahlus sunnah adalah siapa saja yang bisa mewujudkan maksud kepemimpinan dan kekuasaan. Maksudnya, dia memiliki power dan kekuasaan, sehingga dia memaksa orang lain untuk mentaatinya dan mentaati perintahnya, serta untuk melaksanakan keputusan-keputusannya. Juga terwujud dengannya maslahat banyak orang, dan juga tugas-tugas kepemimpinan yang lain.

Abul Hasan Ibnu Az-Zaaghuni rahimahullahu Ta’ala mengatakan,

“Maksud adanya imam (pemimpin) adalah terjaganya urusan politik secara syar’i; tegaknya kebenaran dengan keadilan; diaturnya urusan negara dan masyarakat sehingga dapat terwujud kebaikan (maslahat); terjaganya daerah perbatasan dan tentara sehingga dengannya agama menjadi mulia dan tersebarlah kebenaran; hancurnya kebatilan, kekafiran, kebid’ahan dan kedzaliman; serta tercegahnya orang-orang yang berbuat dzalim dan membantu orang-orang yang didzalimi; dan (tujuan-tujuan kepemimpinan) lainnya sehingga menjadi teraturlah urusan masyarakat secara umum.” (Al-Idhaah fi Ushuulid Diin, hal. 601)

Imamah (kepemimpinan) bisa terwujud atau bisa diperoleh dengan tiga cara, sebagaimana yang disepakati oleh para ulama ahlus sunnah:
Pertama, persetujuan dari orang-orang yang ada dalam ahlul halli wal ‘aqdi, yaitu orang-orang yang memiliki pengaruh di masyarakat, baik karena dia adalah para pemimpin, atau ditokohkan, atau karena mereka adalah orang-orang yang dipercaya di negeri itu. Sehingga ketika ahlul halli wal ‘aqdi telah menyetujui dan mengangkat seseorang sebagai pemimpin, baik orang tersebut termasuk dalam anggota ahlul halli wal ‘aqdi atau di luar anggota ahlul halli wal ‘aqdi, maka jadilah dia sebagai pemimpin dan penguasa yang sah.

Ini adalah metode pemilihan khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhum. Mereka tidak dipilih oleh semua sahabat yang masih hidup ketika itu, akan tetapi hanya dipilih oleh sebagian sahabat saja yang bermusyawarah untuk menentukan siapakah yang paling layak untuk ditunjuk sebagai khalifah. Adapun para sahabat yang lainnya, mereka mengikuti keputusan ahlul halli wal ‘aqdi.

Kedua, melalui pelimpahan kekuasaan dari pemimpin sebelumnya atau disebut dengan wilayatul ‘ahdi. Inilah yang terjadi ketika khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu membuat keputusan bahwa khalifah sepeninggal beliau adalah sahabat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Oleh karena itu, sepeninggal khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, para sahabat pun membaiat khalifah ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sebagai pemimpin yang baru, tanpa ada perselisihan di antara mereka.

Metode ini pun ada dasarnya dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika terjadi Perang Mu’tah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuk satu orang sebagai pemimpin, yaitu Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu. Jika Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu gugur, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan siapakah pemimpin selanjutnya, yaitu Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Kemudian, jika Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu gugur, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menentukan siapakah pemimpin berikutnya, yaitu ‘Abdullah bin Ruwahah radhiyallahu ‘anhu.

Metode pelimpahan kekuasaan inilah yang saat ini dilaksanakan di sebagian negeri-negeri Islam.

Ketiga, ketika secara realita dia telah berkuasa dengan kekuasaannya, meskipun dengan pemberontakan dan pemaksaan, dan meskipun mayoritas manusia membencinya. Maksudnya, jika ada pemberontak yang berhasil mengkudeta, dia bisa mewujudkan perintah-perintahnya, dan memaksakan keputusan-keputusannya, dan tidak ada yang bisa melawannya, maka jadilah dia sebagai seorang penguasa yang baru. Wajib ditaati dan haram untuk diberontak dan dilawan. Hal ini untuk mencegah pertumpahan darah yang terus-menerus di tengah-tengah kaum muslimin.

Metode ke tiga ini juga berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para sahabat radhiyallahu ‘ahum. Ketika ‘Abdul Malik bin Marwan berhasil mengkudeta dan menggulingkan khalifah ‘Abdullah bin Zubair, maka semua sahabat yang masih hidup ketika itu (‘Abdullah bin ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, dan lain-lain) tetap membaiat khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan.

Ini adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin (para sahabat). Dan wajib kita untuk mengikuti ijma’ sahabat, dan tidak boleh bagi kita menyelisihi ijma’ sahabat.

Perlu digarisbawahi, bahwa memberontak adalah haram jika tidak terpenuhi syarat-syaratnya. Akan tetapi, jika pemberontak tersebut berhasil melakukan kudeta, maka wajib taat kepada pemimpin yang baru tersebut. Demikian pula dengan pemimpin yang dipilih melalui jalur demokrasi. Sistem demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi jika ada pemimpin yang sah dan diakui sebagai pemimpin sebagai hasil dari sistem demokrasi, maka wajib ditaati berdasarkan metode yang ke tiga ini.

Diriwayatkan dari ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau berkata,

وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا بَعْدَ صَلَاةِ الغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا العُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا القُلُوبُ، فَقَالَ رَجُلٌ: إِنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟

“Suatu hari setelah shalat subuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan suatu nasihat yang sangat berkesan, sehingga mengalirlah air mata kami, dan hati kami pun bergetar. Salah seorang di antara kami berkata, “Ini adalah nasihat orang yang hendak berpisah. Maka apa yang Engkau wasiatkan kepada kami, wahai Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّهَا ضَلَالَةٌ فَمَنْ أَدْرَكَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَعَلَيْهِ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِّينَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendegar dan taat (kepada penguasa), meskipun dia adalah seorang budak dari Habaysah (Ethiopia). Barangsiapa yang masih hidup di antara kalian, dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak. Waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena hal itu adalah kesesatan. Siapa saja yang mendapati masa-masa itu di antara kalian, maka berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham.” (HR. Tirmidzi no. 2676 dan yang lainnya, hadits shahih)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan bahwa siapa saja yang berhasil merebut kekuasaan (meskipun dengan cara yang tidak benar), dan dia berhasil mengendalikan urusan kepemimpinan di tangannya, maka wajib ditaati, meskipun dia adalah seorang budak. Padahal pada asalnya, seorang budak tidak boleh dan tidak sah diangkat menjadi pemimpin.

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu Ta’ala berkata,

وَالسَّمْعُ وَالطَّاعَةُ لِلْأَئِمَّةِ وَأَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ الْبَرِّ وَالْفَاجِرِ , وَمَنْ وَلِيَ الْخِلَافَةَ فَاجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَرَضُوا بِهِ. وَمَنْ غَلَبَهُمْ بِالسَّيْفِ حَتَّى صَارَ خَلِيفَةً وَسُمِّيَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ.

“Wajib mendengar dan taat kepada imam dan amirul mukminin, baik pemimpin tersebut adalah pemimpin yang baik atau pemimpin yang jahat (fajir). Siapa saja yang memegang kepemimpinan (khilafah), manusia pun bersepakat dan meridhai, (maka wajib ditaati). Atau siapa saja yang berhasil mengalahkan (pemimpin sebelumnya yang sah, pen.) dengan pedang sehingga berhasil diangkat sebagai khalifah dan disebut sebagai amirul mukminin, (maka wajib untuk ditaati).” (Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlus Sunnah li Laalikaai, 1: 161)
Ibnu Bathal rahimahullahu Ta’ala berkata,

وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء

“Para ulama ahli fiqh telah bersepakat wajibnya mentaati sulthan (penguasa) yang berhasil mengalahkan (penguasa sebelumnya) dan berjihad bersamanya. Bahwa mentaatinya itu lebih baik daripada memberontak kepadanya, karena dengannya terjagalah darah (kaum muslimin) dan terwujudlah ketenangan bagi rakyat jelata.” (Fathul Baari, 7: 3)

2. Ulil amri: Diketahui keberadaannya dan diakui kepemimpinannya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ بِطَاعَةِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْجُودِينَ الْمَعْلُومِينَ الَّذِينَ لَهُمْ سُلْطَانٌ يَقْدِرُونَ بِهِ عَلَى سِيَاسَةِ النَّاسِ لَا بِطَاعَةِ مَعْدُومٍ وَلَا مَجْهُولٍ، وَلَا مَنْ لَيْسَ لَهُ سُلْطَانٌ، وَلَا قُدْرَةٌ (9) عَلَى شَيْءٍ أَصْلًا

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati pemimpin yang diketahui keberadaannya dan diketahui (siapakah dia orangnya), yaitu yang memiliki kekuasaan (power) untuk mengatur urusan manusia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan untuk mentaati ulil amri yang wujudnya saja tidak ada, atau tidak diketahui (siapakah dia dan di manakah keberadannya), dan juga tidak memiliki kekuasaan dan power sama sekali.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 1: 115)

Berdasarkan penjelasan Syaikhul Islam di atas, maka tidak boleh menurut akal sehat dan juga menurut aturan syariat, kita mengangkat seseorang sebagai imam, membaiatnya, padahal orang itu tidak memiliki kekuasaan dan kedaulatan yang riil.

Contohnya sebagian orang yang ingin meuwujudkan negara Islam, lalu mereka membaiat satu orang sebagai pemimpin secara rahasia dan sembunyi-sembunyi yang mengatur urusan kelompoknya tersebut, maka orang ini adalah “ulil amri gadungan”. Karena jika dia menampakkan jati dirinya, tentu dia akan takut ditangkap oleh aparat keamanan. Hal ini menunjukkan bahwa dia tidak memiliki power dan kekuasaan riil untuk memaksa orang lain mengikuti perintahnya. Demikian pula pemimpin ormas (organisasi masyarakat) tertentu, dia bukanlah ulil amri.

Dalam riwayat Ishaq bin Manshur rahimahullah, Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala ditanya tentang hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ لَهُ إِمَامٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati dalam kondisi tidak memiliki imam, maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah.”

(Imam Ahmad ditanya), apa makna hadits tersebut?”

Imam Ahmad rahimahullahu Ta’ala berkata,

تَدْرِي مَا الْإِمَامُ؟ الْإِمَامُ الَّذِي يُجْمِعُ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ، كُلُّهُمْ يَقُولُ: هَذَا إِمَامٌ؛ فَهَذَا مَعْنَاهُ

“Tahukah kalian, siapakah imam itu? Imam adalah orang disepakati oleh kaum muslimin (untuk diangkat sebagai imam), semua mereka mengatakan, “Inilah imam (pemimpin) kami.” Inilah makna hadits tersebut.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 1: 527)

Maka pemimpin adalah siapa saja yang ketika masyarakat (rakyat) ditanya, “Siapakah pemimpin kalian?” Maka rakyat siapa pun dia akan menyebut nama tertentu, semua orang mengetahui dan mengakui dia adalah seorang pemimpin.

Dalam konteks negara Indonesia, ada zaman Presiden Soekarno, sehingga semua rakyat Indonesia ketika ditanya siapakah presiden (ulil amri) saat itu, mereka semua tentu akan mengatakan “Presiden Soekarno”. Demikianlah seterusnya, ketika zaman Presiden Soeharto, dan terus berlanjut hingga sekarang ini. Beliau-beliau adalah ulil amri, karena kepemimpinan mereka diketahui semua orang, memiliki power dan kekuasaan untuk membuat peraturan dan undang-undang, dan memaksa rakyat untuk mematuhi peraturan tersebut, suka atau tidak suka. Dan mereka berhak menghukum siapa saja yang melanggar aturan tersebut. Sebagai panglima tertinggi, mereka memiliki aparat, yaitu polisi dan tentara, yang menjaga kemanan, ketertiban dan kedaulatan negara. Demikian pula jajaran di bawahnya, seperti menteri, gubernur dan bupati, adalah ulil amri yang wajib ditaati karena mereka memiliki kewenangan-kewenangan sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing.

Maka perhatikanlah dan renungkanlah hal ini.
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id

Catatan kaki:
[1] Kami banyak mengambil faidah dari kitab: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 73-76 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Sumber: https://muslim.or.id/39596-siapakah-ulil-amri-atau-penguasa-yang-wajib-ditaati-bag-1.html
Copyright © 2025 muslim.or.id

Di seri sebelumnya telah kami sebutkan siapakah ulil amri yang wajib ditaati sesuai dengan penjelasan para ulama ahlus sunnah. Penguasa tersebut wajib ditaati, baik sang penguasa adalah penguasa yang adil ataupun yang jahat (dzalim). Kitab-kitab ‘aqidah para ulama ahlus sunnah dari masa ke masa telah menyebutkan hal ini, sebagaimana yang telah kami sebutkan di tulisan tersendiri [1].

Demikian pula, wajib bagi rakyat untuk tetap mendengar dan taat, serta bersabar ketika mendapati penguasanya adalah penguasa yang dzalim, yaitu penguasa yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan rakyatnya. Sebagaimana hal ini juga telah kami bahas secara panjang lebar di tulisan tersendiri (enam seri tulisan) [2].

Aqidah ahlus sunnah dalam masalah ini bertentangan dengan ‘aqidah kelompok Khawarij yang membolehkan khuruj (memberontak) dari penguasa yang sah, ketika mereka mendapati sang penguasa adalag penguasa yang dzalim dan melakukan perbuatan dosa besar (fasik).
Namun perlu diketahui bahwa para ulama ahlus sunnah telah menetapkan syarat-syarat yang ketat untuk bolehnya seseorang memberontak dari penguasa yang sah. Syarat-syarat ini tentu saja ditetapkan oleh ahlus sunnah dengan menimbang dalil-dalil dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan seseorang boleh memberontak kepada penguasa yang sah
Dalam bagian ini, kami akan sebutkan beberapa hadits pokok dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan seseorang boleh memberontak kepada penguasa yang sah. Kami sebutkan tiga hadits pokok ini saja untuk menghindari panjangnya tulisan ini.

3.1. Hadits pertama
Junadah bin Abi Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami menemui ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu ketika beliau sedang dalam kondisi sakit. Kami mengatakan, “Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaanmu (menyembuhkanmu, pen.). Sampaikanlah kepada kami suatu hadits yang Engkau dengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga Allah memberikan manfaat (pahala) kepadamu dengan sebab hadits yang Engkau sampaikan (kepada kami).”

Sahabat ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu Ta’ala ‘anhu mengatakan,

دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah kepada kami dan kami pun berbaiat kepada beliau. Maka Nabi mengatakan di antara poin baiat yang beliau ambil dari kami, Nabi meminta kepada kami untuk mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah penguasa tersebut) kami bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik (perintah penguasa tersebut) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot) atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.), dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak, pen.). Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)

3.2. Hadits kedua
Diriwayatkan dari Ummu Salamah radhiyallahu Ta’ala ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ، فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ، وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ

“Akan ada sejumlah penguasa. Perbuatan penguasa tersebut ada yang kalian kenal (karena merupakan perbuatan kebaikan) dan ada yang kalian ingkari (karena perbuatan tersebut adalah maksiat dan kemunkaran) [3]. Siapa saja yang mengetahui (menyadari) bahwa perbuatan penguasa tersebut adalah maksiat (dan dia tidak menyetujuinya), maka dia telah terbebas dari tanggungan dosa. Dan siapa saja yang mengingkari, dia selamat dari dosa. Akan tetapi siapa saja yang ridha (dengan maksiat yang dilakukan penguasa) dan bahkan menjadi pendukungnya, (itulah yang terancam dosa).”

Para sahabat bertanya,

أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟

“Tidakkah kami perangi mereka?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَا، مَا صَلَّوْا

“Tidak, selama mereka (masih) mengerjakan shalat.” (HR. Muslim no. 1854)

3.3. Hadits ketiga
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan sejelek-jelek penguasa adalah penguasa yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian. Mereka melaknat kalian dan kalian pun melaknatnya [4].”

Ditanyakan kepada beliau,

يَا رَسُولَ اللهِ، أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟

“Wahai Rasulullah, bolehkah kami membangkang (memberontak) kepada mereka dengan pedang?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَا، مَا أَقَامُوا فِيكُمُ الصَّلَاةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ، فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ، وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Jangan, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah-tengah kalian. Jika kalian melihat sesuatu (kebijakan) yang kalian benci dari penguasa kalian, maka bencilah perbuatannya. Namun janganlah kalian mencabut tangan dari ketaatan (terhadap penguasa).” (HR. Muslim no. 1855)

Hadits ke dua dan ke tiga menunjukkan bahwa selama sang penguasa masih mendirikan shalat, maka tidak boleh diperangi. Sedangkan hadits pertama menunjukkan bahwa boleh memberontak jika kita melihat kekafiran yang nyata pada sang penguasa. Oleh karena itu, bisa dipahami dari hadits-hadits tersebut bahwa ketika sang penguasa meninggalkan shalat, maka perbuatan tersebut termasuk kekafiran. Sehingga hadits ini adalah di antara dalil yang disebutkan oleh para ulama bahwa meninggalkan shalat (tidak shalat sama sekali) adalah termasuk perbuatan kekafiran. Dan inilah pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini.

Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id

Catatan kaki:
[1] Silakan disimak tulisan kami sebelumnya:
[2] Silakan dibaca tulisan kami mengenai kewajiban ini dalam enam seri tulisan. Link di bawah ini hanya untuk seri pertama dan seri ke enam:
[3] Artinya, penguasa tersebut ada kebaikannya, namun banyak pula maksiatnya.
[4] Yang dimaksud dengan “laknat” di sini bukanlah melaknat penguasa di berbagai forum dan kesempatan, karena hal ini tentu saja akan menyebabkan hilangnya rasa aman di tengah-tengah masyarakat serta timbulnya kekacauan dan kerusakan. Akan tetapi, laknat di sini adalah antara mereka (rakyat) dengan dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh berbagai dalil syariat yang diambil dari Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Silakan dibaca kembali tulisan kami tentang bagaimana petunjuk Nabi dalam menyikapi pemimpin yang dzalim.

Sumber: https://muslim.or.id/39688-siapakah-ulil-amri-atau-penguasa-yang-wajib-ditaati-bag-2.html
Copyright © 2025 muslim.or.id

4. Syarat-syarat bolehnya melengserkan penguasa yang sah
Telah berlalu pembahasan tidak bolehnya keluar melengserkan penguasa disebabkan oleh kedzaliman, kefasikan dan kejahatan yang dilakukan oleh sang penguasa. Dalam pembahasan kali ini, harus kita ketahui bahwa terdapat tiga syarat pokok yang harus dipenuhi jika seseorang ingin melengserkan penguasa yang sah.

4.1. Syarat yang berkaitan dengan perbuatan kekafiran yang dilakukan oleh sang penguasa
Syarat ini berkaitan erat dengan hadits yang telah kami sebutkan diseri sebelumnya, yaitu:

إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala (bahwa itu adalah kekafiran).” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)

Masing-masing kata dalam hadits di atas menunjukkan perbuatan seperti apakah yang membolehkan melengserkan penguasa.

Pertama, “kalian melihat” artinya perbuatan kekafiran tersebut dilakukan oleh sang penguasa secara terang-terangan, sehingga bisa dilihat oleh semua orang tanpa ada keraguan bahwa sang penguasa betul-betul melakukan perbuatan tersebut. Bukan hanya berdasarkan gosip, isu, berita-berita yang tidak jelas kebenaranya, atau “katanya dan katanya”. Tidak pula dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga tidak diketahui oleh semua orang.

Kedua, “kekafiran”. Jadi, perbuatan tersebut adalah kekafiran, bukan hanya sekedar maksiat. Korupsi, nepotisme, atau kebijakan yang menyengsarakan rakyat, tidaklah termasuk dalam perbuatan kekafiran sehingga tidak termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Ketiga, “yang nyata”. Maksudnya, perbuatan tersebut jelas-jelas merupakan perbuatan kekafiran, dimana kaum muslimin sepakat (ijma’) bahwa perbuatan tersebut adalah kekafiran.

Contoh kekafiran yang nyata adalah mencaci maki Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, atau dia berpindah agama (murtad), atau mencaci maki syariat Islam dengan mengatakan bahwa syariat Islam itu tidak sesuai dengan perkembangan jaman, tidak adil (dzalim), atau jenis-jenis kekafiran yang disepakati lainnya.

Oleh karena itu, tidak boleh melengserkan penguasa jika perbuatan yang dilakukan oleh sang penguasa tersebut diperselisihkan oleh para ulama tentang status kekafirannya. Misalnya, enggan membayar zakat, berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala tanpa meyakini bolehnya hal tersebut dan tanpa meyakini bahwa selain hukum Allah Ta’ala itulah yang lebih baik, dan perbuatan-perbuatan lainnya yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah termasuk perbuatan kekafiran ataukah tidak.

Keempat, “kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran”. Bukan sekedar ikut-ikutan fatwa orang lain, akan tetapi kalian memang benar-benar memiliki bukti di sisi Allah Ta’ala dan berani mempertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta’ala bahwa perbuatan sang penguasa tersebut memang betul kekafiran.

4.2. Syarat yang berkaitan dengan sang penguasa itu sendiri
Yaitu, penguasa tidak melakukan perbuatan kekafiran tersebut karena adanya salah paham (takwil) dalam memahami dalil, bukan pula karena dipaksa, atau karena adanya syubhat (kerancuan berpikir) sehingga menjadi penghalang vonis kafir atau menjadi penghalang atas berlakunya hadits-hadits ancaman kepada sang penguasa tersebut.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra’ [17]: 15)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Vonis kafir (takfir) termasuk dalam bab ancaman (al-wa’iid). Meskipun suatu perkataan dinilai mendustakan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi terkadang seseorang (yang mengucapkannya) baru saja masuk Islam atau dia tumbuh besar di negeri yang terpencil. Jika kondisinya semacam ini, tidaklah divonis kafir dengan penentangan yang dia lakukan sampai ditegakkan kepadanya hujjah (argumentasi). Dan terkadang, seseorang juga belum mendengar (mengetahui) dalil, atau dia mendengarnya namun dia tidak memahaminya dengan baik, atau ada faktor penghalang yang lain di benaknya sehingga dia pun mentakwil dalil tersebut, meskipun dia keliru.” (Majmu’ Fatawa, 3: 231)

Inilah di antara pokok ‘aqidah ahlus sunnah berkaitan dengan takfir (memvonis kafir person tertentu) dan berlakunya ancaman, menyelisihi golongan-golongan yang menyimpang dalam masalah ini, seperti khawarij dan mu’tazilah.

Dan tidak diragukan lagi bahwa penguasa terkadang memiliki syubhat-syubhat atau takwil yang tidak dijumpai pada masyarakat awam. Karena bisa jadi sang penguasa tersebut memiliki penasihat-penasihat berupa ulama suu’ (ulama yang jahat dan sesat), atau dia memiliki pembisik-pembisik yang menghias-hiasi kebatilan sehingga seolah-olah sebagai sebuah kebenaran, atau sebab-sebab lainnya. Kondisi semacam ini bisa dijumpai di jaman kapan pun, lebih-lebih pada jaman kita saat ini.

Terkadang, seorang penguasa juga terluput dari ilmu, meskipun ilmu tersebut diketahui oleh masyarakat luas. Hal ini karena kesibukan sang penguasa dalam urusan pemerintahan, atau karena jauhnya sang penguasa dari ulama atau orang-orang yang shalih secara umum, terlebih lagi di jaman kita ini.

Oleh karena itu, hendaknya kita bersikap ekstra hati-hati dalam masalah vonis kafir kepada penguasa, lebih dari kehati-hatian kita jika hal itu berkaitan dengan masyarakat atau rakyat biasa yang bukan penguasa. Hal ini karena vonis kafir kepada penguasa adalah masalah yang sangat berbahaya karena menyangkut nyawa jutaan manusia.

4.3. Syarat yang berkaitan dengan kondisi orang yang ingin melengserkan penguasa atau kondisi (proses) pengambil-alihan kekuasaan
Ketika syarat pertama dan kedua di atas sudah terpenuhi, masih ada syarat yang ke tiga, yaitu syarat yang berkaitan dengan kondisi orang yang ingin melengserkan sang penguasa.

Pertama, memiliki kemampuan untuk menyingkirkan penguasa. Syarat ini berkaitan dengan kaidah syariat secara umum yang mengaitkan perintah syar’i dengan adanya kemampuan. Allah Ta’ala berfirman,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Dan Allah tidaklah membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka laksanakanlah sesuai dengan kemampuan kalian.” (HR. Bukhari no. 7288)

Jika sang penguasa memiliki tentara dengan persenjataan lengkap dan modern, seperti tank, jet tempur, dan kapal perang, maka bukanlah termasuk “memiliki kemampuan” jika rakyat yang ingin melengserkan penguasa tersebut hanya mengandalkan ketapel, busur panah, batu, kerikil, pedang, atau sejenisnya. Karena tentu saja kekuatan tersebut tidaklah sebanding sama sekali. Maka perhatikanlah hal ini. Bukan pula termasuk “memiliki kemampuan” jika mereka butuh dan meminta bantuan dari luar negeri, yaitu bantuan negara-negara kafir, untuk melengserkan sang penguasa.

Ke dua, dalam proses pengambil-alihan kekuasaan tersebut tidak menyebabkan munculnya bahaya, kerusakan atau kekacauan yang lebih parah, lebih besar atau lebih banyak dibandingkan jika sang penguasa tersebut tidak dilengserkan. Hal ini karena di antara syarat mengingkari kemungkaran (inkarul munkar) adalah tidak boleh muncul adanya kemunkaran yang lebih parah disebabkan karena adanya pengingkaran tersebut.

Allah Ta’ala berfirman berkaitan dengan prinsip ini,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am [6]: 108)

Allah Ta’ala mengharamkan atas kita perbuatan mencaci maki atau merendahkan sesembahan orang-orang kafir, padahal perbuatan tersebut ada maslahatnya, minimal untuk menghinakan sesembahan mereka. Hal ini karena perbuatan tersebut akan berdampak pada dicaci makinya Allah Ta’ala, dan ini adalah mafsadah (bahaya) yang lebih besar.

Termasuk di antara kaidah yang esensial adalah bahwa tindakan inkarul munkar apa pun (dalam hal ini adalah pengambil-alihan kekuasaan secara paksa), jika menyebabkan timbulnya bahaya pada kaum muslimin, maka tidak boleh dilakukan kecuali atas seijin kaum muslimin. Jika tindakan tersebut tidak atas seijin dan ridha kaum muslimin, maka jadilah kudeta tersebut termasuk dalam tindakan menyakiti kaum muslimin dan melampaui batas terhadap mereka.

Hal ini bisa kita lihat dalam berbagai tragedi kudeta (pemberontakan) dalam sejarah umat Islam, ketika masyarakat umum, meskipun tidak ikut-ikutan atau tidak menyetujui pemberontakan, mereka pun pada akhirnya ikut menjadi korban, dengan hilangnya nyawa atau harta mereka.

Termasuk dalam syarat ke dua ini adalah terdapat pemimpin baru yang lebih baik atau lebih cakap dalam memimpin dibandingkan pemimpin lama yang dilengserkan. Jika pemimpin baru hasil kudeta itu kondisinya sama saja atau bahkan lebih buruk dari pemimpin sebelumnya, maka syarat ini menjadi tidak terpenuhi. Karena prinsip ahlus sunnah bukanlah semata-mata mengganti dan melengserkan, namun memperbaiki ke arah (kondisi) yang lebih baik.

Jika syarat-syarat di atas tidak terpenuhi, tidak boleh melakukan pengambil-alihan kekuasaan secara paksa. Kewajiban rakyat dalam kondisi tidak terpenuhi syarat-syarat di atas adalah bersabar atas kedzaliman sang penguasa, demi mencegah timbulnya mafsadah yang jauh lebih besar jika tetap memaksakan kudeta, meskipun sang penguasa melakukan tindakan kekafiran yang nyata. Penguasa tersebut wajib ditaati, kecuali dalam hal-hal maksiat kepada Allah Ta’ala.

Dan siapa saja yang merenungkan syarat-syarat di atas, kita jumpai bahwa persyaratan di atas sungguh berat untuk dipenuhi. Hal ini tidaklah mengherankan karena tindakan semacam ini (mengambil alih kekuasaan secara paksa) memiliki dampak yang sangat luas bagi jutaan nyawa dan harta manusia. Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya tulisan ini akan kami sebutkan perkataan para ulama terkait masalah ini.

Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id

Catatan kaki:
[1] Kami banyak mengambil faidah dari kitab: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 58-60 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Sumber: https://muslim.or.id/40163-siapakah-ulil-amri-atau-penguasa-yang-wajib-ditaati-bag-3.html
Copyright © 2025 muslim.or.id

5. Nasihat dan penjelasan ulama ahlus sunnah dalam masalah melengserkan penguasa atau pemerintah yang sah
Dalam pembahasan sebelumnya, kami sebutkan syarat-syarat bolehnya melengserkan penguasa yang sah. Dalam pembahasan kali ini, kami sebutkan penjelasan para ulama yang berkaitan dengan ditetapkannya syarat-syarat tersebut.

Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata ketika menjelaskan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat ‘Ubadah bin Shaamit radhiyallahu ‘anhu,

أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Maka Nabi mengatakan di antara poin baiat yang beliau ambil dari kami, Nabi meminta kepada kami untuk mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah penguasa tersebut) kami bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik (perintah penguasa tersebut) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot) atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.), dan supaya kami tidak merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak, pen.). Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah berkata,

“Hadits ini menunjukkan bahwa mereka (rakyat) tidak boleh menentang atau memberontak kepada ulil amri (penguasa), kecuali jika mereka melihat kekafiran yang nyata dan dalam kondisi mereka memiliki bukti di hadapan Allah (bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan kekafiran). Hal ini semata-mata karena keluar memberontak kepada penguasa yang sah menyebabkan timbulnya berbagai kerusakan dan kekacauan yang sangat besar, menghilangkan rasa aman (di masyarakat), dan tersia-siakannya hak-hak masyarakat. Tidaklah mudah menegur orang (penguasa) yang berbuat zalim dan tidak mudah pula menolong orang yang dizalimi, sehingga jalan-jalan tersebut memang tidak aman.

Sehingga, keluar memberontak kepada penguasa akan menimbulkan kerusakan dan kekacauan yang besar. Kecuali jika kaum muslimin melihat bahwa penguasa melakukan tindakan kekafiran yang nyata dan memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu adalah kekafiran. (Dalam kondisi seperti ini), mereka boleh memberontak untuk melengserkan sang penguasa jika mereka memiliki kemampuan. Adapun jika mereka tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak. Atau jika kudeta tersebut menimbulkan kerusakan yang lebih besar, maka tidak boleh ada kudeta, demi menjaga maslahat (kebaikan) kaum muslimin secara umum.

(Hal ini berdasarkan) kaidah syar’iyyah yang disepakati, yaitu:

أنه لا يجوز إزالة الشر بما هو أشر منه، بل يجب درء الشر بما يزيله أو يخففه

‘Sesungguhnya tidak boleh menghilangkan kejelekan dengan kejelekan yang lebih parah. Bahkan wajib hukumnya menghilangkan kejelekan dengan sesuatu yang benar-benar menghilangkan kejelekan tersebut atau (minimal) meminimalisir kejelekan tersebut.’

Adapun menghilangkan kejelakan dengan (menimbulkan) kejelekan yang lebih parah, maka ini tidak diperbolehkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Jika sekelompok orang yang ingin melengserkan penguasa yang telah melakukan kekafiran yang nyata tersebut memiliki kemampuan untuk melengserkan penguasa dan menggantinya dengan pemimpin (baru) yang baik dan shalih, tanpa menimbulkan kerusakan yang besar atas kaum muslimin, dan tanpa menimbulkan kejelekan yang lebih besar daripada kejelekan penguasa yang lama, maka boleh (melakukan kudeta).

Adapun jika kudeta tersebut menimbulkan kerusakan yang besar, hilangnya rasa aman, kezaliman terhadap manusia, pembunuhan orang-orang yang tidak boleh dibunuh, atau kerusakan besar lainnya, maka dalam kondisi seperti ini tidak boleh memberontak. Akan tetapi, wajib untuk bersabar, mendengar dan taat dalam perkara kebaikan, tetap menasihati penguasa, berdakwah kepadanya dengan kebaikan, dan melakukan upaya untuk meminimalisir kejelekan dan memperbanyak perbaikan.

Inilah jalan yang lurus yang wajib untuk ditempuh, karena di dalamnya terdapat maslahat untuk kaum muslimin secara umum, juga karena di dalamnya terdapat usaha meminimalisir kejelekan dan memperbanyak perbaikan, juga menjaga keamanan dan keselamatan kaum muslimin dari kejelekan yang lebih besar.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 8: 203)

Senada dengan penjelasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah di atas, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,

“Jika kita memiliki kemampuan untuk melengserkan penguasa, maka dalam kondisi ini boleh untuk melakukan kudeta. Adapun jika kita tidak mampu, maka tidak boleh melakukan kudeta. Karena semua kewajiban syariat itu dikaitkan dengan adanya kemampuan.

Kemudian jika kita memberontak, namun menimbulkan kerusakan yang lebih besar, dibandingkan jika pemimpin tersebut tetap berada pada kekuasaannya, (maka tidak boleh memberontak, pen.). Karena seandainya kita memberontak namun kemudian tampak bahwa kemuliaan itu milik penguasa (yang dilengserkan) tersebut, maka jadilah kita lebih hina lagi, jadilah kita ngotot dalam perbuatan melampaui batas dan bisa jadi lebih banyak kekafirannya.

Maka permasalahan ini membutuhkan akal (perlu dipikirkan masak-masak, pen.) dan hendaknya syariat diringi dengan akal sehat. Hendaknya semata-mata perasaan itu dijauhkan dari urusan semacam ini. Kita memang membutuhkan perasaan untuk menyemangati kita, namun kita membutuhkan akal sehat dan syariat agar kita tidak dijerumuskan oleh perasaan ke dalam kehancuran.” (Liqaa’ Al-Baab Al-Maftuuh, pertanyaan no. 1222).

Yang patut diperhatikan pula adalah mayoritas pemberontakan yang terjadi di masa silam, meskipun pemberontakan tersebut disebabkan oleh kekafiran nyata (atas dasar yakin) yang dilakukan oleh penguasa, pemberontakan tersebut tidaklah menghasilkan kecuali kerusakan dan kekacauan, termasuk terbunuhnya banyak kaum muslimin. Padahal, pemberontakan zaman dahulu itu seimbang dari sisi bahwa antara pemberontak dan penguasa bisa jadi memiliki jenis persenjataan yang sama, misalnya pedang, tombak, panah atau pasukan berkuda atau unta.

Adapun di zaman sekarang ini, persenjataan itu banyak jenisnya. Persenjataan kelas berat semacam pesawat tempur, roket, tank, dan selainnya, tidaklah dimiliki kecuali oleh negara dengan penguasa atau pemerintahan yang sah. Adapun orang-orang yang memberontak, tentu saja mereka tidak mampu memilikinya. Maka di poin ini, tentu lebih layak lagi bahwa kesuksesan pemberontakan di zaman ini adalah satu hal yang mustahil. Dan inilah fakta dan realita bahwa berbagai macam kudeta di zaman ini tidaklah menghasilkan kecuali kerusakan dan kekacauan. Hal ini di antaranya disebabkan oleh penggunaan senjata-senjata modern semacam itu.

Oleh karena itu, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

“Apa faidahnya jika kita memberontak kepada penguasa, dan kita tidaklah memberontak kepada penguasa kecuali hanya membawa bekal pisau dapur, sedangkan penguasa memiliki tank dan peluru. Tidak ada faidahnya. Hal semacam ini hanyalah memberontak untuk bunuh diri” (Syarh Riyadhus Shalihin, 4: 515)

Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id

Catatan kaki:
[1] Kami banyak mengambil faidah dari kitab: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 61-63 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.

Sumber: https://muslim.or.id/40165-siapakah-ulil-amri-atau-penguasa-yang-wajib-ditaati-bag-4.html
Copyright © 2025 muslim.or.id

6. Penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah Ta’ala, apakah bukan ulil amri?
Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan ini, perlu diketahui bahwa ketika syariat menyebut suatu perbuatan sebagai “kekafiran”, bisa jadi maksudnya adalah kafir akbar (mengeluarkan seseorang dari Islam) atau kafir ashghar (tidak mengeluarkan seseorang dari Islam).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

فَأَمَّا الْكُفْرُ فَنَوْعَانِ: كُفْرٌ أَكْبَرُ، وَكُفْرٌ أَصْغَرُ. فَالْكَفْرُ الْأَكْبَرُ هُوَ الْمُوجِبُ لِلْخُلُودِ فِي النَّارِ. وَالْأَصْغَرُ مُوجِبٌ لِاسْتِحْقَاقِ الْوَعِيدِ دُونَ الْخُلُودِ،

“Adapun kekafiran itu ada dua macam, kafir akbar (kafir besar) dan kafir ashghar (kafir kecil). Yang dimaksud kafir akbar adalah kafir yang menyebabkan pelakunya kekal di neraka. Adapun kafir ashghar menyebabkan seseorang berhak mendapatkan ancaman, namun tidak kekal di neraka.” (Madaarijus Saalikin, 1: 344)

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

واعلم أن تحرير المقام في هذا البحث أن الكفر، والظلم، والفسق، كل واحد منها ربما أطلق في الشرع مرادا به المعصية تارة، والكفر المخرج من الملة أخرى

“Ketahuilah bahwa yang baku dalam masalah ini adalah bahwa kekafiran, kezaliman dan kefasikan itu masing-masing terkadang dimaksudkan dalam syariat untuk perbuatan maksiat, dan terkadang dimaksudkan untuk perbuatan kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama.” (Tafsir Adhwa’ul Bayaan, 1: 407-408)

Jika hal ini sudah dipahami dengan baik, maka dari sini muncullah pembahasan:

6.1. Menjadikan selain hukum Allah Ta’ala sebagai sumber hukum, apakah termasuk kafir akbar atau kafir ashghar?
Masalah penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah adalah masalah yang penting. Hal ini mengingat banyaknya orang yang menyangka bahwa ketika suatu pemerintahan atau negara tidak menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai “undang-undang dasar negara”, maka siapa pun pemimpinnya, maka dia bukanlah ulil amri yang wajib ditaati. Misalnya, seseorang enggan untuk mengakui seorang penguasa atau pemimpin suatu negara sebagai ulil amri, ketika negara tersebut menjadikan hukum buatan manusia sebagai sumber hukum.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat dan meneliti bagaimanakah penjelasan ulama tentang masalah ini.

Para ulama menjelaskan bahwa semata-mata berhukum dengan hukum selain Allah Ta’ala tidak termasuk dalam kufur akbar, selama dia masih meyakini bahwa perbuatan tersebut salah (keliru) dan dia mengakui bahwa perbuatan tersebut adalah maksiat (perbuatan dosa). Berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala termasuk dalam kufur akbar jika pelakunya meyakini bolehnya hal tersebut (istihlal) atau memang dia mengingkari dan menolak (juhud) hukum Allah Ta’ala tersebut.

Sama saja apakah (a) hukum selain hukum Allah Ta’ala tersebut dijadikan sebagai dasar negara, atau (b) jika hukum Islam dijadikan sebagai undang-undang dasar namun dalam satu permasalahan tertentu, hukum Islam tersebut ditinggalkan dan memilih hukum buatan manusia. Karena yang menjadi patokan adalah jenis perbuatan, yaitu adanya istihlal atau juhud, bukan pada sedikit atau banyaknya perbuatan.

Oleh karena itu, taruhlah suatu negara menjadikan hukum Islam sebagai undang-undang dasar, namun dalam satu permasalahan tertentu, sang hakim meninggalkan hukum Islam berkaitan dengan masalah tertentu tersebut disertai istihlal dan juhud, maka perbuatan ini termasuk dalam kufur akbar.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu Ta’ala menjelaskan permasalahan ini,

وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْحُكْمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ يَتَنَاوَلُ الْكُفْرَيْنِ، الْأَصْغَرَ وَالْأَكْبَرَ بِحَسَبِ حَالِ الْحَاكِمِ، فَإِنَّهُ إِنِ اعْتَقَدَ وُجُوبَ الْحُكْمِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فِي هَذِهِ الْوَاقِعَةِ، وَعَدَلَ عَنْهُ عِصْيَانًا، مَعَ اعْتِرَافِهِ بِأَنَّهُ مُسْتَحِقٌّ لِلْعُقُوبَةِ، فَهَذَا كُفْرٌ أَصْغَرُ، وَإِنِ اعْتَقَدَ أَنَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَأَنَّهُ مُخَيَّرٌ فِيهِ، مَعَ تَيَقُّنِهِ أَنَّهُ حُكْمُ اللَّهِ، فَهَذَا كُفْرٌ أَكْبَرُ، وَإِنْ جَهِلَهُ وَأَخْطَأَهُ فَهَذَا مُخْطِئٌ، لَهُ حُكْمُ الْمُخْطِئِينَ

“Yang tepat, bahwa berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala mencakup dua jenis kekafiran, yaitu kufur ashghar dan kufur akbar, sesuai dengan kondisi (keadaan) sang hakim. (Kondisi pertama), jika dia meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah dalam suatu permasalahan (dia mengetahui bagaimana hukum Allah dalam masalah tersebut, pen.), kemudian dia berpaling karena (sengaja) bermaksiat dengan tetap meyakini bahwa dia berhak mendapatkan hukuman, maka dalam kasus ini termasuk dalam kufur ashghar. (Kondisi ke dua), adapun jika dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib dan (dia meyakini) bolehnya (bebas) memilih, padahal dia mengetahui (meyakini) bahwa hukum tersebut betul-betul termasuk dalam hukum Allah, maka dalam kasus ini termasuk dalam kufur akbar. (Dalam kasus lain), jika dia tidak berilmu (tidak mengetahui hukum Allah Ta’ala dalam masalah tersebut) atau karena kekeliruan (misalnya, keliru dalam berijtihad, pen.), maka dia telah berbuat kesalahan, dan baginya hukum orang yang berbuat kesalahan (karena ketidaksengajaan).” (Madaarijus Saalikin, 1: 336)

Ketika menjelaskan ayat,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka termasuk orang-orang kafir” (QS. Al-Maidah [5]: 44).

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,

ومن لم يحكم بما أنزل الله، معارضة للرسل وإبطالا لأحكام الله، فظلمه وفسقه وكفره كلها كفر مخرج عن الملة، ومن لم يحكم بما أنزل الله معتقدا أنه مرتكب حراما فاعل قبيحا فكفره وظلمه وفسقه غير مخرج عن الملة،

“Seorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dalam kondisi dia menentang para rasul dan menghapus hukum-hukum Allah, maka kezaliman, kefasikan dan kekafirannya adalah kekafiran yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam. Adapun seorang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, dengan tetap meyakini bahwa dia telah melakukan perbuatan yang haram (maksiat) atau berbuat kejelekan, maka kekafiran, kedzaliman dan kefasikannya tidak mengeluarkan dirinya dari agama Islam.” (Tafsir Adhwa’ul Bayaan, 1: 408)

Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata,

وَهُنَا أَمْرٌ يَجِبُ أَنْ يُتَفَطَّنَ لَهُ، وَهُوَ: أَنَّ الْحُكْمَ بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَدْ يَكُونُ كُفْرًا يَنْقُلُ عَنِ الْمِلَّةِ، وَقَدْ يَكُونُ مَعْصِيَةً: كَبِيرَةً أَوْ صَغِيرَةً، وَيَكُونُ كُفْرًا: إِمَّا مَجَازِيًّا، وَإِمَّا كُفْرًا أَصْغَرَ، عَلَى الْقَوْلَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ. وَذَلِكَ بِحَسَبِ حَالِ الْحَاكِمِ: فَإِنَّهُ إِنِ اعْتَقَدَ أَنَّ الْحُكْمَ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ غَيْرُ وَاجِبٍ، وَأَنَّهُ مُخَيَّرٌ فِيهِ، أَوِ اسْتَهَانَ بِهِ مَعَ تَيَقُّنِهِ أَنَّهُ حُكْمُ اللَّهِ ، فَهَذَا كَفْرٌ أَكْبَرُ. وَإِنِ اعْتَقَدَ وُجُوبَ الْحُكْمِ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ، وَعَلِمَهُ فِي هَذِهِ الْوَاقِعَةِ، وَعَدَلَ عَنْهُ مَعَ اعترافه بأنه مستحق للعقوبة، فهذا عَاصٍ، وَيُسَمَّى كَافِرًا كُفْرًا مَجَازِيًّا، أَوْ كُفْرًا أَصْغَرَ. وَإِنْ جَهِلَ حُكْمَ اللَّهِ فِيهَا، مَعَ بَذْلِ جُهْدِهِ وَاسْتِفْرَاغِ وُسْعِهِ فِي مَعْرِفَةِ الْحُكْمِ وأخطأ، فَهَذَا مُخْطِئٌ، لَهُ أَجْرٌ عَلَى اجْتِهَادِهِ، وَخَطَؤُهُ مَغْفُورٌ.

“Di sini terdapat masalah yang perlu dirinci. Yaitu, berhukum dengan selain hukum Allah terkadang adalah kekafiran yang memindahkan (mengeluarkan) seseorang dari agama dan terkadang adalah maksiat (dosa), baik dosa besar atau dosa kecil. “Kekafiran” terkadang bermakna majaz (maksiat biasa) dan terkadang bermakna kafir ashghar, berdasarkan dua rincian yang telah disebutkan. Hal ini berdasaran kondisi sang hakim. Jika dia meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah Ta’ala itu tidak wajib dan dia bebas memilih, ATAU dia mendiskreditkan hukum Allah dalam kondisi mengetahui hal itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kafir akbar.

Jika dia (a) meyakini wajibnya berhukum dengan hukum Allah, dan dia (b) mengetahui hukum Allah dalam masalah tersebut, namun dia berpaling dalam kondisi dia (c) meyakini bahwa dia berhak mendapatkan hukuman, maka pelakunya adalah pelaku maksiat, disebut sebagai pelaku kekufuran (kafir) secara kiasan atau menunjukkan perbuatan yang dilakukannya merupakan kufur ashghar.

Jika dia (a) tidak mengetahui hukum Allah (dalam masalah tersebut, pen.), padahal dia (b) sudah berusaha dan berupaya (berijtihad) maksimal dalam mengetahui bagaimanakah hukum Allah dalam masalah tersebut, namun dia keliru, maka dia telah berbuat kesalahan. Dia mendapatkan satu pahala karena ijtihadnya, dan kesalahannya tersebut dimaafkan.” (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 1: 304-305)

6.2. Adanya perselisihan ulama dalam masalah ini
Setelah memahami penjelasan di atas, perlu diketahui bahwa sebetulnya terdapat perselisihan (khilaf) di antara para ulama ahlus sunnah dalam permasalahan menjadikan hukum selain hukum Islam sebagai dasar negara (tasyri’ ‘aam), apakah perbuatan tersebut termasuk dalam kekafiran ataukah tidak.

Para ulama ahlus sunnah tidaklah menjadikan masalah ini sebagai masalah yang terdapat ijma’ (kesepakatan) di dalamnya. Akan tetapi, ini termasuk dalam perkara yang diperselisihkan, apakah termasuk kufur akbar ataukah tidak. Oleh karena itu, para ulama ahlus sunnah jaman ini (seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani rahimahumullah dan yang lainnya) tidaklah menyikapi masalah ini seolah-olah sebagai sebuah ijma’ yang tidak boleh ada perbedaan pendapat di dalamnya, sebagaimana sikap yang ditunjukkan oleh kelompok khawarij pada jaman ini. Para ulama ahlus sunnah yang menilai bahwa perbuatan tersebut termasuk dalam kufur akbar tidaklah menjadikan (memvonis) orang yang menyelisihinya sebagai pengikut murji’ah, misalnya. Mereka menyikapi masalah ini sebagaimana permasalahan lain yang diperselisihkan kekafirannya, seperti meninggalkan shalat dan meninggalkan zakat.

Dan selama sebuah perbuatan itu diperselisihkan status kekafirannya, apakah termasuk kufur akbar ataukah tidak, maka perbuatan tersebut tidaklah menyebabkan kita boleh keluar dari ketaatan terhadap ulil amri. Dengan kata lain, tidak termasuk dalam perbuatan “kufrun bawwah” (kekafiran yang nyata) sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits berikut ini,

إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ

“Kecuali jika kalian melihat kufrun bawwah (kekafiran yang nyata, yang tampak terang-terangan atas semua orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala (bahwa itu adalah kekafiran)” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709).

7. Perhatian penting
“Hukum Islam” bukan hanya hukum potong tangan bagi pencuri, tidak hanya hukum qishash bagi pelaku pembunuhan secara sengaja, atau tidak hanya hukum rajam bagi pelaku zina. Hukum Islam tidak hanya itu. Akan tetapi, “hukum Islama” mencakup semua masalah aqidah, masalah fiqh ibadah, fiqh muamalah dan akhlak.

Kita jumpai bahwa pemerintah kita masih memasukkan pelajaran agama ke sekolah-sekolah umum, yang berisi keimanan terhadap Allah, malaikat-Nya, dan seterusnya (rukun Iman) serta masih mengajarkan shalat dan rukun Islam lainnya. Pemerintah kita pun membantu mendirikan masjid, membagikan Al-Qur’an, dan mengelola haji secara profesional. Selain itu, adzan masih berkumandang di mana-mana, tidak ada larangan sebagaimana dijumpai di negeri kafir. Juga harus kita akui bahwa pemerintah kita pun masih memperhatikan kapan mulai puasa Ramadhan, kapan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dengan metode yang syar’i (ru`yah). Ini semua tidak boleh kita pungkiri sebagai bagian dari “hukum Islam”. Juga para pemimpinya yang masih menegakkan shalat, berpuasa, menunaikan zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya.

Oleh karena itu, mengatakan bahwa negeri kita “bukan negara Islam” secara mutlak adalah kurang tepat. Yang lebih tepat adalah negeri kita menerapkan syariat Islam dalam sebagian perkara, dan tidak menerapkan syariat Islam di sebagian (mayoritas) yang lainnya. Adapun mengeneralisir bahwa negeri kita bukan negeri Islam, ini tidak tepat karena akan menimbulkan kesan bahwa negeri ini seperti negeri kafir sehingga boleh diperangi. Kita selayaknya waspada dari pemikiran semacam ini. [2]

8. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dan juga pembahasan di seri-seri sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa penguasa dan pemimpin (muslim) yang sah memegang tampuk kepemimpinan di suatu negara, mereka adalah ulil amri yang wajib ditaati. Hal ini karena mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan yang bersifat riil, sehingga bisa memerintahkan rakyatnya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ulil amri tersebut wajib ditaati, baik dia memimpin sebuah negara yang menjadikan hukum Allah sebagai dasar atau undang-undang negara ataukah tidak. Selama pemimpin tersebut masih muslim, maka tetap wajib ditaati.

Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id

Catatan kaki:
[1] Kami banyak mengambil faidah dari kitab: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 64-68 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428), disertai tambahan dari kitab-kitab lainnya yang telah kami cantumkan di atas.
[2] Faidah di atas disampaikan oleh Syaikh ‘Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani Al-Jazairi hafidzahullah, salah seorang ulama ahlus sunnah yang berdomisili di Madinah. Bisa dilihat pembahasannya di sini:

Sumber: https://muslim.or.id/40685-siapakah-ulil-amri-atau-penguasa-yang-wajib-ditaati-bag-5.html
Copyright © 2025 muslim.or.id

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M