• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Senin, 23 Juni 2025

Talbis Iblis atas Oran-oraang Sufi, bahwa mereka teramasuk ahli Zuhud

Bagikan

Penulis berkata, “Orang-orang sufi termasuk kelompok ahli zuhud,!” telah menyebutkan talbis Iblis atas para ahli zuhud, hanya saja orang-orang sufi berbeda dengan ahli zuhud dengan beberapa sifat dan keadaan, mereka memiliki ciri-ciri khas, maka kami memandang perlu membahasnya secara khusus.”

Tasawuf adalah jalan, yang awalnya adalah zuhud total, kemudian orang-orang yang menisbatkan dirinya kepadanya mulai membolehkan mendengar nyanyian dan berjoget, maka orang-orang awam yang mencari akhirat bergabung dengan mereka, karena melihat kezuhudan yang mereka perlihatkan, dan orang-orang yang mencari dunia pun juga cenderung kepada mereka, karena mereka memiliki kenikmatan dan permainan.

Kita harus membuka kedok Iblis dalam mengacaukan orang-orang seperti mereka, kedok mereka tidak terbuka kecuali dengan membeber dasar tarekat ini dan cabang-cabangnya serta menjelaskan keadaankeadaannya. Allah-lah pembimbing ke jalan yang benar.

Penulis berkata, “Penisbatan di zaman Rasulullah adalah kepada iman dan Islam, maka dikatakan muslim dan mukmin, kemudian muncul nama zahid dan abid, kemudian muncul orang-orang yang berkait dengan zuhud dan ibadah, mereka meninggalkan dunia, berkonsentrasi kepada ibadah, mereka membuat dalam hal itu sebuah cara yang menyendiri, akhlak yang mereka pakai, mereka melihat bahwa orang pertama yang secara khusus berkonsentrasi berkhidmat kepada Allah di Baitullah alHaram adalah seorang laki-laki bernama Shufah, nama aslinya adalah al-Ghauts bin Murr, maka mereka menisbatkan diri mereka kepadanya,

karena mereka merasa mempunyai kesamaan dengannya dalam hal berkonsentrasi kepada Allah, maka mereka disebut dengan Shufiyah.”

Abu Muhammad Abdul Ghani bin Sa’id al-Hafizh berkata, “Aku bertanya kepada al-Walid bin al-Qasim, ‘Kepada siapa sufi menisbatkan diri?’ Dia menjawab, ‘Ada suatu kaum di masa jahiliyah yang dikenal dengan Shufah, mereka berkonsentrasi kepada Allah, mereka tinggal di Ka’bah, barangsiapa menyerupai mereka maka mereka adalah Shufiyah.’”

Penjelasan dan Perbedaan Mereka Tentang Penisbatan Mereka

Penulis berkata, “Sebagian orang berpendapat bahwa tasawuf adalah nisbat kepada ahli shuffah, mereka berpendapat demikian karena mereka melihat ahli shuffah sebagaimana yang kami sebutkan dalam sifat Shufah, yakni berkonsentrasi kepada Allah, memilih kefakiran, karena ahli shuffah adalah orang-orang fakir, mereka datang kepada Rasulullah, mereka tidak memiliki keluarga dan harta, maka dibangun sebuah shuffah, teras di masjid nabi, hingga dikatakan untuk mereka ahli shuffah.”

Dari al-Hasan berkata, “Shuffah dibangun untuk kaum muslimin yang lemah, maka kaum muslimin mengirimkan kebaikan kepada mereka sebisa mereka.” .

Penulis berkata, “Orang-orang itu tinggal di masjid karena terpaksa, mereka makan sedekah karena terpaksa. Tatkala Allah memberikan kemenangan bagi kaum muslimin, mereka mulai bisa hidup berkecukupan, maka mereka meninggalkannya.”

Nisbat Shufi kepada ahli shuffah keliru, karena bila demikian maka dikatakan Shuffi.

Sebagian orang berpendapat bahwa ia dari Shufanah, yaitu sejenis sayur yang tak bagus lagi pendek, mereka dinisbatkan kepadanya karena mereka merasa cukup hidup dengan tumbuhan gurun pasir. Ini juga salah, karena bila mereka dinisbatkan kepadanya maka dikatakan Shufani.

Ada yang mengatakan, bahwa mereka dinisbatkan kepada shufah tengkuk, yaitu rambut-rambut yang tumbuh di bagian akhir tengkuk, seolaholah ia yang membawanya kepada kebenaran dan memalingkannya dari orang-orang. Ada pula yang berkata, bahwa ia dinisbatkan kepada suf, yaitu wol, dan ini mungkin! Sedangkan yang shahih adalah yang pertama.

Nama ini muncul untuk mereka sebelum tahun 200 H, tatkala angkatan pertama mereka menampakkannya, mereka berbicara tentananya, mengungkapkan sifatnya dengan ungakapan-ungkapan yang banyak, intinya adalah bahwa tasawuf menurut mereka adalah melatih jiwa dan melawan tabiat dengan menahannya dari akhlak-akhlak tercela serta membawanya kepada akhlak-akhlak yang baik yang melahirkan pujian di dunia dan pahala di akhirat.

Penulis berkata, “Inilah yang dipegang oleh angkatan pertama mereka, lalu Iblis mengacaukan mereka dalam beberapa perkara, kemudian Iblis mengacaukan orang-orang yang mengikuti mereka sesudah mereka. Setiap kali satu abad berlalu, hasrat Iblis meningkat terhadap abad berikutnya, maka talbis Iblis meningkat hingga dia berhasil menquasai kalangan muta” akhkhirin dari mereka dengan leluasa.

Dasar talbis Iblis atas mereka adalah dengan menghalang-halangi mereka dari ilmu, Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa maksud syariat adalah amal, maka tatkala Iblis berhasil memadamkan cahaya ilmu di antara mereka, mereka gelagapan dalam kegelapan. Di antara mereka ada yang diperlihatkan oleh Iblis bahwa maksud utamanya adalah meninggalkan dunia secara total, maka mereka menolak apa yang sebenarnya baik untuk badan mereka, mereka menyamakan harta dengan kalajengking, mereka lupa bahwa kalajengking diciptakan juga untuk kemaslahatan, dan mereka berlebih-lebihan dalam membebani jiwa, hingga di antara mereka ada yang tak pernah berbaring.

Tujuan-tujuan mereka memang baik, sayangnya mereka salah memilih jalan, di antara mereka ada yang karena minimnya ilmu, dan mengamalkan apa yang sampai ke tangannya berupa hadits-hadits palsu sementara dia tak menyadarinya.

Kemudian suatu kaum datang, mereka berbicara untuk orang-orang sufi itu dalam urusan lapar, kemiskinan, was-was dan apa yang terlintas dalam pikiran, mereka menulis dalam hal ini seperti al-Harits al-Muhasibi, lalu datang orang-orang lain, mereka menata madzhab tasawuf, meletakkan sifat-sifat khusus yang dengannya mereka membedakan diri berupa memakai pakaian compang-camping, mendengar, perasaan, berjoget, bertepuk tangan, mereka membedakan diri dengan berlebihlebihan dalam urusan bersuci dan berbersih.

Kemudian urusan mereka semakin berkembang, para syaikh mereka mulai meletakkan kaidah-kaidah, berbicara tentang realita mereka, sepakat menjauh dari para ulama, tidak sampai di situ, bahkan dalam penglihatan mereka terhadap keadaan mereka atau terhadap iimu-ilmu, hingga mereka menamakannya ilmu batin dan menjadikan ilmu syariat sebagai ilmu lahir.

Di antara mereka ada yang diseret oleh rasa lapar kepada khayalankhayalan yang rusak, maka dia mengklaim merindukan al-Haq dan berduaan denganNya, seolah-olah mereka mengkhayalkan seseorang yang berwajah tampan, lalu mereka berdua-duaan dengannya, mereka di antara kufur dan bid’ah.

Kemudian orang-orang itu membuka jalan-jalan mereka, akidah mereka rusak, di antara mereka ada yang menetapkan akidah hulul, dan di antara mereka ada yang menetapkan akidah ittihad.

Iblis terus mengacaukan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah sampai mereka menjadikan sunnah-sunnah bagi diri mereka.

Abu Abdurrahman as-Sulami telah datang, dia menulis kitab asSunan bagi mereka, dan mengumpulkan bagi mereka Haqa ‘iq at-Tafsir, dia menyebutkan di dalamnya dari mereka keajaiban dalam tafsir mereka terhadap al-Qur’an terkait dengan apa yang terjadi pada mereka tanpa berdasar kepada salah satu dasar ilmu, karena mereka membawanya hanya kepada madzhab mereka.

Yang aneh, mereka sangat menjaga diri dalam urusan makanan, namun mereka bersikap seenaknya terhadap al-’Qur’an. , Di Antara Buku-buku Mereka yang Menyimpang dan Sesat Penulis berkata, “An-Nashr as-Sarraj menulis untuk mereka sebuah kitab yang berjudul Luma’ ash-Shifiyah, dia menyebutkan di dalamnya akidah yang buruk, ucapan yang rendah, sebagian darinya akan kami sebutkan insya Allah.

Abu Thalib al-Makki menulis untuk mereka Qutul Qulub, dia menyebutkan di dalamnya hadits-hadits batil, hal-hal yang tak berdasar berupa shalat siang dan malam hari dan perkara palsu lainnya, dia juga menyebutkan akidah rusak di dalamnya, mengulang-ulang ucapan, “Sebagian pemilik kasyaf berkata,” dan ini omong kosong. Dia menyebutkan di dalamnya dari sebagian Sufi bahwa Allah menampakkan diri di dunia kepada wali-walinya.

Abu Thahir Muhammad bin al-Allaf berkata, “Abu Thalib al-Makki datang ke Bashrah sesudah wafatnya Abu al-Husain bin Salim, maka dia menisbatkan diri kepada pendapatnya, dia datang ke Baghdad, maka orang-orang berkumpul kepadanya di majlis nasihat, dia mencampuraduk antara yang haq dengan yang batil, di antara yang terekam dari ucapannya adalah, “Tidak ada sesuatu yang paling merugikan makhluk daripada Khalik.” Maka orang-orang membid’ahkannya dan meninggalkannya, sesudah itu dia menolak berbicara di hadapan orang-orang.

Al-Khathib berkata, “Abu Thalib al-Makki menulis sebuah buku yang dia beri judul Qutul Qulub dengan bahasa lisan orang-orang Sufi, dia menyebutkan di dalamnya hal-hal yang mungkar lagi buruk dalam sifat.”

Penulis berkata, “Telah datang Abu Nuaim al-Ashbahani, dia menulis buku al-Hilyah, dia menyebutkan dalam batas-batas tasawuf hal-hal yang buruk lagi mungkar, dia tidak malu memasukkan ke dalam rombongan sufiyah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan para shahabat yang mulia, lalu dia menyebutkan hal-hal aneh bin ajaib dari mereka, dia menyebutkan dalam rombongan sufi Syuraih al-Qadhi, al-Hasan alBashri, Sufyan ats-Tsauri dan Ahmad bin Hambal.”

As-Sulami dalam Thabagat ash-Shufiyah menyebutkan al-Fudhail, Ibrahim bin Adham, Ma’ruf al-Karkhi, dia memasukkan mereka ke dalam rombongan orang-orang sufi dengan mengatakan bahwa mereka termasuk ahli zuhud.

Tasawuf adalah madzhab yang dikenal, lebih dari zuhud. Yang menunjukkan perbedaan di antara keduanya adalah bahwa tak seorang pun mencela zuhud, sementara mereka mencela tasawuf sebagaimana yang akan kami sebutkan.

Abdul Karim bin Huwazan al-Qusyairi menyusun bagi mereka kitab arRisalah,2″ dia menyebutkan di dalamnya kata-kata yang ajaib, berbicara ’ tentang fana dan baqa’, qabdh dan basht, waktu dan keadaan, perasaan dan wujud, mengumpulkan dan memisahkan, terjaga dan mabuk, rasa dan minum, menetapkan dan menghapus, tajalli dan muhadharah, mukasyafah dan lawaih, thawali’ dan lawami’, takwin dan tamkin, syariat dan hakikat. Dan masih banyak lagi kata-kata yang mencampur antara yang haq dengan batil yang tak berharga, tafsirnya lebih ajaib darinya.

Datang Muhammad bin Thahir al-Maqdisi, dia menulis untuk mereka Shafwah at-Tashawwuf. Dia menyebutkan hal-hal yang mana orang berakal malu menyebutkannya. Tetapi kami akan menyebutkan sebagian darinya di tempatnya insya Allah.

Syaikh kami yang mulia Abu al-Fadhl bin Nashir al-Hafizh berkata, Ibnu Thahir bermadzhab ala aliran permisif.

Beliau berkata, “Yang bersangkutan menulis buku tentang dibolehkannya melihat kepada anak-anak yang belum bercambang, dia menyebutkan di dalamnya sebuah hikayat dari Yahya bin Ma’in, dia berkata, ‘Aku melihat seorang gadis di Mesir, sangat cantik, Allah bershalawat kepadanya.’ Dia ditanya, ‘Kamu bershalawat kepadanya?’ Dia menjawab, ‘Allah bershalawat kepadanya dan kepada semua yang cantik.”

Syaikh kami Ibnu Nashir berkata, “Ibnu Thahir bukan termasuk ulama yang kata-katanya bisa dijadikan hujjah.”

Datang Abu Hamid al-Ghazali, dia menulis kitab untuk mereka Ihya’ Ulumuddin mengikuti madzhab mereka, mengisinya dengan haditshadits batil dan dia tak mengetahuinya batil, dia berbicara tentang ilmu mukasyafah, dia telah keluar dari kaidah fikih, dan dia berkata, “Yang dimaksud dengan bintang, matahari dan rembulan yang dilihat oleh Ibrahim adalah cahaya-cahaya yang merupakan hijab Allah, bukan bintang, matahari dan rembulan dalam arti yang sebenarnya.” Ini sejenis dengan kata-kata bathiniyah.

Dia berkata dalam bukunya al-Mufshih bil Ahwal, “Sesungguhnya orang-orang Sufi menyaksikan malaikat dan arwah para nabi dalam keadaan terjaga, mereka mendengar suara mereka, mengambil faidahfaidah dari mereka, kemudian keadaan mereka naik dari menyaksikan potret, bentuk ke derajat-derajat yang tak bisa diungkapkan oleh katakata.”

Penulis berkata, “Sebab mereka menulis buku-buku seperti ini adalah sedikitnya ilmu mereka tentang sunnah, Islam dan atsar. Mereka memilih berkonsentrasi kepada jalan hidup mereka yang mereka anggap baik, mereka memandangnya baik karena sanjungan kepada zuhud telah tertanam dalarn jiwa, mereka tidak melihat sebuah keadaan yang lebih baik daripada keadaan mereka dari sisi lahir, mereka tidak mendengar katakata yang lebih lembut daripada kata-kata mereka, sementara sirah salaf mengandung semacam kekerasan hidup, kemudian kecenderungan orang-orang kepada mereka sangat kuat, karena apa yang kami sebutkan, bahwa lahir jalan hidup mereka adalah kebersihan dan ibadah, di dalamnya ada istirahat dan mendengar, maka tabiat cenderung kepadanya.”

Orang-orang sufi angkatan pertama menjauh dari para sultan dan pemimpin, sebaliknya mereka sekarang adalah teman-teman para pemimpin.

Kebanyakan buku-buku ini ditulis tanpa dasar, namun hanya kejadiankejadian yang dinukil oleh sebagian dari mereka dari sebagian yang lain, menyusunnya dan mereka menyebutnya dengan ilmu batin.

Ishaq bin Hayyah berkata, “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal ditanya tentang was-was dan hal-hal yang terlintas dalam benak, maka beliau menjawab, ‘Para shahabat dan tabi’in tak pernah membicarakannya.’”

Penulis berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami dari Ahmad bin Hanbal bahwa dia mendengar ucapan al-Harits al-Muhasibi, maka beliau berkata kepada seorang temannya, Jangan bergaul dengannya.’”

Dari Sa’id bin Amru al-Bardza’i berkata, aku melihat Abu Zur’ah ditanya tentang al-Harits al-Muhasibi dan buku-bukunya, dia menjawab, ‘Jauhilah buku-buku itu, buku-buku bid’ah dan sesat, peganglah atsar, karena ia sudah mencukupkanmu hingga kamu tak perlu melongok buku-buku itu.” Penanya berkata, “Di dalamnya ada pelajaran.” Maka dia berkata, “Barangsiapa yang tidak mengambil pelajaran dari kitab Allah, maka dia tidak mengambilnya dari buku-buku ini. Apakah kalian mendengar bahwa Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, al-Auza’i dan para imam terdahulu menulis buku-buku seperti ini yang membicarakan waswas dan hal-hal yang terbetik dalam pikiran serta hal-hal ini?! Mereka itu adalah orang-orang yang menyelisihi para ulama, sesekali mereka mendatangkan al-Harits al-Muhasibi, lain kali Abdurrahim ad-Daibuli, lain kali Hatim al-Asham, dan lain kali Syaqiq.”

Kemudian dia berkata, “Betapa cepatnya orang-orang menuju bid’ahbid’ah.”

Penulis berkata, bahwa Abu Bakar al-Khallal menyebutkan dalam kitab as-Sunnah dari Ahmad bin Hanbal bahwa beliau berkata, “Waspadailah al-Harits dengan seksama, dia adalah sumber malapetaka —maksudnya dalam melahirkan ucapan Jahmdia bergaul dengan fulan dan fulan, mengeluarkan mereka kepada pendapat Jahm, dia adalah tempat berlindung bagi ahli kalam, dia seperti singa yang diikat. Waspadalah, dia akan menyerang manusia kapan pun!”

Orang-orang Sufi Angkatan Pertama Menetapkan Bahwa Dasar Agama Adalah al-’Qur’an dan Sunnah

Orang-orang Sufi angkatan pertarma mengakui bahwa sandaran agama adalah al-Qur~an dan sunnah, lalu Iblis mengacaukan mereka karena mereka tak banyak berilmu.

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Terkadang sebagian kata-kata mereka menyusup ke dalam hatiku beberapa hari, namun aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi yang adil, yaitu al-Qur’an dan sunnah.”

Dari Abdul Hamid al-Hubuli berkata, aku mendengar Sari berkata, “Barangsiapa mengklaim ilmu batin menyelisihi zhahir hukum, maka dia salah besar.”

Dari al-Junaid bahwa dia berkata, “Madzhab kami ini terikat dengan ushul, yakni al-Qur~an dan sunnah.” Dia juga berkata, “Ilmu kami bergantung kepada al-’Qur’an dan sunnah. Barangsiapa tidak menghafal al-Qur~ an, tidak menulis hadits dan tidak bertafaqquh, maka dia tak patut diikuti.”

Dia juga berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari kata si ini dan kata si anu, akan tetapi dari lapar, meninggalkan dunia, memutus kebiasaan dan kenikmatan, karena tasawuf dari bersihnya muamalat dengan Allah, sedangkan dasarnya adalah dengan menjauhi dunia.”

Abu al-Husain an-Nuri berkata kepada sebagian rekannya, “Barangsiapa kamu melihatnya mengklaim sebuah keadaan bersama Allah yang mengeluarkannya dari batasan ilmu syar’i, maka jangan mendekat kepadanya. Barangsiapa kamu melihatnya mengklaim sebuah keadaan yang tak ditunjang oleh dalil, dan tidak diakui oleh hafalan lahir maka tuduhlah rusak atas agamanya.”

Dari Abu Ja’far berkata, “Barangsiapa tidak menimbang kata-kata, perbuatan dan keadaannya dengan al-Qur’an dan sunnah, dan dia tidak menyangsikan apa yang terlintas dalam benaknya, maka jangan memasukkan ke dalam golongan ulama.”

Penulis berkata, “Sesudah semua ini terbukti dari ucapan syaikh-syaikh mereka yang diriwayatkan secara shahih, terjadilah kekeliruan-kekeliruan dari sebagian syaikh mereka karena jauhnya mereka dari ilmu. Bila hal itu memang shahih dari mereka, maka ia berarti membantah madzhab mereka sendiri, tidak ada mencari muka dalam kebenaran,” bila tidak shahih dari mereka, maka kami memperingatkan dari kata-kata seperti itu dan madzhab tersebut dari siapa pun ia terucap.”

Adapun orang-orang yang meniru-niru mereka dan bukan termasuk mereka, maka kekeliruan-kekeliruan mereka berjumlah banyak. Kami menyebutkan sebagian dari kekeliruan mereka yang sampai kepada kami, Allah mengetahui bahwa kami tidak bermaksud dengan menjelaskan kekeliruan pihak yang keliru kecuali membersihkan syariat, membelanya agar tidak disusupi sesuatu yang bukan darinya, kami tidak berurusan dengan siapa yang berkata dan siapa yang berbuat, kami hanya menunaikan amanat ilmu. Sedangkan para ulama, setiap seorang dari mereka senantiasa menjelaskan kekeliruan rekannya demi menjelaskan kebenaran bukan untuk membuka aib orang yang keliru.

Tidak ada pertimbangan sedikit bagi kata-kata orang bodoh, “Bagaimana dia berani membantah ucapan ahli zuhud fulan yang banyak berkahnya.” Karena ketundukan hanya untuk apa yang ditetapkan oleh syariat bukan kepada orang, bisa saja seorang laki-laki termasuk wali dan termasuk penduduk surga namun dia memiliki kekeliruan-kekeliruan, maka kedudukannya tidak menghalangi kita untuk menjelaskan kekeliruannya,

Ketahuilah bahwa barangsiapa melihat kedudukan seseorang tanpa melihat apa yang berasal darinya dengan kaca mata dalil,?°° maka dia seperti orang yang melihat hal-hal luar biasa melalui al-Masih dan tidak melihat kepada al-Masih, maka dia menganggapnya Tuhan, seandainya dia melihat kepada al-Masih, bahwa dia tidak bisa berdiri kecuali bila makan, maka dia tidak akan memberinya kecuali apa yang pantas baginya.

Dari Yahya bin Sa’id berkata, “Aku bertanya kepada Syu’bah, Sufyan bin Sa’id, Sufyan bin Uyainah dan Malik bin Anas tentang seorang laki-laki yang tidak menghafal, apakah dia dituduh dalam hadits? Mereka menjawab, ‘Perkaranya dijelaskan.’”

Imam Ahmad bin Hanbal memuji seseorang secara mendalam kemudian menyebutkan kekeliruannya satu persatu, beliau berkata, “Sebaikbaik laki-laki adalah fulan, seandainya padanya tidak ada ini.” Beliau berkata tentang Sari as-Saqthi, “Syaikh, terkenal dengan makanannya yang nikmat.” Diceritakan kepada Imam Ahmad bahwa Sari pernah berkata, “Tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, huruf ba’ sujud.” Maka Imam Ahmad berkata, “Peringatkan orang-orang darinya!”

Talbis Iblis dalam Akidah

Dari Abu Abdurrahman ar-Ramli berkata, bahwa Abu Hamzah?” berbicara di masjid jami’ Thurtus maka mereka membunuhnya. Suatu hari dia berbicara, tiba-tiba seekor burung gagak berteriak dari atap masjid, maka Abu Hamzah ikut berteriak dan berkata, “Aku penuhi panggilanmu. Aku penuhi panggilanmu.” Maka orang-orang menuduhnya zindik, mereka berkata, “Akidahnya hulul, dia zindiq.”Kudanya dijual dengan lelang di pintu masjid, “Ini kuda orang zindiq.”

Dari Abu Bakar al-Farghani bahwa dia berkata, “Abu Hamzah, bila dia mendengar sesuatu, dia berkata, ‘Labbaika, labbaika.” Maka orang-orang menyebutnya hululi.

As-Sarraj berkata, “Saya mendengar bahwa beberapa orang-orang Hululiyin mengklaim bahwa Aliah al-Haq memiliki jasad-jasad lalu Dia singgah padanya dengan makna-makna rububiyah, Dia menghilanqkan makna-makna kemanusiaan darinya. Di antara mereka ada yang mengajak melihat kepada pemandangan-pemadangan yang indah, di antara mereka ada yang berkata, Allah tinggal pada hal-hal yang indah.”

As-Sarraj juga mengatakan, “Aku mendengar berita tentang sekelompok orang dari penduduk Syam, mereka mengaku melihat (Allah) dengan mata hati mereka di dunia sebagairmana mereka melihatNya dengan mata kepala di akhirat.

As-Sarraj berkata, “Saya mendengar bahwa Abu al-Husain an-Nuri, budak ai-Khalil bersaksi atasnya bahwa dia mendengarnya berkata, ‘Aku sangat merindukan Allah dan Dia juga demikian kepadaku.’ An-Nuri berkata, ‘Aku mendengar Allah berfirman:

“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya.” (QS. al- Maidah: 54), sedangkan merindu tidak lebih dari mencintai.”

Qadhi Abu Ya’la berkata, “Hululiyah berkeyakinan bahwa Allah dirindukan.”

Penulis berkata, ini merupakan kebodohan dari tiga sisi:

>Pertama: Dari sisi nama, karena kata al-isyq menurut ahli bahasa hanya untuk yang dinikahi.
> Kedua: Sifat-sifat Allah hanya berpijak kepada dalil naqli, maka Dia ‘ mencintai dan tidak dikatakan merindu.
>Ketiga: Dari mana dia tahu Allah mencintainya, klaim tanpa bukti.

Dari Abu Abdurrahman as-Sulami berkata, Diceritakan dari Amru alMakki bahwa dia berkata, “Aku berjalan bersama al-Husain bin Manshur, di sebagian jalan Makkah, aku membaca al-Qur’an, dia mendengar bacaanku, maka dia berkata, ‘Aku bisa membuat seperti apa yang kamu baca.’ Maka aku meninggalkannya.

Dengan sanad dari Abu al-Qasim ar-Razi berkata, Abu Bakar bin Mamsyadz berkata, “Seorang laki-laki hadir di antara kami di Dinawar, dia membawa sebuah kotak, dia tak berpisah darinya siang dan malam.

Mereka pun memeriksa isinya, dan mereka menemukan buku tulisan alHallaj, judulnya dari ar-Rahman ar-Rahim kepada fulan bin fulan. Laki-laki itu dibawa ke Baghdad, buku disodorkan kepadanya, dia berkata, ‘Ini tulisanku,dan aku yang telah menulisnya.’ Mereka berkata, ‘Dulu kamu mengaku nabi, sekarang kamu mengaku Tuhan.’ Dia berkata, ‘Saya tidak mengaku Tuhan, akan tetapi ini adalah penggabungan menurut kami, bukankah penulis tidak lain kecuali Allah dan tangan hanyalah alat?’ Dia ditanya, ‘Siapa yang bersamamu?’ Dia menjawab, ‘Ibnu Atha’, Abu Muhammad al-Jurairi, Abu Bakar asy-Syibli, dua yang akhir menutupi diri mereka, bila ya maka Ibnu Atha’.”

Maka al-Jurairi dihadirkan dan ditanya, dia berkata, “Orang yang mengatakan ini kafir, siapa yang mengatakannya dibunuh.” Lalu asy-Syibli ditanya, dia menjawab, “Siapa yang berkata demikian dilarang.”

Ibnu Atha’ ditanya tentang ucapan al-Hallaj, dia menyetujui ucapannya maka ia menjadi sebab kematiannya.

Abu Abdullah bin Khafif ditanya tentang makna bait-bait ini,
Mahasuci Allah yang memperlihatkan kemanusiaanNya
Sebagai rahasia sinar ketuhananNya yang cemerlang
Kemudian Dia nampak pada makhlukNya secara nyata
Dalam bentuk orang makan dan orang minum
Hingga makhlukNya menyaksikanNya dengan mata kepala mereka
Seperti perhatian kelopak mata dengan kelopak mata.
Maka Syaikh menjawab, “Laknat Allah atas orang yang mengucapkannya.”
Isa bin Furak berkata, “Ini adalah syair al-Husain bin Manshur.”

Dia berkata, “Bila itu adalah keyakinannya maka dia kafir, hanya saja ada kemungkinan ia dinisbatkan kepadanya secara dusta.”

Penulis berkata, “Para ulama di zamannya sepakat menghalalkan darah al-Hallaj, orang pertama yang berkata bahwa darahnya halal adalah Abu Amru al-Qadhi, dan ucapannya disetujui oleh para ulama, sedangkan yang diam hanyalah Abu al-Abbas bin Suraij, dia berkata, ‘Aku tak tahu apa yang dia katakan.’”

Ijma’ adalah Dalil yang Ma’shum dari Salah

Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menjaga kalian sehingga kalian seluruhnya tidak bersepakat di atas kesesatan, ”

Dari Abu Bakar Muhammad bin Dawud al-Faqih al-Ashbahani berkata, “Bila apa yang Allah turunkan kepada nabiNya haq (benar), maka apa yang diucapkan oleh al-Hallaj adalah batil (salah).” Dia bersikap keras atasnya.

Penulis berkata, “Beberapa kalangan sufi sangat fanatik kepada alHallaj, karena mereka bodoh, tanpa memperhatikan ijma’ para fuqaha’.”

Dari Ibrahim bin Muhammad an-Nashrabadzi berkata, “Bila sesudah para nabi dan shiddiqin ada muwahhid maka orang itu adalah al-Hallaj.”

Saya berkata, “Inilah yang dipegang oleh kebanyakan tukang kisah di zaman ini dan orang-orang sufi di waktu kita, karena mereka semuanya bodoh terhadap syariat, jauh dari pengetahuan dalil naqli.”

Saya telah menyusun buku tentang berita-berita al-Hallaj, saya menjelaskan tipu dayanya padanya, keadaan-keadaannya yang mengherankan dan apa yang diucapkan oleh para ulama tentangnya.

Semoga Allah membantu membinasakan orang-orang bodoh.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Thaharah

Penulis berkata, “Kami telah menyebutkan talbis Iblis atas para ahli ibadah dalam thaharah, hanya saja Iblis telah melampaui batas atas orang-orang sufi, maka dia menguatkan was-was mereka dalam menggunakan air yang banyak, hingga aku mendengar Ibnu Aqil masuk ke sebuah pos penjagaan, beliau berwudhu, maka mereka menertawakannya karena sedikitnya air yang digunakannya, padahal mereka tidak tahu bahwa barangsiapa menyempurnakan wudhu dengan satu liter air, maka sudah mencukupinya.”

Kami mendengar dari Abu Hamid asy-Svyirazi bahwa dia berkata kepada seorang fakir, “Kamu wudhu di mana?” Dia menjawab, “Dari sungai, aku memiliki was-was dalam thaharah.” Dia berkata, “Setahuku dulu orang-orang sufi menghina setan, namun sekarang setanlah yang menghina mereka.”

Talbis Iblis atas Mereka Dalam Shalat

Penulis berkata, “Kami telah menyebutkan talbisnya atas para ahli ibadah dalam shalat, dengan itu Iblis mengacaukan orang-orang Sufi bahkan lebih.” ,

Muhammad bin Thahir al-Maqdisi menyebutkan bahwa di antara sunnah mereka yang menjadi ciri khas mereka dan mereka menisbatkan diri kepadanya adalah shalat dua rakaat sesudah mereka memakai kain compang-camping dan bertaubat, mereka berhujjah atasnya kepada hadits Tsumamah bin Utsal bahwa nabi memerintahkannya untuk mandi saat masuk Islam.

Penulis berkata, “Betapa buruknya orang bodch bila dia mengurusi sesuatu yang tak dikuasainya, Tsumamah adalah orang kafir lalu masuk Islam, bila orang kafir masuk Islam, maka dia wajib mandi menurut madzhab beberapa fuqaha’, di antara mereka Ahmad bin Hanbal.”
Adapun shalat dua rakaat, maka tak seorang ulama pun yang menganjurkannya bagi siapa yang masuk Islam, dan hadits Tsumamah tidak menyinggung shalat hingga ia bisa diqiyaskan kepadanya. Bukankah ini sebenarnya adalah perbuatan bid’ah yang mereka sebut sunnah?!

Kemudian di antara hal-hal paling buruk mereka adalah ucapan mereka, “Orang-orang Sufi memiliki sunnah-sunnah sendiri, karena bila ia dinisbatkan kepada syariat maka kaum muslimin adalah sama padanya, – sedangkan para fuqaha ~ lebih mengetahui tentangnya, lalu dari sisi apa bisa diklaim bahwa ia adalah sunnah-sunnah khusyu~ untuk mereka. Bila ia dengan akal mereka, maka mereka memilikinya secara khusus karena ia adalah hasil kreasi mereka sendiri.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Tempat Tinggal Penulis berkata, “Adapun membangun pos-pos, maka beberapa orang ahli ibadah yang telah berlalu menjadikannya untuk menyendiri beribadah, bila maksud mereka shahih, maka mereka tetap salah dari enam sisi:

> Pertama: Mereka membuat-buat bangunan, padahal bangunan orang-orang Islam adalah masjid.
> Kedua: Mereka membuat tandingan bagi masjid, yang bisa menqurangi jamaahnya.
> Ketiga: Mereka melenyapkan mereka dari pahala melangkahkan kaki ke masjid.
> Keempat: Mereka meniru orang-orang Nasrani dengan menyendiri di biara-biara.
> Kelima: Mereka membujang padahal mereka masih muda, sedangkan kebanyakan mereka masih memerlukan menikah.
> Keenam: Mereka menjadikan bagi diri mereka sebuah ilmu yang berbicara bahwa mereka adalah ahli zuhud. Sehingga itu mengundang orang-orang untuk menziarahi mereka dan mengharap berkah dari mereka.

Bila maksud mereka tidak shahih, maka mereka telah membangun kios-kios untuk bermain-main dan tempat bagi para pengangguran serta alamat untuk memperlihatkan kezuhudan.

Kami melihat kebanyakan orang-orang muta ‘akhkhirin dari kalangan mereka beristirahat di pos-pos tersebut dari lelahnya hidup, mereka sibuk makan, minum, bernyanyi dan berjoget, mencari dunia dari setiap orang zhalim, tidak menolak pemberian tukang pungli.

Kebanyakan pos-pos mereka dibangun oleh orang-orang zhalim, dan mereka mewakafkan harta buruk kepadanya.

Iblis mengacaukan mereka bahwa apa yang sampai kepada kalian adalah rizki kalian, maka mereka mencampakkan beban usaha membersihkan hati, yang penting bagi mereka adalah mengepulnya dapur, tersedianya makanan dan air dingin. Lalu di mana lapar Bisyr, wara’ Sari dan usaha keras al-Junaid?!

Kebanyakan waktu orang-orang itu habis dalam perbincangan yang sia-sia atau mengunjungi anak-anak dunia. Bila salah seorang dari mereka beruntung, maka dia memasukkan kepalanya ke dalam jubah wol, lalu penyakit sauda’ menyerang akalnya hingga dia berkata, “Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku.”

Saya mendengar bahwa seorang laki-laki membaca al-Qur’an di pos, dan mereka melarangnya. Dan ada juga orang-orang yang membaca hadits di pos, maka mereka berkata kepada mereka, “Ini bukan tem. patnya.” Allah-lah pembimbing ke jalan yang benar.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Meninggalkan Harta dan Melepaskan Diri Darinya

Iblis mengacaukan orang-orang Sufi angkatan pertama karena kebenaran mereka dalam zuhud, Iblis memperlihatkan kepada mereka aib harta, dia menakut-nakuti mereka dari keburukannya, maka mereka meninggalkan harta, duduk di atas tikar kemiskinan, tujuan mereka baik walaupun perbuatan mereka salah karena tidak ada ilmu. .

Adapun sekarang, maka Iblis tidak perlu repot-repot menunaikan tugas ini, karena bila salah seorang dari mereka mempunyai harta maka dia membelanjakannya secara boros dan sia-sia.

Saya tidak mencela pelaku perbuatan ini bila ‘dia masih menyimpan kadar cukup untuk dirinya atau dia memiliki keahlian yang membuatnya mandiri dari manusia atau karena hartanya syubhat lalu dia berlepas dirj darinya. Tetapi bila dia mengeluarkan semua hartanya yang halal lalu dia membutuhkan harta orang lain, dan memiskinkan keluarganya, maka tidak tertutup kemungkinan dia bergantung kepada pemberian saudarasaudara atau sedekah mereka atau dia akan mengambil dari orang-orang zhalim dan syubhat, dan inilah perbuatan tercela yang dilarang.

Saya tidak heran terhadap ahli zuhud yang melakukan hal ini karena minimnya ilmu, akan tetapi ketakjuban terhadap orang-orang yang memiliki ilmu dan akal, bagaimana bisa mereka mendorong kepada perbuatan ini, memerintahkannya padahal ia bertentangan dengan akal dan syariat?!

Al-Harits al-Muhasibi menyebutkan perkataan yang panjang dalam hal ini yang dikung dan diamini oleh Abu Hamid al-Ghazali.

Menurutku al-Harist lebih bisa dimaklumi daripada Abu Hamid, karena yang akhir ini lebih fakih, hanya saja terjunnya dia ke dalam tasawuf membuatnya mendukung apa yang dia masuki.

Kritik Terhadap Jalan-jalan Orang Sufi dalam Masalah Berlepas Diri dari Harta Bantahan terhadap pendapat mereka dari beberapa sisi.

Adapun tentang kemuliaan harta, maka Allah telah mengagungkan kadarnya, dan memerintahkan agar dijaga, sebab Allah menjadikannya pilar utama bagi manusia mulia, maka ia juga mulia. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. an-Nisa’: 5).

Allah melarang menyerahkan harta kepada orang yang tidak berakal lurus, Allah berfirman:

“Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. an-Nisa’: 6).

Diriwayatkan secara shahih dari nabi bahwa beliau melarang menyianyiakan harta. Beliau bersabda kepada Sa’ad, “Kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga mereka meminta-minta kepada orang-orang. ”

Nabi bersabda, “Tidak ada harta yang berguna bagiku seperti harta Abu Bakar.”

Dari Amru bin al-Ash berkata, bahwa Rasulullah mengutus kepadanya dengan pesan, “Siapkan pakaian dan senjatamu kemudian datanglah kepadaku.” Maka aku datang, beliau bersabda, “Sesungguhnya aku hendak mengutusmu memimpin pasukan, semoga Allah memberimu keselamatan dan harta rampasan perang, aku berharap kamu mendapatkan harta yang baik.” Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku masuk Islam bukan karena harta, akan tetapi karena aku berminat kepada Islam.” Rasulullah bersabda, “Wahai Amru, sebaik-baik harta yang baik adalah milik orang yang shalih. ”

Penulis berkata, “Hadits-hadits ini diriwayatkan dalam ash-Shihah, ia menyelisihi apa yang diyakini oleh orang-orang sufi bahwa banyaknya harta sebagai hijab dan hukuman, bahwa menahan harta bertentangan dengan tawakal.”

Tidak dipungkiri bahwa pemiliknya dikhawatirkan terfitnah oleh harta, bahwa banyak orang yang menghindarinya karena khawatir demikian, bahwa mengumpulkannya dari jalan halal sulit, keselamatan hati agar tidak terfitnah olehnya jauh, kesibukan hati mengingat akhirat bersama keberadaanya jarang, karena itu dikhawatirkan fitnahnya.

Adapun mencari harta, maka barangsiapa mencari kadar cukup darj jalan halal, maka ini adalah sesuatu yang harus, adapun siapa yang sengaja mengumpulkannya dan memperbanyaknya dari jalan halal, maka kami melihat kepada maksudnya. Bila maksudnya adalah membanggakan dan menyombongkan diri, maka ini adalah maksud yang buruk. Bila tujuan. nya adalah mencukupi diri dan keluarga, menyiapkannya untuk peristiwa zamannya dan zaman mereka, dan bermaksud membantu saudarasaudara, orang-orang fakir, dan melakukan hal-hal yang baik, maka dia diberi pahala atas maksudnya, dia mengumpulkan harta dengan niat ini adalah lebih utama dari banyak ketaatan.

Niat para sahabat dalam jumlah besar dalam mengumpulkan harta adalah niat yang baik, karena tujuan mereka dalam mengumpulkannya memang baik, maka mereka menjaganya dan memohon agar ditambah.

Penulis berkata, “Lebih mendalam dari hal ini adalah bahwa Ya’qub, tatkala anak-anaknya berkata kepadanya:

“Dan kami akan mendapat tambahan sukatan (gandum) seberat beban seekor unta.” (QS. Yusuf: 65), maka dia menyetujuinya, sehingga dia mau mengirimkan Bunyamin? bersama mereka. Bahwa Syuaib berharap penambahan dalam apa yang didapatkannya, dia berkata:

“Maka jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.” (QS. al-Qashash: 27).

Bahwa Ayyub, saat dia sudah sembuh, belalang emas turun kepadanya, maka dia menqumpulkannya dalam kainnya dan sebanyak-banyaknya, maka dikatakan kepadanya, “Tidakkah Anda kenyang?” Maka dia menjawab, “Ya Rabb, siapa yang kenyang dengan karuniaMu.”

Perkara ini tertanam dalam tabiat, bila tujuannya adalah baik maka ja baik murni.

Adapun ucapan al-Muhasibi maka ia keliru, menunjukkan kebodohan bukan ilmu. Ucapannya, “Sesungguhnya Allah melarang hambahambaNya mengumpulkan harta, sesungguhnya Rasulullah juga melarang umatnya mengumpulkan harta.” Mustahil, karena larangan hanya berlaku untuk tujuan yang buruk dalam mengumpulkan atau mengumpulkan bukan dari jalan yang halal.

Ucapannya, “Meninggalkan harta halal adalah lebih utama daripada mengumpulkannya.” Tidak demikian, akan tetapi bila maksudnya benar, maka mengumpulkannya lebih utama tanpa ada perbedaan di antara para ulama.

Ini adalah madzhab para fuqaha, saya heran kepada diamnya Abu Hamid, bahkan dia malah mendukungnya, bagaimana bisa dia berkata, “Sesungguhnya hilangnya harta adalah lebih utama daripada adanya hartanya sekalipun ia dibelanjakan dalam kebaikan.”

Seandainya dia mengklaim ijma’ atas kebalikan dari apa yang diucapkannya niscaya klaimnya shahih, namun tasawufnya bukanlah fatwanya.
Ucapannya, “Murid harus melepaskan hartanya.” Kami telah menjelaskan bahwa ia demikian bila ia haram atau syubhat atau dua merasa cukup dengan yang sedikit atau tercukupi oleh usaha, maka dia boleh melepaskan diri darinya, bila tidak maka tidak ada alasan.

Adapun para nabi, Ibrahim memiliki kebun dan harta, Syu’aib juga dan lainnya.

Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Tidak ada kebaikan bagi siapa yang tidak mencari harta, dengannya dia membayar hutangnya, dengannya dia menjaga kehormatannya, dengannya dia menyambung rahimnya. Sedangkan bila dia mati, maka dia meninggalkannya sebagai warisan bagi keluarganya.” Sedangkan Sa’id bin al-Musayyib ini mati meningalkan 400 dinar.

Kami telah menyebutkan apa yang ditinggalkan oleh para sahabat.
Sufyan ats-Tsauri meninggalkan dua ratus, dia berkata, “Harta di zaman ini adalah senjata.”

Salaf terus memuji harta, dan mereka mengumpulkannya untuk menghadapi hal-hal insidentil, membantu orang-orang miskin, beberapa orang menjauhinya karena lebih mementingkan menyibukkan diri dengan ibadah, menyatukan pikiran, rela dengan yang sedikit, seandainya orang ini berkata, “Sesungguhnya menyedikitkan harta adalah lebih baik.” Niscaya kebenarannya dekat, akan tetapi dia merapat ke derajat dosa dengannya.

Sabar di Atas Kefakiran dan Sakit

Ketahuilah bahwa kefakiran adalah penyakit. Barangsiapa diuji dengannya lalu dia sabar maka dia mehdapatkan pahala sabarnya, karena ity orang-orang fakir masuk surga lima ratus tahun sebelum orang-orang kaya, karena kesabaran mereka di atas ujian.

Harta adalah nikmat, nikmat harus disyukuri, sekalipun orang kaya itu lelah dan beresiko namun dia seperti mufti dan mujahid, sedangkan orang miskin adalah seperti orang yang menepi di sebuah sudut.

Abu Abdurrahman as-Sulami menyebutkan dalam Kitab Sunan ash-Shufiyah, bab Makruh bila orang fakir meninggalkan sesuatu. Lalu dia menyebutkan hadits ahli shuffah yang mati dan meninggalkan dua dinar, maka Rasulullah bersabda, “Dua keping api neraka.”

Penulis berkata, “Ini adalah pengambilan dalil oleh orang yang tak memahami keadaan, karena orang miskin tersebut berebut dengan orang-orang fakir lainnya dalam menerima sedekah dan dia menahan apa yang dipunyainya, oleh karena itu Nabi bersabda, “Dua keping api neraka.” Seandainya yang makruh adalah meninggalkan harta itu sendiri, maka Rasulullah tidak bersabda kepada Sa’ad, “Kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga mereka meminta-minta kepada manusia.”

Umar bin al-Khaththab berkata, bahwa Rasulullah mendorong bersedekah, maka aku datang membawa setengah hartaku, Rasulullah bertanya, “Apa yang kamu sisakan untuk keluargamu?” Aku menjawab, “Sepertinya.” Maka Rasulullah tidak mengingkarinya.

Ibnu Jarir berkata, “Hadits ini merupakan dalil yang membatalkan anggapan orang-orang sufi bodoh bahwa seseorang tidak boleh menyimpan sesuatu di harinya untuk esoknya, dan siapa yang melakukannya maka dia telah berburuk sangka terhadap Rabbnya, dan tidak bertawakal kepadaNya dengan tawakal yang sebenarnya.” Ibnu Jarir melanjutkan, “Demikian halnya sabda nabi, “Peliharalah kambing karena ia adalah berkah.” Mengandung petunjuk rusaknya anggapan orang-orang sufi bahwa tawakal seorang hamba kepada Rabbnya tidak sah sehingga dia mendapatkan pagi tanpa memiliki apa pun, baik uang atau barang, dan mendapatkan sore dalam keadaan yang sama. Tidakkah Anda tahu bahwa Rasulullah menyimpan makanan pokok untuk persediaan keluarganya selama setahun?”

Kritik Terhadap Pemahaman Mereka dalam Tawakal

Ada orang-orang yang melepaskan diri dari harta mereka yang baik, kemudian mereka mencari dan memburunya lewat jalan yang tidak mulia, hal itu karena hajat manusia tak pernah putus, orang yang berakal menyiapkan untuk masa depan, mereka seperti dalam melepaskan diri dari harta di awal langkah zuhud merekaorang yang tidak merasa haus di jalan Makkah lalu dia menumpahkan air yang di tangannya.

Penulis berkata, “Aku menukil dari tulisan Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil, beliau berkata, bahwa Ibnu Syadzan berkata, ‘Beberapa orang sufi datang kepada asy-Syibli, maka asy-Syibli mengutus seseorang kepada sebagian orang kaya meminta uang untuk menafkahi mereka, maka orang kaya itu menolak utusannya dan berpesan, “Abu Bakar, Anda mengetahui al-Haq, mengapa Anda tidak meminta kepadaNya?”Maka asy-Syibli berkata kepada utusannya, “Katakan kepadanya, ‘Dunia adalah rendah maka aku mencarinya dari orang rendah sepertimu, sedangkan aku mencari haq kepada al-Haq.” Maka laki-laki kaya itu mengirimkan seratus dinar.

Ibnu Aqil berkata, “Bila laki-laki kaya itu mengirimkan seratus dinar karena mempercayai ucapan yang buruk ini dan yang sepertinya, maka asy-Syibli telah makan rizki haram dan memberi makan tamu-tamunya darinya.”

Sebagian dari mereka memiliki barang, lalu dia memberikannya kepada orang lain dan berkata, “Aku tidak ingin percaya kecuali kepada Allah!”

Ini menunjukkan minimnya pemahaman, karena mereka menyangka bahwa tawakal adalah memutuskan sebab-sebab, mengeluarkan harta, seandainya mereka memahami makna tawakal, bahwa ia adalah kepercayaan hati kepada Allah bukan membuang harta niscaya mereka tidak mengucapkan kalimat tersebut, namun itulah pemahaman mereka yang minim.

Para sahabat besar dan tabi’in berniaga dan mengumpulkan harta, dan tak seorang pun dari mereka mengucapkan kata-kata seperti itu.

Telah diriwayatkan kepada kami dari Abu Bakar ash-Shiddiq, saat dia diminta meninggalkan usaha dagangnya agar bisa berkonsentrasi kepada khilafah, dia bertanya, “Lalu dari mana aku menghidupi keluargaku?” Ucapan Abu Bakar ini adalah ucapan yang mungkar di kalangan orang-orang sufi, mereka mengeluarkan orang yang mengucapkannya dari riil tawakal. Mereka juga mengingkari orang yang mengatakan, “Makanan ini membahayakanku.”

Zuhud Orang-orang Sufi dalam Harta

Penulis berkata, “Kami telah menjelaskan bahwa orang-orang sufi angkatan pertama mengeluarkan harta mereka karena zuhud terhadapnya, dan kami menyebutkan bahwa tujuan mereka adalah kebaikan. Hanya saja mereka keliru dalam perbuatan mereka ini, dan kami telah menyebutkan bahwa ia bertentangan dengan syariat dan akal.”

Adapun kalangan muta‘akhkhirin Sufi, maka mereka malah cenderung kepada dunia dan mengumpulkan harta dari arah mana pun, karena mereka ingin hidup enak dan menyukai hawa nafsu.

Di antara mereka ada yang masih mampu berusaha tetapi dia tidak bekerja, duduk di pos-pos atau masjid, mengandalkan sedekah dari orang dan hatinya sangat ingin mengetuk pintu untuk meminta.

Padahal sudah diketahui bahwa sedekah tidak halal bagi orang kaya dan orang kuat yang sehat, mereka juga tidak peduli siapa yang mengirimkan uang kepada mereka, bisa jadi orang zhalim tukang pungli, sedangkan mereka tetap menerimanya. Mereka meletakkan slogan-slogan di antara mereka dengan pernyataan-pernyataan: Di antaranya, mereka menyebut hal ini fituh.” Di antaranya, rizki kami pasti akan sampai kepada kami. Di antaranya, bahwa ia dari Allah, maka ia tidak ditolak dan kami tidak bersyukur kecuali kepadaNya.

Semua ini menyelisihi syariat dan kebodohan terhadapnya serta bertabrakan dengan kehidupan salaf, karena nabi bersabda:

“Yang halal itu jelas dan yang haram juga jelas, di antara keduanya . adalah hal-hal yang samar yang tidak diketahui oleh banyak orang, barangsiapa menjaga diri dari syubhat maka dia telah membebaskan agama dan kehormatannya. ”

Abu Bakar memuntahkan makanan hasil syubhat. Orang-orang shalih tidak menerima pemberian oleh zhalim dan orang yang hartanya syubhat. Banyak dari kalangan salaf yang tidak menerima hadiah saudara karena demi menjaga kemuliaan diri dan kebersihan hati.

Dari Abu Bakar al-Marwazi berkata, “Saya menyebut seorang laki-laki kepada Abu Abdullah,” dia dari kalangan ahli hadits, maka beliau berkata, ‘Laki-laki baik seandainya tidak ada satu sifat padanya.’ Kemudian beliau diam, kemudian melanjutkan, ‘Tidak semua orang bisa menyempurnakan semua sifat mulia.” Maka aku berkata kepada beliau, ‘Bukankah dia orang sunni?’ Beliau menjawab, ‘Demi Allah, aku pun menulis hadits darinya, sayangnya satu sifat; dia tidak memperdulikan dari mana dia menerima uang.’”

Penulis berkata, “Kami mendengar bahwa sebagian orang sufi datang kepada sebagian pemimpin zhalim, dia menasihatinya lalu pemimpin ity memberinya sesuatu dan dia menerimanya, maka pemimpin berkata, ‘Kita semuanya adalah pemburu, bedanya hanyalah jaringnya.’”

Mereka sama sekali tidak menolak ambisi kepada dunia, padahal Nabi bersabda, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. “

Tangan di atas adalah tangan yang memberi, demikian tafsir para ulama. Inilah hakikat, namun sebagian dari mereka menakwilkannya dengan tangan yang menerima. Ibnu Qutaibah berkata, “Saya tidak melihat takwil ini kecuali dari orang-orang yang hobi meminta-minta.”

Penulis berkata, “Orang-orang sufi angkatan pertama memperhatikan dari mana mereka mendapatkan harta, dan mereka memeriksa makananmakanan mereka.”

Ahmad bin Hanbal ditanya sebagaimana sudah disebutkan tentang as-Sari as-Saqthi, maka beliau berkata, “Syaikh yang dikenal dengan makanannya yang baik.”

As-Sari berkata, “Aku mengikuti beberapa orang dalam sebuah peperangan, maka kami menyewa rumah dan aku membuat tungku, namun mereka menolak makan dari roti yang dimasak di tungku tersebut.”

Namun siapa yang melihat perubahan hidup orang-orang sufi di zaman kita ini, yang mana mereka sama sekali tidak peduli dari mana mereka menerima, maka dia akan takjub.

Aku pernah datang ke sebagian pos mereka, dan aku bertanya tentang syaikhnya, maka seseorang menjawabku, “Beliau sedang pergi kepada gubernur untuk mengucapkan selamat atas bonus yang diterimanya.” Padahal gubernur tersebut termasuk orang zhalim besar, maka aku berkata, “Celaka kalian, tidakkah kalian merasa cukup dengan membuka kios hingga kalian harus berkeliling menawarkan dagangan kepada orang-orang? Salah seorang di antara kalian berpangku tangan, dan tidak mau berusaha, padahal dia mampu dan hanya mengandalkan sedekah dan pemberian orang, kemudian dia tetap merasa belum cukup hingga dia mengambil dari siapa pun, kemudian dia merasa belum cukup lagi hingga dia harus berkeliling kepada orang-orang zhalim dan meminta kepada mereka, serta memberikan ucapan selamat atas pakaian yang tidak halal, serta kepemimpinan yang tidak ada keadilan padanya. Demi Allah! Kalian sangat membahayakan Islam dari siapa pun yang membahayakan.” Penulis berkata, “Beberapa orang dari syaikh mereka mengumpulkan harta dari jalan syubhat. Kemudian mereka terbagi menjadi:

> Di antara mereka ada yang mengklaim zuhud sekalipun hartanya melimpah dan berambisi mengumpulkan, klaim yang tidak sejalan dengan realita.
> Di antara mereka ada yang memperlihatkan kemiskinan padahal dia sudah mengumpulkan harta. Kebanyakan dari mereka menyaingi orang-orang miskin dengan menerima zakat padahal ia tidak halal bagi mereka.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Dalam Berpakaian

Penulis berkata, “Tatkala orang-orang Sufi generasi awal mendengar bahwa nabi menambal bajunya, dan bahwa Umar bin al-Khaththab melakukan hal yang sama, serta Uwais al-Qarni memunguti tambalan kain di tempat sampah lalu mencucinya di sungai Eufrat kemudian menjahitnya dan memakainya, maka mereka pun memilih baju tambalan.”

Mereka telah menjauhi giyas, karena Rasulullah dan para sahabatnya memilih zuhud dan berpaling dari dunia karena zuhud, dan kebanyakan dari mereka melakukan ini karena mereka memang miskin, sebagaimana telah diriwayatkan kepada kami dari Maslamah bin Abdul Malik bahwa dia datang kepada Umar bin Abdul Aziz sementara Umar memakai pakaian kotor, maka Maslamah berkata kepada istri Umar Fatimah, “Cucilah baju Amirul Mukminin.” Fatimah menjawab, “Dia tidak punya baju lain.” Bila hal ini bukan karena kemiskinan dan bukan pula karena zuhud maka tak bermakna.

Zuhud dalam Berpakaian

Penulis berkata, “Orang-orang Sufi di zaman ini, mereka mengambil dua helai atau tiga helai kain dengan warna yang berbeda, lalu mereka menjadikannya gombal dan menyatukannya. Pakaian tersebut mengumpulkan dua sifat tercela, popularitas, ketenaran dan syahwat. Karena memakai pakaian seperti ini lebih terkenal di kalangan orang-orang

daripada siapa yang memakai sutera, sehingga pemakainya terkenal di kalangan orang-orang bahwa dia ahli zuhud, Anda melihat mereka memakai pakaian tambal-tambal seperti salaf, demikian mereka beranggapan, bahwa Iblis telah mengacaukan mereka, dia berkata, ‘Kalian adalah orang-orang Sufi. Orang-orang Sufi adalah orang-orang yang memakai pakaian tambal-tambal, kalian juga demikian.’ Mereka sama sekali tidak tahu bahwa tasawuf adalah makna bukan bentuk lahir.”

Sementara mereka sama sekali tidak mirip dari sisi bentuk lahir dan dari sisi makna.

Adapun dari segi lahir, orang-orang terdahulu menambal karena terpaksa, dan mereka tidak bermaksud mengangkat penampilan dengan itu, mereka juga tidak mengambil kain-kain baru yang berwarna-warni lalu memotong-motongnya lalu menyambungnya hingga terlihat tambalan yang bagus lalu menjahitnya dan menamakannya tambalan.
Umar bin al-Khatthab, saat dia datang ke Baitul Maqdis, para rahib dan pendeta bertanya tentang siapa pemimpin kaum muslimin, maka mereka menyodorkan para panglima perang seperti Abu Ubaidah, Khalid bin al-Walid dan lainnya. Maka para rahib dan pendeta berkata, “Gambarannya tidak seperti itu di kalangan kami. Kalian punyva pemimpin atau tidak?” Maka kaum muslimin menjawab, “Punya, selain mereka.” Mereka bertanya, “Dia pemimpin mereka?” Kaum muslimin menjawab, “Ya. Dia adalah Umar bin al-Khaththab.” Mereka berkata, “Kirimkanlah pesan kepadanya bahwa kami ingin bertemu, bila dia adalah dia maka kami menyerah tanpa perang, dan bila tidak maka tidak sekalipun kalian mengepung kami, dan kalian tidak akan menang atas kami.” Maka kaum muslimin mengirim pesan kepada Umar dan memberitahunya dengan itu, maka Umar datang dengan baju tertambal sebanyak tujuh belas tambalan, di antaranya ada yang tambalan dengan kulit. Tatkala para rahib dan pendeta melihatnya dalam keadaan seperti itu, mereka menyerahkan Baitul Maqdis kepadanya tanpa perang. Lantas di manakah ini dari apa yang dilakukan oleh orang-orang sufi bodoh di zaman ini?

Kami memohon maaf dan keselamatan kepada Allah.

Adapun dari sisi makna, maka mereka adalah orang-orang yang melatih diri mereka lagi zuhud.

Penulis berkata, “Di antara orang-orang tercela itu ada yang memakai kain wol di balik bajunya, tetapi dia memanjangkan lengannya hingga pakaiannya terlihat, dan orang ini adalah maling malam hari.”

Di antara mereka ada yang memakai baju yang lembut di badannya kemudian memakai wol di atasnya, ini adalah maling siang hari yang kentara.

Ada lagi orang-orang, mereka hendak meniru orang-orang sufi namun mereka tak sanggup hidup seperti mereka, karena mereka menyukai hidup enak, tetapi mereka tak mau keluar dari potret sufi agar kran harta tidak terputus, maka mereka memakai kain sarung, atasan dan memakai surban Romawi yang mahal, hanya saja tanpa model. Baju dan surban yang dipakai oleh salah seorang dari mereka berharga lima kali lipat baju sutera.

Iblis telah mengacaukan mereka, “Kalian adalah orang-orang sufi dengan jiwa yang tinggi.” Sebenarnya mereka hanya ingin menggabungkan antara potret tasawuf dengan kenikmatan dunia.

Di antara tanda mereka adalah berteman dengan para pemimpin, dan menolak bergabung orang-orang miskin karena takabur dan sombong.

Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil, mengapa kalian datang kepadaku dengan pakaian rahib sementara hati kalian adalah hati serigala ganas. Pakailah pakaian raja dan lunakkanlah hati kalian dengan rasa takut.”

Dari Malik bin Dinarberkata, “Di antara orang-orang ada orang yang bila bertemu para qurra’, maka mereka mengambil bagian dari mereka. Bila mereka bertemu dengan para pemimpin dan anak-anak dunia, mereka juga mengambil bagian dari mereka. Jadilah kalian qurra’ ar-Rahman semoga Allah memberkahi kalian.”

Darinya berkata, “Zaman kalian adalah zaman penuh debu, dan tidaklah melihatnya dengan baik kecuali orang yang berpandangan tajam. Zaman kalian adalah zaman yang banyak diisi oleh kata-kata kotor, lisan-lisan mereka menggelembung dalam mulut-mulut mereka, mereka mencari dunia dengan amal akhirat, waspadailah mereka atas diri kalian, dan jangan sampai mereka menjerumuskan kalian ke dalam jaring mereka.”

Dari Muhammad bin Khafif berkata, bahwa aku berkata kepada Ruwaim,?” “Beri aku wasiat.” Dia menjawab, “Mengorbankan jiwa. Jika tidak, maka jangan menyibukkan diri dengan bualan orang-orang sufi.”

Seorang laki-laki berkata kepada asy-Syibli yang sedang berada di masjid, “Telah datang beberapa orang kawanmu.” Maka dia bangkit, dan dia melihat mereka memakai pakaian tambal-tambal dan kain sarung, maka dia berkata:

Adapun tenda maka ia seperti tenda mereka

Dan aku melihat wanita kampung bukan wanitanya.

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa kepalsuan dalam tasyabuh mereka dengan orang-orang itu tidaklah samar kecuali bagi setiap orang yang sangat dungu. Adapun orang cerdik maka dia mengetahui bahwa ia adalah tipu daya garing.”

Memakai Kain Sarung dan Pakaian Tambalan

Penulis berkata, “Saya tidak menyukai kain sarung dan pakaian tambalan karena empat alasan.

> Pertama: Bukan termasuk pakaian salaf, sebab mereka menambal karena terpaksa.
> Kedua: Ia mengandung klaim bahwa dirinya miskin, padahal seseorang diperintahkan agar memperlihatkan nikmat Allah kepadanya.
> Ketiga: Ia memperlihatkan zuhud padahal kita diperintahkan untuk menutupinya.
> Keempat: Ia tasyabuh dengan orang-orang yang menjauhkan diri mereka dari syariat, siapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk mereka.

Dari Ibnu Umar berkata, bahwa Rasulullah #8 bersabda:

“Barangsiapa yang meniru suatu kaum maka dia termasuk mereka. “

Dari Muhammad bin Thahir berkata, “Aku datang ke Baghdad dalam perjalananku yang kedua, dan aku datang kepada Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad as-Sukkari untuk membaca hadits kepadanya, sedangkan dia termasuk orang-orang yang mengingkari orang-orang sufi, maka aku mulai membaca, lalu dia berkata, “Wahai Syaikh, seandainya Anda termasuk orang-orang sufi yang bodoh itu, niscaya aku memaklumimu, Anda termasuk ahli ilmu, sibuk dengan hadits Rasulullah dan berusaha mencarinya.” Maka aku menjawab, “Wahai Syaikh, apa yang Anda ingkari atas diriku, biarlah aku melihat, bila ia memiliki dasar dalam syariat maka aku memegangnya, dan bila tidak maka aku meninggalkannya.” Dia berkata, “Apa syawazik yang ada pada tambalan bajumu?” Maka aku menjawab, “Wahai Syaikh, Asma’ binti Abu Bakar mengabarkan bahwa Rasulullah mempunyai sebuah jubah yang kantong, dua lengan dan dua belahannya terhias dengan sutera. Pengingkaran terjadi karena syawazik ini bukan sejenis baju, sutera bukan sejenis baju dan sutera bukan sejenis jubah, maka kami menggunakannya sebagai dalil bahwa ini memiliki dasar dalam syariat, maka sepertinya boleh.”

Penulis berkata, “As-Sukkari benar dalam pengingkarannya, sementara pemahaman Ibnu Thahir minim dalam menjawabnya, karena jubah yang kantong dan kedua lengannya terhias oleh sutera sudah umum dipakai di zaman itu, maka tidak ada unsur ketenaran dalam memakainya. Adapun syawazik, maka ia menggabungkan ketenaran bentuk dan ketenaran klaim zuhud.”

Dan telah aku katakan kepadamu bahwa mereka memotong-motong kain yang bagus untuk menjadikannya syawazik bukan dengan alasan darurat, tetapi bertujuan ketenaran dengan memakainya dan ketenaran dengan zuhud, karena itulah ia dibenci, dan beberapa syaikh mereka sendiri membencinya sebagaimana telah kami katakan.

Dari Ja’far al-Hadzdza’ berkata, “Orang-orang itu kehilangan faidahfaidah dari hati, maka mereka menyibukkan diri dengan bentuk lahir dan menghiasinya.” Maksudnya adalah orang-orang yang memakai pakaian yang dicelup dan kain sarung.

Dari Abu al-Hasan al-Hanzhali berkata, bahwa Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Kattani melihat kepada orang-orang yang memakai baju tambal-tambal, dia berkata, “Saudara-saudaraku, bila pakaian kalian sesuai dengan apa yang ada dalam hati kalian maka kalian telah ingin agar orang-orang mengetahuinya, dan bila berbeda maka kalian celaka demi Rabb Ka’bah.”

Dari Nashr bin Abi Nashr berkata, bahwa Abu Abdullah Muhammad bin Abdul Khaliq ad-Dinawari berkata kepada sebagian rekannya, “Jangan membuatmu takjub apa yang kamu lihat, dari pakaian yang mereka kenakan, tidaklah mereka menghiasi lahir kecuali sesudah mereka merusak batin.”

Banyaknya Tambalan Baju

Di antara orang-orang sufi ada yang menambal bajunya hingga ia menjadi tebal melebihi batas. Mereka menetapkan baju tambal-tambal inj tidak dipakai kecuali di tangan syaikh, mereka menetapkan sanad yang bersambung, yang semuanya adalah dusta dan mustahil.

Muhammad bin Thahir menyebutkan dalam kitabnya, dia berkata, “Bab sunnah dalam memakai baju tambalan di tangan syaikh.”

Dia menjadikannya termasuk sunnah, dan berhujjah kepada hadits Ummu Khalid bahwa nabi diberi kain-kain yang diantaranya ada kain berwarna hitam, Nabi bertanya, “Menurut kalian siapa yang pantas untuk menerimanya?” Mereka tidak menjawab, maka Rasulullah bersabda, “Bawalah ke mari Ummu Khalid.” Maka dia datang dan beliau memakaikannya dengan tangannya, beliau bersabda, “Pakaian sampai usang. ”
Penulis berkata, “Rasulullah memakaikannya karena dia masih anak-anak, bapaknya adalah Khalid bin Sa’id bin al-Ash, ibunya adalah Humainah binti Khalaf, mereka telah berhijrah ke bumi Habsyah, Sedangkan Ummu Khalid ini lahir di sana, kemudian mereka pulang, maka Nabi memuliakannya karena dia masih anak-anak sebagaimana yang sudah disepakati, sehingga hal ini tidak menjadi sunnah. Bukan kebiasaan Nabi memakaikan pakaian kepada orang-orang dan tak seorang pun sahabat dan tabi’in yang melakukannya.”

Kemudian bukan termasuk sunnah menurut orang-orang sufi memakaikan pakaian untuk anak-anak bukan orang dewasa, bukan pula kain mesti hitam, akan tetapi harus tambahan atau sarung.

Mengapa mereka tidak memasukkan memakai tambahan dan hitam ke dalam sunnah sebagaimana yang ada dalam hadits Ummu Khalid

Muhammad bin Thahir menyebutkan dalam kitabnya, dia berkata, “Bab sunnah syaikh mensyaratkan murid memakai baju tambal-tambal.” Lalu dia berhujjah kepada hadits Ubadah, “Kami membaiat Rasulullah untuk mendengar dan menaati dalam keadaan sulit dan mudah.”

Penulis berkata, “Lihatlah kepada fikih yang ngawur ini. Di mana persyaratan syaikh atas murid dari persyaratan Rasulullah agar memegang ketaatan Islami yang wajib dan mengikat?!”

Adapun mereka memakai kain-kain yang dicelup, bila warnanya biru maka mereka kehilangan keutamaan memakai warna putih, bila kain sarung maka ia adalah pakaian ketenaran, ketenarannnya lebih besar daripada biru, bila tambal-tambal maka ia lebih tenar.

Syariat menganjurkan pakaian putih dan melarang pakaian ketenaran. Tentang perintah warna putih maka dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah bersabda:

“Pakailah warna putih, karena ia termasuk pakaian terbaik kalian dan kafanilah mayit kain dengannya. ”?

Muhammad bin Thahir menyebutkan dalam kitabnya, dia berkata, “Bab Sunnah dalam memakai pakaian yang dicelup.” Dia berdalil kepada hadits bahwa nabi memakai pakaian merah, dan beliau masuk Makkah di tahun Fathu Makkah dengan surban hitam.

Penulis berkata, “Tidak dipungkiri bahwa Rasulullah memakai ini, bukan berarti memakainya tidak boleh, diriwayatkan dari beliau bahwa beliau menyukai hibarah (jubah warna hitam), yang disunnahkan adalah yang beliau perintahkan dan beliau selalu lakukan. Mereka memakai warna hitam dan merah. Adapun kain sarung dan tambalan maka ia termasuk baju ketenaran.

Larangan dan Dibencinya Memakai Baju Ketenaran

Adapun larangan dan dibencinya memakai pakaian ketenaran maka darj Abu Daar dari Nabi bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa memakai pakaian ketenaran, maka Allah berpaling darinya hingga dia melepaskannya. “

Dari Ibnu Umar berkata, Rasulullah bersabda:

“Barangsiapa memakai pakaian ketenaran, maka Allah memakaikannya pakaian kehinaan di hari Kiamat.”

Penulis berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Ibnu Umar melihat anaknya memakai pakaian yang buruk, maka dia berkata, Jangan memakai ini, karena ia adalah baju ketenaran.’”

Memakai Suf, Wol

Penulis berkata, “Di antara orang-orang Sufi ada yang memakai bahan wol, mereka berdalil bahwa nabi memakainya dan berdalil kepada apa yang menetapkan keutamaan memakai wol.”

Adapun Rasulullah memakai wol? maka beliau memakainya kadang-kadang dan ia bukan termasuk pakaian ketenaran di kalangan orang-orang Arab.

Adapun apa yang diriwayatkan tentang keutamaan memakainya maka ia termasuk hadits maudhu’ yang tak satu pun darinya shahih.

Orang yang memakai bahan tidak luput dari salah satu dua perkara:

> Pertama: Apabila dia memang terbiasa memakainya dan memakai bahan-bahan sejenisnya yang kasar, hal ini tidak masalah, karena ia bukan termasuk baju ketenaran.
> Kedua: Bila dia orang yang hidup mewah dan tidak terbiasa memakainya maka dia tak patut memakainya karena dua hal:

> Pertama: Dia membebani diri sesuatu yang belum tentu dia mampu memikulnya, dan hal ini tidak boleh.
> Kedua: Dia menggabungkan unsur ketenaran dan menampakkan zuhud.

Dari Khalid bin Syaudzab berkata, “Aku melihat al-Hasan yang didatangi oleh Farqad, maka dia mengambil kainnya dan mengulurkannya kepadanya seraya berkata, “Furaiqid, Ibnu Ummi Furaiqid, sesungguhnya kebaikan bukan pada kainnya akan tetapi kebaikan adalah apa yang tertanam di dada dan dibuktikan oleh amal perbuatan.”

Dari al-Hasan bahwa ada seorang laki-laki yang termasuk rombongan orang-orang yang memakai wol datang kepadanya, sedangkan laki-laki itu memakai jubah wol, surban wol, kain selempang wol, maka dia duduk, dan dia memandang ke bawah, sedangkan dia tidak mengangkat kepalanya, dan sepertinya al-Hasan merasa ujub pada laki-laki itu, maka al-Hasan berkata, “Sesungguhnya sebagian kaum menjadikan kesombongan mereka dalam dada mereka, demi Allah mereka telah memburukkan agama mereka dengan wol ini.”

Ibnu Aqil berkata, “Ini adalah kata-kata seorang laki-laki yang sudah mengenali manusia dan tidak terkecoh oleh pakaian. Saya melihat salah seorang di antara mereka memakai jubah wol, bila seseorang berkata kepadanya, ‘Abu fulan.’ Maka terlihat dari bahasa tubuhnya pengingkaran, maka diketahui bahwa wol sudah berdampak terhadap mereka padahal sutera tidak berdampak terhadap orang-orang rendahan.”

Dari Ahmad bin Umar bin Yunus berkata, bahwa ats-Tsauri melihat seorang laki-laki sufi, maka dia berkata kepadanya, “Pakaianmu ini bid’ah.”

Dari al-Hasan bin ar-Rabi’ berkata, “Aku mendengar Abdullah bin alMubarak berkata kepada seorang laki-laki yang dia lihat memakai baju wol, ‘Saya membencinya, saya membencinya.’”

Dari Yazid as-Saqqa teman dekat Muhammad bin Idris al-Anbari berkata, “Aku melihat anak muda memakai kain bulu, maka aku berkata kepadanya? “Siapa di antara ulama yang memakai baju ini? Siapa dj antara ulama yang melakukan ini?” Dia menjawab, “Bisyr bin al-Harits meihatku namun dia tidak mengingkariku.” Maka aku pergi menemuj Bisyr, lalu aku berkata kepadanya, “Abu Nashr, aku melihat fulan memakai jubah bulu, dan aku mengingkarinya, namun dia menjawab, ‘Abu Nashr melihatku dan dia tidak mengingkarinya.’ Maka Bisyr menjawab, “Wahai Abu Khalid, kamu tidak bertanya dulu kepadaku, seandainya aku mengingkarinya, maka dia tetap akan berkata, ‘Fulan memakai, fulan memakai.”

Dari Abu Sulaiman ad-Darani bahwa dia berkata kepada seorang laki-laki yang memakai wol, “Sesungguhnya kamu telah memperlihatkan alat ahli zuhud, lalu apa yang diwariskan oleh wol ini kepadamu?” Dia diam, maka Abu Sulaiman berkata, “Lahirmu katun sedangkan batinmu wol.”

Dari an-Nadhr bin Syumail berkata, “Aku berkata kepada sebagian orang sufi, ‘Kamu menjual jubah wolmu ini?’ Dia menjawab, ‘Bila nelayan menjual jaringnya, dengan apa dia melaut?’”

Abu Ja’far ath-Thabari berkata, “Dianggap telah bersalah orang yang mementingkan bahan bulu dan wol daripada bahan katun dan katan padahal jalan kepadanya ada dari yang halal, dan orang yang makan biji ~ dan kadang adas serta mendahulukannya daripada roti gandum, serta orang yang menolak makan daging dengan alasan takut nafsunya kepada wanita bangkit.”

Penulis berkata, bahwa para salaf memakai pakaian tengah-tengah, tidak tinggi dan tidak rendah. Mereka memilih paling bagus untuk shalat Jum’at, dua shalat ied dan bertemu saudara, dan bukanlah yang tidak terbaik menurut mereka itu buruk.

Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Umar bin al-Khatthab bahwa dia melihat jubah Siyara dijual di gerbang masjid, maka dia berkata kepada Rasulullah, “Seandainya engkau membelinya untuk hari Jum’at dan para delegasi bila mereka datang kepadamu?” Maka Nabi menjawab, “Yang memakai ini hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat.” Nabi tidak memungkiri usulan Umar untuk berpenampilah bagus, akan tetapi beliau mengingkarinya karena kain tersebut adalah sutera.

Penulis berkata, “Dari Abu al-Aliyah bahwa dia berkata, ‘Kaum muslimin berpenampilan bagus tatkala mereka saling mengunjungi.’”

Dari Ibnu Aun bin Muhammad berkata, “Orang-orang Muhajirin dan Anshar memakai pakaian yang berharga.”

Tamim ad-Dari membeli hullah dengan harga seribu, dan dia menggunakanya untuk shalat. Saya berkata, “Ibnu Mas’ud termasuk orang yang bajunya bagus, aromanya wangi.” Adalah al-Hasan al-Bashri memakai baju yang bagus. Malik bin Anas pun memakai baju Adaniyah yang bagus. Pakaian Ahmad bin Hambal seharga satu dinar.

Mereka dalam batas tertentu memilih kesederhanaan, terkadang mereka memakai baju yang sudah lama di rumah, namun saat mereka keluar, mereka berpenampilan bagus, mereka tidak memakai baju rendah yang tenar dan tidak pula yang termahal.

Dari Isa bin Hazim berkata, “Baju Ibrahim bin Adham adalah bahan katan katun kulit, sedangkan aku tidak melihatnya memakai wol dan pakaian ketenaran.”

Dari ar-Rabi’ bin Yunus berkata, bahwa Abu Ja’ far al-Manshur berkata, “Telanjang bulat lebih baik daripada pakaian yang membuka aib.” Pakaian yang Memperlihatkan Zuhud Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa pakaian yang membuat pemakainya direndahkan yang memperlihatkan kezuhudan dan kemiskinan, dan seolah-olah ia adalah bahasa pengaduhan kepada Allah dan membuat orang yang memakainya direndahkan. Sedangkan semua ini dibenci dan dilarang.”

Dari Malik bin Nadhlah berkata, “Aku datang kepada Rasulullah dengan penampilan yang kasar, maka beliau bertanya, Apakah kamu punya harta?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bertanya, ‘Harta apa?’ Aku menjawab, ‘Dari semua jenis harta telah Allah berikan kepadaku, unta, kuda, hamba sahaya dan domba.’ Nabi bersabda, ‘Bila Allah memberimu harta, maka hendaknya ia terlihat (nampak) pada dirimu.’”

Membaguskan Pakaian

Bila ada yang berkata, “Membaguskan pakaian adalah ambisi jiwa, sementara kita diperintahkan untuk melawannya, dan berpenampilan baik kepada manusia, padahal kita diperintahkan hendaknya perbuatan-perbuatan kita untuk Allah bukan manusia?!”

Kami menjawab, “Tidak semua yang diinginkan oleh jiwa itu tercela, dan tidak semua penampilan bagus kepada manusia dibenci. Sedangkan yang dilarang darinya adalah apa yang dilarang oleh syariat atau dalam rangka riya~ di bidang agama, karena seseorang suka bila terlihat berpenampilan bagus, sedangkan hal itu merupakan bagian jiwa dan tidak dicela karenanya. Oleh karena itu dia menyisir rambutnya, mengaca di cermin, membetulkan surbannya, memakai pakaian dalam yang kasar “sementara pakaian luarnya terlihat bagus. Semua yang kami sebutkan di atas tak satu pun darinya yang dibenci.”

Penulis berkata, “Bila ada yang berkata, ‘Bagaimana kalian memahami apa yang diriwayatkan dari as-Sari as-Saqthi bahwa dia berkata, ‘Seandainya aku merasakan kedatangan seseorang kepadaku, maka aku melakukan ini terhadap jenggotku, dia mengelus jenggotriya seolah-olah hendak meluruskannya karena kehadiran seseorang kepadanya, niscaya aku khawatir Allah menyiksaku karena itu dengan api neraka.’”

Kami menjawab, “Ada kemungkinan bahwa maksudnya adalah riya’ di bidang agama berupa menampakkan kekhusyu’an dan lainnya. Adapun bila maksudnya adalah .memperbaiki penampilannya agar tidak terlihat darinya apa yang tidak bagus, maka ia tidak tercela, siapa yang meyakininya tercela maka dia tak tahu riya~ dan tidak paham apa yang tercela.”

Dari Ibnu Mas’ud dari Nabi bersabda, “Tidak masuk surga siapa yang dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi.” Seorang. laki-laki berkata, “Salah seorang dari kami suka bila bajunya bagus dan sandalinya bagus.” Maka nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah itu bagus menyukai keindahan. Sedangkan sombong itu menolak kebenaran dan , merendahkan orang.” Diriwayatkan secara khusus oleh Muslim.

Penulis berkata, “Di antara orang-orang Sufi ada yang memakai baju mahal. Abu Abdullah Ahmad bin Atha’ berkata, bahwa Abu al-Abbas bin Atha’ memakai baju yang mahal dan menggunakan tasbih mutiara serta memiliki baju yang panjang.”

Saya berkata, “Ini dalam hal ketenaran sama dengan baju tambalan, sepatutnya baju orang-orang baik adalah baju tengah-tengah. Perhatikan bagaimana setan memainkan mereka di kedua ujung yang bertentangan.”

Penulis berkata, “Di antara orang-orang sufi ada yang bila memakai pakaian, dia merobek sebagian darinya, terkadang merusak baju yang mahal.”

Dari Isa bin Ali al-Wazir berkata, “Suatu hari Ibnu Mujahid sedang bersama bapakku lalu pintu diketuk, dan seseorang berkata, ‘Asy-Syibli.” Maka bapakku berkata, ‘Silakan dia masuk.’ Ibnu Mujahid berkata, ‘Aku akan membuatnya terdiam saat ini juga di depanmu.’ Di antara kebiasaan asy-Sibli adalah merobek bajunya pada bagian tertentu, manakala dia duduk, Ibnu Mujahid berkata kepadanya, ‘Abu Bakar, ilmu apa yang membolehkan merusak apa yang bermanfaat?’ Asy-Syibli menjawab, ‘IImu apa, ‘Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.’ (QS. Shad: 33) Maka Ibnu Mujahid diam. Maka bapakku berkata kepada Ibnu Mujahid, ‘Kamu hendak membuatnya terdiam, malah dia yang membuatmu terdiam.’ Kemudian dia berkata kepadanya, ‘Orang-orang sepakat bahwa kamu adalah muqri di zaman ini, mana ayat dalam al-Qur’an bahwa orang yang mencintai tidak menyiksa kekasihnya?’ Ibnu Mujahid diam. Maka bapakku berkata kepadanya, ‘Katakanlah wahai Abu Bakar.’ Dia menjawab, ‘Firman Allah, ‘Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan, ‘Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasihNya’. Katakanlah, ‘Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?’ (QS. al-Maidah: 18).”’ Ibnu Mujahid berkata, ‘Seolah-olah aku tidak pernah mendengarnya.””

Saya berkata, bahwa saya meragukan keshahihan hikayat ini, karena salah seorang rawinya, al-Hasan bin Ghalib tidak tsiqah. Abu Bakar alKhathib berkata, “Al-Hasan bin Ghalib mengklaim banyak hal yang terbukti kedustaan dan rekayasanya.”

Bila kisah ini shahih, maka ia membuktikan minimnya pemahaman asy-Syibli saat dia berhujjah kepada ayat, dan minimnya pemahaman Ibnu Mujahid saat tak mampu menjawabnya, yakni pada pengambilan dalil kepada ayat: “Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.” (QS. Shad: 33, karena tidak boleh dikatakan bahwa seorang Nabi yang ma’shum melakukan kerusakan.

Ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat, di antara mereka ada yang berkata, “Dia mengusap kaki dan lehernya sambil berkata, ‘Kamu di jalan Allah.’” Ini adalah perbaikan. Di antara mereka ada yang berkata, “Dia menyembelihnya.” Menyembelih kuda dan memakan dagingnya boleh, dan dia tidak melakukan dosa apa pun.
Adapun merusak kain bagus yang bukan untuk tujuan yang shahih, maka ia tidak boleh, ada kemungkinan bahwa apa yang dilakukan oleh Sulaiman dibolehkan dalam syariatnya dan tidak dalam syariat kita.

Abu Abdullah Ahmad bin Atha’ berkata, “Madzhab Abu Ali ar-Rubadzi adalah membakar lengan bajunya dan merobek pakaiannya.”

Dia berkata, “Dia merobek baju yang mahal, memakai setengahnya sebagian kain selempang dan setengahnya lagi untuk kain sarung. Suatu hari dia masuk pemandian umum dengan mengenakan selembar kain, sementara rekan-rekannya tidak memakai kain sarung, maka dia merobeknya sesuai dengan jumlah mereka dan mereka menggunakannya sebagai kain sarung, lalu dia berpesan kepada mereka agar memberikan kain-kain itu kepada pemilik pemandian tersebut tatkala mereka keluar darinya.”

Tbnu Atha’ berkata, Abu Sa’id al-Kazaruni berkata kepadaku, “Di hari itu aku bersamanya, sedangkan kain yang dia potong-potong seharga tiga puluh dinar.”

Dari Abu al-Hasan al-Busyanji berkata, “Saya mempunyai seekor burung puyuh yang ditawar dengan seratus dirham, maka suatu malam ada dua orang tamu datang kepadaku, lalu aku berkata kepada ibuku, ‘apakah engkau punya sesuatu untuk dua tamuku?’ Dia menjawab, ‘Hanya roti. Maka aku menyembelih burung dan menyuguhkannya kepada dua tamu itu.”

Penulis berkata, “Sesungguhnya dia bisa berhutang kemudian menjualnya dan membayar hutangnya, sungguh ia telah lalai.”

Ahmad al-Ghazali di Baghdad lalu dia keluar ke al-Muhawwil, dia berdiri di depan sebuah penggilingan yang mengeluarkan suara lemah, lalu dia melempar jubahnya ke atasnya, maka penggilingan itu berputar dan jubah itu koyak.”

Penulis a berkata, “Lihatlah kepada kebodohan dan kelalaian ini, betapa jauhnya dia dari ilmu, karena telah diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta.? Seandainya seorang laki-laki memotong-motong satu dinar yang sah dan menginfakkannya, maka menurut fuqaha’ dia keliru, lalu bagaimana dengan tabdzir yang diharamkan?”

Tidak berbeda dengan hal ini perobekan mereka terhadap pakaianpakaian yang tergeletak saat mereka sedang larut dalam emosi sebagaimana yang akan kami sebutkan insya Allah, kemudian mereka mengatakan bahwa itu adalah keadaan mulia. Padahal tidak ada keadaan mulia bila ia menyimpang dari syariat.

Lantas apakah Anda sebagai hamba-hamba diri mereka_ataukah mereka diperintahkan untuk beramal berdasarkan akal mereka?’ Bila mereka mengetahui bahwa perbuatan mereka ini menyelisihi syariat kemudian mereka tetap melakukannya maka ini adalah kebengalan, sedangkan bila mereka tidak mengetahui, maka demi Allah ini adalah kebodohan yang berat.

Berlebih-lebihan Dalam Memendekkan Pakaian Penulis berkata, “Di kalangan orang-orang Sufi ada yang berlebih-lebihan dalam memendekkan pakaian, dan hal itu termasuk ketenaran.”

Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa maka dia ditanya tentang kain sarung, dia berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:

“Kain sarung seorang muslim sampai setengah betisnya, tidak mengapa, tidak dosa atasnya antara betis dengan mata kaki, apa yang di bawah itu adalah di neraka.”
Dari Ma’mar berkata, bahwa baju Ayyub sedikit panjang, maka dia ditanya, dan dia menjawab, “Ketenaran hari ini pada memendekkannya berlebihan.”

Ishaq bin Ibrahim bin Hani’ meriwayatkan, dia berkata, “Suatu hari aku datang kepada Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal, sementara aku memakai pakaian di bawah lutut di atas betis, maka beliau bertanya, ‘Apa ini?’ Beliau mengingkarinya. Beliau berkata, ‘Hal ini tak patut sekalipun.’”

Di antara Orang-orang Sufi Ada yang Meletakkan Kain dj atas Kepalanya Sebagai Ganti Surban

Penulis berkata, “Di antara orang-orang Sufi ada yang meletakkan kain di atas kepalanya sebagai ganti surban, ini termasuk ketenaran, karena ia menyelisihi pakaian penduduk setempat,?” sedangkan apa pun yang mengandung ketenaran maka ia dibenci.”

Bisyr bin al-Harits berkata, “Di hari Jum’at, Ibnul Mubarak masuk masjid dengan memakai peci, dan dia melihat orang-orang tak ada yang berpeci, maka dia melepasnya dan memasukkannya ke dalam sakunya.” Kain Selembar Penulis berkata, “Di antara mereka ada yang tidak memiliki kecuali selembar kain, zuhud terhadap dunia, dan ini bagus. Hanya saja bila dia mempunyai baju untuk Jum’at dan Id maka hal itu lebih baik dan lebih bagus.

Dari Abdullah bin Salam berkata, bahwa Rasulullah berkhutbah kepada kami di hari Jum’at, beliau bersabda, “Apa sulitnya bila salah seorang di antara kalian membeli dua pakaian untuk hari Jum’at selain baju kerjanya.”

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi pada Makanan dan Minuman Mereka

Penulis berkata, “Iblis mengacaukan secara mendalam orang-orang Sufi terdahulu, dan dia memerintahkan mereka untuk menyedikitkan makanan, memilih makanan yang keras, menghalangi mereka minum air dingin. Tatkala orang-orang muta ‘akhkhiri dari mereka datang, mereka tidak mau berlelah-lelah, maka mereka makan dengan rakus dan hidup dengan penuh kemewahan.”

Sebagian dari Apa yang Dilakukan Oleh Orang-orang Sufi Terdahulu

Penulis berkata, “Di antara mereka ada orang-orang yang tidak makan berhari-hari sampai kekuatannya melemah, di antara mereka ada yang makan sedikit perharinya yang tidak menegakkan badan.”

Diriwayatkan kepada kami dari Sahl bin Abdullah bahwa dia di awal tasawufnya membeli perasan kurma dengan harta satu dirham, minyak samin dengan harga dua dirham dan tepung beras dengan harga satu dirham, lalu dia mengaduknya, membuat bola-bola sebanyak 360 buah, dia berbuka dengan makan satu bola perharinya.

Abu Hamid ath-Thusi menyebutkan darinya, dia berkata, bahwa Sahl sempat makan daun bidara beberapa waktu, dia makan dedak selama tiga tahun, dan dia hanya menginfakkan tiga dirham dalam tiga tahun.

Dari Abu Ja’far al-Haddad berkata, “Suatu hari Abu Turab melihatku saat aku di pinggir kolam air, sedangkan saat itu aku tidak makan selama enam belas hari dan tidak pula minum. Dia bertanya, “Mengapa kamu duduk di sini?” Aku menjawab, “Aku di antara ilmu dan yakin, aku melihat siapa yang menang hingga aku bersamanya.” Dia berkata, “Kamu akan memperoleh sesuatu.”

Dari Abu Abdullah bin Zaid berkata, “Selama empat puluh tahun aku tidak makan kecuali dalam keadaan yang mana Allah menghalalkan bangkai.”

Dari Isa bin Adam berkata, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Abu Yazid, dia berkata, “Aku ingin duduk di masjid yang mana kamu berada di sana.” Dia menjawab, “Kamu tak kuat.” Dia berkata, “Bila Anda berkenan melapangkan untukku.” Maka Abu Yazid mengizinkan, dia duduk satu hari tanpa makan, dia sabar, dan di hari kedua, dia berkata,

“Ustadz, harus apa yang memang harus.” Dia menjawab, “Bocah, harus dari Allah.” Dia berkata, “Ustadz, aku ingin makan.” Dia menjawab, “Rocah, makanan bagi kami adalah ketaatan kepada Allah.” Dia berkata, “Ustadz, aku ingin sesuatu yang menegakkan tubuhku dalam ketaatan kepada Allah.” Dia menjawab, “‘Jasad tidak tegak kecuali dengan Allah.” Dari Ibrahim al-Khawwash berkata, “Saudaraku yang pernah menyertai Abu Turab menyampaikan kepadaku bahwa Abu Turab melihat seorang sufi menjulurkan tangannya ke kulit semangka, sedangkan dia belum makan selama tiga hari, maka Abu Turab berkata kepadanya, ‘Kamu hendak mengambil kulit semangka itu? Kamu tidak layak menjadi orang sufi, pergilah ke pasar!’”

Dari Abu Ali ar-Ruwadzbari berkata, “Bila laki-laki sufi berkata setelah lima hari, ‘Aku lapar,’ maka mereka mengusirnya ke pasar dan meme. rintahkannya bekerja.”

Dari Abu Ahmad ash-Shaghir berkata, “Abu Abdullah bin Khafif memerintahkanku agar menyuguhkan makanan berbukanya setiap sore berupa sepuluh biji kismis, suatu malam aku merasa kasihan kepadanya, maka aku menambahnya menjadi lima belas, dia memandangku dan bertanya, “Siapa yang memerintahkanmu?” Dia makan sepuluh biji dan meninggalkan sisanya.

Menolak Makan Daging

Penulis berkata, “Di antara mereka ada orang-orang yang tidak makan daging, hingga sebagian dari mereka berkata, ‘Makan daging seharga satu dirham membuat hati keras selama empat puluh hari.’”

Di antara mereka ada yang menolak makan semua yang baik, dia berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Haramkanlah makanan yang baik atas diri kalian, karena setan menjadi kuat gerakannya dalam aliran darah karenanya.”

Di antara mereka ada yang menolak minum air bersih.

Di antara mereka ada yang menolak minum air dingin, dan dia minum air panas.

Di antara mereka ada yang meletakkan air dalam drum besar terpendam di bawah tanah agar menjadi panas.

Di antara mereka ada yang menghukum dirinya dengan tidak minum air beberapa waktu.

Abu Hamid menceritakan dari Abu Yazid bahwa dia berkata, “Aku mengajak diriku kepada Allah namun ia menolak, maka aku menghukumnya dengan tidak minum air selama satu tahun dan tidak tidur selama satu tahun, maka jiwaku mau!”

Penulis berkata, “Abu Thalib al-Makki telah menyusun menu bagi mereka, dia berkata, ‘Dianjurkan bagi murid untuk makan tidak lebih dari dua potong roti sehari semalam.’ Dia berkata, ‘Di antara orang-orang ada yang mengukur makanannya, dia menguranginya, sebagian dari mereka menimbang makanannya dengan pangkal pelepah kurma yang setiap hatinya mengering sedikit demi sedikit, lalu dia mengurangi makanannya sesuai dengan itu.”

Dia berkata, “Di antara mereka ada yang mengatur makanannya, dia makan setiap hari kemudian menguranginya setiap dua hari kemudian setiap tiga hari.”

Dia berkata, “Lapar mengurangi darah dalam hati, ia memutihkannya, putihnya hati adalah cahayanya, mencairkan lemak hati dan carinya lemak hati adalah kelembutannya, dan pada kelembutannya ada mukasyafah.”

Penulis berkata, Abu Abdullah Muhammad bin Ali at-Tirmidzi menulis untuk mereka sebuah buku yang dia beri judul Riyadhatun Nufus, di sana dia berkata, “Pemula di bidang ini harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai taubat kepada Allah, kemudian berbuka namun hanya makan sedikit, makan satu potong roti satu potong roti, memutuskan diri dari lauk, buah, kenikmatan, hubungan dengan teman, melihat buku, karena semua itu adalah kebahagiaan jiwa, dia harus menghalangi jiwa dari kenikmatan hingga ia penuh dengan kesedihan.”

Penulis berkata, bahwa sebagian muta‘ akhkhirin mengeluatkan untuk mereka al-Arba’iniyah, “Salah seorang dari mereka hidup selama empat puluh hari tidak makan roti, akan tetapi dia minum minyak-minyakan dan makan buah-buahan yang lezat dan banyak.”

Ini adalah sebagian dari apa yang mereka lakukan dalam urusan makanan, yang tersebut menunjukkan apa yang dilalaikan.

Talbis Iblis atas Mereka Dalam Perbuatan-perbuatan inj dan Penjelasan Tentang Kesalahannya

Penulis berkata, “Adapun apa yang dinukil dari Sahl, maka itu perbuatan yang dilarang, karena ia membebanijiwa dengan sesuatu yang tak sanggup dipikulnya, kemudian Allah memuliakan manusia dengan makan gandum dan menjadikan kulitnya untuk binatang, maka tidak patut merebut jatah makan binatang, sejak kapan manusia layak makan dedak? Perbuatan seperti ini lebih buruk untuk disanggah.”

Abu Hamid menceritakan dari Sahl bahwa dia berpendapat bahwa shalat orang lapar dengan duduk yang tak kuat berdiri karena lapar adalah lebih baik daripada shalatnya dalam keadaan berdiri bila dia kuat karena makan.

Penulis berkata, “Saya berkata, bahwa ini salah, karena bila tujuan makannya adalah agar kuat shalat berdiri maka makannya adalah ibadah, karena ia membantu ibadah. Sedangkan bila dia melaparkan diri hingga hanya kuat shalat dengan duduk maka dia sendiri yang menjadi sebab meninggalkan yang fardhu, ini tidak boleh.

Meskipun yang dimakan adalah bangkai, maka hal itu tidak boleh, bagaimana mungkin ia bisa halal?

Lantas di manakah nilai ibadah di balik lapar yang meniadakan sarana-sarana ibadah?

Adapun ucapan al-Hadad, “Aku melihat siapa yang menang, ilmu atau yakin.” Ini adalah kebodohan murni, karena di antara ilmu dan yakin. tidak terdapat pertentangan, karena yakin adalah derajat ilmu tertinggi. Lantas manakah ilmu dan yakin yang mengajak meninggalkan apa yang dibutuhkan oleh jiwa berupa makanan dan minuman?

Hanya saja yang dimaksud dengan ilmu adalah perintah syariat dan yang dimaksudkan yakin adalah kekuatan sabar. Ini merupakan salah kaprah yang buruk.

Begitu juga ucapan yang berkata, “Aku tidak makan sampai waktu yang mana boleh bagiku untuk makan bangkai.” Ini merupakan perbuatan atas dasar akainya yang rendah, dan membebani jiwa padahal yang halal ada.

Ucapan Abu Yazid, “Makanan bagi kami adalah ketaatan -kepada Allah.” Ini kata-kata lemah, karena badan diciptakan memerlukan makan, hingga penduduk neraka di dalam neraka memerlukan makanan.

Penulis berkata, “Adapun menyedikitkan makan yang dilakukan oleh Ibnu-Khafif, maka ini merupakan perbuatan buruk lagi tidak bagus. Tidak ada yang menurunkan berita-berita seperti ini dari mereka seraya menganggapnya bagus kecuali dia adalah orang yang bodoh terhadap dasar-dasar syariat. Adapun seorang ulama yang mumpuni, maka dia tak akan terpengaruh oleh kata-kata orang yang diagungkan, apalagi perbuatan orang bodoh yang berpenyakit TBC.

Adapun tentang mereka tidak makan daging, ini merupakan perilaku orang-orang Brahmanah. yang tidak mau menyembelih hewan, padahal Allah lebih mengetahui kemaslahatan badan manusia, maka Dia menghalalkan daging untuk menguatkannya, makan daging menguatkan kekuatan, meninggalkannya melemahkannya serta memburukkan akhlak.

Sedangkan Rasulullah 2 makan daging, dan menyukai sampil domba.?

Sementara al-Hasan al-Bashri membeli daging setiap harinya.

Inilah yang dilakukan oleh salaf, kecuali bila mereka miskin, maka dia tidak makan daging karena kemiskinannya.

Tentang menolak kesenangan untuk diri sendiri, maka perkara ini tidak baik secara mutlak, karena Allah menciptakan manusia di atas panas dan dingin, lembab dan kering. Dia menjadikan kesehatannya bergantung kepada keseimbangan beberapa unsur dalam tubuhnya, darah, ludah, cairan kuning dan cairan hitam, terkadang sebagian unsur menguat hingga tabiat badan cenderung kepada apa yang kurang, misalnya cairan kuning bertambah maka tabiat badan cenderung kepada asam-asaman, atau cairan ludah sedikit maka tabiat cenderung kepada bahan-bahan yang basah.

Tabiat telah dititipi kecenderungan kepada apa yang sesuai dan sejalan dengan jiwa, bila jiwa cenderung kepada sesuatu yang baik baginya lalu dihalang-halangi, maka hikmah Allah telah dibalik dengan apa yang menolaknya, kemudian hal itu berdampak buruk pada tubuh, maka perbuatan ini menyelisihi syariat dan akal.

Sudah diketahui bahwa badan adalah kendaraan manusia, bila kendaraan tidak diperlakukan dengan lembut maka ia tidak bisa mencapai tujuan, ilmu orang-orang ilmu sedikit, maka mereka berbicara dengan akal mereka yang rusak, dan apabila mereka mengambil pijakan, maka pijakan tersebut adalah hadits dhaif atau palsu atau shahih namun mereka memahaminya secara salah.

Sungguh aku heran terhadap Abu Hamid al-Ghazali, bagaimana dia meninggalkan derajat fikih lalu rela turun ke derajat mereka hingga dia berkata, “Seorang murid, bila dia ingin berhubungan suami istri, dia tidak boleh makan dan melakukannya, karena dengan itu dia telah mengabulkan dua syahwat bagi dirinya, maka jiwanya menjadi kuat.”

Ini sangat buruk, karena lauk adalah kesenangan lain selain makanan, ini berarti tak patut makan lauk, tak patut minum air karena ia adalah syahwat lainnya.

Bukankah dalam ash-Shahih disebutkan bahwa Rasulullah melakukan hubungan dengan para istrinya dengan sekali mandi? Mengapa beliau tidak melakukannya hanya satu saja?!

Bukankah dalam ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah makan ketimun dengan kurma muda? Dua syahwat sekaligus.

Bukankah Nabi makan di rumah Abu al-Haitsam bin at-Tayyihan roti, daging panggang, kurma muda dan minum air dingin?

Bukanlah ats-Tsauri makan daging, anggur, faludah kemudian shalat?!

Bukankah kuda diberi makan jewawut, dedak, biji qat, dan unta diberi makan dedaunan dan rerumputan? Bukankah badan hanya seekor unta?!

Orang-orang terdahulu tidak membolehkan makan dengan dua lauk sekaligus agar hal itu tidak menjadi kebiasaan, karena hal itu membutuhkan biaya tambahan, berlebihan dalam hal syahwat juga dihindari agar tidak mengundang banyak makan, banyak tidur hingga jiwa terbiasa demikian, akibatnya jiwa tak tahan uji, maka seseorang memerlukan waktu lebih untuk mencarinya, bisa jadi mengambilnya bukan dari jalannya.

Inilah jalan hidup salaf dalam meninggalkan syahwat yang berlebihan.

Hadits yang mereka jadikan dalil, “Cegahlah diri kalian dari makanan yang bagus…” adalah hadits palsu, dibuat oleh Buzai’ salah seorang rawinya.

Bila seseorang membatasi diri dengan hanya makan roti jewawut, dan garam yang kasar, maka tabiat badannya akan menyimpang, karena roti jewawut kering kerontang, sedangkan garam juga kering mengkerut, yang bisa membahayakan otak dan penglihatan.

Sedangkan menyedikitkan makan menyebabkan usus mengering dan menyempit.

Ketahuilah bahwa makan yang tercela hanyalah makan yang melampaui batas kekenyangan.

Sedangkan sebaik-baik adab makan adalah adab Rasulullah

Dari al-Miqdam bin Ma’dikarib berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda:

“Manusia tidak mengisi wadah yang lebih buruk daripada perutnya, cukuplah bagi manusia beberapa suapan yang menegakkan tulang sulbinya. Bila memang harus lebih maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum dan sepertiga untuk nafas. ”

Saya berkata, “Rasulullah memerintahkan apa yang bisa menegakkan badan dan menjaganya, serta berusaha mewujudkan apa yang menjadi kemaslahatannya. Seandainya Abu Qarath mendengar sabda Nabi, “Sepertiga, sepertiga…” Niscaya dia akan kagum dan tercengang dari hikmah ini, karena makanan dan minuman mengembang dalam usus serta memenuhinya, tinggal nafas, jatahnya adalah sepertiga, ini adalah keseimbangan paling seimbang, bila kurang sedikit maka tidak mengapa, bila kekurangan ini bertambah maka ia melemahkan kekuatan dan mempersempit jalur makanan.

Orang-orang Sufi dan Lapar Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa orang-orang sufi hanya memerintahkan menyedikitkan makan bagi anak-anak muda dan orang-orang yang baru memulai langkah, padahal salah satu perkara yang paling membahayakan anak-anak muda adalah lapar, karena orang-orang tua bisa kuat menahan diri, demikian juga orang paruhbaya, lain halnya dengan anak-anak muda, mereka tidak mempunyai kesabaran di atas kelaparan.”

Hal itu karena suhu panas anak muda sangat tinggi, pencernaannya kuat, proses makanan dalam tubuhnya cepat, dan hal ini membuatnya memerlukan banyak makan, sebagaimana lampu baru memerlukan minyak lebih, bila anak muda harus memikul rasa lapar di awal per tumbuhannya, dia menghalangi pertumbuhan dirinya, dia seperti orang yang merongrong pondasi bangunan, kemudian karena tidak ada makanan, usus menjarah simpanan-simpanan makanan dalam tubuh, maka ia mengadukkannya dengan beberapa unsur, akibatnya otak dan jasad melemah.

Ini adalah dasar besar yang perlu direnungkan.

Penulis berkata, “Para ulama menyebutkan upaya mengurangi makan yang melemahkan tubuh.”

Dari Ahmad bin Hanbal bahwa Uqbah bin Mukrim berkata kepadanya, “Ada orang-orang yang makan sedikit, dan menyedikitkan makanan mereka.” Ahmad menjawab, “Saya tidak menyukainya, aku mendengar Abdullah bin Mahdi berkata, ‘Sebagian orang melakukannya, akibatnya mereka tidak kuat melakukan kewajiban.’”

Dari Dawud bin Shubaih berkata, “Aku berkata kepada Abdurrahman bin Mahdi, ‘Wahai Abu Sa’ id, di kota kami ada orang-orang dari kalangan sufi.” Dia menjawab, Jangan mendekat kepada mereka, sungguh kami melihat orang-orang dari mereka yang terseret ke dalam kegilaan, dan sebagian terjerumus ke dalam kezindikan.’”

Dari al-Marwazi berkata, “Aku mendengar Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal ditanya oleh seorang laki-laki, ‘Sudah lima belas tahun ini, aku merasa Iblis menyukaiku, terkadang aku merasakan was-was, aku berpikir kepada Dzat Allah.’ Ahmad menjawab, ‘Mungkin kamu tergila-gila pada puasa, berbukalah, makanlah lemak dan duduklah kepada tukang cerita.’”

Penulis berkata, “Di antara orang-orang sufi ada yang memilih makanan yang buruk, menolak lemak, maka perutnya mengumpulkan unsur-unsur yang tak bagus, badan diberi makan olehnya dalam masa tertentu, karena usus memerlukan sesuatu untuk dicernanya. Bila ia mencerna makanan yang ada padanya Ialu ia tidak menemukan apa pun untuk dicerna, maka ia akan mengambil cadangan dan mencernanya serta menjadikannya makanan bagi tubuh, makanan yang buruk mengeluarkan kepada was-was, kegilaan dan akhlak buruk. Orang-orang yang menyedikitkan makan itu di samping makanan mereka sudah sedikit, mereka juga makan makanan yang buruk, akibatnya unsur tidak baik pada tubuhnya meningkat, maka usus sibuk mencernanya, ditambah kebiasaan makan yang hanya sedikit, maka usus menyempit, sehingga hal ini memungkinkan mereka sabar untuk tidak makan sampai berharihari, mereka terbantu oleh kekuatan usia muda, maka mereka meyakini bahwa tidak makan adalah kemuliaan! Padahal sebabnya adalah apa yang aku jelaskan.”

Penulis berkata, “Apabila ada yang berkata, ‘Bagaimana kalian melarang menyedikitkan makan, sementara kalian meriwayatkan bahwa Umar makan sebelas suapan seharinya, dan bahwa Ibnu az-Zubair tidak makan selama seminaggau, serta Ibrahim at-Taimi tidak makan dua bulan?!”

Kami menjawab, “Seseorang mungkin mengalami hal-hal seperti ini di sebagian keadaan, hanya saja ia tidak seterusnya seperti itu, dan dia tidak bermaksud menjadikannya sarana peningkatan diri.”

Di antara salaf ada yang lapar karena memang tidak ada yang dimakan. Di antara mereka ada yang sudah terbiasa sabar tidak makan dan itu tidak merugikan dirinya. Di antara orang-orang Arab ada yang tidak lebih dari minum susu selama beberapa hari.
Kami tidak mengajak kepada kekenyangan, akan tetapi kami melarang kelaparan yang melemahkan kekuatan dan menyakiti tubuh. Apabila tubuh melemah, maka ibadah menyusut, badan mungkin kuat saat masih muda, tetapi saat uban bermunculan, pengendara harus berhenti.

Dari Anas berkata, “Umar bin al-Khatthab diberi satu sha’ kurma, dia menyantapnya sampai kurma yang jelek.”

Telah diriwayatkan kepada kami dari Ibrahim bin Adham bahwa dia membeli yoghurt, madu dan roti, dia ditanya, “Kamu makan semuanya?” Dia menjawab, “Bila memang ada, maka kami makan layaknya laki-laki, bila tidak ada maka kami sabar layaknya laki-laki.”

Air Minum Penulis berkata, “Rasulullah memilih minum air yang jernih. Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah datang kepada orang-orang Anshar menjenguk orang sakit, beliau minta minum, sedangkan di dekat beliau ada saluran air, maka beliau bersabda, “Bila kalian mempunyai air yang sudah melewati di dalam kantong kulit, bila tidak maka kami akan menciduk.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari.

Dari Aisyah bahwa seseorang mengambil air tawar dari sumur asSuaya untuk Rasulullah

Penulis berkata, “Patut diketahui bahwa air kotor meninggalkan kerikil dalam ginjal dan penyumbatan dalam limpa.”

Adapun air dingin, bila dinginnya seimbang, maka ia menquatkan usus, menguatkan syahwat, membaguskan kulit, mencegah pembusukan darah, naiknya asap ke otak dan menjaga kesehatan.

Bila air panas, maka ia merusak pencernaan, membuat kulit kering, membuat badan garing, menyebabkan kehausan dan tekanan, bila dipanaskan di bawah matahari maka bisa menyebabkan sopak.

Sebagian ahli zuhud berkata, “Bila kamu makan yang enak, minum air dingin, kapan kamu menyukai mati?” Demikian yang diucapkan oleh Abu Hamid, “Bila seseorang makan apa yang enak, maka hatinya menjadi keras, membenci mati. Sebaliknya, bila seseorang menghalangi syahwatnya, melarangnya dari kenikmatannya, maka jiwanya merindukan lepas dari dunia dengan mati.”

Penulis berkata, “Sangat mengherankan, bagaimana bisa kata-kata seperti ini keluar dari mulut seseorang yang fakih? Apakah bila jiwa berguling-guling di berbagai bentuk penyiksaan, ia tidak menyukai kematian? Kemudian bagaimana boleh menyiksanya, sementara Allah telah berfirman:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. an-Nisa’: 29).

Allah mengizinkan berbuka puasa dalam perjalanan karena hendak memberi kermudahan bagi kita:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. al-Baqarah: 185). Bukankah diri kita adalah kendaraan kita yang dengannya kita bisa sampai? Bagaimana kita tidak mengistirahatkannya sementara dialah Yang dengannya kita melewati tanah landai dan tanah sulit.

Adapun tentang perbuatan Abu Yazid yang menghukum dirinya dengan tidak minum selama setahun, ini merupakan perbuatan tercela, yang memandangnya baik hanya orang-orang bodoh.

Mengapa dicela? Karena jiwa memiliki hak, menahan hak dari jiwa adalah kezhaliman, seseorang tidak boleh menyakiti dirinya, seseorang tidak boleh duduk di bawah terik matahari di musim panas hingga membahayakan dirinya, dan tidak pula di salju saat musim dingin.

Air menjaga kelembaban yang diperlukan oleh tubuh, membantu peredaran makanan, sementara badan bisa tegak dengan makanan. Apabila seseorang tidak memberi dirinya makanan manusia, dan tidak memberinya minum, maka dia telah membantu membunuh dirinya, dan ini merupakan kesalahatan fatal.

Demikian juga menolak tidur. Ibnu Aqil berkata, “Manusia tidak berhak menegakkan hukuman, dan tidak pula melakukannya terhadap diri sendiri. Ini artinya, bila seseorang menegakkan hukuman had atas dirinya maka ia tidak sah dan bila dia melakukannya maka pemimpin mengulangnya.”

Diri ini adalah titipan dari Allah, hingga tindakan terhadap harta tidak diberikan secara mutlak kepada pemiliknya kecuali dalam batas-batas tertentu.”

Adapun tentang apa yang disusun oleh Abu Thalib al-Makki, maka ia membebani jiwa sesuatu yang melemahkannya, karena lapar hanya terpuji bila dengan takaran, sedangkan mukasyafah yang dia sebutkan adalah omong kosong.

Apa yang ditulis oleh at-Tirmidzi ini, maka ia adalah peletakan syariat dengan dasar akalnya yang rusak. Maka apa dasar puasa selama dua bulan berturut-turut saat taubat?! Apa faidah tidak makan buah-buahan yang mubah? Bila seseorang tidak melihat kita-kitab, lalu apa yang akan diteladaninya?!

Adapun al-Arba’iniyah maka omong kosong, mereka menyusunnya berdasarkan hadits yang tak berdasar, “Barangsiapa ikhlas kepada Allah selama 40 pagi, dia tidak memutuskan ikhlas selamanya.”

Atas dasar apa penetapan empat puluh hari?!

Kemudian seandainya kita menetapkan demikian, maka keikhlasan adalah perbuatan hati, apa urusannya dengan makan? Kemudian apa yang membuat bagus menolak makan buah-buahan dan roti? Bukankah semua ini hanyalah kebodohan?!

Dari Abdul Karim al-Qusyairi berkata, “Hujjah-hujjah orang sufi lebih jelas daripada hujjah siapa pun, kaidah-kaidah madzhab mereka lebih kuat dari kaidah-kaidah madzhab siapa pun, karena manusia terbagi menjadi dua: Para ahli naqli dan atsar dan ahli akal dan pikir, sementara para syaikh kelompok ini naik lebih tinggi dari mereka, dan apa yang tak nampak bagi manusia, nampak jelas bagi mereka. Pemahaman orang-orang yang tersambung, sedangkan orang-orang hanya berdalil, maka murid hendaknya memutuskan berbagai hubungan. Pertama kali meninggalkan harta kemudian meninggalkan kedudukan, dan tidak tidur kecuali bila terkalahkan oleh kantuk, serta menyedikitkan makan secara bertahap.”

Saya berkata, “Siapa yang memilih pemahaman paling rendah, dia akan mengetahui bahwa perkataan ini ngawur, karena siapa yang keluar dari nagli dan aqli, maka dia bukan termasuk manusia. Tak seorang pun manusia kecuali dia adalah pengambil dalil, apa yang dia sebutkan tentang terhubungnya jalur mereka adalah omong kosong belaka. Kami memohon kepada Allah agar menjaga kita dari kekacauan murid dan syaikh.” Semoga Allah memberi taufik Kontradiksi Mereka Penulis berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami dalam hadits lain dari Nabi bahwa beliau bersabda:

“Sesungguhnya Allah menyukai terlihatnya tanda-tanda kenikmatanNya pada hambaNya. ”

Bakr bin Abdullah berkata, “Barangsiapa diberi kebaikan lalu ia terlihat padanya maka dia disebut habibullah, membicarakan nikmat Allah. Barangsiapa diberi kebaikan lalu tak terlihat padanya, maka dia disebut baghidhullah, memusuhi nikmat Allah.”

Apa yang kita dilarang darinya berupa menyedikitkan makan melebihi batas telah terlihat sebaliknya pada orang-orang sufi di zaman ini, maka semangat mereka sekarang pada makanan, sebagaimana semangat orang-orang terdahulu mereka pada lapar.

Mereka memiliki makan pagi, makan malam dan manisan, semua itu atau kebanyakan darinya, didapatkan dari harta kotor.

Mereka meninggalkan usaha mencari harta, berpaling dari ibadah, menggelar tikar pengangguran, tidak ada semangat bagi kebanyakan dari . mereka kecuali makan dan bermain-main.

Bila salah seorang dari mereka ada yang berbuat baik, mereka berkata, “Membuang karena bersyukur.” Bila ada yang berbuat buruk, mereka berkata, “Memohon ampun.” Mereka menamakan apa yang mereka tetapkan atasnya sebagai kewajiban, sedangkan menamakan wajib apa yang tidak ditetapkan oleh peletak syariat sebagai kewajiban adalah kelancangan atasnya.

Saya melihat sebagian dari mereka, bila mereka menghadiri undangan, makan sangat banyak, kemudian memilih makanan, terkadang dia mengisi kantong-kantong bajunya tanpa izin tuan rumah, sedangkan hal itu tentu haram menurut kesepakatan ulama.

Saya melihat seorang syaikh dari mereka telah mengambil makanan untuk dia bawah pulang, namun pemilik rumah menahannya dan mengambilnya kembali darinya.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Urusan Sama’, Raqsh dan Wajd

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa mendengar nyanyian menghimpun dua perkara:

> Pertama: Melalaikan hati dari berpikir pada keagungan Allah dan berkhidmat kepadaNya.
> Kedua: Membuatnya cenderung kepada kenikmatan sesaat yang mendorong pemenuhannya dari segala bentuk syahwat riil dan kebanyakan darinya adalah hubungan suami istri, padahal kesempurnaan kenikmatannya adalah dengan gonta-ganti pasangan dan tidak ada jalan untuk gonta-ganti pasangan melalui jalan halal, karena itu ia membuka pintu zina.

Antara nyanyian dan zina terkadang korelasi dari sisi bahwa nyanyian adalah kenikmatan rohani, sementara kenikmatan jiwa paling besar adalah zina. Hal ini karena menikmati sesuatu mendorong untuk menikmati yang lainnya khususnya apa yang sesuai dengannya.

Tatkala Iblis sudah tidak berharap mengqgoda para ahli ibadah untuk mendengar nyanyvian yang haram dengan alat musik, lalu dia melihat kepada makna yang tersimpan di balik alat musik, maka dia menyusupkannya ke dalam nyanyian tanpa alat musik dan membaguskannya bagi mereka. Padahal maksudnya adalah menyeretnya dari sesuatu kepada sesuatu sedikit demi sedikit. Orang yang paham sepatutnya melihatsebab-sebab dan akibat-akibat, serta merenungkan tujuan-tujuan.?”

Melihat kepada anak-anak yang belum berkumis mubah bila tidak membangkitkan birahi, bila membangkitkan maka haram.

Mencium anak perempuan umur tiga tahun boleh, karena secara umum hal itu tidak memicu syahwat, namun bila memicunya maka ja haram. Demikian juga khalwat dengan mahram, bila dikhawatirkan terjadi yang tak patut maka haram. Renungkanlah kaidah ini.

Pendapat Orang-orang Sufi dalam Nyanyian

Penulis berkata, “Orang-orang telah berbicara dalam masalah ini panjang lebar, di antara mereka ada yang mengharamkannya, ada yang membolehkannya tanpa makruh dan ada pula yang membolehkannya sekalipun makruh. Sedangkan penjelasan pembicaraan tersebut adalah dengan mengatakan, kita patut melihat kepada hakikat sesuatu kemudian memutuskan haram atau makruh atau selain itu sesudahnya.

Nyanyian adalah nama yang digunakan untuk beberapa perkara, di antaranya adalah nyanyian jamaah haji di jalan-jalan, karena beberapa orang Ajam datang untuk menunaikan ibadah haji, lalu mereka bernasyid di jalan-jalan, mereka menyifati Ka’bah, Zamzam dan Maqam, mendengar syair-syair ini mubah, bernasyid dengannya tidak mengajak bergoyang dan tidak mengeluarkan dari keseimbangan. Semakna dengan mereka adalah para prajurit, mereka mendengdangkan syair-syair yang mendorong semangat perang. .

Termasuk ke dalam makna ini, syair yang diucapkan oleh orang-orang yang berduel satu lawan satu dalam rangka berbangga saat terjun ke medan perang.

Semakna dengan ini adalah syair-syair para penuntun unta di jalanjalan Makkah, seperti ucapan salah seorang dari mereka,

Penunjuk jalannya mengabarkan berita gembira kepadanya, dia berkata,

Besok kamu melihat pohon pisang dan gunung-gunung.

Ini menggerakkan unta dan manusia, hanya saja penggerakan itu tidak mengajak bergoyang yang mengeluarkan dari batas keseimbangan.

Penulis berkata, bahwa Rasulullah mempunyai penuntun unta bernama Anjasyah, dia mendendangkan bait syair dan berjalan cepat dengan unta, maka Rasulullah bersabda, “Wahai Anjasyah, pelanlah! Giringlah unta itu dengan lemah lembut.”

Dalam hadits Salamah bin al-Akwa’ berkata, “Kami berangkat bersama Rasulullah ke Khaibar, kami berjalan di malam hari, seorang laki-laki berkata kepada Amir bin al-Akwa’, ‘Tidakkah Anda berkenan memperdengarkan sebagian syairmu?’ Amir adalah laki-laki penyair, maka dia turun dan mengucapkan syairnya, dia berkata,

Ya Allah, kalau bukan karenaMu

Niscaya kami tidak mendapatkan petunjuk

Tidak bersedekah dan tidak shalat.

Limpahkanlah ketenangan kepada kami Teguhkanlah kaki-kaki kami bila bertemu musuh.

Maka Rasulullah bertanya, “Siapa yang mengucapkan syair itu?” Mereka menjawab, “Amir bin al-Akwa’.” Rasulullah bersabda, “Allah merahmatinya. ”

Telah diriwayatkan dari asy-Syafi’i bahwa dia berkata, “Mendengar dendangan penuntut unta dan syair orang-orang Arab pedalaman maka tidak mengapa.”

Termasuk dalam jenis ini adalah syair-syair yang mereka ucapkan di Madinah, terkadang mereka memukul rebana saat mengucapkannya.

Termasuk ke dalam hal ini apa yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwa Abu Bakar menemuinya sementara di sisinya ada dua gadis di hari-hari Mina sedang memukul rebana, sementara Rasulullah berbaring dengan selimutnya, maka Abu Bakar menghardik keduanya, maka Rasulullah membuka selimutnya dari wajahnya, beliau bersabda, “Biarkan mereka wahai Abu Bakar, karena ini adalah hari raya. ”

Penulis berkata, “Yang nampak dari dua gadis ini adalah anak-anak, karena usia Aisyah adalah anak-anak, Rasulullah mengutus anak-anak kepada Aisyah untuk bermain-main dengannya.”

Penulis berkata, “Jelaslah dari apa yang kami sebutkan apa yang mereka nyanyikan, tak ada yang mendorong bergoyang dan rebana mereka seperti rebana yang dikenal di hari ini.”

Termasuk dalam hal ini syair-syair yang diucapkan oleh ahli zuhud, mendekatkan hati untuk mengingat akhirat dan mereka namakan dengan az-Zuhdiyat, seperti ucapan sebagian dari mereka,

Wahai orang yang terbenam dalam kelalaian

Sampai kapan kamu membaguskan hal-hal buruk

Sampai kapan, sampai kapan kamu tidak takut berdiri Di depan Allah di mana Dia membuat anggota badan bicara Kamu sungguh aneh, kamu orang yang bisa melihat Bagaimana kamu menjauh dari jalan yang terang.

Maka hal ini mubah, juga Kepada seperti ini Ahmad bin Hanbal mengisyaratkan kebolehannya sebagaimana yang dikatakan oleh Abdus, “Aku mendengar Abu Hamid alKhulqani berkata kepada Ahmad bin Hanbal, ‘Wahai Abu Abdullah, syairsyair yang lunak tentang surga dan neraka, apa pendapatmu tentangnya?’ Beliau menjawab, ‘Seperti apa?’ Dia berkata, ‘Seperti mereka berkata,

Saat Tuhanku berfirman kepadaku

Apakah kamu tidak malu mendurhakaiKu

Kamu menyembunyikan dosa dari makhlukKu Lalu kamu datang kepadaKu dengan kemaksiatan.

Maka Imam Ahmad berkata, “Ulangilah kepadaku.” Maka aku mengulanginya, beliau berdiri, lalu masuk rumah dan menutup pintu, sedangkan aku mendengar suara tangisannya dari dalam rumah sambil berkata,

Saat Rabbku berfirman kepadaku

Apakah kamu tidak malu mendurhakaiKu

Kamu menyembunyikan dosa dari makhlukKu Lalu kamu datang kepadaKu dengan kemaksiatan.

Di antara syair ada yang diucapkan oleh para tukang ratap, mereka memicu kesedihan dan tangisan, maka ia dilarang karena kandungannya.

Adapun syair yang diucapkan oleh para biduan dan penyanyi, mereka menyifati wanita-wanita cantik, knamar dan lainnya yang menggerakkan tabiat, mengeluarkannya dari keseimbangan, mengobarkan semangat dalam jiwa untuk bermain-main, yaitu nyanyian yang dikenal di zaman ini, seperti ucapan seorang penyair,

Berwarna keemasan kamu menduga
Kedua pipinya api yang menyala

Mereka menakut-nakuti dari terbuka dosa Seandainya dia merespon hingga dosaku terbuka.

Mereka mengeluarkan nyanyian di atas dengan berbagai bentuk lagu, semua mengeluarkan pendengarnya dari lingkaran keseimbangan, mengobarkan cinta hawa nafsu,

Mereka mempunyai sesuatu yang mereka namakan al-basith, ia menggerakkan hati secara perlahan, kemudian mereka menghadirkan nasyid sesudahnya, maka hati bergoyang.

Mereka menambahkan di samping itu memukul gendang dengan nada-nada sesuai dengan nasyid yang didendangkan, rebana dengan gelang kaki, jari-jari yang bergantian pada lubang seruling, inilah nyanyian yang dikenal hari ini.

Penulis berkata, “Sebelum kita berbicara tentang boleh atau haram atau makruhnya, maka kami katakan, bahwa orang yang berakal patut menasihati diri dan saudaranya, mewaspadai talbis Iblis dalam memasukkan nyanyian ini ke dalam bagian-bagian yang telah disebutkan di atas yang dinamakan dengan nyanyian, hingga tidak membawa semuanya kepada satu titik, lalu dia berkata, dan fulan membolehkannya, fulan memakruhkannya.”

Kami memulai pembicaraan untuk menasihati diri dan saudarasaudara.

Sudah diketahui bahwa tabiat manusia mempunyai_ kemiripan, hampir tidak berbeda-beda, bila seorang pemuda yang badannya sehat, tabiatnya sehat bahwa wanita yang cantik tidak menggerakkannya, tidak berdampak padanya dan tidak merugikan agamanya maka kami tidak mempercayainya, karena kami tahu tabiatnya masih normal.

Bila dia benar, maka kami mengetahui bahwa dia sakit yang membuatnya keluar dari lingkaran kenormalan.

Bila dia beralasan, dan dia berkata, “Aku melihat kepada wanita-wanita cantik untuk mengambil pelajaran, aku mengagumi bagusnya penciptaan pada matanya yang lebar dan bulat, hidungnya yang tipis dan keputihan wajahnya.” Maka kami berkata kepadanya, “Hal-hal mubah lainnya sudah cukup memberimu pelajaran, kecenderungan tabiatmu di sini menyibukkanmu dari berpikir, syahwatmu yang menuntut pemenuhan tidak akan menyisakan peluang untuk berpikir, karena kecenderungan tabiat menyibukkan dari hal itu.”

Demikian juga orang yang mengatakan, “Nyanyian yang menggoyang yang menggerakkan tabiat, mengajaknya kepada cinta dan gandrung dunia tidak berdampak terhadapku, hatiku tidak terpancing kepada dunia yang terkandung di dalamnya.” .

Kami tidak mempercayainya karena adanya kesamaan tabiat manusia, bila hatinya jauh dari hawa nafsu karena takut kepada Allah niscaya Allah yang terdengar ini akan menghadirkan tabiat, sekalipun kepergiannya dalam safar khauf sudah lama. Keburukan paling buruk adalah menghiasi bangkai.

Lantas bagaimana mungkin bangkai yang dihias ini terlewatkan oleh Allah Yang mengetahui rahasia dan yang lebih samar darinya?!
Kemudian bila perkaranya sebagaimana yang diklaim oleh orang sufi ini, maka sepatutnya kita tidak membolehkannya kecuali bagi orang yang kriterianya demikian, padahal mereka membolehkan secara mutlak bagi anak muda pemula, anak-anak yang tidak tahu-menahu, hingga Abu Hamid al-Ghazali berkata, “Membicarakan kecantikan wanita dengan mensifati pipinya, pelipisnya, bagusnya bentuk tubuh dan perwakannya dan sifat-sifat wanita lainnya, maka pendapat yang shahih adalah, tidak haram.”

Penulis katakan, bahwa siapa yang berkata, “Aku tidak mendengar nyanyian demi dunia, akan tetapi aku hanya mengambil isyarat-isyarat.”

Dia salah dari dua sisi.

> Pertama: Tabiat mendahului maksudnya sebelum dia mengambil isyarat-isyarat, seperti orang yang berkata, “Saya melihat wanita cantik ini untuk merenungkan penciptaan Allah.”
> Kedua: Sangat jarang ada nyanyian yang mengandung isyarat kepada Khalik, Mahaagung Khalik untuk mengucapkan terkait dengan hakNya bahwa Dia digandrungi dan seseorang tergila-gila kepadaNya, karena bagian kita dari mengetahuiNya adalah sikap mengagungkan dan memuliakanNya saja.
Karena nasihatnya sudah cukup, maka kami menyebutkan pendapat dalam perkara nyanyian.

Madzhab Ahmad

Nyanyian di zaman beliau adalah mengucapkan syair-syair zuhud, hanya saja mereka melagukannya. Riwayat dari Ahmad berbeda-beda. Putranya Abdullah meriwayatkan darinya bahwa dia berkata, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati, dan aku membencinya.”

Ismail bin Ishaq ats-Tsaqafi meriwayatkan darinya bahwa dia ditanya tentang mendengar kasidah syair, maka dia menjawab, “Aku membencinya, bid’ah, jangan bergaui dengan mereka.”

Abu al-Harits meriwayatkan darinya bahwa dia berkata, “Taghbir bid’ah.” Seseorang berkata kepadanya, “Ia melembutkan hati.” Dia menjawab, “Bid’ah.”

Ya’qub al-Hasyimi meriwayatkan darinya, “Taghbir bid’ah diadaadakan.”

Ya’qub bin Bukhtan meriwayatkan darinya, “Saya tidak menyukai taghbir.” Dia melarang mendengarnya.

Penulis berkata, “Riwayat-riwayat dari Ahmad ini, semuanya menunjukkan dibencinya nyanyian.”

Abu Bakar al-Khallal berkata, “Ahmad membenci kasidah-kasidah tatkala dikatakan kepadanya bahwa mereka seperti orang-orang gila.”

Kemudian diriwayatkan dari Imam Ahmad apa yang menunjukkan bahwa ia tidak mengapa. Al-Marwazi berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang kasidah-kasidah syair, maka ia menjawab, ‘Bid’ah.’ Aku berkata, ‘Mereka dikucilkan?’ Beliau menjawab, ‘Tidak sampai demikian.’”

Penulis berkata, “Telah diriwayatkan kepada kami bahwa Ahmad mendengar seorang penyair di sisi anaknya Shalih, dan dia tidak mengingkarinya, maka Shalih berkata kepadanya, “Wahai bapak, engkau mengingkari ini?” Dia menjawab, “Karena mereka pernah berkata kepadaku bahwa orang-orang itu menggunakan yang mungkar, maka aku membencinya. Adapun ini, maka aku tidak membencinya.”

Saya berkata, “Rekan-rekan kami menyebutkan dari Abu al-Khallal dan rekannya Abdul Aziz bahwa dia membolehkan nyanyian, padahal sebenarnya keduanya hanya mengisyaratkan kepada kasidah-kasidah guhud yang ada pada zaman keduanya. Berdasarkan ini, maka apa yang tidak dibenci oleh Ahmad dibawa kepada makna ini.

Apa yang saya katakan menunjukkan bahwa Ahmad bin Hanbal ditanya tentang seorang laki-laki mati yang meninggalkan anak laki-laki dan seorang budak perempuan penyanyi, maka anak tersebut membutuhkan fingga dia harus menjual budak itu, maka Ahmad menjawab, ‘Jangan dijual sebagai penyanyi.” Seseorang berkata kepada Ahmad, “Harganya mencapai tiga puluh ribu dirham, bila dijual apa adanya bukan sebagai penyanyi maka harganya hanya dua puluh dinar saja.” Ahmad merjawab, “Dijual apa adanya bukan sebagai penyanyi.”

Penulis berkata, bahwa Ahmad berkata demikian karena budak perempuan penyanyi tersebut tidak melagukan syair-syair zuhud, akan tetapi syair-syair yang membuat orang bergoyang yang mengajak jiwa kepada cinta. Ini menunjukkan bahwa nyanyian dilarang, kalau tidak dilarang, niscaya Ahmad tidak membolehkan menghilangkan harta atas anak yatim.

Al-Marwazi meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa dia berkata, “Hasil usaha banci itu buruk, dia mendapatkannya dengan nyanyian.”

Hal ini karena banci tidak mendendangkan syair-syair zuhud, akan tetapi dengan syair tentang wanita dan ratapan, maka diketahui dari keterangan ini bahwa dua riwayat dari Ahmad, satunya membencinya dan satunya tidak berkaitan dengan syair-syair zuhud yang dilagukan, adapun nyanyian yang dikenal di hari ini maka ia dilarang menurut Ahmad.

Lalu bagaimana seandainya dia mengetahui tambahan-tambahan yang dibuat-buat orang orang-orang?

Madzhab Malik bin Anas

Dari Ishaq bin Isa ath-Thabba’ berkata, aku bertanya kepada Malik bin Anas tentang nyanyian yang dibolehkan oleh orang-orang Madinah, beliau menjawab, “Yang melakukannya hanya orang-orang fasik.”

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, bahwa Malik bin Anas melarang nyanyian dan mendengarnya, dia berkata, “Bila seseorang membeli seorang budak perempuan, lalu dia mendapatinya bernyanyi, maka dia berhak mengembalikannya karena ia cacat.” Ini adalah madzhab ulama Madinah yang lain kecuali Ibrahim bin Sa’ad seorang, dan Zakariyah as-Saji menceritakan darinya bahwa dia membolehkannya. Madzhab Abu Hanifah

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, “Abu Hanifah membenci nyanyian walaupun dia membolehkan minum perasan anggur, dan beliay menetapkan bahwa mendengar nyanyian termasuk dosa.”

Dia berkata, “Ini adalah madzhab ulama Kufah lainnya_ seperti Ibrahim, asy-Sya’bi, Hammad, Sufyan ats-Tsauri dan lainnya, dan tidak ada perbedaan di antara mereka.”

Dia berkata, “Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan Orang-orang Bashrah bahwa ia dibenci dan dilarang kecuali apa yang diriwayatkan dari Ubaidillah bin al-Hasan al-Anbari, dia berpendapat tidak mengapa.”

Madzhab asy-Syafi’i

Dari al-Hasan bin Abdul Aziz al-Jarawi berkata, “Aku mendengar Muhammad bin Idris asy-Syafi’i berkata, ‘Aku meninggalkan sesuatu di Irak yang dibuat-buat oleh orang-orang zindik, mereka menyebutnya taghbir, yang dengannya mereka menyibukkan manusia dari al-Qur’an.’”

Abu Bakar Manshur al-Azhari menyebutkan bahwa Mughabbirah adalah orang-orang yang mentaghbir dalam berdzikir kepada Allah dengan doa dan permohonan, mereka menamakan syair yang membuat mereka bergoyang dalam berdzikir kepada Allah dengan taghbir, seolah-olah bila mereka menyaksikannya dengan lagu, maka mereka akan bergoyang, berjoget, maka mereka disebut Mughabbirah karena makna ini Az-Zajjaj berkata, “Mereka dinamakan Mughabbirin wena mereka membuat orang-orang berzuhud terhadap dunia dan mendorong mereka kepada akhirat.” .

Asy-Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah permairian yang makruh dan mirip dengan kebatilan. Barangsiapa memperbanyak darinya maka dia dungu dan kesaksiannya tidak diterima.”

Ath-Thabari berkata, “Ulama kota-kota besar sepakat bahwa nyanyian dibenci dan dilarang, dan yang menyelisihinya Hanya beberapa orang, di antaranya adalah Ibrahim bin Sa’ad dan Ubaidullah al-Anbari.

Saya berkata, “Para tokoh murid-muridasy-Syafi’i mengingkari sama’, adapun orang-orang terdahulu maka tidak diketahui dari mereka adanya khilaf, adapun para tokoh muta’akhkhirin maka mereka juga mengingkari, di antara mereka adalah Abu ath-Thayyib ath-Thabari, dia menulis sebuah kitab tentang celaan dan larangan nyanyian. .

Dia berkata, “Nyanyian tidak boleh, mendengarnya juga, demikian juga memukul gendang.” Dia menambahkan, “Siapa yang menyandarkan kepada asy-Syafi’i bahwa dia membolehkannya maka dia dusta atasnya.”

Asy-Syafi’i telah menyatakan dalam Kitab Adabul Qadha~ bahwa seorang laki-laki yang selalu mendengar nyanyian maka ditolak kesaksian dan kejujurannya batal.

Saya berkata, “Ini adalah pendapat ulama madzhab asy-Syafi’i yang berpegang tequh kepada agama dari mereka, sedangkan yang memberikan keringanan hanyalah kalangan muta‘ akhkhirin dari mereka yang ilmu mereka minim dan kalah oleh hawa nafsunya.

Para fugaha’ dari rekan-rekan kami berkata, “Kesaksian penyanyi dan tukang joget tertolak.” ’ Dalil-dalil yang Menetapkan Dibencinya dan Dilarangnya Nyanyian serta Ratapan Penulis berkata, “Rekan-rekan kami berdalil atas dilarangnya nyanyian dengan al-Qur’an, sunnah dan makna.”

Dari al-Qur’an ada tiga ayat.

> Ayat pertama: Firman Allah: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna…” (QS. Luqman: 6).

Dari Abu ash-Shahba~ berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang firman Allah, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna…” (QS. Luqman: 6), dia berkata, ‘Demi Allah, ia adalah nyanyian.’”

Dari Ibnu Abbas tentang ayat ini, “la adalah nyanyian dan yang sepertinya.”

Dari Sa’id bin Yasar berkata, “Aku bertanya kepada Ikrimah tentang maksud hadits tersebut, dia menjawab, ‘Nyanyian.’” : Demikian juga yang diucapkan oleh al-Hasan, Sa’id bin Jubair, Qatadah dan Ibrahim an-Nakha’i.

> Ayat kedua: Firman Allah:

“Sedang kamu melengahkan(nya)?” (QS. an-Najm: 61).
Dari Ibnu Abbas tentang ayat ini berkata, “Ia adalah nyanyian dengan bahasa Himyar. Samada lana, yakni bernyanyi untuk kami.

Mujahid berkata, “Ia adalah nyanyian. Orang-orang Yaman -berkata, ‘Samada fulan, yakni fulan bernyanyi.”

> Ayat ketiga: . Firman Allah :

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda…” (QS. al-Isra’: 64).

Dari Mujahid tentang ayat tersebut, dia berkata, “Ia adalah nyanyian dan seruling.”

Adapun berdasarkan Sunnah:,

Dari Ibnu Umar bahwa dia mendengar seruling gembala,. dia pun meletakkan dua jarinya di kedua telinganya dan membelokkan untanya dari jalan, kemudian dia berkata, “Wahai Nafi’, apakah kamu mendengar?” Maka aku menjawab, “Ya.” Lalu dia berjalan, hingga aku berkata, “Aku sudah tidak mendengar.” Lalu dia meletakkan kedua tangannya dan mengembalikan untanya ke jalan, dan dia berkata, ‘Aku melihat Rasulullah mendengar seruling gembala, lantas beliau melakukan apa yang aku lakukan.’”

Penulis berkata, “Bila ini adalah perbuatan mereka terhadap suara yang tidak keluar dari lingkaran keseimbangan, lalu bagaimana dengan nyanyian orang-orang zaman ini dan seruling mereka?!

Abdurrahman bin Auf meriwayatkan dari nabi bahwa beliau bersabda:

“Sesungguhnya aku melarang dua suara yang bodoh lagi fajir, suara seruling saat suka dan suara ratapan saat duka, ”

Dari Ibnu Umar berkata, “Aku bertamu kepada Rasulullah, sedangkan anak laki-laki beliau Ibrahim sedang sekarat, maka Rasulullah memangkunya, sementara kedua mata beliau meneteskan air mata, maka aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, Anda menangis padahal Anda melarang kami?!’ Beliau bersabda, Aku tidak melarang menangis, akan tetapi aku melarang dua suara bodoh yang fajir; Suara saat suka, mainmain, hura-hura dan seruling setan serta suara saat musibah, memukuli wajah, merobek baju dan rintihan setan.’”

Atsar-atsar

Ibnu Mas’ud berkata, “Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan sayuran.”

Dia berkata, “Bila seorang laki-laki mengendarai unta, dan tidak mengucapkan basmalah, maka setan memboncengnya, dia berkata, ‘Bernyanvyilah.’ Bila dia tidak bisa, maka dia berkata, ‘Berharaplah untuk bisa.”

Ibnu Umar <melewati suatu kaum yang sedang ihram, dan di antara mereka ada seorang laki-laki yang bernyanyi, maka Ibnu Umar berkata, “Ketahuilah, Semoga Allah tidak memperdengarkan kebaikan untuk kalian.” Dan Ibnu Umar juga melewati seorang anak perempuan bernyanyi, maka dia berkata, “Seandainya setan meninggalkan seseorang niscaya dia meninggalkan anak ini.”

Seorang laki-laki bertanya kepada al-Qasim bin Muhammad tentang nyanyian, maka al-Qasim berkata, “Aku melarangmu darinya dan membencinya untukmu.” Laki-laki itu bertanya, “Apakah ia haram?” Al-Qasim menjawab, “Perhatikanlah wahai keponakanku, bila Allah membedakan yang haq dengan yang batil, maka di manakah di antara keduanya Dia meletakkan nyanyian?!”

Dari asy-Sya’bi berkata, “Penyanyi dan pendengarnya dilaknat.”

Umar bin Abdul Aziz menulis kepada guru anaknya, “Hendaknya per. kara pertama yang anak-anakku yakini dari adabmu adalah kebencian kepada permainan-permainan yang awalnya adalah dari setan dan akibatnya adalah murka ar-Rahman, karena telah sampai kepadaky dari para pembawa ilmu yang tsiqat bahwa menghadiri alat-alat musik, mendengar nyanyian dan mendendangkannya menumbuhkan kemunafikan dalam hati seperti air menumbuhkan rumput. Sungguh aku bersumpah, untuk menjauhi hal ini dengan tidak menghadiri tempattempat tersebut adalah lebih mudah bagi orang berakal daripada membebaskan hatinya dari kemunafikan.”

Fudhail bin Iyadh berkata, “Nyanyian adalah ruqyah zina.”

Adh-Dhahhak berkata, “Nyanyian merusak hati dan mengundang murka ar-Rabb.”

Yazid bin al-Walid berkata, “Wahai Bani Umayyah! Jauhilah nyanyian, karena ia memicu syahwat, menghancurkan kehormatan, menggantikan posisi khamr dan melakukan apa yang dilakukan karena mabuk. Maka bila kalian memang harus melakukan, maka jauhkanlah ia dari kaum wanita, karena nyanyian mengajak pada penyeru zina.”

Saya berkata, “Berapa banyak suara nyanyian memfitnah ahli ibadah yang zuhud, dan kami telah menyebutkan sekumpulan berita mereka dalam kitab kami Dzammul Hawa.

Penulis berkata, “Adapun dari sisi makna, maka kami telah menjelaskan bahwa nyanyian mengeluarkan manusia dari keseimbangan dan merubah akal.”

Penjelasannya, bila seseorang bergoyang maka dia melakukan apa yang dia akui keburukannya saat dia sadar dari selainnya, dari mengerakkan kepalanya, bertepuk tangan, menghentakkan kedua kakinya ke tanah dan lainnya yang hanya dilakukan oleh pemilik akal yang rendah. Nyanyian mengundang semua itu, bahkan dampaknya mendekati dampak khamr dalam menutup akal, maka sudah sepatutnya bila dilarang.

Dari Abu Sa’id al-Kharraz berkata, ahli kasidah disebut di depan Muhammad bin Manshur, maka dia berkata, “Mereka adalah orang-orang yang berlari dari Allah, seandainya mereka menasihati Allah dan rasulNya serta membenarkannya niscaya dalam hati mereka akan muncul sesuatu yang menyibukkan mereka dari banyaknya perjumpaan.”

Abu Abdullah bin Baththah al-Ukbari berkata, “Ada seorang penanya yang bertanya kepadaku tentang mendengar nyanyian, maka aku melarangnya darinya, dan aku memberitahunya bahwa ia termasuk perkara yang diingkari oleh para ulama dan dianggap baik oleh orang-orang bodoh. Yang hanya dilakukan oleh sekelompok orang yang bernama orang-orang sufi dan para ulama ahli tahqiq menyebut mereka Jabriyah, yaitu pemilik tujuan-tujuan rendah dan syariat-syariat yang bid’ah. Mereka memperlihatkan zuhud, padahal semua sebab-sebab mereka adalah kegelapan. Mereka mengklaim kerinduan, cinta, menggugurkan ketakutan dan harapan, mendengarnya dari anak-anak muda dan kaum wanita, mereka bergoyang, pingsan, tidak sadarkan diri seperti mati. Mereka juga mengklaim bahwa semua itu karena cinta mereka yang besar kepada Tuhan mereka. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan setinggi-tingginya.”

Syubhat yang Dipegang oleh Pihak yang Membolehkan Nyanyian

Di antaranya hadits Aisyah bahwa dua orang anak perempuan memukul dua rebana di sisinya. Dalam sebagian lafazh hadits menyebutkan bahwa Aisyah berkata, “Abu Bakar bertamu kepadaku sementara di sisiku ada dua anak perempuan dari kalangan anak-anak Anshar bersyair mengucapkan apa yang diucapkan oleh orang-orang Anshar di hari Buats, maka Abu Bakar berkata, ‘Apakah seruling setan di rumah Rasulullah?’ Maka Rasulullah bersabda, ‘Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya dan ini adalah hari raya kita.’ Hadits ini telah disebutkan sebelumnya.?!

Di antaranya hadits Fadhalah bin Ubaid dari Nabi bahwa beliau bersabda:

“Sungguh Allah benar-benar lebih mendengar kepada seorang laki-laki yang bersuara bagus membaca al-Qur’an daripada pendengar penyanyi kepada nyanyiannya. ”

Ibnu Thahir berkata, “Sisi pengambilan hujjah dari hadits ini adalah bahwa nabi menetapkan bolehnya mendengar nyanyian, karena tidak boleh mengkiyaskan kepada yang haram.”

Di antaranya hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa dia berkata:

‘Allah tidak mendengar sesuatu seperti Dia mendengar seorang nabi yang melantunkan al-Qur an.”

Di antaranya hadits Muhammad bin Hathib dari Nabi bahwa beliau bersabda:

“Pemisah antara yang halal dan yang haram adalah memukul rebana. “

Kami menjawab, bahwa hadits Aisyah, telah kami bicarakan, dan kami jelaskan bahwa mereka mengucapkan bait-bait syair, dan hal itu dinamakan nyanyian, karena dalam mengucapkannya mengandung penekanan dan sedikit dilagukan, seperti ini tidak mengeluarkan tabiat dari keseimbangan.

Bagaimana mereka berdalil kepada sebuah realita di zaman yang bersih di kalangan orang-orang yang berhati bersih untuk membolehkan nyanyian-nyanyian yang mengundang joget yang terjadi di zaman yang kotor di kalangan para pemilik jiwa yang telah dikuasai oleh hawa nafsu? Hal ini hanyalah sebuah pemahaman yang sangat keliru.

Bukankah telah diriwayatkan secara shahih dari Aisyah bahwa dia berkata, “Sekiranya Rasulullah melihat apa yang dilakukan oleh kaum wanita niscaya beliau melarang mereka dari masjid.”

Seorang mufti harus mempertimbangkan setiap keadaan sebagaimana seorang tabib sepantasnya mempertimbangkan zaman, usia dan negeri, kemudian membuat resep setelah mempertimbangkan semua itu menurut takarannya.

Di manakah nyanyian yang diucapkan oleh orang-orang Anshar di hari Buats dari nyanyian seorang anak muda yang belum berkumis lagi berwajah tampan dengan alat-alat musik yang mengajak bergoyang yang dibuat-buat dan menarik hati dan nyanyian tentang wanita yang hanya menyebut asmara dan bentuk tubuh serta perawakan seorang wanita?!

Adakah tabiat yang bisa tahan di depan nyanyian seperti ini?! Mustahil, sebaliknya ia akan membuncah lagi merindukan kelezatan!

Tidak ada yang berani berkata bahwa dia tidak demikian kecuali pendusta atau dia memang telah keluar dari riil kemanusiaan.
Barangsiapa mengklaim bahwa dia mengambil isyarat kepada Khalik dari nyanyian seperti ini maka dia telah menggunakan sesuatu yang tidak pantas untukNya. di samping tabiatnya akan menemukan hawa nafsunya terlebih dulu.

Abu ath-Thayyib ath-Thabari menjawab dari pengambilan dalil kepada hadits ini dengan jawaban yang berbeda, dia berkata, “Hadits ini adalah hujjah kami, karena Abu Bakar menyebut hal itu sebagai seruling setan dan Nabi tidak mengingkari penyebutan Abu Bakar ini, sedangkan nabi hanya melarang Abu Bakar bersikap keras dalam mengingkari karena kandungannya yang baik, lebih-lebih di hari raya. Aisyah saat itu masih kecil dan sesudah dia dewasa tidak dinukil darinya kecuali bahwa dia mencela nyanyian. Keponakan Aisyah yaitu al-Qasim bin Muhammad juga mencela, melarang mendengarnya dan dia mengambil ilmu dari Aisyah.”

Penulis berkata, “Adapun permainan yang disebutkan dalam hadits lainnya, maka ia tidak secara spesifik menunjukkan bahwa ia adalah nyanyian, ada kemungkinan ia adalah mengucapkan syair atau lainnya.”
Adapun penyerupaan dengan mendengar seorang penyanyi, maka tidak dipermasalahkan bila yang disamakan adalah sesuatu yang haram. Karena bila seseorang berkata, “Saya merasakan adanya kelezatan pada

madu lebih nikmat daripada kelezatan pada khamr.” Maka tidak ada yang salah dalam ucapannya, dan penyerupaan hanya untuk mendengar pada kedua kondisi, yang satu halal dan yang Iainnya haram tidak menghalangi penyerupaan, Nabi 3 bersabda, “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat rembulan.

Nabi menyerupakan melihat dengan jelasnya melihat sekalipun di antara yang dilihat terdapat perbedaan karena rembulan dilihat qj sebuah arah yang mana penglihatan orang yang melihatnya meliputinya, sementara Allah disucikan darinya.

Para fuqaha’ berkata tentang air wudhu, “Anggota wudhu tidak dikeringkan darinya, karena air ini adalah bekas dari ibadah, maka tidak disunnahkan mengeringkannya, seperti darah syahid, mereka menya. tukan keduanya dari sisi bahwa keduanya merupakan bekas dari ibadah, sekalipun keduanya berbeda, yang satu suci dan yang lain najis.”

Ucapan Ibnu Thahir bahwa qiyas hanya dilakukan atas sesuatu yang mubah maka ini adalah fikih sufi, bukan ilmu para ulama.

Ucapannya, “Yataghanna bil Qur’an,” Sufyan bin Uyainah menaf. sirkannya dengan, “Merasa cukup dengan al-Qur’an.” Asy-Syafi’i menaf. sirkannya, “Maknanya adalah membacanya dengan khusyu’ dan bagus.” Selain Sufyan dan asy-Syafi’i berkata, “Menjadikannya sebagai ganti senandung rombongan musafir bila mereka berjalan.”

Adapun memukul rebana, maka beberapa orang tabi’in menghan. curkannya. Bila ini adalah sikap mereka terhadap rebana di zaman itu, lalu bagaimana dengan rebana di zaman ini?!

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Rebana bukan termasuk sunnah para rasul dari sisi apa pun.”

Sabda Nabi, “Pemisah antara yang halal dengan yang haram…” Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam berkata, “Apa yang diucapkan oleh sebagian kalangan sufi tentang hadits ini merupakan kesalahan takwil atas Rasulullah, karena maknanya menurut kami adalah mengumumkan pernikahan, suara kebahagiaan dan menyebutkan pada orang lain.”

Saya berkata, “Seandainya hadits ini diberlakukan pada pengertian rebana dalam arti sebenarnya, niscaya ia tetap benar dan boleh. Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya berharap rebana pada pernikahan dan sepertinya boleh, tetapi saya membenci gendang.”

Dari Amir bin Sa’ad al-Bajali berkata, “Aku mencari Tsabit bin Sa’ad, dia adalah laki-laki yang ikut dalam perang Badar, dan aku mendapatinya dalam sebuah pernikahannya ada anak-anak perempuan yang bernyanyi dan memukul rebana, maka aku berkata, “Mengapa kamu tidak melarangnya?” Dia menjawab, “Tidak, karena Rasulullah memberi keringanan kepada kami dalam hal ini.”

Penulis berkata, “Semua dalil yang mereka jadikan sebagai dalil tidak boleh dijadikan sebagai dalil untuk membolehkan nyanyian yang berdampak buruk terhadap jiwa.”

Sebagian orang yang terfitnah oleh tasawuf berusaha membela mereka dengan menghadirkan dalil yang tidak benar, di antara mereka adalah Abu Nuaim al-Ashfahani, dia berkata, “Al-Barra’ bin Azib senang mendengarkannya dan merasakan kenikmatan suara merdu.”

Penulis berkata, “Abu Nuaim menyebutkan hal ini dari al-Barra’, karena dia meriwayatkan”’ darinya bahwa dia suatu hari berbaring dan bersenandung.”

Lihatlah pengambilan dalil yang kering ini, karena seseorang tidak lepas dari seperti ini. Maka di manakah perbedaan bersenandung dengan mendengar nyanyian yang menggucang jiwa?!

Muhammad bin Thahir berdalil untuk mereka kepada beberapa dalil. Kalau bukan karena khawatir orang bodoh akan mengetahui yang sepertinya, niscaya ia tak patut untuk disebutkan, karena ia tidak berarti apa-apa.

Di antaranya dia berkata dalam kitabnya, “Bab meminta seseorang mengucapkan syair dan sunnah padanya.” Dia menetapkan bahwa meminta seseorang mengucapkan syair termasuk sunnah, dia berdalil kepada apa yang diriwayatkan oleh Amru bin asy-Syarid dari bapaknya, dia berkata, “Rasulullah memintaku untuk menyampaikan kepadanya syair Umayyah, maka beliau bersabda, “Teruskan, teruskan’, hingga aku mengucapkan seratus bait.”

Penulis berkata, “Lihailah kepada pengambilan dalil Ibnu Thahir, sungguh ia sangat aneh! Bagaimana bisa dia berdalil dibolehkannya nyanyian dengan mengucapkan syair?! Perumpamaan orang sepertinya adalah seperti orang yang berkata, “Boleh memukul dengan telapak tangan di atas gitar, maka boleh memetik senarnya.” Atau berkata, “Boleh memeras anggur dan meminumnya hari itu serta boleh juga meminum. nya beberapa hari sesudahnya.” Dia lupa bahwa mengucapkan syair tidak membuat bergoyang seperti nyanyian.

Saya menyebutkan hal ini agar kadar fikih dan pengambilan dalil orang ini diketahui, karena bila tidak, maka waktu lebih berharga untuk digunakan hal yang sia-sia dalam membahas kekacauan ini.

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, “Adapun mendengar nyanyian dari wanita yang bukan mahram, maka rekan-rekan asy-Syafi’j berkata, ‘Tidak boleh, baik wanita merdeka atau pun budak.”

Dia berkata, bahwa asy-Syafi’i berkata, “Pemilik budak wanita penyanyi yang mengumpulkan orang untuk mendengarnya adalah orang bodoh dan kesaksiannya ditolak.”

Kemudian asy-Syafi’i berkata keras dalam masalah ini, “Dia dayyuts,”

Asy-Syafi’i memvonis pelakunya bodoh dan fasik, karena dia mengajak orang-orang kepada kebatilan. Barangsiapa mengajak kepada kebatilan, maka dia bodoh dan fasik.

Penulis berkata, “Dari Abu Abdurrahman as-Sulami berkata, ‘Sa’aq bin Abdullah ad-Dimasyqi membeli seorang budak perempuan yang mengucapkan syair-syair.untuk orang-orang sufi dan mendendangkan syair bagi mereka.’”

Penulis berkata, “Abu Thalib al-Makki menyebutkan dalam kitabnya Qutul Qulub, dia berkata, ‘Kami bertemu Marwan al-Qadhi, dia mempunyai budak-budak perempuan yang bernyanyi dengan lagu, dan dia menyiapkannya untuk orang-orang sufi.’” ;

Dia berkata, “Atha~ memiliki dua orang budak perempuan yang bernyanyi, dan saudara-saudaranya mendengar lagu dari keduanya.”

Penulis berkata, “Sa’ad ad-Dimasygqi, dia adalah laki-laki jahil, sedangkan riwayat dari Atha~ adalah mustahil dan dusta. Bila hikayat dari Marwan shahih, maka dia fasik, dan dalil atas apa yang kami ucapkan adalah apa yang kami sebutkan dari asy-Syafi?i bahwa dia berkata, ‘Mereka adalah orang-orang yang tidak berilmu, maka mereka cenderung kepada hawa nafsu.’”

Bila ada yang berkata, “Apa yang Anda katakan tentang apa yang diriwayatkan dari Mughirah yang berkata, ‘Aun bin Abdullah berkisah, bahwa bila dia longgar, dia memerintahkan seorang budak perempuan untuk berkisah dan bernyanyi.’ Al-Mughirah berkata, ‘Maka aku mengirim pesan -atau hendak mengirim pesan kepadanya-, ‘Sesungguhnya engkau dari keluarga baik, sesungguhnya Allah tidak mengutus nabiNya dengan membawa kedunguan, sedangkan apa yang kamu lakukan adalah perbuatan orang dungu.””

Kami menjawab, “Kami tidak percaya bila Aun memerintahkan budak perempuannya untuk berkisah di depan kaum laki-laki, akan tetapi dia ingin mendengarnya sendiri dan budak itu miliknya. Maka Mughirah alFaqih mengucapkan kalimatnya ini, dia tidak ingin bila budak perempuannya ini bernyanyi untuknya, lalu bagaimana dugaanmu dengan kaum wanita yang bernyanyi di depan kaum laki-laki dan membuat mereka bergoyang dan berjoget.”

Abu Thalib al-Makki berdalil untuk mereka atas dibolehkannya mendengar nyanyian kepada mimpi-mimpi, dan dia membagi mendengar nyanyian kepada beberapa bagian, padahal itu adalah pembagian sufi yang tidak ada dasarnya.

Kami telah menyebutkan bahwa barangsiapa mendengar nyanyian dan mengaku bahwa jiwanya tidak terpengaruh kepada hawa nafsu maka dia dusta.

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, bahwa sebagian dari mereka berkata, “Sesungguhnya kami tidak mendengar nyanyian dengan tabiat yang dimiliki oleh orang-orang umum dan khusus.”

Dia berkata, bahwa ini nerupakan kebodohan darinya dari dua sisi:

> Pertama: Konsekuensinya adalah dia membolehkan seruling, gendang dan alat-alat musik lainnya, karena dia mendengar dengan tabiat yang tak dimiliki oleh siapa pun. Bila dia tidak membolehkannya, maka pendapatnya bertentangan, sedangkan bila dia membolehkan maka dia fasik.
> Kedua: Orang yang mengaku demikian mengaku tabiat dirinya berbeda dengan tabiat manusia, dan dia telah masuk dalam kelompok malaikat!

Bila dia berkata demikian, maka dia telah menuduh tabiatnya sendiri, dan dia tahu bahwa setiap orang yang berakal mendustakannya bila dia kembali kepada jiwanya, ini berarti pula bahwa dia tidak berjuang melawan dirinya, tidak menentang hawa nafsunya, tidak mendapatkan pahala bila dia meninggalkan hawa nafsu dan kesenangan yang haram, tak seorang pun yang berakal mengatakan yang demikian.

Bila dia berkata, “Aku juga memiliki tabiat manusia yang tercetak dj atas hawa nafsu dan syahwat.” Maka kami menjawab, “Bagaimana Anda mendengar nyanyian yang membuat bergoyang bukan dengan tabiatmy atau kamu bergoyang saat mendengar karena sesuatu yang tak tertanam dalam jiwamu?”

Abu Ali ar-Ruwadzbari ditanya tentang orang yang mendengar alatalat musik, maka dia berkata, “la bagiku halal, karena aku sudah mencapai derajat yang tak lagi terpengaruh oleh perbedaan keadaan.”

Penulis berkata, “Benar, demi Allah dia sudah sampai, akan tetapi ke jurang neraka Saqar.”

Penulis berkata, “Kami berkata bahwa tidak diingkari seseorang mendengar satu bait syair atau hikmah, lalu dia memetik pelajaran darinya, kemudian maknanya menggugahnya bukan karena suaranya yang menggoyang, sebagaimana sebagian murid mendengar suara wanita penyanyi yang berkata,

Setiap hari kamu berhias

Dan selain ini lebih cantik bagimu

Maka dia berteriak dan mati.

Laki-laki ini tidak bermaksud mendengar wanita itu, dan tidak me.noleh kepada nyanyiannya. Dia hanya mati karena maknanya.

Kemudian mendengar satu kalimat atau satu bait tanpa sengaja mendengarnya tidaklah sama dengan mendengar bait-bait yang banyak yang membuat bergoyang yang disengaja bahkan dengan persiapan, ditambah dengan adanya pukulan pada alat musik, tepuk tangan dan lainnya.

Kemudian orang yang mendengar itu tidak sengaja mendengar, kalau . dia bertanya kepada kita, “Bolehkah aku sengaja mendengarnya?” Maka kami melarangnya.

Penulis berkata, “Abu Hamid ath-Thusi berdalil untuk mereka kepada hal-hal yang membuatnya turun dari derajat pemahaman, intinya dia berkata, ‘Tidak ada nash dan qiyas yang menetapkan larangan mendengar nyanyian.’”

Jawaban terhadap pendapatnya ini adalah dalil-dalil yang telah kami sebutkan.

Dia berkata, “Tidak ada alasan mengharamkan mendengar suara yang indah, bila ia berwazan maka ia tidak haram, bila satu-satu tidak haram, maka kumpulannya juga tidak haram, dan bila hal-hal mubah disatukan maka ia tetap mubah.”

Dia berkata, “Apa yang dipahami darinya patut ditinjau. Bila ia mengandung sesuatu yang dilarang, maka membuat dan menyusunnya juga haram, sehingga haram pula menyuarakannya.”

Saya katakan, “Sungguh aku heran terhadap perkataan seperti ini, senar gitar saja atau gitar saja tanpa senar, seandainya ia dipukul maka ia tidak haram, tidak membuat bergoyang, bila keduanya disatukan lalu dipetik dengan cara tertentu maka ia haram dan membangkitkan.”

Begitu pula perasan anggur boleh diminum, namun bila ia sudah berbusa atau berbuih maka ia haram.

Begitu juga kumpulan ini semua mengajak pendengarnya bergoyang yang mengeluarkannya dari keseimbangan, maka ia patut dilarang karena itu.

Ibnu Aqil berkata, “Suara terbagi menjadi tiga: Haram, makruh dan mubah.

Yang Haram adalah seruling, sirine, gitar, gendang, biola, rebab dan yang sepertinya. Imam Ahmad bin Hanbal telah menyatakan pengharamannya, dan sekop disamakan dengannya, karena ini mengundang orang bergoyang, mengeluarkan dari batas keseimbangan, berdampak terhadap tabiat manusia secara umum seperti dampak yang timbul dari minuman yang memabukkan, baik digunakan dalam keadaan sedih yang bisa membangkitkannya atau pun dalam keadaan bahagia, karena nabi telah melarang dua suara yang dungu, yaitu suara saat suka dan suara saat musibah.

Yang Makruh yaitu pedang karena ia dari sisi dirinya tidak membuat bergoyang, akan tetapi yang membuat bergoyang adalah apa yang mengikutinya, jadi ia mengikuti ucapan sedangkan ucapan makruh. Di antara rekan-rekan kami ada yang mengharamkan alat tersebut sebagaimana diharamkannya alat-alat musik, jadi ada dua pendapat di kalangan rekan-rekan kami seperti ucapan itu sendiri.

Yang Mubah yaitu rebana, kami telah menyebutkan dari Ahmad bahwa dia berkata, “Gaya berharap rebana di pernikahan dan yang sepertinya tidak mengapa, dan aku membenci gendang.”

Abu Hamid berkata, “Barangsiapa mencintai Allah maka dia menggandrungiNya dan merindukan pertemuan denganNya, karena kegan. drungannya kepada Allah, maka mendengar nyanyian untuknya ditekankan.”

Penulis berkata, “Ini buruk, dikatakan untuk Allah, yu’syaqu, digandrungi, sedangkan kami telah menjelaskan kekeliruan kata-kata ini.”

Kemudian penegasan apa untuk kegandrungannya terdapat dalam ucapan seorang penyanyi,

Berwarna keemasan, karnu menyangka

Kedua pipinya adalah api yang menyala

Ibnu Aqil mendengar sebagian orang-orang sufi berkata, “Bila tabiat para syaikh kelompok ini berhenti, maka seseorang menuntunnya kepada Allah dengan nyanyian.”

Ibnu Aqil berkata, “Tidak ada kemuliaan bagi orang yang berkata demikian, karena hati hanya dituntun kepada Allah melalui janji Allah dan ancamanNya dalam al-Qur’an serta sunnah Rasulullah, karena Allah berfirman:

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka…” (QS. al-Anfal: 2). Dia tidak berfirman, ‘Bila nyanyian didendangkan maka hati mereka bergoyang.”

Barangsiapa yang jiwanya tergoda untuk memunguti pelajaran dari ketampanan atau kecantikan manusia serta merdunya suara, maka dia adalah orang yang terkena fitnah, sebaliknya yang patut adalah melihat kepada hal-hal halal yang mana Allah mengalihkan kita kepadanya seperti unta, kuda, angin dan lainnya. Ini adalah pemandangan yang tidak diharamkan karena ia tidak membangkitkan gejolak jiwa, bahkan menghadirkan sikap pengagungan kepada pencipta.

Setan telah menipu kalian, hingga kalian menjadi budak bagi hawa nafsu kalian, dan kalian belum kunjung sadar hingga kalian berkata, “Ini adalah hakikat.” Padahal kalian adalah orang-orang zindik dalam pakaian ahli ibadah, dan orang-orang busuk dalam pakaian ahli zuhud. Kalian adalah musyabbihah yang meyakini bahWa seseorang menggandrungi Allah, merindukanNya, larut padaNya dan tergila-gila kepadaNya!

Ini adalah dugaan yang sangat buruk, karena Allah menciptakan dzat-dzat, makhluk dengan kemiripan, karena asal unsurnya mirip, maka ia merasa tenang dan sedih dengan, asal unsurnya dan susunannya yang sepadan dalam bentuk penciptaannya.

Dari sini muncullah sikap saling menyalahkan, kecenderungan dan sebagian menggandrungi sebagian yang lain, dan kekuatan ketenangan ini tergantung pada kadar kedekatan bentuknya.

Salah seorang dari kita merasa senang kepada air, karena pada dirinya ada air, namun dia lebih senang kepada tumbuhan, karena kemiripannya dengannya dari sisi hewaniyah dalam kekuatan pertumbuhan dan dia lebih dekat lagi kepada hewan karena dia dan ia sama-sama memiliki satu sifat yang lebih khusus dengannya atau lebih senang kepadanya. Lalu di mana titik kesamaan antara Khalik dengan makhluk hingga terjadi kecenderungan, kegandrungan dan kerinduan dari makhluk kepadaNya? Di mana letak korelasi antara air plus tanah dengan pencipta langit?!

Orang-orang itu hanya membayangkan sebuah bentuk tertentu bagi Allah dalam hati Allah, padahal Allah tidak demikian, akan tetapi itu adalah berhala yang dibentuk oleh tabiat mereka dan setan. Allah tidak mempunyai sifat yang membuat tabiat cenderung kepadanya, dan jiwa merindukannya. Perbedaan Illahiyah dengan makhluk melahirkan pengagungan dan penghormatan dari jiwa kepadaNya. Apa yang diklaim oleh para perindu sufi pada Allah bahwa mereka merindukanNya hanya khayalan semata.

Kami berlindung kepada Allah dari bisikan hati yang busuk dan godaan jiwa yang buruk yang mana hukum syariat memerintahkan agar hal itu dihapus dari dalam hati sebagaimana berhala yang harus diruntuhkan. Kritik Cara-cara Orang Sufi dalam Sama’

Penulis berkata, “Beberapa orang dari kalangan sufi angkatan pertama melarang pemula untuk mendengar nyanyian, karena mereka mengetahui apa yang membanaitkan jiwanya.”

Dari Abdullah bin Shalih berkata, al-Junaid berkata kepadaku, “Bila kamu melihat murid mendengar nyanyian, maka ketahuilah bahwa dia belum bisa terlepas dari main-main.” .

Dari Ahmad bin Muhammad al-Barda’i berkata, “Aku mendengar Abu al-Husain an-Nuri berkata kepada sebagian rekannya, ‘Bila kamu melihat murid masih mendengar nyanyian dan cenderung kepada kemewahan maka jangan berharap kebaikannya.’”

Saya berkata, “Ini adalah ucapan syaikh-syaikh mereka, Ialu kalangan muta’ akhkhirin membolehkan menggandrungi permainan, maka keburukan mereka menular dari dua sisi:

> Pertama: Dugaan buruk orang-orang awam terhadap orang-orang angkatan pertama mereka, karena mereka menyangka bahwa mereka semuanya demikian.
> Kedua: Mereka menyeret orang-orang awam untuk bermain-main, maka orang awam tidak mempunyai hujjah saat dia bermain-main selain berkata, “Syaikh fulan melakukan ini dan ini.”

Penulis berkata, “Mendengar nyanyian telah berakar kuat di hati beberapa orang dari kalangan mereka, hingga mereka lebih mementingkannya daripada membaca al-’Qur’an. Hati mereka melunak saat mendengarnya sedangkan ia sama sekali tak melunak saat membaca al-’Qur’an. Hal ity tidak lain kecuali karena kuatnya hawa nafsu dan dominasi tabiat dalam hati mereka, sementara mereka menyangka selain itu!

Dari Abu Abdurrahman as-Sulami berkata, “ disuruh keluar ke Marwu semasa hidup Ustadz Abu Sahl ash-Shu, sebelum aku keluar di pagi hari-hari Jum’at -ada majlis al-Qur’an dan khataman-. Saat aku keluar, aku melihat majlis itu telah ditiadakan dan di waktu yang sama diadakan untuk Ibnu al-Faraghani majlis untuk penyanyi, hal itu memprihatinkanku, maka aku berkata, “Dia telah mengganti majlis khataman dengan majlis nyanyian!” Suatu hari dia berkata kepadaku, “Apa yang dikatakan oleh orang-orang?” Maka aku menjawab, “Mereka berkata, ‘Dia meniadakan majlis al-’Qur’an dan menggantikannya dengan majlis penyanyi.” Dia berkata, “Barangsiapa berkata, ‘Mengapa,’ kepada ustadznya maka dia tidak beruntung.”

Saya berkata, “Ini adalah para propagandis sufi yang berkata, ‘Apapun keadaan syaikh harus diterima.’ Padahal tidak seorang pun yang seluruh keadaannya bisa diterima, karena keinginan-keinginan manusia dipagari oleh syariat dan akal, sementara hewan dengan cambuk!!!

Hukum Nyanyian di Kalangan Orang-orang Sufi Beberapa orang dari kalangan sufi meyakini bahwa nyanyian yang telah kamisebutkan pengharamannya dari sebagian ulama dan pemakruhannya dari sebagian yang lain justru dianjurkan menurut sebagian orang.

Dari Abu Ali ad-Daqqaq berkata, ““Mendengar nyanyian bagi orang awam haram karena jiwa mereka masih seperti sediakala, namun ia mubah bagi orang-orang zuhud, karena mujahadah mereka sudah terwujud, dan dianjurkan bagi rekan-rekan kami karena hati mereka sudah hidup.”

Penulis katakan, bahwa ini salah dari lima sisi:

> Pertama: Kami telah menyebutkan dari Abu Hamid al-Ghazali bahwa ia mubah bagi siapa pun dan Abu Hamid lebih mengetahui daripada orang ini.
> Kedua: Tabiat-tabiat jiwa tidak berubah, akan tetapi mujahadah menghentikan aktifitasnya. Barangsiapa mengklaim perubahan tabiat maka dia mengklaim sesuatu yang mustahil. Bila apa yang menggerakkan tabiat muncul, maka keluarlah apa yang selama ini tertahan dan kebiasaan pun kembali biasa.
> Ketiga: Para ulama berbeda pendapat tentang pengharaman dan pembolehannya. Di antara mereka tak ada yang melihat kepada pendengar, karena mereka mengetahui bahwa tabiat-tabiat adalah sama. Barangsiapa mengklaim tabiatnya keluar dari tabiat manusia maka dia mengklaim sesuatu yang mustahil.
> Keempat: Ijma’ sudah membuktikan bahwa ia tidak dianjurkan, dan paling banter dibolehkan,maka mengklaim bahwa ia dianjurkan adalah penyimpangan dari ijma’.
> Kelima: Kata-kata tersebut berkonsekuensi bahwa mendengar alat musik adalah boleh atau dianjurkan bagi siapa yang tabiatnya tidak berubah, sebab ia dihardamkan karena berdampak negatif atau buruk bagi tabiat, mengajaknya kepada hawa nafsu dan bila hal itu dijamin aman maka sepatutnya dibolehkan.

Penulis berkata, “Di antara mereka ada yang menyatakan bahwa mendengar nyanyian adalah ibadah yang mendekatkan kepada Allah.”

Abu Thalib al-Makki berkata, “Sebagian syaikh kami menyampaikan kepadaku. dari al-Junaid bahwa dia berkata, ‘Rahmat turun kepada kelompok ini di tiga keadaan: Saat makan, karena mereka tidak makan kecuali dalam keadaan lapar berat, saat mudzakarah, karena mereka melewati maqam para shiddiqin dan keadaan para nabi serta saat mendengar, karena mereka mendengar dengan perasaan larut dan menyaksikan al-Haq.” .

Saya berkata, “Bila ucapan ini benar dari al-Junaid dan kita berbaik sangka kepadanya, maka ia patut dibawa kepada apa yang mereka dengarkan berupa syair-syair zuhud, karena ia menyebabkan kelembutan hati dan membuat pendengarnya menangis. Adapun klaim bahwa rahmat turun saat membicarakan Su’da dan Laila dan hal itu dibawa kepada sifat-sifat sang Pencipta, maka tidak boleh meyakininya. Dan bila mengambil isyarat darinya benar, maka isyarat tersebut hilang di sisi dominasi hawa nafsu.”

Apa yang kami katakan di atas ditunjukkan oleh kenyataan yang ada bahwa apa yang diucapkan di zaman al-Junaid tidak seperti apa yang diucapkan di zaman ini, namun sebagian muta’akhkhirin membawa ucapan al-Junaid kepada setiap apa yang dikatakan.

Dari Abdul Wahhab bin al-Mubarak al-Hafizh berkata, “Abu al-Wafa~ al-Fairuzbadi syaikh Ribath az-Zauzani adalah kawanku, dia berkata, ‘Demi Allah, aku berdoa untukmu dan menyebutmu saat bantal diletakkan dan nyanyian didendangkan.” Maka Syaikh Abdul Wahhab terkejut, lalu dia berkata, “Menurut kalian orang ini meyakini bahwa waktu tersebut adalah waktu mustajab?! Sesungguhnya ini adalah perkara yang besar.”

Ibnu Adil berkata, “Kami mendengar dari mereka bahwa doa saat nyanyian didendangkan dan saat kehadiran bantal mustajab, hal itu karena mereka meyakini bahwa ia adalah ibadah yang bisa mendekatkan mereka kepada Allah.”

Dia berkata, bahwa ini kufur. Karena barangsiapa meyakini sesuatu yang haram atau makruh sebagai ibadah, maka dia kafir dengan keyakinannya ini.”

Dia berkata, “Padahal orang-orang mengharamkannya atau minimal memakruhkannya.”

Shalih al-Murri berkata, “Korban yang paling lambat bangunnya adalah korban hawa nafsu yang menyakininya sebagai ibadah yang mendekatkan kepada Allah. Sedangkan orang yang paling teguh kakinya di Hari Kiamat adalah yang paling kuat berpegang kepada kitab Allah dan sunnah nabiNya Muhammad.”

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Perkara Wajd

Penulis berkata, “Bila kelompok ini mendengar nyanyian, maka mereka larut penuh emosi, bertepuk tangan, berteriak dan merobek baju. Sungguh iblis benar-benar telah mengacaukan mereka secara mendalam.

Mereka berdalil kepada apa yang diriwayatkan bahwa tatkala turun:

“Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar tempat yang telah diancamkan kepada mereka (pengikut-pengikut setan) semuanya.” (QS. al-Hijr: 43). Salman al-Farisi berteriak dengan sebuah teriakan lalu dia jatuh tersungkur kemudian dia kabur selama tiga hari.

Mereka juga berdalil kepada apa yang diriwayatkan oleh Abu Wail, dia berkata, “Kami keluar bersama Abdullah dan bersama kami arRabi’ bin Khutsaim, kami melewati seorang pandai besi, maka Abdullah berhenti, dia melihat kepada besi di atas api, maka ar-Rabi’ ikut melihat dan dia terhuyung-huyung hendak jatuh. Kemudian Abdullah pergi hingga kami mendatangi sebuah tungku besar di pinggir sungai Eufrat. Tatkala Abdullah melihatnya dan melihat api menyala-nyala di dalamnya, dia membaca ayat ini:

‘“Apabila neraka itu melihat mereka dari ternmpat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya. Dan apabila mereka dilemparkan ke ternpat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan. (Akan dikatakan kepada mereka), Jangan kamu sekalian mengharapkan satu kebinasaan, rmelainkan harapkanlah kebinasaan yang banyak.’” (QS. al-Furqan: 14).
Maka ar-Rabi’ pingsan, lalu kami membawanya kepada keluarganya, dan Abdullah mendampinginya hingga shalat Zhuhur, sedangkan ar-Rabi’ bellum siuman, kemudian Abdullah mendampinginya sampai Ashar, namun Abdullah belum kunjung siuman, hingga Abdullah mendampinginya sampai Maghrib, baru dia siuman, maka Abdullah pulang ke rumah.”

Mereka berkata, “Telah masyhur menurut kebanyakan orang dari kalangan ahli ibadah bahwa bila mereka mendengar al-’Qur’an, di antara mereka ada yang mati seketika, dan ada yang pingsan tak sadarkan diri, serta ada yang berteriak.”

Hal seperti ini banyak tersebut dalam kitab-kitab zuhud.

Kami menjawab, “Adapun yang mereka sebutkan dari Salman, maka ia dusta dan mustahil, kemudian ia tak bersanad. Ayat ini turun dij Makkah sedangkan Salman masuk Islam di Madinah, dan hal seperti inj tidak dinukil dari seorang sahabat pun.”

Adapun tentang hikayat ar-Rabi’ bin Khutsaim, para rawinya bukan rawi-rawi akurat. Ahmad bin Hanbal berkata, “Isa bin Sulaim dari Aby Wa ‘il, aku tak mengetahuinya.”

Dari Hamzah az-Zayyat bahwa dia berkata kepada Sufyan, “Mereka meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Khutsaim bahwa dia pingsan.” Sufyan balik bertanya, “Siapa yang meriwayatkannya? Yang meriwayatkannya hanyalah tukang kisah -maksudnya adalah Isa bin Sulaimaku bertemy dengannya, maka aku berkata kepadanya, ‘Dari siapa kamu meriwayatkan ini?!’ Aku mengingkarinya!”

Penulis berkata, “Sufyan ats-Tsauri mengingkari terjadinya peristiwa seperti ini pada ar-Rabi’ bin Khutsaim, karena laki-laki ini berpegang kepada manhaj pertama, dan tak satu pun shahabat serta tabi’in yang terjadi padanya hal seperti ini.”

Kemudian kami berkata dengan asumsi bahwa ia shahih, bahwa seseorang bisa saja pingsan karena ketakutan, kemudian rasa takut menenangkannya dan menghentikannya sehingga dia seperti orang mati. Tanda orang yang benar dalam masalah ini adalah seandainya dia di atas tembok niscaya dia akan tetap jatuh, karena dia tidak sadar, adapun orang yang mengklaim wajd dan berusaha menjaga agar kakinya tidak terpeleset kemudian melebar hingga dia merobek bajunya serta melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam syariat, maka kami memastikan bahwa dia dipermainkan oleh setan.

Penulis berkata, “Ketahuilah -semoga Allah membimbingmubahwa hati para shahabat adalah hati yang paling bersih, mereka tidak lebih saat suka cita selain menangis dan khusyu’.

Hadits al-Irbadh bin Sariyah yang berkata, “Rasulullah menasihati kami dengan sebuah nasihat yang karenanya mata kami menangis dan hati kami takut.”

Abu Bakar al-Ajurri berkata, “Dia tidak berkata, ‘Kami berteriak! Dan kami tidak memukul dada-dada kami, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang bodoh yang dipermainkan oleh setan.’”

Dari Hushain bin Abdurrahman berkata, “Aku berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar, ‘Bagaimana keadaan para shahabat Rasulullah 4 dan keluarganya saat membaca al-Qur’an?” Dia menjawab, “Mereka sebagaimana yang Allah sebutkan atau sebagaimana yang Allah jelaskan. Mata mereka menangis, dan kulit mereka merinding.” Maka aku berkata kepadanya, “Di sini ada orang-orang yang bila al-Qur’an dibacakan kepada salah seorang dari mereka dia pingsan.” Asma menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Dari Ikrimah berkata, “Aku bertanya kepada Asma” binti Abu Bakar, ‘Adakah seseorang dari salaf yang pingsan karena takut?’ Dia menjawab, ‘Tidak, mereka hanya menangis.’”

Dari Abu Hazim berkata, “Ibnu Umar melewati seorang laki-laki yang jatuh pingsan dari Irak. Maka dia bertanya, ‘Ada apa dengannya?”’ Orang-orang menjawab, ‘Bila al-Qur’an dibacakan kepadanya maka dia demikian.’ Ibnu Umar berkata, ‘Kami takut kepada Allah namun kami tidak demikian!!”

Dari Qatadah berkata, bahwa Anas bin Malik ditanya, “Ada orang-orang yang apabila al-’Qur’an dibacakan mereka maka mereka pingsan.” Anas menjawab, “Itu perbuatan orang-orang Khawarij.”

Dari Ahmad bin Sa’id ad-Dimasyqi berkata, “Abdullah bin az-Zubair mendengar bahwa anaknya Amir berkawan dengan orang-orang yang pingsan saat membaca al-Qur’an, maka dia berkata kepadanya, ‘Wahai Amir, bila aku tahu kamu berkawan dengan orang-orang yang pingsan saat membaca al-’Qur’an maka benar-benar aku akan menderamu.”

Dari Amir bin Abdullah bin az-Zubair berkata, “Aku datang kepada bapakku, maka beliau berkata kepadaku, ‘Dari mana kamu?’ Aku menjawab, ‘Aku bertemu dengan orang-orang, dan aku tidak melihat ada yang lebih baik dari mereka, mereka berdzikir kepada Allah lalu salah seorang dari mereka gemetar hingga pingsan karena takut kepada Allah, maka aku duduk bersama mereka.’ Bapakku berkata, Jangan datang

lagi kepada mereka sesudah ini!’ Kemudian bapakku melihat diriku tidak memperhatikan kata-katanya, maka beliau berkata, ‘Aku melihat Rasulullah membaca al-’Qur’an, aku pun melihat Abu Bakar dan Umar juga membaca al-’Qur’an, sedangkan hal itu tidak terjadi pada mereka. Apakah menurutmu mereka lebih khusyu’ daripada Abu Bakar dan Umar seperti itu?’” Amir berkata, “Maka aku melihat bahwa perkaranya memang demikian, aku pun meninggalkan mereka.”

Dari Amru bin Malik berkata, “Saat kami bersama Abu al-Jauza’ | dia berbincang kepada kami, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang jatuh pingsan, maka Abu al-Jauza~ bangkit menuju kepadanya, lalu ada seseorang berkata kepadanya, “Wahai Abu al-Jauza~, dia laki-laki yang mempunyai sakit ayan.” Kemudian dia berkata, “Aku menyangkanya termasuk orang-orang yang melompat-lompat, seandainya dia termasuk mereka niscaya aku memerintahkan agar ia dibawa keluar masjid,” karena Allah hanya menyifati mereka dengan:

“Kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata…” (QS. al. Maidah: 83) atau,

“Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit mereka…” (QS. az-Zumar: 23).

Dari Jarir bin Hazim bahwa dia menyaksikan Muhammad bin Sirin, seseorang berkata kepadanya, “Di sini ada orang-orang, yang bila alQuran dibacakan kepada salah seorang dari mereka, maka dia pingsan.” Maka Ibnu Sirin berkata, “Silakan salah seorang dari mereka duduk dj atas tembok, kemudian al-’Qur’an dibacakan kepadanya dari awal hingga akhir, bila dia jatuh maka dia benar.”

Muhammad bin Sirin menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah dibuat-buat dan tidak benar-benar dari hati mereka.

Dari al-Hasan bahwa suatu hari dia menasihati, lalu ada seorang laki-laki yang bernafas panjang di majlisnya, maka al-Hasan berkata, “Bila karena Allah, maka kamu telah mempopulerkan dirimu, dan bila tidak maka kamu celaka.”

Dari Abdul Karim bin Rusyaid berkata, “Aku berada di halaqah alHasan, lantas ada seorang laki-laki menangis dan suaranya tinggi, maka al-Hasan berkata, ‘Sesungguhnya setan yang membuatnya menangis sekarang.’”

Dari Abu Shafwan berkata, bahwa al-Fudhail bin lyadh berkata kepada anaknya yang pingsan, “Wahai Anakku, bila kamu benar maka kamu membuka aib dirimu, dan bila kamu dusta maka kamu mencelakakan Dirimu.”

Dari Muhammad bin Ahmad an-Najjar al-Murta’isy berkata, “Aku melihat Abu Ustman Sa’id bin Ustman al-Wa’izh, sementara ada seorang laki-laki yang pingsan di depannya, maka dia berkata kepadanya, ‘Wahai anakku, bila kamu benar maka kamu telah menampakkan semua yang ada padamu, dan bila kamu dusta maka kamu telah menyekutukan Allah.”

Kritik Terhadap Cara-cara Sufi dalam Wajd

Penulis berkata, “Bila ada yang berkata, bahwa pembicaraan tersebut diasumsikan pada orang-orang yang benar bukan ahli riya’. Lalu apa yang Anda katakan tentang orang yang terbawa wajd dan tidak kuasa menolaknya?”

Kami menjawab, “Awal mula wajd adalah pergolakan dalam batin. Bila seseorang menahan dirinya sehingga keadaannya tidak diketahui, maka setan tidak berharap darinya maka ia menjauh darinya, sebagaimana Ayyub as-Sakhtiyani, bila dia berbicara, lalu hatinya tersentuh, maka dia mengusap hidungnya dan berkata, ‘Flu berat.’”

Bila seseorang membiarkan dirinya, dan dia tidak peduli terhadap nampaknya wajd dari dirinya atau dia ingin orang-orang mengetahui apa yang ada dalam hatinya, maka setan meniup sehingga ia bersuka cita sesuai dengan tiupannya.

Menolak Wajd .

Bila ada yang berkata, “Kita asumsikan bahwa pembicaraan pada orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh menolak wajd, tetapi dia tak kuasa, dan perkaranya mengalahkannya, lalu dari mana setan masuk?”

Kami menjawab, “Kami tidak memungkiri kelemahan sebagian tabiat dalam usaha menolak, hanya saja alamat orang yang benar bahwa dia tidak kuasa menolak, dan tidak menyadari apa yang terjadi padanya, maka ia termasuk ke dalam firman Allah:

“Dan Musa pun jatuh pingsan.” (QS. al-A’raf: 143).

Dari Khalid bin Khidasy berkata, “Kitab Ahwal al-Qiyamah dibacakan kepada Abdullah bin Wahab, lantas dia pingsan, dan ia tidak mengucapkan sepatah kata pun sesudah itu hingga dia mati beberapa hari kemudian.”

Penulis berkata, “Banyak orang mati karena mendengar nasihat dan pingsan. Adapun apa yang mereka klaim berupa larut dalam emosi hingga mereka bergoyang-goyang, berteriak keras, berdiri sempoyongan, maka semua itu dibuat-buat dan dia dibantu oleh setan. ”

Bila ada yang berkata, “Apakah keadaan insidentil ini merupakan bentuk kekurangan bagi orang yang ikhlas? Kami menjawab, ‘Ya,’ dari dua sisi:

> Pertama: Kalau ilmunya kuat niscaya dia menahan diri.
> Kedua: Jalan para sahabat dan tabi’in telah diselisihi, dan cukuplah hal ini sebagai kekurangan.”

Dari Khalaf bin Hausyab berkata, bahwa Khawwat gemetar saat berdzikir, maka Ibrahim berkata kepadanya, “Bila kamu menquasainya, maka aku tidak peduli dan tidak menyalahkanmu, namun bila kamu tidak menquasainya maka kamu telah menyelisihi orang-orang sebelummu.”

Dalam sebuah riwayat, “Kamu menyelisihi orang-orang yang lebih baik darimu.”

Saya berkata, “Ibrahim di sini adalah an-Nakha’i al-Faqih (ahli fikih), orang yang berpegang teguh kepada sunnah dan sangat kuat mengikuti atsar.”

Khawwat sendiri terrnasuk orang-orang shalih yang tidak mungkin berpura-pura, dan ini merupakan ungkapan Ibrahim kepadanya, lalu bagaimana dengan orang yang kepura-puraannya tak samar?!

Bila Orang-orang Sufi Bergoyang maka Mereka Bertepuk Tangan

Bila orang-orang Sufi mulai bergoyang karena mendengar nyanyian maka mereka bertepuk tangan.

Dari Abu Ali al-Katib berkata, bahwa Ibnu Banan berpura-pura terkena wajd, lalu Abu Sa’id al-Khazzaz bertepuk tangan untuknya.

Penulis berkata, “Bertepuk tangan adalah mungkar, mengajak bergoyang, dan mengeluarkan dari rel keseimbangan. Orang-orang yang berakal menjauhkan diri mereka dari hal yang seperti itu, dan pelakunya mirip dengan orang-orang musyrikin pada apa yang mereka lakukan di Ka’bah yang dicela oleh Allah dalam firmanNya:

“Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan.” (QS. al-Anfal: 35).

Di samping perbuatan ini meniru kaum wanita, orang yang berakal pun menolak bila dia keluar dari kewibawaan dan terjatuh ke dalam perbuatan orang-orang kafir dan kaum wanita.

Bila Goyangan Menguat Maka Mereka Berjoget Sebagian dari mereka berdalil dengan firman Allah kepada Ayyub:

“Hantamkanlah kakimu;” (QS. Shad: 42).

Saya berkata, “Ini adalah pengambilan dalil yang lemah, sebab bila Allah memerintahkan Ayyub menjejakkan kakinya karena suka cita, maka mereka memiliki kesamaan (alasan) dengannya. Akan tetapi Allah memerintahkan Ayyub menjejakkan kakinya agar air memancar.”

Tonu Agil berkata, “Di mana dalil pada orang sakit yang diperintahkan saat ujiannya hendak berakhir agar menjejakkan kakinya ke tanah -agar air memancar darinyasebagai mukjizat dari berjoget?!”

Bila menggerakkan kaki yang kurus karena terbekap oleh sakit mengandung petunjuk atas dibolehkannya berjoget dalam Islam, maka bolehlah menjadikan firman Allah kepada Musa:

“Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” (QS. al-Baqarah: 60), sebagai petunjuk atas dibolehkannya memukul benda mati dengan tongkat.

Kami berlindung dari sikap mempermainkan syariat.

Sebagian pendukung mereka berdalil kepada sebuah hadits bahwa Rasulullah berkata kepada Ali, “Kamu adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu.” Maka Ali berjingkrak-jingkrak kegirangan. Nabi bersabda kepada Ja’far, “Kamu mirip penciptaanku dan akhlakku.” Maka Ja’far berjingkrak-jingkrak Kegirangan. Nabi bersabda kepada Zaid, “Kamu adalah saudara kami dan mantan hamba sahaya kami.” Maka Zaid berjingkrak-jingkrak kegirangan.

Di antara mereka ada yang berhujjah bahwa oleh-orang Habasyah berjoget dan nabi melihat kepada mereka.

Kami menjawab, bahwa berjingkrak adalah sebuah cara berjalan, ia dilakukan saat bahagia, dan ini tidak termasuk berjoget. Demikian juga dengan berjogetnya orang-orang Habasyah, ini bukan berjoget tetapi sebuah cara berjalan dengan tegap yang dilakukan saat bertemu musuh dalam perang.

Abu Abdurrahman as-Sulami berdalil atas dibolehkannya berjoget kepada apa yang diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyib bahwa dia lewat di sebuah jalan di Makkah, dia mendengar al-Akhdhar al-Hadzdza’ bernyanyi di rumah al-Ash bin Wa‘ il dengan berkata,

Lembah Na’man menebarkan bau wangi miski karena

Zainab melewatinya bersama para wanita yang harum

Tatkala Zainab melihat rombongan an-Numairi, dia berpaling Kaum wanita itu berhati-hati agar tidak bertemu dengannya.

Dia berkata, “Maka Sa’id bin al-Musayyib menghentakkan kakinya beberapa waktu yang lama dan dia berkata, ‘Ini termasuk yang nikmat untuk didengarkan.’ Dan mereka meriwayatkan syair kepada Sa’id bin al-Musayyib.”

Penulis berkata, “Sanad kisah di atas terputus lagi gelap,“ tidak shahih dari Sa’id bin al-Musayyib, ini juga bukan syairnya, sedangkan Sa’id bin al-Musayyib lebih mulia untuk sekedar mendengarnya. Bait-bait ini dikenal milik Muhammad bin Abdullah bin Numair an-Numairi asySya’ir (seorang penyair).

Kemudian bila kita menerima bahwa Ibnu Majah menghentakkan kakinya ke tanah, maka ia tetap tidak mengandung dalil dibolehkannya berjoget, karena seseorang mungkin menjejakkan kakinya ke tanah atau memukulkan tangannya ke sesuatu yang bisa dia dengar dan itu tidak disebut berjoget.

Betapa buruknya keterkaitan mereka dengannya. Lantas di manakah hubungan antara menjejakkan kaki ke tanah sekali atau dua kali dengan joget mereka yang membuat mereka keluar dari sifat orang-orang berakal?!

Kita tinggalkan dalil-dalil tersebut, sekarang kita berhakim kepada akal, adakah makna yang terkandung di balik berjoget selain main-main dan yang hanya patut bagi anak-anak? Adakah berjoget mengandung ajakan kepada hati menuju akhirat?! Demi Allah, ini adalah penentangan yang kering terhadap kebenaran.

Sebagian syaikh menyampaikan kepadaku dari al-Ghazali bahwa dia berkata, “Joget adalah kedunguan di antara kedua pundak yang tak lenyap kecuali dengan kelelahan.”

Abu al-Wafa’ Ibnu Aqil berkata, “Nash al-Qur’an melarang berjoget, Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu berjalan di muka‘bumi dengan angkuh.” (QS. Luqman: 18).
Allah mencela orang yang berjalan dengan sombong:

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18).

Sementara berjoget adalah keangkuhan dan kesombongan yang sangat berat.”

Bukankah kita yang mengqiyaskan nabidz (perasan anggur) dengan khamr karena keduanya sama-sama memabukkan? Lalu mengapa kita tidak mengqiyaskan menyanyikan syair yang diikuti dengan ketukan pada kayu atau bambu kepada biola, seruling dan gendang karena keduanya sama-sama membuat orang bergoyang?! .

Adakah sesuatu yang merendahkan akal dan kewibawaan, dan mengeluarkan dari sifat santun serta adab yang lebih buruk daripada orang berjenggot yang berjoget?! Lalu bagaimana bila orang beruban berjoget dan bertepuk tangan mengikuti nada lagu dan alat musik, lebihlebih penyanyinya adalah kaum wanita dan anak-anak muda yang belum berkumis?!

Apakah bagus! Pantas baqi seseorang yang di depannya ada kematian, pertanyaan, pengumpulan dan melewati shirat, kemudian dia dihadapkan kepada dua tempat (surga dan neraka-Pent.) lari dengan tarian atau jogetan seperti binatang ternak dan bertepuk tangan sepertj tepukan para wanita?!

Demi Allah, aku melihat syaikh-syaikh di zamanku, gigi mereka tak terlihat saat senyum apalagi tertawa padahal aku bergaul dengan mereka sangat erat seperti Syaikh Abu al-Qasim bin Zaidan, Abdul Malik bin Bisyran, Abu Thahir bin al-Allaf, al-Junaid dan ad-Dinawari. Keadaan-keadaan Bergoyang yang Berat di Kalangan Orang-orang Sufi Bila mereka sudah bergoyang saat berjoget, salah seorang dari mereka menarik salah seorang hadirin yang duduk untuk berdiri bersamanya, menurut madzhab mereka orang yang ditarik ini tidak boleh menolak, bila dia berdiri maka yang lain berdiri mengikutinya, bila salah seorang dari mereka membuka kepalanya maka yang lain membuka kepalanya mengikuti mereka.

Jelaslah bagi orang yang berakal bahwa membuka kepala tidak baik, menjatuhkan muru ‘ah (kehormatan) dan menghilangkan etika, sedangkan ia hanya dilakukan saat ihram sebagai ibadah dan merendahkan diri kepada Allah.

Bila goyangan mereka semakin kuat, mereka melemparkan baju mereka ke penyanyi, dan ada yang melemparkannya tanpa merobeknya, dan ada yang merobeknya lalu melemparkannya.

Sebagian orang bodoh berdalil kepada mereka, dia berkata, “Orang-orang itu dalam keadaan tidak sadar, maka mereka tidak boleh disalahkan, karena saat Musa sangat bersedih karena kaumnya yang menyembah anak sapi, dia melemparkan lempengan kayu hingga ia pecah, dan dia tidak sadar terhadap apa yang dilakukannya.

Kami menjawab, “Siapa yang berkata bahwa Musa melemparkannya untuk memecahkannya? Yang tersebut dalam al-Qur’an hanya melemparkannya saja, dari mana ia mendapat informasi bahwa ia pecah?!”

Kemudian seandainya dikatakan ia pecah, di mana petunjuk bahwa Musa sengaja memecahkannya?

Kemudian seandainya kita menerima bahwa Musa melakukannya dengan sengaja, kita berkata, “Musa sedang dalam keadaan tidak sadar.” Seandainya di depannya ada lautan api niscaya dia akan memasukinya, lalu siapa yang membenarkan ketidaksadaran mereka sementara mereka mengetahui makna dari selainnya dan menjauhi sumur bila dia berada di dekatnya!
Kemudian bagaimana bisa keadaan para nabi diqiyaskan kepada keadaan orang-orang bodoh itu?!

Saya melihat seorang anak muda sufi berjalan di pasar, dia berteriak sementara anak-anak mengikutinya di belakangnya. Dia pun meracau dan pergi untuk shalat Jum’at. Tatkala shalat dia berteriak beberapa kali. Aku ditanya tentang shalatnya, maka aku katakan, “Bila saat berteriak dia tak sadarkan diri maka batal wudhunya,”’ dan bila kesadarannya ada maka dia mengada-ada.”

Laki-laki ini kuat, namun ia tidak bekerja, bahkan setiap hari dia berkeliling membawa keranjang untuk mengumpulkan apa yang dia makan bersama rekan-rekannya. Ini adalah kehidupan orang-orang yang makan dari orang lain bukan orang-orang yang bertawakal!

Kemudian seandainya kita mengasumsikan bahwa mereka berteriak dalam keadaan tidak sadar, maka masuknya mereka ke dalam sesuatu yang menutupi fungsi akal berupa mendengar nyanyian yang mengajak bergoyang yang dilarang adalah seperti menjerumuskan diri ke dalam sesuatu yang sudah tentu bisa mencelakakannya.

Ibnu Aqil ditanya tentang wajd mereka dan perlakuan mereka yang merobek baju, seseorang berkata kepadanya,”Mereka tidak menyadari apa yang mereka lakukan.”

Tbnu Aqil menjawab; “Mereka menghadiri tempat-tempat ini padahal mereka tahu akan terseret, lalu akal mereka tertutup maka mereka berdosa, karena hal itu menghilangkan fungsi akal mereka dan melakukan hal-hal yang merusak, namun kewajiban syariat tidak gugur dari mereka, karena mereka telah diperintahkan sebelum menghadiri untuk menjauhi tempat-tempat seperti ini yang menyeret mereka demikian, sebagaimana mereka dilarang untuk meminum minuman yang memabukkan, bila mereka mabuk maka mereka bisa merusak harta, kewajiban syariat tidak gugur dari mereka karena mereka mabuk.”

Demikian juga bergoyang yang disebut oleh orang-orang sufi dengan wajd. Bila mereka memang benar padanya maka ini adalah mabuk tabiat, bila mereka dusta maka mabuk minuman keras, dan bila dalam keadaan sadar maka tetap tidak ada keselamatan baginya dalam dua keadaan tersebut, dan menjauhi tempat-tempat yang meragukan wajib.

Ibnu Thahir berdalil untuk mereka dalam merobek pakaian kepada hadits Aisyah yang berkata, “Aku memasang kelambu yang bergambar, lalu Rasulullah menjulurkan tangannya kepadanya dan merobeknya.”

Penulis berkata, “Lihatlah kepada fikih laki-laki yang patut dikasihani, bagaimana dia mengqiyaskan keadaan orang yang merusak bajunya dengan merobeknya, padahal nabi telah melarang menyia-nyiakan harta kepada perbuatan nabi yang menjulurkan tangannya ke kelambu untuk menurunkannya lalu ia robek tanpa sengaja atau dengan sengaja untuk merobek gambar yang ada padanya.”

Perbuatan nabi ini termasuk sikap keras terhadap hal-hal yang dilarang, sebagaimana beliau memerintahkan agar bejana-bejana khamar dipecahkan.

Bila orang yang merobek bajunya mengklaim bahwa dia dalam keadaan tidak sadar, maka kami menjawab, “Setan telah membuatmu tidak sadar, karena bila kamu bersama kebenaran niscaya kebenaran menjagamu karena ia tidak rusak.”

Kritik Terhadap Perbuatan Orang-orang Sufi yang Merobek-robek Baju Mereka
Syaikh-syaikh sufi telah berbicara tentang potongan-potongan kain yang dilemparkan.

Maka Muhammad bin Thahir berkata, “Dalil yang menunjukkan bahwa bila kain-kain itu dilemparkan maka ia menjadi milik orang yang mana kain-kain itu dilemparkan kepadanya adalah hadits Jarir bahwa beberapa orang datang dengan berpakian wol, maka Rasulullah mengajak orang-orang tersebut untuk bersedekah, kemudian datanglah seorang laki-laki Anshar membawa sebuah kantong, maka orang-orang berdatangan memberikan sedekah mereka hingga aku melihat dua gundukan pakaian dan makanan.”

Dia berkata, “Dalil yang menunjukkan bahwa bila beberapa orang datang saat terjadinya perobekan baju maka mereka juga diberi saham adalah hadits Abu Musa, bahwa harta rampasan perang dan salab diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau memberikan bagian kepada kami.”

Penulis berkata, “Laki-laki ini telah mempermainkan syariat, dia menggali dengan pemahamannya yang rusak sesuatu yang dia kira sejalan dengan madzhab kalangan sufi muta ‘akhkhirin, karena kami tidak melihat perbuatan seperti ini di kalangan angkatan pertama mereka.”

Penjelasan mengenai rusaknya pemahaman orang ini, bahwa orang yang merobek pakaiannya, melemparkannya, bila dia sadar maka dia tidak boleh melakukannya, dan bila dia tidak sadar maka dia tidak memiliki hak bertindak yang syar’i, tidak dengan (memberikan) hibah dan tidak pula dengan mengalihkan kepemilikan.

Mereka menyatakan bahtiwd bajunya adalah seperti sesuatu yang jatuh dari seseorang dan dia‘ tidak menyadarinya, sehingga tidak seorang pun boleh memilikinya, dan bila dia melemparkannya dalam keadaan sadar bukan kepada seseorang, maka tidak ada alasan untuk memilikinya.

Seandainya dia melemparkannya kepada penyanyi, dia pun tidak berhak memilikinya, karena kepemilikan hanya ditetapkan dengan akad syar’i, sedangkan melemparkan bukan sebuah akad.

Kemudian dengan asumsi bahwa ia milik penyanyi, lalu apa alasan tindakan orang lain padanya?! Kemudian bila mereka bertindak padanya, mereka merobek-robeknya, maka hal itu tidak boleh karena dua alasan:

Pertama: Tindakan terhadap apa yang tidak mereka miliki.

Kedua: Menyia-nyiakan harta.

Kemudian apa alasan memberi bagian orang yang tidak menghadirinya?

Adapun hadits Abu Musa, maka para ulama berkata tentangnya dan di antara mereka adalah al-Khutthabi, “Ada kemungkinan nabi memberinya atas persetujuan orang-orang yang ikut dalam peperangan atau nabi memberinya dari khumus, seperlima yang merupakan hak beliau.”

Namun menurut madzhab orang-orang sufi, kain ini diberikan kepada siapa yang datang, sedangkan madzhab ini menyimpang dari kesepakatan kaum muslimin.

Saya tidak menyamakan apa yang mereka tetapkan dengan akal rusak mereka kecuali dengan apa yang ditetapkan oleh orang-orang jahiliyah berupa Bahirah, Washilah dan Ham.

Ibnu Thahir yang merupakan salah satu tokoh mereka berkata, “Syaikh-syaikh kami sepakat bahwa kain yang dirobek dan kain yang tidak dirobek yang mengikutinya, bahwa hukum semua itu ada ditangan hadirin, mereka melakukan terhadapnya sesuai dengan pendapat para syaikh. Mereka berdalil kepada ucapan Umar, “Harta rampasan perang bagi siapa yang mengikuti perang.” Namun Syaikh kami Abu Ismail al-Anshari menyelisihi mereka. Dia membagi kain menjadi dua. Kain yang robek, ini dibagi di antara yang hadir dan kain yang tidak robek diserahkan kepada penyanyi. Dia berdalil kepada hadits Salamah, “Siapa yang membunuh orang ini?” Mereka menjawab, “Salamah bin al-Akwa’.” Nabi bersabda, “Baginya salabnya semuanya.” Pembunuhan terjadi dari penyanyi maka salab adalah miliknya.

Penulis berkata, “Saudara-saudaraku, semoga Allah menjaga kita darj talbis Iblis, kepada orang-orang bodoh yang mempermainkan syariat itu. Lihatlah kepada ijma’ syaikh-syaikh mereka, ijma’ yang tidak sepadan dengan kotoran unta, padahal para syaikh fuqaha’ sudah sepakat bahwa barang yang dihibahkan adalah milik orang yang barang itu dihibahkan kepadanya, robek atau tidak robek sama saja, sedangkan orang lain tidak boleh memilikinya.”

Kemudian salab orang yang terbunuh adalah semua harta yang ada padanya, lalu bagaimana bisa mereka menjadikannya apa yang dilemparkan?!

Kemudian sepatutnya perkaranya kebalikan dari apa yang diucapkan oleh al-Anshari, karena pakaian yang robek adalah yang disebabkan oleh wajd, maka semestinya yang robek ini milik penyanyi bukan yang tidak robek.

Semua pendapat-pendapat ini adalah mustahil dan ucapan ngawur.

Abu Abdullah at-Takriti ash-Shufi menceritakan kepadaku dari Abu al-Futuh al-Isfirayini -aku pernah melihatnya saat aku masih anak-anakbahwa dia hadir bersama orang-orang dalam jumlah banyak di sebuah pos mereka, di sana ada bantal-bantal, alat musik, rebana dengan hentakan gelang kaki, lalu dia berdiri berjoget, karena begitu antusiasnya sampai surbannya jatuh, dan dia terus berjoget dengan kapala terbuka!

At-Takriti berkata, “Suatu hari dia berjoget dengan memakai khuf, kemudian dia ingat bahwa berjoget dengan menggunakan khuf adalah salah menurut sebagian orang, maka dia menepi dan melepaskannya, kemudian dia melepaskan jubah yang dipakainya, dia meletakkannya di depan mereka sebagai kaffarat atas kesalahannya, maka mereka merobekrobeknya dan membagi-baginya di antara mereka.”

Tentang merobek-robek baju yang dilemparkan dan membagi-bagikannya, kami telah menjelaskan bahwa bila pemiliknya melemparkannya kepada penyanyi maka penyanyi tidak serta merta memilikinya dengan pelemparan ini hingga pemiliknya memberikannya kepadanya. Bila pemiliknya memberikannya kepada penyanyi, maka dengan alasan apa orang lain bisa bertindak atasnya?

Aku menyaksikan sebagian fuqaha’ mereka merobek-robek baju dan membagi-bagikannya, dia berkata, “Kain ini bisa dimanfaatkan, dan ini bukan termasuk menyai-nyiakan harta.”

Saya katakan, “Bukan menyia-nyiakan bagaimana?! Justri inilah menyia-nyiakan.”

Aku melihat seorang syaikh lain dari mereka berkata, “Aku merobek beberapa kain di negeriku, lalu ada seorang laki-laki mendapatkan sepotong darinya, dia membuat tas darinya dan menjualnya dengan harga lima dinar.” Maka aku berkata kepadanya, “Syariat tidak membolehkan kedunguan untuk keanehan seperti ini.”

Abu Hamid ath-Thusi lebih aneh dari dua laki-laki ini, dia berkata, “Boleh bagi mereka merobek baju bila ia dirobek segi empat yang bisa dipakai untuk menambal baju dan sajadah, karena kain yang dirobek dan bisa dijadikan baju bukan termasuk menyia-nyiakan.”

Sungguh aku merasa heran terhadap Jaki-laki ini, bagaimana bisa cintanya kepada madzhab tasawuf memalingkannya dari ushul fikih dan madzhab asy-Syafi’i, lalu dia melihat kepada pemanfaatan yang khusus.

Kemudian apa makna ucapannya segi empat, karena segi panjang pun bisa dimanfaatkan juga. ,

Seandainya kain dirobek menjadi pintalan-pintalan, niscaya ia bisa dimanfaatkan, seandainya pedang dipatahkan menjadi dua, niscaya setengahnya tetap bisa dimanfaatkan, hanya saja syariat melihat kepada faidah-faidah umum dan menamakan manfaat yang berkurang sebagaj bentuk perusakan, sehingga syariat melarang memecahkan dirham yang utuh, karena ia mengurangi harganya di samping apa yang pecah, dan tidak aneh dari talbis Iblis ini terjadi pada orang-orang bodoh darj kalangan mereka, bahkan fugaha’ yang memilih bid’ah-bid’ah sufi di atas hukum Imam yang empat, Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad, semoga Allah meridhai mereka.

Mereka melakukan bid’ah-bid’ah yang aneh bin ajaib, dan orang yang cenderung kepada mereka berusaha menghadirkan pembenaran-pembenaran untuk mereka.

Di antara madzhab mereka adalah membuka kepala saat istighfar, sedangkan ini merupakan sebuah bid’ah yang menghilangkan kehormatan, dan bertentangan dengan kewibawaan. Kalau syariat tidak menetapkannya saat ihram niscaya ia sama sekali tidak beralasan.

Talbis Iblis atas Banyak Orang-orang Sufi Dalam Berkawan Dengan Anak-anak Muda

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa kebanyakan orang-orang sufi atau orang-orang yang berlagak sufi telah menutup pintu melihat kepada wanita-wanita asing atas diri mereka, karena jauhnya mereka dari bersinggungan dengan kaum wanita, penolakan mereka untuk bergaul dengan mereka, dan mereka menyibukan diri dengan ibadah hingga mereka meninggalkan pernikahan.”

Akhirnya mereka bergaul dengan anak-anak muda atas dasar keinginan dan tujuan berzuhud, maka Iblis membuat mereka cenderung kepada mereka.

Ketahuilah bahwa orang-orang sufi terbagi menjadi tujuh bagian dalam perkara bergaul dengan anak-anak muda.

> Pertama: Orang-orang yang paling buruk, mereka adalah orang-orang yang menyerupai orang-orang sufi dan berakidah hulul.

Dari Abu Nashr Abdullah bin Ali as-Sarraj berkata, “Saya mendengar bahwa beberapa orang dari hululiyah menyatakan bahwa Allah memilih jasad-jasad yang mana Dia menjelma padanya dengan makna-makna rububiyah.”

Di antara mereka ada yang berkata bahwa Allah menjelma pada wajah-wajah yang cantik dan tampan.

Abu Abdullah bin Hamid: dari kalangan rekan-rekan kami menyebutkan bahwa di antara orang-orang sufi ada yang mengklaim bahwa mereka melihat Allah di dunia, mereka berkata bahwa hal itu bisa dalam bentuk manusia, mereka menetapkan bahwa Allah menjelma dalam wajah-wajah yang cantik atau tampan, hingga mereka menyatakan bahwa mereka melihatNya pada seorang anak yang berkulit legam.”

> Kedua: Orang-orang yang meniru orang-orang sufi dalam pakaian, namun tujuan mereka adalah kefasikan.
> Ketiga: Orang-orang yang membolehkan melihat wajah-wajah indah.
Abu Abdurrahman as-Sulami menulis sebuah kitab yang bernama Sunan ash-Shufiyah, pada bagian akhir kitab, dia berkata, “Bab Jawami’ tentang rukhshah-rukhshah mereka.” Lalu dia menyebutkan berjoget, bernyanyi dan melihat ke wajah indah. Dia menyebutkan dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Carilah kebaikan pada orang-orang yang berwajah indah.”

Dia berkata, “Tiga perkara yang membeningkan penglihatan: Melihat ke pemandangan hijau, melihat ke air dan melihat ke wajah yang indah.”

Penulis berkata, bahwa dua hadits di atas tidak memiliki dasar dari Rasulullah. Hadits pertama, al-Uqaili berkata, “Tidak ada yang shahih dari nabi dalam bab ini.”

Hadits yang kedua adalah hadits maudhu’, para ulama tidak berbeda pendapat bahwa Abu al-Bakhtari adalah tukang dusta besar dan tukang memalsukan hadits, dan Ahmad bin Umar bin Ubaid salah satu rawi majhul,

Kemudian sepatutnya bagi Abu Abdurrahman as-Sulami saat dia menyebutkan melihat kepada wajah yang indah untuk membatasi masalah tersebut dengan melihat kepada istri atau hamba sahaya, karena kalau masalah ini dimutlakkan maka ia menimbulkan persangkaan yang buruk. Syaikh kami Muhammad bin Nashir al-Hafizh berkata, “Ibnu Thahir al-Maqdisi menulis buku tentang dibolehkannya melihat kepada anak-anak muda yang belum bercambang.

Penulis berkata, “Para fuqaha’ berkata, ‘Barangsiapa yang syahwatnya terpancing karena melihat kepada anak-anak muda yang belum bercambang, maka haram atas mereka melihat kepadanya. Bila seseorang mengklaim bahwa syahwatnya tidak bangkit saat melihat kepada anak muda yang belum bercambang maka dia dusta. Hal inj dibolehkan secara mutlak agar tidak menimbulkan kesulitan bila dilarang, dan bila memandangnya terus menerus, maka perbuatan inj menunjukkan bangkitnya syahwat.’”

Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Bila kamu melihat seorang laki-laki yang melihat anak muda yang belum bercambang berkali-kalj maka curigailah dia.”

> Keempat: Orang-orang yang berkata, “Kami tidak melihat dengan syahwat, akan tetapi kami melihat dengan penglihatan untuk mengambil pelajaran, maka melihat tidak berdampak buruk terhadap kami.”

Hal ini mustahil, karena tabiat manusia itu sama. Barangsiapa mengklaim sebuah tabiat yang berbeda dengan tabiat manusia pada umumnya, maka dia telah mengklaim sesuatu yang mustahil.

Kami telah menjelaskan masalah ini di awal pembicaraan kami tentang mendengar nyanyian.

Dari Khair an-Nassaj berkata, “Aku bersama Muharib bin Hassan ash-Shufi di masjid al-Khif dalam keadaan ihram. Maka seorang anak muda dari Maghrib datang dan duduk bersama kami, aku melihat Muharib memandangnya dengan pandangan yang membuatku mengingkarinya, setelah anak muda itu berdiri, aku berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya kamu sedang ihram, di bulan Haram, di negeri Haram dan di Masy’ar Haram, aku melihatmu memandang anak muda itu dengan pandangan yang tidak melakukannya melainkan orang-orang yang tergoda.’ Maka dia menjawabku, ’Kamu berkata ini kepadaku wahai orang yang bersyahwat hati dan penglihatah. Apakah kamu tidak tahu bahwa ada tiga perkara yang menghalangiku terjerumus ke dalam jalan Iblis.” Aku bertanya, ‘Apa itu?’ Dia menjawab, ‘Rahasia iman, kebersihan Islam dan yang paling besar adalah malu kepada Allah bila Dia melihatku melakukan kemungkaran yang Dia larang.’ Kemudian dia pingsan hingga orang-orang mengerubuti kami.”

Penulis berkata, “Lihatlah kepada kebodohan laki-laki dungu ini, yang menyangka bahwa kemaksiatan hanyalah perbuatan keji saja, dia tidak tahu bahwa melihat dengan hawa nafsu haram, dia menghapus dari dirinya dampak tabiat dengan klaimnya yang didustakan oleh syahwat karena melihat.”

Sebagian ulama menyampaikan kepadaku bahwa seorang anak muda yang belum berkumis menceritakan kepadanya, anak itu berkata, bahwa fulan ash-Shufi yang mencintaiku berkata kepadaku, “Wahai anakku, Allah mempunyai pandangan dan penolehan padamu yang mana Dia menjadikan hajatku padamu.”

Dikisahkan bahwa beberapa orang sufi datang kepada Ahmad al-Ghaazali yang sedang berdua-duaan dengan seorang anak muda yang belum berkumis, di antara keduanya ada kembang, terkadang Ahmad melihat kepada kembang dan terkadang kepada anak muda itu. Tatkala mereka duduk, sebagian dari mereka berkata, “Mungkin merusak suasana.” Dia menjawab, “Ya demi Allah.” Maka orang-orang berteriak seolah-olah mereka mendapati wajd.

Penulis berkata, “Sungguh aku benar-benar heran terhadap perbuatan laki-laki ini, bagaimana dia membuang jubah rasa malu dari wajahnya. Aku juga heran terhadap binatang-binatang yang hadir, bagaimana mereka tidak mengingkarinya?! Memang syariat terasa kering di hati banyak orang.”

Dari Abu ath-Thayyib ath-Thabari berkata, “Saya mendengar tentang kelompok ini yang mendengar nyanyian, mereka menambah hal itu dengan melihat ke wajah anak-anak muda’yang belum berjenggot, terkadang mereka menghiasi anak tersebut dengan perhiasan dan pakaian berwarna-warni, mereka mengklaim bahwa hal itu menambah iman, perenungan dan pelajaran dan pengambilan dalil kepada penciptaan atas Pencipta. Padahal ini adalah puncak memperturutkan hawa nafsu, menipu akal dan menyelisihi ilmu. Allah berfirman:

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?” (QS. adz-Dzariyat: 21).

Allah berfirman:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan,” (QS. al-Ghasyiyah: 17).

Dan Allah berfirman:

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi…” (QS. al-A’raf: 185).

Mereka meninggalkan cara mengambil pelajaran yang Allah perintahkan dan mengambil cara yang Dia larang.

Kelompok ini melakukan apa yang kami sebutkan di atas sesudah mereka makan berbagai macam makanan yang enak dan mengundang selera, maka bila jiwa mereka sudah kenyang darinya, jiwa-jiwa tersebut menuntut mereka untuk mengikutkan mendengar nyanyian dan berjoget kepadanya, selanjutnya jiwa mereka menuntut mereka untuk mengikutkan melihat kepada wajah anak-anak muda yang belum berkumis kepadanya, padahal seandainya mereka menyedikitkan makanan niscaya mereka tidak rindu untuk mendengar dan memandang.

Abu ath-Thayyib berkata, “Sebagian dari mereka telah mengabarkan dalam syairnya tentang keadaan orang-orang yang mendengar nyanyian dan apa yang mereka dapatkan saat mendengar, dia berkata:
Apa kamu masih ingat saat kita berkumpul

Menikmati nyanyian yang merdu sampai pagi

Gelas-gelas nyanyian berkeliling di sekitar kita

Maka ia membuat jiwa mabuk kepayang tanpa khamr Kamu tidak melthat di antara mereka kecuali orang yang rnabuk Karena bahagia dan kebahagiaan di sana adalah kesadaran

Bila pemuja kenikmatan menjawab seruan penyeru

Kepada permainan yang menyeru, “Mari bersenang-senang”

Dan kita tidak memiliki apa pun selain dorongan jiwa Kita menumpahkannya untuk memperhatikan wajah yang indah

Dia berkata, “Bila dampak mendengar nyanyian adalah seperti yang disebutkan oleh penyair ini, lalu di mana manfaat dan faidahnya?!”

Ibnu Aqil berkata, “Barangsiapa berkata, ‘Aku tidak takut terfitnah karena melihat wajah-wajah yang indah.’ Ucapannya ini tidaklah benar, karena syariat diberlakukan untuk semua manusia, tidak membedakan orang-orang tertentu dan ayat-ayat al-Qur’an mengingkari klaim ini.

Allah berfirman:

“Katakanlah kepada orang laki-laki vang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluanya;’” (QS. an-Nur: 30).

Allah berfirman:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gununggunung bagaimana ia ditegakkan?” (QS. al-Ghasyiyah: 17-18).

Allah tidak menghalalkan melihat kecuali kepada wajah-wajah yang mana jiwa tidak cenderung kepadanya, tidak memiliki ambisi kepadanya, karena tujuannya adalah mengambil pelajaran yang tidak dicampuri oleh syahwat dan tidak dikotori oleh nafsu.

Adapun potret-potret yang mengundang syahwat, maka ia mengungkapkan pelajaran dengan syahwat, dan sebuah potret yang bukan mengandung pelajaran maka tidak tidak patut untuk dilihat, karena ia akan menjadi sebab fitnah, karena itu Allah tidak mengangkat wanita sebagai rasul, dan tidak menjadikannya hakim, imam, muadzin, karena semua itu menghadirkan fitnah dan hawa nafsu.

Siapa pun yang berkata, “Saya menemukan pelajaran pada wajah-wajah indah.” Maka kami tak mempercayainya, siapa pun membedakan dirinya dengan sebuah tabiat yang mengeluarkannya dari tabiat kita maka kami mengingkarinya, dan tiada lain ini adalah tipuan setan bagi orang-orang yang mengaku demikian.

> Kelima: Orang-orang yang berkawan dengan anak-anak muda yang belum berkumis, mereka mencegah diri mereka dari perbuatan keji, -mereka menyatakan bahwa hal itu adalah mujahadah, sedangkan mereka tidak menyadari bahwa berkawan dan melihat kepada mereka dengan syahwat adalah suatu kemaksiatan. Ini termasuk sifat orang-orang sufi yang tercela.

Orang-orang sufi terdahulu tidak seperti ini, dan ada yang berkata, mereka juga demikian, buktinya adalah apa yang diucapkan oleh Abu Ali ar-Rudzabari:

Aku membersihkan kelopak mataku di kebun wajah-wajah indah

Dan aku mencegah diriku agar tidak melakukan yang haram

Aku memikul beban berat hawa nafsu Seandainya ia dipikul oleh gunung batu padas dan pejal maka ia hancur

Penulis berkata, akan hadir kisah Yusuf bin al-Husain dan ucapannya, “Aku berjanji kepada Tuhanku untuk tidak berkawan dengan anak-anak muda yang belum bercambang, maka Allah membatalkan sumpahku dengan perawakan yang jangkung dan mata yang memikat.”

Mereka adalah orang-orang yang beranggapan bahwa Iblis tidak mengajak mereka melakukan perbuatan-perbuatan keji, maka Iblis membuat indah sarananya di depan mata mereka, sehingga mereka terbenam dalam kenikmatan melihat, berkawan dan bercengkrama, lalu mereka bertekad menahan diri melawan jiwa agar tidak terjatuh ke dalam perbuatan keji. Bila mereka memang benar dan mereka berhasil melakukannya, maka hati mereka telah sibuk dengan sesuatu yang semestinya digunakan untuk menyibukkan diri dengan Allah bukan selainNya, dan menghabiskan waktu yang semestinya digunakan oleh hati untuk menyibukkan diri dengan urusan akhirat dalam rangka melawan tabiat dan menahannya dari perbuatan keji.

Semua ini adalah kebodohan dan penyimpangan dari adab syariat, karena Allah memerintahkan orang-orang beriman agar menundukkan pandangan, sebab ia adalah pintu ke hati agar hati bersih untuk Allah semata dari sesuatu yang menodainya yang membuatnya terancam siksa dariNya.

Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang mendatangi binatang buas di sebuah hutan, lalu binatang tersebut diam dan tidak melihatnya, namun dia menganggunya, melawannya dan membuatnya marah, apakah mungkin dia tidak terluka, malah bisa-bisa mati!!

Mujahdah Nafs

Di antara mereka ada yang kuat mujahadahnya terhadap nafsunya kemudian melemah, maka jiwanya mengajaknya kepada perbuatan keji, dalam kondisi tersebut dia memutuskan untuk tidak berkawan dengan anak-anak muda yang belum berkumis.

Dari Abu Hamzah berkata, “Aku berkata kepada Muhammad bin al-Ala’ ad-Dimsyqi, dia adalah tokoh orang-orang sufi, aku pernah melihatnya berkawan dengan seorang anak yang tampan kemudian dia meninggalkannya, maka aku berkata kepadanya, ‘Mengapa Anda meninggalkan anak muda yang pernah aku melihatmu bersamanya padahal sebelum ini kamu berkawan dan cenderung kepadanya?’ Dia menjawab, Aku meninggalkannya bukan karena marah dan bukan pula karena bosa.’ Aku bertanya, ‘Lalu Karena apa?’ Dia menjawab, ‘Aku melihat hatiku mengajakku kepada sesuatu saat aku berdua dengannya dan dia mendekat kepadaku, bila aku melakukannya maka aku tak berharga di mata Allah, maka aku meninggalkannya Karena itu, aku tidak ingin menodai Allah dan diriku dari noda-noda fitnah.’”

Taubat dan Tangisan Panjang Di antara mereka ada yang bertaubat dan menangis panjang karena telah melepaskan pandangannya.

Dari Khair an-Nassaj berkata, “Aku bersama Umayyah bin ashShamit ash-Shufi, dia melihat kepada seorang anak muda, kemudian dia membaca:

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hadid: 4).
Kemudian dia berkata, “Ke mana berlari dari penjara Allah sedangkan Dia telah membentenginya dengan para malaikat yang kasar lagi keras. Dialah Yang Maha Penuh Barakah, alangkah besarnya apa yang Dia ujikan terhadapku karena aku telah memandang anak muda ini. Penglihatanku ini tiada lain seperti api yang jatuh pada bambu kering di hari vang berangin kencang, ia tidak membakar dan tidak menyisakan.” Kemudian dia berkata, “Aku memohon ampun kepada Allah dari ujian yang dilakukan oleh kedua mataku atas hatiku, aku khawatir tidak selamat dari akibat buruknya dan membebaskan diri dari dosanya sekalipun aku mendapatkan Kiamat dengan membawa amal 70 orang yang jujur.”

Kemudian dia menangis hingga dia hampir mati, aku mendengarnya dalam tangisannya berkata, “Wahai mata, aku akan menyibukkanmu dengan menangis hingga kamu tidak melihat kepada ujian.”’

Sakit Karena Beratnya Cinta Di antara mereka ada yang dibuat sakit oleh beratnya asmara.

Dari Abu Hamzah ash-Shufi berkata, “Abdullah bin Musa adalah salah satu tokoh dan pembesar sufi, dia melihat kepada anak muda yang tampan di sebuah pasar, hingga dia mencintainya, sampai dia kehilangan akalnya karena kecintaan dan kegandrungannya kepada anak muda tersebut, dia berdiri di jalan anak muda itu hingga bisa melihatnya datang dan pergi, hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, akibatnya dia kurus dan jatuh sakit, tidak kuasa berjalan walaupun hanya satu langkah, maka aku menjenquknya, dan aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Muhammad, ada apa denganmu? Mengapa kamu sampai bisa begini?’ Dia menjawab, ‘Karena perkara-perkara yang Allah menqujiku dengannya, namun aku tidak sabar memikulnya, dan aku tidak sanggup mengembannya, berapa banyak dosa yang diremehkan oleh manusia padahail ia lebih besar di sisi Allah daripada dosa besar, maka sepantasnya bila orang yang memandang kepada sesuatu yang haram didera sakit yang berkepanjangan.’ Kemudian dia menangis. Maka aku bertanya, ‘Mengapa kamu menangis?’ Dia menjawab, ‘Aku takut kesengsaraanku di dalam neraka akan berlangsung lama.’ Maka aku meninggalkannya dengan merasa iba terhadapnya karena aku melihat keadaannya yang benar-benar memprihatinkan.’” .

Abu Hamzah berkata, “Muhammad bin Abdullah bin al-Asy’ats ad-Dimasyqi dia termasuk hamba Allah yang terbaikmelihat kepada seorang anak yang tampan, dia pingsan dan dibawa ke rumahnya, akhirnya dia sakit hingga kedua kakinya lumpuh, dan dia tak kuasa berdiri di atasnya dalam waktu yang lama. Kami pun menjenguknya, dan kami bertanya kepadanya tentang keadaan dan perkaranya, tetapi dia enggan menceritakan perkaranya dan penyebab sakitnya, sementara orang-orang membicarakan apa yang menimpanya, hingga hal itu sampai kepada anak muda tersebut, maka dia datang menjenguknya. Begitu anak muda ini tiba, wajahnya langsung berbinar, dia bergerak, tertawa di depannya – dan berbahagia bisa melihatnya, selanjutnya anak muda terus menerus menjenguknya hingga dia bisa berdiri di atas kedua kakinya dan sembuh seperti sedia kala. Suatu hari anak muda ini mengajaknya berjalan-jalan ke rumahnya, namun dia menolak, maka aku bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak memenuhi ajakannya?” Dia menjawab, “Aku bukan orang yang terjaga dari dosa, aku tidak terjamin dari fitnah, aku takut setan berhasil menjerumuskanku ke dalam fitnah, hingga terjadi kemaksiatan antara diriku dengan dirinya akibatnya aku termasuk orang-orang yang merugi!”

Bunuh Diri Karena Takut Jatuh Kepada Perbuatan Keji Di antara mereka ada yang diajak oleh jiwanya untuk berbuat keji lalu dia bunuh diri.

Dari al-Hasan bin Muhammad ad-Damighani berkata, “Di Persia ada seorang sufi besar, dia diuji dengan seorang anak muda, maka jiwanya mengajaknya untuk berbuat dosa, namun dia merasa diawasi oleh Allah, kemudian dia menyesal atas ajakan jiwanya. Sedangkan rumahnya berada di tempat yang tinggi, dan di belakangnya adalah laut. Tatkala dia menyesal, dia naik ke atap, kemudian menjeburkan dirinya ke laut sambil membaca firman Allah:

“Maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah dirimu…” (QS. al-Baqarah: 54). Maka dia mati tenggelam.”

Penulis berkata, “Lihatlah kepada Iblis, bagaimana dia bisa menyeret laki-laki yang patut dikasihani ini dari memandang kepada anak muda yang belum berkumis kepada memandangnya secara terus menerus, hingga Iblis berhasil menancapkan asmara dalam hatinya, hingga dia mengajaknya ke perbuatan keji, tatkala dia melihat jalannya yang buntu, Iblis membaguskan karena kebodohannya untuk membunuh dirinya, dia pun bunuh diri, padahal ada kemungkinan perbuatan keji itu baru terlintas dalam benaknya dan dia belum berazam melakukannya, padahal sekedar terlintasnya sesuatu dalam hati itu dimaafkan, berdasarkan sabda Nabi, ‘Umatku dimaafkan dari apa yang dibisikkan oleh hatinya.’ Kemudian dia sudah menyesali keinginannya dan penyesalan adalah taubat.”

Iblis memperlihatkan kepadanya bahwa taubat yang sempurna adalah dengan membunuh diri sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Israil, padahal Bani Israil memang diperintahkan untuk itu dalam firmanNya,

“Dan bunuhlah dirimu…,” sementara kita dilarang melakukannya berdasarkan firmanNya:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. an-Nisa’: 29).

Sungguh laki-laki ini telah melakukan dosa besar yang besar akibatnya.

Dalam ash-Shahihain dari Nabi bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari puncak gunung, maka dia akan terjatuh ke dalam api neraka Jahanam, kekal dan dikekalkan selamanya di dalamnya.”

Di antara mereka ada yang dipisahkan dari kekasinnya maka dia membunuhnya kekasihnya.

Saya mendengar tentang sebagian orang-orang sufi, dia berada di sebuah pos di Baghdad, dia bersama seorang anak di rumah tempat dia tinggal, orang-orang pun mencelanya dan memisahkannya dari anak tersebut, maka laki-laki sufi itu mendatangi anak itu dengan membawa pisau, kemudian dia membunuhnya, lalu dia duduk di sisinya sambil menangis, maka orang-orang yang ada di pos itu datang dan melihatnya, mereka bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi, dia mengaku telah membunuh anak itu, maka dia diserahkan kepada pihak yang berwajib, dia mengaku telah membunuh, maka bapak anak itu datang dengan menangis, laki-laki sufi itu pun duduk menangis, dia berkata kepadanya, “Demi Allah, kamu harus menghukumku dengan hukum gishash.” Tetapi ayah anak itu menjawab, “Tidak, sebaliknya aku memaafkanmu.” Lalu laki-laki sufi itu mendatangi kubur anak itu, di sana dia menanais, kemudian dia menunaikan haji untuk anak itu dan menghadiakan pahala.

Mendekati Fitnah dan Akhirnya Terjatuh ke Dalamnya

Di antara mereka ada yang mendekati fitnah lalu dia terjerumus ke dalamnya, sedangkan klaim sabar dan mujahadah tak berguna apa pun.

Dari Idris bin Idris berkata, “Aku pernah hadir di kalangan orang-orang sufi di Mesir, mereka mempunyai seorang anak muda yang belum tumbuh cambangnya yang menyanyi untuk mereka.” Salah seorang dari mereka tergila-gila kepadanya hingga dia tidak menyadari apa yang dilakukan, dia berkata kepada anak itu, “Wahai anakku, ucapkanlah la ilaha illallah.” Maka anak itu mengucapkannya, maka laki-laki itu berkata, “Aku akan mencium mulut yang mengucapkan la ilaha illallah.”

> Keenam: Orang-orang yang tidak sengaja bergaul dengan anak-anak muda, lalu seorang anak muda bertaubat dan berzuhud, dan ikut bersama jamaah mereka karena keinginannya, lalu Iblis merayu mereka dan berkata, “Jangan menghalanginya dari kebaikan.” Kemudian mereka melihat kepadanya tanpa sengaja tetapi berulang-ulang, hingga fitnah bergejolak dalam hati, sampai setan berhasil mendapatkan bagiannya dari mereka sesuai dengan kemampuannya. Bisa jadi mereka percaya kepada agama mereka, lalu setan menyeret mereka dan melemparkannya ke jurang kemaksiatan.

Penulis berkata, “Kesalahan mereka adalah pada sikap mereka yang mendekati fitnah, dan bergaul dengan orang yang tidak menjamin mereka dari fitnah.

Hal seperti ini sering terjadi di setiap zaman pada orang-orang sufi dan lainnya!!

> Ketujuh: Orang-orang yang mengetahui bahwa bergaul dengan anak-anak muda yang belum bercambang dan melihat kepada mereka tidak boleh namun mereka tidak kuat menahan diri darinya.

Dari ar-Razi berkata, bahwa Yusuf bin al-Husain berkata, “Lakukanlah apa yang kalian melihatku melakukannya kecuali bergaul dengan anak-anak muda, karena ia adalah fitnah paling berat. Sungguh aku telah berjanji kepada Tuhanku untuk tidak bergaul dengan anak-anak muda lebih dari seratus kali, namun Dia menghapuskannya dengan pipi yang bagus, perawakan yang semampai dan mata yang indah dan Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban atasku tentang kemaksiatan bersama mereka.”

Shari’ al-Ghawani mengucapkan syair dalam hal ini:

Pipi yang merah, bola mata hitam lagi
Lebar, gigi-gigi putth yang ada di mulut
Lesung pipit yang terlihat di permukaan Pipi dan buah delima yang ada di dada
Membuatku mabuk kepayang di antara penyanyi
Karena itu aku disebut dengan Shari’ al-Ghawani

Penulis berkata, “Laki-laki ini telah membuka aibnya sendiri padahal Allah telah menutupinya, dia menyatakan bahwa setiap kali melihat fitnah, dia membatalkan taubatnya. Lalu di mana tekad tasawuf dalam melatih jiwa untuk memikul hal-hal berat?!

Kemudian dengan sebab kebodohannya dia menyangka bahwa perbuatan maksiat itu hanya kekejian saja, seandainya dia berilmu, sungguh dia tahu bahwa pergaulan mereka bersama anak-anak muda dan melihat mereka itu merupaka perbuatan maksiat.

Lihatlah kepada kebodohan ini, bagaimana ia memainkan para pemiliknya?

Faidah Ilmu dan Bahaya Melihat Barangsiapa tidak berilmu, maka dia berjalan dalam kegelapan, bila dia berilmu namun tidak beramal maka dia berjalan dalam kegelapan yang lebih gelap, dan barangsiapa menggunakan adab syariat dalam firman Allah:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya,’” (QS. an-Nur: 30), maka dia selamat di awal perkara dari sesuatu yang akibatnya sulit di akhirnya.

Syariat hadir melarang bergaul dengan anak-anak muda yang belum bercambang, dan para ulama pun berwasiat demikian.

Umar bin al-Khatthab berkata, “Seorang ulama tidak didatangi seekor binatang buas pemangsa yang lebih berbahaya daripada anak muda yang belum tumbuh kumisnya.”
Dari al-Hasan bin Dzakwan bahwa dia berkata, “Jangan bergaul denaan anak orang-orang kaya, karena wajah mereka seperti perempuan, dan fitnah mereka lebih berat daripada fitnah para gadis perawan.”

Dari Abu as-Saib berkata, “Aku lebih mengkhawatirkan seorang anak muda terhadap seorang ulama daripada tujuh puluh gadis.”

Dari Abu Ali ar-Ruwadzbari berkata, bahwa aku mendengar al-Junaid berkata, “Ada seorang laki-laki datang bersama seorang anak muda yang berwajah tampan kepada Ahmad bin Hanbal, lantas Ahmad bertanya kepadanya, “Siapa ini?” Dia menjawab, “Putraku.” Ahmad berkata, “Lain kali kamu jangan mengajaknya datang.” Tatkala dia berdiri, seseorang berkata kepada Ahmad, “Semoga Allah membantu syaikh tersebut. Laki-laki itu tak dikenal, sedangkan anaknya lebih afdhal darinya.” Maka Ahmad berkata, “Maksud kami dalam masalah ini, tidak karena terhalangi oleh keadaan keduanya yang tak dikenal, namun berdasarkan inilah kami berpendapat sebagaimana pendapat syaikh-syaikh kami, inilah yang mereka kabarkan kepada kami dari salaf mereka.”

Dari Bisyr bin al-Harits berkata, “Waspadailah anak-anak muda itu.”

Dari Abu Manshur Abdul Qadir bin Thahir berkata, “Barangsiapa bergaul dengan anak-anak muda maka dia akan jatuh ke dalam bencana.”

Dari Abdullah Abdurrahman as-Sulami berkata, bahwa Muzhaffar al-Qarmisini berkata, “Barangsiapa bergaul dengan anak-anak muda dengan berjanji bisa selamat dan bertujuan menasihati, maka ia akan terseret kepada ujian, lantas bagaimana dengan orang yang bergaul dengan mereka bukan dengan niat selamat?!” Berpaling dari Anak-anak Muda yang Belum Bercambang Salaf sangat menjauhi anak-anak muda yang belum tumbuh cabangnya. Dari Atha~ bin Muslim berkata, “Sufyan tidak pernah mau bergaul dengan anak-anak muda.”

Dari Yahya bin Ma’in berkata, “Tidak ada anak muda yang mau bergaul denganku.”

Dari Abdullah bin al-Mubarak berkata, bahwa Sufyan ats-Tsauri masuk ke pemandian umum, lalu seorang anak muda yang berwajah cerah masuk, maka Sufyvan berkata, “Usirlah dia, usirlah dia! Sesungguhnya aku melihat secrang setan bersama seorang wanita dan belasan setan’ bersama anak muda yang belum tumbuh kumisnya!”

Dari Abu Aly ar-Ruwadzbari mengatakan bahwa Abu al-Abbas Ahmad al-Muaddib berkata kepadaku, “Wahai abu Ali, dari mana orang-orang sufi di zaman ini mengambil sandaran dalam bergaul dengan anak-anak muda?” Aku menjawab, “Wahai tuanku, engkau lebih mengetahui tentang mereka. Terkadang mereka disertai keselamatan pada banyak urusan.” Maka dia berkata, “Jtu mustahil, sungquh kami telah melihat orang yang lebih kuat imannya daripada mereka, saat dia melihat anak muda datang, dia berlari seperti berlari dari medan perang, hal itu menurut waktu yang mana keadaan mendominasi orangnya, lalu ia terpengaruh oleh gejolak tabiat, sungguh betapa besar bahayanya, dan betapa banyak kesalahannya.”

Bergaul dengan Anak-anak Muda

Bergaul dengan anak-anak muda merupakan perangkap Iblis yang paling kuat, dengannya Iblis menghalang-halangi orang-orang sufi.

Dari Abu Bakar ar-Razi berkata, bahwa Yusuf bin al-Husain berkata, “Aku melihat aib-aib manusia, maka aku tahu dari mana ia menimpa mereka? Dan aku melihat aib orang-orang sufi pada pergaulan mereka dengan anak-anak muda, berkawan dengan para musuh dan berhubungan dengan para wanita.”

Hukuman Melihat Kepada Anak-anak Muda yang Belum Tumbuh Cambangnya

Dari Abu Abdullah bin al-Jala’ berkata, “Aku melihat seorang anak muda Nasrani, lalu Abu Abdullah al-Balakhi lewat di depanku, kemudian dia bertanya, ‘Mengapa kamu berdiri seperti itu?’ Aku menjawab, ‘Wahai paman, tidakkah Anda melihat wajah ini, bagaimana ia disiksa dengan neraka.’” Lalu dia menepuk pundakku dan berkata, ‘Kamu akan merasakan akibatnya suatu saat nanti.’” Dia melanjutkan, “Maka aku merasakan akibatnya sesudah empat puluh tahun, bahwa aku lupa al-Qur’an yang telah aku hafal.”

Saya berkata, “Saya berbicara panjang lebar dalam bab ini, karena hal ini banyak terjadi pada banyak orang, maka barangsiapa ingin mendapat tambahan dalam masalah ini dan masalah yang berkaitan dengan melepaskan pandangan serta segala sebab hawa nafsu, maka silakan membuka buku kami yang berjudul Dzammul Hawa, karena di sana ada apa yang Anda cari dalam bab ini.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Terkait dengan Klaim Tawakal, Meninggalkan Sebab-sebab dan Tidak berhatihati Dalam Perkara Harta

Dari Dzi an-Nun al-Mishri berkata, “Aku melakukan perjalanan bertahuntahun, aku tak pernah bertawakal dengan benar kecuali hanya sekali. Aku naik perahu, lalu perahu itu pecah, dan aku terombang-ambing pada sebatang kayu darinya, maka aku berkata dalam hati, ‘Bila Allah menetapkanku tenggelam, lalu apa gunanya kayu ini?’ Maka aku pun membuangnya, dan aku mengapung di atas air dan akhirnya terdampar di pantai.”

Dari Muhammad berkata, “Aku bertanya kepada Abu Ya’qub az-Zayyat tentang suatu masalah dalam tawakal. Maka dia mengeluarkan satu koin dirham miliknya, kemudian dia menjawabku -dia memberikan hak tawakal yang sebenarnya-, kemudian dia berkata, ‘Aku malu menjawab sementara aku mempunyai uang ini.’”

Penulis berkata, “Ilmu yang minim menyeret kepada kerancuan ini. Seandainya mereka mengetahui tawakal yang sebenarnya, niscaya mereka akan mengetahui bahwa antara tawakal dengan mengikuti sebab tidak bertentangan. Hal itu karena tawakal adalah bersandarnya hati kepada Dzat Yang Maha Mewakili semata dan ini tidak bertentangan dengan aktifitas tubuh dalam mengikuti sebab dan tidak pula bertentangan dengan menyimpan harta. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (rnereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. an-Nisa~: 5).

Maksudnya, sebagai penegak (pokok kehidupan) untuk badan kalian.

Nabi bersabda:

“Sebaik-baik harta yang baik adalah harta di tangan orang shalih. ”

Nabi juga bersabda:

“Sesungguhnya lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin hingga mereka meminta-minta kepada manusia. ”

Ketahuilah bahwa Allah yang memerintahkan bertawakal juga memerintahkan agar berhati-hati, Allah berfirman:

“Bersiap siagalah kamu…” (QS. an-Nisa’: 71).

Allah berfirman:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. al-Anfal: 60).

Allah berfirman:

“Maka berjalaniah kamu dengan membawa hamba-hambakKu pada malam hari…” (QS. ad-Dukhan: 23).

Dari Anas bin Malik berkata, bahwa ada seorang laki-laki yang datang kepada Nabi dan dia meninggalkan untanya di pintu masjid, maka Rasulullah bertanya kepadanya tentang perbuatannya, dia menjawab, “Aku melepaskannya dan bertawakal kepada Allah.” Nabi bersabda, “Ikatlah kemudian bertawakallah. “

Sufyan bin Uyainah berkata, “Tawakal adalah kerelaan kepada apa yang dilakukan terhadapnya.”

Ibnu Aqil berkata, “Sebagian orang menyangka bahwa kehati-hatian dan kewaspadaan bertentangan dengan tawakal, dan bahwa tawakal bisa meniadakan berbagai akibat, padahal ini menurut ulama adalah kelemahan dan kelalaian yang oleh orang-orang berakal dipandang buruk dan bodoh.”

Allah tidak memerintahkan tawakal kecuali setelah berhati-hati dan mengerahkan segala upaya untuk berhati-hati, maka Allah berfirman:

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (Ali Imran: 159).

Seandainya kehati-hatian merusak tawakal, niscaya Allah tidak mengkhususkan nabiNya dengannya saat Dia berfirman:

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159).

Padahal bukankah musyawarah adalah mengambil pendapat yang dijadikan sebagai landasan mewaspadai dan memperhatikan musuh?

Allah pun tidak cukup menyerahkannya kepada pendapat dan ijtihad mereka dalam perkara kehati-hatian saja, hingga Dia memandang perlu untuk menjelaskannya, dan menjadikannya sebagai sebuah amal perbuatan dalam shalat, serta ibadah yang paling khusus, maka Allah berfirman:

“Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata…” (QS. an-Nisa’: 102). Allah menjelaskan alasannya dengan berfirman:

“Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus.” (QS. an-Nisa’: 102).

Barangsiapa mengetahui bahwa kehati-hatian adalah demikian, maka tidak dikatakan bahwa tawakal kepadaNya adalah meninggalkan apa yang diketahui, akan tetapi tawakal adalah meny rahkan perkara yang di luar daya dan kekuatan. Nabi bersabde “I atlah kemudian bertawakallah.”

Seandainya tawakal adalah ketidakwaspadaan, niscaya ia diberikan secara khusus kepada manusia terbaik dalam keadaan yang terbaik yaitu waktu shalat.

Asy-Syafi’i berpendapat bahwa membawa senjata dalam kondisi tersebut adalah wajib berdasarkan firman Allah:

“Dan hendaklah mereka menyandang senjata…” (QS. an-Nisa’: 102).

Tawakal tidak menghalangi sikap hati-hati dan waspada, karena Musa meninggalkan negerinya tatkala seseorang berkata kepadanya:

“Sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu,” (QS. al-Qashash: 20).

Nabi pun meninggalkan Makkah karena beliau khawatir terhadap dirinya dari makar orang-orang Quraisy, maka Abu Bakar menjaga beliau dengan menutupi lubang-lubang yang ada di dalam gua.

Orang-orang itu benar-benar berhati-hati kemudian mereka bertawakal.

Allah berfirman dalam hal kehati-hatian:

‘Janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu,” (QS. Yusuf: 5).

Allah berfirman:

Janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang…” (QS. Yusuf: 67).

Allah berfirman:

“Maka berjalanlah di segala penjurunya…” (QS. al-Mulk: 15).

Hal ini disebabkan oleh gerakan untuk membela diri berarti memanfaatkan nikmat Allah, sebagaimana Allah ingin hambaNya memperlihatkan nikmatNya yang lahir, dan Dia juga ingin agar hambaNya menampakkan nikmatNya yang batin, maka tidak ada alasan meniadakan apa yang diberikan oleh Allah secara batin atas apa yang Dia berikan secara lahir, maka kamu harus memanfaatkan apa yang ada padamu, dan carilah apa yang ada di sisiNya.

Allah memberikan alat dan perlengkapan anggota tubuh kepada burung dan hewan untuk mempertahankan diri seperti cakar, kuku dan taring, Allah menciptakan akal bagi manusia yang bisa membimbingnya untuk menenteng senjata dan mengajaknya untuk membentengi diri dengan baju besi dan bangunan-bangunan.

Barangsiapa meniadakan nikmat Allah dengan tidak berhati-hati, maka dia telah membuang hikmahNya, layaknya orang yang menolak makan dan obat, kemudian ia mati karena lapar atau sakit.

Tidak ada orang dungu yang mengaku berakal dan berilmu, sedangkan ia menyerah pada ujian, melainkan karena sepantasnya adalah hendaknya anggota tubuh orang yang bertawakal berusaha sedangkan hatinya tenang berserah diri kepada Allah, diberi atau tidak, karena dia tidak melihat kecuali al-Haq, Dia tidak bertindak kecuali dengan hikmah dan maslahat, dan bila Dia tidak memberi, maka itu berarti Dia memberi dari sisi makna.

Berapa banyak Iblis menjadikan kelemahan sebagai sesuatu yang indah di mata orang-orang yang malas, lalu jiwa mereka berbisik kepada mereka bahwa kemalasan adalah tawakal, dan mereka tertipu. Dalam hal ini, mereka seperti orang yang menyangka bahwa tindakan bodoh adalah keberanian dan kepicikan sebagai ketegasan.

Penulis berkata, “Bila ada yang berkata, ‘Bagaimana aku bisa menghindar dari apa yang ditakdirkan? Kami menjawab, bagaimana kamu tidak berusaha menghindar dari apa yang ditakdirkan bersama perintahperintah? Yang mentakdirkan adalah yang memerintahkan, Allah berfirman:

“Dan siap-siagalah kamu.” (QS. an-Nisa’: 102).

Tawakal Tidak Meniadakan Usaha Sejenis dengan apa yang telah kami sebutkan di atas, yang mana Iblis mengacaukan mereka dengan menolak mengikuti sebab akibat, Iblis juga mengacaukan banyak orang dari mereka dengan keyakinan bahwa tawakal bertentangan dengan usaha.

Dari Sahl bin Abdullah at-Tustari, “Barangsiapa menggugat tawakal maka dia menggugat iman, barangsiapa menggugat usaha maka dia mengguagat sunnah.”

Dari Muhammad bin Abdul Aziz berkata, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Abu Abdillah bin Salim dan aku mendengar, “Apakah kita ini diperintah untuk beribadah dengan usaha atau tawakal?” Dia menjawab, “Tawakal adalah keadaan Rasulullah sedangkan usaha adalah sunnah Rasulullah, disunnahkan usaha bagi siapa yang tawakalnyva lemah dan ia tidak mencapai derajat kesempurnaan yang merupakan keadaan beliau. Barangsiapa mampu tawakal maka usaha tidak boleh baginya dalam keadaan apa pun kecuali usaha hanya untuk sekedar membantu bukan bersandar kepadanya. Dan barangsiapa tidak mencapai keadaan tawakal yang merupakan keadaan Rasulullah, maka dia dibolehkan mencapai penghidupan melalui usaha agar tidak jatuh dari derajat sunnah beliau saat dia terjatuh dari derajat keadaan beliau.’”

Dari Yusuf bin al-Husain berkata, “Bila kamu melihat murid menyibukkan diri dengan rukhshah dan usaha, maka tidak ada apa pun yang datang darinya.”

Penulis berkata, “Ini adalah ucapan orang-orang yang tak memahami makna tawakal. Mereka menyangka bahwa ia berarti tidak berusaha dan meniadakan anggota badan dari bekerja. Sedangkan kami telah menjelaskan bahwa tawakal adalah perbuatan hati, dan ia tidak bertentangan dengan aktifitas anggota badan.”

Seandainya seseorang yang bekerja bukanlah orang yang bertawakal, niscaya para nabi bukanlah orang-orang yang bertawakal.

Abu Bakar, Utsman, Abdurrahman bin Auf dan Thalhah adalah saudagar kain. Muhammad bin Sirin dan Maimun bin Mihran juga saudagar kain.

Az-Zubair bin al-Awwam dan Amru bin al-Ash serta Amir bin Kuraiz adalah pembuat kain, demikian juga dengan Abu Hanifah.

Sa’ad bin Abi Waqaash pun adalah pembuat anak panah, dan Ustman bin Thalihah adalah tukang jahit.

Dari Amru bin maimun dari bapaknya berkata, “Tatkala Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, orang-orang menggajinya dua ribu, maka Abu Bakar berkata, ‘Tambahkan untukku, karena aku mempunyai keluarga, sedangkan kalian telah menyibukkanku dari niaga.’ Maka mereka menambah lima ratus.”

Penulis berkata, “Kalau seseorang berkata kepada orang-orang sufi, ‘Dari mana aku memberi makan keluargaku?’ Maka mereka akan menjawab, ‘Kamu musyrik.’”
Seandainya mereka ditanya tentang orang-orang yang berdagang, mereka akan menjawab, “Bukan orang yang yakin, bukan orang yang bertawakal.”

Semua ini adalah karena kebodohan mereka terhadap makna yakin dan tawakal. Seandainya seseorang menutup pintu tersebut atasnya dan ia bertawakal niscaya klaim mereka menjadi dekat baginya, akan tetapi orang-orang itu di antara dua perkara.

Kebanyakan orang dari kalangan mereka, di antara mereka ada yang berusaha mendapatkan dunia dalam rangka mengambil manfaat, dan di antara mereka ada yang mengirimkan budaknya untuk berkeliling membawa keranjang dan mengumpulkan hasilnya untuk tuannya, atau duduk di pos-pos mereka dengan berpakaian layaknya orang-orang miskin, padahal dia tahu bahwa tempat tersebut tidak bersih untuk didatangi oleh orang-orang yang hendak bersedekah, sebagaimana kios dibangun dengan tujuan untuk jualbeli.

Sa’id bin al-Musayyib berkata, “Barangsiapa berdiam diri di masjid dan tidak bekerja serta menerima apa yang diberikan kepadanya maka dia telah meminta-minta penuh harap.”

Perintah Salaf Untuk Berusaha

Penulis berkata, “Salaf melarang melakukan semua ini, sebaliknya mereka memerintahkan usaha.”

Umar bin al-Khatthab berkata, “Wahai orang-orang fakir! Angkatlah kepala kalian, jalan sudah terang, berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan, dan jangan menjadi beban bagi kaum muslimin.”

Bila Umar bin al-Khaththab melihat anak muda yang menakjubkannya, lalu dia bertanya tentangnya, “Dia bekerja?” Bila dijawab, “Tidak.” Maka Umar berkata, “Dia tidak ada artinya di mataku.”

Dari Abu al-Qasim bin al-Khuttaly, aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal, maka aku berkata, “Apa pendapat Anda tentang seorang laki-lakj yang duduk di rumah atau masjid, dan dia berkata, ‘Aku tidak bekerja apa pun, sampai rizkiku akan datang dengan sendirinya?’” Alhmad menjawab, “Ini adalah orang yang bodoh, tidakkah kamu mendengar Rasulullah bersabda, ‘Dan rizkiku dijadikan di bawah naungan tombakku.’”

Ada hadits lain yang mana nabi menyebutkan seekor burung yang berangkat pagi dalam keadaan perut kosong, kemudian beliau menyebutkan bahwa ia berangkat pagi untuk mencari makan.?

Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;” (QS. al-Muzzammil: 20).

Allah berfirman:

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. al-Baqarah: 198).

Para shahabat Rasulullah pun berdagang di darat dan laut, mereka bekerja mengurusi kebun kurma mereka, dan mereka adalah teladan bagi kita.

Dari Ahmad bahwa ada seorang laki-laki berkata kepadanya, “Aku ingin menunaikan ibadah haji dengan tawakal.” Ahmad bertanya, “Pergilah tanpa ikut rombongan.” Dia berkata, “Tidak.” Ahmad berkata, “Kamu bertawakal dengan makanan orang lain!”

Dari Abu Bakar al-Marwazi berkata, bahwa aku berkata kepada Abu Abdullah, “Orang-orang yang mengaku bertawakal itu berkata, ‘Kami duduk dan Allah yang menjamin rizki kami.” Beliau menjawab, “Ucapan yang sangat buruk, bukankah Allah telah berfirman:

‘Apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli.” (QS. al-Jumu’ah: 9).”

Kemudian Ahmad berkata, “Bila seseorang berkata, ‘Aku tidak bekerja’, lalu dia diberi sesuatu dari hasil bekerja dan berusaha, maka kenapa dia menerimanya dari orang lain?”

Shalih bin Ahmad berkata, “Bapakku ditanya sementara aku menyaksikan tentang orang-orang yang tak bekerja dan mereka berkata, ‘Kami bertawakal.’ Maka bapakku menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mengada-ada.”

Ibnu Adil berkata, “Mengikuti sebab akibat tidak bertentangan dengan tawakal, karena menaiki sebuah anak tangga melebihi derajat para nabi merupakan bentuk kekurangan dalam agama.”

Tatkala seseorang berkata kepada Musa:

“Sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu,” (QS. al-Qashash: 20), Musa pun keluar, dan tatkala lapar dan dia membutuhkan makan, maka dia bekerja selama delapan tahun.

Allah berfirman:

“Maka berjalanlah di segala penjurunya…” (QS. al-Mulk: 15).

Hal ini karena aktifitas sama dengan memanfaatkan nikmat Allah, yaitu kekuatan, maka manfaatkan (potensi) yang ada padamu kemudian é carilah apa yang ada di sisiNya.

Terkadang seseorang meminta kepada Rabbnya dan dia melupakan potensi-potensi yang Allah berikan kepadanya. Maka bila jawaban dari permintaannya ditunda, dia marah. Anda melihat salah seorang dari mereka mempunyai tanah dan perabotan, bila makanan menjadi sulit baginya, dan hutangnya menumpuk, lalu ada seseorang berkata kepadanya, “Seandainya kamu menjual tanahmu.” Maka dia akan menjawab, “Bagaimana aku menjualnya, dan aku menjatuhkan harga diriku di depan orang-orang.”

Sebagian orang berpangku tangan dan tidak bekerja karena malas, maka mereka terjebak dalam dua keburukan. Menyia-nyiakan keluarga, sehingga mereka meninggalkan kewajiban atau mereka menghiasi diri atas nama tawakal, lalu orang-orang yang bekerja karena merasa kasihan kepada mereka yang telah menyusahkan keluarga mereka, kemudian orang-orang yang bekerja bersedekah kepada mereka.

Ini adalah kehinaan yang hanya menimpa orang yang berjiwa hina, karena jika tidak maka seorang laki-laki sejati tidak akan menyia-nyiakan permata yang Allah titipkan kepadanya hanya untuk mendahulukan kemalasan atau karena sebuah nama yang dipakai hiasan oleh orang-orang bodoh, karena terkadang Allah tidak memberi harta kepada seseorang namun Dia memberinya permata, yang dengannya dia bisa meraih dunia dengan penerimaan orang lain terhadap dirinya.

Di Antara Dalil-dalil Mereka Dalam Tidak Berusaha Orang-orang yang berpangku tangan dan tidak bekerja bergantung dengan berbagai alasan yang buruk, di antaranya mereka berkata, “Rizki kita pasti akan sampai kepada kita.”

Ini adalah puncak keburukan, karena bila seseorang tidak berbuat ketaatan, dia berkata, “Aku tidak mampu dengan ketaatanku untuk merubah apa yang ditetapkan oleh Allah atasku. Bila aku termasuk penghuni surga maka aku akan menjadi penghuni surga. Bila aku termasuk penduduk neraka, maka aku akan termasuk penduduk neraka.” Kami katakan kepadanya, bahwa keyakinan ini membatalkan semua perintah agama, seandainya ia benar untuk seseorang, niscaya Adam tidak dikeluarkan dari surga, karena dia bisa berkata, “Aku hanya melakukan apa yang ditetapkan atasku.” Sudah diketahui bahwa yang dituntut dari kita adalah menjalankan perintah bukan mengurusi takdir.

Di antara mereka berkata, “Di mana yang halal agar kami bisa mencarinya?”

Ini adalah ucapan orang bodoh, karena yang halal tak pernah terputus selamanya, Nabi bersabda, “Yang halal jelas dan yang haram juga jelas. “

Sudah diketahui bahwa yang halal adalah apa yang diizinkan oleh syariat untuk dimakan, sedangkan ucapan mereka tiada lain sebagai pembenaran terhadap kemalasan.

Di antaranya mereka berkata, “Bila kami bekerja, maka kami membantu)orang-orang zhalim dan para pendosa, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibrahim al-Khawash bahwa dia berkata, “Aku mencari halal pada segala sesuatu, hingga aku mencarinya dengan memancing ikan. Aku mengambil walesan bambu, memasang senar dan duduk di pinggir sungai. Aku lemparkan pancing, lalu seekor ikan menyantapnya dan aku pun menariknya, seekor ikan pun menggelepar di tanah. Kemudian aku melemparnya lagi, ikan kedua pun keluar. Ketika aku melemparkannya untuk yang ketiga kalinya, tiba-tiba aku ditempeleng dari belakang. Aku tidak tahu tangan siapa itu, karena aku tidak melihat siapa pun. Kemudian aku mendengar seseorang berkata, ‘Kamu tidak mendapatkan rizki pada sesuatu kecuali kamu bersandar kepada orang yang mengingat kami lantas kamu membunuhnya.”

Dia melanjutkan, “Maka aku memotong senar dan mematahkan walesan, lantas aku pun bergegas pulang.”

Penulis berkata, “Jika kisah ini benar, maka dalam sanadnya ada rawi yang tertuduh, maka yang menempelengnya adalah Iblis, dialah yang berkata kepadanya, karena Allah membolehkan berburu ikan, maka Dia tidak akan menghukum atas sesuatu yang Dia bolehkan. Bagaimana bisa dikatakan, “Kamu bersandar kepada, orang mengingat kami, lantas kamu membunuhnya.” Sedangkan Dialah yang membolehkan kita membunuh ikan?!

Mencari yang halal itu terpuji. Seandainya kita menolak berburu dan menolak menyembelih hewan dengan alasan karena ia mengingat Allah, niscaya kita tidak mempunyai sesuatu untuk menegakkan badan ini, karena yang menegakkannya adalah daging.

Menolak menangkap ikan dan menyembelih hewan adalah keyakinan orang-orang Brahmana. Lihatlah kepada kebodohan tersebut, apa yang ia lakukan. Lihatlah Iblis, bagaimana dia berbuat?

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Dengan Menolak Berobat

Penulis berkata, “Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa berobat hukumnya mubah, hanya saja sebagian dari mereka berpendapat bahwa azimah adalah dengan meninggalkannya.”

Yang ingin kami katakan di sini, bahwa bila sudah terbukti bahwa berobat adalah mubah menurut kesepakatan ulama, dan dianjurkan menurut sebagian mereka, maka kita tidak perlu menengok kepada ucapan sebagian orang yang berkeyakinan bahwa berobat mengeluarkan dari tawakal, karena ijma’ sudah menetapkan bahwa ia tidak keluar darj riil tawakal.

Diriwayatkan secara shahih dari Nabi bahwa beliau berobat dan memerintahkannya, dan hal itu tidak mengeluarkan beliau dari tawakal, beliau juga tidak mengeluarkan orang yang menjalankan perintahnya untuk berobat dari lingkaran tawakal.

Dalam ash-Shahih dari hadits Utsman bin Affan bahwa Nabi memberikan keringanan bagi orang yang berihram saat matanya sakit untuk membalutnya dengan buah Shabr.

Tbnu Jarir ath-Thabari berkata, “Hadits ini merupakan dalil atas rusaknya apa yang diucapkan oleh orang-orang bodoh dari Kalangan ahli tasawuf dan ibadah bahwa tawakal tidaklah benar bagi seseorang yang mengobati sakit pada tubuhnya dengan obat, karena menurut mereka hal itu sama dengan mencari kesembuhan dari selain Allah sebagai pemegang kesembuhan, manfaat dan madharat.”

Pembolehan Nabi kepada muhrim agar mengobati kedua matanya dengan pohon Shabr untuk menghilangkan sakitnya merupakan dailil yang paling jelas yang menetapkan bahwa makna tawakal bukan sebagaimana yang diucapkan oleh orang-orang itu, bahwa berobat tidak mengeluarkan pelakunya dari ridha dengan ketetapan Allah, sebagaimana bila seseorang yang diserang rasa lapar, kepergiannya untuk makan tidak mengeluarkannya dari tawakal dan ridha kepada ketetapan Allah, karena Allah tidak menurunkan penyakit kecuali menurunkan obatnya selain mati.

Allah menetapkan sebab-sebab untuk menolak penyakit, sebagaimana Allah menetapkan makan untuk menghilangkan rasa lapar, padahal Dia mampu menghidupkan makhlukNya tanpa makan, akan tetapi Dia menciptakan mereka sebagai orang-orang yang bergantung, maka rasa lapar tidak akan tertepis kecuali dengan apa yang Allah tetapkan sebagai sebab untuk menghilangkannya, demikian halnya dengan sakit yang bersifat insidentil. Allah lah Dzat yang membimbing.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Meninggalkan Shalat Berjamaah dan Jum’at Dengan Menyendiri dan Uzlah

Penulis berkata, “Orang-orang salaf terpilih mementingkan kesendirian dan uzlah dari manusia demi menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, namun uzlah mereka tidak memutuskan mereka dari Jum/at, shalat jamaah, menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah dan menunaikan hak, karena uzlah mereka adalah uzlah dari keburukan dan orang-orang buruk serta uz/ah dari pergaulan dengan orang-orang pemalas.

Iblis mengacaukan sebagian orang dari kalangan ahli tasawuf, di antara mereka ada yang mengucilkan diri di gunung seperti rahib di rumah sendiri pagi dan malam, akibatnya dia tidak shalat Jum’at, tidak shalat berjamaah dan tidak menghadiri majlis ilmu.

Kebanyakan dari mereka mengucilkan diri di pos-pos mereka, akibatnya mereka tidak mendapatkan pahala datang ke masjid, mereka duduk di atas kasur empuk dan berpangku tangan tidak bekerja.

Abu Hamid al-Ghazali berkata dalam al-Ihya’ mengatakan, “Tujuan latihan adalah mengosongkan hati dan hal itu hanya bisa terwujud di tempat yang gelap. Bila tidak di tempat yang gelap, maka hendaknya menutup kepalanya dengan kain atau berselimut dengan kain sarung, sehingga dalam kondisi ini dia akan mendengar panggilan al-Haq dan menyaksikan keagunaan hadirat rububiyah!!”

Penulis berkata, “Lihatlah kepada langkah-langkah yang dia tetapkan ini. Sedangkan yang sangat anehnya, bagaimana mungkin hal seperti ini diucapkan oleh seorang fakih ulama!”

Dari mana yang bersangkutan mengetahui bahwa apa yang didengarnya adalah panggilan al-Haq, bahwa yang dia saksikan adalah keagungan hadirat rububiyah?!

Sangat besar kemungkinan apa yang dirasakannya termasuk khayalan dan was-was yang rusak, hal inilah yang terlihat pada orang yang mengurangi makanan, sehingga dia akan mengalami halusinasi.

Mungkin seseorang selamat dalam kondisi ini dari was-was, hanya saja bila dia menutup wajahnya dengan kain, menunduk dan menutup kedua matanya, maka pikirannya mengembara di alam khayalan, lalu dia melihat khayalan-khayalan dan dugaan-dugaan, sehingga dia menyangkanya sebagai keagungan hadirat rububiyah dan yang sejenisnya.

Kami berlindung kepada Allah dari was-was dan khayalan buruk seperti ini.

Diriwayatkan dari Abu Ubaid at-Tustari bahwa di awal hari bulan Ramadhan, dia masuk ke rumah, dan berkata kepada istrinya, “Tutuplah pintu rapat-rapat atasku dan berikan sepotong roti kepadaku melalui celah tersebut.” Maka jika hari raya tiba istrinya masuk, dan dia melihat ada tiga puluh potong roti di sudut. Dan dia tidak makan, tidak minum, tidak bersiap untuk shalat dan tetap berada atas satu wudhu sampai akhir bulan.

Penulis berkata, bahwa hikayat ini menurutku jauh dari kebenaran dari dua sisi:

> Pertama: Adanya manusia selama satu bulan tidak tidur, kencing, berak dan kentut.
> Kedua: Seorang muslim meninggalkan shalat jamaah dan Jum’at padahal keduanya wajib, dan tidak boleh ditinggalkan.

Bila hikayat ini benar, maka Iblis tidak menyisakan apa pun dalam mengacaukannya. Dari Abu al-Hasan al-Busyanji ash-Shufi bahwa dia disalahkan beberapa kali karena tidak shalat Jum’at dan shalat berjamaah, maka dia menjawab, “Bila keberkahan ada pada shalat jamaah, maka keselamatan pun ada pada meninggalkannya!”

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Sikap Berpurapura Khusyu’, Menundukkan Kepala dan Menjalankan Ritual

Penulis berkata, “Bila rasa takut telah menenangkan hati, maka ia melahirkan khusyu’ lahir, dan pemiliknya tidak kuasa menepisnya, maka Anda melihatnya menunduk, beradab dan merendahkan diri, sedangkan para salaf berusaha menutupi apa yang nampak pada mereka dari hal itu.”

Muhammad bin Sirin tertawa di siang hari dan menangis di malam hari.

Kami tidak memerintahkan seorang ulama untuk bersikap longgar di antara orang-orang awam, karena hal itu menyakiti mereka. Diriwayatkan dari Ali bahwa dia berkata, “Bila kalian berbicara tentang iimu maka tutupilah, dan jangan mencampurnya dengan tawa, sehingga akibatnya hati akan memuntahkannya (menolak secara mentah-mentah).”

Hal seperti ini bukan termasuk riya~, karena hati orang awam tidak kuat memikul takwil untuk seorang ulama tatkala dia bersikap longgar dalam perkara mubah, maka seorang ulama patut menghadapi mereka dengan diam dan sopan.

Yang tercela adalah memaksakan diri untuk memperlihatkan kekhusyu’an, air mata buaya, menundukkan kepala agar terlihat dengan mata zuhud, lalu orang-orang datang menjabat tangan dan menciumnya, bahkan bisa jadi dikatakan kepadanya, “Mohon doanya wahai syaikh.” Kemudian ia bersiap-siap untuk berdoa, seolah-olah dia bisa menurunkan jawaban dari langit!

Disebutkan dari Ibrahim an-Nakha’i bahwa seseorang berkata kepadanya, “Berdoalah untuk kami.” Maka Ibrahim membencinya dan menolaknya dengan keras.

Di antara orang-orang yang takut ada yang terbawa oleh rasa takut kepada kerendahan hati dan rasa malu, hingga dia tidak mendongak ke langit, sedangkan ini bukan termasuk amalan yang utama, karena tidak ada kekhusyu’an yang melebihi khusyu’nya Rasulullah

Dalam Shahih Muslim dari hadits Abu Musa berkata, “Rasulullah sering mengangkat kepalanya ke langit.” Hadits ini menunjukkan anjuran melihat ke langit untuk mengambil pelajaran dari ayat-ayatnya.

Allah berfirman:

“Maka -apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagairnana Kami meninggikannya dan menghiasinya…” (QS. Qaf: 6).

Allah berfirman:

“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.’” (QS. Yunus: 101).

Orang-orang itu telah menambahkan isyarat kepada tasybih dalam bid’ah mereka. Seandainya mereka mengetahui bahwa menundukkan kepala yang mereka lakukan adalah seperti mendongakkannya dalam hal malu kepada Allah, niscaya mereka tidak melakukan hal itu, namun Iblis hanya sibuk mempermainkan orang-orang yang bodoh.

Adapun para ulama, maka Iblis menghindari mereka, sangat takut kepada mereka, karena mereka mengetahui seluruh perkaranya dan menjauhi segala bentuk tipu dayanya.

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman berkata, “Para shahabat Rasulullah bukanlah orang-orang yang menyimpang dan memperlihatkan kelermahan. Mereka mengucapkan syair di majlis-majlis mereka, membicarakan perkara jahiliyah, tetapi bila salah seorang dari mereka diusik dalam sebagian urusan agamanya maka kedua bola matanya berputar seperti orang gila.”

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khatthab bahwa dia melihat seorang anak muda yang menundukkan kepalanya, maka Umar berkata kepadanya, “Wahai anak muda, angkatlah kepalamu, sesungguhnya _ khusyu’ tidak melampaui apa yang ada dalam hati. Karena barangsiapa menampakkan kekhusyu’annya melebihi apa yang ada dalam hatinya, maka dia menampakkan kemunafikan di atas kemunafikan.” .

“Dari Ashim bin Kulaib al-Jarmi berkata, “Bapakku bertemu Abdurrahman bin al-Aswad yang sedang berjalan, dan bila dia berjalan, dia berjalan di sisi tembok dengan menampakkan kekhusyu’an begini, Abu Bakar memiringkan kepalanya sedikit, maka Abu Malik berkata,

“Bila kamu berjalan, kamu berjalan di sisi tembok. Ketahuilah demi Allah bahwa bila Umar berjalan maka pijakan telapak kakinya sangat keras ke tanah, dan suaranya lantang.”

Penulis berkata, “Sungguh salaf menutupi keadaan mereka yang sebenarnya, dan mereka berusaha membuang kepura-puraan.”
Kami telah menyebutkan dari Ayyub as-Sakhtiyani bahwa pakaiannya sedikit panjang untuk menutupi keadaannya.

Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku tidak menganggap benar amalku yang terlihat.”

Dia berkata kepada seorang rekannya yang sedang shalat, “Betapa beraninya kamu shalat sementara orang-orang melihatmu.”

Dari Muhammad bin Ziyad berkata, bahwa Abu Umamah melewati seorang laki-laki yang sedang sujud, maka dia berkata, “Sujud yang mulia seandainya kamu melakukannya di rumahmu.”

Asy-Syafi’i berkata:

Tinggalkanlah orang-orang yang bila datang kepadamu menundukkan kepala

Dan bila mereka menyendiri maka mereka adalah serigala yang sangat ganas.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Meninggalkan Pernikahan

Penulis berkata, menikah dalam keadaan khawatir terjatuh ke dalam dosa adalah wajib, tanpa khawatir sunnah muakkad menurut jumhur ulama.

Ahmad Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal berkata menikah dalam kondisi ini adalah lebih utama daripada ibadah-ibadah sunnah, karena menikah adalah sebab lahirnya anak.

Nabi bersabda:

“Nikahilah wanita yang mencintai dan banyak anak, karena sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di depan umat-umat, “

Dari Sa’ad bin Abu Waqqash berkata, “Rasulullah menolak keinginan Utsman bin Mazh’un untuk meninggalkan pernikahan, seandainya beliau membolehkan untuknya maka kami akan mengebiri diri kami.”

Dari Anas bin Malik bahwa beberapa shahabat Rasulullah bertanya kepada para istri nabi tentang amal beliau di rumah, maka para istri Nabi menyampaikan kepada mereka, kemudian sebagian dari mereka berkata, “Aku tidak makan daging.” Yang lain berkata, “Aku tidak menikah.” Yang lain berkata, “Aku tidak tidur di kasur.” Yang lain berkata, “Aku berpuasa tanpa berbuka.”

Maka Nabi memuji Allah dan menyanjungNya, kemudian beliau bersabda:

“Mengapa ada orang-orang yang berkata begini dan begini, akan tetapi aku shalat dan tidur, aku berpuasa dan berbuka, aku menikah dengan beberapa wanita, barangsiapa membenci sunnahku maka dia bukan termasuk golonganku. ”

Ahmad bin Hanbal berkata, “Hidup membujang sama sekali bukan termasuk ajaran Islam. Nabi menikahi 14 orang wanita dan beliau meninggal saat sembilan dari mereka masih hidup.”

Ahmad berkata, “Bila orang-orang tidak menikah maka mereka berperang, tidak menunaikan ibadah haji dan tidak begini dan begitu. Nabi mendapati pagi sementara mereka tidak mempunyai apa-apa, namun demikian beliau memilih menikah, dan menganjurkannya serta melarang hidup membujang. Barangsiapa membenci perbuatan Nabi. maka dia tidak berada di atas kebenaran.”

Ya’qub dalam kesedihannya menikah dan memiliki anak darinya.

Nabi bersabda:

“Aku dibuat mencintai wanita. ”

Kritik Terhadap Sikap Orang-orang Sufi yang Tidak Menikah

Iblis telah mengacaukan banyak orang-orang sufi, dan Iblis menghalanghalangi mereka untuk menikah. Orang-orang sufi terdahulu tidak menikah karena mereka menyibukkan diri dengan ibadah, mereka melihat bahwa menikah menyibukkan seseorang dari ketaatan kepada Allah.

Sementara orang-orang itu, bila mereka masih memiliki kebutuhan
kepada pernikahan atau mereka masih memiliki semacam kerinduan kepadanya, maka mereka telah melakukan sesuatu yang membahayakan badan dan dunia mereka, sedangkan bila mereka sudah tidak berhajat lagi maka mereka kehilangan keutamaan menikah.

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dari Rasulullah bahwa beliau bersabda, “Hubungan suami istri yang dilakukan oleh salah seorang di antara kalian adalah sedekah.” Mereka berkata, “Salah seorang dari kami menunaikan hasratnya kepada istrinya dan dia mendapatkan pahala?” Nabi menjawab, “Bagaimana menurut kalian bila dia meletakkannya di jalan yang haram, apakah dia berdosa?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi bersabda, “Demikian juga bila dia meletakkannya di jalan yang halal, dia mendapatkan pahala.” Kemudian Nabi menambahkan, “Apakah kalian memperhitungkan keburukan dan tidak memperhitungkan kebaikan?”

Di antara mereka ada yang berkata, “Menikah menuntut nafkah sedangkan bekerja itu sulit.” Ini adalah alasan untuk membebaskan diri dari lelahnya berusaha.

Dalam ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah dari Nabi bahwa beliau bersabda:

“Satu dinar yang kamu belanjakan di jalan Allah, satu dinar yang kamu belanjakan untuk budak, satu dinar yang kamu belanjakan untuk sedekah dan satu dinar yang kamu belanjakan untuk keluargamu, yang paling utama adalah satu dinar yang kamu belanjakan untuk keluargamu.”

Di antara mereka ada yang berkata, “Menikah membuat orang cenderung kepada dunia.”

Diriwayatkan kepada kami dari Abu Sulaiman ad-Darani bahwa dia berkata, “Bila seseorang mencari hadits atau melakukan perjalanan untuk mencari rizki atau menikah maka dia cenderung kepada dunia.”

Penulis berkata, bahwa semua ini menyelisihi syariat. Bagaimana seseorang tidak mencari hadits sementara para malaikat menaungkan sayap-sayap mereka kepada pencari ilmu

Bagaimana seseorang tidak bekerja mencari rizki sementara Umar bin al-Khatthab berkata, “Aku mati di atas kedua kakinya sementara aku mencari rizki yang bisa menjaga kehormatanku adalah lebih aku cintai daripada aku mati sebagai pejuang di jalan Allah.”

Saya tidak melihat keadaan-keadaan ini kecuali ia menyimpang dari syariat.

Sebagian orang dari kalangan orang-orang sufi muta‘akhkhirin, mereka tidak menikah agar dikatakan zahid (ahli zuhud), dan orang awam akan menghormati orang sufi yang tidak memiliki istri, mereka berkata, “Dia tidak mengenal seorang pun wanita.”

Inilah kehidupan rahib yang menyimpang dari syariat Islam.

Abu Hamid berkata, “Hendaknya murid tidak menyibukkan dirinya dengan menikah, karena ia menyibukkannya dari meniti jalan, dan cenderung kepada istri. Barangsiapa cenderung kepada selain Allah maka dia akan disibukkan dari Allah.”

Penulis berkata, “Sungquh saya sangat heran terhadap kata-kata orang ini! Apakah dia tidak tahu bahwa barangsiapa menikah dengan tujuan menjaga dirinya, mendapatkan anak atau menjaga diri istrinya, maka dia tidak menyimpang dari jalan yang benar.”

Atau dia melihat, bahwa kecenderungan yang wajar kepada istri bertentangan dengan kecenderungan hati dari ketaatan kepada Allah, sementara Allah telah melimpahkan kenikmatan kepada manusia dalam firmanNya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanINva di antaramu rasa kasih dan sayang.” (QS. ar-Rum: 21).

Dalam hadits hasan shahih dari Jabir dari Nabi bahwa beliau bersabda kepadanya, “Mengapa kamu tidak menikahi gadis, kamu mencumbunya dan dia mencumbumu?”

Nabi tidak menunjukkan Jabir kepada apa yang memutuskan kecenderungannya dengan Allah.

Apakah Anda melihat tatkala Rasulullah bercengkerama dengan para istrinya, berlomba lari dengan Aisyah, apakah hal itu mengeluarkan beliau dari kecintaannya kepada Allah? Semua itu adalah kebodohan.

Dampak Buruk Tidak Menikah

Ketahuilah bila anak-anak muda sufi meninggalkan pernikahan secara terus menerus, maka mereka akan terjatuh kepada tiga perkara:

> Pertama: Sakit karena tertahannya air mani, karena bila air ini tertahan, ia bisa membahayakan seseorang.

Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi berkata, “Aku mengenal orang-orang yang mempunyai hasrat kuat, tatkala mereka menjauhi hubungan suami istri karena terpengaruh oleh semacam filsafat, badan mereka kering, gerakan mereka kaku, mereka ditimpa kesedihan tanpa sebab, mengalami halusinasi dan selera maupun nafsu makan mereka menyusut.”

Dia berkata, “Aku melihat seorang laki-laki meninggalkan jima’, maka dia kehilangan nafsu makan, bila dia makan walaupun sedikit, perutnya tidak mau menerima dan memuntahkannya dan tatkala dia kembali melakukan jima’, lenyaplah hal-hal ini dengan cepat.”

> Kedua: Berlari kepada apa yang ditinggalkan, di antara mereka ada orang-orang dalam jumlah yang tidak sedikit menahan diri dengan tidak melakukan hubungan suami istri, akibatnya air mani mereka tertahan, mereka gelisah dan akhirnya mereka tidak kuat hingga mereka pun jatuh ke dalam pelukan wanita dan mereguk dunia berkali-kali lipat dari apa yang mereka hindari sebelumnya. Mereka seperti orang yang tidak makan berhari-hari, kemudian dia makan dengan rakusnya sebagai balas dendam.

> Ketiga: Menyimpang dengan bergaul dengan anak-anak muda, sebagian orang dari mereka memutuskan diri untuk meninggalkan jima’, maka mereka gelisah karenanya, lalu mereka mendapatkan ketenangan dengan bergaul bersama anak-anak.

Iblis mengacaukan sebagian orang dari mereka, mereka menikah namun mereka berkata, “Kami menikah bukan karena hasrat.”

Bila maksud mereka adalah bahwa menikah secara umum adalah demi sunnah, maka hal ini tidak masalah, namun bila mereka berkata bahwa mereka tidak berhasrat kepada pernikahan maka hal itu benarbenar mustahil.

Kebodohan telah mémbawa beberapa orang, maka mereka mengebiri diri mereka, mereka beralasan bahwa mereka melakukannya karena malu kepada Allah.

Kebodohan yang sangat mendalam, karena Allah memuliakan laki-laki atas wanita dengan alat ini, Allah menciptakannya sebagai alat untuk menjaga keturunan, orang yang mengebiri dirinya berkata dengan lisan keadaanya, “Yang benar adalah sebaliknya.”

Kemudian mengebiri tidak memutus syahwat kepada pernikahan dari jiwa, apa yang mereka maksud tidak terwujud.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi yang Menolak Anak

Dari Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Orang yang menginginkan anak adalah orang dungu, tidak untuk dunia dan tidak pula untuk akhirat. Bila dia ingin makan atau tidur atau berhubungan suami istri, maka anak mengganggunya, bila dia ingin beribadah maka anak menyibukkannya.”

Penulis berkata, “Ini merupakan kesalahan besar, sedangkan penjelasannya begini, maksud Allah dengan menciptakan dunia adalah kelangsungannya sampai batas yang telah Dia tetapkan, manusia sebagai penghuninya tidak hidup kecuali dalam rentang masa yang pendek, maka Allah menciptakan generasi sebagai penerus bagi generasi sebelumnya, Allah mendorong kepada sebab terciptanya generasi penerus sesuai dengan tabiat manusia dengan menyalakan api syahwat pada dirinya, di samping dari sisi syariat dengan firmanNya:

“Dan kawinkanlah orang-orang vang sendirian di antara karnu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari harmba-hamba sahayamu yang lelaki…” (QS. an-Nur: 32).

Para nabi memohon anak kepada Allah. Allah berfirman menceritakan perihal mereka:

“Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (QS. Ali Imran: 38).

“Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat,” (QS. Ibrahim: 40).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

Orang-orang shalih berusaha mendapatkan anak, terkadang sebuah hubungan suami istri yang melahirkan seorang anak seperti asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, hingga hubungan tersebut lebih baik daripada ibadah seribu tahun.

Hadits-hadits hadir menetapkan pahala hubungan suami istri, memberi nafkah anak-anak dan keluarga, siapa yang ditinggal mati anaknya, siapa yang meninggalkan anak sesudahnya. Barangsiapa tidak berminat mempunyai anak dan menikah, maka dia menyimpang dari sunnah dan keutamaan, gagal meraih pahala besar. Dan barangsiapa memilih hidup cara ini maka sebenarnya dia hanya ingin bermalas-malasan.

Al-Junaid berkata, “Anak-anak adalah hukuman syahwat halal, lalu apa dugaanmu dengan hukuman yang haram?!”

Penulis berkata, “Ini keliru, karena menamakan sesuatu yang mubah dengan hukuman tidak bagus, karena ia berarti bahwa sesuatu tidak dibolehkan lalu ia menimbulkan sesuatu yang lain dan ia merupakan hukuman, padahal sesuatu tersebut tidaklah dianjurkan melainkan membuahkan berupa pahala.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi dalam Mengembara dan Melakukan Safar

Iblis telah mengacaukan banyak orang dari mereka. Dia mengeluarkan mereka kepada pengembaraan tanpa tujuan dan juga bukan untuk mencari ilmu. Kebanyakan dari mereka pergi sendiri, tidak membawa bekal dan dia berkata bahwa perbuatannya adalah tawakal. Berapa banyak dia kehilangan keutamaan dan kewajiban sementara dia melihat perbuatannya sebagai ketaatan, bahwa ia mendekatkan mereka untuk menjadi wali Allah, padahal sebenarnya dia termasuk pendosa penyelisih sunnah Rasulullah.

Mengembara dan pergi tanpa tujuan, Rasulullah telah melarang melakukan perjalanan di muka bumi tanpa hajat dan keperluan. Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunannya?” dari hadits Abu Umamah bahwa seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, izinkan aku mengembara.” Nabi menjawab, “Sesungguhnya pengembaraan umatku adalah jihad di jalan Allah.”

Penulis berkata, bahwa Ishaq bin Ibrahim bin Hani’ meriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa dia ditanya tentang seorang laki-laki yang berkelana, beribadah atau menetap di suatu tempat, mana yang lebih engkau sukai? Ahmad menjawab, “Berkelana bukan termasuk dari Islam, . bukan pula perbuatan para nabi dan orang-orang shalih.

Kritik Terhadap Berkelana Orang-orang Sufi

Adapun keluar berkelana sendiri, maka Rasulullah telah melarang seseorang melakukan perjalanan sendiri. Dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi bersabda, “Seorang pengendara adalah setan, dua orang adalah dua setan dan tiga adalah rombongan pengendara, “

Berjalan di Malam Hari

Mereka berjalan sendiri di malam hari. Padahal Nabi telah melarang perbuatan ini. Dari Ibnu Umar berkata, bahwa Nabi bersabda:

“Seandainya manusia mengetahui apa yang ada di balik kesendirian niscaya seseorang tidak berjalan di malam hari sendiri.”

Dari Jabir bin Abdillah berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Hentikan bepergian bila kaki-kaki telah tenang (lelah), karena Allah menyebarkan pada makhlukNya apa yang Dia kehendaki. “
Penulis berkata, “Di antara mereka ada yang menjadikan safar sebagai pekerjaan, padahal safar bukan merupakan tujuan, Nabi bersabda: “Safar adalah pecahan dari adzab, bila salah seorang dari kalian telah menunaikan hajatnya dalam safarnya maka hendaknya pulang dengan segera ke rumahnya. “

Barangsiapa menjadikan safar sebagai kebiasaan, maka dia telah menyatukan dua perkara, menyia-nyiakan umur dan menyiksa dirinya, sedangkan keduanya adalah tujuan yang rusak.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi yang Masuk Padang pasir Tanpa Bekal

Penulis berkata, “Iblis mengacaukan banyak orang dari kalangan mereka, dia membisikkan kepada mereka keyakinan bahwa tawakal adalah meninggalkan bekal, dan kami telah menjelaskan bahwa keyakinan ini rusak.”

Namun perkara ini sudah terlanjur menyebar di kalangan orang-orang bodoh dari mereka, lalu para tukang kisah dunqu bercerita tentang mereka sebagai ungkapan kekaguman kepada mereka, padahal hal itu sama dengan mengajak orang-orang untuk melakukan seperti apa yang mereka lakukan.

Karena perbuatan orang-orang sufi bodoh itu, di tambah kisah dari para tukang cerita yang mengada-ada, maka keadaan menjadi rusak dan jalan kebenaran menjadi samar bagi orang-orang awam.

Kisah-kisah tentang mereka berjumlah banyak, saya menyebutkan sebagian darinya.

Dari Fath al-Mushili berkata, “Aku berangkat haji, di tengah-tengah padang pasir, aku melihat seorang anak, dan aku berkata dalam diriku, “Aneh, padang pasir dan tanah kering, ada seorang anak?” Maka aku segera mendekat kepadanya, dan aku mengucapkan salam kepadanya, kemudian aku berkata, “Wahai anakku, kamu masih kecil, hukum-hukum belum berlaku atasmu.” Dia menjawab, “Wahai paman, ada anak yang lebih kecil dariku yang telah mati.” Aku berkata, “Lebarkanlah langkahmu, jalan masih jauh hingga kamu bisa tiba di tujuan.” Dia berkata, “Wahai paman, tugasku hanyalah berjalan, dan Allah yang akan menyampaikan. Apakah engkau tidak membaca firmanNya:

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al-Ankabut: 69)?”

Aku berkata, “Aku melihatmu tidak membawa bekal dan kendaraan.” Dia menjawab, “Wahai paman, bekalku adalah keyakinanku, kendaraanku adalah harapanku.” Aku berkata, “Roti dan air?” Dia menjawab, “Paman, katakan kepadaku sekiranya ada seorang saudaramu atau seorang temanmu yang mengundangmu ke rumahnya, apakah engkau memandang baik bila engkau berangkat ke rumahnya dengan membawa makanan?” Aku berkata, “Maukah aku beri bekal?” Dia menjawab, “Menjauhlah dariku wahai pemalas, Dialah yang akan memberiku makan dan minum.”

Fath berkata, “Aku tidak melihat anak-anak yang paling kuat tawakalnya selainnya, dan aku tidak melihat orang dewasa yang lebih kuat zuhudnya selainnya.”

Penulis berkata, “Dengan kisah seperti ini, kehidupan menjadi rusak, dikira bahwa inilah yang benar, lalu orang dewasa berkata, ‘Bila hal ini dilakukan oleh anak-anak, maka aku lebih patut untuk mengamalkannya.’”

Tidak aneh dari anak tersebut, justru yang aneh adalah orang yang bertemu dengannya, bagaimana bisa dia tidak memberitahunya bahwa perbuatannya adalah mungkar, dan bahwa Allah yang menyerumu adalah yang memerintahkanmu untuk berbekal?!

Akan tetapi orang-orang dewasa mereka melakukan ini, maka tidak heran bila hal itu diikuti oleh anak-anak mereka.

Dari Ahmad bin Ali berkata, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Abu Abdullah bin al-Jala, “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang masuk padang pasir tanpa bekal?” Dia menjawab, “Perbuatan itu termasuk perbuatan orang-orang Allah.” Penanya berkata, “Bila mati bagaimana?” Dia menjawab, “Diyatnya dipikul oleh yang membunuhnya.”

Penulis berkata, “Fatwa orang bodoh terhadap hukum syariat, karena tidak ada perbedaan di antara para fuqaha” Islam bahwa seseorang tidak boleh masuk ke padang pasir tanpa bekal. Barangsiapa melakukannya lalu dia mati karena kelaparan, maka dia adalah pendurhaka kepada Allah, dan berhak masuk neraka.”

Demikian juga bila seseorang memasukkan dirinya ke dalam sesuatu yang akibatnya celaka, karena Allah menetapkan bahwa jiwa ini adalah titipanNya di tangan kita:

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. an-Nisa’: 29).

Seandainya musafir yang berangkat tanpa bekal, tidaklah ia melakukan melainkan ia menyelisihi perintah Allah dalam firmanNya:

“Berbekallah.” (QS. al-Baqarah: 197), niscaya hal itu sudah cukup untuk dilarang.

Dari Abu Abdullah bin Khafif berkata, “Aku keluar meninggalkan Syiraz dalam perjalanan ketigaku, aku tersesat di padang pasir sendiri, aku lapar dan haus yang membuat delapan gigiku tanggal dan rambut rontok seluruhnya.”

Penulis berkata, “Orang ini menceritakan kejadian yang menimpa dirinya yang secara zhahir dia berharap dipuji karenanya, maka yang pantas baginya adalah celaan bukan sanjungan!”

Dari Abu Hamzah ash-Shufi berkata, “Sesungguhnya aku malu kepada Allah bila aku masuk padang pasir dalam keadaan kenyang padahal aku sudah meyakini tawakal, dan aku tidak ingin kekenyanganku adalah bekal yang aku bawa.”

Saya berkata, “Masalah ini telah dibahas sebelumnya. mereka adalah orang-orang yang menyangka bahwa tawakal adalah meninggalkan sebab. Seandainya tawakal adalah demikian, niscaya Kasulullah 2 sudah keluar dari lingkaran tawakal saat beliau keluar dari Makkah ke gua, demikian juga Musa saat dia pergi mencari al-Khadir, dia membawa bekal ikan. Demikian para pemuda Ashabul Kahfi, saat mereka pergi, mereka membawa uang dan menyembunyikan apa yang mereka bawa.”

Orang-orang itu tidak memahami makna tawakal karena mereka adalah orang-orang bodoh.

Abu Hamid mencoba mencari-cari alasan untuk mereka, dia berkata, “Tidak boleh masuk ke padang pasir tanpa bekal kecuali dengan dua syarat: .

Pertama: Seseorang sudah melatih dirinya, dan dia mampu tidak makan selama seminggu atau kurang lebih.

Kedua: Dia bisa makan rumput, karena tidak tertutup kemungkinan seseorang bertemu dengan orang di padang pasir dalam seminggu atau dia menemukan bungkusan atau rerumputan yang bisa dia makan.”

Penulis berkata, “Yang paling buruk di balik kata-kata ini adalah bahwa ia diucapkan oleh ahli fikih, karena orang tersebut bisa jadi tak bertemu siapa pun, dan bisa saja tersesat atau sakit, hingga rerumputan tak bermanfaat baginya, atau bisa jadi dia bertemu dengan orang yang tak mau berbagi makanan atau bertemu dengan orang yang menolak menerimanya sebagai tamu, yang jelas dia kehilangan keutamaan berjamaah, dan bisa jadi dia mati dan tak seorang pun peduli kepadanya. Dan Kami sudah menyebutkan hadits yang melarang seseorang melakukan perjalanan sendiri.

Lantas di mana jalan keluar dari ujian ini, bila dia bersandar kepada kebiasaan atau berharap bertemu seseorang dan merasa cukup dengan makan rerumputan?!

Keutamaan apa di balik keadaan yang mana dia telah membahayakan dirinva padanya?! Di mana perintah kepada seseorang untuk makan rerumputan?! Siapakah dari kalangan salaf yang melakukannya?! Sepertinya orang-orang itu yakin bahwa Allah akan memberi mereka makan di padang pasir.

Barangsiapa mencari makanan di padang pasir yang tandus, maka dia telah mencari sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan, tidakkah Anda tahu bahwa tatkala kaum Musa meminta sayur-sayuran, ketimun, kacangkacangan dan adas serta bawang merah, maka Allah mewahyukan kepada Musa:

“Pergilah kamu ke suatu kota,” (QS. al-Baqarah: 61), karena apa yang mereka cari ada di kota.

Sementara orang-orang itu sangat keliru karena telah menyelisihi syariat dan akal, mereka hanya berbuat yang sejalan dengan hawa nafsu.

Dari Muhammad bin Musa al-Jurjani berkata, “Aku bertanya kepada Muhammad bin Katsir ash-Shan’ani tentang ahli zuhud yang pergi tanpa berbekal, tanpa bersandal dan tanpa berkhuf, dia menjawab, ‘Kamu bertanya kepadaku tentang anak-anak setan dan bukan ahli zuhud.’ Aku berkata kepadanya, ‘Lalu zuhud itu apa?’ Dia menjawab, ‘Berpegang kepada sunnah dan meneladani para shahabat Nabi.’”

Dari Ahmad bin al-Husain bin Hassan bahwa Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal ditanya tentang seorang laki-laki yang hendak melakukan _perjalanan di padang pasir tanpa bekal, maka beliau mengingkarinya dengan keras, beliau berkata, “Tidak, tidak, jangan, jangan! Beliau meninggikan suaranyakecuali dengan bekal dan kafilah yang menyertainya.”

Abu Bakar al-Marwazi berkata, “Ada seorang laki-laki datang kepada Abu Abdullah, dia berkata, “Seorang laki-laki hendak safar, apa yang lebih engkau sukai, membawa bekal atau bertawakal?” Abu Abdullah menjawab, “Membawa bekal dan bertawakal agar tidak meminta-minta kepada kepada orang-orang.”

Dari Ahmad bin Nashr bahwa ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Abu Abdullah, “Apakah seorang laki-laki pergi ke Makkah dengan tawakal tanpa membawa bekal?” Beliau menjawab, “Tidak patut, dari mana dia makan?” Dia menjawab, “Bertawakal lalu orang-orang memberinya.” Ahmad berkata, “Bila tak ada yang memberi, bukankah dia akan meminta agar mereka memberi? Aku tidak menyukai hal ini, dan tak seorang pun sahabat maupun tabi’in yang melakukannya sampai kepadaku.”

Dari al-Husain ar-Razi berkata, “Aku bersama Ahmad bin Hanbal, seorang laki-laki Khurasan datang kepadanya, dia berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku mempunyai satu dirham, aku menunaikan haji dengan satu dirham ini.” Ahmad menjawab, “Pergilah ke gerbang al-Karkh, belilah tambang dengan satu dirham itu, bawalah ia di atas kepalamu

hingga ia menjadi tiga ratus dirham, setelah itu berangkatlah haji.” Dia berkata, “Wahai Abu Abdullah, tidakkah Anda melihat hasil usaha orang-orang?” Ahmad berkata, ‘Jangan melihat kepada hal itu, karena siapa yang berhasrat kepadanya hanya akan merusak kehidupan masyarakat.” Dia berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku bertawakal.” Ahmad berkata, “Kamu masuk ke padang pasir sendiri atau bersama orang-orang?” Dia menjawab, “Bersama orang-orang.” Ahmad berkata, “Kamu dusta kalau begitu, kamu bukan orang yang bertawakal. Masuklah ke padang pasir sendiri, bila bersama orang-orang maka sama saja kamu bergantung kepada makanan mereka!”

Sebagian dari Perbuatan-perbuatan Kaum Sufi yang Menyelisihi Syariat yang Terjadi Pada Mereka dalam Perjalanan dan Pengembaraan Mereka

Abu Hamzah al-Khurasani berkata, “Di salah satu tahun aku menunaikan ibadah haji, saat aku berjalan di sebuah jalan, aku terjatuh ke dalam sumur, dan diriku mengajakku untuk meminta tolong, namun aku berkata dalam diriku, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan meminta tolong.” Apa yang terlintas dalam benakku belum selesai, tiba-tiba ada dua orang yang melewati mulut sumur, dan salah seorang dari keduanya berkata kepada rekannya, “Kita tutup mulut sumur di jalan ini.” Mereka datang membawa bambu dan sepotong kain, maka aku bergumam, lalu berkata, “Kepada siapa yang lebih dekat kepadaMu dari keduanya!” Aku pun diam dan mereka menutup mulut sumur, tiba-tiba ada sesuatu yang datang, ia membuka mulut sumur dan menjulurkan kedua kakinya, dia berkata dengan bergumam, “Peganglah ini.” Maka aku memegangnya, dan dia pun mengeluarkanku, aku melihat ternyata ia adalah binatang buas, tiba-tiba sebuah suara terdengar olehku, dia berkata, “Wahai Abu Hamzah, bukankah ini baik? Kami menyelamatkanmu dari kematian dengan kematian.”

Manakala dia keluar dari sumur, dia berkata:

Maluku kepadaMu melarangku membuka keinginan maka Engkau mencukupkanku dengan kedekatan kepadaMu hingga aku tak perlu rmembuka Engkau mengawasiku di belakangku hingga seolah-olah . Engkau memberiku kabar gembira di belakangku bahwa Engkau di telapak tangan Aku melihatMu dalam keadaan cernas karena ketakutanku kepadaMu ; . Dan Engkau menenangkanku dengan kasih sayang dan kelernbutanMu. Engkau menghidupkan orang yang mencintat, cinta adalah kematiannya ; Engkau mencukupkanku dengan kedekatan kepadaMu hingga aku tak perlu membuka.

Penulis berkata, para ulama berbeda pendapat tentang siapa Abu Hamzah yang jatuh ke dalam sumutr ini. Abu Abdurrahman as-Sulami berkata, “Dia adalah al-Khurasani, salah seorang rekan al-Junaid.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa dia ad-Dimasyqi.

Abu Nuaim al-Hafizh berkata, “Dia adalah al-Baghdadi, namanya adalah Muhammad bin Ibrahim.”

Al-Khathib menyebutkannya dalam Tarikhnya dan dia menyebutkan hikayat ini untuknya.

Siapa pun dia, dia telah keliru dalam perbuatannya, menyelisihi syariat karena dia diam, membantu mencelakakan dirinya sendiri dengan diam. Semestinya dia berteriak dan menolak penutupan sumur, sebagaimana dia harus membela diri dari orang yang hendak membunuhnya.

Ucapannya, “Aku tidak minta tolong”, adalah seperti ucapan orang, “Aku tidak makan, dan tidak minum.” Kebodohan pelakunya, menyelisihi hikmah ditetapkannya dunia. Karena sesungguhnya Allah menetapkan segala sesuatu atas dasar hikmah, Allah memberi manusia tangan untuk membela diri, lidah untuk berbicara, akal yang membimbingnya untuk menolak hal-hal berbahaya darinya dan menghadirkan hal-hal yang bermanfaat baginya, dan menjadikan makanan dan obat-obatan untuk kebaikan manusia. Barangsiapa tidak mau menggunakan apa yang diciptakan untuknya dan dibimbing kepadanya, maka dia menolak ketetapan syariat dan membuang hikmah Pencipta.

Bila orang bodoh berkata, “Bagaimana saya menghindari sesuatu yang sudah ditakdirkan?” Kami menjawab, bagaimana tidak demikian sementara Allah berfirman:

“Bersiap siagalah kamu,” (QS. an-Nisa~: 71).

Nabi sendiri bersembunyi di gua, beliau tidak berkata, “Aku berangkat dengan bertawakal.” Nabi melakukan sebab-sebab dengan badannya sementara hatinya bergantung kepada Yang menentukannya. Kami telah menjelaskan dasar ini sebelumnya dengan sebaik-baiknya pada pembahasan yang telah lewat.

Ucapan Abu Hamzah, “Aku dipanggil melalui batinku.” Ini adalah bisikan jiwa bodoh yang menetap pada jiwanya karena kebodohan bahwa tawakal adalah meninggalkan sebab-sebab, karena syariat tidak meminta dari seseorang apa yang ia melarangnya darinya.

Bukankah dia telah menentang panggilan batinnya tatkala dia menjulurkan tangannya, dan berkait serta berpegang kepada apa yang terjulur kepadanya. Hal ini membatalkan apa yang diklaimnya, yaitu meninggalkan sebab yang dia sebut tawakal, karena apa bedanya antara ucapannya, “Aku di dalam sumur.” Dengan berpegangnya dia kepada apa yang diulurkan kepadanya?! Tidak demikian, bahkan yang kedua ini lebih ditekankan, karena perbuatan lebih kuat daripada kata-kata. Mengapa dia tidak diam sama hingga dientas dari sumur tanpa sebab?!

Bila dia berkata, “Ini adalah apa yang dikirim oleh Allah kepadaku.” Kami menjawab, bahwa dua orang yang melewati sumur juga dikirim oleh Allah juga. Lidah yang berteriak meminta tolong adalah makhluk Allah. Seandainya dia meminta tolong maka dia menggunakan sebab-sebab yang Allah ciptakan, supaya dia mengambil manfaat darinya, dan menolak bahaya dengannya. Lalu mengapa dia tak menggunakannya?! Diamnya erang ini sama dengan membuang sebab-sebab vang Allah ciptakan baginyva dan menolak hikmah, maka dia patut disalahkan karena tidak mengaikuti sebab.

Dari Mu’ammil al-Mughabi berkata, aku menemani Muhammad bin as-Samin, aku safar bersamanya antara Tikrit dengan al-Maushil, saat kami di sebuah padang pasir sedang berjalan, kami mendengar auman binatang buas di dekat kami, aku takut dan pucat, hal itu terlihat pada wajahku, aku bertekad untuk mengambil langkah seribu, namun dia menahanku dan berkata, “Mu’ammil, tawakal ada di sini bukan di masjid jami’.”

Penulis berkata, “Saya tidak ragu bahwa dampak tawakal terlihat pada pemiliknya dalam kondisi yang sulit, akan tetapi bukan termasuk syarat tawakal berserah diri kepada hewan buas, karena hal itu tidak boleh.”

Dari sebagian syaikh bahwa ada seseorang berkata kepada Ali arRazi, “Mengapa kami tak melihatmu bersama Abu Thalib al-Jurjani?” Dia menjawab, “Kami berkelana, kemudian kami tidur di sebuah tempat yang ada hewan buasnya. Tatkala dia melihatku tidak bisa tidur, dia pun mengusirku sambil berkata, “Jangan mengikutiku sesudah ini.”

Saya berkata, “Abu Thalib ini telah melakukan pelanggaran, dia ingin rekannya merubah tabiat yang Allah menciptakannya atasnya, padahal hal itu bukan dalam batas kesanggupannya dan kemampuarinya, dan syariat juga tidak menuntut hal seperti ini. Musa sendiri tak kuasa mengatasi hal seperti ini saat dia berlari dari ular.” .

Maka semua ini bermula dari kebodohan.

Dari Ahmad bin Ali al-Wajdi berkata, “Ad-Dinawari menunaikan ibadah haji sebanyak dua belas kali berjalan kaki tanpa sandal dan tanpa menutup kepalanya, bila kakinya tertusuk duri, maka dia menggosokgosok kakinya ke tanah, dan berjalan menunduk karena tawakalnya yang besar.”

Penulis berkata, “Lihatlah apa yang dilakukan kebodohan terhadap pemiliknya, padahal bukan termasuk ibadah kepada Allah berjalan di padang pasir tanpa alas kaki dan tanpa menutup kepala, karena ia sama dengan menyakiti diri sendiri.”

Ibadah apa yang terwujud dengan perbuatan ini? Kalau bukan karena diwajibkannya membuka kepala saat ihram, niscaya membukanya tak berarti apa-apa.

Siapa yang memerintahkannya untuk membiarkan duri tertancap pada kakinya?! Ibadah apa yang terwujud dengannya?!

Seandainya kakinya membengkak karena duri yang tertancap di dalam kakinya dan ia mati karenanya maka dia telah membunuh dirinya sendiri. Bukankah menggosok kaki ke tanah hanya menolak sebagian dampak buruk duri, lalu mengapa dia tidak membuang sisanya dengan mencabutnya?!

Di mana letak tawakal pada perbuatan-perbuatan yang menyelisihi syariat dan akal yang keduanya memerintahkan manusia agar berusaha meraih apa yang bermanfaat bagi jiwa dan menolak apa yang membahayakannya?

Oleh karena itu syariat membolehkan orang yang terkena dampak buruk ihram untuk melanggar kehormatan ihram, memakai pakaian berjahit, menutup kepalanya dan membayar fidyah.

Aku mendengar Abu Ubaid berkata, “Aku mengetahui seseorang berakal tatkala aku melihatnya berjalan di bawah bayangan dan meninggalkan terik matahari.”

Dari Sufyan ats-Tsauri berkata, “Barangsiapa lapar dan dia tidak meminta hingga ia mati, maka dia masuk neraka.”

Penulis berkata, “Lihatlah betapa bagusnya ungkapan para fuqaha’. Penjelasannya adalah bahwa Allah memberi orang lapar kemampuan untuk mencari sebab. Bila sebab-sebab lahir sudah tidak ada maka dia masih memiliki kesanggupan meminta yang merupakan usaha orang sepertinya dalam kondisi itu, tapi bila dia tidak melakukannya maka dia telah melalaikan hak dirinya yang merupakan titipan Allah padanya, sehingga dia pun berhak dihukum.”

Dari Abu al-Daqqaq berkata, “Aku datang kepada sebuah kabilah Arab sebagai tamu, kemudian aku melihat seorang anak gadis yang cantik, dan aku memandang kepadanya, maka aku mencongkel kedua mataku yang telah melihat kepadanya, aku berkata, ‘Orang sepertimu siapa yang melihat karena Allah!”

Saya berkata, “Lihatlah kebodohan laki-laki yang patut dikasihani ini terhadap syariat dan jauhnya dia darinya, bila dia melihat tanpa sengaja maka tidak ada dosa atasnya, dan bila dengan sengaja, maka dia melakukan dosa kecil yang cukup ditutup dengan penyesalan, namun dia malah menambahnya dengan dosa besar, yaitu mencongkel kedua matanya dan tidak bertaubat darinya, karena dia meyakini bahwa mencongkel mata adalah ibadah yang mendekatkannya kepada Allah. Barangsiapa meyakini apa yang dilarang sebagai ibadah, maka kesalahannya mencapai puncaknya.”

Mungkin dia mendengar sebuah hikayat tentang seseorang dari kalangan Bani Israil bahwa dia melihat kepada seorang wanita, lalu dia mencongkel matanya, kebenaran kisah ini tidak dipertanggungjawabkan, di samping ada kemungkinan ia boleh dalam syariat mereka, adapun syariat kita maka hal itu diharamkan.
Seolah-olah mereka membuat-buat sebuah syariat baru yang mereka. sebut dengan tasawuf dan meninggalkan syariat Nabi mereka Muhammad. Kami berlindung kepada Allah dari talbis Iblis.

Dari Abu al-Husain Ali bin Ahmad al-Bashri, budak Sya’wanah, dia berkata, “Sya’wanah mengabarkan kepadaku bahwa di kalangan tetangganya ada seorang wanita shalihah, suatu hari dia pergi ke pasar, sebagian orang melihatnya dan tergila-gila kepadanya, dia membuntutinya sampai di depan pintu rumahnya. Wanita itu bertanya kepada laki-laki yang mengikutinya, ‘Apa yang kamu ingin dariku?’ Laki-laki itu menjawab; ‘Aku tergila-gila kepadamu.’ Wanita itu bertanya, ‘Apa yang kamu kagumi dariku?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Kedua matamu.’ Lalu wanita itu masuk rumah, mencongkel kedua matanya lalu dia mendekat ke pintu dan melemparkan mata yang dicongkel kepada laki-laki itu sambil berkata, ‘Ambillah, Allah tidak memberkahimu.’”

Penulis berkata, “Wahai saudara-saudaraku, lihatlah bagaimana Iblis mempermainkan orang-orang bodoh, laki-laki itu melakukan dosa kecil karena melihat, sementara wanita itu melakukan dosa besar, kemudian dia menyangka apa yang dilakukannya adalah ketaatan, padahal sepatutnya wanita itu tidak berbicara dengan laki-laki asing.”

Di antara mereka ada yang berperilaku sebaliknya, sebagaimana yang diriwayatkan dari Dzin Nun al-Mishri dan lainnya bahwa dia berkata, “Aku bertemu dengan seorang wanita di padang pasir, aku berkata kepadanya dan dia menjawab kata-kataku.” Padahal ini haram baginya!

Ada seorang wanita yang berilmu yang mengingkari perbuatan ini, sebagaimana yang diucapkan oleh Muhammad bin Ya’qub al-Urji berkata, aku mendengar Dzin Nun berkata, “Aku melihat seorang wanita di sekitar bumi al-Bajjah maka aku memanggilnya.” Dia menjawab, “Kaum laki-laki tidak pantas mengajak berbicara wanita, kalau akalrmu penuh niscaya aku sudah melemparmu dengan batu.”

Dari Abu Sa’ id al-Kharraz berkata, “Aku pernah masuk ke padang pasir tanpa bekal, maka aku ditimpa kesulitan, dan aku melihat perkampungan dari kejauhan. Aku bahagia telah sampai di perkampungan, namun tiba-tiba aku berpikir bahwa aku telah mengeluh kepada selain Allah dan bertawakal kepadanya, maka aku bersumpah untuk tidak masuk kampung kecuali bila aku diajak ke sana, maka aku membuat galian dan ‘aku mengubur diriku sampai ke dada, di tengah malam aku mendengar suara yang berbisik, “Wahai penduduk kampung, sesungguhnya seorang wali Allah telah menahan dirinya di padang pasir, pergilah ke sana.” Maka beberapa orang datang, dan mengeluarkanku lalu membawaku ke kampung tersebut.”

Penulis berkata, “Laki-laki ini telah menyulitkan dirinya di atas tabiatnya, dia ingin darinya sesuatu yang tidak dibebankan atasnya, karena tabiat manusia adalah berhasrat kepada apa yang yang diinginkannya, tidak ada yang salah pada orang haus bila dia berharap air, dan tidak ada yang salah bagi orang lapar bila dia ingin makan, demikian juga setiap orang yang ingin meraih apa yang diinginkannya.

Kami berlindung kepada Allah agar kami tidak melakukan sebuah perbuatan tanpa tuntutan syariat dan akal sehat.

Kemudian dia menahan dirinya dengan menguburkannya hingga tidak shalat, ini benar-benar buruk. Di mana nilai ibadahnya di sisi Allah?!

Hal itu tiada lain kebodohan belaka.

Lihatlah semoga Allah merahmati kalian kepada kebodohan tersebut, bagaimana ia berbuat terhadap laki-laki ini yang sebenarnya ia termasuk orang baik, sekiranya dia memiliki ilmu niscaya dia mengetahui bahwa perbuatannya itu adalah haram. Iblis tidak memiliki bantuan yang paling ampuh untuk mengacaukan para ahli ibadah dan ahli zuhud melebihi kebodohan.

Dari Ahmad bin Ali bin al-Muhsin dari Abu Ishaq ath-Thabari berkata, bahwa Ja’far al-Khuldi berkata kepadaku, “Aku wukuf di Arafah sebanyak lima puluh enam kali, di antaranya dua puluh satu kali di atas madzhab.” Maka aku bertanya kepada Abu Ishaq, “Apa maksud ucapannya di atas madzhab?” Dia menjawab, “Dia naik ke jembatan an-Nasyiriyah, mengibaskan kedua lengan bajunya agar diketahui bahwa dia tidak membawa bekal dan air, lalu dia bertalbiyah dan berjalan.”

Penulis berkata, “Perbuatannya ini menyelisihi syariat, karena Allah berfirman, “Berbekallah.” (QS. al-Baqarah: 197) dan Rasulullah juga berbekal, dan tidak lah mungkin dikatakan bahwa laki-laki ini tidak membutuhkan apa pun dalam waktu beberapa bulan, bila dia membutuhkan dan tidak membawa bekal lalu dia sakit maka dia berdosa, bila dia meminta-minta atau memposisikan dirinya agar diberi, maka dia tidak konsekuen dengan dasar tawakalnya, sedangkan bila dia berkata dimuliakan dan diberi rizki tanpa sebab, maka pandangannya bahwa dia berhak atas itu adalah ujian.

Seandainya dia mengikuti perintah syariat dengan membawa bekal, niscaya hal itu lebih baik baginya dalam kondisi apa pun.

Dari Muhammad bin Thahir bahwa beberapa orang sufi dari Makkah datang kepadanya, maka dia bertanya kepada mereka, “Bersama siapa kalian?” Mereka menjawab, “Bersama orang yang haji dari Yaman.” Dia berkata, “Aduh, tasawuf telah sampai ke derajat orang ini?” Ataukah tawakal yang telah hilang. Kalian tidak datang di atas jalan itu dan tasawuf, sebaliknya kalian datang dari meja makan Yaman ke meja makan alHaram.”

Kemudian dia berkata, “Demi hak rekan-rekan dan anak-anak muda,” kami berernpat bersama-sama berjalan di jalan ini, kami berangkat ziarah kubur Nabi tanpa tendensi dunia, kami berjanji tidak menoleh kepada makhluk dan tidak bersandar kepada orang yang dikenal, kami datang ke kubur nabi, dan kami tinggal selama tiga hari, tak ada sesuatu pun yang dibukakan kepada kami, maka kami keluar menuju Juhfah, kami berhenti, sementara di depan kami ada beberapa orang Arab pedalaman, mereka memberi kami sawiq, dan sebagian dari kami memandang yang lain, dan berkata, ‘Kalau kita termasuk ahli urusan ini niscaya tidak akan dibukakan sesuatu untuk kami hingga kami masuk ke al-Haram, maka kami meminumnya dengan air, dan itulah makanan kami hingga kami tiba di Makkah.”

Saya berkata, “Dengarkanlah wahai saudara-saudaraku pada tawakal orang-orang itu, bagaimana tawakal mereka menghalang-halangi mereka untuk membawa bekal, sehingga mereka harus menerima sedekah.”

Kemudian dugaan mereka bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah tingkatan tasawuf, ini adalah kebodohan tentang tingkatan-tingkatan kemuliaan!

Di antara yang aku dengar tentang berita mereka dalam perjalananperjalanan mereka adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Abdurrahman as-Sulami, dia berkata, “Saya mendengar bahwa Abu Syuaib al-Muqqaffa’ telah menunaikan ibadah haji sebanyak tujuh puluh kali dengan berjalan kaki, berihram haji dan umrah dari batu besar di Baitul Maqdis, dan dia masuk pedalaman Tabuk dengan bertawakal. Pada hajinya yang terakhir, dia bertemu seekor anjing di padang pasir yang menjilat tanah karena haus, maka dia berkata, ‘Siapa yang menukar seteguk air dengan hajiku?’ Lalu seseorang memberinya seteguk air, kemudian dia memberikannya kepada anjing, lalu dia berkata, ‘Ini lebih baik bagiku daripada hajiku karena Nabi bersabda, ‘Pada setiap pemilik hati yang basah terdapat pahala.’”

Saya katakan, “Aku menceritakan kisah seperti ini agar orang yang berakal menjauhi ilmu mereka dan pemahaman mereka terhadap tawakal dan lainnya, agar dia melihat bahwa mereka telah menyelisihi perintahperintah syariat.”

Duhai gerangan diriku, apa yang bisa dilakukan oleh orang yang melakukan perjalanan tanpa membawa apa pun, bagaimana dia bisa berwudhu dan shalat?! Bila bajunya robek dan dia tidak membawa jarum, apa yang dilakukannya?

Sebagian syaikh mereka memerintahkan murid-muridnya agar berbekal sebelum safar.

Dari al-Farghani berkata, “Ibrahim al-Khawwash adalah orang yang bertawakal tinggi, dia teliti dalam hal ini, namun dia selalu membawa jarum, benang, bejana dan gunting.” Dia ditanya, “Wahai Abu Ishaq, mengapa engkau mengambil semua ini sedangkan engkau dilindungi dari segala sesuatu?” Dia menjawab, “Hal seperti ini tidak merusak tawakal, karena Allah mempunyai kewajiban-kewajiban atas kita, orang miskin hanya punya satu pasang baju, terkadang bajunya robek, bila dia tidak mempunyai jarum dan benang, maka auratnya terlihat, sehingga shalatnya tidak sah, dan bila dia tidak membawa bejana maka wudhunya rusak. Bila kamu melihat orang miskin tanpa bejana, jarum dan benang, maka ragukanlah shalatnya.”

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Bila Mereka Datang dari Safar

Di antara madzhab mereka, bila musafir datang, dia masuk ke pos yang di sana ada beberapa orang, dia tidak mengucapkan salam kepada mereka hingga dia masuk ke tempat wudhu lalu berwudhu, kemudian shalat dua rakaat, lalu memberi salam kepada syaikh kemudian salam kepada hadirin.

Hal ini termasuk rekayasa kalangan muta’akhkhirin ‘mereka yang menyimpang dari syariat, karena para fuqaha~ Islam telah bersepakat bahwa siapa yang datang kepada suatu kaum, disunnahkan baginya untuk mengucapkan salam kepada mereka, baik dia dalam keadaan suci atau tidak, kecuali bila mereka mengambil ajaran ini dari anak-anak, karena bila seorang anak ditegur, “Mengapa kamu tidak mengucapkan salam kepada kami?” Maka dia menjawab, “Aku belum membasuh wajahku.” Atau justru anak-anak yang belajar dari para ahli bid’ah tersebut.

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Hendaknya anak-anak mengucapkan salam kepada orang dewasa, orang berjalan kepada orang yang duduk dan yang sedikit kepada yang banyak.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain. Mereka memiliki bid’ah-bid’ah dan perkara-perkara yang mengadaada lainnya dalam pengembaraan mereka.

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Tatkala Salah Seorang dari Mereka Mati

Dalam masalah ini mereka memiliki dua kerancuan:

Pertama: Mereka berkata, “Jangan menangisi orang mati. Barangsiapa yang menangisinya, maka dia keluar dari deretan ahli ma’rifat.” Ibnu Adil berkata, “Klaim ini melewati batas syariat, khurafat, keluar dari kebiasaan dan tabiat, penyimpangan dari tabiat yang seimbang. Maka hendaknya yang bersangkutan diobati untuk menyeimbangkan tabiatnya, karena Allah telah mengabarkan tentang seorang nabi yang mulia, Dia berfirman:

Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).” (QS. Yusuf: 84).

Dan Dia berfirman:
“Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,” (QS. Yusuf: 84).

Nabi menangis saat putranya wafat, beliau bersabda, “Sesungguhnya mata boleh menangis.”

Fatimah berkata, “Duhai betapa berat beban bapakku,” sedangkan nabi tidak mengingkarinya.

Semua orang yang ditimpa musibah pasti akan terguncang, siapa yang tidak tergerak oleh peristiwa yang menimpanya, dan tidak terpengaruh oleh hal-hal yang mengundang perasaannya, serta tidak terganggu oleh hal-hal yang menyedihkannya maka dia sangat mirip dengan benda mati.

Nabi telah menjelaskan aib keluar dari sifat alamiah, beliau bersabda kepada seorang laki-laki yang berkata, “Aku mempunyai sepuluh orang anak, dan tak satu pun dari mereka yang aku cium.” Maka Nabi bersabda, ‘Aku tidak bisa berbuat apa pun untukmu bilamana Allah mencabut kasih sayang dari hatimu. ”

Orang yang menuntut sesuatu yang keluar dari syariat dan menyimpang dari tabiat adalah orang-orang bodoh, menuntut kebodohan. Sedangkan syariat sudah menerima bila kita tidak menampar pipi, dan tidak merobek baju. Adapun air mata yang menetes dan hati yang bersedih maka tidak ada aib atasnya.

Kedua: Mereka membuat jamuan saat kematian seseorang, dan mereka menyebutnya dengan ‘Urs, di sana mereka bernyanyi, berjoget dan bermain-main, mereka berkata, “Kami bahagia untuk mayit yang telah sampai kepada Tuhannya.”

Talbis atas mereka dalam masalah ini dari tiga sisi:

> Pertama: Yang disunnahkan adalah membuatkan makanan bagi keluarga mayit karena mereka disibukkan oleh musibah hingga tidak sempat membuat makanan bagi diri mereka, dan bukan termasuk sunnah bila keluarga mayit yang membuatnya serta memberikannya kepada orang lain.

Dasar membuatkan makanan bagi keluarga mayit adalah hadits shahih dari Abdullah bin Ja’far bahwa dia berkata, tatkala berita gugurnya Ja’far tiba, Nabi bersabda, “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang ditimpa apa yang menyibukkan mereka. “

> Kedua: Bahwa mereka berbahagia untuk mayit, mereka berkata, “Telah sampai kepada Tuhannya.” Padahal tidak ada alasan untuk berbahagia, karena tidak memastikannya diampuni, dan bagaimana kita bisa percaya bila dia termasuk orang-orang yang disiksa. Umar bin Dzar berkata saat anaknya mati, “Sedih untukmu menyibukkanku dari sedih atasmu.”

Dari Ummu al-Ala’ berkata, bahwa tatkala Utsman bin Mazh’un wafat, Rasulullah datang kepada kami, maka aku berkata; “Semoga Allah merahmatimu wahai Abu as-Saib. Aku bersaksi bahwa Allah telah memuliakanmu.” Maka Nabi bersabda, “Dari mana kamu tahu Allah memuliakannya? “

> Ketiga: Mereka berjoget dan bermain-main dalam jamuan tersebut, sedangkan perbuatan mereka ini mengeluarkan mereka dari tabiat yang lurus yang mana kematian berdampak terhadapnya.

Kemudian seandainya mayit mereka memang diampuni, maka berjoget:dan bermain-main bukanlah ungkapan syukur, dan bila sebaliknya dia diadzab, maka di mana bekas kesedihan tersebut?

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi yang Tidak Mau Mencari limu

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa talbis Iblis pertama atas manusia adalah menghalang-halangi mereka dari ilmu, karena ilmu adalah cahaya. Maka apabila lampu-lampu mereka padam, Iblis mempermainkan mereka dalam kegelapan sesukanya. Iblis masuk kepada orang-orang sufi di bidang ini melalui beberapa pintu:

> Pertama: Dia menghalang-halangi jumhur mereka dari_ ilmu secara mendasar, Iblis memperlihatkan kepada mereka bahwa ilmu memerlukan usaha Keras dan kelelahan, maka Iblis menghiasi sikap santai bagi mereka, sehingga mereka memakai pakaian yang tambal-tambal dan duduk di atas tikar kemalasan.

Dari asy-Syafi’i bahwa beliau berkata, “Tasawuf didirikan di atas kemalasan.”

Penjelasan ucapan asy-Syafi’i adalah bahwa apa yang dicari oleh jiwa merupakan wilayah dan mendatangkan dunia, sedangkan untuk yang kedua ini memerlukan waktu yang panjang, dan melelahkan badan, padahal tidak ada jaminan bisa mewujudkannya.

Orang-orang sufi memburu wilayah, -kKkarena mereka dilihat dengan kaca mata zuhuddan mengejar dunia karena ia datang kepada mereka dengan cepat.

Dari Abu Hafsh bin Syahin berkata, “Di antara orang-orang sufi ada yang mencela para ulama, dan memandang bahwa mencari ilmu adalah pengangguran, mereka berkata, ‘Ihmu-ilmu kami tanpa perantara.’ Sebenarnya mereka melihat jalan ilmu yang panjang, maka mereka malas, selanjutnya mereka memendekkan baju, menambal jubah, membawa tempat air dan menampakkan zuhud.”

> Kedua: Iblis membuat sebagian dari mereka merasa puas dengan – ilmu yang sedikit, hingga mereka tidak meraih keutamaan ilmu yang banyak, mereka merasa cukup dengan penggalan-penggalan hadits. . Iblis membisikkan kepada mereka bahwa sanad yang tinggi dan duduk untuk menyimak hadits hanyalah ambisi dunia dan jiwa mempunyai bagian kenikmatan padanya.

Talbis ini dibongkar dengan mengatakan bahwa tidak ada kedudukan tinggi kecuali ia memiliki keutamaan sekaligus resiko, kepemimpinan, peradilan dan fatwa mengandung resiko, jiwa mendapatkan kenikmatan padanya, akan tetapi di saat yang sama ia memiliki keutamaan yang besar ibarat mawar berduri, dalam kondisi ini yang patut adalah mengambil mawarnya tanpa tertusuk durinya.

Adapun keinginan untuk meraih kedudukan mulia yang tertanam dalam jiwa, maka ia tidak ditetapkan kecuali untuk mendapatkan keutamaan ini, sebagaimana kecenderungan kepada _ pernikahan ditetapkan demi kelahiran anak, dan tujuan seorang ulama akan menjadi lurus dengan ilmu sebagaimana yang diucapkan oleh Yazid bin Harun, “Kami mencari ilmu karena selain Allah, namun ilmu menolak kecuali karena Allah.”

Maksudnya adalah bahwa ilmu membimbing kami untuk ikhlas. Barangsiapa menuntut jiwanya memutuskan apa yang tertanam dalam jiwanya maka dia tidak mampu.

> Ketiga: Iblis berbisik kepada sebagian dari mereka bahwa yang dituntut dari manusia adalah beramal, mereka tidak paham bahwa menyibukkan diri dengan ilmu termasuk amalan yang mulia, sekalipun langkah seorang ulama di bidang amal sedikit tertinggal, narnun dia berjalan di jalan yang benar, sementara ahli ibadah yang tanpa ilmu berjalan di jalan yang salah.
> Keempat: Iblis memperlihatkan kepada banyak orang dari mereka bahwa seorang ulama tidak mendapatkan ilmu dari batin, hingga salah seorang dari mereka mengkhayalkan sebuah was-was, dia berkata, “Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku.”

Asy-Syibli berkata:

Bila mereka menuntutku dengan ilmu kertas
Maka aku tampil kepada mereka dengan ilmu gombal

Mereka menamakan ilmu syariat ilmu dengan lahir, dan mereka menamakan bisikan jiwa dengan ilmu batin, mereka berdalil kepada apa yang diucapkan oleh Ali bin Abu Thalib, karramallahu wajhah dari Nabi bahwa beliau bersabda:

“Ilmu batin adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah, hukum dari hukum-hukumNya, Allah memberikannya kepada hati siapa yang Dia kehendaki dari para waliNya.”

Penulis berkata, “Hadits ini tidak berasal dari Nabi, dan dalam sanadnya ada rawi-rawi yang majhul yang tak dikenal.”

Dari Abu Musa berkata, “Di daerah Abu Yazid ada seorang laki-laki yang fakih, dia adalah orang alim di daerah tersebut, dia menemui Abu Yazid, dan berkata kepada Abu Yazid, ‘Telah diceritakan kepadaku halhal yang aneh darimu.’ Abu Yazid menjawab, ‘Keanehan-Keanehanku yang belum kamu dengar lebih banyak.’ Dia bertanya, ‘Ilmumu ini dari siapa dan dari mana, apa sumbernya?’ Abu Yazid menjawab, ‘Ilmuku pemberian Allah, karena Nabi bersabda, ‘Barangsiapa beramal dengan iimunya maka Allah memberinya ilmu yang belum diketahuinya. Karena Nabi bersabda, ‘IImu ada dua: Ilmu Iahir, ia adalah hujjah Allah atas makhlukNya dan ilmu batin, ia adalah ilmu yang bermanfaat. IImumu wahai syaikh dinukil dari pengajaran lisan ke lisan, sedangkan ilmuku adalah ilham dari Allah.’ Maka syaikh tersebut berkata kepadanya, ‘Iimuku dari para rawi tsiqat dari Rasulullah dari Jibril dari Rabbnya.’ Abu Yazid berkata, ‘Ya Syaikh, Nabi mempunyai ilmu dari Allah yang tidak diketahui oleh Jibril dan Mikail.’ Syaikh berkata, “Ya, tetapi aku ingin kamu membuktikan bahwa ilmu yang kamu katakan adalah dari sisi Allah.’ Abu Yazid menjawab, ‘Baik, aku akan menjelaskannya kepadamu sesuai dengan kadar ilmu dalam hatimu.’”

Kemudian Abu Yazid menjelaskan, “Wahai Syaikh, Anda tahu bahwa Allah berbicara kepada Musa, berbicara kepada Muhammad dan Muhammad melihatnya dengan berhadap-hadapan dan bahwa mimpi para nabi adalah wahyu?” Syaikh berkata, “Ya.” Abu Yazid berkata, “Apakah Anda tidak tahu bahwa perkataan para shiddiqin dan para wali adalah ilham dariNya, faidah-faidahNya dalam hati mereka hingga Allah membuat mereka berkata hikmah dan membuat mereka bermanfaat bagi umat, di antara apa yang mendukung apa yang aku ucapkan adalah apa yang Allah ilhamkan kepada Ummu Musa agar memasukkan Musa ke dalam peti, maka ibu Musa melakukannya, Allah mengilhamkan kepada al-Khadir terkait dengan perahu, anak kecil dan tembok dan ucapannya kepada Musa:

“Dan tidaklah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri.” (QS. al-Kahfi: 82).”

Diriwayatkan dari sebagian mereka bahwa dia hadir di majlis Abu Yazid sementara hadirin berkata, “Fulan bertemu fulan dan mengambil ilmunya, menulis banyak darinya, fulan bertemu fulan.” Maka Abu Yazid berkata, “Orang-orang yang patut dikasihani, mereka mengambil ilmu mereka dari orang mati dari orang mati, sedangkan kami mengambil ilmu kami dari yang Mahahidup tidak mati.”

Saya berkata, pemahaman dalam hikayat pertama berasal dari kebodohan, karena bila dia berilmu, niscaya dia tahu bahwa ilham kepada sesuatu tidak bertentangan dengan ilmu, namun ia tidak diperlebar hingga meninggalkan ilmu, tidak dipungkiri bahwa Allah mengilhamkan sesuatu kepada manusia, sebagaimana Nabi bersabda, “Sesungguhnya di kalangan umat-umat ada orang-orang yang diberi ilham, bila di kalangan umatku ada yang demikian maka dia adalah Umar.” Yang dimaksud dengan ilham di sini adalah ilham kepada kebaikan, bila tidak maka seandainya seseorang diberi ilham kepada sesuatu yang menyelisihi ilmu yang shahih maka dia tidak boleh mengamalkannya, karena ilhamnya dalam kondisi ini adalah ilham setan bukan ilham Rahman.

Pendapat yang rajih terkait dengan al-Khadir adalah bahwa dia seorang nabi, dan pengetahuan tentang akibat perkara oleh para nabi melalui wahyu adalah sesuatu yang tidak patut diingkari.

Ilham bukan ilmu, akan tetapi ia buah dari ilmu dan takwa, sedangkan pemilik ilmu dan takwa dibimbing kepada kebaikan dan diilhami jalan yang turus.

Bila seseorang meninggalkan ilmu dan mengklaim dirinya berpijak kepada ilham dan apa yang terbetik dalam jiwa, maka ini tidak benar, karena kalau bukan karena ilmu naqil, niscaya kita tidak mengetahui apa yang terjadi pada jiwa, apakah ia termasuk ilham kepada kebaikan atau was-was setan?

Ketahuilah bahwa ilmu ilham yang dibisikkan ke dalam hati tidak cukup, dan ia memerlukan ilmu naqli, sebagaimana ilmu logika tidak , bisa menggantikan ilmu syar’i, yang pertama seperti makanan pokok dan yang kedua seperti obat, dan yang pertama tidak bisa menggantikan yang kedua.

Adapun ucapannya, “Mereka mengambil ilmu mereka yang mati dari mayit”, paling patut untuk diucapkan terkait dengan orang yang mengucapkan kata-kata ini adalah bahwa dia tidak memahami kandungannya, karena bila dia memahami maka hal itu sama dengan merobohkan syariat.

Abu Hafsh bin Syahin berkata, “Di kalangan orang-orang sufi ada yang memandang bahwa menyibukkan diri dengan ilmu adalah kemalasan, mereka berkata, ‘Ilmu kami tanpa perantara’.”

Dia berkata, “Padahal orang-orang sufi angkatan pertama adalah para ulama di bidang al-’Qur’an, fikih, hadits dan tafsir, sebenarnya merekalah yang ingin menganggur.”

Abu Hamid ath-Thusi berkata, “Ketahuilah bahwa kecenderungan orang-orang tasawuf adalah kepada ilahiyah bukan pengajaran, karena itu mereka tidak belajar, tidak bersungguh-sungguh dalam mempelajari ilmu dan mengambil manfaat dari apa yang ditulis oleh para ulama, mereka berkata, Jalan yang benar adalah mendahulukan mujahadah dengan membuang sifat-sifat tercela, memutuskan segala keterkaitan dan menghadap kepada Allah dengan semangat sejati, hal itu dengan cara seseorang harus memutuskan hubungan pikirannya dengan harta, anak dan keluarga, menyendiri di sebuah sudut, hanya melakukan shalat-shalat fardhu dan rawatib, tidak menyandingkan pikirannya dengan membaca al-’Qur’an, tidak dengan merenung pada diri sendiri, tidak menulis hadits dan lainnya, dia terus mengucapkan Allah, Allah, Allah, sampai pada sebuah keadaan di mana lidahnya berhenti kemudian menghapus bentuk lafazh dari dalam hati.”

Penulis berkata, “Yang menyedihkanku adalah bahwa kata-kata inj diucapkan oleh seorang fakih, karena keburukannya tidak samar, dan sejatinya ia melipat tikar syariat yang menghasung untuk membaca alQur’an dan mencari ilmu.

Di atas jalan inilah aku melihat para ulama yang mulia di kotakota besar berjalan, mereka tidak meniti jalan ini, akan tetapi mereka menyibukkan diri dengan ilmu terlebih dahulu.

Namun menurut apa yang ditetapkan oleh Abu Hamid, jiwa menyendiri dengan was-was dan bisikannya, padahal jiwa belum memiliki ilmu yang bisa mengusirnya, akibatnya Iblis mempermainkannya dengan sesukanya, dan dia memperlihatkan was-was sebagai bisikan dan munajat.

Kami tidak memungkiri bahwa bila hati telah suci, maka cahaya-cahaya hidayah akan tertuang kepadanya, sehingga ia melihat dengan cahaya Allah, hanya saja menyucikan hati harus dengan ilmu yang benar bukan dengan sesuatu yang bertentangan dengannya, karena lapar yang berat, tidak tidur dan menyia-nyiakan umur dalam khayalan adalah perkaraperkara yang dilarang oleh syariat, dan tidak ada sesuatu yang diambil dari penentu syariat yang dinisbatkan kepada apa yang dia larang.
Kemudian tidak ada pertentangan antara ilmu dengan riyadhah, karena ilmu mengajarkan tata cara latihan dan membantu mengoreksinya,

Setan mempermainkan orang-orang yang menjauhkan diri mereka dari ilmu, lalu menyibukkan diri dengan latihan-latihan yang dilarang oleh ilmu, dan ilmu jauh dari mereka, sehingga terkadang mereka melakukan perbuatan yang dilarang dan terkadang mementingkan sesuatu yang semestinya selainnya lebih penting.

Hanya ilmu yang memberikan jawaban benar terhadap peristiwaperistiwa ini, sayangnya mereka sudah menghindarinya jauh-jauh.

Kami berlindung kepada Allah dari kehinaan ini.

Dari Abu Ali al-Banna berkata, “Di kalangan kami di pasar senjata ada seorang laki-laki yang berkata, ‘al-Qur’an adalah hijab, Rasulullah adalah hijab, tidak ada selain Rabb dan hamba.’ Maka beberapa orang terfitnah dan mereka meninggalkan ibadah, laki-laki itu kemudian bersembunyi karena takut dipancung!”

Dari Dhirar bin Amru berkata, “Ada orang-orang yang meninggalkan IImu dan menolak bergaul dengan ahlinya, mereka membuat mihrabmihrab, shalat dan puasa hingga kulit mereka lengket dengan tulang mereka, mereka menyelisihi sunnah, maka mereka binasa. Demi Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selainNya, tidak ada seorang pun yang beramal dengan pijakan kebodohan kecuali dia lebih banyak merusak daripada memperbaiki.”

Hakikat dan Syariat

Banyak orang-orang sufi yang membedakan antara hakikat dan syariat, ini adalah kebodohan dari orang yang mengatakannya, karena syariat seluruhnya adalah hakikat. Bila maksud mereka adalah rukhshah dan azimah maka keduanya adalah syariat.

Beberapa pendahulu mereka telah mengingkari sikap mereka yang berpaling dari zhahir syariat:

Dari Abu al-Hasan bin Salim berkata, bahwa seorang laki-laki datang kepada Sahl bin Abdullah dengan membawa kertas dan tinta, dia berkata kepada Sahl, “Aku datang untuk menulis sesuatu semoga Allah menjadikannya bermanfaat bagiku.” Sahl menjawab, “Silakan menulis, bila kamu bisa mati dalam keadaan memegang buku dan tinta maka silakan.” Laki-laki itu berkata, “Wahai Abu Muhammad, berilah aku faidah.” Sahl menjawab, “Dunia seluruhnya adalah kebodohan kecuali sesuatu yang merupakan ilmu, ilmu seluruhnya adalah hujjah kecuali bila diamalkan, amal seluruhnya bergantung kecuali amal yang berpijak kepada al-Qur’an dan sunnah, dan sunnah tegak di atas takwa.”

Dari Sahl bin Abdullah bahwa dia berkata, “Jagalah hitam di atas putih. Maka tidaklah seorang meninggalkan zhahir kecuali dia menjadi zindik.”

Dari Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada jalan kepada Allah yang lebih utama daripada ilmu, bila kamu menyimpang dari jalan ilmu selangkah saja, maka kamu akan tersesat dalam kegelapan selama empat puluh hari.”

Dari Abu ad-Daqaqaq berkata, aku mendengar Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Semua batin yang menyelisihi lahir adalah batil.”

Penulis berkata, “Makna ini telah diingatkan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali saat dia berkata dalam kitabnya al-Ihya~ , ‘Barangsiapa berkata bahwa hakikat menyelisihi syariat atau batin menyelisihi lahir, maka dia lebih dekat kepada kekufuran daripada keimanan.’”

Ibnu Aqil berkata, “Orang-orang sufi menjadikan syariat sebuah nama, mereka mengatakan bahwa maksudnya adalah hakikat.”

Ibnu Aqil berkata, “Ini buruk, karena Allah menetapkan syariat untuk kebaikan-kebaikan makhluk dan ibadah-ibadah mereka, maka hakikat sesudah ini hanya sesuatu yang terjadi dalam jiwa dari bisikan para setan.”

Barangsiapa mencari hakikat bukan pada syariat, maka dia terkecoh dan tertipu.

Talbis Iblis atas Beberapa Orang Sufi Hingga Mereka Mensubur Buku-buku I[mu dan Membuangnya Ke Laut Penulis berkata, “Sebagian dari mereka sempat menyibukkan diri dengan ilmu, kemudian Iblis mengacaukan mereka, maka Iblis berkata, “Yang dituntut dari kalian adalah beramal.’ Maka mereka mengubur buku-buku mereka.”

Diriwayatkan bahwa Ahmad bin Abu al-Hawari membuang bukubukunya ke laut, dan dia berkata, “Kamu adalah sebaik-baik petunjuk, tetapi menyibukkan diri dengan petunjuk sesudah sampai di tujuan sangatlah mustahil.”

Ahmad bin Abu al-Hawari ini mencari hadits selama tiga puluh tahun, tatkala dia merasa sudah sampai puncaknya, dia membawa buku-bukunya ke laut dan meneggelamkannya, kemudian berkata, “Wahai imu, aku tidak melakukan hal ini terhadapmu karena meremehkanmu dan merendahkan hakmu, akan tetapi aku mencarimu untuk menjadi penuntunku kepada Tuhanku, maka tatkala aku sudah sampai, aku tak lagi memerlukanmu.”

Dari Abu Nashrath-Thusi berkata, “Aku mendengar beberapa orang dari syaikh-syaikh ar-Ray berkata, ‘Abu Abdullah al-Muqri mewarisi bapaknya sebanyak lima puluh ribu dinar bukan termasuk tanah dan rumah, dan dia melepaskan dirinya dari semuanya dengan memberikannya kepada orang-orang fakir.’”

Dia berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang hal itu, beliau menjawab, ‘Aku dan seorang anak telah berihram, dan aku pergi ke Makkah sendirian saat tidak lagi tersisa padaku apa pun yang bisa aku andalkan, sedangkan usahaku adalah tidak menoleh kepada kitab-kitab, dan ilmu serta hadits yang aku kumpulkan lebih berat atasku daripada keluar ke Makkah, dan kesulitan dalam perjalanan serta meninggalkan apa yang aku miliki.’”

Saya katakan bahwa telah dijelaskan bahwa ilmu adalah cahaya, dan Iblis menggoda manusia untuk memadamkan cahaya hingga dia bisa memangsanya dalam kegelapan, dan tidak ada kegelapan seperti kegelapan kebodohan.

Tatkala Iblis khawatir orang-orang itu akan kembali menelaah kitabkitab, bisa jadi mereka akan berdalil dengannya atas tipu muslihatnya, maka Iblis menggoda mereka untuk menguburkannya dan merusaknya. Ini merupakan perbuatan yang buruk dan dilarang, serta bentuk kebodohan terhadap manfaat kitab.

Penjelasannya, bahwa dasar segala ilmu adalah al-Qur’an dan sunnah. Tatkala diketahui melalui syariat bahwa menghafal keduanya sulit, maka syariat memerintahkan menulis mushaf dan menulis hadits.

Untuk al-Qur’an, bila suatu ayat turun kepada Rasulullah, beliau memanggil penulis wahyu untuk menulisnya, mereka menulisnya pada pelepah kurma, batu dan tulang sampil, kemudian Abu Bakar mengumpulkannya sesudahnya demi menjaganya, kemudian Utsman bin Affan menasakhnya yang diikuti oleh para shahabat, semua itu dilakukan demi menjaga al-’Qur’an, agar tidak ada yang hilang darinya.

Adapun sunnahnya, di awal Islam Nabi membatasi kaum muslimin hanya pada al-Qur’an, beliau bersabda, “Jangan menulis dariku kecuali al-Qur an. Tatkala hadits-hadits mulai meningkat jumlahnya, beliau melihat kesulitan mereka dalam menghafalnya, maka beliau mengizinkan mereka untuk menulis, dari Abu Hurairahbahwa dia mengadukan hafalannya kepada Nabi, maka nabi bersabda kepadanya, “Hamparkanlah kainmu.” Maka Abu Hurairah menghamparkan kainnya dan nabi menyampaikan hadits kepadanya, lalu beliau bersabda kepadanya, “Lipatlah ia kepadamu.” Abu Hurairah berkata, “Sesudah ity aku tidak melupakan apa pun yang Rasulullah sampaikan kepadaku.”

Abdullah bin Amru meriwayatkan dari Nabi 3 bahwa beliau berkata, “Ikatlah ilmu.” Mereka bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana mengikatnya?” Beliau menjawab, “Menulisnya.”

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa shahabat merekam kata-kata dan tingkah laku serta perbuatan-perbuatan Rasulullah, hingga syariat terkumpul dari riwayat ini dan riwayat itu.”

Rasulullah bersabda, “Sampaikanlah dariku.”

Rasulullah bersabda:

“Allah memuliakan seseorang yang mendengar kata-kataku lalu dia memahaminya lalu menunaikannya seperti yang didengarnya. ”

Menunaikan hadits seperti yang didengar hampir tidak terwujud kecuali dari tulisan, karena hafalan tak terjamin.

Ahmad bin Hambal menyampaikan hadits, lalu ada seseorang berkata kepadanya, “Diktekanlah kepada kami.” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi dari kitab.”

Ali bin al-Madini berkata, “Tuanku Ahmad bin Hambal memerintahkanku agar tidak menyampaikan hadits kecuali dari kitab.”

Bila para sahabat telah meriwayatkan sunnah, lalu para tabi’in menerimanya dari mereka, para ulama hadits melakukan perjalanan ‘demi mencari hadits, mereka merambah bagian timur dan barat bumi untuk mendapatkan kalimat dari sini dan kalimat dari sana, mereka menshahihkan apa yang shahih, melemahkan apa yang tidak shahih, mereka menjarh dan menta’dil para rawi, menyusun dan menata sunnah, kemudian ada orang yang menghapusnya dengan seenaknya, menyianyiakan usaha mereka dan tidak mengetahui hukum Allah pada sebuah xasus, maka syariat tidak layak ditentang dengan hal yang seperti ini, apakah ada syariat sebelum syariat kita memiliki sanad kepada Nabi mereka?! Padahal tiada lain sanad merupakan kekhususan umat ini saja.

Telah diriwayatkan kepada kami dari Imam Ahmad bin Hambal, padahal beliau sudah berkeliling timur dan barat dalam mencari hadits, beliau berkata kepada anaknya, “Apa yang kamu tulis dari fulan?” Maka anaknya menyebutkan hadits Nabi 38 bahwa beliau berangkat shalat led dari satu jalan dan pulang dari jalan yang lain. Maka Imam Ahmad berkata, “Innalillah, sunnah dari sunnah-sunnah Rasulullah belum sampai kepadaku?”

Ini adalah ucapan Imam, padahal beliau banyak mengumpulkan hadits, lalu bagaimiana dengan orang yang tidak menulis?! Bila dia menulis maka dia menghapusnya. Bila kitab-kitab dihapus atau dikubur, lalu apa pijakan fatwa terhadap peristiwa?! Kepada fulan si ahli zuhud atau fulan si sufi atau kepada bisikan yang belum terjadi?! Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan setelah petunjuk.

Kritik Terhadap Orang-orang Sufi yang Mengubur kitab-kitab

Penulis berkata, “Kitab-kitab yang mereka kubur tidak terlepas dari kitabkitab yang berisi kebenaran atau berisi kebatilan atau bercampur antara keduanya. Bila isinya adalah kebatilan maka tidak ada dosa bagi orang yang menguburnya. Bila isinya campuran antara yang haq dengan yang batil dan tidak bisa dipilah di antara keduanya maka penguburannya bisa dibenarkan, karena ada beberapa orang yang menulis dari para rawi tsiqat dan pendusta, dan perkaranya menjadi rancu bagi mereka, maka mereka menguburkan kitab-kitab mereka. Kepada makna inilah apa yang diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri bahwa dia mengubur kitab-kitabnya. Namun bila isi kitab-kitab itu adalah kebenaran dan syariat, maka tidak diperbolehkan untuk memusnahkannya dengan cara apa pun, karena kitab-kitab ini menjaga ilmu dan harta.

Orang yang hendak memusnahkannya patut ditanya tentang maksudnya. Bila dia berkata, bahwa ia melalaikanku dari ibadah, maka kami menjawabnya dari tiga sisi.

> Pertama: Seandainya kamu memahami, niscaya kamu mengetahui bahwa menyibukkan diri dengan ilmu adalah ibadah yang utama.
> Kedua: Ingatanmu tidak berlangsung selamanya, seperti aku melihatmu telah menyesali apa yang telah kamu lakukan namun sayangnya penyesalan sudah tak berguna.

Ketahuilah bahwa hati tidak selalu di atas kejernihannya, hati bisa berkarat, ia memerlukan pembersih, dan pembersih itu adalah menelaah kitab-kitab para ulama.

Yusuf bin Asbath mengubur kitab-kitabnya, lalu dia tidak bisa menahan diri untuk menyampaikan hadits, maka dia menyampaikan dari hafalannya, akibatnya dia mencampur.

> Ketiga: Kita perkirakan kesempurnaan ingatanmu dan kelangsungannya hingga kamu tidak memerlukan kitab, lalu mengapa kamu tidak memberikannya kepada pencari ilmu pemula yang belum mencapai derajatmu atau kamu mewakafkannya kepada orang-orang yang mengambil manfaat darinya atau kamu menjualnya dan mensedekahkannya. Adapun memusnahkannya maka ia tidak dibolehkan dengan alasan apa pun.

Al-Marwazi meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa dia ditanya tentang seorang laki-laki yang berwasiat agar kitab-kitabnya dikubur, maka Ahmad menjawab, “Saya tidak suka mengubur ilmu.” Darinya berkata, aku mendengar Ahmad bin Hanbal berkata, “Saya tidak mengetahui makna di balik mengubur kitab.”

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi yang Mengingkari Orang-orang yang Menyibukkan diri dengan Iimu

Penulis berkata, “Tatkala orang-orang itu terbagi menjadi dua kelompok, para pemalas yang tidak mau menuntut ilmu dan para penduga bahwa ilmu adalah apa yang terjadi dalam hati sebagai buah dari ibadah, lalu mereka menamakan ilmu ini dengan ilmu batin, maka mereka melarang orang-orang untuk menyibukkan diri dengan ilmu.”

Dari Ja’far al-Khuldi berkata, “Seandainya orang-orang sufi membiarkanku, niscaya aku menghadirkan sanad dunia kepada kalian. Aku pergi kepada Abbas ad-Duri saat aku masih remaja, lalu aku menulis darinya di satu majlis, lantas aku meninggalkannya. Kemudian aku bertemu dengan sebagian orang yang pernah menjadi rekannya di kelompok sufi, dia bertanya kepadaku, ‘Apa yang kamu bawa?’ Aku memperlihatkannya kepadanya, lantas dia berkata, ‘Celaka kamu, kamu meninggalkan ilmu khiraq dan mengambil ilmu waraq!’ Kemudian dia merobek-robek kertas tersebut, dan kata-katanya masuk ke dalam hatiku maka aku tidak kembali lagi kepada Abbas.”

Saya berkata, “Saya mendengar dari Abu Sa’id al-Kindi bahwa dia berkata, ‘Aku ikut tinggal di sebuah pos orang-orang sufi, aku mencari hadits di belakang mereka supaya mereka tidak mengetahuinya, mka kotak tinta itu jatuh dari sakuku, lalu sebagian dari mereka berkata, ‘Tutupilah auratmul’”

Dari al-Husain bin Ahmad ash-Shaffar berkata, “Aku punya kotak tinta, maka asy-Syibli berkata kepadaku, Jauhkan hitammu itu dariku, hitarn hatiku cukuplah bagiku.’”

Penulis berkata, “Termasuk sikap menentang Allah yang paling besar adalah menghalang-halangi manusia dari jalan Allah, sedangkan jalan Allah yang paling jelas adalah ilmu, karena ilmu adalah petunjuk kepada Allah, menjelaskan hukum-hukum dan syariat Allah, menjelaskan apa yang dicintai dan dibenci oleh Allah, menghalangi ilmu sama dengan menentang Allah dan syariat Allah, sayangnya orang-orang yang menghalangi tidak menyadari apa yang mereka lakukan.

Dari Abu Abdullah bin Khifif berkata, “Sibukkanlah diri kalian dengan mencari ilmu, jangan tertipu dengan perkataan orang-orang sufi. Aku menyembunyikan kotak tintaku di saku baju tambal-tambalku dan kertas di balik celanaku, kemudian aku mendatangi para ulama secara sembunyi-sembunyi. Bila mereka mengetahui perbuatanku, maka mereka mencelaku dengan keras,“ dan mereka berkata, ‘Kamu tidak beruntung.’ Namun sesudah itu mereka membutuhkanku.”

Imam Ahmad melihat tinta-tinta di tangan para pencari ilmu, maka beliau berkata, “Ini adalah lampu-lampu Islam.”

Beliau tetap membawa kotak tinta sekalipun sudah lanjut usia, maka seorang laki-laki berkata kepada beliau, “Sampai kapan Anda seperti ini terus wahai Abu Abdullah?” Imam menjawab, “Sampai alam kubur.”

Imam Ahmad berkata tentang sabda Nabi, “Akan senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang mendapatkan pertolongan dari Allah, mereka tidak tergoyahkan oleh orang-orang yang memusuhi mereka hingga Kiamat tiba.“’ Ahmad berkata, “Bila mereka bukan ashabul hadits maka aku tidak tahu siapa mereka.”

Seseorang berkata kepada Imam Ahmad, “Ada seorang laki-laki berkata tentang ashabul hadits bahwa mereka adalah orang-orang buruk.” Imam Ahmad menjawab, “Orang itu zindik.”

Imam asy-Syafi’i berkata, “Bila aku melihat seorang laki-laki darj kalangan ashabul hadits, seolah-olah aku melihat seseorang dari kalangan shahabat Rasulullah.”

Talbis Iblis atas Orang-orang Sufi Terkait dengan Ucapan Mereka Terhadap Ilmu

Penulis berkata, “Ketahuilah tatkala orang-orang sufi meninggalkan ilmu, menyendiri dengan mempraktikkan latihan-latihan sesuatu dengan tuntutan akal mereka, maka mereka tidak mampu menahan diri untuk tidak berbicara tentang ilmu, lalu mereka berbicara dengan realita-realita mereka, akibatnya kekeliruan-kekeliruan yang buruk terjadi pada mereka, terkadang mereka berbicara tentang tafsir al-Qur’an, terkadang tentang hadits, terkadang tentang fikih dan lainnya, mereka menggiring ilmu-ilmu kepada lajur ilmu yang mereka kuasai secara khusus.”

Allah tidak akan mengosongkan suatu zaman dari orang-orang yang menegakkan syariatNya, mereka menyanggah orang-orang yang membuat-buat kebodohan dan menjelaskan kekeliruan orang-orang yang keliru. Ucapan

Orang-orang sufi Tentang al-Qur an Dari Ja’far bin Muhammad al-Khuldi berkata, “Aku hadir di depan syaikh kami al-Junaid, dan Kaisan bertanya kepadanya tentang firman Allah:

“Kami akan membacakan (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, ” (QS. al-A’la: 6).

Maka al-Junaid menjawab, ‘Janganlah kamu tidak melupakan pengamalannya.” Dia bertanya kepadanya tentang firman Allah:

“Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?” (QS. al-A raf: 169).

Maka al-Junaid berkata, “Meninggalkannya dengan tidak mengamalkannya.” Lalu dia berkata, ‘Jangan sampai Allah merobek mulutmu!” Saya katakan, “Tafsir kamu janganlah melupakan pengamalannya adalah tafsir yang tidak berdasar, dan kekeliruannya nyata, karena dia menafsirkannya sebagai larangan, padahal tidak demikian. Avyat ini adalah khabar, berita bukan larangan, asumsinya kamu tidak lupa, karena bila ia larangan niscaya kata kerjanya majzum, dan tafsirnyva menyelisihi ijma’ para ulama.

Demikian juga firman Allah:

“Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya.” (QS. al-A’raf: 169), melainkan ia dari ad-darsu yang berarti tilawah, dari firman Allah:

“Dan disebabkan kamu tetap mempelajarinva.” (QS. Ali Imran: 79) bukan darie yang berarti melenyapkan sesuatu.”

Dari Ahmad bin Muhammad bin Miqsam berkata, “Aku menghadiri majlis Abu Bakar asy-Syibli, dan dia ditanya tentang firman Allah:

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati…” (QS. Qaf: 37).

Maka dia menjawab, ‘Bagi siapa yang Allah adalah hatinya.”

Abu Abdurrahman as-Sulami mengumpulkan ucapan-ucapan mereka yang kebanyakan darinya hanyalah kekacauan dalam dua jilid kitab yang dia beri judul Haqaiq at-Tafsir, dia berkata dalam mukadimahnya tentang mereka, “Mereka berkata, ‘Al-Fatihah disebut Fatihatul Kitab karena ia adalah permulaan-permulaan dari apa yang pembicaraan Kami yang kamu buka untuk kalian. Bila kamu beradab dengan itu, dan bila tidak maka kamu tidak mendapatkan faidah-faidah sesudahnya.”

Penulis berkata, “Buruk, karena para ahli tafsir tidak berbeda pendapat bahwa al-Fatihah bukan termasuk surat yang pertama turun.”

Dia berkata tentang ucapan, ‘Amin,’ “Yaitu berjalan menuju kepadaMu.”

Saya berkata, “Ini buruk, karena ia bukan dari, dengan mim bertasydid, karena bila maknanya demikian maka seharusnya mimnya bertasydid.”?

Dia berkata tentang firman Allah:

“Tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawarian…” (QS. al-Baqarah: 85), “Abu Utsman berkata, ‘Tenggelam dalam dosa-dosa.’ AlWasithi berkata, ‘Tenggelam dalam melihat perbuatan-perbuatan mereka.’ Al-Junaid berkata, ‘Tertawan oleh sebab-sebab dunia.”

Saya katakan, “Padahal ayat ini dalam konteks pengingkaran, dan maknanya, apabila kalian menawan mereka maka kalian meminta tebusannya, dan bila kalian memerangi mereka, maka kalian menerima mereka. Sementara orang-orang itu menafsirkan ayat dengan konteks sanjungan.

Dia berkata tentang firman Allah:

“Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;” (QS. Ali Imran: 97), “Yakni aman dari godaan jiwanya dan was-was setan.”

Ini benar-benar buruk, karena lafazh ayat tersebut adalah sebagai berita dan maknanya perintah. Asumsi maknanya adalah barangsiapa masuk ke al-Haram, maka berilah keamanan. Sementara mereka menafsirkannya sebagai berita, di samping makna ayat tidak menunjang tafsir mereka, karena berapa banyak orang yang masuk ke al-Haram namun mereka tidak aman dari godaan jiwa dan was-was setan.

Dia berkata tentang firman Allah:

“Jetapi semua tipu daya itu adalah dalam kekuasaan Allah.” (QS. ar-Ra’ad: 42), al-Husain berkata, “Tidak ada makar yang lebih jelas daripada makar al-Haq terhadap hamba-hambaNya, vang mana Dia membuat mereka menyangka bahwa mereka memiliki jalan kepadaNya dalam segala keadaan.”

Barangsiapa memperhatikan maknanya, maka dia mengetahui bahwa ia adalah kufur murni, karena ia mengisyaratkan bahwa ia seperti iseng dan main-main, sedangkan al-Husain ini adalah al-Hallaj, dan katakatanya setali tiga uang dengan orangnya.

Saya katakan, “Seluruh kitab itu sejenis dengan apa yang kami sebutkan, saya berniat menurunkan contoh-contoh dalam jumlah yang banyak darinya di sini, namun saya berpikir bahwa bila saya melakukannya maka waktu akan habis sia-sia di antara kekufuran, kesalahan dan omongan ngawur.

Ucapan mereka setali tiga uang dengan ucapan kelompok Batiniyah yang telah kami sebutkan. Barangsiapa ingin mengetahui apa isi kitab tersebut, maka inilah contoh-contoh darinya.

Abu Nashr as-Sarraj menyebutkan dalam kitab al-Luma’, dia berkata, “Orang-orang sufi mempunyai istinbath, di antaranya terhadap firman Allah:

‘Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,” (QS. Yusuf: 108). Al-Wasithi berkata, ‘Maknanya aku tidak melihat diriku.’”

Asy-Syibli berkata, “Kalau kamu melihat semuanya selain kami, niscaya kamu akan berpaling melarikan diri dari mereka kepada kami.”

Saya berkata, “Ini tidak halal, karena maksud Allah adalah ashabul kahfi.”

As-Sarraj menamakan ucapan-ucapan ini dalam kitabnya dengan mustahabat.

Abu Hamid ath-Thusi menyebutkan dalam kitab Dzammul Mal tentang firman Allah:

“Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” (QS. Ibrahim: 35), dia berkata, “Yang dimaksud oleh ayat ini adalah emas dan perak, karena derajat kenabian lebih tinggi sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan menyembah patung dan berhala, dan yang dimaksud dengan menyembah berhala adalah mencintainya dan tertipu olehnya.” .

Saya katakan, “Ucapan ini tak diucapkan oleh seorang ahli tafsir pun.

Syuaib berkata, “Dan tidaklah patut ‘kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Rabb kami menghendaki(nya).” (QS. al-A’raf: 89), sudah diketahui bahwa kecenderungan para nabi kepada kesyirikan adalah tidak mungkin karena mereka adalah orang-orang yang terjaga, bukan karena ia mustahil, kemudian dia menyebutkan bersama dirinya orang-orang yang dimungkinkan melakukan syirik dan kufur, maka sah bila dia memasukkan dirinya bersama mereka, maka dia berkata, “Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku…” (QS. Ibrahim: 35) dan sudah diketahui bahwa orang-orang Arab adalah anak-anaknya, dan kebanyakan dari mereka menyembah berhala.

Dari Abu Hafsh bin Syahin berkata, “Sekelompok orang-orang sufi berbicara tentang al-Qur’an dengan ucapan-ucapan yang tidak boleh, mereka berkata tentang firman Allah:

“Sesungqguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran: 190), lantas dia mengatakan, “Mereka adalah tanda-tanda untukKu.” Mereka menisbatkan kepada Allah apa yang Dia jadikan untuk ulil albab (orang-orang yang berakal), ini merupakan perubahan terhadap al-’Qur’an.

Mereka berkata tentang firman Allah:

“Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman,” (QS. Saba’: 12),

“UntuKu Sulaiman.”

Saya katakan, “Sungguh aku heran terhadap orang-orang itu, mereka berhati-hati dalam urusan makan dan berucap, namun bagaimana bisa mereka begitu bebasnya menafsirkan al-Qur~ an sampai pada batas ini.”

Dari Ruwaim berkata, “Sesungguhnya Allah menyembunyikan beberapa perkara pada beberapa perkara lain, Diamenyembunyikan makarNya pada ilmuNya, tipuanNya pada kelembutanNya dan hukumanNya pada pintu karamahNya.”

Ini merupakan kata-kata kacau dan kelancangan, sama seperti yang sebelumnya.

Kami berlindung kepada Allah dari pengacauan, kelancangan terhadap ilmu dan pemberitahuan tentang perkara-perkara ghaib yang tidak diketahui -bila ia memang benarkecuali oleh nabi, lalu dari mana dia mengetahuinya?!

Namun jauhnya mereka dari ilmu, kepuasan mereka terhadap realita hidup yang rusak membuat mereka terjerumus ke dalam pengacauan ini.

Hendaknya diketahui bahwa bisikan-bisikan dan kejadian-kejadian hanyalah buah dari ilmu. Barangsiapa berilmu maka bisikannya benar, karena ia adalah buah ilmunya, dan barangsiapa bodoh, maka buah kebodohan adalah bagiannya.
Aku membaca tulisan Ibnu Aqil, bahwa Abu Yazid melewati kuburan orang-orang Yahudi, kemudian dia berkata, “Sebelum Engkau menyiksa mereka, mereka hanyalah segenggam tulang yang mana ketetapan berlaku atas mereka, maafkanlah mereka.”

Penulis berkata, “Ini adalah ucapan yang menunjukkan kebodohan. Ucapannya ‘Segenggam tulang’ adalah penghinaan terhadap manusia, karena bila seorang mukmin mati maka ia hanya segenggam tulang.”

Ucapannya, ‘Ketetapan berlaku atas mereka’ begitu juga yang berlaku atas Fir’aun.

Ucapannya, ‘Maafkanlah mereka’ adalah kebodohan terhadap syariat, karena Allah telah mengabarkan bahwa Dia tidak mengampuni orang yang mempersekutukanNya,dan mati dalam keadaan itu, seandainya doanya untuk si kafir diterima, maka permohonan Ibrahim pada bapaknya dan Muhammad pada ibunya lebih patut diterima.

Kami berlindung kepada Allah dari kebodohan.
Ucapan Orang-orang Sufi Terhadap Hadits dan Ahlinya

Dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, bahwa Abu Turab alNakhsyabi datang kepada bapakku, maka bapakku mulai berkata, “Fulan dhaif, fulan tsiqah.” Maka Abu Turab menyela, “Wahai Syaikh, jangan menagghibah para ulama.” Maka bapak berkata kepadanya, “Celaka kamu, ini adalah nasihat bukan ghibah.”

Dari Muhammad bin al-Fadhl al-Abbasi berkata, “Kami sedang duduk di majlis Abdurrahman bin Abu Hatim, dan dia membacakan kepada kami kitab al-Jarh wat Ta’dil. Dia berkata, ‘Aku menyampaikan keadaan ahli ilmu, siapa yang tsiqah dari mereka atau yang bukan tsiqah.” Maka Yusuf bin al-Husain berkata kepadanya, “Wahai Abu Muhammad, aku malu kepadamu, berapa banyak dari orang-orang itu yang telah masuk surga sejak satu atau dua abad, sementara kamu menyebut mereka dan mengghibah mereka dari muka bumi.” Maka Abdullah menangis dan berkata, “Wahai Abu Ya’qub, seandainya aku mendengar kata-katamu ini sebelum aku menyusun buku ini niscaya aku tidak menyusunnya.”

Saya berkata, “Allah memaafkan Ibnu Abu Hatim, seandainya dia adalah orang yang fakih niscaya dia menjawab seperti jawaban Imam Ahmad kepada Abu Turab, bahwa kalau bukan karena al-Jarh wat Ta’dil, niscaya tidak bisa dibedakan mana yang shahih dengan mana yang batil.

Kemudian, sekalipun orang-orang itu sudah di surga tidak menghalangi kita untuk menyebutkan apa yang ada pada mereka. Menamakan hal ini ghibah adalah ucapan buruk. Kemudian bagaimana seseorang bisa memastikan kebenaran ucapannya bila dia tidak mengetahui a/-Jarh wat Ta’dil?!”

Abu al-Abbas bin Atha~ berkata, “Barangsiapa mengetahui Allah maka dia tidak mengadukan hajatnya kepadaNya, karena dia mengetahui Allah mengetahui keadaannya.”

Saya berkata, “Orang ini menutup pintu doa dan permohonan kepada Allah, sebuah kebodohan.”

Dari Abu ash-Shufi berkata, “Aku mendengar asy-Syibli berkata saat ditanya oleh seorang anak muda, ‘Wahai Abu Bakar, mengapa Anda mengucapkan, ‘Allah’ dan tidak ‘la ilaha illallah’?’ Dia menjawab, ‘Aku malu mengucapkan penetapan sesudah penafian.’ Anak muda itu berkata, ‘Aku ingin alasan yang lebih kuat darinya.’ Dia menjawab, ‘Aku khawatir dimatikan pada kalimat wujud sebelum aku sampai ke kalimat pengakuan.’”

Penulis berkata, “Lihatlah kepada ilmu orang ini yang aneh bin ajaib, padahal Rasulullah memerintahkan dan mengajak kepada la ilaha illallah.”

Dalam ash-Shahihain dari beliau bahwa beliau mengucapkan sesudah shalat, “Tidak ada Ilah yang haq selain Allah semata tidak ada sekutu bagiNya.”

Beliau mengucapkan saat berdiri shalat malam, “Tidak ada Ilah yang haq selainMu.”

Rasulullah menyebutkan pahala besar bagi siapa yang mengucapkan, ‘la ilaha illallah’.

Lihatlah kepada kelancangan orang ini terhadap syariat, dia beranj memilih apa yang tidak dipilih oleh Rasulullah.

Dari Abu al-Qasim Abdurrahim bin Ja’far as-Sirafi al-Faqih berkata, “Aku menghadiri majlis Qadhi Syiraj Abu Sa’id’ Bisyr bin al-Hasan adDawudi, saat itu ada sepasang suami istri yang sama-sama sufi berperkara di depannya —madzhab sufi di sana berkembang pesat, hingga ada yang berkata jumlah mereka ribuan orang.-. Istri sufi mengadukan suaminya kepada hakim, dia berkata kepada hakim, “Wahai bapak hakim, orang ini suamiku, dia hendak mentalakku, padahal dia tidak semestinya demikian, mohon Anda mencegahnya.” Qadhi Abu Sa’id heran, dia mulai jengkel terhadap madzhab sufi, kemudian dia bertanya kepada wanita itu, “Bagaimana bisa demikian? Kamu juga tidak sepatutnya demikian.” Wanita itu menjawab, “Dia menikahiku sementara maknanya ada padaku, tetapi sekarang dia bilang bahwa maknanya sudah lenyap dariku, sementara maknaku tetap ada padanya belum lenyap, maka dia harus berusaha hingga maknaku padanya hilang sebagaimana maknanya padaku juga hilang.”

Abu Sa’id berkata, “Bagaimana menurutmu fikih seperti ini?” Kemudian dia mendamaikan keduanya dan keduanya pulang tanpa talak.

Abu Hamid ath-Thusi. menyebutkan dalam kitab al-Ihya bahwa sebagian dari mereka berkata, “Rububiyah mempunyai rahasia, bila ia diperlihatkan, dan niscaya kenabian akan batal, kenabian mempunyai rahasia, bila ia dibuka niscaya ilmu akan batal, para ulama memiliki rahasia, bila mereka menampakkannya niscaya hukum-hukum akan batal.”

Saya berkata, “Lihatlah saudara-saudaraku kepada pengacauan buruk ini, klaim terhadap syariat bahwa lahirnya bertentangan dengan batinnya.”

Abu Hamid berkata, “Sebagian orang sufi kehilangan anaknya yang masih kecil, maka ada seseorang berkata kepadanya, ‘Memohonlah kepada Allah agar Dia mengembalikannya kepadamu.’ Maka dia menjawab, ‘Penentanganku terhadapNya dalam apa yang Dia putuskan atasku lebih berat daripada hilangqnya anakku.’”

Saya berkata, “Keherananku terhadap Abu Hamid ini tiada kenal henti, bagaimana dia menceritakan kisah-kisah seperti ini dalam konteks menyanjung dan memandangnya bagus, padahal dia tahu bahwa doa dan memohon kepada Allah bukanlah sanggahan terhadapNya.”

Ini sekelumit tentang ucapan mereka dan pemahaman mereka, saya menjelaskan kesalahan ilmu mereka dan keburukan pemahaman mereka serta banyaknya kekeliruan mereka.

Talbis Iblis atas Mereka Hingga Mereka Mengucapkan Kata-kata dan Klaim Gila

Penulis berkata, “Ketahuilah bahwa ilmu mewariskan rasa takut, kerendah. an jiwa, dan diam panjang. Bila kamu memperhatikan ulama salaf, maka kamu melihat rasa takut mendominasi mereka, dan mereka sama sekali tidak mengucapkan klaim-klaim gila. Umar bin al-Khatthab berkata saat ajalnya tiba, ‘Celaka bagi Umar bila Rabbnya tidak mengampuninya.’”

Tonu Mas’ud berkata, “Seandainya bila aku mati tidak dibangkitkan.”

Aisyah berkata, “Seandainya aku adalah sesuatu yang dilupakan.”

Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Hammad bin Salarmah saat menjelang ajal, “Kamu berharap orang sepertiku diampuni?”

Penulis berkata, “Kata-kata seperti ini terucap dari orang-orang yang mulia, karena kuatnya ilmu mereka tentang Allah, sedangkan kekuatan ilmu kepada Allah mewariskan rasa takut, Allah berfirman:

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNva, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)

Nabi bersabda:

“Aku adalah orang yang paling mengetahui Allah di antara kalian dan paling besar rasa takutnya kepadaNya. “

Tatkala orang-orang sufi menjauh dari ilmu, mereka memperhatikan amal mereka, lalu sebagian dari mereka kebetulan diberi sesuatu yang mirip karomah, maka mereka melebarkan diri untuk mengucapkan klaimklaim menggelikan.

Dari Abu Yazid al-Busthami berkata, “Saya ingin Kiamat datang hingga aku bisa mendirikan tendaku di neraka Jahanam.” Seorang laki-laki bertanya, “Mengapa wahai Abu Yazid?” Dia menjawab, “Sesungguhnya aku yakin bila Jahanam melihatku maka ia akan padam, dengan itu aku menjadi rahmat bagi penduduknya.”

Penulis berkata, “Ini adalah kata-kata paling buruk, mengandung penghinaan terhadap api neraka yang urusannya besar bagi Allah, padahal Allah menyifatinya secara mendalam, Dia berfirman:

“Maka peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu.” (QS. al-Baqarah: 24).

Allah berfirman :

“Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya.” (QS. al-Furqan: 12) dan ayat-ayat senada.

Dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya api kalian ini, api yang dinyalakan oleh manusia adalah satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panasnya Jahanam.” Maka para shahabat berkata, “Demi Allah, itu sudah cukup wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, ‘Api neraka Jahanam dilebihkan dengan enam puluh sembilan bagian, semuanya seperti panasnya.” Diriwayatkan dalam ash-Shahihain.’?

Dalam Shahih Muslim dari hadits Ibnu Mas’ud dari Nabi, sesungguhnya beliau bersabda, “Dihadirkan pada di hari itu dengan Jahanam, ia memiliki tujuh puluh ribu tali kekang, setiap tali kekang diseret oleh tujuh puluh ribu malaikat.”

Dari Umar bin al-Khatthab berkata, “Wahai Ka’ab, buatlah kami takut.” Ka’ab menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, beramallah dengan amal seorang laki-laki, seandainya engkau datang di Hari Kiamat dengan membawa amal tujuh puluh orang nabi niscaya kamu merasa amalmu masih remeh karena apa yang engkau lihat.” Umar tertunduk sesaat kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata, “Tambahlah wahai Ka’ab.” Maka Ka’ab berkata, ‘“Wahai Amirul Mukminin, seandainya sebuah lubang dari Jahanam sebesar lubang hidung sapi jantan di buka di timur, lalu seorang laki-laki berada di barat, niscaya otaknya mendidih hingga ia meleleh karena panasnya.” Umar tertunduk sesaat kemudian mengangkat kepalanya, dia berkata, “Tambahlah wahai Ka’ab.” Ka’ab berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya neraka Jahanam akan bergemuruh di Hari Kiamat, tidak ada seorang malaikat yang dekat dan nabi yang terpilih kecuali dia berlutut karena takut, dan ia berkata, ‘Rabbi, diriku, diriku, aku tidak meminta kepadaMu selain keselamatan diriku.”

Suatu hari Abdullah bin Rawahah menangis, maka istrinya bertanya kepadanya, “Kenapa engqkau menangis?” Dia menjawab, “Aku diberitahu bahwa aku mendatangi, tetapi aku tidak diberitahu kalau aku keluar.”

Penulis berkata, “Bila keadaan orang-orang terbaik umat ini adalah demikian, yang mana mereka sedemikian takut, lalu bagaimana keadaan orang yang asal-asalan mengklaim ini?”

Kemudian dia berani lancang memastikan sesuatu untuk dirinya yang dia sendiri tidak mengetahuinya, apakah dia termasuk wali dan akan selamat? Bukankah kepastian selamat hanya diraih oleh orang-orang tertentu dari kalangan para shahabat?!

Ibnu Aqil berkata, “Dikisahkan dari Abu Yazid bahwa dia berkata, ‘Barangsiapa berkata ini terjadi pada siapa pun dia, maka dia zindik, harus dibunuh, karena meremehkan sesuatu adalah buah dari pengingkaran, karena siapa yang percaya adanya jin maka dia akan takut kegelapan, dan siapa yang tidak maka tidak takut terkadang dia berkata, ‘Wahai ‘jin, bawalah aku.’ Orang yang berkata seperti ini patut disodori obor di wajahnya, dan bila dia merasa panas, maka dikatakan kepadanya, ‘Ini adalah sebongkah api.’”

Dari Thayfur ash-Shaghir berkata, “Aku mendengar pamanku yang bekerja sebagai.pelayan Abu Yazid berkata, ‘Aku mendengar Abu Yazid berkata, ‘Mahasuci aku, Mahasuci aku, betapa agung kedudukanku.’

Kemudian dia berkata, ‘Cukup bagiku dari diriku, cukup, cukup.’” Saya berkata, “Bila ucapan ini benar darinya, maka ada kemungkinan rawi tersebut tidak paham, karena ada kemungkinan yang bersangkutan menyebutkan sanjungan al-Haq kepada diriNya, maka dia berkata, ‘Subhani (Mahasuci aku). Dia menyampaikan dari Allah bukan dari dirinya.”

Al-Junaid menakwilkannya dengan sesuatu, bila ia tidak kembali kepada apa yang aku ucapkan maka ia tidak benar.

Dari Ja’far al-Khuldi berkata, bahwa al-Junaid ditanya, “Sesungguhnya Abu Yazid berkata, ‘Mahasuci aku, Mahasuci aku, aku adalah Tuhanku yang Mahatinggi.’

Maka al-Junaid berkata, “Sesungguhnya orang itu larut dalam menyaksikan keagungan, maka dia mengucapkan apa yang membuaitnya larut, al-Haq mencengangkannya sampai dia tidak melihatNya, akhirnya dia tidak menyaksikan kecuali al-Haq maka dia menyifatiNya dengan sifat yang demikian.” Saya katakan, “Ini adalah khurafat.”

Dari Abdullah bin Ali as-Sarraj berkata, “Suatu hari aku mendengar Ahmad bin Salim al-Bashri berkata di majlisnya di Bashrah, ‘Fir’ aun tidak mengatakan apa yang diucapkan oleh Abu Yazid, karena Fir’aun berkata, Akulah tuhanmu yang paling tinggi.’ (QS. an-Nazi’at: 24), makhluk dinamakan ar-rab, dikatakan rabbud dar (tuan rumah), sedangkan Abu Yazid berkata, ‘Mahasuci aku, Mahasuci aku.’ Ini tidak boleh kecuali bagi Allah.’ Maka aku berkata kepadanya, ‘Apakah Menurutmu ucapan ini benar dari Abu Yazid?’ Dia menjawab, ‘Dia telah mengucapkan hal itu.’ Aku berkata, ‘Ada kemungkinan ucapan ini mempunyai mukadimahmukadimah, lalu dia menyampaikan bahwa Allah berfirman, ‘Subhani.’ Karena bila kita mendengar seseorang berkata, “Tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku…’ (QS. Thaha: 14) maka kita tahu bahwa dia membaca.’” Aku bertanya kepada beberapa orang dari penduduk Bustham tentang bait Abu Yazid ini, mereka menjawab, “Kami tidak mengetahui ini.”

Dari Abu Yazid berkata, “Aku thawaf di Ka’bah, tatkala aku sampai kepadanya, aku melihat Ka’bah thawaf di sekelilingku.”

Dari Thayfur ash-Shaghir berkata, “Aku mendengar Abu Yazid berkata, ‘Saat aku menunaikan haji yang pertama kali, aku melihat Ka’bah. saat aku haji yang kedua kali, aku melihat Pemilik Ka’bah dan aku tidak melihat Ka’bah. Dan saat aku haji yang ketiga kalinya, aku tidak melihat Ka’bah dan tidak melihat Pemilik Ka’bah.”

Dari Abu Yazid, dia ditanya tentang Lauhul Mahfuzh, dia menjawab, “Akulah Lauhul Mahfuzh.”

Dari Abu Musa ad-Du‘aili berkata, aku berkata kepada Abu Yazid, “Aku mendengar bahwa hati tiga orang pada hati Jibril.” Maka Abu Yazid menjawab, “Akulah tiga itu.” Aku bertanya, “Bagaimana?” Dia menjawab, “Hatiku satu, semangatku satu dan ruhku satu.” Aku berkata, “Aku mendengar bahwa hati seseorang pada hati Israfil.” Abu Yazid menjawab, “Akulah orang itu, aku seperti samudera yang sangat luas, tidak mempunyai awalan dan akhiran.”

As-Sahlaki berkata, “Seorang laki-laki membaca di depan Abu Yazid, ‘Sesungguhnya adzab Rabbmu benar-benar keras.’ (QS. al-Buruj: 12). Maka Abu Yazid berkata, ‘Demi kehidupanku, siksaku lebih keras daripada siksaNya.’”

Abu Yazid ditanya, “Aku mendengar bahwa kamu termasuk tujuh.” Dia berkata, “Akulah semua yang tujuh itu.”

Abu Yazid ditanya, “Sesungguhnya semua makhluk di bawah panji Sayyidina Muhammad.” Maka Abu Yazid berkata, “Demi Allah, sesungguhnya panjiku lebih besar daripada panji Muhammad, para jin, manusia dan para nabi, mereka semuanya ada di bawah panjiku.”

Abu Yazid berkata, “Mahasuci aku, Mahasuci aku, betapa agung kekuasaanku, tidak ada yang semisal denganku di langit, dan tidak ada sepertiku di bumi yang dikenal, aku adalah Dia, Dia adalah aku, Dia adalah Dia.”

Abu Yazid ditanya, “Sesungguhnya engkau termasuk abdal yang tujuh di mana mereka adalah patok-patok bumi.” Dia menjawab, “Semua yang tujuh itu adalah aku.”

Dari al-Hasan bin Ali bin Salam berkata, bahwa Abu Yazid masuk sebuah kota, dan orang-orang dalam jumlah yang banyak mengikutinya, dia menoleh kepada mereka dan berkata, “Sesungguhnya akulah Allah yang tidak ada Tuhan yang hagq selainku, maka sembahlah aku.” Mereka berkata, “Abu Yazid telah gila, kemudian mereka meninggalkannya.”

Abu Yazid berkata, “Suatu kali aku diangkat hingga aku berdiri di hadapanNya, Dia berfirman kepadaku, “Wahai Abu Yazid, sesungguhnya makhlukKu ingin melihatmu.’ Aku menjawab, ‘Yang mulia, aku juga ingin mereka melihatku.’ Dia berfirman, ‘Wahai Abu Yazid, aku ingin memperlihatkanmu kepada mereka.’ Aku menjawab, ‘Yang mulai, bila mereka ingin melihatku dan Engkau menginginkannya, maka aku tidak kuasa menyelisihiMu, dekatkanlah aku dengan keesaanMu, beri aku jubah rububiyahMu, angkatlah aku kepada ketunggalanMu, hingga saat makhlukMu melihatku, mereka berkata, ‘Kami melihatMu, jadi yang mereka lihat adalah Engkau dan aku tidak disana.’ Maka Dia melakukan hal itu terhadapku, Dia memberdirikan aku, menghiasiku dan mengangkatku, kemudian Dia berfirman, ‘Keluarlah kepada makhlukKu.’ Maka aku keluar melangkah satu langkah dari sisiNya kepada makhluk, tetapi di langkah kedua, aku pingsan, Dia memanggil, ‘Kembalikanlah kekasihku, sesungguhnya dia tidak bisa berpisah dariKu sesaat pun.”

Dikisahkan dari Abu Yazid bahwa dia berkata, “Musa ingin melihat Allah, sedangkan aku tidak ingin, Dialah yang ingin melihatku.”

Dari al-Junaid bin Muhammad berkata, “Kemarin ada seorang laki-laki dari penduduk Bustham datang kepadaku, lalu dia menyebutkan bahwa dia mendengar Abu Yazid al-Busthami berkata, “Ya Allah, bila dalam kitabMu yang mendahului sudah tertulis bahwa Engkau menyiksa seseorang dari makhlukMu dengan api neraka, maka besarkanlah penciptaanku hingga neraka tidak cukup kecuali untukku saja.’”

Penulis berkata, “Klaim-klaim ini sangat buruk, dan keburukannya tidak samar karena benar-benar buruk.”

Adapun ucapan yang terakhir ini adalah salah dari tiga sisi:

> Pertama: Dia berkata, “Bila dalam kitabMu yang mendahului.” Padahal kita sudah tahu secara pasti bahwa disiksanya sebagian orang dengan api neraka adalah kepastian, dan Allah telah menyebut sebagian dari mereka seperti Fir’aun dan Abu Lahab, lalu bagaimana bisa dikatakan sesudah kepastian ini, “Bila.”
> Kedua: Ucapannya, “Besarkanlah penciptaanku.” Seandainya dia berkata, “Aku ingin membela orang-orang mukmin,” tetapi dia berkata, “Hingga neraka tidak cukup kecuali untukku saja.” Berarti dia mengasihi orang-orang kafir, dan ini merupakan kelancangan terhadap rahmat Allah.
> Ketiga: Dia tidak tahu kadar neraka atau dia yakin sanggup memikulnya, dan kedua kemungkinan ini sama-sama mustahil.

Saya katakan bahwa dia berkata, “Demi Allah, kemarin aku berbicara dengan al-Khadhir tentang masalah ini, dan para malaikat mengakui kebaikan pendapatku. Allah mendengar ucapanku, dan Dia tidak mencelanya, seandainya Dia mencelanya, niscaya Dia membuatku bisu.”

Sava katakan, “Seandainya laki-laki ini tidak dituduh gila, niscaya kata-katanya patut dibantah. Di mana al-Khadhir?’ Dari mana dia tahu para malaikat mengakui kebaikan pendapatnya? Berapa banyak orang yang mengucap kata-kata buruk yang belum disiksa oleh Allah?!

Saya mendengar dari Maimun budaknya bahwa dia berkata, “Saya mendengar dari Samnun al-Muhib bahwa dia menyebut dirinya alKadzdzab disebabkan bait-bait yang diucapkannya, di antaranya,

Aku tidak mempunyai bagian pada selainMu

Silakan mengujiku sebagaimana Engkau kehendaki.

Maka dia diuji dengan kencingnya yang tertahan, sehingga dia tidak tenang, sesudah itu dia berkeliling ke halaqah anak-anak dengan membawa botol untuk menampung kencingnya sambil berkata kepada anak-anak, “Doakan paman kalian al-Kadzdzab.”

Penulis berkata, “Kulitku merinding dari hal ini. Anda bisa menduga, apa yang membuatnya kuat?”

Ini hanya buah dari kebodohan tentang Allah, seandainya dia mengetahuiNya niscaya dia tidak memohon kecuali keselamatan.

Dari Abu al-Abbas bin Atha’ berkata, “Aku tidak mempercayai karomah-karomah ini, hingga seorang tsiqah menyampaikan kepadaku dari Abu al-Husain an-Nuri dan aku bertanya kepadanya, dia berkata, “Demikian yang terjadi.” Dia berkata, kami sedang berada di sebuah perahu di Dijlah, dan orang-orang berkata kepada Abu al-Husain, “Keluarkanlah untuk kami dari sungai Dijlah seekor ikan beratnya tiga kati dan tiga uqiyah.” Maka dia menggerakkan kedua bibirnya, tiba-tiba seekor ikan yang beratnya tiga kati dan tiga uqiyah muncul di air dan naik ke perahu. Abu al-Husain ditanya, ‘Kami memintamu dengan menyebut nama Allah, katakan kepada kami doa apa yang engkau ucapkan?’

Dia menjawab, ‘Aku mengucapkan, ‘Ya Allah, demi kemuliaanMu, bila Engkau tidak mengeluarkan seekor ikan yang beratnya tiga kati dan tiga ugiyah maka aku akan menenggelamkan diriku di sungai ini.” Dari al-Junaid berkata, “Aku mendengar an-Nuri berkata, ‘Aku di ar-Riqqah, kemudian para murid yang ada di sana datang kepadaku, dan mereka berkata, ‘Kami hendak menjaring ikan.’ Mereka berkata kepadaku, ‘Wahai Abu al-Husain, berikanlah kepada kami dengan ibadahmu dan kesungguhanmu padanya, engkau adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam ibadah, seekor ikan dengan berat tiga kati, tidak kurang dan tidak lebih.” Maka aku berkata kepada Tuhanku, ‘Bila Engkau tidak mengeluarkan seekor ikan sekarang padanya seperti apa yang mereka sebutkan, maka aku melemparkan diriku di sungai Eufrat.’ Aku mengeluarkan seekor ikan, aku menimbangkan ternyata tiga kati, tidak kurang, tidak lebih.’”

Al-Junaid berkata, “Aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu al-Husain, bila ikan tidak muncul, kamu benar-benar melemparkan dirimu?’ Dia menjawab, ‘Ya.’”

Dari Abu Ya’qub al-Kharrath berkata, “Abu al-Husain an-Nuri berkata kepadaku, ‘Dalam hatiku masih ada kebimbangan terhadap karomahkaromah ini, maka aku mengambil sebilah bambu dari seorang anak perempuan, kemudian aku berdiri di antara dua perahu seraya berkata, ‘Demi kemuliaanMu, bila Engkau tidak mengeluarkan seekor ikan dengan berat tiga kati, tidak kurang dan tidak lebih, maka aku tidak makan apa pun.”

Hal ini sampai kepada al-Junaid, maka dia berkata, “Hukum Allah adalah keluarnya seekor ular yang mematoknya.”

Dari Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Dosaku yang paling besar adalah ma’rifatku kepadaNya.”

Penulis berkata, “Ini bilamaksudnya adalah bahwa aku mengetahuiNya namun aku tidak beramal sesuai dengan pengetahuanku, maka dosaku besar, sebagaimana dosa orang yang mengetahui dan mendurhakai adalah besar, bila tidak maka ia buruk.

Dari asy-Syibli berkata, “Orang-orang mencintaiMu karena nikmatnikmatMu, sedangkan aku mencintaiMu karena ujianMu.”

Dari Abdullah Ahmad bin Muhammad al-Hamdani berkata, “Aku datang kepada asy-Syibli, tatkala aku bangkit hendak keluar, dia berkata kepadaku dan kepada orang-orang yang bersamaku saat kami hendak keluar dari pintu, ‘Silakan berjalan, aku bersama kalian di mana pun kalian, dan kalian dalam perlindungan dan penjagaanku.’”

Dari Manshur bin Abdullah berkata, “Beberapa orang datang kepada asy-Syibli saat dia sakit dan akhirnya mati, mereka berkata, “Wahai Abu Bakar, bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab: Sesungguhnya kekuasaan cintanya

Berkata aku tak menerima suap

Mereka meminta kepadanya, maka aku menebusnya Kematianku bukan lagi keraguan.

Ibnu Aqil berkata, dikisahkan dari asy-Syibli bahwa dia berkata, “Sesungguhnya Allah berfirman, “Dan kelak Rabbmu pasti memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” (QS. adhDhuha: 5). Demi Allah, Muhammad tidak akan pernah ridha selama ada umatnya di neraka.” Kemudian dia berkata, “Sesungguhnya Muhammad memberi syafaat kepada umatnya, sedangkan aku memberi syafaat sesudahnya kepada penghuni neraka hingga tak tersisa seorang pun di sana.”

Ibnu Aqil berkata, “Klaim pertama atas Nabi adalah dusta, karena Nabi menerima bila Allah menyiksa orang-orang fajir, bagaimana tidak sementara beliau telah melaknat sepuluh orang terkait dengan khamr?! Klaim bahwa beliau tidak menerima bila Allah menyiksa orang-orang fajir adalah dusta, dia berkata atas nama syariat yang hanya berpijak kepada kebodohan.

Klaimnya bahwa dia memberi syafaat untuk penghuni neraka, bahwa dia melebihi Nabi Muhammad adalah kekufuran, karena bila seseorang berani memastikan bahwa dia termasuk penduduk surga maka dia termasuk penghuni neraka, lalu bagaimana dengan orang ini yang bersaksi untuk dirinya bahwa dia berada dalam derajat yang mengungguli derajat kenabian, bahkan di atas al-Maqam al-mahmud, yaitu syafaat yang paling agung?

Ibnu Agil berkata, “Yang bisa aku lakukan terhadap ahli bid’ah adalah lisan dan hatiku. Seandainya aku memegang pedang, niscaya aku akan menghilangkan dahaga bumi ini dengan darah mereka.”

Dari Abu al-Abbas bin Atha berkata, “Aku membaca al-Qur’an, aku tidak melihat Allah menyebutkan seorang hamba lalu Dia memujinya kecuali Dia mengujinya, maka aku memohon kepada Allah agar mengujiku, siang dan malam berganti hingga keluar dari ruamahku sebanyak dua puluh orang mayit lebih tak seorang pun yang kembali.” Abu al-Abbas ini kehilangan harta, akal, anak dan istrinya, maka dia pikun selama tujuh tahun atau kurang lebih, ucapan pertama yang diucapkan saat dia sembuh dari pikunnya adalah:

Aku berkata benar, sungguh Engkau telah membebaniku dengan kezhaliman

Aku memikul keinginanMu dan_
kesabaranku, sungguh itu mengagumkan

Saya katakan, “Kebodohan laki-laki ini membuahkan ujian yang menimpanya, dan menganggap permohonan ditimpakannya ujian mengandung makna penguatan termasuk keburukan yang paling buruk.”

Sedangkan kezhaliman tidak boleh dinisbatkan kepada Allah.

Kemungkinan yang terbaik dari keadaan lelaki ini adalah bahwa dia mengucapkannya saat pikun.

Dari Muhammad bin al-Husain as-Sulami berkata, aku mendengar Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Hushri berkata, “Bie kan diriku dan ujian yang menimpaku, bukankah kalian adalah Ahlus Sunnah-anak Adam yang Allah ciptakan dengan tanganNya menampakkan padanya dari ruhnya, memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya dan Dia memerintahkannya dengan perintahnya lalu dia menyelisihiNya? Bila bagian atas gentong minyak keruh lalu bagaimana dengan bagian bawahnya?!”

Al-Hushri berkata, “Bertahun-tahun bila aku membaca al-Qur’an aku tidak meminta perlindungan dari setan, aku tidak berkata, ‘Dari setan’, hingga firman al-Haq hadir.”

Penulis berkata, “Perbuatannya ini menyelisihi perintah Allah dalam firmanNya:

“Maka apabila engkau membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah.” (QS. an-Nahl: 99).

Dari Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad ad-Dinawari berkata, “Mereka menghancurkan sendi-sendi tasawuf, merusak jalannya, merubah makna-maknanya dengan nama-nama yang mereka buatbuat,”? mereka menyebut tabiat sebagai tambahan, adab buruk sebagai keikhlasan, menyimpang dari kebenaran sebagai kekeliruan, menikmati sesuatu yang tercela sebagai sesuatu yang baik, menghiasi akhlak jelek sebagai keberanian, bakhil sebagai keteguhan, mengikuti hawa nasfu sebagai ujian, kembali kepada dunia sebagai sampai ke tujuan, memintaminta amal dan lisan yang kotor sebagai kritikan.”

Inilah jalan mereka yang melenceng.

Ibnu Aqil berkata, “Orang-orang sufi mengungkapkan yang haram dengan kata-kata yang merubah nama namun maknanya tetap. Maka mereka menyebut berkumpul untuk bernyanyi dan bermain-main dengan waktu, mereka menyebut anak-anak muda yang belum bercambang dengan syab, wanita yang digandrungi dengan ukht (saudara perempuan), wanita yang mencintai dengan muridah (murid perempuan), berdendang dan berjoget dengan wajd, pos kemalasan dan permainan dengan ribath. Padahal merubah nama-nama ini tidak boleh.”

Beberapa Perbuatan Mungkar yang Diriwayatkan dari Orang-orang Sufi

Saya berkata, “Telah disebutkan perbuatan-perbuatan mereka dalam jumlah yang banyak yang semuanya mungkar, dan di sini kami menyebutkan perbuatan yang termasuk induk perbuatan dan keanehannya.

Dari Abu Ja’far al-Kuraiti berkata, “Suatu malam aku junub, maka aku harus mandi, tetapi malam itu sangat dingin, maka jiwaku cenderung malas dan ingin menunda, dan jiwaku berkata kepadaku, ‘Sekiranya kamu menunda mandi hingga pagi, saat itu kamu menjerang air atau masuk ke pemandian, bila tidak bebanilah dirimu dengan beban yang berat!?’ Maka aku berkata dalam diriku, ‘Sangat mengherankan, aku bergaul dengan Allah sepanjang hidupku, wajib atasku untukNya sebuah hak, aku tidak segera menunaikannya, sebaliknya aku malah berlamalama dan berlambat-lambat, aku bersumpah tidak akan mandi kecuali di sungai, dan aku bersumpah akan mengeringkannya di bawah terik matahari.” Atau seperti yang dia ucapkan.

Saya berkata, “Laki-laki ini menyebutkan perbuatannya ini kepada orang-orang untuk menjelaskan bahwa perbuatannya adalah baik dan bagus, lalu orang-orang menceritakannya darinya supaya menjelaskan keutamaannya, padahal itu adalah kebodohan murni, karena laki-laki ini mendurhakai Allah dengan perbuatannya. Perbuatan ini hanya mengundang takjub orang-orang awam yang dungu bukan para ulama.

Seseorang tidak boleh menghukum dirinya, namun laki-laki yang patut dikasihani ini malah mengumpulkan berbagai bentuk penyiksaan atas dirinya, masuk ke dalam air dingin, dengan baju tambal-tambal yang membuatnya tak leluasa bergerak, dan tentu ada bagian-bagian tertentu dari badannya yang tak terjangkau air karena tebalnya baju tambal-tambalnya, lalu dia tetap memakainya selama sebulan dalam keadaan basah, sehingga yang demikian membuatnya tak dapat tidur nyenyak.

Semua perbuatan ini dosa dan salah, bahkan bisa jadi ia menyebabkannya sakit atau mati.

Dari Hamd bin Ahmad bin Abdullah al-Ashbahani berkata, “Istri Ahmad bin Hadhrawaih telah membebaskan suaminya dari kewajiban mahar dengan syarat dia membawanya berkunjung kepada Abu Yazid al-Bisthami, maka suaminya membawanya kepadanya, dia pun masuk kepadanya, lalu duduk di depannya dengan membuka wajahnya, maka Ahmad berkata kepada istrinya, ‘Aku melihat sesuatu yang aneh pada dirimu, kamu membuka wajahmu di depan Abu Yazid!’ Istrinya menjawab, ‘Tatkala aku melihat kepadanya, aku kehilangan bagian diriku, namun setiap aku melihat kepadamu, aku kembali menemukan bagian diriku.’ Tatkala Ahmad hendak keluar dari sisi Abu Yazid, dia berkata kepada Abu Yazid, ‘Beri aku wasiat.’ Abu Yazid berkata, ‘Belajarlah kejantanan dari istrimu!!”

Penyimpangan Mereka Terhadap Tubuh dan Harta

Dari Yusuf bin al-Husain berkata, bahwa antara Ahmad bin Abu alHawari dengan Abu Sulaiman ada sebuah kesepakatan tidak menentang perintahnya, apa pun ia.’’? Suatu hari Ahmad datang saat Abu Sulaiman berbicara di majelisnya, lalu dia berkata, “Kompor sudah kami nyalakan, selanjutnya apa perintahmu?” Abu Sulaiman tak menjawab, hingga Ahmad mengulanginya dua atau tiga kali, maka Abu Sulaiman menjawab, “Pergilah dan duduklah di atasnya.” Maka Ahmad melakukan. Abu Sulaiman berkata kepada orang-orang, “Susullah dia, karena antara diriku dengan dirinya ada kesepakatan agar ia tidak menentang perintahku apa pun itu.” Maka Abu Sulaiman bangkit dan mereka mengaikutinya, mereka menghampiri kompor, mereka melihat Ahmad duduk di tengahnya, maka Abu Sulaiman menarik tangannya dan memberdirikannya, sementara Ahmad tak terluka sedikit pun.

Penulis berkata, “Hikayat yang jauh dari kebenaran. Seandainya ia benar maka masuknya dia di dalam kompor adalah dosa.”

Dalam ash-Shahihain dari hadits Ali berkata, bahwa Rasulullah mengirim sebuah pasukan, beliau mengangkat seorang laki-laki Anshar sebagai panglimanya. Tatkala mereka keluar, sang panglima marah kepada anak buahnya karena suatu perkara, dia berkata kepada mereka, “Bukankah Rasulullah telah memerintahkan kalian agar menaatiku?” Mereka menjawab, “Benar.” Dia berkata, “Kumpulkanlah kayu bakar.” Kemudian mereka mengumpulkannya, lalu dia menyalakan api kemudian dia berkata, “Aku memerintahkan kalian agar masuk ke dalamnya.” Beberapa orang hendak masuk, maka seorang anak muda berkata, “Kalian berlari kepada Rasulullah dari api, jangan terburuburu sebelum kalian bertemu beliau, bila beliau memerintahkan kalian masuk maka masuklah.” Maka mereka kembali kepada Nabi dan mengabarkannya kepada beliau, maka Rasulullah bersabda kepada mereka, “Kalau kalian memasukinya niscaya kalian tidak akan keluar darinya selamanya. Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.”

Dari Abdullah bin Ibrahim al-Jazari berkata, bahwa Abu al-Khair ad-Du’Ali berkata, “Aku sedang duduk di sisi Khair an-Nassaj, kemudian seorang wanita datang, dia berkata kepadanya, ‘Berikanlah sapu tangan .yang aku berikan kepadamu.’ Dia menjawab, ‘Baik.? Dia menyerahkannya kepadanya. Wanita itu bertanya, ‘Berapa upahnya?’ Dia menjawab, ‘Dua dirham.’ Wanita itu berkata, ‘Saat itu aku tidak punya uang, aku sudah bolak-balik datang kepadamu namun aku tidak melihatmu, aku akan datang lagi besok insya Allah.” Maka Khair berkata kepadanya, ‘Bila kamu datang kepadaku dan tidak menemukanku maka lemparkanlah dua dirham itu ke sungai Dijlah, bila aku datang aku akan mengambilnya.’ Wanita itu bertanya, ‘Bagaimana engkau mengambilnya dari Dijlah?’ Khair menjawab, ‘Pertanyaan ini bukan urusanmu, lakukan saja apa yang aku perintahkan kepadamu.’ Wanita itu menjawab, ‘Insya Allah.’ Lalu dia pergi.”

Abu al-Husain berkata, “Esok hari aku datang, saat itu Khair tidak di tempat, wanita tersebut datang dengan membawa kantong berisi dua dirham, namun dia tidak menemukan Khair, maka dia melemparkan kantong ke sungai Dijlah. Tiba-tiba seekor kepiting menangkapnya dan membawanya ke dasar air. Sesaat setelahnya Khair datang lantas membuka kiosnya, lalu dia duduk di pinggir sungai untuk berwudhu, tiba-tiba seekor kepiting keluar dari air berjalan ke arahnya sementara kantong itu di punggungnya. Khair pun mengambilnya, lantas aku bertanya kepadanya, ‘Aku melihatmu demikian, demikian.’ Dia berkata, ‘Aku ingin kamu tidak menceritakannya selama aku hidup.’ Aku pun menyanggupinya.”

Penulis berkata, “Cerita ini jauh dari kebenaran. Seandainya ia benar, maka perbuatan ini tetap menyelisihi syariat, karena syariat memerintahkan menjaga harta, sedangkan perbuatan dalam kisah ini adalah menyia-nyiakan harta.”

Dalam ash-Shahih disebutkan bahwa Nabi melarang menyianyiakan harta.

Jangan mendengar ucapan orang yang mengklaim bahwa perbuatan ini sebagai karomah, karena Allah tidak memuliakan penyelisih syariat.

Dari Ali bin Abdurrahim berkata, “Suatu hari aku datang kepada anNuri, dan aku melihat kedua kakinya bengkak, maka aku bertanya tentang sebabnya, dia menjawab, Jiwaku mengajakku makan kurma, namun aku menolaknya, tetapi jiwaku tetap ingin, maka aku membelinya. Tatkala aku memakannya, aku berkata kepadanya, ‘Berdirilah dan shalatlah.’ Namun ia menolak, maka aku berkata, ‘Untuk Allah atasku, aku tak akan duduk selama empat puluh hari kecuali saat tasyahud.’ Maka aku tak duduk.’”

Saya katakan, “Orang bodoh yang mendengar kisah ini akan berkata, ‘Betapa bagusnya mujahadah ini.’ Padahal dia tidak tahu bahwa perbuatan ini dilarang, karena ia membawa jiwa pada apa yang tidak boleh dan menghalang-halanginya dari istirahat yang merupakan haknya.”

Abu Hamid al-Ghazali menceritakan dalam kitab al-Ihya~, dia berkata, “Sebagian syaikh di awal perjalanannya malas untuk shalat malam, maka dia memaksa dirinya berdiri di atas kepalanya sepanjang malam, agar jiwanya mau shalat secara suka rela. Sebagian dari mereka mengatasi cinta harta dengan menjual semua hartanya dan membuangnya ke laut, karena bila dia membagi-bagikannya kepada orang-orang, dia takut keburukan sikap berderma dan riva~ memberi. Sebagian dari mereka menyewa orang untuk mencaci makinya di depan orgng-orang untuk melatih kesantunan diri. Ada juga yang menyeberang lautan di musim dingin saat ombaknya besar untuk melatih keberanian.”

Penulis berkata, “Yang paling aneh dari mereka semuanya adalah Abu Hamid sendiri, bagaimana dia menceritakan kisah-kisah ini tanpa mengingkarinya?! Memang dia tak akan mengingkarinya karena dia menghadirkannya dalam konteks pengajaran.”

Dia berkata sebelum menurunkan hikayat-hikayat ini, “Syaikh harus melihat kepada keadaan murid pemula, bila dia melihat murid memiliki harta melebihi kebutuhannya maka dia mengambilnya dan memberikannya kepada kebaikan dan mengosongkan hatinya darinya hingga hatinya tidak rnenoleh kepadanya. Bila dia melihat kesombongan menquasainya, maka dia menyuruhnya bekerja di pasar, dan memaksanya mengemis secara terus-menerus. Bila dia melihat kemalasan mendominasinya, maka dia mempekerjakannya di WC untuk membersihkannya, menyapu tempat-tempat kotor, di dapur dan bergelut dengan asap. Bila dia melihat nafsu makan padanya, maka dia memaksanya berpuasa. Bila dia melihat anak muda yang nafsunya tidak mengendur dengan puasa, maka dia memerintahkannya agar berbuka dengan minum air tanpa roti, lalu di hari berikutnya berbuka dengan roti tanpa air, dan ia tidak memberinya daging sama sekali.”

Saya katakan, “Saya sungguh heran kepada Abu Hamid, bagaimana dia memerintahkan semua perkara yang menentang syariat ini?! Bagaimana dia membolehkan berdiri di atas kepalanya sepanjang malam, lalu darah turun ke wajahnya, sedangkan hal ini bisa menyebabkan penyakit berbahaya?! Bagaimana dia membolehkan membuang harta ke laut, sementara Rasulullah melarang menyia-nyiakan harta?! Apakah mencaci maki seorang muslim tanpa sebab halal?! Apakah seorang muslim boleh memberi upah orang lain untuk ini?! Bagaimana boleh menyeberangi lautan yang sedang bergejolak, padahal saat itu adalah waktu yang mana kewajiban haji gugur?! Bagaimana mengemis itu dibolehkan bagi siapa yang kuat berusaha?!

Betapa murahnya Abu Hamid al-Ghazali menjual fikih dengan tasawuf!

Penyimpangan Mereka di Bidang Tarbiyah dan Pengarahan

Dari al-Hasan bin Ali ad-Damaghani, ia berkata, “Ada seorang laki-laki penduduk Bistham selalu hadir di majlis Abu Yazid dan tidak pernah meninggalkannya. Suatu hari laki-laki ini berkata kepada Abu Yazid, ‘Wahai Ustadz, aku sudah berpuasa tanpa berbuka dan shalat malam selama tiga puluh tahun dan aku meninggalkan syahwat, namun dalam hatiku sama sekali tidak ada apapun sebagaimana yang engkau katakan.’ Maka Abu Yazid menjawab, ‘Seandainya kamu berpuasa dan shalat malam tiga ratus tahun sedangkan kamu seperti yang aku lihat maka kamu tidak akan mendapatkan ilmu ini walaupun hanya seberat seekor semut.’ Dia bertanya, ‘Mengapa ustadz?’ Abu Yazid menjawab, ‘Karena kamu terhalangi oleh dirimu.’ Dia bertanya, ‘Apakah hal ini ada obatnya hingga hijab ini terangkat?’ Abu Yazid menjawab, ‘Ya, sayangnya kamu tidak akan menerimanya.’ Dia berkata, ‘Tidak, aku siap menerimanya dan mengamalkan apa yang engkau ucapkan.’ Abu Yazid berkata, ‘Pergilah sekarang ke tukang bekam, cukurlah rambut dan jenggotmu, lepaskanlah bajumu ini, gantilah dengan jubah, gantungkanlah keranjang di lehermu dan isilah dengan kelapa, lalu undanglah anak-anak dan berteriaklah sekuatmu, ‘Wahai anak-anak, siapa yang menamparku sekali, maka aku memberinya sebutir kelapa.’ Lalu pergilah ke pasarmu di mana kamu dihormati di sana.’ Laki-laki itu berkata, ‘Wahai Abu Yazid, subhanallah, engkau berkata seperti itu kepadaku, apakah baik aku melakukannya?’ Abu Yazid berkata, ‘Ucapanmu, subhanallah adalah syirik.” Dia bertanya, ‘Bagaimana demikian?’ Abu Yazid menjawab, ‘Karena kamu mengagungkan dirimu lalu kamu menyucikannya.’ Dia berkata, ‘Wahai Abu Yazid, aku tak kuasa melakukan apa yang engkau katakan dan aku tidak akan melakukannya, tetapi tunjukkan cara lain hingga aku melakukannya.’ Maka Abu Yazid menjawab, ‘Lakukanlah ini segera sebelum yang lainnya agar kamu bisa menjatuhkan kedudukanmu dan menghinakan dirimu, setelah itu aku baru akan memberitahumu apa yang baik bagimu.’ Dia berkata, ‘Aku tak mampu.’ Abu Yazid berkata, ‘Kamu tidak menerima.’”

Penulis berkata, “Alhamdulillah tak satu pun dari apa yang diucapkan oleh Abu Yazid ada dalam syariat kita, sebaliknya ia dilarang dan tidak dibolehkan, Nabi kita bersabda, ‘Seorang mukmin tidak patut menghinakan dirinya.”’

Suatu kali Hudzaifah tertinggal darishalatJum’at, dandiamelihat orang-orang telah pulang, maka dia bersembunyi agar tak dipandang rendah karena ketertinggalannya. Apakah syariat menuntut seseorang untuk membuang bekas dari jiwa?! Sebaliknya syariat berusaha membiarkan kedudukan jiwa, kalau ada orang bahlul yang memerintahkan anak-anak agar menamparinya maka perbuatannya adalah buruk.

Kami berlindung kepada Allah dari akal-akal rendah yang meminta murid pemula melakukan sesuatu yang tidak diridhai oleh syariat hingga ia lari menjauh.

Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan dalam kitab al-Ihya’ dari Yahya bin Muadz bahwa dia berkata, aku berkata kepada Abu Yazid, “Apakah kamu memohon ma’rifat kepada Allah?” Dia menjawab, “Berat bagiNya mengenalkannya selainNya.”

Saya katakan, “Ini adalah pengakuan-pengakuan terhadap kebodohan. Bila dia mengisyaratkan kepada ma’rifatullah secara umum, dan bahwa Allah ada dan disifati dengan sifat-sifat, maka hal ini tak seorang pun muslimin yang tak mengetahuinya. Tetapi bila dia mengkhayalkan untukNya bahwa ma’rifatNya adalah mengetahui hakikat dzatNya dan jati diriNya, maka ini adalah kebodohan terhadapNya.”

Abu Hamid menyebutkan bahwa Abu Turab an-Nakhsyabandi berkata kepada seorang muridnya, “Seandainya kamu melihat Abu Yazid sekali saja, niscaya ia lebih bermanfaat bagimu daripada melihat Allah tujuh puluh kali!”

Saya katakan, “Ini merupakan ucapan yang melampaui kegilaan yang bertingkat-tingkat.

Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan dari Ibnu Kurainy bahwa dia berkata, “Aku datang ke suatu tempat, di sana aku dikenal shalih, maka kebanggaan tumbuh dalam hati. Aku masuk ke pemandian umum, dan aku melihat-lihat baju yang bagus, aku pun mencurinya lantas memakainya dan merangkapinya dengan baju tambal-iambalku. Aku pun keluar dengan berjalan perlahan-lahan, namun mereka menyusulku dan menangkapku lantas melepaskan baju tambal-tambalku. lalu mengambil baju bagus dari tubuhku, kemudian mereka menampariku, sesudah itu aku dikenal dengan sebutan maling kamar mandi, maka tenanglah jiwaku.”

Abu Hamid berkata, “Demikian mereka melatih diri mereka hingga Allah mengentaskan mereka dari melihat kepada makhluk kemudian melihat kepada jiwa. Terkadang orang-orang yang mengalami kondisi tersebut (arbabul ahwal) mengobati diri mereka dengan sesuatu yang tidak difatwakan oleh orang yang fakih selama mereka melihat bahwa itulah kebaikan hati mereka, kemudian mereka memperbaiki kekeliruan yang terjadi dari mereka, seperti yang dilakukan oleh orang ini di pemandian!”

Saya katakan, “Mahasuci Allah yang mengeluarkan Abu Hamid dari lingkaran fikih dengan penyusunannya buku al-Ihya’, andaikan saja ia tidak tidak menceritakan kisah yang tidak diperbolehkan ini.

Sedangkan yang aneh, dia mengisahkannya dan menyatakannya bagus, dan pelakunya dia sebut dengan arbabul ahwal. Padahal adakah keadaan yang paling buruk dan paling jelek dari keadaan orang yang menyelisihi syariat dan memandang bahwa kemaslahatan ada di balik apa yang dilarangnya?! Bagaimana boleh berusaha memperbaiki hati dengan melakukan kemaksiatan?!

Apakah dalam syariat sudah tidak ada lagi ajaran yang bisa memperbaiki hatinya hingga dibutuhkan cara yang tidak diperbolehkan di dalam syariat?! Inisetali tiga uang dengan apa yang dilakukan oleh para pemimpin bodoh yang memotong tangan orang yang tidak pantas dipotong, dan membunuh orang yang tidak pantas dibunuh, lalu mereka menyebutnya dengan kebijaksanaan, padahal kandungannya adalah tudahan bahwa syariat tidak bijaksana.

Bagaimana seorang muslim boleh melakukan sesuatu hingga ia disebut, “Maling?!” Bolehkah seorang muslim merendahkan agamanya dan menghapuskan hal itu di depan para saksi Allah di muka bumi?!

Seandainya seorang laki-laki berdiri bersama istrinya di jalanan, dan dia berbicara dengan istrinya serta meraba-rabanya agar orang-orang yang melihatnya berkata tentangnya fasik, niscaya suami ini adalah pelaku dosa.

Kemudian bagaimana boleh mengambil harta orang lain tanpa izinnya?! Kemudian dalam madzhab Ahmad dan asy-Syafi’i disebutkan, “Siapa yang mencuri baju di pemandian yang ada penjaganya, maka tangannya dipotong. Kemudian siapa arbabul ahwal hingga mereka ? beramal sesuai dengan kenyataan mereka?! Tidak, demi Allah! Sesungguhnya kita mempunya syariat yang seandainya Abu Bakar ashShiddiq hendak keluar darinya untuk mengamalkan akalnya niscaya hal itu tetap tidak diterima darinya.”

Aku lebih heran terhadap laki-laki fakih yang fikinnya dicabut darinya karena tasawuf daripada terhadap laki-laki yang ditelanjangi karena mencuri baju itu.
Menghina Diri Mereka

Dari Muhammad bin Ahmad an-Najjar berkata, bahwa Ali bin Babawaih adalah penganut sufi. Suatu hari dia membeli sepotong daging, dan hendak membawanya pulang, namun dia malu kepada orang-orang pasar, maka dia menggantungkan daging di lehernya dan pulang.

Saya katakan, “Sungguh benar-benar aneh orang-orang yang menuntut diri mereka membuang dampak tabiat, padahal itu sebuah perkara yang mustahil dan tidak pula dituntut oleh syariat, bahkan ia telah tertanam dalam tabiat bahwa seseorang tidak suka dilihat kecuali dalam pakaian yang bagus, dia malu bila telanjang dan membuka kepalanya dan syariat pun tidak memungkirinya.”

Penghinaan terhadap diri di depan orang-orang yang dilakukan oleh orang ini adalah perbuatan buruk dari sisi syariat dan akal, serta menjatuhkan kehormatan bukan latihan, ibarat orang yang membawa alas kakinya di kepalanya.

Allah telah memuliakan manusia, dan memberi mereka orang yang bisa melayaninya, maka bukanlah terrmasuk ajaran agama ini seseorang yang menghinakan dirinya di depan manusia.

Ada kelompok sufi yang bernarna al-Malamatiyvah, mereka melakukan dosa-dosa dan berkata, “Tujuan kami agar kedudukan kami jatuh di depan orang-orang, hingga kami selamat dari dampak buruk kedudukan dan selamat dari lingkaran orang-orang riya~.”

Mereka ibarat orang yang berzina dengan seorang wanita dan wanita tersebut hamil, lalu orang tersebut ditanya, “Mengapa kamu tidak melakukan az/ saat berzina?” Dia menjawab, “Aku mendengar bahwa azl makruh.”‘ Lalu dikatakan kepadanya, “Dan tidakkah kamu tahu bahwa zina itu haram?!”

Orang-orang bodoh itu telah menjatuhkan kehormatan mereka di depan Allah, mereka lupa bahwa kaum muslimin adalah para saksi Allah di muka bumi.”

Dari Abu Amru bin Ulwan berkata, bahwa Abu al-Husain an-Nurj membawa tiga ratus dinar hasil penjualan rumahnya, dan dia duduk dj sebuah jembatan, lalu dia melemparnya satu demi satu ke sungai sambil berkata, “Kamu datang kepadaku hendak menipuku dengan seperti ini!!” As-Sarraj berkata, “Maka sebagian orang berkata, ‘Seandainya ia membelanjakannya di jalan Allah niscaya ia lebih baik baginya.’”

Saya katakan, “Bila dinar-dinar itu menyibukkannya dari Allah sekejap saja, maka wajib atasnya membuangnya ke dalam air sekaligus, hingga dia bisa cepat bebas dari fitnahnya, sebagaimana Allah berfirman:

“Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.” (QS. Shad: 33).

Saya katakan, “Orang-orang itu telah membuka kedok mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh dalam syariat, tidak berakal, sedangkan kami telah menjelaskannya sebelumnya bahwa syariat memerintahkan menjaga harta, bahwa harta tidak diserahkan kecuali kepada orang yang kapabel, dan syariat menjadikannya sebagai tulang punggung hidup manusia, akal pun mengakuinya bahwa harta diciptakan untuk berbagai kebaikan. Bila seseorang melemparkannya ke dalam sungai, maka dia merusak sesuatu yang merupakan sebab maslahatnya, dan ia bodoh terhadap hikmah peletaknya.

Pemakluman as-Sarraj terhadapnya adalah lebih buruk daripada perbuatannya, karena bila dia takut firnahnya, maka sepatutnya dia melemparkannya kepada orang miskin dan bebas. Penyimpangan-penyimpangan Mereka dalam Tafsir AlQuran Di antara kebodohan mereka adalah bahwa mereka membawa al-Qur’an kepada akal mereka yang rusak, berhujjah kepada perbuatan Sulaiman yang mengusap kaki dan leher kuda-kudanya dan menyangka bahwa hal itu menunjukkan dibolehkannya merusak, padahal merusak tak pernah dibolehkan dalam satu syariat pun, sementara Sulaiman hanya mengusapkan tangannya dan berkata, “Kamu di jalan Allah.”

Abu Nashr as-Sarraj berkata dalam kitab al-Luma’, bahwa Abu Ja far ad-Darraj berkata, “Suatu hari ustadzku berwudhu, maka aku membawa ember, lalu aku menelitinya, dan aku menemukan sesuatu dari perak yang harganya empat dirham. Malam itu, dia bermalam tanpa makan apa pun. Tatkala dia kembali, aku berkata kepadanya, ‘Kami lapar, sedangkan di embermu adadirham sekian, sekian.’ Dia bertanya, ‘Kamu mengambilnya? Kembalikanlah.’ Setelah itu dia berkata kepadaku, ‘Ambillah dan belilah sesuatu dengannya.’ Aku bertanya, ‘Demi hak Rabbmu, bagaimana kisah perak ini.’ Dia menjawab, ‘Allah tidak memberiku rizki dari dunia selainnya, aku hendak berwasiat bila aku mati pendamlah ia bersamaku, bila Kiamat tiba, aku akan mengembalikannya kepada Allah, aku akan berkata kepadaNya, ‘Inilah yang Engkau berikan kepadaku di dunia.’”

Dari Abu Abdullah al-Hushri berkata, “Abu Ja’ far al-Haddad menjalani hidup selama dua puluh tahun bekerja dengan upah satu dinar perhari, dia memberikannya kepada orang-orang fakir dan dia sendiri berpuasa, sementara di antara waktu Maghrib dan Isya’ dia berkeliling dari pintu ke pintu meminta makan untuk berbuka puasa.”

Penulis berkata, “Seandainya orang ini tahu bahwa mengemis bagi orang yang masih mampu berusaha tidak boleh, niscaya dia tak melakukannya. Bila kita asumsikan boleh, lalu di mana kemuliaan jiwa dari kehinaan mengemis?!”

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Salah seorang di antara kalian terus-menerus meminta hingga dia bertemu Allah sementara di wajahnya tak ada secuil pun daging.

Dari az-Zubair bin al-Awwam, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Seorang laki-laki mengambil tambang dan mencari kayu bakar, kemudian kembali dan meletakkannya di pasar lantas menjualnya, kemudian mencukupi diri dengan menginfakkannya kepada dirinya adalah lebih baik daripada dia meminta kepada manusia, mereka memberinya atau tidak. ” Dalam hadits Abdullah bin Amru dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Sedekah tidak halal bagi orang kaya dan bagi orang kuat yang sehat.”

Kata bermakna kuat, asalnya dari kuatnya ikatan tambang, dikatakan yang berarti aku memilihnya dengan kuat, Maknanya dalam hadits adalah kekuatan manusia, kesehatan jasmani yang dengannya seseorang kuat memikul beban dan lelah.

Asy-Syafi’i berkata, “Sedekah tidak halal bagi orang yang mempu

nyai kemampuan untuk berusaha.” Bentuk-bentuk Penyimpangan Mereka Dari Abu al-Hasan Yunus bin Abu Bakar asy-Syibli berkata, “Suatu malam bapakku berdiri, dan dia meninggalkan satu kaki di atas atap dan kaki lainnya di atas rumah, lalu aku mendengarnya berkata, ‘Bila kamu gemetar, maka aku akan melemparmu ke rumah.’ Dia terus demikian sampai pagi. Saat pagi tiba aku mendengarnya berkata, ‘Wahai anakku, malam ini aku tidak mendengar seorang pun yang berdizkir kepada Allah kecuali seekor ayam jago yang harganya hanya dua daniq.’”

Penulis berkata bahwa laki-laki ini menggabungkan dua perkara yang tidak boleh.

> Pertama: Membahayakan diri, seandainya dia kalah oleh kantuknya lalu jatuh, maka dia telah mencelakakan dirinya, tanpa ragu seandainya dia melemparkan dirinya, maka dia melakukan kemaksiatan besar, maka memposisikan dirinya dalam resiko bahaya adalah juga maksiat.
> Kedua: Dia tidak memberikan hak tidur kepada kedua matanya, padahal Nabi bersabda:
“Sesungguhnya jasadmu mempunyai hak atasmu, sesungguhnya istrimu mempunyai hak atasmu, sesungguhnya matamu mempunyai hak atasmu.” Nabi bersabda:

“Bila salah seorang dari kalian mengantuk maka hendaklah ia tidur, “

Nabi melewati tambang yang dipasang oleh Zainab, apabila dia lelah, dia berpegangan kepadanya, maka Nabi memerintahkan agar ja diturunkan, beliau bersabda:

“Hendaknya salah seorang dari kalian shalat saat giat, bila malas atau lelah maka silakan tidur. ”

Dari al-Husain bin Ahmad bin Abdurrahman ash-Shaffar berkata, “Asy-Syibli keluar pada hari raya, dan dia telah mencukur alis serta bulu matanya, dia memakai surban dan berkata, Manusia mempunyai saat berbuka dan hari raya

Sedangkan aku adalah orang khusus tersendiri

Dari Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Abu Shabir ad-Dallal berkata, “Aku melihat asy-Syibli di kubah para penyair di masjid Jami’ alManshur, orang-orang berkumpul di sekitarnya, lalu di halaqah tersebut berdiri seorang anak muda yang rupawan, sedangkan di Baghdad tidak ada anak muda yang lebih rupawan darinya, dia dikenal dengan nama Ibnu Muslim, maka asy-Syibli berkata kepadanya, ‘Menyingkirlah.’ Anak muda itu tidak bergeming. Kemudian asy-Syibli berkata yang kedua kalinya, ‘Dasar setan! Menyingkirlah kamu dari kami.’ Namun anak muda itu tetap di tempat. Maka asy-Syibli berkata untuk yang ketiga kalinya, ‘Menyingkirlah atau aku akan mencabik-cabik apa yang ada padamu.’ Anak muda ini berpakaian sangat bagus yang harganya sangat mahal, maka anak muda itu menyingkir, lalu asy-Syibli berkata:

Mereka melemparkan daging kepada rajawali
di atas dua puncak Adan
Kemudian mereka menyalahkan rajawali saat Mereka melepaskan tali kekang dari mereka
Kalau mereka menginginkan kebaikan kami
Mereka menutup wajahmu yang tampan.

Ibnu Aqil berkata, “Barangsiapa berkata demikian, maka dia telah keliru dari jalan syariat, karena dia berkata bahwa Allah tidak menciptakan wajah tampan kecuali untuk memicu fitnah, padahal tidak demikian, Allah menciptakannya untuk dijadikan sebagai pelajaran dan ujian, karena matahari diciptakan untuk menyinari bukan disembah.”

Dari Ahmad bin Muhammad an-Nuhawandi berkata bahwa anak asySvibli bernama Ali mati, lalu ibunya memotong rambutnya untuknya, maka asy-Syibli vang berjenggot lebat mencukur seluruh jenggotnya. Dia ditanya, “Wahai Ustadz, mengapa engkau melakukannya?” Dia menjawab, “Istrinya memotong rambutnya untuk anak yang mati, apakah aku tidak mencukur jenggotku untuk yang ada?!”

Dari Abdullah bin Ali as-Sarraj berkata, “Terkadang asy-Syibli memakai baju mahal kemudian dia melepasnya dan meletakkannya di atas api.”

Dia berkata, “Ada yang berkata bahwa asy-Syibli mengambil sepotong kayu gaharu, dan membakarnya, sedangkan asapnya dia gunakan untuk mengaromai ekor keledai.”

As-Sarraj berkata, “Dikisahkan dari asy-Syibli bahwa dia menjual rumahnya, lalu dia membagi-bagikan hasilnya, padahal dia memiliki keluarga, namun dia tak memberi mereka sepeser pun, dia mendengar seseorang membaca, “Tinggallah dengan hina di dalarnnya,” (QS. alMukminun 108), maka dia berkata, “Seandainya aku salah satu dari mereka.”

Saya berkata, “Laki-laki ini menyangka bahwa yang berbicara kepada mereka adalah Allah, padahal Allah tidak berbicara kepada mereka. Kemudian seandainya Allah berbicara kepada mereka sebagai penghinaan, lalu apa artinya ini hingga ia diminta?!”

As-Saraj berkata, “Suatu kali asy-Syibli berkata dalam majlisnya, “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba, bila mereka meludahi Jahanam niscaya ia padam.”

Saya katakan, “Ini sejenis dengan ucapan Abu Yazid, dan keduanya dari sumber yang sama.” .

Dari Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Aku mendengar bahwa asy-Syibli bercelak dengan garam sekian-sekian agar bisa terjaga dan tidak tidur.”

Penulis berkaia, “Ini adalah perbuatan buruk, seorang muslim tidak halal menyiksa dirinya, karena ia menyebabkan buta, dan tidak boleh berjaga terus-menerus, karena ia mengabaikan hak jiwa, dan sepertinya yang membuatnya keluar ke keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan seperti ini adalah rasa lapar dan menolak tidur!!”

Saya katakan, “Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan bahwa asy-Syibli mengambil lima puluh dinar, dan dia membuangnya di sungai Dijlah, lalu dia berkata, “Tak seorang pun memuliakanmu kecuali Allah menghinakannya.”

Aku lebih heran kepada Abu Hamid melebihi keherananku kepada asy-Syibli, karena Abu Hamid menyebutkannya sebagai sebuah sanjungan dan ia sama sekali tidak mengingkarinya, lalu di manakah dampak fikih?!

Kebodohan-kebodohan Fikih Mereka

Dari Husain bin Abdullah al-Qazwaini berkata, bahwa orang yang hadir di majlis Bannan menyampaikan kepadaku bahwa dia berkata, “Suatu hari aku tidak mendapatkan makanan, sampai aku mencapai batas darurat. Aku melihat sepotong emas tergolek di tanah, lalu aku hendak mengambilnya, maka aku berkata, ‘Luqathah.’” Aku meninggalkannya kemudian aku teringat hadits yang berkata, ‘Seandainya dunia adalah darah segar, niscaya makanan seorang muslim darinya halal.’ Aku pun mengambilnya dan memasukkannya ke mulutku. Tatkala aku berjalan belum jauh, aku melihat sekumpulan anak-anak, salah seorang dari mereka berbicara kepada teman-temannya, salah seorang dari mereka bertanya, ‘Kapan seorang hamba merasakan hakikat kejujuran?’ Anak itu menjawab, ‘Bila dia memuntahkan potongan dari rahangnya.’ Maka aku mengeluarkannya dari mulutku dan melemparkannya.”

Penulis berkata, “Para fuqaha tidak berbeda pendapat bahwa dia tidak boleh membuangnya.”

Yang aneh dia melemparnya hanya karena ucapan seorang anak kecil yang tidak mengerti apa yang diucapkan.

Abu Hamid al-Ghazali menyebutkan bahwa Syaqiq al-Balkhi datang kepada Abu al-Qasim az-Zahid, sementara di ujung kainnya ada sebuah buntalan, maka Abu al-Qasim bertanya kepadanya, “Kamu membawa apa?” Dia menjawab, “Beberapa potong kue pemberian saudaraku, dia berkata kepadaku, ‘Aku ingin engkau berbuka puasa dengannya.’ Maka Abu al-Qasim berkata, ‘Wahai Syaqiq, kamu berharap masih hidup hingga malam ini. Demi Allah, aku tak akan berbicara kepadamu selamanya.’ Lalu dia menutup pintunya di wajah Syaqiq dan masuk. Saya katakan, “Lihatlah kepada fikih yang aneh ini, bagaimana dia menghajr (mendiamkan) seorang muslim atas perbuatan yang boleh, bahkan dianjurkan, karena seseorang diperintahkan untuk menyiapkan makanan berbukanya, dan menyiapkan sesuatu sebelum kedatangannya adalah ketegqasan, karena hal itu Allah berfirman:

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. al-Anfal: 60).

Rasulullaah pun menyimpan untuk keluarganya makanan pokok selama setahun. Umar datang kepada Rasulullah dengan membawa separuh hartanya dan menyimpan sisanya sementara Nabi tidak memungkirinya. Kebodohanlah yang telah merusak para ahli zuhud.

Dari Ahmad bin Ishaq al-Umani berkata, “Aku melihat seorang syaikh di India, dikenal dengan ash-Shabir (orang yang sabar), selama seratus tahun dia memejamkan salah satu matanya, lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Shabir, sejauh mana sabarmu?” Dia menjawab, “Aku ingin melihat kepada perhiasan dunia, namun aku tidak ingin memuaskan diri darinya, maka aku memejamkan mataku selama delapan puluh tahun, dan aku tidak membukanya.”

Saya berkata, “Maksudnya adalah melihat dunia dengan satu mata. Kami memohon kesehatan akal kepada Allah.”

Yusuf bin Ayyub al-Hamdani menceritakan dari syaikhnya Abdullah al-Jauni bahwa dia berkata, “Kedudukan ini tidak aku raih dari mihrab, sebaliknya dari WC. Aku menjadi tukang bersih-bersih WC, suatu hari saat aku menyapu dan membersihkannya, jiwaku berkata kepadaku, ‘Kamu menghabiskan umurmu untuk ini.” Maka aku menjawab untuk jiwaku, ‘Kamu menolak berkhidmat kepada hamba-hamba Allah?’ Maka aku melongok mulut sumur pembuangan, dan aku menceburkan diriku, lalu aku memasukkan sesuatu yang najis ke mulutku, maka orang-orang datang dan mengeluarkanku serta membersihkanku.”

Saya katakan, “Lihatlah kepada orang yang patut dikasihani ini, bagaimana dia meyakini bahwa mengumpulkan para pengikutnya di belakangnya adalah kedudukan. Dia meyakini bahwa kedudukan ini terwujud baginya karena dia menceburkan diri ke sumur pembuangan dan memasukkan najas ke mulutnya, lalu dengan itu dia meraih sebuah keutamaan besar yang dibalas dengan banyaknya pengikut, padahal perbuatannya ini adalah kemaksiatan, dan pelakunya harus bertaubat darinya.”

Secara umum, karena mereka adalah orang orang bodoh, maka kecerobohan mereka pun banyak.

Davi Muhammad bin Ali al-Kattani berkata, bahwa al Husain bin Manshur masuk Makkah di awal pencariannya, maka kami kelaparan, sampai kami mengambil bajunya yang tambal-tambal, dan kami memunguti kutu darinya, kemudian kami menimbang hasil, dan setengah daniq karena banyaknya dia latihan dan kerasnya dia bermujahadah.

Saya katakan, “Lihatlah orang yang tak tahu kebersihan yang dianjurkan oleh syariat, padahal syariat membolehkan mencukur rambut saat ihram karena gangguan kutu atau lainnya, dan menggantinya dengan fidyah. Lebih bodoh dari ini adalah orang yang meyakini hal ini sebagai latihan.”

Mereka Menjatuhkan Harga Diri Mereka

Di antara orang-orang sufi ada orang-orang yang berkata, “Kami melakukan dosa-dosa dan tujuan kami adalah agar kami jatuh di mata manusia, dengan itu kami selamat dari kedudukan.” Padahal mereka telah menjatuhkan harga diri mereka di sisi Allah karena menyelisihi syariatNya.

Anda melihat mereka menampakkan dari diri mereka apa yang paling buruk yang ada pada diri mereka dan menyembunyikan apa yang terbaik. Perbuatan mereka ini termasuk perbuatan yang sangat buruk, Rasulullah bersabda mengenai perbuatan Ma’iz, “Wahai orang ini, mengapa kamu tidak menutupinya dengan bajumu?”

Sebagian shahabat melewati Rasulullah saat beliau berbincang dengan Shafiyah istrinya, maka beliau bersabda, “Ini Shafiyah.

Orang-orang sudah paham sepatutnya menjauhi hal-hal yang mengundang persangkaan yang buruk, karena orang-orang mukmin adalah para saksi Allah di muka bumi.

Seorang laki-laki berkata kepada sebagian shahabat, “Sesungguhnya aku melakukan dosa ini dan ini.” Maka dia menjawab, “Allah telah menutupinya atasmu, seandainya kamu juga menutupinya atas dirimu.”

Orang-orang itu menyelisihi syariat, dan mereka ingin memutus apa yang jiwa-jiwa itu diciptakan di atasnya.

Pengikut Paham Permisif yang Menyusup di Kalangan Orang-orang Sufi

Para pengikut paham permisif menyusup di barisan orang-orang sufi, mereka menyerupai orang-orang sufi mereka demi menjaga darah mereka. Maka mereka terbagi menjadi tiga kelompok:

> Pertama: Orang-orang kafir, di antara mereka ada orang-orang yang tidak mengakui Allah, dan di antara mereka ada yang mengakuiNya, tetapi tidak mengakui kenabian, mereka berkeyakinan bahwa apa yang dibawa oleh para nabi adalah mustahil.

Saat mereka ingin mengumbar hawa nafsu, mereka tidak menemukan tameng sebagai alat bersembunyi dan berlindung yang bisa mewujudkan ambisi jiwa mereka seperti madzhab tasawuf, maka mereka masuk ke dalamnya secara lahir, padahal secara batin mereka adalah orang-orang kafir. Untuk orang-orang seperti ini hanya ada satu, yaitu pedang (dibunuh), Semoga Allah melaknat mereka.

> Kedua: Orang-orang yang mengakui Islam, hanya saja dalam berbuat, mereka bertaklid kepada syaikh-syaikh mereka tanpa berpijak kepada dalil atau yang semisalnya. Mereka melakukan apa pun yang diperintahkan oleh syaikh-syaikh mereka dan apa yang mereka lihat dari syaikh-syaikh mereka.
> Ketiga: Orang-orang yang terhadang oleh syubhat, lalu mereka mengamalkannya.?”

Dasar yang darinya syubhat mereka tumbuh adalah bahwa tatkala mereka hendak melihat madzhab orang-orang tersebut, Iblis datang dan mengacaukan mereka, maka dia menunjukkan kepada mereka bahwa syubhat bertentangan dengan hujah, dan memisahkannya sulit, bahwa apa yang dimaksud lebih tinggi untuk sekedar diraih dengan ilmu, keberhasilan hanyalah keberuntungan yang digiring kepada seorang hamba bukan dengan usaha mencari, maka Iblis menutup pintu keselamatan yakni menuntut ilmu, selanjutnya mereka alergi terhadap sesuatu yang bernama ilmu, layaknya orang Syi’ah alergi terhadap nama Abu Bakar dan Umar, mereka berkata, “IImu adalah hijab, dan para ulama adalah orang-orang yang terhalang dari tujuannya karena ilmu.”

Bila seorang ulama mengingkari mereka, maka mereka berkata kepada orang-orang yang mengikuti mereka, “Orang ini sama seperti kita secara batin, dia menampakkan apa yang berlawanan dengan kita untuk orang-orang awam yang lemah akalnya.”

Bila ulama itu menyelisihi mereka dengan kuat, maka mereka berkata, “Orang ini lemah akalnya, dia terkungkung oleh syariat, terhalangi dari maksud.”
Kemudian mereka beramal atas dasar syubhat-syubhat yang terjadi atas mereka. Seandainya mereka sadar, niscaya mereka tahu bahwa amal mereka yang hanya berpijak kepada syubhat-syubhat mereka adalah ilmu, berarti pengingkaran mereka terhadap ilmu batal.

Saya akan menyebutkan syubhat-syubhat mereka dan membongkarnya insya Allah Ta’ala.

Qadha~ dan Qadar

Syubhat Pertama: Mereka berkata, “Bila segala urusan telah ditakdirkan sebelumnya, ada beberapa orang yang ditetapkan mendapatkan kebahagiaan, sedangkan yang lain mendapatkan kesengsaraan, yang berbahagia tidak sengsara dan yang sengsara tidak berbahagia, dan amal perbuatan bukan merupakan tujuan utama, akan tetapi hanya sarana untuk mendapatkan kebahagiaan dan menolak kesengsaraan, sedangkan keberadaan amal telah mendahului kita, maka tidak ada alasan untuk melelahkan diri dalam beramal dan mencegahnya dari kelezatan, karena apa yang telah ditulis dalam takdir pasti akan terjadi tidak bisa tidak.

Jawaban terhadap syubhat ini, adalah dengan dikatakan kepada mereka bahwa ucapan di atas membatalkan semua syariat, dan menolak semua hukum kitab-kitab, serta mendustakan apa yang dibawa oleh para nabi, karena bila al-’Qur’an berkata, “Dirikanlah shalat…” (QS. al-An’am: 72), maka seseorang akan berkata, “Untuk apa shalat? Bila aku adalah orang yang bahagia maka aku akan berjalan menuju kebahagiaan, dan bila aku sengsara maka aku akan berjalan menuju kesengsaraan, lalu apa manfaat mendirikan shalat bagiku?”

Demikian halnya bila al-Qur’an menyatakan, “Dan janganlah kamu mendekati zina;” (QS. al-Isra~: 32), seseorang akan berkata, “Mengapa aku harus menahan diri dari kenikmatannya, sementara kebahagiaan dan kesengsaraan sudah ditetapkan dan sudah selesai?”

Firaun bisa mengucapkan ucapan senada kepada Musa saat dia berkata kepadanya, “‘Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan).” (QS. an-Nazi’at: 18). Kemudian dia akan berbicara kepada Khalik, “Apa gunanya Engkau mengutus para rasul sementara takdirmu akan tetap berlaku?”

Sesuatu yang menyeret kepada penolakan terhadap kitab-kitab dan membodohkan para rasul adalah mustahil lagi batil, oleh karena itu Rasulullah menjawab para shahabat saat mereka berkata, “Mengapa kita tidak bersandar saja?” Beliau menjawab, “Beramallah, karena masing-masing orang dimudahkan kepada apa yang mana dia diciptakan untuknya.

Sadarilah bahwa manusia mempunyai usaha yang merupakan pilihannya, atas dasar inilah pahala dan hukuman berlaku. Apabila seseorang telah menyelisihi, maka kita mengetahui bahwa Allah telah memutuskan dalam ilmuNya yang mendahului bahwa dia menyelisihi, maka Allah menghukumnya atas penyelisihannya bukan atas ketetapannya, oleh karena itu pembunuh dibunuh dan tidak diberi alasan dengan takdir.

Rasulullah mengembalikan para shahabat dari memikirkan takdir kepada amal perbuatan, karena perintah dan larangan adalah keadaan yang lahir, sedangkan yang ditakdirkan darinya adalah perkara yang tersembunyi, sedangkan kita tidak boleh meninggalkan beban taklif yang kita ketahui dan mengambil ketetapan Allah yang tidak kita ketahui.

Sabda Nabi, “Masing-masing dirnudahkan kepada apa yang dia diciptakan untuknya,” yaitu sebagai isyarat kepada sebab-sebab takdir, bahwa barangsiapa ditetapkan baginya untuk mengetahui ilmu, maka dia ~ akan dimudahkan untuk mencarinya, mencintainya dan memahaminya. Sebaliknya, barangsiapa ditetapkan baginya untuk tidak mengetahui, maka cinta kepada ilmu dicabut dari hatinya, demikian halnya dengan ditetapkan anak baginyva maka akan dimudahkan kepada pernikahan, Sebaliknya siapa yang tidak ditetapkan anak baginya maka tidak dimudahkan kepada pernikahan. ,

Kebodohan Mereka Terhadap Allah Syubhat Kedua: Mereka berkata, “Allah tidak memerlukan amal kita, dan tidak terpengaruh oleh amal kita, baik ketaatan ataupun kemaksiatan, karena itu kita tidak perlu melelahkan diri untuk sesuatu yang tak bermanfaat.”

Kami menjawab syubhat ini dengan jawaban pertama, kami katakan bahwa ini adalah penolakan terhadap perintah-perintah syariat, seolaholah kita berkata kepada Rasulullah $8 padahal Allah yang mengutusnya, “Tidak ada manfaat pada apa yang engkau perintahkan kepada kami.”

Kemudian kami katakan bahwa barangsiapa menyangka bahwa Allah mengambil manfaat dari ketaatan atau merugi karena kemaksiatan atau meraih maksud tertentu darinya, maka dia tidak mengetahui Allah, karena Allah tersucikan dari hal-hal insidentil dan tendensi-tendensi, dan mengambil manfaat atau tertimpa mudharat, akan tetapi manfaat amal

perbuatan kembali kepada kita, sebagaimana Allah berfirman:

“Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.” (QS. al-Ankabut:

“Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya_ ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri.” (QS. Fathir: 18).

Seorang dokter meminta pasien untuk menjaga makanannya demi kepentingan si pasien, bukan demi kepentingan si dokter, sebagaimana badan mendapatkan manfaat dan madharat dari makanan, maka demikian juga jiwa, ia mendapatkan manfaat dan madharat dari ilmu dan kebodohan, keyakinan dan amal. Maka peletak syariat seperti dokter, Dia lebih mengetahui kemaslahatan di balik perintahNya!

Luasnya Rahmat Allah

Syubhat Ketiga: Mereka berkata, “Luasnya rahmat Allah sudah terbukti, dan ia tidak sempit bagi kita, maka tidak ada alasan untuk mencegah jiwa kita meraih kesenangannya.”

Jawabannya seperti jawaban pertama, bahwa ucapan di atas mencampakkan ancaman siksa yang disampaikan oleh pera rasul, meremehkan peringatan mereka dalam hal ini dan ancama siksanya yang mereka sampaikan.

Di antara yang membuka talbis iniadalahseb Allah menyifati dirinya dengan rahmat, Dia juga menvifati diriNya dengan Syadidul ‘Igab (keras hukumanNya). Kami melihat para nabi dan para wali diuji dengan sakit dan lapar, dan diingatkan bila salah bagaimana tidak demikian sementara orang yang dipastikan selamat tetap takut kepadanya. AlKhalil berkata di Hari Kiamat, “Diriku, diriku,” dan Musa al-Kalim pun juga berkata demikian.

Umar bin al-Khatthab berkata, “Celaka bagi Umar bila Rabbnya tidak mengampuninya.”

Sadarilah bahwa barangsiapa berharap rahmat, maka dia berusaha mendapatkan sebab-sebabnya, dan di antara sebab-sebabnya adalah taubat dari dosa, sebagaimana orang yang berharap memanen maka dia akan menanam, Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu. mengharapkan rahmat Allah,” (QS. al-Baqarah: 218).

Yakni mereka patut berharap, berbeda dengan orang-orang yang melakukan dosa secara terus menerus, mereka berharap rahmat Allah, maka harapan mereka sangat jauh.“”

Ma’ruf al-Karkhi berkata, “Harapanmu kepada rahmat dari Allah yang tidak kamu taati adalah tipu daya dan kebodohan.”

Kebodohan Mereka Terhadap Tujuan Syariat

Syubhat Keempat: Beberapa orang di antara mereka memahami bahwa yang dimaksud adalah melatih jiwa untuk membersihkannya dari kotorankotorannya yang buruk, tatkala mereka telah melatih jiwa beberapa waktu, dan mereka melihat sulitnya mencapai tingkat kejernihan, mereka pun menyerah dan berkata, “Mengapa kita melelahkan diri untuk sesuatu yang tidak terwujud bagi manusia?” Mereka pun meninggalkan amal.

Membuka talbis ini adalah dengan mengatakan bahwa orang-orang itu menyangka bahwa yang dimaksud adalah membuang sifat-sifat kemanusiaan dari jiwa, seperti membuang syahwat, amarah dan yang sepertinya, padahal ini bukan yang dimaksud oleh syariat, dan tidak mungkin melenyapkan apa yang tertanam dalam tabiat melalui latihan, karena syahwat diciptakan untuk suatu faidah, karena kalau tidak ada syahwat makan, maka manusia akan mati, kalau tidak ada dorongan menikah maka keturunan akan terputus, kalau tidak ada amarah, maka orang tak akan menolak apa yang menyakitinya, demikian halnya dengan cinta harta, ia tertanam dalam tabiat, karena ia menyampaikan kepada syahwat.

Yang dimaksud dengan latihan adalah menahan diri dari sesuatu yang membahayakan dari semua itu dan mengembalikannya ke titik keseimbangan.

Allah menyanjung orang yang menahan jiwanya dari hawa nafsu. Kamu tiada lain menghentikan apa yang diminta jiwa, seandainya jiwa sudah tidak meminta apa pun, maka manusia tidak perlu lagi menahan diri.

Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya” (QS. Ali Imran: 134).

Dan Allah tidak berfirman dan orang-orang yang kehilangan amarah mereka, dan adalah menahan amarah, dikatakan bila unta menolak apa yang diperutnya dengan mengembalikannya lagi ke tenggorokannya untuk dikunyah lagi.

Allah menyanjung orang yang menahan diri sehingga tidak menuruti apa yang dituntut oleh rasa marahnya.

Barangsiapa mengklaim bahwa latihan bisa merubah tabiat, maka dia mengklaim sesuatu yang mustahil, karena yang dimaksud dengan latihan adalah menumpulkan tajamnya syahwat hawa nafsu dan marah bukan melenyapkannya.

Orang yang melatih dirinya seperti seorang tabib saat dihidangkan padanya makanan, lalu dia menyantap apa yang baik bagi dirinya dan menahan diri dari apa yang merugikannya. Sedangkan orang yang tidak latihan adalah seperti anak kecil yang bodoh, makan apa saja yang dia inginkan tanpa mempedulikan akibatnya.

Kesesatan Mereka dalam Perkara Wushul
Syubhat Kelima: Beberapa orang dari kalangan mereka berlebihlebihan dalam melatih diri, lalu mereka melihat sesuatu yang mirip karomah atau mimpi yang baik, atau dibuka bagi mereka kalimat-kalimat yang bijak sebagai buah pemikiran dan khalwat, saat itu mereka meyakini telah sampai ke tujuan, maka mereka pun berkata, “Kita sudah sampai ke tujuan, maka tak ada sesuatu pun yang bisa membahayakan kita. Siapa yang sudah sampai ke Ka’bah, maka dia tak perlu lelah berjalan.” Maka mereka meninggalkan amal, hanya saja mereka menghiasi lahir mereka dengan baju tambal-tambal, sajadah, joget dan wajd, dan mereka mengucapkan kata-kata sufi di bidang ma’rifat, wajd dan syauq.

Ibnu Aqil berkata, “Ketahuilah bahwa orang-orang berlari menjauh dari Allah, dan mereka menjauh dari aturan syariat kepada keadaankeadaan mereka yang mereka rekayasa sendiri. Di antara mereka ada yang menyembah selainNya, mengagungkan selainNya dan meninggalkan ibadah serta menjadikan hal itu sebagai wasilah, demikian mereka mengklaim.

Di antara mereka ada yang bertauhid, namun ia meniadakan semua ibadah, dan dia berkata, “Ibadah-ibadah ini ditetapkan untuk orang-orang awam karena mereka tidak meraih ma’rifat.”

Ini adalah bentuk syirik, karena tatkala Allah mengetahui bahwa ma‘ rifatNya memiliki dasar yang dalam dan derajat yang tinggi dan orang yang tidak mengetahuinya, sulit diharapkan bisa takut kepada api neraka, karena manusia sudah merasakan sengatan panasnya, Allah berfirman:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,” (QS. al-Haj: 37).

Maka diketahui bahwa pijakannya adalah tujuan, dan tidak cukup sekedar mengetahui tanpa pengamalan sebagaimana yang diandalkan oleh orang-orang Batiniyah yang mulhid dan orang-orang sufi yang melenceng.

Abu Ali ar-Ruwadzbari ditanya -sebagaimana yang telah disebutkantentang orang yang berkata, “Aku sudah sampai ke sebuah derajat yang membuatku tak terpengaruh oleh perubahan keadaan.” Maka Abu Ali menjawab, “Benar, dia sudah sampai, akan tetapi ke dasar neraka Saqar!”

Kritik Terhadap Takwil-takwil Sufi

Karena ilmu orang-orang sufi di bidang syariat minim, maka mereka mengucapkan dan melakukan hal-hal yang tidak halal, kemudian orang-orang yang bukan dari kalangan mereka meniru mereka, mengambil nama mereka, melakukan dan mengucapkan seperti yang telah kami sebutkan, sedangkan orang yang benar dari kalangan mereka jarang, dan para ulama pun mencela dan mengkritik mereka tak terkecuali para syaikh mereka sendiri.

Dari Abdil Malik bin Ziyad an-Nashibi berkata, “Kami sedang duduk di depan Malik, lalu aku menyebutkan orang-orang sufi di negeri kami, dan aku berkata kepadanya, ‘Mereka memakai baju-baju Yaman yang mahal dan melakukan ini dan ini.’ Malik menjawab, ‘Celaka dirimu, apakah mereka orang-orang Islam?’ Dia berkata, ‘Lalu Malik tertawa hingga dia terlentang.’ Maka sebagian rekan-rekannya berkata kepadaku, ‘Wahai orang ini, kami tidak melihat orang yang lebih besar fitnahnya terhadap syaikh dari dirimu, kami tidak pernah melihatnya tertawa sekali pun.’”

Dari Yunus bin Abdul A’la berkata, aku mendengar asy-Syafi’i berkata, “Seandainya seorang laki-laki bertasawuf di pagi hari, Zhuhur belum tiba kecuali dia sudah gila.”

Dari asy-Syafi’i juga bahwa dia berkata, “Seseorang tidak berpegang kepada ajaran sufi selama empat puluh hari kecuali akalnya tak pernah kembali kepadanya selamanya.”
Asy-Syafi’i bersyair:

Biarkan orang-orang yang bila datang kepadamu menampakkan ibadah

Namun bila mereka menyendiri mereka adalah serigala-serigala ganas

Dari Sufyan berkata, aku mendengar Ashim berkata, “Kami mengenal sufi dengan kedungunan, hanya saja mereka bersembunyi di balik hadits.”

Dari Yahya bin Yahya berkata, “Khawarij lebih aku sukai daripada orang-orang sufi.”

Dari Yahya bin Muadz berkata, ‘Jangan berkawan dengan tiga macam orang: Para ulama yang lalai, orang-orang miskin yang mencari muka dan orang-orang sufi yang bodoh.”

Kami telah menyebutkan di awal bantahan kami terhadap orang-orang Sufi dalam buku ini bahwa para fuqaha di Mesir mengingkari Dzun Nun terhadap apa yang diucapkannya, mereka juga mengingkari Abu Yazid di Bistham, mereka mengusir Abu Sulaiman ad-Darani, Ahmad bin al-Hawari dan Sahl at-Tustari yang berlari dari shaf mereka, hal itu karena salaf menghindari bid’ah serendah apa pun dan menghajr pelakunya dalam rangka berpegang kepada sunnah.’

Abu al-Fath bin as-Samariyi menyampaikan kepadaku bahwa dia berkata, “Para fuqaha duduk di sebagian pos orang-orang sufi untuk berta’ziyah atas wafatnya seorang rekan mereka, lalu Syaikh Abu alKhatthab al-Kaluwadzani al-Faqih datang dengan bersandar kepada kedua tangannya, dia berdiri di pintu dan berkata, ‘Berat bagiku sekiranya sebagian rekan dan syaikh kami terdahulu melihatku yang masuk ke tempat seperti ini.”

Saya berkata, “Inilah yang dipegang oleh syaikh-syaikh kami, tetapi di zaman ini, serigala dan domba sudah berdamai.”

Alasan Mencela Sufi Jbnu Adil berkata, “Saya mencela sufi karena beberapa alasan yang mana syariat mewajibkan mencela pelakunya, di antaranya:

Mereka membuat pos kemalasan yang dikenal dengan nama ribath, mereka menetap di sana dan meninggalkan shalat jamaah di masjid, tempat itu bukan masjid, bukan rumah dan bukan pula kedai, mereka menetap di sana karena malas mencari mata pencaharian.

Mereka menggemukkan diri layaknya hewan ternak karena mereka hanya makan, minum, bernyanyi dan berjoget.

Mereka memakai baju tambal-tambal yang tujuannya adalah memperindah dengan warna-warna tertentu, yang menarik minat orang-orang awam dan kaum wanita.

Mereka mengundang kaum wanita dan anak-anak muda dengan membuat gambar dan pakaian tertentu, mereka tidak masuk ke sebuah rumah yang ada wanitanya lalu mereka keluar darinya kecuali hati para wanita itu sudah rusak terhadap suaminya.

Mereka menerima makanan dan uang dari orang-orang zhalim, orang-orang fajir, para pengghasab harta seperti tukang-tukang pungli.

Mereka mengundang anak-anak muda saat sama’, dan mendatangkan mereka di perkumpulan-perkumpulan di bawah cahaya lilin.
erikhtilath dengan wanita-wanita asing, dengan berdalil bahwa hal itu dalam rangka memakaikan baju tambal-tambal ke kaum wanita tersebut.

Mereka menamakan bergoyang karena nyanyian wajd, dakwah waktu dan berbagi pakaian orang-orang hukum.

Mereka tidak keluar dari rumah yang mereka diundang ke sana kecuali bila ada undangan lain, mereka berkata, “Ia wajib,”

Mereka meyakini hal ini adalah kekufuran dan melakukannya adalah kefasikan. Mereka meyakini bahwa bernyanyi dengan alat musik adalah ibadah.
Kami mendengar dari mereka bahwa doa saat penyanyi bernyanyj dan saat menghadiri pertemuan adalah mustajab, dan mereka meyakini bahwa ia adalah ibadah.

Ini adalah kekufuran juga, karena siapa yang meyakini yang haram dan yang makruh sebagai ibadah, maka dia kafir dengan keyakinannya ini, sementara para ulama di antara mengharamkan dan memakruhkan

Mereka menyerahkan diri mereka kepada syaikh-syaikh mereka dan para tokoh tarekat mereka, jika syaikh mereka mencium anak muda, maka mereka berkata, “Pemberian berkah.” Bila syaikh mereka berkhalwat dengan wanita asing, mereka berkata, “Dia anak perempuannya, karena ia telah memakai baju tambal-tambal.” Bila membagi kain kepada orang lain di luar kelompoknya tanpa kerelaan pemiliknya, raereka berkata, “Hukum baju tambal-tambal.”

Kami tidak memiliki seorang syaikh yang kami terima segala keadaannya, karena di kalangan kami tidak ada syaikh yang keluar dari beban taklif.

Seandainya di kalangan kami ada seorang syaikh yang kami terima segala keadaannya, niscaya syaikh tersebut adalah Abu Bakar ashShiddiq.

Saya katakan, “Bukankah Abu Bakar telah berkata, ‘Bila aku menyimpang, maka luruskanlah aku.’ Dia tidak berkata, ‘Serahkanlah diri kalian kepadaku.’”

Kemudian lihatlah kepada Rasulullah, bagaimana para shahabat berdiskusi dengan beliau, ada yang berkata, “Engkau melarang kami berpuasa wishal namun engkau melakukannya?!”

Kemudian para malaikat juga berkata kepada Allah:

“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu…” (QS. al-Baqarah: 30).

Musa berkata:

“Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami?” (QS. al-A’raf: 155).

Kalimat ini ditetapkan oleh orang-orang sufi untuk memegang hati para pemula dan kekuasaan yang mereka terapkan atas para murid para pengikut, sebagaimana Allah berfirman:

“Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya.” (QS. az-Zukhruf: 54).

Kalimat yang mereka ucapkan bahwa bila seorang hamba sudah mengetahui, maka apa pun yang dilakukannya tidak berdampak buruk terhadapnya, kalimat ini adalah puncak kezindikan, karena para fuqaha’ sepakat bahwa tidak ada keadaan yang mana orang yang mengetahui berhenti padanya kecuali beban taklifnya dipersempit atasnya seperti keadaan para nabi yang dipersempit dalam dosa-dosa kecil.

Takutlah Anda kepada Allah. Takutlah Anda kepada Allah. Jangan sampai mendengarkan orang-orang yang meniadakan penetapan, sebaliknya mereka hanya orang-orang zindik, menggabungkan antara jubah orang-orang yang beramal: Wol dan tambal-tambal dengan perbuatan mulhid yang menanggalkan syariat: Makan, minum, berjoget, mendengar nyanyian dan membuang hukum-hukum syariat.

Orang-orang zindik tidak berani menolak syariat hingga datang orang-orang sufi, maka mereka datang membawa aturan orang-orang permisif.

Perkara pertama yang mereka tetapkan adalah nama, dan mereka berkata hakikat serta syariat.

Ini buruk, karena syariat adalah apa yang Allah tetapkan untuk kemaslahatan makhluk, maka hakikat selainnya tidak lain hanyalah sesuatu yang terjadi pada jiwa dari bisikan setan, dan barangsiapa mencari hakikat di selain syariat maka dia terkecoh dan tertipu.

Bila mereka mendengar seseorang meriwayatkan hadits, mereka berkata, “Orang-orang yang patut cikasihani, mereka mengambil ilmu yang mati dari mayit, sedangkan kami menqambil dari yang Mahahidup yang tidak mati.” Barangsiapa berkata, “Bapakku menyampaikan kepadaku dari kakeknya.” Maka mereka berkata, ‘“Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku.”

Dengan khurafat ini mereka binasa dan membinasakan hati orang-orang awam, dan harta-harta dibelanjakan untuk itu oleh mereka, karena para fuqaha adalah seperti para dokter dan membelanjakan harta untuk membeli obat terasa berat.

Kebencian mereka terhadap para fuqaha’ adalah kezindikan yang paling besar, karena para fuqaha’ telah mengeluarkan fatwa-fatwa yang membongkar kesesatan dan kefasikan mereka.

Kebenaran itu berat sebagaimana zakat juga berat, tetapi betapa ringannya memberi tips kepada para penyanyi atas nyanyian mereka dan para penyair atas sanjungan mereka.

Semoga Allah menjaga syariat dari kelompok ini, kelompok yang menggabungkKan antara pakaian mahal, kenikmatan hidup dan penipuan dengan kata-kata manis laksana madu, padahal tidak ada apapun di balik itu kecuali mencampakkan beban taklif syariat dan membuang syariat, karena itu mereka diremehkan oleh hati manusia, tidak ada bukti yang lebih jelas yang menunjukkan bahwa mereka adalah para pengikut kebatilan daripada kecintaan mereka terhadap tabiat dunia seperti kecintaan mereka kepada orang-orang yang gemar bermain-main dan para penyanyi.

Tidak ada sesuatu yang lebih merugikan syariat daripada ahli kalam dan orang-orang sufi. Kelompok pertama merusak akidah manusia melalui tipu daya syubhat-syubhat yang seolah-olah logis, dan kelompok kedua merusak amal perbuatan manusia, menghancurkan pilar-pilar agama, menggemari kemalasan dan mendengarkan nyanyian.

Padahal salaf tidak demikian, prinsip mereka di bidang akidah adalah berserah diri dan di bidang amal adalah kesungguhan.

Nasihatku kepada saudara-saudaraku, jangan membuka pintu hati untuk pendapat-pendapat ahli kalam, jangan memasang pendengaran untuk menyimak khurafat orang-orang sufi, karena menyibukkan diri dengan mencari kehidupan adalah lebih baik daripada kemalasan orang-orang sufi, dan berhenti pada zhahir adalah lebih baik daripada Penyelaman para pemalsu. Saya telah berpengalaman terhadap kedua kelompok ini, maka ahli kalam berakhir dengan keraguan, sementara orang-orang sufi berujung kepada kegilaan.

Ibnu Aqil berkata, “Menurutku ahli kalam masih lebih baik daripada orang-orang sufi, karena ahli kalam mungkin menepis keraquan, sedangkan oOrang-orang sufi justru menanamkan kekacauan, dan kebanyakan ucapan mereka mengisyaratkan kepada pengingkaran terhadap kenabian.”

Bila mereka berkata tentang ahli hadits, “Mereka mengambil ilmu yang mati dari mayit.” Maka mereka mengqugat kenabian dan berpijak kepada realita, padahal bila jalannya dinodai maka ia tidak akan dilalui.

Barangsiapa berkata, “Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku.” Maka dia secara terbuka berterus terang tidak memerlukan seorang rasul, dan barangsiapa berkata dengan secara terbuka maka dia kafir.

Ini adalah kalimat yang disusupkan ke dalam syariat yang di baliknya adalah kezindikan. Barangsiapa kami melihatnya mencela naql, maka kami mengetahui bahwa dia meniadakan perintah syariat, padahal orang yang berkata, “Hatiku menyampaikan kepadaku dari Tuhanku,” tidak bisa jadi jaminan, bahkan bisa jadi ia adalah bisikan setan, karena Allah berfirman:

“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya…” (QS. al-An’am: 121).

Inilah yang nampak, karena yang bersangkutan meninggalkan dalil yang dijamin kebenarannya dan bersandar kepada bisikan-bisikan yang terkirim ke dalam hatinya yang tak terbukti kebenarannya.

Ibnu Aqil berkata, “Orang-orang yang keluar dari syariat berjumlah banyak, hanya saja Allah menjaga syariat dengan para rawi hafizh yang membela syariat dalam rangka menjaga dasarnya dan Allah menjaga syariat juga dengan para fuqaha~ yang menjaga makna-maknanya, mereka adalah sultan-sultan ulama, mereka tidak membiarkan para pendusta mengangkat kepala mereka.”

Ibnu Aqil berkata, “Orang-orang berkata, ‘Bila Allah menghendaki rusaknya rumah seorang saudagar maka saudara itu akan bergaul dengan orang-orang sufi.’ Saya berkata, ‘Dan kerusakan agamanya,’ karena orang-orang sufi itu membolehkan kaum wanita memakai pakaian tambal-tambal melalui kaum laki-laki asing. Bila mereka semuanya menghadiri majlis sama’ dan nyanyian, maka tidak .tertutup kemungkinan terjadi kasak-kusuk antara sebagian laki-laki dengan sebagian wanita atau khalwat antara sebagian laki-laki dengan sebagian wanita, maka pertemuan mereka menjadi pertemuan pernikahan bagi keduanya, hingga pertemuan belum selesai kecuali hati seseorang telah bergantung kepada seseorang, tabiat seseorang sudah cenderung kepada tabiat yang lain, istri berubah terhadap suaminya, padahal bila suaminya menerima maka dia disebut dayyuts, sementara bila suami menahannya maka dia meminta talak untuk bisa menikah dengan laki-laki yang memakaikannya baju tambal-tambal tersebut dan bercampur dengan orang-orang yang tidak mengikatnya dan tidak menahan tabiat.

Ada yang berkata, “Fulanah telah bertaubat dan syaikh memakaikannya baju tambal-tambal dan ia menjadi salah seorang anak perempuannya.’ Mereka tidak cukup berkata, ‘Ini main-main dan salah,’ hingga mereka berkata, ‘Ini adalah kemuliaan laki-laki.’

Hal ini berlangsung bertahun-tahun hingga hukum al-Qur’an dan sunnah terasa kering dalam hati mereka.

Saya katakan, “Semua ini adalah ucapan Ibnu Aqil, beliau adalah seorang kritikus yang mendalam dan ahli fikih yang mumpuni.”

Sebagian Syair yang Diucapkan Tentang Mereka

Abu Bakar al-Anbari berkata untuk dirinya tentang orang-orang sufi,
Aku merenung sambil menguji orang-orang yang mengaku
Antara para tuan dengan para hamba sahaya
Aku mendapatkan kebanyakan mereka seperti fatamorgana
Pemandangannya berkilau kepadamu dari kejauhan
Lalu aku berseru, wahai orang-orang, siapa yang kalian sembah
Masing-masing mengisyaratkan sesuai dengan kadar wujud
Sebagian dari mereka menunjuk kepada dirinya
Dan bersumpah, tidak ada yang lebih dari dirinya
Sebagian dari mereka menunjuk kepada gombal yang ditambal
Sebagian dari mereka menunjuk kepada bejana dari kulit
Ada yang lain, mereka menyembah hawa nafsu mereka
Orang yang menyembah hawwa nafsunya bukan orang lurus
Wajah memerah larut mendengar nyanytan
Antara bahr basith dengan nasyid
Merintih bila alat musik mulai dipetik
Dan mengaum laksana singa mengaum Merobek-robek baju usangnya dengan sengaja
Agar bisa menggantinya dengan baju yang baru Melemparkan kerangkanya ke dalam api
Untuk mengunyah tsarid dan menelan ashid
Wahai para lelaki, tidakkah kalian takjub
Kepada setan saudara-saudara kita pemilik tambahan
Setan mempermainkan mereka dengan berbagai kegilaan
Dan orang-orang gila hanya patut mendapatkan tambang
Saya bersumpah mereka tidak mengetahui Allah pemilik keagungan
Dan mereka tidak mengetahuiNya tanpa pengingkaran
Kalau bukan karena kesetiaan kepada orang-orang yang setia
Niscaya aku melontarkan kata-kata tajam terhadap mereka
Mengapa aku dituntut untuk menyambung
Orang yang tidak mengetahui mengapa aku berpaling dari mereka
Aku tidak memberikan kasih sayangku, sedangkan dia memberikannya
Karena aku hanya memberikannya kepada orang-orang menyayangi
Akan tetapi bila aku tidak menemukan seorang sahabat
Yang membahagiakan rekanku dan menyedihkan pendengki
Maka aku memberikan kasth sayangku kepadanya
Hingga kesialanku hilang dan kebahagiaan kembali
Mengapa kaumku tetap di atas kebodohan mereka
Terhadap kemuliaan Maha Tunggal dan kasih sayang Maha Esa
Bila mereka melihatku, maka mereka menangis karena kasihan
Padahal api dengki dalam hati mereka menyala-nyala
Karena aku menjauhi orang-orang yang hanya mengaku
Seandainya mereka benar niscaya aku tidak menjauh.
Ash-Shuri berkata, bahwa sebagian syaikh kami mengucapkan kepadaku
Ahli tasawuf telah berlalu
Tasawuf menjadi baju gombal
Tasawuf menjadi teriakan
Larut dan tenggelam dalam emosi
Jiwamu mendustakanmu, ini bukanlah
Rambu-rambu jalan yang benar
Hingga kamu berada di depan mata Allah Yang mana semua mata terbelalak dariNya
Ketetapan-ketetapanNya akan berlaku atasmu
Sementara kesedihan hatimu tertunduk.
Abu Ishaq asy-Syirazi al-Fagih mengucapkan untuk sebagian dari mereka,
Aku melihat generasi tasawuf adalah seburuk-buruk generasi
Maka katakanlah kepada mereka, betapa hinanya keyakinan hulul
Apakah Allah berfirman saat kalian menggandrungiNya
Makanlah seperti hewan ternak dan berjogetlah untukKu

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M