• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Bab Cara Berdakwah

Bagikan

CARA TERBAIK DALAM MENDAKWAHI MANUSIA

Pertanyaan:
Berdasarkan pengalaman Syaikh yang sudah lama berkecimpung di medan dakwah, cara apa yang terbaik untuk berdakwah?

Jawaban:
Caranya, sebagaimana telah dijelaskan Allah di dalam KitabNya, sudah sangat jelas, juga telah diisyaratkan oleh sunnah Nabi-Nya. Allah berfirman,

اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ ُهْتَدِيْنَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik." (An-Nahl: 125).

Dalam ayat lain disebutkan,
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (Ali Imran: 159).

Dalam kisah Musa dan Harun, tatkala Allah memerintahkan mereka untuk menemui Fir'aun, Allah berfirman,
"Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Thaha: 44)

Jadi, seorang dai yang mengajak manusia ke jalan Allah hendaknya menggunakan cara yang baik dan bijaksana, yaitu mengetahui apa yang telah difirmankan Allah dan telah disebutkan dalam hadits-hadits Nawabi yang mulia, kemudian menggunakan nasehat yang baik, perkataan yang baik nan menyentuh hati serta mengingatkan kepada kehidupan akhirat, kemudian surga dan neraka, sehingga hati manusia bisa menerimanya dan memperhatikan apa yang diucapkan oleh sang dai.

Demikian juga, jika ada keraguan yang telah meliputi orang yang diserunya, hendaknya mengatasi hal tersebut dengan cara yang lebih baik dan menghilangkannya dengan lembut, bukan dengan cara yang kasar, tapi dengan cara yang lebih baik, yaitu dengan membongkar keraguan lalu mengikisnya dengan dalil-dalil.

Dalam hal ini hendaknya sang dai tidak bosan, tidak patah semangat dan tidak marah, sebab bisa memalingkan orang yang didakwahinya, namun hen-daknya menempuh cara yang sesuai, penjelasan yang seirama dan dalil-dalil yang tepat, di samping itu perlu juga untuk tabah menghadapi kemungkinan munculnya emosi orang yang didakwahi, dengan begitu, mudah-mudahan ia dapat menerima nase-hatnya dengan tenang dan lembut, dan dengan begitu, mudah-mudahan Allah memudahkan ia menerimanya.

Rujukan:
Majalah Al-Buhuts, edisi 40, hal. 145-146

Via HijrahApp

CARA YANG BENAR MENGOREKSI PEMERINTAH (PENGUASA)

Pertanyaan:
Apakah mengoreksi para penguasa melalui mimbar termasuk manhaj para salaf (ulama terdahulu)? Bagaimana cara mereka menasehati para penguasa?

Jawaban:
Mengekspos aib para penguasa dan mengungkapkannya di atas mimbar tidak termasuk manhaj para ulama dahulu, karena hal ini bisa menimbulkan kekacauan dan mengakibatkan tidak dipatuhi dan didengarnya nasehat untuk kebaikan, di samping dapat melahirkan kondisi berbahaya dan sama sekali tidak berguna. Cara yang dianut oleh para ulama dahulu adalah dengan memberikan nasehat secara khusus, yaitu antara mereka dengan para penguasa, atau dengan tulisan, atau melalui para ulama yang biasa berhubungan dengan mereka untuk mengarahkan kepada kebaikan.

Mengingkari kemungkaran tidak perlu dengan menyebutkan pelaku. Mengingkari perbuatan zina, riba dan sebagainya, tidak perlu dengan menyebutkan pelakunya, cukup dengan mengingkari kemaksiatan-kemaksiatan tersebut dan memperingatkannnya kepada masyarakat tanpa perlu menyebutkan bahwa si fulan telah melakukannya. Hakim pun tidak boleh menyebutkan begitu, Apalagi yang bukan hakim.

Ketika terjadi suatu fitnah di masa pemerintahan Utsman, ada orang yang bertanya kepada Usamah bin Zaid رضي الله عنه, "Tidakkah engkau memprotes Utsman?" Ia menjawab, "Aku tidak akan memprotesnya di hadapan masyarakat, tapi aku akan memprotesnya antara aku dengan dia, aku tidak akan membukakan pintu keburukan bagi masyarakat."

Tatkala orang-orang membeberkan keburukan di masa pemerintah Utsman رضي الله عنه, yang mana mereka memprotes Utsman dengan terang-terangan, sehingga merebaklah petaka, pembunuhan dan kerusakan, yang sampai kini masih membayang pada ingatan manusia, hingga terjadinya fitnah antara Ali dengan Mu'awiyah, -

lalu terbunuhnya Utsman dan Ali karena sebab-sebab tersebut dan terbunuhnya sekian banyak shahabat dan lainnya karena protes yang terang-terangan dan menyebutkan aib dengan terang-terangan, sehingga menimbulkan kemarahan masyarakat terhadap pemim-pin mereka, yang akhirnya membunuh sang pemimpin. Semoga Allah memberikan keselamatan kepada kita semua.

Rujukan:
Huququr Ra'i war Ra'iyah, hal. 27-28

Via HijrahApp

EVALUASI TERHADAP DAKWAH MASA KINI

Pertanyaan:
Apa evaluasi Syaikh tentang dakwah masa kini? Topik apa yang perlu disoroti di bawah bayangan fenomena-fenomena kekinian dan rintangan-rintangan modernisme?

Jawaban:
Allah سبحانه و تعالى telah memberikan kemudahan yang lebih banyak dalam urusan dakwah di masa kita sekarang ini, yaitu melalui berbagai cara yang belum pernah dialami oleh orang-orang sebelum kita. Perkara-perkara dakwah sekarang sudah lebih mudah, yaitu bisa melalui banyak cara, dan sekarang sudah memung-kinkan untuk menegakkan hujjah pada manusia. Misalnya, melalui radio, televisi, media cetak dan cara-cara lainnya.

Maka yang wajib atas para ahli ilmu dan iman serta para pengganti Rasulullah صلی الله عليه وسلم adalah melaksanakan tugas ini, saling bergandengan dan me-nyampaikan risalah-risalah Allah kepada manusia dengan tidak ada rasa takut terhadap kehinaan dalam berdakwah dan tidak membedakan antara yang besar dengan yang kecil atau yang kaya dengan yang miskin, tapi menyampaikan perintah Allah kepada manusia sebagaimana yang Allah turunkan dan tetapkan.

Hal ini bisa saja menjadi fardhu 'ain, yaitu jika anda berada di suatu tempat, yang mana tidak ada orang lain selain anda yang melaksanakannya, seperti halnya amar ma'ruf dan nahi mungkar, hukumnya bisa fardhu 'ain dan bisa fardhu kifayah. Jika anda berada di sutau tempat, di mana tidak ada orang lain selain anda yang mengindahkan perkara ini dan menyampaikan perintah Allah, maka anda wajib melaksankaannya.

Tapi jika ada orang lain yang melaksanakan dakwah, amar ma'ruf dan nahi mungkar, maka bagi anda hukumnya sunnah. Namun tentu akan lebih baik jika anda bersegera dan berambisi melaksanakannya, berarti anda telah berlomba untuk memperoleh kebaikan dan keta'atan. Dalil yang menunjukkan bahwa hal ini fardhu kifayah adalah firman Allah سبحانه و تعالى,
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan." (Ali Imran: 104)

Mengenai ayat ini, Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan, yang dimaksud: Hendaknya ada di antara kalian, suatu umat yang tegar melaksanakan perkara agung ini, yaitu menyeru manusia ke jalan Allah, menyebarkan agamaNya dan menyampaikan perintahNya. Sebagaimana diketahui, bahwa Rasulullahصلی الله عليه وسلمmenyeru manusia ke jalan Allah dan melaksanakan perintah Allah di Makkah sesuai dengan kemampuannya.

Demikian juga para shahabat, mereka melaksanakannya sesuai kemampuan mereka. Kemudian tatkala mereka telah berhijrah ke Madinah, mereka melaksanakan dakwah lebih banyak lagi. Kemudian ketika mereka menyebar ke seluruh negeri setelah wafatnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم, mereka terus berdakwah sesuai dengan kemampuan dan kadar ilmu mereka.

Tatkala sedikitnya dai dan merajalelanya kemungkaran -seperti kondisi saat ini- maka dakwah menjadi fardhu 'ain, wajib atas setiap orang sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan-nya. Jika di suatu tempat yang terbatas, semacam desa, kota atau lainnya, di mana telah ada yang melaksanakannya dan menyampaikan perintah Allah, maka itu sudah cukup, sehingga hukum menyampaikan dakwah bagi selain orang tersebut adalah sunnah, karena hujjah telah ditegakkan oleh yang lain dan perintah Allah ini telah ada yang melaksanakannya.

Tapi di belahan bumi yang lain, dan bagi manusia lainnya (di luar kawasan tersebut) wajib atas para ulama dan penguasanya untuk menyampaikan perintah Allah sesuai dengan kemampuan. Jadi ini fardhu 'ain bagi mereka (ulama dan penguasa) sesuai dengan kadar kemampuan.
Dengan begitu bisa diketahui, bahwa hukumnya relatif, bisa fardhu 'ain dan bisa fardhu kifayah. Adakalanya dakwah itu ber-status fardhu 'ain bagi golongan atau orang-orang tertentu, kadang statusnya sunnah bagi golongan dan orang-orang tertentu lainnya, karena di tempat mereka telah ada yang melaksanakannya sehingga sudah cukup.

Adapun bagi para penguasa dan orang yang memiliki kemampuan lebih, kewajiban mereka lebih besar, mereka berkewajiban menyampaikan dakwah ke berbagai wilayah yang bisa dijangkau dengan cara yang memungkinkan dan dengan bahasa-bahasa yang dipahami oleh masyarakat yang didakwahinya. Mereka wajib menyampaikan perintah Allah dengan bahasa-bahasa tersebut agar agama Allah bisa sampai kepada setiap orang dengan bahasa yang dipahaminya, baik itu dengan bahasa Arab ataupun lainnya.

Sekarang, hal itu bisa dilakukan dan mudah dengan cara-cara yang telah disebutkan tadi, yaitu melalui siaran radio, televisi, media cetak dan cara-cara lain yang tersedia saat ini dan belum ada pada masa lalu.

Selain itu, wajib atas para penceramah di berbagai acara dan pertemuan untuk menyampaikan perintah Allah سبحانه و تعالى dan menyebarkan agama Allah semampuanya dan sesuai kadar ilmunya. Melihat fenomena penyebaran propaganda perusak, penentangan dan pengingkaran terhadap Allah, pengingkaran kerasulan, pengingkaran adanya kehidupan akhirat, penyebaran missionaris Nashrani di berbagai negara dan propaganda-propaganda sesat lainnya, melihat fenomena ini semua, maka mengajak manusia ke jalan Allah saat ini menjadi kewajiban umum.

Wajib atas semua ulama dan semua penguasa yang beragama Islam, wajib atas mereka untuk menyampaikan agama Allah sesuai kesanggupan dan kemampuan, bisa melalui tulisan, khutbah/ceramah, siaran atau dengan cara apa-pun yang bisa mereka lakukan.

Hendaknya tidak sungkan dan mengandalkan orang lain, karena saat ini sangat mendesak kebutuhan akan kerja sama dan bahu membahu dalam perkara yang agung ini, jauh lebih dibutuhkan daripada sebelumnya, karena musuh-musuh Allah telah bahu membahu dan saling bekerja sama dengan berbagai cara dan sarana untuk menghalangi manusia dari jalan Allah dan menimbulkan keraguan di dalamnya serta mengajak manusia keluar dari agama Allah سبحانه و تعالى.

Maka, wajib atas setiap pemeluk Islam untuk mendukung program ini dengan kegiatan Islami dan dakwah Islamiyah di berbagai lapisan masyarakat dengan menempuh semua sarana dan cara yang memungkin-kan dan dibenarkan syari'at. Ini semua termasuk melaksanakan perintah dakwah yang telah diwajibkan Allah atas para hambaNya.

Rujukan:
Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 40, hal. 136-139.

Via HijrahApp

MENGHADAPI ORANG YANG BERMAKSIAT SECARA TERANG-TERANGAN

Pertanyaan:
Seseorang yang mengeluhkan saudaranya. Ia menyebutkan bahwa saudaranya itu melakukan kemaksiatan dan telah sering dinasehati tapi malah makin terang-terangan. Mohon bimbingan mengenai masalah ini!

Jawaban:
Kewajiban sesama muslim adalah saling menasehati, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, sebagaimana firman Allah,
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya." (Al-Ma'idah: 2).

Dan ayat,
"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada da-lam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran." (Al-'Ashr:1-3).

Serta sabda Nabi yang mulia,

 

اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ. قِيْلَ لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ اْلمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ.

"Agama adalah nasehat." Ditanyakan kepada beliau, "Kepada siapa ya Rasulullah?" beliau jawab, "Kepada Allah, kitabNya, RasulNya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin lainnya." (HR. Muslim)

Kedua ayat dan hadits mulia ini menunjukkan wajibnya saling menasehati dan saling tolong menolong dalan kebaikan serta saling berwasiat dengan kebenaran. Jika seorang muslim melihat saudaranya tengah malas melaksanakan apa yang telah diwajibkan Allah atasnya, maka ia wajib menasehatinya dan mengajaknya kepada kebaikan serta mencegahnya dari kemungkar-an sehingga masyarakatnya menjadi baik semua, lalu kebaikan akan tampak sementara keburukan akan sirna, sebagaimana fir-man Allah,
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka me-nyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar." (At-Taubah: 71).

Nabi صلی الله عليه وسلم pun telah bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.

"Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman."

Maka anda, penanya, selama anda menasehatinya dan mengarahkannya kepada kebaikan, namun ia malah semakin menampakkan kemaksiatannya, maka hendaknya anda menjauhinya dan tidak lagi bergaul dengannya. Di samping itu, hendaknya anda mendorong orang lain yang lebih berpengaruh dan lebih dihormati oleh orang tersebut untuk turut menasehatinya dan mengajaknya ke jalan Allah. Mudah-mudahan dengan begitu Allah memberikan manfaat.

Jika anda mendapati bahwa penjauhan anda itu malah semakin memperburuk dan anda memandang bahwa tetap menjalin hubungan dengannya itu lebih bermanfaat baginya untuk perkara agamanya, atau lebih sedikit keburukannya, maka jangan anda jauhi, karena penjauhan ini dimaksudkan sebagai terapi, yaitu sebagai obatnya.

Tapi jika itu tidak berguna dan malah semakin memperparah penyakitnya, maka hendaknya anda melakukan yang lebih maslahat, yaitu tetap berhubungan dengannya dan terus menerus menasehatinya, mengajaknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan, tapi tidak menjadikannya sebagai kawan atau teman dekat. Mudah-mudahan Allah memberikan manfaat dengan itu. Inilah cara yang paling baik dalam kasus semacam ini yang berasal dari ucapan para ahli ilmu.

Rujukan:
Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 5, hal. 343-344.

Via HijrahApp

NASIHAT BUAT PARA DAI YANG BERSELISIH

Pertanyaan:
Berikut nasihat panjang Syaikh bin Baz terhadap para dai yang sedang berselisih.

Jawaban:
Alhamdulillahi rabbil alamin, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad, nabi yang terpercaya, juga kepada keluarga, para sahabat dan mereka yang mengikuti sunnahnya hingga hari berbangkit.
Amma ba'd,

Sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى telah memerintahkan untuk berbuat adil dan kebajikan serta melarang berbuat zhalim, melampaui batas dan bermusuhan. Allah telah mengutus nabiNyaصلی الله عليه وسلمsebagai-mana pula para rasul lainnya untuk menyerukan dakwah tauhid dan ikhlas beribadah hanya untuk Allah semata. Allah memerin-tahkannya untuk menegakkan keadilan, dan Allah pun melarang kebalikannya, yaitu yang berupa penghambaan kepada selain Allah, berpecah belah, berbuat sewenang-wenang terhadap hak-hak para hamba.

Telah tersebar berita akhir-akhir ini, bahwa banyak di antara para ahli ilmu dan para praktisi dakwah yang melakukan cercaan terhadap saudara-saudara mereka sendiri, para dai terkemuka, mereka berbicara tentang kepribadian para ahli ilmu, para dai dan para guru besar. Mereka lakukan itu dengan sembunyi-sembu-nyi di majlis-majlis mereka. Adakalanya itu direkam lalu disebarkan ke masyarakat. Ada juga yang melakukan dengan terang-terangan pada saat kajian-kajian umum di masjid.

Cara ini bertolak belakang dengan apa yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya dilihat dari beberapa segi, di antaranya:

Pertama, ini merupakan pelanggaran terhadap hak prifasi sesama muslim, bahkan ini terhadap golongan khusus, yaitu para penuntut ilmu dan para dai yang telah mengerahkan daya upaya mereka untuk membimbing dan membina masyarakat, melurus-kan aqidah dan manhaj mereka, bersungguh-sungguh dalam mengisi berbagai kajian dan ceramah, serta menulis buku-buku yang bermanfaat.

Kedua, bahwa ini bisa memecah belah kaum muslimin dan memporakporandakan barisan mereka, padahal mereka sangat membutuhkan kesatuan dan harus dijauhkan dari perpecahan dan saling menggunjing antar mereka. Lebih-lebih bahwa para dai dimaksud termasuk golongan ahlus sunnah wal jama'ah yang dikenal memerangi bid'ah dan khurafat serta menghadapi lang-sung para penyerunya, membongkar trik-trik dan reka perdaya-nya.

Karena itu, perbuatan ini tidak ada maslahatnya kecuali bagi para musuh yang senantiasa mengintai, yaitu kaum kuffar dan para munafiq atau para ahli bid'ah dan kesesatan.

Ketiga, Bahwa perbuatan ini mengandung propaganda dan dukungan terhadap tujuan-tujuan yang diusung oleh para sekuler, para westernis dan para penentang lainnya yang dikenal agresif menjatuhkan kredibilitas para dai, mendustakan mereka dan mengekspos kebalikan dari apa-apa yang mereka tulis dan mereka rekam.

Sikap yang dilakukan oleh mereka yang tergesa-gesa melaku-kan ini, yang ternyata malah membantu musuh untuk menyerang saudara-saudaranya sendiri, yaitu para thalib 'ilm dan para dai, adalah perbuatan yang tidak termasuk hak persaudaraan Islam.

Keempat, Bahwa perbuatan ini bisa merusak hati masyarakat awam dan golongan khusus, bisa menyebarkan dan menyuburkan kebohongan dan isu-isu sesat, bisa menjadi penyebab banyaknya menggunjing dan menghasud serta membukakan pintu-pintu ke-burukan bagi jiwa-jiwa yang cenderung menebar keraguan dan bencana serta berambisi mencelakakan kaum mukminin secara tidak langsung.

Kelima, Bahwa banyak pernyataan dalam hal ini yang ter-nyata tidak ada hakikatnya, tapi hanya merupakan asumsi-asumsi yang dibisikkan setan kepada para pengungkapnya. Sementara itu Allah telah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari pra-sangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain." (Al-Hujurat: 12)

Seorang mukmin hendaknya bisa menyikapi perkataan saudaranya sesama muslim dengan sikap yang lebih baik. Seorang alim dahulu mengatakan, "Jangan kau berburuk sangka dengan kalimat yang keluar dari (mulut) saudaramu walaupun engkau tidak me-nemukan yang baiknya."

Keenam, hasil ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dalam perkara-perkara yang menuntut ijtihad, maka pencetusnya tidak dihukum dengan pendapatnya jika ia memang berkompeten untuk berijtihad. Jika ternyata itu bertentangan dengan yang lain-nya, maka seharusnya dibantah dengan cara yang lebih baik, demi mencapai kebenaran dengan cara yang paling cepat dan demi menjaga diri dari godaan setan dan reka perdayanya dihembus-kan di antara sesama mukmin.

Jika itu tidak bisa dilakukan, lalu seseorang merasa perlu untuk menjelaskan perbedaan tersebut, maka hendaknya disampaikan dengan ungkapan yang paling baik dan isyarat yang sangat halus. Tidak perlu menghujat atau menje-lek-jelekkan, karena hal ini bisa menyebabkan ditolak atau dihin-darinya kebenaran. Di samping itu, tidak perlu menghujat pribadi-pribadi tertentu atau melontarkan tuduhan-tuduhan dengan maksud-maksud tertentu, atau dengan menambah-nambah perka-taan yang tidak terkait.

Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah memberikan contoh dalam menghadapi kondisi semacam ini dengan ungkapan,

 

مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَكَذَا.

"Kenapa ada orang-orang yang mengatakan demikian dan demi-kian." (HR. Muslim dalam an-Nikah (1401))

Saya sarankan kepada saudara-saudara yang telah mengecam para dai, hendaknya bertaubat kepada Allah dari per-buatan yang telah mereka lakukan, atau meralat dengan lisan mereka seputar masalah yang bisa menyebabkan rusaknya hati sebagian pemuda dan bisa menimbulkan kedengkian serta memalingkan mereka dari menuntut ilmu yang bermanfaat dan aktifitas dakwah, karena santernya isu-isu tentang si fulan dan si fulan, lalu mencari hal-hal yang dianggapnya sebagai kesalahan orang lain kemudian mempublikasikannya.

Saya sarankan juga agar mereka meralat apa yang telah mereka lakukan, baik melalui tulisan ataupun lainnya yang dapat membebaskan diri mereka dari perbuatan semacam ini dan meng-hilangkan kesan yang terekam di benak orang-orang yang telah mendengar ucapan mereka, dan hendaknya pula mereka mengi-ringi dengan amalan-amalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah dan berguna bagi manusia, serta senantiasa waspada agar tidak terburu-buru melontarkan tuduhan kafir, fasik atau pelaku bid'ah terhadap orang lain tanpa bukti,

karena nabiصلی الله عليه وسلمtelah mengingatkan,

 

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لأَخِيْهِ يَا كَافِرٌ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا.

"Orang mana pun yang mengatakan, 'wahai kafir' kepada sauda-ranya, maka pernyataan ini berlaku pada salah seorang dari keduanya." (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab (6104), Muslim dalam Al-Iman (60))

Di antara yang disyari'atkan bagi para penyeru kebenaran dan para penuntut ilmu, apabila menghadapi suatu perkara karena ucapan para ahli ilmu atau lainnya, hendaknya mereka berkonsul-tasi kepada para ulama yang mu'tabar (yang diakui kredibilitas dan kapabilitasnya) dan menanyakan kepada mereka tentang per-kara tersebut sehingga para ulama itu bisa menjelaskan perkaranya dan memposisikan mereka pada hakikatnya serta menghilangkan keraguan mereka. Tindakan ini sebagai pelaksanaan firman Allah سبحانه و تعالى yang disebutkan dalam surat An-Nisa',
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran-nya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)." (An-Nisa': 83)

Hanya Allah-lah tempat meminta, semoga Allah memper-baiki kondisi semua kaum muslimin, mempersatukan hati dan amal mereka dalam ketakwaan, mempersatukan semua ulama kaum muslimin dan semua penyeru kebenaran dengan segala sesuatu yang dapat melahirkan keridhaanNya dan bermanfaat bagi para hambaNya, mempersatukan kalimat mereka pada petunjuk dan menyelamatkan mereka dari faktor-faktor perpecahan dan perselisihan, serta semoga Allah memenangkan kebenaran melalui mereka dan mengalahkan kebatilan.

Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas itu. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta mereka yang menigkuti petunjuknya hingga hari berbangkit.

Rujukan:
Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh Ibnu Baz (7/311-314).

Via HijrahApp

NASIHAT BUAT PARA DAI YANG BERSELISIH II

Pertanyaan:
Beberapa pekan yang lalu, Syaikh yang mulia telah mengeluarkan pernyataan tentang metode koreksi/evaluasi antar para dai. Pernyataan ini ditafsirkan oleh sebagian orang dengan bermacam-macam persepsi. Bagaimana menurut Syaikh?

Jawaban:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah dan yang mengikuti petunjuknya.
Amma Ba'du:

Pernyataan yang dimaksud oleh penanya ini adalah yang saya maksud sebagai saran untuk saudara-saudara para ulama dan para dai, agar koreksian mereka terhadap saudara-saudara-nya sehubungan dengan makalah-makalah, seminar-seminar atau ceramah-ceramahnya, hendaknya merupakan koreksi yang mem-bangun, jauh dari menghujat dan menyebut-nyebut pribadi-pribadi, karena hal ini bisa menyebabkan kebencian dan permusuhan.

Kebiasaan dan cara Nabi صلی الله عليه وسلم, jika mendengar sesuatu tentang para sahabatnya yang tidak sesuai dengan syari'at, beliau menegurnya dengan ungkapan,
مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَكَذَا

"Kenapa ada orang-orang yang mengatakan demikian dan demikian." (HR. Muslim dalam an-Nikah (1401)).

Kemudian beliau menjelaskan perkaranya.
Pernah suatu kali, sampai kepada beliau bahwa ada orang yang mengatakan, "Kalau begitu, aku akan terus shalat (malam) dan tidak tidur." Yang lain mengatakan, "Dan aku akan terus berpuasa dan tidak berbuka." Yang lainnya lagi mengatakan, "Dan aku tidak akan menikahi wanita." Maka beliau langsung berkhutbah di hadapan orang-orang. Setelah memanjatkan pujian kepada Allah, beliau bersabda,

 

مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوْا كَذَا وَكَذَا. لَكِنيِّ أُصَلِّيْ وَأَنَامُ، وَأَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ. فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّيْ.

"Kenapa ada orang-orang yang mengatakan demikian dan demi-kian. Padahal aku sendiri shalat (malam) dan juga tidur, aku berpuasa dan juga berbuka, dan aku pun menikahi wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka bukan dari golonganku." (HR. Muslim dalam an-Nikah (1401))

Maksudnya, hendaknya koreksian itu dengan ungkapan seperti ungkapan atau teguran Nabi صلی الله عليه وسلم tersebut. Misalnya: Ada orang yang mengatakan begini, ada juga yang mengatakan begini, padahal yang disyari'atkan adalah begini dan yang wajib adalah begini. Jadi, koreksian itu tanpa menyebutkan orang tertentu, tapi cukup menjelaskan perkara syar'inya, sehingga kecintaan antar sesama saudara, antar sesama dai dan ulama tetap utuh.

Saya tidak memaksudkan pada orang-orang tertentu, tapi yang saya maksud adalah umum, semua dai dan ulama, baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.

Saran saya untuk semua, hendaknya pembicaraan yang berkaitan dengan nasehat dan koreksi diungkapkan dalam bentuk global, bukan dalam bentuk menunjuk perorangan, karena yang dimaksud adalah mengingkatkan kesalahan dan menjelaskan yang benar. Jadi, tidak perlu dengan menghujat fulan dan fulan. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada semuanya.

Rujukan:
Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh Ibnu Baz (7/315-316)

Via HijrahApp

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M