Bab Jual Beli
Apakah disyaratkan dalam hibah, barang harus ada?
Tidak ada dalil dari sunnah, disyaratkannya al qabdh (barang ada ditempat) dalam masalah hibah.
[adh-Dhaifah (1/536)]
Via HijrahApp
Dibolehkannya mukhabarah yang tidak ada gharar (tipuan) didalamnya
Mukhabarah adalah muzara'ah (paruhan sawah atau ladang) Dalam kamus, muzara'ah adalah muamalah dalam mengelola tanah dengan system bagi hasil. Adapun bibit dari pihak pemilik tanah. Juga dikatakan mukhabarah adalah menanam dengan system bagi hasil separuh atau lainnya.
Ada riwayat yang menyatakan larangan mukhabarah dari jalur yang lain....dari Jabir ra yang diriwayatkan oleh Muslim (V/18-19) dan lainnya. Tetapi larangan ini apabila dimungkinkan ada sisi yang mengarah pada gharar dan ketidakjelasan. Bukan dari segi penyewaan tanahnya secara mutlak walaupun dengan emas atau perak. Hal ini berdasarkan sejumlah riwayat yang membolehkan hal-hal yang tidak ada gharar didalamnya Lebih jelasnya silahkan lihat seperti dalam kitab 'Nail al-Authar' dan 'Fath al-Bari' dan lainnya.
[adh-Dhaifah (II/418)]
Via HijrahApp
Diperbolehkan menjual al-Mudbar
Telah dibenarkan, bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم menjual al-Mudbar (Yaitu budak yang akan dibebaskan oleh tuannya setelah wafat tuannya). Jabir ra mengatakan: Seseorang dari kaum Anshar pernah bermaksud membebaskan budaknya setelah kematiannya, ia tidak memiliki harta selain budak itu. Peristiwa tersebut sampai pada Nabi صلی الله عليه وسلم, beliau bersabda :"Siapa yang mau membelinya dari saya?" Maka Nu'aim bin Abdullah membelinya dengan delapan ratus dirham, kemudian beliau menyerahkan uang itu kepada orang tadi.
HR Bukhari (V/25), Muslim (V/97) dan lainnya.
[adh-Dhaifah (1/305)]
Via HijrahApp
Hukum jual beli ‘al-Qisth' (yaitu jual beli berdasarkan tenggang waktu dengan penambahan harga/ kredit)
Ketahuilah Akhi Muslim, bahwa pada jaman sekarang, muamalah seperti ini telah menyebar dikalangan pedagang yaitu : jual beli 'taqsith', menambah harga sebagai ganti tambahan jangka waktu. Semakin bertambah waktunya semakin bcrtambah harganya. Di satu sisi muamalah seperti ini adalah muamalah yang tidak syar'i. Disisi lain, muamalah ini memusnahkan ruh Islam yang berdiri di atas kemudahan bagi manusia dan lemah lembut kepada mereka, serta memberikan keringanan bagi mereka.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم : "Semoga Allah melewati hamba yang toleransi ketika menjual, toleransi saat membeli, dan toleransi saat membayar hutang." HR. Bukhari Dan Sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم :"Barang siapa bersifat mudah, lemah lembut, dan mempunyai sifat kedekatan, niscaya Allah mengharamkan neraka baginya."
Jika salah satu di antara mereka bertakwa kepada Allah swt, menjual dengan cara hutang atau dengan jual beli taqsith dengan harga tunai (sama), maka akan lebih beruntung secara materi. Sebab hal ini akan membuat manusia lebih bisa menerima dan membeli darinya juga lebih berbarakah rizkinya. Hal ini sebagai bentuk penerimaan firman Allah swt yang artinva : "Barang siapa bcrtaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka." (QS ath Thalaq : 2-3).
[ash-Shahihah (V/426)]
Via HijrahApp
Hukuman orang yang mengambil barang temuan dengan niat ingin memilikinya
Dari Abdulah bin Syukhair ra, ia berkata: 'Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: "Barang temuannya seorang muslim adalah bara api neraka." Sabda Rasulullah (harqu nnar) dengan dibaca hidup (harqu, penj) artinya adalah semprotan api neraka, dan juga terkadang dibaca sukun (harqu) Makna hadits ini adalah barang temuannya orang mukmin apabila diambil dengan niatan ingin memiliki dapat menjerumuskan ke dalam neraka.
[ash-Shahihah (II/187)]
Via HijrahApp
Kapan barang pinjaman diganti?
Dari Shafyan bin Umayah ra, bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم pernah meminjam beberapa baju perang ketika perang Hunain. Maka ia berkata,: apakah ini adalah Paksaan Wahai Muhammad?' Rasulullah bersabda :"Tidak, tapi pinjaman yang terjamin." Ahmad dan yang lainnya menambahkan: 'Maka sebagian dari baju perang tersebut hilang. Lalu Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengutarakan ingin menggantinya. Maka ia berkata : 'Ya Rasulullah, hari ini saya mantap dengan Islam.' (HR. Abu Daud (II/265) dan Baihaqi (VI/89)).
Hadits ini menunjukkan atas jaminan barang pinjaman. Apabila barang pinjaman ini disifati dengan madhmunah (terjamin), hal ini mengandung pengertian, bahwa sifat ini adalah sifat yang berfungsi sebagai penjelas. Secara arti keberadaan barang pinjaman mutlak menunjukkan jaminan. Juga dimungkinkan sifat 'terjamin' merupakan sifat yang berfungsi sebagai pengikat. Maka makna yang lebih nampak, karena sifat inilah yang mendasari barang pinjaman dan juga barang pinjaman yang lain.
Dengan hal ini secara zhahir, maksud dari barang pinjaman adalah sudah dijaminkan kepadamu, Dari sini, dimungkinkan harus menunaikan jaminan atau tidak harus menunaikannva., seperti halnya kepada musuh. Namun makna ini jauh dari kebenaran. Hal ini dilengkapi dengan dalil hadis di atas yang menegaskan, bahwa barang pinjaman tersebut adalah berjamin, baik dengan tuntutan dari pemiliknya, atau memiliknya ingin bertabaruk dengan barang tersebut.
[ash-Shahihah (II/210)]
Via HijrahApp
Kebaikan adalah sebab ditambahnya rizki dan dipanjangkannya umur
"Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung tali silaturahminya" Diriwayatkan oleh asy-Syaikhani dan lainnya. Hadits ini sudah ditahkrij dalam shahih Abu Daud (1489). Hadits ini menunjukkan, bahwa kebaikan merupakan sebab ditambahnya rizki dan dipanjangkannya umur.
[adh-Dhaifah (1/331)]
Via HijrahApp
Keutamaan rasa cukup dan zuhud
Dari Abdullah bin Amr bin al 'Ash ra, bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda : "Sungguh beruntung orang yang masuk Islam yang diberi rizki, rasa kecukupan, dan orang yang diberi Allah rasa qona'ah dengan apa yang telah dikaruniakan kepadanya." Dan dari Abu Hurairah ra :"Ya Allah, jadikanlah rizki keluarga Muhammad sebagai kebutuhan makannya." (Lihat ash-Shahihah no 129).
Dari hadits ini dan hadits sebelumnya menunjukkan keutamaan rasa kecukupan, mengambil bekal dunia dan berlaku zuhud di atas itu semua sebagai rasa cinta kenikmatan akhirat dan memilih yang abadi daripada yang fana.
Maka umat Islam hendaklah mencontoh Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Al-Qurthubi berkata Makna hadits ini adalah permohonan, yang dimaksud al-Qut adalah apa yang dibutuhkan tubuh dan yang dapat memenuhi kebutuhannya. Dalam kondisi seperti ini merupakan keselamatan dari semua bencana al-Ghina (harta kekayaan) Demikian yang disebutkan dalam Fathu al-Bari (XI/5-252)' .
[ash-Shahihah (1/103)]
Via HijrahApp
Kewajiban mengembalikan barang pinjaman
"Apabila utusanku telah sampai kepadamu, maka berikan kepadanya tiga puluh baju perang dan tiga puluh unta," Aku bertanya : 'Wahai Rasulullah, apakah barang tersebut ariyah madhmunah (pinjaman berjamin) atau 'ariyah muaddah (pinjaman yang ditunaikan)?' Rasulullah bersabda : "Ariyah madhmunah."
Dalam hadits ini mengandung dalil atas kewajiban mengembalikan barang pinjaman jika barangnya masih ada, tapi jika hilang ditangan peminjam, maka peminjam wajib menggantinya. Hal ini karena hadits ini membedakannya dengan barang jaminan. Ini merupakan pendapat Ibnu Hazm dan dipilih oleh ash-Shan'ani.
[ash-Shahihah (II/207)]
Via HijrahApp
Larangan berlebih-lebihan dalam memiliki dhi‘ah (Sawah, ladang dan perkebunan)
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda: "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam al-Dhi'ah sehingga menjadikan kalian cenderung terhadap dunia." Kemudian Ahmad bin Mas'ud meriwayatkan secara marfu dengan lafadz: "Rasulullah melarang berlebih-lebihan dalam keluarga dan harta."
Ketahuilah, bahwa berlebih-lebihan yang dapat memalingkan dari pelaksanaan kewajiban, di antaranya ; Jihad fi sabilillah adalah maksud dari at-Tahlukah (kebinasaan) dalam firman Allah yang artinya : "Dan janganlah kamu menjatuhknn dirimu sendiri kedalam kebinasaan: QS al-Baqarah 195, yang merupakan sebab dari turunnya ayat tersebut. Hal ini berbeda dengan apa yang diduga oleh kebanyakan orang.
[ash-Shahihah (1/18)]
Via HijrahApp
Larangan mengambil kembali barang hibah
Pendapat Syeikh Albani:
"Mengambil barang hibah ibarat anjing yang menjilat kembali muntahannya." Muttafaq "Alaih. Secara umum hadits ini melarang mengambil kembali barang hibah.
[adh-Dhaifah (1/540)]
Via HijrahApp
Larangan menjual Umahat al-Aulad (para hamba sahaya yang melahirkan anak. edt)
Dari Jabir bin Abdullah ra berkata: 'Dahulu di masa Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan Abu Bakar, kami menjual Umahat al-Aulad, ketika masa Umar, kami dilarang menjualnya, maka kamipun menghentikannya.' HR. Abu Daud (11/163) dan Ibnu Hibban (1216)
Saya (Syaikh al-Albani) berkata :'Yang nampak bagi saya, bahwa larangan Umar hanya sebatas ijtihadnya, bukan larangan yang bersumber dari Nabi صلی الله عليه وسلم. Hal ini sesuai dengan pengakuan Ali ra, bahwa ia dulu sepakat dengan pendapat Umar. Abdurrazaq telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari 'Ubaidah as-Salman, ia berkata: Saya mendengar Ali mengatakan: 'Pendapat saya dan Umar bersama jama'ah lebih aku cintai daripada berpendapat sendirian dalam perpecahan.' Ubaidah as-Salman berkata : 'Kemudian Ali tertawa.'
Al-Hafidz berkata: 'Sanad ini termasuk sanad yang paling shahih, dan al Baihaqi juga meriwayatkannya.' Apa yang telah saya sebutkan ini dikuatkan: Bahwa bila pendapat Umar ini berdasarkan nash, niscaya Ali ra tidak menarik kembali pendapatnya. Ini adalah hal yang nyata dan jelas. Secara tabiat, hal ini bukan berarti menafikan larangan yang bersumber dari Nabi صلی الله عليه وسلم setelah itu, walaupun Umar tidak mendapatinya. Tetapi fakta inilah yang nampak dari hadits-hadits yang menerangkan masalah ini.
Hadits-hadits ini secara global saling menguatkan larangan menjual Umahat al-Aulad walaupun secara terperinci tidak lepas dari adanya hadits dhaif.
[ash-Shahihah (V/543)]
Via HijrahApp
Syariat melarang jual beli yang haram
Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash : bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengutus 'Itab bin 'Usaid ke Makkah seraya bersabda : "Tahukah kamu kemana engkau saya utus? Engkau saya utus ke Ahlillah, mereka adalah penduduk Makkah. Mereka memiliki empat kebiasaan : jual beli dan salaf, dua syarat dalam satu jual beli, keuntungan yang tidak bisa dijamin, dan menjual yang bukan milikmu."
'Menjual sekaligus salaf (meminjamkan)': Ibnu Atsir berkata: 'Seperti ucapan : Saya jual budak ini seharga seribu dengan syarat kamu meminjami saya perhiasan atau menghutangi saya seribu, sebab ketika ia menghutanginya, ia berharap ada toleransi dalam harga. Hal ini termasuk ada ketidakjelasan dan juga setiap pinjaman yang mengandung unsur mengambil manfaat maka itulah yang namanya riba.
'Dan syarat dalam satu jual beli': Ibnu al-Atsir berkata : Ini seperti ucapanmu : 'Saya jual baju ini, kalau kontan satu dinar, tapi kalau kredit dua dinar.' Jual beli seperti ini adalah dua akad dalam satu jual beli.
'Keuntungan yang belum terjamin' : Menjual barang yang telah ia beli tetapi barang tersebut belum ia pegang. Barang ini masih dalam jaminan penjual pertama, dan tidak ada padanya. Hal ini tidak boleh dijualnya sampai ia mendapatkan barang tersebut. Pendapat inilah yang diungkapkan oleh al-Khathabiy dalam 'Ma'alim as Sunnah'(V/14A)
'Jual beli yang bukan miliknya.' al-Khathab mengatakan :'Yang dimaksud dengan jual beli ini adalah menjual barangnya tanpa memberitahu ciri cirinya. Bukankah engkau tahu secara umum dibolehkan menjual apa yang tidak ada pada penjual saat itu, namun dilarang menjual apa yang tidak ada pada penjual dalam bentuk gharar, seperti menjual budak yang kabur atau menjual unta yang lepas.
[ash-Shahihah(III/213)]
Via HijrahApp
Tenggang waktu khiyar adalah tiga hari bagi orang yang tertipu dalam jual beli
Sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم :" Apabila engkau membeli katakanlah : tidak ada penipuan. Kemudian setiap yang engkau beli mempunyai tenggang waktu memilih selama tiga hari. Jika engkau ridha maka ambillah, dan jika engkau tidak terima maka kembalikanlah kepada penjualnya." HR. Ibnu Majjah (3355).
Dalam hadits ini mengandung pembolehan dalam memilih selama tiga hari bagi orang yang tertipu. Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, dan secara terperinci silahkan merujuk pada kitab 'al-Fath'.
[ash-Shahihah (VI/884/Bagian Kedua)]
Via HijrahApp