Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
12 Sya’ban tahun 773H sd 28 Dzulhijjah 852H)
Pada akhir abad kedelapan hijriah dan pertengahan abad kesembilan hijriah termasuk masa keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani. Berikut biografi singkat beliau:
Nama dan Nashab
Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani Al-Mishri. (Lihat Nazhm Al-‘Uqiyaan Fi A’yaan Al-A’yaan, karya As-Suyuthi hal 45)
Gelar dan Kunyah Beliau
Beliau seorang ulama besar madzhab Syafi’i, digelari dengan ketua para qadhi, syaikhul islam, hafizh Al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki syihabuddin dengan nama pangilan (kunyah-nya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.
Kelahirannya
Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriah dipinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al-Jadid. (Lihat Adh-Dahu’ Al-Laami’ karya imam As-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan Al-badr At-Thaali’ karya Asy-Syaukani 1/87 no. 51).
Sifat beliau
Ibnu Hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi, kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin dimasanya.
Pertumbuhan dan belajarnya
Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rajab 777 H. setelah berhaji dan mengunjungi Baitulmaqdis dan tinggal di dua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu Hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H.) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H.) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.
Ibnu Hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddin Abu Bakar Al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.
Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk Al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal Alquran, di sana ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu Hajar belum berhasil menghafal Alquran sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar sejati yaitu Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu Hajar dapat mengkhatamkan hafalan Alqurannya ketika berumur sembilan tahun.
Ketika Ibnu Hajar berumur 12 tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat Tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785 H. Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784 H. Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786 H. hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786 H. Ibnu Hajar benAr-benar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab-kitab induk seperti Al-‘Umdah Al-Ahkaam karya Abdulghani Al-Maqdisi, Al-Alfiyah fi Ulum Al-Hadits karya guru beliau Al-Haafizh Al-Iraqi, Al-Haawi Ash-Shaghi karya Al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu Al-Haajib fi Al-Ushul dan Mulhatu Al-I’rob serta yang lainnya.
Pertama kali ia diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal nama-nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H. dan menjadi pakar dalam syair.
Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak tahun 793 H. namun beliau belum konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya.
Saat ketidakpuasan dengan apa yang didapatkan akhirnya Ibnu Hajar bertemu dengan Al-Hafizh Al-Iraqi yaitu seorang syaikh besar yang terkenal sebagai ahli fikih, orang yang paling tahu tentang madzhab Syafi’i. Disamping itu ia seorang yang sempurna dalam penguasaan tafsir, hadist dan bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai sang guru selama sepuluh tahun. Dan dalam sepuluh tahun ini Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Ditangan syaikh inilah Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin Al-Iraqi untuk mengajarkan hadits. Sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al-Hafizh dan sangat dimuliakannya. Adapun setelah sang guru meninggal dia belajar dengan guru kedua yaitu Nuruddin Al-Haitsami, ada juga guru lain beliau yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al-Wahdawaih melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, ia memberi saran untuk perlu juga mempelajari fikih karena orang akan membutuhkan ilmu itu dan menurut prediksinya ulama didaerah tersebut akan habis sehingga Ibnu Hajar amat diperlukan.
Imam Ibnu Hajar juga melakukan rihlah (perjalanan tholabul ilmi) ke negeri Syam, Hijaz dan Yaman dan ilmunya matang dalam usia muda himgga mayoritas ulama dizaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar.
Beliau mengajar di Markaz Ilmiah yang banyak diantaranya mengajar tafsir di Al-madrasah Al-Husainiyah dan Al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris Al-Babrisiyah, Az-Zainiyah dan Asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Membuka majlis Tasmi’ Al-hadits di Al-Mahmudiyah serta mengajarkan fikih di Al-Muayyudiyah dan selainnya.
Beliau juga memegang masyikhakh (semacam kepala para Syeikh) di Al-Madrasah Al-Baibrisiyah dan madrasah lainnya (Lihat Ad-Dhau’ Al-Laami’ 2/39).
Para Guru Beliau
Al-Hafizh Ibnu Hajar sangat memperhatikan para gurunya dengan menyebut nama-nama mereka dalam banyak karya-karya ilmiahnya. Beliau menyebut nama-nama mereka dalam dua kitab, yaitu:
1. Al-Mu’jam Al-Muassis lil Mu’jam Al-Mufahris.
2. Al-Mu’jam Al-Mufahris.
Imam As-Sakhaawi membagi guru beliau menjadi tiga klasifikasi:
1. Guru yang beliau dengar hadits darinya walaupun hanya satu hadits
2. Guru yang memberikan ijazah kepada beliau
3. Guru yang beliau ambil ilmunya secara mudzkarah atau mendengar darinya khutbah atau karya ilmiahnya.
Guru beliau mencapai lebih dari 640an orang, sedangkan Ibnu Khalil Ad-Dimasyqi dalam kitab Jumaan Ad-Durar membagi para guru beliau dalam tiga bagian juga dan menyampaikan jumlahnya 639 orang.
Dalam kesempatan ini kami hanya menyampaikan beberapa saja dari mereka yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keilmuan beliau agar tidak terlalu panjang biografi beliau ini.
Diantara para guru beliau tersebut adalah:
I. Bidang keilmuan Al-Qira’aat (ilmu Alquran):
1. Syeikh Ibrahim bin Ahmad bin Abdulwahid bin Abdulmu`min bin ‘Ulwaan At-Tanukhi Al-Ba’li Ad-
Dimasyqi (wafat tahun 800 H.) dikenal dengan Burhanuddin Asy-Syaami. Ibnu Hajar belajar dan membaca langsung kepada beliau sebagian Alquran, kitab Asy-Syathibiyah, Shahih Al-Bukhari dan sebagian musnad dan Juz Al-Hadits. Syeikh Burhanuddin ini memberikan izin kepada Ibnu Hajar dalam fatwa dan pengajaran pada tahun 796 H.
II. Bidang ilmu Fikih:
1. Syeikh Abu Hafsh Sirajuddin Umar bin Ruslaan bin Nushair bin Shalih Al-Kinaani Al-‘Asqalani Al-Bulqini Al-Mishri (wafat tahun 805 H) seorang mujtahid, haafizh dan seorang ulama besar. Beliau memiliki karya ilmiah, diantaranya: Mahaasin Al-Ish-thilaah Fi Al-Mushtholah dan Hawasyi ‘ala Ar-Raudhah serta lainnya.
2. Syeikh Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdillah Al-Anshari Al-Andalusi Al-Mishri (wafat tahun 804 H) dikenal dengan Ibnu Al-Mulaqqin. Beliau orang yang terbanyak karya ilmiahnya dizaman tersebut. Diantara karya beliau: Al-I’laam Bi Fawaa`id ‘Umdah Al-Ahkam (dicetak dalam 11 jilid) dan Takhrij ahaadits Ar-Raafi’i (dicetak dalam 6 jilid) dan Syarah Shahih Al-Bukhari dalam 20 jilid.
3. Burhanuddin Abu Muhammad Ibrahim bin Musa bin Ayub Ibnu Abnaasi (725-782 ).
III. Bidang ilmu Ushul Al-Fikih :
1. Syeikh Izzuddin Muhammad bin Abu bakar bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dullah bin Jama’ah Al-Kinaani Al-Hamwi Al-Mishri (Wafat tahun 819 H.) dikenal dengan Ibnu Jama’ah seorang faqih, ushuli, Muhaddits, ahli kalam, sastrawan dan ahli nahwu. Ibnu Hajar Mulazamah kepada beliau dari tahun 790 H. sampai 819 H.
IV. Bidang ilmu Sastra Arab :
1. Majduddin Abu Thaahir Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin Umar Asy-Syairazi Al-Fairuzabadi (729-827 H.). seorang ulama pakar satra Arab yang paling terkenal dimasa itu.
Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdurrazaaq Al-Ghumaari 9720 -802 H.).
V. Bidang hadits dan ilmunya:
1. Zainuddin Abdurrahim bin Al-Husein bin Abdurrahman bin Abu bakar bin Ibrahim Al-Mahraani Al-Iraqi (725-806 H. ).
2. Nuruddin abul Hasan Ali bin Abu Bakar bin Sulaimanbin Abu Bakar bin Umar bin Shalih Al-Haitsami (735 -807 H.).
Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, guru-guru Ibnu Hajar, antara lain:
1. Al-Iraqi, seorang yang paling banyak menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.
2. Al-Haitsami, seorang yang paling hafal tentang matan-matan.
3. Al-Ghimari, seorang yang banyak tahu tentang bahasa Arab dan berhubungan dengan bahasa Arab.
4. A-Muhib bin Hisyam, seorang yang cerdas.
5. Al-Ghifari, seorang yang hebat hafalannya.
6. Al-Abnasi, seorang yang terkenal kehebatannya dalam mengajar dan memahamkan orang lain.
7. Al-Izzu bin Jamaah, seorang yang banyak menguasai beragam bidang ilmu.
8. At-Tanukhi, seorang yang terkenal dengan qira’atnya dan ketinggian sanadnya dalam qira’at.
Murid Beliau
Kedudukan dan ilmu beliau yang sangat luas dan dalam tentunya menjadi perhatian para penuntut ilmu dari segala penjuru dunia. Mereka berlomba-lomba mengarungi lautan dan daratan untuk dapat mengambil ilmu dari sang ulama ini. Oleh karena itu tercatat lebih dari lima ratus murid beliau sebagaimana disampaikan murid beliau imam As-Sakhawi.
Diantara murid beliau yang terkenal adalah:
1. Syeikh Ibrahim bin Ali bin Asy-Syeikh bin Burhanuddin bin Zhahiirah Al-Makki Asy-Syafi’i (wafat tahun 891 H.).
2. Syeikh Ahmad bin Utsmaan bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah Al-Karmaani Al-hanafi (wafat tahun 835 H.) dikenal dengan Syihabuddin Abul Fathi Al-Kalutaani seorang Muhaddits.
3. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hasan Al-Anshari Al-Khazraji (wafat tahun 875 H.) yang dikenal dengan Al-Hijaazi.
4. Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari wafat tahun 926 H.
5. Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu bakar bin Utsmaan As-Sakhaawi Asy-Syafi’i wafat tahun 902 H.
6. Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Fahd Al-Hasyimi Al-‘Alawi Al-Makki wafat tahun 871 H.
7. Burhanuddin Al-Baqa’i, penulis kitab Nuzhum Ad-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar.
8. Ibnu Al-Haidhari.
9. At-Tafi bin Fahd Al-Makki.
10. Al-Kamal bin Al-Hamam Al-Hanafi.
11. Qasim bin Quthlubugha.
12. Ibnu Taghri Bardi, penulis kitab Al-Manhal Ash-Shafi.
13. Ibnu Quzni.
14. Abul Fadhl bin Asy-Syihnah.
15. Al-Muhib Al-Bakri.
16. Ibnu Ash-Shairafi.
Wafatnya
Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiah dalam khidmah kepada ilmu dan berjihad menyebarkannya dengan beragam sarana yang ada. Ibnu Hajar jatuh sakit dirumahnya setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jamadal Akhir tahun 852 H. Dia adalah seorang yang selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga pertama kali penyakit itu menjangkit yaitu pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H. Ketika ia sakit yang membawanya meninggal, ia berkata, “Ya Allah, bolehlah engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah engkau tidak memberikanku pengampunan.” Beliau berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan membacakan imla’. Namun penyakit tersebut semakin bertambah parah sehingga para tabib dan penguasa (umara) serta para Qadhi bolak balik menjenguk beliau. Sakit ini berlangsung lebih dari satu bulan kemudian beliau terkena diare yang sangat parah dengan mengeluarkan darah. Imam As-Sakhaawi berkata, “Saya mengira Allah telah memuliakan beliau dengan mati syahid, karena penyakit tha’un telah muncul. Kemudian pada malam sabtu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 852 H. berselang dua jam setelah shalat isya’, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun didekatnya menyaksikan hadirnya sakaratul maut.”
Hari itu adalah hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang nonmuslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar dan pejabat kerajaan saat itu datang melayat dan bersama masyarakat yang banyak sekali menshalatkan jenazah beliau. Diperkirakan orang yang menshalatkan beliau lebih dari 50.000 orang dan Amirul Mukminin khalifah Al-Abbasiah mempersilahkan Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi.
Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”
Al-Iraqi berkata, “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhaif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek.” Dan masih banyak lagi Ulama yang memuji dia, dengan kepandaian Ibnu Hajar.
Karya Ilmiah Beliau.
Al-Haafizh ibnu Hajar telah menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya dengan lisan, amalan dan tulisan. Beliau telah memberikan jasa besar bagi perkembangan beraneka ragam bidang keilmuan untuk umat ini.
Murid beliau yang ternama imam As-Sakhaawi dalam kitab Ad-Dhiya’ Al-Laami’ menjelaskan bahwa karya tulis beliau mencapai lebih dari 150 karya, sedangkan dalam kitab Al-Jawaahir wad-Durar disampaikan lebih dari 270 karya.
Tulisan-tulisan Ibnu Hajar, antara lain:
1. Ithaf Al-Mahrah bi Athraf Al-Asyrah.
2. An-Nukat Azh-Zhiraf ala Al-Athraf.
3. Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-Tadlis (Thaqabat Al-Mudallisin).
4. Taghliq At-Ta’liq.
5. At-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh Al-Wajiz (At-Talkhis Al-Habir).
6. Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah.
7. Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari.
8. Al-Qaul Al-Musaddad fi Adz-Dzabbi an Musnad Al-Imam Ahmad.
9. Al-Kafi Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasyyaf.
10. Mukhtashar At-Targhib wa At-Tarhib.
11. Al-Mathalib Al-Aliyah bi Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah.
12. Nukhbah Al-Fikri fi Mushthalah Ahli Al-Atsar.
13. Nuzhah An-Nazhar fi Taudhih Nukhbah Al-Fikr.
14. Komentar dan kritik atas kitab Ulum Hadits karya Ibnu As-Shalah.
15. Hadyu As-Sari Muqqadimah Fath Al-Bari.
16. Tabshir Al-Muntabash bi Tahrir Al-Musytabah.
17. Ta’jil Al-Manfaah bi Zawaid Rijal Al-Aimmah Al-Arba’ah.
18. Taqrib At-Tahdzib.
19. Tahdzib At-Tahdzib.
20. Lisan Al-Mizan.
21. Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah.
22. Inba’ Al-Ghamar bi Inba’ Al-Umur.
23. Ad-Durar Al-Kaminah fi A’yan Al-Miah Ats-Tsaminah.
24. Raf’ul Ishri ‘an Qudhat Mishra.
25. Bulughul Maram min Adillah Al-Ahkam.
26. Quwwatul Hujjaj fi Umum Al-Maghfirah Al-Hujjaj.
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, L.c.
Artikel www.KisahMuslim.com
====================================================
Referensi:
Muqaddimah kitab an-Nukaat ‘Ala ibni ash-Shalaah oleh Syeikh Prof. DR. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
Muqaddimah kitab Subul As-Salaam
Sumber : https://kisahmuslim.com/1255-ibnu-hajar.html
Nama dan nasabnya
Amirul Mukminin dalam ilmu hadis dan Syekhul Islam; Imam Al-Hafidz Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud al-Kinani al-Asqalani al-Mishri. Beliau berasal dari Kairo dan bermazhab Syafi’i. Dikenal dengan sebutan Ibnu Hajar, yang dinisbahkan kepada salah satu kakeknya, dan disebut “al-Asqalani” karena berasal dari wilayah Asqalan. Asqalan merupakan sebuah kota di pesisir Syam.
Kelahiran
Ibnu Hajar lahir di tepi sungai Nil, Mesir, pada tahun 773 Hijriah, tepatnya pada tanggal 22 Sya’ban. Rumah tempat ia dilahirkan tetap dimilikinya hingga dijual setelah wafatnya. Ia kemudian pindah ke Kairo, di dekat wilayah Bahauddin, dan meninggal di sana. Ayahnya sebelumnya memiliki seorang putra yang cerdas dan ahli fikih, tetapi putra itu meninggal, yang membuat ayahnya sangat berduka. Kemudian, Syekh ash-Shinafiri memberikan kabar gembira bahwa Allah akan mengaruniakan kepadanya seorang putra yang akan menjadi ulama yang memenuhi bumi dengan ilmu dan termasuk dalam golongan wali Allah. Maka, Allah pun menganugerahkan kepadanya Ibnu Hajar, yang dibukakan Allah berbagai ilmu baginya.
Istri dan anak-anaknya
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menikahi empat orang istri dan dikaruniai lima anak; empat putri dan satu putra. Istri-istrinya adalah:
1) Uns Khatun, yang merupakan seorang ahli hadis dan qira’ah. Ibnu Hajar sangat menghormatinya dan dari pernikahan ini, ia dikaruniai empat putri: Fatimah, Rabi’ah, Farhah, dan ‘Aliyah.
2) Khos Turk, dari pernikahan ini, ia dikaruniai satu-satunya putra: Badruddin Muhammad, yang juga dikenal sebagai Abu al-Ma’ali.
3) Az-Zain al-Amshati (seorang janda), tetapi dari pernikahan ini tidak memiliki keturunan.
4) Laila al-Halabiyah, namun dari pernikahan ini juga tidak dikaruniai anak.
Perjalanan menuntut ilmu dan guru-gurunya
Ibnu Hajar mulai belajar di kuttab pada usia lima tahun. Ia memiliki kecerdasan, ketajaman, dan daya ingat yang kuat. Dalam satu hari, ia berhasil menghafal surah Maryam, dan setiap hari ia menghafal satu hizb dari Al-Qur’an. Semasa kecilnya, ia telah menghafal banyak matan ilmu (kitab dasar dan ringkas) dari berbagai bidang ilmu. Allah menanamkan dalam hatinya kecintaan yang mendalam terhadap ilmu hadis Nabi ﷺ, baik dari segi riwayat maupun pemahaman.
Pada usia dua belas tahun, ia berguru kepada Qadhi Abu Hamid al-Makki di Makkah dan mempelajari kitabnya, ‘Umdatu al-Ahkam, bersama beliau. Allah memberikan taufik kepadanya dalam ilmu hadis karena tekad, ketekunan, dan kecintaannya yang besar dalam menuntut ilmu. Ia bertemu dengan para hafidz besar di zamannya dan menguasai ilmu hadis dalam aspek matan, sanad, kritik sanad (‘ilal), terminologi, hingga fikih, sehingga ia layak digelari “Amirul Mukminin dalam hadis.”
Ibnu Hajar melakukan perjalanan ke berbagai negeri dalam upayanya menuntut ilmu, seperti ke Syam, Yaman, Haramain (Makkah dan Madinah), dan lainnya. Ia berguru kepada banyak ulama besar pada masanya, di antaranya:
Pertama: At-Tanukhi; Ibnu Hajar belajar bersamanya selama tiga tahun. At-Tanukhi memberi izin kepada Ibnu Hajar untuk mengajar selama satu tahun. Bersama At-Tanukhi, Ibnu Hajar mempelajari beberapa kitab terkenal, termasuk Shahih al-Bukhari, Sunan at-Tirmidzi, dan Muwaththa’ Malik. At-Tanukhi dikenal karena kepakarannya dalam ilmu qira’at dan sanad yang tinggi.
Kedua: Al-‘Iraqi; Ibnu Hajar mendampinginya selama sepuluh tahun. Al-‘Iraqi adalah guru pertama yang memberikan izin kepada Ibnu Hajar untuk mengajar hadis dan yang pertama kali memberinya gelar “Al-Hafidz.” Al-‘Iraqi dikenal karena kepakarannya dalam ilmu hadis dan berbagai cabang ilmunya.
Ketiga: Al-Haitsami; Ibnu Hajar mempelajari banyak kitab bersamanya, bersama-sama dengan Al-‘Iraqi. Ia juga mempelajari secara khusus setengah dari Majma’ al-Zawaid dan seperempat Za’id Musnad Ahmad darinya. Al-Haitsami dikenal karena kekuatan hafalan dan kemampuannya dalam mengingat matan hadis.
Keempat: Al-Balqini; Ibnu Hajar belajar darinya selama beberapa waktu, menghadiri pelajaran fikih dan menghafal banyak kitab, termasuk Ar-Raudhah, Dala’il an-Nubuwwah karya Al-Baihaqi, dan Musalsal bil-Awaliyah. Al-Balqini terkenal dengan luasnya hafalan dan wawasan keilmuannya.
Kelima: Ibnu al-Mulaqqin; Ibnu Hajar belajar sebagian besar dari kitab Syarh al-Minhaj darinya. Ibnu al-Mulaqqin dikenal karena banyaknya karya tulis yang dihasilkannya.
Keenam: Ibnu Jama’ah; Ibnu Hajar berguru kepadanya selama sekitar dua puluh satu tahun dan mempelajari hampir semua ilmu yang diajarkannya, termasuk Syarh al-Minhaj karya Al-Baidhawi dan Mukhtasar Ibnu al-Hajib. Ibnu Jama’ah dikenal dengan kepakarannya dalam berbagai cabang ilmu.
Ketujuh: Al-Majd as-Shirazi; Al-Ghamari, dan Ibnu Hisham; dari mereka, Ibnu Hajar belajar bahasa Arab dan kefasihan dalam bahasa tersebut.
Murid-muridnya
Ibnu Hajar memiliki keistimewaan ilmu, terutama dalam bidang hadis dan kritik sanad, sehingga murid-murid berdatangan dari berbagai wilayah seperti Syam, Mesir, Makkah, Granada, dan Baghdad. Para muridnya datang dari berbagai mazhab, termasuk yang berbeda mazhab darinya, seperti Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Muridnya yang terkenal, As-Sakhawi, mencatat dalam kitabnya, Al-Jawahir wa ad-Durar, sebanyak 626 murid yang belajar kepada Ibnu Hajar, baik dalam pemahaman maupun riwayat hadis. Di antara murid-muridnya yang paling terkenal adalah:
1) Ibnu Qadhi Syuhbah: penulis kitab Thabaqat asy-Syafi’iyyah.
2) Ibnu Fahd al-Makki: penulis kitab Lahzh al-Alhazh bi-Dzail Thabaqat al-Huffaz.
3) Ibnu Taghri Bardi: menulis sejumlah kitab, di antaranya An-Nujum az-Zahirah fi Muluk Misr wa al-Qahirah, Al-Manhal as-Shafi, dan Al-Mustawfa ba’d al-Wafi.
4) Muhammad al-Kafiji al-Hanafi: menulis beberapa kitab, termasuk Al-Mukhtasar fi ‘Ilm at-Tarikh dan At-Taysir fi Qawa’id ‘Ilm at-Tafsir.
Kesibukan dan karya tulis
Imam Ibnu Hajar memegang beberapa jabatan penting dalam pemerintahan, termasuk mengajar ilmu hadis dan fikih di berbagai wilayah. Ia juga pernah menjabat sebagai “Syaikhul Syuyukh” (pemimpin para ulama) di beberapa tempat, dan akhirnya diangkat sebagai Qadhi al-Qudhat (hakim agung) di Mesir. Ia menulis banyak kitab penting, di antaranya:
1) Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, yang diawali dengan pendahuluan berjudul Hady as-Sari.
2) Al-Ishabah fi Tamyiz as-Sahabah, tentang biografi para sahabat Nabi.
3) Ta’liq at-Ta’liq, dan dua ringkasannya, yaitu At-Taswiq dan At-Tawfiq.
4) Taqrib al-Gharib fi Gharib Sahih al-Bukhari, tentang penjelasan istilah asing dalam Shahih al-Bukhari.
5) It-haf al-Maharah bi Athraf al-‘Asyarah, tentang hadis-hadis pilihan.
6) Al-Kaf asy-Syaf fi Takhrij Ahadits al-Kasyaf dan Al-Waf bi Atsar al-Kasyaf, yang memeriksa sanad hadis dalam tafsir Al-Kasyaf.
7) Dan masih banyak lagi
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/107172-biografi-ringkas-ibnu-hajar-al-asqalani-bag-1.html
Copyright © 2025 muslim.or.id
Akidah Ibnu Hajar
Ibnu Hajar Al-Asqalani merupakan salah satu imam yang terpengaruh dengan akidah Asy’ariyah. Banyak pendapat beliau yang sesuai dengan akidah Asy’ariyah, sebagaimana yang terdapat di salah satu karyanya, yaitu Fathul Bari. Beberapa masalah akidah yang dijelaskan oleh Al-Hafizh dalam kitabnya yang paling menonjol adalah:
Menyucikan Allah dari keserupaan dengan makhluk.
Menafsirkan lafal-lafal sifat Allah yang berpotensi menimbulkan kesan tasybih dan menakwilkannya, baik secara global maupun terperinci.
Berpendapat sebagaimana pendapat Asy’ariyah dalam masalah kalam Allah.
Mengikuti pandangan Asy’ariyah dalam masalah qadha’ dan qadar.
Menguatkan pendapat ulama besar Asy’ariyah.
Sikap para ulama terhadap kesalahan akidah Ibnu Hajar
Lajnah Ad-Da’imah mengeluarkan fatwa terkait hal ini:
“Sikap kami terhadap Abu Bakar Al-Baqillani, Al-Baihaqi, Abu Al-Faraj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya An-Nawawi, Ibnu Hajar, dan ulama lainnya yang telah menakwil sebagian sifat Allah Ta’ala atau menyerahkan maknanya secara keseluruhan adalah:
Mereka adalah para ulama besar umat Islam yang ilmunya telah memberi manfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah merahmati mereka dengan rahmat yang luas dan membalas mereka dengan sebaik-baik balasan atas jasa mereka kepada kita.
Mereka termasuk Ahlus Sunnah dalam hal-hal yang sesuai dengan ajaran para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan para imam salaf dalam tiga generasi pertama yang dipersaksikan oleh Nabi ﷺ sebagai generasi terbaik.
Namun, mereka telah melakukan kesalahan dalam takwil terhadap teks-teks sifat Allah dan dalam hal-hal yang menyelisihi pemahaman salaf umat ini serta para imam Ahlus Sunnah. Baik itu dalam menakwil sifat dzatiyah (sifat yang melekat pada Dzat Allah), sifat fi’liyah (sifat yang terkait dengan perbuatan Allah), ataupun sebagian dari keduanya.
Hanya kepada Allah kami memohon taufik. Semoga selawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.” [1]
Syekh Albani menyampaikan pendapat beliau mengenai sikapnya terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah. Beliau rahimahullah berkata,
“Imam seperti An-Nawawi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani, serta ulama lain yang serupa, adalah tidak adil jika dikatakan sebagai ahlul bid’ah. Saya tahu bahwa keduanya termasuk dalam mazhab Asy’ariyah, tetapi mereka tidak bermaksud menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebaliknya, mereka keliru dalam memahami kebenaran. Mereka mengira bahwa akidah Asy’ariyah yang mereka warisi itu benar, karena dua alasan:
1) Mereka mengira bahwa Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari tetap berada dalam keyakinan tersebut, padahal beliau telah meninggalkannya di akhir hayatnya.
2) Mereka menyangka bahwa keyakinan tersebut benar, padahal sebenarnya tidak demikian.
Semoga Allah merahmati kedua imam, An-Nawawi dan Ibnu Hajar, serta mengampuni kesalahan mereka.”
Syekh Shalih bin Fauzan ketika ditanya mengenai sikap kita terhadap para ulama yang terjatuh ke dalam kesalahan akidah, beliau memberikan nasihat yang begitu mendalam. Beliau berkata,
“Pertama: Tidak sepantasnya bagi para penuntut ilmu pemula dan juga kalangan awam untuk sibuk dalam menjatuhkan vonis bid’ah atau fasik terhadap orang lain. Hal ini merupakan perkara yang berbahaya, sementara mereka tidak memiliki ilmu dan pemahaman yang cukup dalam masalah ini. Selain itu, hal ini juga dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka. Oleh karena itu, kewajiban mereka adalah fokus dalam menuntut ilmu, serta menjaga lisan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang justru membawa mudarat bagi diri mereka sendiri maupun orang lain.
Kedua: Bid’ah adalah sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang bukan bagian darinya, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal darinya, maka ia tertolak.” [2]
Jika seseorang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama karena ketidaktahuannya, maka ia dimaafkan karena kebodohannya dan tidak langsung divonis sebagai pelaku bid’ah. Namun, perbuatannya tetap dianggap sebagai bid’ah.
Ketiga: Ulama yang memiliki kesalahan dalam ijtihad akibat menakwil sebagian sifat Allah, seperti Ibnu Hajar dan An-Nawawi, tidak boleh dihukumi sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah). Yang dikatakan adalah bahwa apa yang mereka lakukan adalah suatu kesalahan, tetapi mereka tetap diharapkan mendapatkan ampunan atas kekeliruan tersebut, karena mereka telah memberikan jasa besar dalam melayani Sunnah Rasulullah ﷺ.
Mereka berdua adalah imam yang agung dan terpercaya di kalangan para ulama.” [3]
Kedudukan dan pujian ulama
Ibnu Hajar sangat tertarik pada sastra dan puisi hingga mencapai puncak keahlian di bidang ini. Beliau memiliki banyak karya puisi dengan ukuran sedang yang telah dicetak. Kemudian beliau beralih ke bidang hadis dan banyak mendengar hadis dari para guru. Beliau juga melakukan perjalanan ke Yaman, Hijaz, dan daerah lainnya untuk berguru kepada para ulama.
Ibnu Hajar dikenal di antara ulama pada masanya dalam hal ilmu hadis, baik dalam penulisan maupun fatwa. Semua orang, baik yang dekat maupun yang jauh, bahkan musuh dan kawan, mengakui hafalan dan ketekunannya. Hingga akhirnya, gelar “Al-Hafiz” melekat pada namanya sebagai sebuah konsensus di antara para ulama.
Al-Hafiz As-Sakhawi berkata, “Gurunya, Al-Iraqi, bersaksi bahwa ia adalah muridnya yang paling berpengetahuan tentang hadis.”
Al-Hafiz As-Suyuthi berkata, “Beliau adalah imam dalam bidang ini bagi orang-orang yang mengikutinya, pemimpin pasukan ahli hadis, sandaran keberadaan dalam hal tauhiyah dan tashih (melemahkan dan mensahihkan hadis), dan hakim serta saksi paling agung dalam bab ta’dil dan tajrih (menilai perawi hadis).”
Ketika Al-Iraqi akan wafat, ada yang bertanya kepadanya, “Siapa yang akan menggantikanmu?” Beliau menjawab, “Ibnu Hajar, kemudian putraku Abu Zur’ah, kemudian Al-Haitsami.”
Wafat
Imam Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Qadhi al-Qudhat pada tahun 852 H dan menghabiskan waktunya untuk menulis, mengajar, dan menghadiri majelis ilmu. Pada 11 Zulkaidah tahun itu, beliau jatuh sakit, namun tetap berusaha keluar untuk mengajar, mengimami salat, dan beribadah hingga kesehatannya semakin memburuk dan tidak mampu menghadiri salat Iduladha, padahal beliau jarang meninggalkan salat Jumat atau jemaah. Ketika merasa ajalnya dekat, beliau mengunjungi salah satu istrinya dan meminta maaf dengannya. Penyakitnya semakin parah hingga beliau tidak mampu berwudu, lalu salat sambil duduk, dan berhenti melakukan qiyamul lail. Beberapa ulama datang menjenguknya, seperti Ibnu ad-Dairi, al-‘Aini, Ibnu at-Tanisi, dan as-Safti.
Ibnu Hajar wafat pada 28 Zulhijah. Kepergiannya membawa duka yang mendalam; toko-toko ditutup, dan jenazahnya diiringi dengan prosesi besar yang hanya bisa disamakan dengan pemakaman Ibnu Taimiyah. Muridnya, As-Sakhawi, menceritakan bahwa jumlah orang yang hadir dalam pemakamannya hanya diketahui oleh Allah. Penguasa, ulama, pejabat, bangsawan, dan orang-orang penting membawa jenazahnya.
As-Suyuthi mengutip dari al-Mansuri bahwa hujan turun saat jenazah tiba di tempat salat meskipun bukan musim hujan. Salat jenazah dipimpin oleh Al-Balqini atas izin khalifah di Masjid al-Mu’minin di kawasan Ramliyyah, dan beliau dimakamkan di pemakaman Bani Khurubi, di antara makam Imam Syafi’i dan Muslim as-Sulami. Para qari’ dan hafizh Al-Qur’an terus berkumpul di makamnya selama sepekan untuk melantunkan Al-Qur’an dan meratapi kepergiannya. Berita kematiannya tersebar di berbagai wilayah Islam, dan salat ghaib dilakukan di Mekah, Baitul Maqdis, Al-Khalil, Damaskus, Aleppo, dan tempat-tempat lainnya.
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel Muslim.or.id
Sumber: Diterjemahkan dan disunting ulang oleh penulis dari web: https://mawdoo3.com/ابن_حجر_العسقلاني
Catatan kaki:
[1] Fataawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 3: 241.
[2] HR. Bukhari.
[3] Al-Muntaqa min Fatawa Al-Fawzan, 2: 211-212.
Sumber: https://muslim.or.id/107174-biografi-ringkas-ibnu-hajar-al-asqalani-bag-2.html
Copyright © 2025 muslim.or.id
