• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Bab Pakaian dan Perhiasan

Bagikan

CINCIN TUNANGAN BAGI LAKI-LAKI

Pertanyaan:
agaimanakah hukum memakai perhiasan emas dalam segala bentuknya. Dalam hal ini ada keyakinan bahwa jika cincin tunangan (di mana cincin itu terbuat dari emas) dicopot, niscaya pernikahan akan batal?

Jawaban:
Emas adalah perhiasan yang tidak diperbolehkan bagi kaum laki-laki mukmin dan memakainya termasuk perbuatan munkar bagi mereka baik emas yang dipakai itu berupa cincin, jam tangan atau kalung, karena sabda Nabi صلی الله عليه وسلم yang berkenaan dengan larangan tentang pemakaiannya bagi kaum laki-laki mukmin itu bersifat umum, di mana Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
"Emas dan sutera dihalalkan bagi kaum wanita dari kalangan umat kami, dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya." (An-Nasai, bab perhiasan (5148); Ahmad (19008-19013))

Nabi صلی الله عليه وسلم telah melarang kaum laki-kaki memakai cincin emas.(Al-Bukari, bab meminta izin (6235); Muslim, bab pakaian (2066)). Al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits di dalam kitab Shahihnya masing-masing dari al-Bara' bin 'Azib -rodliallaahuanhu-, bahwa ketika Nabi صلی الله عليه وسلم melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya, maka beliau memintanya supaya mencopot cincinnya, kemudian melemparkannya ke tanah, seraya bersabda,

"Salah seorang dari kalian sengaja mengambil bara api neraka dan meletakkannya di tangannya."(HR. Muslim dalam kitab Shahihnya, bab pakaian (2090))

Dari hadits Ibnu Abbas -rodliallaahu'anhu-. Adapun cincin tunangan yang terbuat dari emas, maka keberadaannya sama dengan cincin emas lainnya dan tidak bedanya, serta orang laki-laki yang memakainya wajib mencopotnya, dan mencopotnya tidak ada pengaruhnya terhadap suatu pernikahan. Barangsiapa meyakini bahwa hal itu akan mempengaruhi suatu perkawinan, maka ia telah keliru.

Selain itu memakai cincin tunangan termasuk hal yang baru di dalam masalah agama dan tidak memiliki dasar hukum, sehingga wajib bagi kaum muslimin meninggalkannya, atau paling tidak hukumnya adalah makruh. Seraya saya memohon kepada Allah bagi segenap kaum muslimin, semoga Allah memberi petunjuk dan pengampunan dari segala penyimpangan yang bertentangan dengan ketentuan syara' yang suci.

Sumber:
Syaikh Ibn Baz, Majalah ad-Da'wah, edisi no. 1044.

Via HijrahApp

HUKUM MEMAKAI JAKET YANG TERBUAT DARI KULIT BABI

Pertanyaan:
Baru-baru ini terjadi perselisihan keras di antara kami tentang hukum memakai jaket kulit. Beberapa orang menyatakan bahwa kadang-kadang jaket itu dibuat dari kulit babi. Dan jika ini benar, bagaimana pendapat Anda mengenai hukum memakainya, diperbolehkan atau tidak? Kami mendapati beberapa buku seperti Al-Halal wal-Haram karya Al-Qordhowi dan Al-Fiqh 'alal-Mathahib al-'Arba'ah sudah membahas tentang permasalahan ini. Akan tetapi, kesimpulan yang mereka ambil tidak jelas. Oleh karena itu, kami mohon penjelasan mengenai masalah ini.

Jawaban:
Telah diriwayatkan dari Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam, bahwa beliau bersabda:
"Setelah kulit disamak, ia hukumnya suci" (Muslim no 336 dan Abu Dawud no 4123).

Dan beliau juga bersabda:
"Menyamak kulit binatang yang telah mati mensucikannya" (Muslim no 336 dan Abu Dawud no 4125).

Para ulama berselisih pendapat mengenai masalah ini. Apakah hadits yang tersebut di atas mencakup semua jenis kulit, atau hanya kulit binatang yang dihalalkan untuk disembelih? Tidak ada keraguan bahwa kulit binatang yang boleh disembelih seperti unta, sapi, dan domba adalah suci, dan boleh digunakan untuk apa saja, menurut pendapat ulama yang paling kuat. Adapun untuk kulit babi, anjing, dan binatang lain yang semisalnya, yang dilarang disembelih, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kesuciannya.

Yang paling baik adalah menghindarinya, berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu 'alayhi wasallam:
"Siapa saja yang menjauhi perkara-perkara yang tidak jelas (syubhat) telah melindungi agama dan kehormatannya" (AlBukhari no 52 dan Muslim no 1599).

Dan sabdanya:
"Tinggalkanlah perkara-perkara yang kamu ragukan, dan kerjakan apa-apa yang kamu tidak memiliki keraguan terhadapnya" (At-Tirmidzi no 2158)

 

Rujukan:
Syaikh Bin Baz. Fatawa Islamiyah, Vol. 2, p39-40, DARUSSALAM

Via HijrahApp

SOMBONG ATAU TIDAK, MEMANJANGKAN PAKAIAN BAGI LAKI-LAKI TETAP HARAM

Pertanyaan:
Bagaimana hukum memanjangkan pakaian jika dimaksudkan untuk sombong ataupun bukan? Dan bagaimana hukumnya jika seseorang terpaksa memanjangkan pakaiannya karena paksaan dari keluarganya, masih kecil, atau karena kebiasaan yang berlaku?

Jawaban:
Hukumnya haram bagi kaum laki-laki, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

 

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِيْ النَّارِ

"Bagian dari kain sarung yang lebih rendah dari kedua mata kaki berada di dalam neraka." (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya).

Dari Abu Dzar رضي الله عنه bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda,

 

ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ: اْلمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى وَاْلمُسْبِلُ إِزَارَهُ وَاْلمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلَفِ الْكَاذِبِ

"Ada tiga orang yang tidak akan disapa oleh Allah سبحانه و تعالى pada hari kiamat dan Allah tidak akan melihat kepada mereka dan tidak juga akan menyucikan mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih; orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya, orang yang memanjang-kan kain sarungnya dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu." (HR. Muslim dalam al-Iman (106) ; an-Nasa'i dalam az-Zakat (2564). Lafazh ini dari riwayat an-Nasa'i)

Kedua hadits ini dan pengertian yang dikandung keduanya berlaku umum bagi orang yang memanjangkan pakaiannya baik untuk kesombongan maupun bukan. Hal ini disebabkan karena Rasulullahصلی الله عليه وسلمmenunjukkannya secara umum dan tidak meng-khususkan sesuatu. Jika memanjangkan pakaian itu untuk sombong, maka dosanya akan menjadi lebih besar dan ancamannya pun lebih keras, berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم,

 

مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat." (HR. Al-Bukhari dalam al-Libas (3665); Muslim dalam al-Libas (2085))

Seseorang tidak boleh beranggapan bahwa larangan memanjangkan pakaian tersebut bersifat khusus dengan maksud kesombongan; karena Rasul صلی الله عليه وسلم tidak mengkhususkan hal itu dalam hadits yang lain, yaitu sabda beliau kepada sebagian sahabat beliau,

 

إِيَّاكَ وَإِسْبَالِ اْلإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ اْلمَخِيْلَةِ

"Hendaknya kamu sekalian menjauhi memanjangkan kain sarung (pakaian) karena hal itu merupakan bagian dari kesombongan." (HR. Abu Dawud dalam al-Libas (4084); Ahmad (65/4) (15525))

Oleh karena itu, semua bentuk memanjangkan pakaian termasuk dalam kategori kesombongan atau pamer. Karena seringkali yang terjadi adalah demikian. Jadi, seseorang yang memanjang-kan pakaiannya bukan untuk pamer, tetapi hal itu merupakan perantara menuju ke sana, dan perantara tersebut hukumnya sama dengan hukum tindakan yang diakibatkannya. Hal itu juga karena merupakan sikap berlebih-lebihan dan sangat memungkinkan pakaian terkena najis dan kotoran.

Berkenaan dengan hal itu, berdasarkan riwayat dari Umar رضي الله عنه ditegaskan bahwasanya beliau melihat seorang pemuda mengenaikan pakaian yang menyentuh tanah lalu beliau berkata kepadanya, "Angkatlah pakaianmu, sesungguhnya hal itu lebih suci bagi Tuhanmu dan lebih membersihkan pakaianmu." Sedangkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم kepada Abu Bakar رضي الله عنه ketika beliau berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kain sarungku melorot, kecuali aku berupaya menjaganya. Rasulullah aصلی الله عليه وسلم bersabda,

 

لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ

"Engkau tidak termasuk orang yang bermaksud kesombongan." (HR. Al-Bukhari dalam al-Libas (5784))

Yang dimaksud Rasul صلی الله عليه وسلم bahwa orang yang memelihara pakaiannya, jika kainnya melorot lalu ia mengangkatnya, maka orang tersebut tidak termasuk orang yang memanjangkan pakaiannya hingga menyapu tanah untuk pamer karena ia tidak memanjangkannya. Akan tetapi, hal itu adalah karena kainnya yang melorot lalu ia berusaha mengangkatnya dan memeliha-ranya. Tidak diragukan lagi bahwa kasus ini dimaafkan.

Namun demikian, orang yang sengaja melorotkannya, apakah hal itu mantel, celana, kain sarung atau baju gamis, maka ia termasuk orang yang mendapat ancaman dan tidak dimaafkan atas tindakannya memanjangkan pakaian tersebut, karena hadits-hadits yang shahih yang melarang memanjangkan pakaiannya bersifat umum, baik dari segi konteksnya, maknanya maupun maksudnya.

Maka, kewajiban atas setiap muslim adalah menghindari memanjangkan pakaian dan hendaknya bertakwa kepada Allah سبحانه و تعالى dalam hal tersebut, dan jangan memanjangkan pakaiannya lebih rendah dari mata kaki sebagai wujud pelaksanaan atas hadits-hadits shahih dan menghindarkan diri dari kemurkaan Allah dan siksaNya. Hanya Allah-lah Yang Maha Memberi taufiq.

Rujukan:
Kitab ad-Da'wah, hal. 128-129, Ibn Baz.

Via HijrahApp

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M