• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 30 Oktober 2025

Umar bin Abdul Aziz

Bagikan

Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz, ya begitulah rakyatnya memanggilnya. Seorang pemimpin yang saleh, kharimastik, bijaksana, dan dekat dengan rakyatnya. Sosoknya yang begitu melegenda tentu membuat hati penasaran untuk mengenalnya. Peristiwa-peristiwa pada pemerintahannya menimbulkan rasa cinta untuk meneladaninya. Berikut ini bersama kita simak biografi singkat dari sang khalifah yang mulia.

Ia adalah Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Al-Hakam bin Abu Al-Ash bin Umayyah bin Abd Syams bin Manaf, seorang imam dalam permasalahan agama dan dunia, penghafal hadis nawabi, mujtahid, laki-laki yang zuhud, pula ahli ibadah, sosok yang benar-benar layak digelari pemimpin orang-orang yang beriman. Ia dikenal juga dengan Abu Hafs, nasabnya Al-Qurasyi Al-Umawi.

Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, salah seorang dari gubernur Klan Umayah. Ia seorang yang pemberani lagi suka berderma. Ia menikah dengan seorang wanita salehah dari kalangan Quraisy lainnya, wanita itu merupakan keturunan Umar bin Khattab, dialah Ummua Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab, dialah ibu Umar bin Abdul Aziz. Abdul Aziz merupakan laki-laki yang saleh yang baik pemahamannya terhadap agama. Ia merupakan murid dari sahabat senior Abu Hurairah.

Ibunya Ummu Ashim, Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab. Bapaknya Laila merupakan anak Umar bin Khattab, ia sering menyampaikan hadis nabi dari Umar. Ia adalah laki-laki dengan perawakan tegap dan jangkung, satu dari sekian laki-laki mulia di zaman tabi’in. Ada kisah menarik mengenai kisah pernikahannya, kisah ini cukup penting untuk diketengahkan karena dampak kejadian ini membekas kepada keturunannya, yakni Umar bin Abdul Aziz.

Cerita ini dikisahkan oleh Abdullah bin Zubair bin Aslam dari ayahnya dari kakeknya yang bernama Aslam. Ia menuturkan, “Suatu malam aku sedang menemani Umar bin Khattab berpatroli di Madinah. Ketika beliau merasa lelah, ketika beliau merasa lelah, beliau bersandar ke dinding di tengah malam, beliau mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya, ‘Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air.’ Maka putrinya menjawab, ‘Wahai ibunda, apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin hari ini?’ Ibunya bertanya, ‘Wahai putriku, apa maklumatnya?’ Putrinya menjawab, ‘Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air.’ Ibunya berkata, ‘Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat oleh Umar dan petugas Umar.’ Maka gadis itu menjawab, ‘Ibu, tidak patut bagiku menaatinya di depan khalayak demikian juga menyelesihinya walaupun di belakang mereka.’ Sementara Umar mendengar semua perbincangan tersebut. Maka dia berkata, ‘Aslam, tandai pintu rumah tersebut dan kenalilah tempat ini.’ Lalu Umar bergegas melanjutkan patrolinya.

Di pagi hari Umar berkata, ‘Aslam, pergilah ke tempat itu, cari tahu siapa wanita yang berkata demikian dan kepada siapa dia mengatakan hal itu. Apakah keduanya mempunyai suami?’ Aku pun berangkat ke tempat itu, ternyata ia adalah seorang gadis yang belum bersuami dan lawan bicaranya adalah ibunya yang juga tidak bersuami. Aku pun pulang dan mengabarkan kepada Umar. Setelah itu, Umar langsung memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar berkata, ‘Adakah di antara kalian yang ingin menikah?’ Ashim menjawab, ‘Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah aku.’ Maka Umar meminang gadis itu dan menikahkannya dengan Ashim. Dari pernikahan ini lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi Umar bin Abdul Aziz.”

Diriwayatkan bahwa pada suatu malam Umar bin Khattab bermimpi, dia berkata, “Seandainya mimpiku ini termasuk tanda salah seorang dari keturunanku yang akan memenuhinya dengan keadilan (setelah sebelumnya) dipenuhi dengan kezaliman. Abdullah bin Umar mengatakan, “Sesungguhnya keluarga Al-Khattab mengira bahwa Bilal bin Abdullah yang mempunyai tanda di wajahnya.” Mereka mengira bahwa dialah orang yang dimaksud, hingga Allah kemudian menghadirkan Umar bin Abdul Aziz.

Kelahiran dan Wafatnya
Ahli sejarah berpendapat bahwa kelahiran Umar bin Abdul Aziz terjadi di tahun 61 H. Ia dilahirkan di Kota Madinah An-Nabawiyah, pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Umar bin Abdul Aziz tidak memiliki usia yang panjang, ia wafat pada usia 40 tahun, usia yang masih relatif muda dan masih dikategorikan usia produktif. Namun, di balik usia yang singkat tersebut, ia telah berbuat banyak untuk peradaban manusia dan Islam secara khusus.

Ia dijuluki Asyaj Bani Umayah (yang terluka di wajahnya) sebagaimana mimpi Umar bin Khattab.

Saudara-Saudara Umar bin Abdul Aziz
Abdul Aziz bin Marwan (bapak Umar), mempunyai sepuluh orang anak. Mereka adalah Umar, Abu Bakar, Muhammad, dan Ashim. Ibu mereka adalah Laila binti Ashim bin Umar bin Kahttab. Abdul Aziz mempunyai enam anak dari selain Laila, yaitu Al-Ashbagh, Sahal, Suhail, Ummu Al-Hakam, Zabban dan Ummul Banin. Ashim (saudara Umar) inilah yang kemudian menjadi kunyah ibunya (Laila Ummu Ashim).

Anak-Anak Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Ya’qub, Bakar, Al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah.

Pada saat Umar bin Abdul Aziz wafat, ia tidak meninggalkan harta untuk anak-anaknya kecuali sedikit. Setiap anak laki-laki hanya mendapatkan jatah 19 dirham saja, sementara satu anak dari Hisyam bin Abdul Malik (khalifah Bani Umayah lainnya) mendapatkan warisan dari bapaknya sebesar satu juta dirham. Namun beberapa tahun setelah itu salah seorang anak Umar bi Abdul Aziz mampu menyiapkan seratus ekor kuda lengkap dengan perlengkapannya dalam rangka jihad di jalan Allah, pada saat yang sama salah seorang anak Hisyam menerima sedekah dari masyarakat.

Istri-Istrinya
Istri pertamanya adalah wanita yang salehah dari kalangan kerajaan Bani Umayah, ia merupakan putri dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan yaitu Fatimah binti Abdul Malik. Ia memiliki nasab yang mulia; putri khalifah, kakeknya juga khalifah, saudara perempuan dari para khalifah, dan istri dari khalifah yang mulia Umar bin Abdul Aziz, namun hidupnya sederhana.

Istrinya yang lain adalah Lamis binti Ali, Ummu Utsman bin Syu’aib, dan Ummu Walad.

Ciri-Ciri Fisik Umar bin Abdul Aziz
Umar bin Abdul Aziz berkulit cokelat, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping, berjanggut rapi, bermata cekung, dan di keningnya terdapat bekas luka akibat sepakan kaki kuda. Ada pula yang mengatakan, ia berkulit putih, berwajah lembut dan tampan, berperawakan ramping dan berjenggot rapi.

Sumber: Perjalanan Khalifah Yang Agung Umar bin Abdul Aziz, DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi

Inilah keadaan Umar bin Abdul Aziz ditinjau dari lingkungan domestiknya. Ia tumbuh di lingkungan salehah dan berdarah biru. Namun bagaimanakan ia menjalankan hidupnya ketika dewasa? Bagaimana Ibadah dan muamalahnya? InsyaAllah akan kita simak di kisah selanjutnya.

Referensi ; https://kisahmuslim.com/1810-umar-bin-abdul-aziz.html

Faktor Keluarga

Umar bin Abdul Aziz melewati masa kanak-kanaknya di Kota Madinah An-Nabawiyah. Kota yang dipenuhi dengan aroma kenabian. Bagaimana tidak, pada saat itu masih banyak para sahabat berjalan-jalan di kota yang dahulunya disebut Yatsrib ini, di antara pembesar sahabat duduk-duduk di masjid mengajarkan ilmu yang mereka miliki, dan rumah-rumah nabi pun masih meninggalakn jejak-jejaknya yang mulia.

Umar bin Abdul Aziz tergolong anak yang cerdas dan memiliki hapalan yang kuat. Kedekatan kekerabtannya dengan Abdullah bin Umar bin Khattab, menyebabkannya sering bermain ke rumah sahabat nabi yang mulia ini. Suatu ketika ia mengatakan kepada ibunya sebuah cita-cita yang mulia dan menunjukkan jati diri Umar kecil, “Ibu, aku ingin menjadi seorang laki-laki dari paman ibu.” Ibunya pun menanggapi, “Sulit bagimu nak untuk meniru pamanmu itu.”

Terang saja ibunya mengatakan demikian, Abdullah bin Umar adalah salah seorang pembesar dari kalangan sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ia merupakan salah seorang yang paling banyak meriwayatkan hadis nabi, seseorang putera kesayangan dari orang yang paling mulia di masa Islam setelah Nabi Muhammad dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, seorang ahli ibadah lagi mempunyai kedudukan terhormat, dan dicintai umat. Namun, Umar bin Abdul Aziz tak patah semangat, ia memiliki jiwa yang tangguh sebagaimana kakeknya Umar bin Khattab.

Ayah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang gubernur di Mesir. Suatu ketika ia mengirim surat ke ibu kota yang berisikan mengajak anak dan istrinya untuk menyertainya di Negeri Mesir. Sang ibu pun berkonsultasi dengan Abdullah bin Umar, kemudian Ibnu Umar menasihatinya, “Keponakanku, dia adalah suamimu, pergilah kepadanya.” Manakala Ummu Ashim hendak berangkat, Ibnu Umar mengatakan, “Tinggalkanlah anakmu ini –Umar bin Abdul Aziz- bersama kami, dia satu-satunya anakmu yang mirip dengan keluarga besar Al-Khattab.” Ummu Ashim tidak membantah, dan dia meninggalkan anaknya bersama pamannya tersebut.

Ketika sampai di Mesir, sang ayah pun menanyakan perihal Umar bin Abdul Aziz. Ummu Ashim mengabarkan apa yang terjadi, berbahagialah Abdul Aziz mendengar kabar tersebut. Ia mengirim surat kepada saudaranya, Abdul Malik di Madinah agar mencukupi kebutuhan anaknya di Madinah. Abdul Malik menetapkan seribu dinar setiap bulannya untuk biaya hidup Umar bin Abdul Aziz. Setelah beberapa saat, Umar bin Abdul Aziz pun menyusul ayahnya ke Mesir.

Demikianlah lingkungan keluarga Umar bin Abdul Aziz, tumbuh di bawah asuhan pamannya yang saleh dan lingkungan Kota Madinah yang dipenuhi cahaya dengan banyaknya sahabat-sahabat nabi. Di masa mendatang sangat terlihat pengaruh lingkungan tumbuh kembangnya ini dalam kehidupannya.

Kecintaan Umar bin Abdul Aziz Terhadap Ilmu Sejak Dini dan Hafalannya Terhadap Alquran Al-Karim
Umar bin Adbdul Aziz telah menghapal Alquran pada usia anak-anaknya, ia sangat mencintai ilmu agama. Terbukti dengan kebiasaannya berkumpul dengan para sahabat nabi dan menimba ilmu di majlis mereka.

Ia sering menadaburi ayat-ayat Alquran sampai menangis tersedu-sedu. Ibnu Abi Dzi’ib mengisahkan, “Orang yang menyaksikan Umar bin Abdul Aziz yang saat itu masih menjabat Gubernur Madinah, menyampaikan kepadaku bahwa di depan Umar ada seorang laki-laki membaca ayat,

وَإِذَآ أُلْقُوا مِنْهَا مَكَانًا ضَيِّقًا مُّقَرَّنِينَ دَعَوْا هُنَالِكَ ثُبُورًا

“Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.” (QS. Al-Furqon: 13).

Maka Umar pun menangis sampai ia tidak bisa menguasai dirinya, pecahlah isak tangisnya, lalu ia pun pulang ke rumahnya untuk menyembunyikan hal itu.

Makna ayat ini adalah, ketika orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat itu dicampakkan di tempat yang sempit di neraka, tangan-tangan mereka di belenggu ke leher mereka ‘mereka di sana mengharapkan kebinasaan’ Harapan binasa di sini sebagai ungkapan sebagai ungkapan penyesalan mendalam dari orang-orang itu, karena sewaktu di dunia mereka menjauhi ketaatand dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Abu Maudud mengabarkan, “Sampai berita kepadaku bahwa pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz membaca,

وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu.” (QS. Yunus: 61).

Umar bin Abdul Aziz pun menangis, sampai orang-orang di rumahnya pun mendengar suara tangisnya. Ketika anaknya Abdul Malik menghampirinya dan bertanya, “Wahai ayahanda apa yang terjadi?” Umar menjawab, “Anakku, ayahmu ini tidak mengenal dunia dan dunia pun tidak mengenalnya. Demi Allah wahai anakku, sungguh aku khawatir binasa. Demi Allah wahai anakku, aku takut menjadi penghuni neraka.”

Ayat di atas menerangkan bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang kita perbuat. Dan Umar bin Abdul Aziz dengan kesalehannya dan jasanya yang banyak terhadap umat Islam khawatir kalau ia menjadi penghuni neraka karena banyak berbuat salah. Lalu bagaimana dengan kita?

Abdul A’la bin Abu Abdullah Al-Anzi mengatakan, “Aku melihat Umar bin Abdul Aziz keluar di hari Jumat dengna pakaian yang sudah usang. Pada hari itu ia naik mimbar Jumat dan berkhutbah dengan membaca surat At-Takwir

“Apabila matahari digulung.” Ia mengatakan, “Ada apa dengan amtahari?” kemudian ayat kedua, “Dan apabila bintang-bintang berguguran.” Sampai pada ayat “Dan apabila neraka Jahim dinyalakan dan apabila surge didekatkan.” Beliau menangis, dan ketulusan tangisan tersebut menyentuh kalbu jamaah yang hadir pada saat itu, akhirnya mereka terenyuh dan ikut menangis.

Referensi : https://kisahmuslim.com/1808-umar-bin-abdul-aziz-bagian-2.html

Lingkungan Masyarakat dan Pendidikan Umar bin Abdul Aziz
Lingkungan Sosial memegang peranan kuat dan penting dalam membangun dan mencetak orang besar. Umar bin Abdul Aziz hidup di zaman keemasan Islam, zaman di mana masyarakat yang saleh, bertakwa, cinta terhadap ilmu, dan keteguhan berpegang pada Alquran dan sunah merupakan cirri dominan masyarakatnya. Maysarakat yang menganggap dosa adalah aib yang besar dan memalukan, yah itulah kondisi umum masyarakat pada saat itu.

Saat itu pula orang-orang mulia yang dicintai Allah dan rasul-Nya masih ditemui,

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (QS. At-Taubah: 100).

Benar saja, muhajirin dan anshar masih ada dan setia membimbing umat nabi mereka. Umar bin Abdul Aziz berguru kepada Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib, Sa’ib bin Yazid dan Sahal bin Sa’ad. Umar meminta sebuah gelas yang pernah dipakai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam minum dari Sahal bin Sa’ad. Ia pernah shalat mengimami sahabat yang mulia Anas bin Malik, beliau pun memuji Umar dengan mengatakan, “Aku tidak melihat anak muda yang paling mirip shalatnya dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam daripada anak muda ini.”

Pendidikan Umar bin Abdul Aziz
Abdul Aziz, ayahanda Umar memilih Shalih bin Kaisan sebagai pendidik anaknya, Shalih pun mendidiknya dengan baik. Shalih mengharuskan Umar shalat lima waktu berjamaah di masjid. Suatu hari Umar tertinggal dari shalat berjamaah, maka Shalih bin Kaisan pun bertanya, “Apa yang menyibukkanmu?” Umar menjawab, “Pelayanku menyisir rambutku.” Shalih berkata, “Sedemikian besar perhatianmu terhadap menyisir rambut, sampai-sampai kamu tertinggal shalat.” Lalu Shalih menyampaikan hal itu kepada ayah Umar bin Abdul Aziz, maka ayahnya mengutus seseorang dan langsung mencukur rambutnya tanpa bertanya apa-apa lagi.

Di antara guru-guru yang berpengaruh bagi dirinya adalah Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud, Umar sangat menghormatinya, menimba ilmu darinya, beradab dengan meniru prilakunya, dan sering mengunjunginya, sampai ketika Umar menjadi gubernur Madinah, ia pun sering melakukan hal itu. Ketika Umar menjabat sebagai khalifah, ia mengatakan, “Seandainya Ubaidullah masih hidup, niscaya aku tidak menetapkan sebuah keputusan kecuali berpijak dengan pendapatnya. Aku berharap memperoleh ini dan ini dengan satu hari bersama Ubaidullah.”

Gurunya yang lain adalah Sa’id bin Al-Musayyib, ia dijuluki sebagai bintangnya para tabi’in. Jika generasi sahabat memiliki Abu Bakar sebagai tokoh utama, maka generasi tabi’in diwakilkan oleh Sa’id bin Al-Musayyib, demikianlah pujian ulama terhadapnya. Ia merupakan seorang ulama yang kharismatik, berwibawa, dan disegani oleh para pemimpin. Bilamana khalifah datang ke suatu masjid yang memerlukan untuk mengosongkan masjid tersebut, sementara di sana sedang duduk Sa’id, maka khalifah tidak akan berani menyentuhnya karena kewibawaannya. Ia tidak pernah mendatangi seorang gubernur pun selain Umar. Menunjukkan keshalihan dan kebaikan Umar pun diakui di mata seorang Sa’id bin Al-Musayyib.

Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab juga merupakan salah seorang gurunya. Sa’id bin Al-Musayyib pernah memujinya, “Putra Umar (bin Khattab) yang paling mirip dengannya adalah Abdullah, dan anak Abdullah yang paling mirip dengannya adalah Salim.” Umar sangat menyayangi Salim, saking sayangnya, orang-orang pun menganggapnya berlebihan. Namun Umar membela diri karena Salim memang layak mendapatkan hal seperti itu.

Suatu hari, Salim bin Abdullah datang kepada Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik, saat itu salim memakai baju yang kasar dan using. Sulaiman menyambutnya dengan hangat dan mempersilakannya duduk di singgasananya. Umar bin Abdul Aziz ikut hadir di majlis tersebut, maka seorang laki-laki di barisan belakang berkata kepada Umar, “Apakah pamanmu itu tidak bisa memakai baju yang lebih bagus dan lebih baik dari bajunya itu untuk menghadap amirul mukminin?” Orang yang berbicara ini memakai baju yang bagus dan mahal. Umar menjawab. “Aku tidak melihat baju yang diapakai pamanku itu mendudukkannya di tempatmu ini, dan aku juga tidak melihat bajumu ini bisa mendudukanmu di tempat pamanku itu.”

Umar bin Abdul Aziz terdidik dan belajar di tangan para ulama dan fuqaha’ dalam jumlah besar, jumlah gurunya mencapai tiga puluh tiga orang; delapan dari mereka adalah sahabat dan dua puluh lima lainnya adalah tabi’in. Umar bin Abdul Aziz menimba ilmu dan hikmah dari mereka, sehingga tampaklah ilmu dan akhlak yang mulia pada dirinya. Ia memiliki jiwa yang tangguh dalam menghadapi rintangan, keteguhan pemikiran yang mendalam dan selalu merenungkan Alquran, berkemauan kuat, dll.

Inilah faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian Umar. Sejak kecil ia sudah ditempa oleh pribadi-pribadi luhur dan agung. Membimbingnya agar menjadi seorang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah.

Sumber: Perjalanan Hidup Khalifah Yang Agung, Umar bin Abdul Aziz. Oleh Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi. Penerbit: Darul Haq

Artikel www.KisahMuslim.com
Referensi : https://kisahmuslim.com/1822-umar-bin-abdul-aziz-bagian-3.html

Ucapan Terakhir Umar bin Abdul Aziz Sebelum Wafat

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah ke-8 dari Daulah Bani Umayyah. Masa pemerintahannya berjalan singkat, hanya dari tahun 99 H – 102 H atau 717 M – 720 M. Jika ditotal tidak sampai tiga tahun. Namun, ia memenuhi masa-masa tersebut dengan keadilan dan kebaikan.

Dua orang khalifah sebelumnya dan dua orang setelahnya adalah trah Bani Umayyah dari putra-putra Abdul Malik bin Marwan. Hanya ia saja yang merupakan putra dari Abdul Aziz bin Marwan. Sehingga pengangkatannya sedikit menimbulkan gejolak di tengah keluarga kerajaan.

Setelah hanya dua tahunan memerintah, Umar bin Abdul Aziz mengalami percobaan pembunuhan. Ia diracun dan menyebabkannya mengalami sakit yang mengantarkannya pada wafatnya. Sesaat sebelum wafat, Umar bin Abdul Aziz didampingi istrinya Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan, saudara iparnya, Maslamah bin Abdul Malik bin Marwan, dan orang-orang pentingnya. Lalu Umar berkata,

“Beranjaklah kalian semua dari sisiku. Aku benar-benar melihat makhluk yang semakin banyak. Mereka bukan jin. Bukan pula manusia.”

Maslamah menceritakan, “Kami pun pergi dan menyingkir dari sisinya. Lalu kami mendengar ia mengucapkan,

تِلْكَ الدَّار الْآخِرَة نَجْعَلهَا للَّذين لَا يُرِيدُونَ علوا فِي الأَرْض وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقبَة لِلْمُتقين

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” [Quran Al-Qashash: 83].

Suara itu meredup. Kami berdiri dan kembali masuk. Kami lihat ia sudah wafat dalam keadaan tenang.” (Siroh Umar bin Abdul Aziz karya Ibnu Abdul Hakam).

Saat akhir hayatnya tersebut, Umar mengenakan pakaian yang lusuh. Maslamah meminta istrinya agar mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih baik. Namun ternyata khalifah yang mulia ini tidak memiliki pakaian yang lain selain yang ia pakai saat itu. rahimahullah rahmatan wasi’ah.

Ditulis oleh Nurfitri Hadi (Instagram: nurfitri_hadi)
Artikel www.KisahMuslim.com
Referensi : https://kisahmuslim.com/7653-ucapan-terakhir-umar-bin-abdul-aziz-sebelum-wafat.html

Nenek Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul Aziz, itulah dia mukjizat Islam! Sebuah lembaran putih di antara lembaran-lembaran hitam dinasti Bani Marwan. [1] Sosok manusia pilihan yang lahir dari perpaduan antara dua unsur yang amat bertolak belakang!

Ya, sekali lagi amat bertolak belakang! Mengapa demikian?

Ia terlahir dari keluarga Bani Umayyah yang terhitung keluarga ningrat, pemegang tampuk kekuasaan. Ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, seorang gubernur Mesir yang diangkat oleh saudaranya, Amirul Mukminin Abdul Malik bin Marwan. Abdul Aziz memerintah Mesir selama 20 tahun.

Sebagai gubernur, hidupnya tentu penuh dengan kenikmatan. Hidangan lezat, istana megah, pakaian indah, dan kendaraan mewah. Adapun ibunya bernama Ummu ‘Ashim, Laila binti ‘Ashim bin Umar bin Khaththab. Seorang wanita dari keluarga Umar bin Khaththab yang tersohor dengan kezuhudan dan pola hidupnya yang amat bersahaja.

Nah, dari perpaduan dua unsur inilah terlahir sosok Umar bin Abdul Aziz, si Mukjizat Islam. Sungguh, riwayat hidupnya merupakan fenomena yang sangat luar biasa. Menggambarkan sosok pribadinya, sungguh merupakan suatu hal yang sulit dilakukan.

Memang benar, terhadap suatu sejarah besar, selalu ditemui pertanyaan dan keraguan yang mengharubirukan kita tentang diri seorang besar dan pemimpin adil semisal beliau ini.

Sebenarnya, kesulitan sesungguhnya yang kita hadapi ialah dari sekian banyak kumpulan fakta yang berhubungan dengan kebesaran dan kelebihannya, sisi mana yang mesti diambil dan mana yang mesti ditinggalkan. Ketaatan dan ketekunannya dalam beribadah, ketinggian jiwanya, kewibawaannya, keadilannya, atau sepak terjangnya yang mengagumkan itu? [2]

Akan tetapi, agar pembaca tak terlena karena terlalu asyik mengikuti cerita ini, maka kali ini penulis hanya ingin menitikberatkan pada salah satu faktor utama yang ikut mewarnai pribadi seorang Umar bin Abdul Aziz. Faktor tersebut bermula dari keshalihan istri ‘Ashim bin Umar bin Khaththab, yang merupakan nenek dari Umar bin Abdul Aziz.

Khalid Muhammad Khalid, seorang penulis mesil kondang menuturkan dalam bukunya Khulafaur Rasul sebagai,

Waktu itu, malam gelap gulita. Kota Madinah telah tertidur lelap. Semua orang sedang terbuai dalam mimpi di rumahnya masing-masing. Namun, di sana masih ada seseorang yang tetap terjaga karena gelisah diusik rasa tanggung jawabnya yang demikian besar, dan memang ia selalu gelisah seperti itu, sehingga tak pernah barang sekejap pun dapat berdiam diri.

Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong kota Madinah yang sempit itu, yang terasa hanyalah kegelapan malam yang hitam pekat bagai tinta, dan angin dingin yang menusuk tulang.

Orang itu keluar dan berjalan mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat dengan seksama. Dipasangnya telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau yang merintih dalam penderitaan, atau barangkali ada seorang pengelana yang terlantar.

Ia selalu mengamati kalau-kalau ada kepentingan rakyatnya yang luput dari perhatiannya, karena ia yakin betul bahwa semuanya itu nanti akan dimintakan pertanggungjawaban kepadanya. Diperhitungkan inci demi inci, butir demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewatkan di hadirat Allah Ta’ala.

Orang itu adalah khalifah kaum muslimin, sosok yang selama ini mereka panggil dengan Amirul Mukminin. Benar! Ia tiada lain adalah Umar bin Khaththab.

Sudah panjang jalan dan lorong yang ditelusurinya malam itu, sehingga tubuhnya terasa letih, keringat pun mengucur dari sekujur tubuhnya meskipun malam itu begitu dingin. Oleh sebab itu, ia menyandarkan tubuhnya pada sebuah dinding rumah kecil nan reot.

Karena letih, ia duduk di tanah sambil mencoba beristirahat barang sejenak. Setelah letih kedua kakinya mulai terasa berkurang, ia bermaksud melanjutkan langkah menuju ke mesjid. Sebab, tidak lama lagi fajar segera menyingsing.

Tiba-tiba, di saat duduk bertumpu pada kedua tangannya, didengarnya ada suara lirih dalam gubuk itu. Suara itu merupakan percakapan yang terjadi antara seorang ibu dengan anak gadisnya. Yaitu tentang susu yang baru saja mereka perah dari kambing mereka, untuk dijual di pasar pagi hari nanti.
Si Ibu meminta agar anaknya mencampur susu itu dengan air, sehingga takarannya lebih banyak dan keuntungan yang diperolehnya nanti dapat mencukupi kebutuhan mereka hari itu.

Amirul Mukminin memasang telinganya lebih baik lagi untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan.

“Nak, campurlah susu itu dengan air!” kata si ibu.

“Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab gadis itu.

“Tetapi semua orang melakukan hal itu, Nak. Campur sajalah! Toh Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukannya.”

“Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Rabb Amirul Mukminin pasti mengetahuinya,” jawab gadis itu.

Mendengar ucapan si gadis tadi, berderailah air mata Amirul Mukminin, ia tak kuasa menahan tangis saking harusnya. Bukan air mata kesedihan, melainnkan air mata ketakjuban dan kegembiraan.

Bergegas ia bangkit dan melangkah menuju mesjid, lalu shalat fajar bersama para sahabatnya. Seusai menunaikan shalat, ia segera pulang ke rumahnya. Dipanggillah putranya, ‘Ashim, dan diperintahkannya untuk berkunjung kepada ibu si gadis di rumah reot itu, dan menyelidiki keadaan mereka.

‘Ashim kembali seraya menyampaikan kepada bapaknya perihal penghuni rumah yang didatanginya. Amirul Mukminin kemudian menceritakan percakapan yang didengarnya malam tadi kepada putranya, sehingga ia memerintahkan kepadanya untuk menyelidiki keadaan keluarga itu.

Di akhir percakapan itu, Amirul Muminin lalu berkata kepada putranya yang saat itu sudah waktunya untuk berumah tangga, “Pergilah temui mereka, dan lamarlah gadis itu untuk jadi istrimu. Aku melihat bahwa ia akan memberi berkah kepadamu nanti. Mudah-mudahan pula ia dapat melahirkan keturunan yang akan menjadi pemimpin umat!”

‘Ashim pun akhirnya menikahi gadis miskin tapi mulia dan suci hati. Mereka berdua dikaruniai seorang putri yang mereka beri nama Laila, yang kemudian lebih terkenal dengan panggilan Ummu ‘Ashim.

Ummu ‘Ashim ini tumbuh menjadi seorang gadis yang taat beribadah dan cerdas, yang akhirnya diperistri oleh Abdul Aziz bin Marwan, dan dari keduanya terlahirlah Umar bin Abdul Aziz.

Demikianlah silsilah keturunan mereka, dan nyatalah bashirah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab tentang diri gadis yang membawa berkah itu. [3]

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-orang yang beriman lalu anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (Qs. Ath-Thur: 21)

Sosok Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
Beliau dilahirkan pada tahun 60 Hijriah, bertepatan dengan tahun mangkatnya Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pendiri Daulah Umawiyah. ‘Umar adalah lelaki yang berparas elok, berkulit putih, berjambang tipis, bertubuh kurus, dan bermata cekung. Pada wajahnya terdapat bekas tapal kuda. Memang sewaktu kecil ia pernah masuk ke kandang kuda lalu ditendang pada bagian kepalanya, karenanya ia disebut Asyaj Bani Umayyah, artinya orang dari Bani Umayyah yang terluka kepalanya. [4]

Kecerdasan Umar bin Abdul Aziz
Salah seorang tokoh ahlul bait yang bernama Muhammad bin ‘Ali al-Baqir pernah ditanya tentang ‘Umar, maka jawabnya, “Dialah orang cerdasnya Bani Umayyah, kelak ia akan dibangkitkan sebagai umat seorang diri.”

Maimun bin Mihran berkata, “Para ulama di samping ‘Umar tak ubahnya seperti santri.” Imam Ahmad pernah berkata, “Diriwayatkan dalam hadits, bahwa Allah akan membangkitkan di penghujung tiap abad seorang alim yang akan memperbaharui keberagaman umat ini. Setelah kami perhatikan, ternyata pada seratus tahun pertama Umarlah orangnya. Sedangkan pada seratus tahun berikutnya ialah asy-Syafi’i.” [5]

Ketawadhuan Umar bin Abdul Aziz
Usai memakamkan Sulaiman bin Abdil Malik, ‘Umar mendengar suara gemuruh dan derap kuda. Ia pun bertanya, “Ada apa ini?”

“Ini adalah kendaraan resmi kekhalifahan, wahai Amirul Mukminin. Ia sengaja didatangkan kemari agar Anda menungganginya,” jawab seseorang.

“Aku tak membutuhkannya, jauhkan ia dariku. Kemarikan saja bighalku,” [6] jawab ‘Umar enteng.

Maka, mereka mendekatkan bighalnya dan `Umar pun menungganginya. Tapi tiba-tiba datanglah kepala keamanan yang mengawal ‘Umar dari depan sembari memegang tombak. “Apa-apaan ini? Aku tak perlu pengawal. Aku hanyalah salah seorang dari kaum muslimin,” kata ‘Umar. [7]

Maimun bin Mihran meriwayatkan bahwa suatu ketika ia bertemu dengan ‘Umar bin Abdul Aziz, lalu ‘Umar memintanya untuk menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka, Maimun menyebutkan satu hadits yang amat berkesan hingga ‘Umar menangis sejadi-jadinya, lalu kata Maimun, “Wahai Amirul Mukminin, kalau saja aku tahu Anda bakal menangis niscaya akan kubawakan hadits lain yang lebih ringan.”
“Wahai Maimun, ini gara-gara kami terlalu banyak makan kacang adas, dan sejauh yang kuketahui, ia bisa melunakkan hati, memperbanyak air mata, dan melemaskan badan,” sanggah ‘Umar.

Al-Ishami mengomentari kisah ini dengan mengatakan, “Dia benar, memang kacang adas memiliki sifat-sifat itu, akan tetapi rahasia sesungguhnya yang menyebabkan ‘Umar menangis ialah karena hatinya amat takut kepada Allah. Akan tetapi, ia punya alasan untuk menisbatkan sebab tangisnya pada adas, karena pengaruhnya yang memang seperti itu. Seakan ia ingin menjauhkan dirinya dari sesuatu yang mungkin menimbulkan riya’.” [8]

Mutiara Hikmah ‘Umar bin Abdul Aziz
Begitu terpilih menjadi Khalifah, ‘Umar langsung berpidato di depan rakyatnya. Ia menghaturkan puji-pujian kepada Allah dan salawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berkata, “Kuwasiatkan kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah karena takwa adalah pengganti segalanya, namun segalanya tak bisa menggantikan takwa. Beramallah untuk akhirat kalian, karena barangsiapa beramal untuk akhiratnya pastilah Allah mencukupi baginya perkara dunianya.

Perbaikilah batin kalian, niscaya Allah akan memperbaiki lahiriah kalian. Perbanyaklah mengingat kematian dan bersiap-siaplah sebelum ia datang, karena kedatangannya merupakan penghapus setiap kenikmatan.

Sesungguhnya orang yang tahu bahwa leluhurnya telah tiada semua, mestinya sadar bahwa dirinya amat pantas untuk mati. Ingatlah bahwa umat ini tidak berselisih lantaran Tuhan mereka, tidak pula lantarang Nabi-Nya atau kitab suci-Nya. Akan tetapi mereka berselisih lantaran dinar dan dirham, dan sungguh, demi Allah, aku tak akan memberikan yang batil pada seorang pun, dan tidak pula menahan yang haq darinya,” kemudian ‘Umar mengangkat suaranya keras-keras hingga terdengar semua orang, “Saudara sekalian, siapa yang taat kepada Allah, maka ia wajib ditaati, dan siapa yang bermaksiat kepada-Nya, maka tak ada ketaatan baginya. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, namun jika aku bermaksiat maka janganlah kalian menaatiku!” [9]

Catatan kaki:
[1] Penulis sengaja menyebutnya sebagai Bani Marwan dan bukan Bani Umayyah, agar ungkapan ini tidak mencakup pendiri Daulah Umawiyah yang merupakan seorang sahabat Rasulullah yang mulia, yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, karena sepeninggal Mu’awiyah dan putranya Yazid, tampuk kekuasaan beralih kepada Marwan bin Abdul Hakum dan keturunannya, yang terkenal suka mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya dan para khalifahnya gemar berfoya-foya, serta sederetan rapor merah lainnya yang menjadi ciri khas pemerintahan mereka. Jadi, merekalah yang kami maksudkan di sini, pen.

[2] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, oleh Khalid Muhammad Khalid, hlm. 605–608.

[3] Lihat: Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah, hlm. 614–617, dengan sedikit penyesuaian.

[4] Lihat: Al-Wafi bil Wafayat: 7/157.

[5] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.

[6] Bighal adalah hasil perkawinan silang antara keledai jantan dan kuda betina.

[7] Lihat: Shifatush Shafwah: 1/199.

[8] Lihat: Samthun Nujumil Awali, oleh al-Ishami.

[9] Tarikh Dimasyq: 45/358, oleh Ibnu Asakir.

Sumber: Ibunda para Ulama, Sufyan bin Fuad Baswedan, Wafa Press, Cetakan Pertama, Ramadhan 1427 H/ Oktober 2006.
(Dengan pengubahan tata bahasa oleh redaksi www.kisahmuslim.com)
Referensi : https://kisahmuslim.com/386-nenek-umar-bin-abdul-aziz.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M