• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 30 Oktober 2025

Salim bin Abdullah bin Umar

Bagikan

A. Nama dan Kelahirannya
Sālim bin Abdillāh bin ‘Umar, cucu khalifah kedua kaum muslimin, adalah mufti dan imam di kalangan tabi’īn, pakar hadīṡ, juga termasuk dalam al-fuqahā’ al-sab’ah (tujuh pakar fikih Madīnah), sosok yang penuh wibawa, ulama yang zuhud dan gemar beribadah.

Nama lengkapnya adalah Sālim bin Abdillāh bin ‘Umar bin al-Khaṭṭāb al-Qurasyī al-‘Adawī al-Madanī.[1] Kuniyah-nya, ada yang mengatakan Abū ‘Umar, dalam riwayat lain mengatakan Abū Ubaidillāh, ada juga yang berpendapat Abū Umair dan juga Abū ‘Umar.[2]

Ia dilahirkan di Madinah al-Munawarah pada pemerintahan Uṡmān bin Affān raḍiyallāhu ‘anhu, dari seorang ibu berdarah Persia yang dikenal dengan panggilan Ummu Sālim, putri kaisar Persia. Setelah kaum muslimin mengalahkan Persia, mereka kembali ke Madinah dengan membawa ganīmah dan tawanan perang. Di antara tawanan itu adalah tiga putri kaisar Persia Yazdajurd.

Setelah masuk Islam, ketiga putri Yazdajurd dipelakukan dengan baik, bahkan mereka diberikan kebebasan menerima siapa orang yang menebus mereka untuk dijadikan hamba sahaya. Putri pertama memilih Muhammad bin Abi Bakr, yang kemudian melahirkan Qasim bin Muhammad, pakar fikih Madinah. Putri kedua memilih Abdulah bin ‘Umar yang kemudian melahirkan Sālim bin Abdillāh. Sedangkan putri ketiga memilih Husain bin Ali bin Abi Ṭalib yang kemudian melahirkan Ali Zainal Abidīn.[3]

Dalam Islam, hamba sahaya yang melahirkan anak dari tuannya dikenal dengan sebutan ummu walad.[4] Abdurrahman bin Abi Zinad berkata, “Dahulu penduduk kota Madinah tidak menyukai budak-budak wanita mereka (menjadi bagian dari keluarga mereka). Namun sikap itu berubah setelah lahir beberapa tokoh tabiin yang ibu mereka adalah ummu walad, seperti Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Ṭalib, al-Qāṣim bin Muhammad bin Abī Bakr al-Ṣiddīq, Sālim bin Abdillāh bin ‘Umar.”[5]

Dikatakan bahwa sebab ia diberi nama Sālim, karena ayahnya terinspirasi dari Sālim maulā Abī Hużaifah raḍiyallāhu ‘anhu (salah satu sahabat Nabi yang pakar Al-Qur’an). Dari segi paras wajahnya dan perangai akhlaknya, ia adalah anak yang paling mirip dengan ayahnya, Abdullāh bin ‘Umar. Sebagaimana Abdullāh adalah anak ‘Umar bin Khaṭṭāb yang paling mirip dengan ayahnya raḍiyallāhu ‘anhum.[6]

B. Perkembangan Keilmuannya
Sālim bin Abdillāh dibesarkan di bawah asuhan ayahandanya yang merupakan ulama besar kota Madinah. Saat itu Abdullāh bin ‘Umar adalah salah satu rujukan para sahabat dan tābi’īn dalam berbagai bidang ilmu, khususnya bidang hadīṡ. Ilmu, ibadah, budi pekerti dan akhlaknya terbangun dalam jiwa Sālim sejak kecil, dari teladan ayahnya yang dikatakan sangat mirip dengan keteladanan kakeknya, ‘Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu ‘anhu.

Selain mendapat didikan ayahnya, Sālim juga mendapat didikan dari para sahabat Nabi lainnya. Keilmuan Sālim semakin berkembang, karena didukung oleh kondisi kota Madinah yang saat itu masih didiami oleh banyak ulama dari kalangan sahabat Nabi ﷺ, sehingga hal itu memudahkan Sālim untuk menimba ilmu dari mereka.

Berkat kesungguhan dan keseriusan dalam menuntut ilmu, Allah ﷻ memberi karunia besar kepada Sālim sehingga ia menjadi seorang ulama. Ia pun berhasil menjadi salah satu perawi hadīṡ terbaik dari ayahnya, Abdullāh bin ‘Umar. Tentang hal itu Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishāq bin Rāhawaih berkata:, “Sanad hadīṡ yang paling ṣahīh adalah periwayatan al-Zuhrī dari Sālim dari Abdullāh bin ‘Umar.”[7]

Imam al-Nasā’ī berkata, “Sālim dan Nafi’ pernah berbeda pendapat dalam periwayatan mereka dari Abdullāh bin ‘Umar dalam tiga hadiṡ. Pertama, hadīṡ tentang zakat pertanian, Sālim berpendapat itu adalah perkataan Nabi ﷺ, sedang Nafi berpendapat itu adalah perkataan Ibnu ‘Umar. Kedua, hadīṡ tentang hak harta hamba sahaya yang telah dijual, Sālim berkata itu adalah hadīṡ Nabi ﷺ, sedang Nafi’ berkata itu adalah perkataan ‘Umar bin al-Khaṭab. Ketiga, tentang tanda kiamat, yaitu akan muncul api dari arah Yaman. Sālim berpendapat itu adalah perkataan Nabi ﷺ, sedang Nafi’ berpendapat itu adalah perkata’an Ka’b.” Imam al-Nasā’ī melanjutkan, “Dari segi nasab, Sālim lebih mulia dari Nafi’, namun pendapat Nafi’ tentang tiga hadiṡ di atas lebih benar.”[8]

Bersama dengan Nafi’ maulā Ibni ‘Umar, Sālim bin Abdillāh bin ‘Umar ibarat mercusuar ilmu di kota Madinah yang dituju oleh para penuntut ilmu dari negeri-negeri Islam.

C. Guru, Murid dan Kontribusinya dalam Islam
Luasnya wawasan dan dalamnya ilmu pengetahuan Sālim bin Abdillāh, tidak luput dari bimbingan guru-guru terbaiknya. Sālim bin Abdillāh berguru kepada banyak sahabat Nabi, di antaranya adalah, ayahnya sendiri Abdullāh bin ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, Abū Ayyūb al-Anshārī, Rāfi’ bin Khadīj, Abū Hurairah, Ummu al-mu’minin Aisyah, dan lainnya.

Dari hasil didikannya, lahirlah ulama-ulama besar yang menebarkan kebaikan Islam sepeninggalnya. Di antara murid-muridnya adalah, ‘Amr bin Dīnār, Nafi’ maulā bin ‘Umar, Muhammad bin Syihāb al-Zuhrī, Mūsā bin ‘Uqbah, Humaid al-Ṭawīl, Ubaidullah al-’Umarī, Ṣalih bin Kaisān, Malik bin Anas dan lainnya.

Kontribusi Sālim bin Abdillāh bin ‘Umar dalam dunia Islam khususnya dalam penyebaran sunnah Nabi ﷺ sangat konkrit. Khidmatnya terhadap sunnah, membawa namanya tertulis dengan tinta emas dalam mata rantai sanad periwayatan yang diabadikan oleh para pentadwīn al-sunnah dalam kutub al-tis’ah dan juga dalam kitab-kitab hadīṡ lainnya.

Demikian pula Sālim bin Abdillāh pernah menjadi mufti kota Madinah. Dalam beberapa literatur biografinya, para pakar sejarah seperti Ibnu Sa’d (w. 230 H), Ibnu Asākir (w. 571 H) dan Al-Zahabī (w. 748 H) menyebutkan bahwa di antara sumbangsih Sālim bin Abdillāh adalah bahwa ia pernah menjadi mufti Madinah di zamannya. Siapapun yang mendatanginya untuk bertanya, selalu ia sambut dengan baik dan memberikan bimbingan fatwa padanya.

Yahyā bin Bukair mengisahkan bahwa pernah satu ketika, datang sekelompok kaum muslimin dari Mesir ke Madinah untuk meminta fatwa Sālim bin Abdillāh dalam urusan mereka. Saat itu Sālim sedang sibuk mengurus untanya. Setelah pembantu Sālim menanyakan maksud kedatangan mereka, Sālim pun keluar dari belakang menemui mereka. Walaupun dengan kondisi tangan yang masih kotor, Sālim bin Abdillāh tetap memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan mereka.[9]

Di samping itu juga, semasa hidupnya Sālim bin Abdillāh merupakan salah satu dari tujuh pakar fiqih di kota Nabi. Di tempat hijrah kedua itu, Sālim menjadi pengajar dan ulama besar yang mencontohkan keteladanan dalam zuhud, warak serta ibadah.

D. Apresiasi Ulama Terhadapnya
Imam Malik bin Anas (w. 179 H) berkata, “Sālim adalah tokoh ummat yang sangat zuhud, sederhana dalam hidup, bajunya hanya seharga dua dirham, ia sangat mirip dengan orang-orang ṣālih terdahulu.”[10]

Imam Malik juga pernah berkata, “Dahulu Abdullāh bin ‘Umar membeli kebutuhan-kebutuhannya di pasar, demikian juga yang dilakukan Sālim putranya di masanya. Meski demikian ia adalah salah satu tokoh ulama yang disegani dan terkemuka di zamannya.”

Abdullāh bin Mubarak (w. 181 H) berkata, “Dahulu di kota Madinah ada tujuh tokoh dan pakar di bidang fikih, yaitu Sa’īd bin al-Musayyib, Sulaimān bin Yasar, Sālim bin Abdillāh, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Urwah bin al-Zubair, Ubaidullah bin ‘Umar dan Kharijah bin Zaid. Jika mereka membahas satu masalah, maka mereka bertukar pikiran, lalu mereka menelitinya dengan cermat, setelah itu mereka mengeluarkan keputusannya. Hingga hakim tidak berani memutuskan satu masalah baru, kecuali menunggu hasil keputusan mereka.”[11]

Ibnu Sa’d (w. 230 H) berkata, “Sālim adalah perawi hadīṡ yang ṡiqah, beliau termasuk perawi yang banyak meriwayatkan hadīṡ, ulama yang dihargai dan terkemuka dalam hal keilmuan dan juga warak.”[12]

E. Akhlak dan Waraknya
Sālim bin Abdillāh bin ‘Umar merupakan tokoh ulama yang sangat tawadhu, tempat tinggal dan pakaiannya sangat sederhana, tidak ada kemewahan dalam kendaraan dan makanannya.

Ibnu Sa’d (w. 230 H) meriwayatkan bahwa Sālim bin Abdillāh sering mengenakan songkok dan ‘imamah berwarna putih, ujungnya dijulurkan lebih sejengkal ke bagian belakang, baju yang dikenakannya dari bahan kain kattān berharga 2 dirham, ia mengangkat bajunya hingga setengah betis.[13]

Ketika Sālim bin Abdillāh datang menghadap Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik bin Marwan (w. 99 H), baju yang ia kenakan sangat sederhana, tebal dan terkesan seperti orang miskin. Meski demikian, Sulaiman bin Abdul Malik menyambutnya dengan baik, hingga ia mempersilahkan Sālim bin Abdillāh duduk bersamanya di atas singgasananya. Dari kerumunan pendamping Khalifah, ‘Umar bin Abdil Aziz (w. 101 H) mendengar seorang berkomentar, “Wahai ‘Umar, apakah pamanmu itu (maksudnya Sālim) tidak bisa mengenakan baju yang lebih terhormat dari baju itu?” Dengan tenang ‘Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Menurutku pakaian bukanlah penentu kemuliaan. Baju yang dikenakan oleh pamanku, tidaklah menurunkannya pada posisimu sekarang, sebagaimana baju yang anda kenakan tidak mengangkatmu pada posisinya sekarang.”[14]

Suatu ketika Sulaiman bin Abdil Malik pernah mendatangi Sālim bin Abdillāh. Saat ia melihat Sālim lebih gemuk darinya ia lalu bertanya, “Wahai Abu ‘Umar, makanan apa yang selama ini anda konsumsi?” Sālim menjawab, “Roti dan minyak.” Sang Khalifah bertanya lagi, “Apakah Anda menyukainya?” Sālim menjawab, “Aku akan memakannya jika aku sudah menyukainya.”[15]

Hal senada juga pernah ditanyakan oleh Khalifah al-Walīd bin Abdil Malik bin Marwān (w. 96 H), lalu Sālim menasihatinya dengan berkata,

“إِيَّاكُمْ وَمُدَاوَمَةِ اللَّحْمِ، فَإِنَّ لَهُ ضَرَاوَةٌ كَضَرَاوَةِ الشَّرَابِ[16]

“Berhati-hatilah mengonsumsi daging secara berlebihan, karena daging itu memiliki efek samping, seperti efeknya minuman (yang dikonsumsi berlebihan).”

Sufyan bin Uyainah (w. 198 H) mengisahkan bahwa suatu ketika Khalifah Hisyam bin Abdil Malik (w. 125 H) memasuki masjid Nabawi, didapati di dalamnya ada Sālim bin Abdillāh. Khalifah mendekat lalu berkata padanya, “Apakah engkau punya kebutuhan yang dapat aku penuhi?” Sālim lalu menjawab, “Sesungguhnya aku malu berada di dalam rumah Allah ﷻ, lalu aku meminta kepada selain-Nya. Ketika mereka sudah keluar.” Khalifah berkata lagi padanya, “Sekarang kita sudah di luar masjid, katakanlah padaku kebutuhan apa yang bisa aku penuhi untukmu?” Sālim membalasnya dengan pertanyaan, “Kebutuhan dunia atau kebutuhan akhirat?” Khalifah berkata, “Kebutuhan dunia.” Dengan sopan Sālim bin Abdillāh menjawab,

وَاللهِ مَا سَأَلْتُ الدُّنْيَا مَنْ يَمْلِكُهَا، فَكَيْفَ أَسْأَلُهَا مَنْ لاَ يَمْلِكُهَا[17]

“Demi Allah, aku tidak pernah meminta dunia dari Penguasa dunia (Allah ﷻ), maka bagaimana aku memintanya dari orang yang tidak menguasainya?”

Musa bin Uqbah (w. 141 H) berkata, “Tidaklah Sālim bin Abdillāh melewati pekuburan, baik di malam hari atau siangnya, kecuali ia pasti memberi salam dengan mengatakan ‘assalamu ‘alaikum’.” Musa bin Uqbah kemudian bertanya padanya tentang amalan itu, ia menjawab, “Ayahku sering melakukannya.”[18]

F. Wafatanya
Setelah Sālim bin Abdillāh menjalankan semua tugas mulianya, sebagai imam, mufti, pengajar, periwayat hadīṡ dan tugas mulia lainnya, beliau sampai pada penghujung hayatnya. Ia wafat di Madinah al-Munawarah pada bulan Zulkaidah, dalam riwayat lain di akhir bulan Zulhijah, tahun 106 H.

Pendapat ini dikatakan oleh Abū Nu’aim al-Fadhl bin Dukain (w. 219 H) dan Imam Al-Bukhārī (w. 256 H), lalu dirajihkan oleh al-Zahabi dan al-Mizzī. Jenazahnya disalati oleh banyak kaum muslimin, termasuk Khalifah Hisyam bin Abdil Malik yang melakukan ibadah haji di di tahun itu.[19]

Semoga rahmat Allah ﷻ selalu tercurahkan kepada Sālim bin Abdillāh bin ‘Umar dan kepada seluruh ulama-ulama Islam.

Footnote:
[1] Al-Nawawī, tahżīb al-asmā’ wa al-lugāt, (cet. Dar al-kutub al-ilmiah, Bairut), juz. 1, h. 207. Lihat juga: Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, (cet. 2, muassasah al-risālah, Beirut, 1405 H/1985 M), juz. 4, h. 475
[2] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, (cet. 1, Muassasah al-risālah, Beirut, 1400 H/1980 M), juz. 10, h. 145
[3] Abdurrahman Ra’fat Bāsya, ṣuwar min hayati al-tābiīn, (cet. 15, darul adab al-Islami, 1418 H/1997 M), h. 338
[4] Ummu walad merupakan istilah bagi seorang hamba sahaya wanita yang melahirkan anak dari tuannya. Dia tidak boleh dijual, karena beberapa alasan, yaitu: agar dia tidak terpisah dari anaknya, dan ketika tuannya meninggal, secara hukum syar’i dia menjadi wanita merdeka.
[5] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, juz. 10, h. 150
[6] Al-Nawawī, tahżīb al-asmā’ wa al-lugāt, juz. 1, h. 207
[7] Al-Nawawī, tahżīb al-asmā’ wa al-lugāt, juz. 1, h. 207, Lihat juga: Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 462
Tentang sanad yang paling ṣaḥīh para ulama terbagi dalam beberapa pendapat, Al-Bukhārī berkata: sanad yang paling ṣahīh adalah periwayatan Imam Malik, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Ahmad bin Hanbal dan Isḥāq bin Rahawaih berkata: sanad yang paling ṣaḥīh adalah dari Al-Zuhrī dari Salim dari ayahnya (Abdullah bin ‘Umar). ‘Alī bin al-Madīnī dan Amr bin ‘Alī al-Fallās berkata: sanad yang paling ṣaḥīh adalah Muhammad bin Sīrīn dari Ubaidah dari Alī bin Abī Ṭalib. Yahyā bin Ma’īn berkata: sanad yang paling ṣaḥīh adalah dari Al-A’masy, dari Ibrāhīm, dari ‘Alqamah dari Ibnu Mas’ūd.
[8] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, juz. 10, h. 153
[9] Ibnu Asākir, tārīkh dimasyq (cet. 1, dār al-fikr, 1415 H/ 1995 M), juz. 20, h. 58
[10] Al-Nawawī, tahżīb al-asmā’ wa al-lugāt, juz. 1, h. 207
[11] Al-Imam al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 461
[12] Al-Imam al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 463
[13] Muhammad bin Sa’d bin Manī’ al-Hāsyimī, al-ṭabaqāt al-kubrā, (cet. 1, dār al-kutub al-ilmiyah, Bairut, 1410 H/ 1990 M), juz. 5, h. 151
[14] Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzī, tahzīb al-kamāl fī asmā’i al-rijāl, juz. 10, h. 151, Lihat juga: Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 461
[15] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, juz. 2, h. 193
[16] Ibnu Khilkān, wafayāt al-a’yān wa anbā’u Abnā’i al-zamān, (cet. 1, dār al-shādir, Bairut, 1971 M), juz. 2, h. 349, Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, juz. 2, h. 194
[17] Ibnu Asākir, tārīkh dimasyq juz. 20, h. 64, Lihat juga: Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 466
[18] Abū Nu’aim al-Asbahānī, hilyatu al-auliyā’ wa ṭabaqātu al-aṣfiyā’, juz. 2, h. 194
[19] Ibnu Khilkān, wafayāt al-a’yān wa anbā’u Abnā’i al-zamān, juz. 2, h. 349. Lihat juga: Muhammad bin Ahmad bin Uṡmān al-Zahabī, siyar a’lām al-nubalā’, juz. 4, h. 465

Sumber : https://markazsunnah.com/salim-bin-abdillah-bin-umar-w-106-h/

Kisah Muslim – Kita memasuki zaman khilafah al-Faruq Umar bin Khathab. Saat di mana kota Madinah melimpah ruah dengan hasil ghanimah yang didapatkan kaum muslimin dari harta Kaisar Persia terakhir, Yazdajurd. Ada mahkota-mahkota yang bertabur permata, selendang yang tersusun dari mutiara, juga pedang-pedang emas bertatahkan permata dan marjan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.

Selain barang-barang berharga tersebut, ada pula serombongan tawanan yang amat banyak. Di antara yang menjadi tawanan tersebut adalah tiga putri sang Kaisar. Atas inisiatif Ali bin Abi Thalib, harga tebusan ketiga putri itu dipasang setinggi mungkin, lalu mereka diberi kebebasan memilih di antara pemuda Islam yang akan menebusnya.

Putri pertama memilih Muhammad bin Abi Bakar yang kemudian melahirkan seorang tokoh faqih Madinah, Qasim bin Muhammad. Putri kedua memilih Abdullah bin Umar bin Khathab yang melahirkan putra bernama Salim yang sangat mirip dengan kakeknya, Umar bin Khathab. Sedangkan putri yang ketiga memilih Husein bin Ali bin Abi Thalib yang akhirnya melahirkan Zainul Abidin.

Nah, sekarang kita akan menelusuri indahnya perjalanan hidup Salim bin Abdillah bin Umar, ayahnya dan juga kakeknya.

Salim lahir di Madinah al-Munawarah, kota yang terdapat di dalamnya makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kota tujuan hijrah yang udaranya penuh keharuman nubuwat, tempat turunnya wahyu-wahyu Allah.

Beliau dibesarkan di bawah asuhan ayahandanya yang zuhud, shawwam–qawwam (ahli shiyam dan ahli shalat malam), yang memiliki tabiat dan akhlak Umar. Sejak awal sang ayah sudah melihat tanda-tanda ketaqwaan dan hidayah Allah pada diri Salim. Tercermin pada akhlak islami yang kokoh di atas Alquran melebihi saudara-saudaranya yang lain. Tak heran jika ayahnya menyayangi beliau dengan tulus, hingga anak yang lain cemburu kepadanya. Abdullah menanggapi sikap mereka dengan sya’irnya:

Mereka cemburu atas perlakuanku terhadap Salim

Memang benar, kulit antara mata dan hidungku adalah Salim

Dada Salim dipenuhi dengan hadis-hadis Rasulullah, mendalami tentang agama Allah, diajari tentang tafsir dan selanjutnya dibina di tanah suci yang mulia.

Saat itu, Masjid Nabawi masih padat dengan hadirnya para sahabat. Tatkala pemuda ini masuk, dijumpainya setiap sudut masjid penuh dengan tokoh sahabat yang sudah kenyang dengan ajaran dan keharuman kata-kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemana saja dia melayangkan pandangan atau memasang telinga, yang ada hanyalah kebaikan.

Beruntung sekali Salim mampu memanfaatkan peluang ini. Beliau menghirup ilmu sebanyak mungkin dari tokoh-tokoh sahabat tersebut, di antaranya Abu Yusuf al-Anshari, Abu Hurairah, Abu Rafi, Abu Lubadah, Zaid bin Khathab, di samping ayahandanya sendiri, Abdullah bin Umar. Wajar bila dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia sudah dikukuhkan sebagai orang alim, tokoh tabi’in dan salah satu fiqih yang menjadi tempat bertanya bagi kaum muslimin di Madinah tentang agama dan syariat, tentang problem agama dan persoalan dunia.

Lebih dari itu, kerap kali para pejabat meminta saran dan pendapat beliau ketika menghadapi masalah. Mereka terkesan dan sangat simpati kepada Salim bin Abdullah. Beliau menjadi andalan karena kehalusan budi bahasa dan manisnya tutur kata. Jika para wali dan amir itu menentang pandangannya, jangan harap rakyat Madinah mematuhi mereka.

Sebagai contoh, seperti yang dialami Abdurrahman bin Dhahhak selaku walikota Madinah pada masa khilafah Yazid bin Abdul Malik. Pada masa ini Fathimah binti Husein bin Ai sudah menjanda dengan beberapa putra. Ibnu Dhahhak datang meminangnya, tetapi Fathimah menolaknya dengan halus, “Maaf, saya sudah tak berhasrat untuk menikah lagi. Hidup saya sudah saya waqafkan untuk memelihara anak-anak saya.”

Namun Ibnu Dhahhak tetap bersikeras. Dia terus mendesak, sementara Fathimah menolak disertai rasa takut. Ibnu Dhahhak berkata mengancam, “Demi Allah, jika engkau tidak mau menjadi istriku, aku akan menahan putra sulungmu dengan tuduhan telah meminum khamr.”

Fathimah binti Husein mengadukan masalah tersebut kepada Salim bin Abdillah. Salim menyarankan beliau agar menulis surat pengaduan kepada Amirul Mukminin tentang gubernurnya yang sewenang-wenang. Agar masalah tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Fathimah mengikuti saran tersebut dan segera mengutus seseorang menuju Damaskus.

Sebelum utusan itu berangkat, kebetulan pada saat yang sama, Amirul Mukminin memberi perintah agar Ibnu Hurmuz, bendahara Madinah, segera datang ke Damaskus untuk membawa laporan-laporan keuangan. Ibnu Hurmuz segera mempersiakan laporan-laporan yang diperlukan, kemudian singgah sejenak untuk berpamitan kepada Fathimah binti Husein, “Saya hendak pergi ke Dmaskus, apakah Anda titip sesuatu?”

Fathimah berkata, “Benar, tolong laporkan kepada Amirul Mukminin kesulitan yang saya alami akibat ulah walinya, Ibnu Dhahhak. Katakan pula bagaimana dia mengabaikan para ulama, terutama Salim bin Abdullah bin Umar bin Khathab.”

Ibnu Hurmuz menyesal karena mampir di rumah Fathimah, sebab sesungguhnya dia tidak ingin mengadukan Ibnu Dhahhak kepada khalifah di Damaskus.

Tibalah Ibnu Hurmuz di Damaskus bersamaan dengan hari datangnya utusan yang membawa surat pengaduan Fathimah binti Husein. Dalam pertemuan dengan khalifah, Ibnu Hurmuz ditanya tentang kondisi di Madinah, juga tentang Salim bin Abdillah dan para fuqaha lainnya. Yazid bin Abdul Malik bertanya, “Adakah hal-hal penting yang perlu Anda utarakan atau berita-berita yang perlu dibahas?” Ibnu Hurmuz sama sekali tak menyebut-nyebut kisah Fathimah binti Husein. Mulutnya terkunci rapat tentang sikap walinya kepada Salim bin Abdullah.

Selagi dia masih menjelaskan tentang laporan keuangan yang diminta, penjaga masuk untuk melaporkan bahwa utusan Fathimah binti Husein minta izin untuk menghadap. Pucatlah wajah Ibnu Hurmuz karena khawatir. Dia segera berkata, “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniai Amirul Mukminin umur yang panjang. Memang benar Fathimah binti Husein juga menitip pesan kepada saya…” lalu dia menceritakan semuanya.

Mendengar penuturan Ibnu Hurmuz, Amirul Mukminin berdiri dari tempat duduknya dan berteriak marah, “Celaka! Bukankah aku bertanya kepadamu bagaimana berita Madinah? Pantaskah kejadian sebesar itu engkau sembunyikan dariku?” Ibnu Hurmuz segera mohon maaf dan mencari dalih.

Kemudian, utusan tersebut masuk dan menyerahkan surat Fathimah binti Husein. Amirul Mukminin langsung membuka dan membacanya. Pandangan matanya. Dia berteriak lantang, “Ibnu Dhahhak sudah berani mengganggu keluarga Rasulullah dan tak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah?! Siapa yang bisa memperdengarkan kepadaku jeritan gubernur Ibnu Dhahak sementara dia tersiksa di Madinah sedangkan aku tetap duduk di Damaskus?”

Di antara hadirin berkata, “Wahai amirul mukminin, tak ada yang lain di Madinah kecuali Abdul Wahid bin Bisyr an-Nadhari, angkatlah beliau. Saat ini beliau tinggal di Tha’if.” Khalifah berkata, “Benar… demi Allah… dia memang layak untuk tugas ini.” Maka khalifah meminta kertas dan menulis surat pengangkatan gubernur:

“Dari Amirul Mukminin, Yazid bin Abdul Malik kepada Abdul Wahid bin Bisyr an-Nadhari.

Assalamu’alaikum

“Bersama surat ini saya melantik Anda sebagai gubernur di Madinah. Jika surat ini teah sampai kepada Anda, maka datanglah ke Madinah dan turunkanlah Ibnu Dhahhak dari jabatannya. Perintahkan agar dia membayar denda 40.000 dirham, lalu hukumlah dia hingga aku mendengar teriakannya dari Madinah.”

Berangkatlah utusan yang membawa surat tersebut menuju Tha’if melewati Madinah. Ketika di Madinah dia tidak tinggal di tempat Ibnu Dhahhak, bahkan memberi salampun tidak. Gubernur itu menjadi curiga dan khawatir akan dirinya. Diutusnya seseorang untuk mengundang utusan tersebut ke rumahnya. Lalu dia bertanya tentang sebab-sebab kedatangan utusan tersebut.

Utusan itu tak menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibnu Dhahhak. Lalu Ibnu Dhahhak mengambil sesuatu di balik tempat tidurnya dan berkata, “Lihatlah, bungkusan ini berisi seribu dinar emas. Aku bersumpah akan merahasiakan apa yang kau bawa dan ke mana arah tujuanmu.”

Uang itupun diserahkan, lalu utusan tersebut menjawab pertanyaan Ibnu Dhahhak. Selanjutnya Ibnu Dhahhak berkata, “Tunggulah di sini selama tiga hari saja, aku akan pergi ke Damaskus sebentar. Baru setelah itu engkau boleh melanjutkan perjalananmu sesuai perintah yang kau terima.”

Ibnu Dhahhak bergegas menyiapkan kendaraannya, lalu segera meninggalkan Madinah menuju Damaskus. Setibanya di Damaskus, dia langsung menuju rumah saudara Yazid, Maslamah bin Abdul Malik. Dia adalah seorang yang baik lagi penolong. Ketika telah di hadapannya, Ibnu Dhahhak berkata:

Ibnu Dhahhak, “Aku berada di bawah lindunganmu, wahai amir.”
Maslamah: “Semoga baik-baik saja, apa yang terjadi atasmu?”
Ibnu Dhahhak: “Amirul Mukminin marah kepadaku karena kesalahan yang aku lakukan.”
Selanjutnya Maslamah menemui Yazid bin Abdul Malik dan berkata:
Maslamah: “Aku ada keperluan penting wahai Amirul Mukminin.”
Yazid: “Semua keperluan Anda akan aku penuh kecuali masalah Ibnu Dhahhak.”
Maslamah: “Demi Allah aku tidak memiliki keperluan selain itu.”
Yazid: “Aku tak bisa mengampuninya.”
Maslamah: “Sebenarnya, apa kesalahan yang dia lakukan?”

Yazid: “Dia menganggu Fathimah binti Husein dan mengancam serta menekannya. Dia juga tidak menghiraukan nasihat Salim bin Abdullah tentang itu. Para penyair, tokoh-tokoh masyarakat, ulama dan penduduk Madinah mengecamnya.

Maslamah: “Jika begitu persoalannya maka terserah Anda wahai Amirul Mukminin.”

Yazid: “Sekarang perintahkan Ibnu Dhahhak kembali ke Madinah. Dia harus menerima hukuman dari gubernur yang baru agar menjadi pelajaran bagi pejabat-pejabat yang lain.”

Legalah hati penduduk Madinah, mereka bersyukur atas pengangkatan gubernur yang baru dan gembira dengan pelaksanaan hukuman bagi Ibnu Dhahhak. Mereka puas lantaran gubernur yang baru ternyata senantiasa berlaku baik kepada rakyat dan tidak mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan melainkan setelah meminta persetujuan para ulama seperti Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdillah.

Alangkah mulianya khalifah muslimin Yazid bin Abdul Malik yang telah memperjuangkan kaum muslimin dan mendidik pejabat-pejabat yang tangguh demi kejayaan Islam

Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009

Artikel www.KisahMuslim.com
Sumber : https://kisahmuslim.com/2938-tabiin-salim-bin-abdullah-bin-umar-bin-khathab-cucu-umar.html

Sesosok ulama yang mulia. Termasuk jajaran kibaru tabiin [tabiin senior] yang bertemu dan duduk belajar dengan banyak shahabat. Beliau merupakan salah satu dari fuqaha sab’ah [tujuh ahli fikih Madinah] yang menjadi sumber ilmu fikih di kota Madinah. Lahir dan tumbuh besar di lingkungan para shahabat yang utama. Meneguk ilmu langsung kepada generasi paling utama dalam umat ini. Melihat secara langsung amaliyah para shahabat nabi, dan berbagai akhlak dan perilaku mereka yang mulia. Hidup dan bergaul dengan ilmu dan iman yang kokoh, sungguh memberikan pengaruh yang besar dalam hidup beliau.
Selain lingkungan yang mendukung keilmuan dan keimanan, beliau tumbuh dalam didikan keluarga di antara shahabat Nabi yang paling utama. Ayah dan kakek beliau adalah shahabat Rasulullah. Ayahnya adalah Abdullah, satu di antara tujuh shahabat nabi yang paling banyak meriwayatkan hadis Rasulullah. Sedangkan kakek beliau adalah Umar bin Al Khattab Al Faruq, khalifah kedua yang menggantikan Abu Bakar Ash Shiddiq. Lihatlah, ayah serta kakek beliau adalah dua shahabat yang utama. Kaum muslimin tentu mengenal mereka dan keutamaan keduanya. Pastilah akan sangat panjang tulisan yang mungkin akan dituangkan untuk membahas keutamaan keduanya, radhiyallahu anhuma.

Ibunda beliau adalah putri dari Kaisar Persia, Yazdajir. Kekaisaran Persia di bawah kepemimpinan Yazdajird berakhir di tangan kaum muslimin pada zaman kekhalifahan Umar bin Al Khatthab. Pada kemenangan Islam atas negeri Persia ini, menjadikan kaum muslimin mendapatkan harta ghanimah yang sangat melimpah dari negeri tersebut. Selain itu, ada pula serombongan tawanan yang amat banyak. Di antara yang menjadi tawanan tersebut adalah tiga putri sang Kaisar. Maka, kepada ketiga putri tersebut dipasanglah harga yang tinggi sebagai tebusan ketiganya. Mereka juga diberi kesempatan untuk memilih siapakah pemuda yang akan menjadi penebusnya. Maka putri pertama memilih Muhammad bin Abi Bakar. Putri kedua memilih Abdullah bin Umar bin Khaththab dan putri yang ketiga memilih Al Husein bin Ali bin Abi Thalib. Dari ketiga putri itulah lahir para pemimpin Islam pada masa tabiin.

Mereka adalah Qosim bin Muhammad, Zainal Abidin, dan Salim bin Abdillah. Oleh karenanya, Qosim bin Muhammad dan Zainal Abidin adalah termasuk kerabat beliau dari jalur ibu.

Saudara beliau seayah dan seibu adalah Ubaidullah dan Hamzah. Selain itu beliau memiliki banyak saudara seayah dengan ibu yang berbeda. Ia juga berkerabat dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui jalur ayahnya.

Beliau bernama Salim bin Abdillah bin Umar bin Al Khattab Al Qurasy Al Adawy. Berkuniah Abu Abdillah atau Abu Umar. Lahir pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan di kota nabi, Madinah Al Munawwarah.

KEUTAMAAN SALIM BIN ABDILLAH
Sejak dini telah tampak pada diri beliau akan ketakwaan dan semangat beliau dalam beragama. Salim adalah putra yang paling mirip dalam perawakan dan ketakwaannya dengan ayahnya dibandingkan dengan anak Ibnu Umar lainnya. Karena kemiripan inilah sehingga ayah beliau -Abdullah bin Umar – pun mencintai beliau. Beliau dibesarkan di bawah asuhan ayahandanya yang zuhud, yang memiliki tabiat dan akhlak Umar. Sejak awal sang ayah sudah melihat tanda-tanda ketakwaan dan hidayah Allah pada diri Salim. Tercermin pada akhlak islami yang kokoh di atas Al Quran melebihi saudara-saudaranya yang lain.

Disebutkan dari Zaid bin Muhammad bin Zaid, dari Nafi’ la berkata; dahulu Ibnu Umar mencium Salim (putranya) sehingga Nafi’ mengatakan, “Seorang syaikh mencium seorang syaikh’.

Said bin Musayyib juga mengatakan; dahulu Abdullah bin Umar adalah anak yang paling serupa dengan Umar (bin Al khaththab), dan Salim adalah anak yang paling serupa dengan Abdullah (bin Umar)

Salim bin Abdillah bin Umar bin Khaththab adalah seorang pria yang kuat. Perawakan beliau gagah, sebagaimana Umar bin Al Khaththab. Adapun penampilan beliau, maka penampilan beliau sangat bersahaja, jauh dari kesan kemewahan, namun juga sangat berwibawa. Beliau persis seperti ayahnya yang juga seorang yang zuhud.

Salim adalah seorang yang bekerja dengan tangannya dan tidak bergantung dengan orang lain. Walaupun sangat mudah bagi beliau untuk meminta bantuan kepada orang lain, dan manusiapun pasti dengan senang hati akan membantu kebutuhan beliau.

Dikatakan oleh Imam Malik, “Dahulu (Abdullah) Ibnu Umar keluar ke pasar untuk membeli sesuatu, dan Salim pun membeli di pasar-pasar, padahal beliau adalah orang paling utama di zaman itu.”

Beliau juga mengatakan, “Tak seorang pun di zaman Salim yang lebih serupa dengan orang-orang saleh terdahulu dalam sikap zuhud dan keutamaan. Beliau memakai pakaian seharga dua dirham.”

Berkata Salamah bin Al Abrasy menggambarkan kesederhanaan beliau, “Aku melihat salim bin Abdillah memakai pakaian dari wol.”

Diriwayatkan oleh Ali bin Zaid dari Said Ibnul Musayyib, berkata Ibnu Umar, “Apakah engkau tahu kenapa aku namakan anakku dengan Salim?” Said menjawab. Tidak. Beliau lantas berkata, “Aku namai (seperti) Salim maula Abu Hudzaifah, yakni salah satu As sabiqunal Awwalun. Demikianlah, ayah beliau menamai beliau dengan Salim sama seperti salah satu nama shahabat mulia Salim maula Abu Hudzaifah, yang meninggal di awal-awal Islam sebagai seorang syahid.

Salim bin Abdillah dikenal manusia sebagai seorang imam hafizh, seorang yang zuhud, dan seorang mufti Negeri Madinah. Beliau menjadi tokoh para tabiin, dan menjadi rujukan pertanyaan umat saat itu. Ilmu dan ketakwaannya benar-benar tercermin pada diri beliau, Sungguh gelar-gelar panggilannya adalah persaksian para ulama dan manusia secara umum yang menunjukkan keutamaan beliau.

Beliau adalah juga seorang yang pandai dan cerdas. Sebuah kisah menjadi bukti hal tersebut. Suatu ketika Al Hajaj bin Yusuf membawa seseorang kepada Salim bin Abdillah, agar beliau membunuhnya. Maka salim bertanya kepada orang ini. “Apakah kamu muslim? Maka orang ini mengatakan, “Iya. Lalu beliau bertanya kembali. “Apakah kamu salat Subuh pada hari ini? Orang itu menjawab kembali, “ya”. Maka Salim kembali kepada Al Hajjaj dan melemparkan pedangnya, dan mengatakan, “Telah disebutkan bahwa dia seorang muslim dan bahwa dia telah salat Subuh pada hari ini, dan sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang salat Subuh maka dia berada dalam jaminan (keamanan) Allah. Maka Al Hajjaj pun berkata, “Kami tidak membunuhnya karena sebab salat, namun karena dia termasuk yang membantu pembunuhan Utsman.” Maka Salim berkata, “Di sana ada orang-orang yang lebih berhak tentang (urusan darah,red) Utsman daripadaku. Maka perbincangan itu sampai kepada ayah beliau Abdullah bin Umar. Maka Hajaj pun berkomentar, “Cerdik! Dia cerdik.”

Selain ilmu yang dalam dan kezuhudan, beliau juga seorang yang memiliki kehalusan budi bahasa dan manisnya tutur kata. Ibnu Uyainah pernah berkata, “Hisyam pernah masuk Kakbah, ternyata di sana telah ada Salim bin Abdillah. Maka Hisyam (khalifah saat itu) mengatakan, “Mintalah kepadaku kebutuhan (mu).” Maka Salim berkata, “Aku malu kepada Allah untuk aku meminta kepada selain-Nya (sedang aku) di rumah-Nya. Maka tatkala keduanya keluar berkata (Hisyam), “Sekarang mintalah kebutuhanmu.” Maka Salim berkata kepadanya, “Dari kebutuhan dunia ataukah kebutuhan akhirat?” Maka Hisyam mengatakan, “Dari kebutuhan dunia.” Maka Salim mengatakan, “Demi Allah aku tidak pernah meminta dunia kepada yang memilikinya (Allah, red), lalu bagaimana aku akan memintanya kepada yang tidak memilikinya (Hisyam, red)?”

KEILMUAN YANG TIADA DIRAGUKAN
Salim duduk di berbagai majelis ilmu dan hadis. Berguru kepada para shahabat Nabi yang utama. Tercatat banyak guru yang beliau ambil ilmu dan hadisnya. Di antaranya adalah ayahnya Abdullah bin Umar, Abu Ayyub Al Anshary, Rafi’ bin Khadij, Abu Hurairah, Zaid bin Al Khaththab, Safinah, Abu Rafi’ maula Nabi, Abu Lubabah bin Abdil mundzir, dan Aisyah, Mereka semua adalah para shahabat yang mulia. Beliau juga menerima hadis dari para tabi’in yang satu jajaran dan tingkatan dengan beliau seperti Said bin Al Musayyib, dan Shafiyah istri ayah beliau.

Adapun para murid beliau, maka sangatlah banyak. Di antara mereka ada para ulama yang masyhur seperti putra beliau Abu Bakar bin Salim, Salim bin Abil Ja’di, Amr bin Dinar, Muhammad bin Wasi’, Yahya bin Abi Ishaq Al Hadrami, Abu Bakar bin Hazm, Az Zuhri, Muhammad bin Abi Harmalah, Katsir bin Zaid, Fudhail bin Ghazwan, Handhalah bin Abi Sufyan, Shalih bin Kaisan, Ashim bin Abdillah, Ikrimah bin Ammar, dan lainnya

Para ulama menetapkan bahwa Salim adalah seorang yang tsiqah dan imam dalam bidang hadis. Ishaq bin Ruhawaih berkata, “Hadis yang palih sahih sanadnya bersumber dari Az Zuhry dari Salim dari Ayahnya.”

Muhammad Sa’id berkata, “Salim adalah seorang ulama yang memiliki banyak hadis, seorang yang tinggi ilmunya, dan seorang yang wara’.” Ahmad bin Abdillah Al Ajali juga berkata, “Salim bin Abdillah adalah seorang tabi’in yang tsiqah.”

Lebih dari itu, beliau juga dijadikan rujukan pertanyaan dan pendapat oleh para penguasa. Seringkali para pejabat negeri meminta saran dan pendapat beliau ketika menghadapi masalah.

WAFATNYA SALIM BIN ABDULLAH BIN UMAR
Salim bin Abdillah wafat pada tahun 106 hijriyah. Menurut Al Bukhari, ‘Athaf bin Khalid, Dhamirah, dan Abu Nu’aim, Salim bin Abdullah bin Umar wafat pada tahun 106 H. Tepatnya, beliau wafat pada bulan Dzulqa’dah atau Dzulhijjah menurut pendapat lain. Yang menyalati beliau adalah Amirul Mukminin Hisyam bin Abdil Malik setelah kembalinya beliau dari haji. rahimahullah.

Dikutip dari Buku “Kisah Indah Ulama Salaf”, Penerbit Media Tashfiyah
Sumber : https://www.atsar.id/2023/10/biografi-salim-bin-abdillah-bin-umar-al-khaththab.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M