Bab Bantahan
Berdakwah Kepada Orang yang Sudah Terkontaminasi Kebudayaan Tertentu
BERDAKWAH KEPADA ORANG YANG SUDAH TERKONTAMINASI KEBUDAYAAN TERTENTU
Pertanyaan:
Bila orang-orang yang didakwahi (para audiens), baik kaum laki-laki maupun wanita sudah terpengaruh kebudayaan tertentu atau lingkungan (masyarakat) tertentu, apa solusi yang paling jitu dalam mendakwahi mereka?
Jawaban:
Seorang da'i harus menjelaskan kepada mereka kesalahan- kesalahan, bid'ah- bid'ah dan sebagainya yang terdapat di dalam aliran- aliran yang membuat mereka terpengaruh, tarekat- tarekat yang mereka berafiliasi di dalamnya atau lingkungan di mana mereka berinteraksi. Demikianlah, dia harus menjelaskan perkara- perkara yang menyelisihi syari'at yang terdapat pada organisasi- organisasi dan lingkungan dimana mereka berinteraksi tersebut.
Dia harus mengajak mereka agar menyodorkan setiap hal yang rumit bagi mereka kepada timbangan yang adil, yaitu Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Apa saja hal yang sesuai dengan keduanya atau salah satu dari keduanya, maka itulah yang dapat dijadikan standar (tolok ukur) secara syari'at sedangkan yang bertentangan dengan keduanya, maka ia tertolak, siapapun yang mengatakannya tersebut.
Demikianlah cara para ulama, mereka selalu menyodorkan masalah- masalah khilafiyah kepada dalil- dalil syari'at; mana yang sesuai, wajib dipertahankan dan yang bertentangan dengannya, maka wajib dienyahkan, sekalipun orang yang mengatakannya adalah seorang pembesar, sebab kebenaran adalah di atas siapa pun.
Tradisi-tradisi dan akhlak yang bertentangan dengan syari'at wajib ditinggalkan, sekalipun ia diciptakan oleh para nenek moyang, para soko guru, para pendahulu dan sebagainya. Hendaklah semua orang berpegang teguh kepada setiap apa yang diperintahkan Allah dan RasulNya sebab itulah jalan keselamatan, sebagaimana firman Allah سبحانه و تعالى,
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (al-An'am:153).
Wabillahit Tawfiq.
Rujukan:
Majmu' Fatawa Ibn Baz, Juz.IV, h.240.
Via HijrahApp
Bolehkah Menyalahkan Agama Sebagai Penyebab Penyakit Kejiwaan
BOLEHKAH MENYALAHKAN AGAMA SEBAGAI PENYEBAB PENYAKIT KEJIWAAN
Pertanyaan:
Ada seorang yang dulunya komitmen dengan ajaran agama mengalami tekanan jiwa, lalu sebagian orang mengatakan bahwa sebabnya adalah agama. Akibat ucapan ini, dia mencukur jenggotnya dan tidak lagi komitmen menjalankan shalat seperti dulu. Apakah boleh dikatakan bahwa penyebab sakit yang dideritanya itu adalah karena dia berpegang teguh terhadap hukum-hukum agama tersebut? Apakah orang yang mengatakan ucapan seperti ini dapat dikatakan kafir?
Jawaban:
Berpegang teguh kepada ajaran agama bukanlah penyebab timbulnya penyakit bahkan ia penyebab bagi setiap kebaikan di dunia dan akhirat. Seorang muslim tidak boleh tunduk kepada orang-orang yang jahil manakala mereka mengatakan ucapan seperti itu. Lantaran itu, dia tidak boleh mencukur jenggotnya, mengguntingnya ataupun tidak lagi melakukan shalat berjama'ah. Justru seharusnya, dia bersikap istiqamah di atas kebenaran dan berhati-hati dari setiap hal yang dilarang Allah, sebagai rasa ketaatan kepadaNya dan RasulNya serta agar terhindar dari kemurkaan Allah dan siksaanNya.
Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan." (An-Nisa':13-14).
Dan dalam firmanNya yang lain,
"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya?"(Ath-Thalaq:2-3).
Dan firmanNya lagi,
"Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." (Ath-Thalaq:4).
Dan ayat-ayat yang semakna dengan itu banyak sekali.
Sedangkan orang yang mengucapkan bahwa penyebab timbulnya penyakit yang diderita orang yang berpegang teguh kepada ajaran yang jahil. Ucapannya ini wajib diingkari dan diberitahu bahwa berpegang teguh kepada ajaran agama tidak akan membawa selain kebaikan dan apa saja yang tidak disukai oleh seorang muslim namun menimpanya adalah sebagai penebus semua keburukannya dan penghapus semua dosa-dosa (kecil)nya.
Sedangkan masalah vonis kafir terhadap dirinya, maka ini perlu rincian yang dapat diketahui pada bab tentang hukum orang yang murtad di dalam kitab-kitab fiqih Islami. Wallahu waliyut Tawfiq.
Rujukan:
Al-Fatawa, Kitab ad-Da'wah, h.32-33, dari fatwa Syaikh Ibn Baz.
Via HijrahApp
Hukum Meremehkan Syariat Allah dan Keengganan untuk Menerapkannya
HUKUM MEREMEHKAN SYARI'AT ALLAH DAN KEENGGANAN UNTUK MENERAPKANNYA
Pertanyaan:
Banyak di antara kaum muslimin yang meremeh-remehkan dalam hal berhukum kepada selain syari'at Allah; sebagian berkeyakinan bahwa sikap meremeh-remehkan tersebut tidak berpengaruh terhadap komitmen keislamannya. Sebagian yang lain malah menganggap boleh-boleh saja berhukum kepada selain syari'at Allah dan tidak peduli dengan implikasinya. Bagaimana pendapat yang haq dalam masalah ini?
Jawaban:
Masalah ini harus dirinci, yaitu barangsiapa yang berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah sementara dia mengetahui bahwa wajib baginya berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dan dengan perbuatannya itu, dia telah melanggar syari'at akan tetapi dia menganggap boleh hal itu dan memandangnya tidak apa-apa melakukannya dan juga boleh saja hukumnya berhukum kepada selain syari'at Allah; maka orang seperti ini hukumnya adalah kafir dengan kekufuran Akbar menurut seluruh ulama, -
seperti berhukum kepada undang-undang buatan manusia, baik oleh kaum Nashrani, Yahudi ataupun orang-orang selain mereka yang mengklaim bahwasanya boleh berhukum dengannya, bahwa ia adalah lebih utama ketimbang hukum Allah, bahwa ia sejajar dengan hukum Allah atau mengklaim bahwa manusia diberi pilihan; bila menginginkan, dia boleh berhukum kepada al-Qur'an dan As-Sunnah dan bila dia menginginkan, boleh berhukum kepada undang-undang buatan manusia tersebut.
Jadi, barangsiapa berkeyakinan demikian, maka dia telah berbuat kekufuran menurut ijma' para ulama sebagaimana yang telah dikemukakan tadi.
Adapun orang yang berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah karena dorongan hawa nafsu atau keuntungan sesaat sementara dia mengetahui bahwa dengan perbuatan itu telah berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya, bahwa dia telah melakukan kemungkaran yang besar dan yang wajib atasnya adalah berhukum kepada syari'at Allah; maka dia tidak berbuat kekufuran yang besar tersebut akan tetapi dia telah melakukan suatu kemungkaran dan maksiat yang besar serta kekufuran kecil sebagaimana pendapat Ibn Abbas, Mujahid dan ulama selain keduanya.
Dia telah melakukan kekufuran di bawah kekufuran (Kufr duna Kufr) dan kezhaliman di bawah kezhaliman dan kefasikan di bawah kefasikan, bukan kekufuran akbar. Inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dalam hal ini, Allah سبحانه و تعالى berfirman dalam beberapa ayat berikut:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah." (Al-Ma'idah:49).
"Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir." (Al-Ma'idah:44).
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim." (Al-Ma'idah:45).
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (Al-Ma'idah:47).
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (An-Nisa':65).
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?" (Al-Ma'idah:50).
Jadi, hukum Allah lah yang merupakan hukum paling baik, yang wajib diikuti dan dengannya tercipta keshalihan umat dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat serta keshalihan alam semesta ini akan tetapi kebanyakan makhluk lalai dari realitas ini.
Kepada Allah lah kita tempat memohon pertolongan, tiada daya dan kekuatan kecuali kepada Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar.
Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi'ah, Juz.V, h.355-356, dari fatwa Syaikh Ibn Baz.
Via HijrahApp
Hukum Orang yang Tidak Memiliki Syaikh (Guru)
HUKUM ORANG YANG TIDAK MEMILIKI SYAIKH (GURU)
Pertanyaan:
Telah santer di kalangan sebagian orang klaim bahwa siapa yang tidak memiliki syaikh (guru), maka syaikhnya adalah setan. Bagaimana Samahatusy Syaikh memberikan pengarahan kepada mereka mengenai hal ini?
Jawaban:
Ini merupakan kekeliruan orang awam dan kejahilan sebagian kalangan Sufi dalam rangka memotivasi manusia agar mengadakan kontak dengan mereka dan mengekor bid'ah serta kesesatan mereka. Sebab bila seseorang memahami agamanya dengan cara menghadiri halaqah-halaqah (kajian-kajian) ilmiah dan keagamaan atau mentadabburi Al-Qur'an ataupun As-Sunnah, lalu dia mendapatkan manfaat dari hal itu, maka tidaklah dikatakan bahwa dia telah bersungguh-sungguh di dalam menuntut ilmu akan tetapi dikatakan terhadapnya bahwa dia telah meraih kebaikan yang banyak.
Seorang penuntut ilmu semestinya mengadakan kontak dengan para ulama yang dikenal kelurusan aqidahnya dan perjalanan hidupnya guna menanyakan kepada mereka hal-hal yang rumit baginya sebab bila dia tidak bertanya kepada para ulama, bisa jadi dia banyak terjerumus ke dalam kekeliruan atau banyak hal yang masih samar baginya.
Sedangkan bila dia menghadiri halaqah-halaqah ilmiah dan mendengarkan wejangan dari para ulama, maka sesungguhnya dengan begitu dia akan mendapatkan kebaikan yang banyak dan manfa'at yang tidak terhingga sekalipun dia tidak memiliki seorang syaikh (guru) tertentu.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa orang yang sering menghadiri kajian keilmuan, mendengarkan khuthbah-khuthbah Jum'at dan 'ied serta ceramah-ceramah yang diadakan di masjid-masjid berarti dia memiliki banyak syaikh sekalipun tidak menisbahkan dirinya kepada salah seorang tertentu yang dia taklidi dan ikuti pendapatnya.
Rujukan:
Majalah Al-Buhuts, edisi 39, h.133, dari fatwa syaikh ibn baz.
Via HijrahApp
Hukum Terlalu Bersemangat yang Mengarah Kepada Sikap Ekstrem
HUKUM TERLALU BERSEMANGAT YANG MENGARAH KEPADA SIKAP EKSTREM
Pertanyaan:
Ada sebagian para pemuda yang terlalu bersemangat melebihi yang sepatutnya dan mengarah kepada sikap ekstrem, apa nasehat anda terhadapnya?
Jawaban:
Para pemuda dan selain mereka wajib berhati-hati sehingga tidak melakukan tindakan kekerasan, ekstremisme dan ghuluw. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Katakanlah, 'Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu'." (Al-Ma'idah:77).
Demikian juga firmanNya,
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (Ali Imran:159).
Dan firmanNya kepada Musa عليه السلام, dan Harun عليه السلام, ketika Dia mengutus keduanya menghadap Fir'aun,
"Maka berbicalah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut." (Thaha:44).
Di dalam hadits Nabi, beliau صلی الله عليه وسلم bersabda,
هَلَكَ اْلمُتَنَطِّعُوْنَ
"Sungguh telah binasalah orang-orang yang melampaui batas." Beliau mengucapkan hal ini hingga tiga kali.[1]
Dalam sabdanya yang lain,
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ
"Berhati-hatilah kamu terhadap tindakan ghuluw (melampaui batas) di dalam agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah tindakan ghuluw di dalam agama."[2]
Oleh karena itu, saya berwasiat kepada seluruh da'i agar tidak terjerumus ke dalam sikap berlebih-lebihan dan melampaui batas (ghuluw). Hendaknya mereka bersikap pertengahan, yaitu berjalan di atas manhaj Allah dan hukum KitabNya dan Sunnah RasulNya صلی الله عليه وسلم.
keterangan
[1] HR. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Al-'Ilm (2670).
[2] HR. Imam Ahmad (1854), dan juga diriwayatkan oleh sebagian pengarang kitab As-Sunan dengan sanad Hasan; an-Nasa'i, kitab Al-Hajj (3057), Ibn Majah, kitab Al-Manasik (3029).
Rujukan:
Majalah al-Buhuts al-Islamiyyah, edisi 32, h.120, dari fatwa Syaikh Ibn Baz.
Via HijrahApp
Hukum Tidak Membaca Al-Qur'an
HUKUM TIDAK MEMBACA AL-QUR'AN
Pertanyaan:
Apa nasehat Syaikh yang mulia kepada orang-orang yang menghabiskan waktunya selama sebulan bahkan berbulan-bulan tetapi tidak pernah menyentuh Kitab Allah sama sekali tanpa udzur. Dan, salah seorang di antara mereka akan anda dapatkan sibuk mengikuti edisi-edisi Majalah yang tidak bermanfa'at?
Jawaban:
Disunnahkan bagi seorang mukmin dan mukminah untuk memperbanyak bacaan terhadap Kitabullah disertai dengan ta-dabur dan pemahaman, baik melalui mushaf ataupun hafalan. Hal ini berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,
"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran." (Shad:29).
Dan firmanNya,
"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri." (Fathir:29-30).
Tilawah yang dimaksud mencakup bacaan dan Ittiba' (pengamalan), bacaan dengan tadabbur dan pemahaman, sedang-kan ikhlash kepada Allah merupakan sarana di dalam Ittiba' dan di dalam tilawah tersebut juga terdapat pahala yang besar, sebagaimana sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
اِقْرَؤُوا اْلقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيْعًا لأَصْحَابِهِ
"Bacalah Al-Qur'an, karena ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai penolong bagi orang-orang yang membacanya.?[1]
Dan dalam sabda beliau yang lain,
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
"Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya."[2]
Dan dalam sabda beliau yang lain,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَاْلحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ "آلم" حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ
"Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah, maka dia akan mendapatkan satu kebaikan sedangkan satu kebaikan itu (bernilai) sepuluh kali lipatnya, aku tidak mengatakan 'Alif Laam Miim' sebagai satu huruf, akan tetapi 'Alif' sebagai satu huruf, 'Laam' sebagai satu huruf dan 'miim' sebagai satu huruf."[3]
Demikian pula telah terdapat hadits yang shahih dari beliau, bahwasanya beliau bersabda kepada Abdullah bin Amr bin Al-Ash,
اِقْرَأْ اْلقُرْآنَ فيِ كُلِّ شَهْرٍ ، قَالَ: قُلْتُ، أَطِيْقُهُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: اِقْرَأْ فِي كُلِّ سَبْعِ لَيَالٍ مَرَّةً
"Bacalah Al-Qur'an setiap bulannya." Dia (Abdullah bin Amr bin Al-Ash) berkata, "Aku menjawab, 'Aku menyanggupi lebih banyak dari itu lagi.' Lalu beliau صلی الله عليه وسلم bersabda lagi, 'Bacalah setiap tujuh malam sekali'."[4]
Para sahabat Nabi mengkhatamkannya pada setiap seminggu sekali. Wasiat saya kepada semua para Qari Al-Qur'an agar memperbanyak bacaan Al-Qur'an dengan cara mentadabburi, memahami dan berbuat ikhlas karena Allah سبحانه و تعالى disertai tujuan untuk mendapatkan faedah dan ilmu.
Dan, hendaknya pula dapat mengkhatamkannya setiap bulan sekali dan bila ada keluangan, maka lebih sedikit dari itu lagi sebab yang demikian itulah kebaikan yang banyak. Boleh mengkhatamkannya kurang dari seminggu sekali dan yang utama agar tidak mengkhatamkannya kurang dari tiga hari sekali karena hal seperti itu yang sesuai dengan petunjuk Nabi صلی الله عليه وسلم kepada Abdullah bin Amr bin Al-Ash dan karena membacanya kurang dari tiga hari akan menyebabkan keterburu-buruan dan tidak dapat mentadabburinya.
Demikian juga, tidak boleh membacanya dari mushaf kecuali dalam kondisi suci, sedangkan bila membacanya secara hafalan (di luar kepala) maka tidak apa-apa sekalipun tidak dalam kondisi berwudhu'.
Sedangkan orang yang sedang junub, maka dia tidak boleh membacanya baik melalui mushaf ataupun secara hafalan sampai dia mandi bersih dulu. Hal ini berdasarkan riwayat Imam Ahmad dan para pengarang buku-buku As-Sunan dengan sanad Hasan dari 'Ali -rodliallaahu'anhu-, bahwasanya dia berkata, "Tidak ada sesuatupun yang menahan (dalam versi riwayat yang lain: menghalangi) Rasulullah صلی الله عليه وسلم, dari membaca Al-Qur'an selain jinabah."[5]
Wa billahi at-Tawfiq.
keterangan
[1] HR. Muslim, Shalah al-Musafirin (804).
[2] HR. Al-Bukhari, Fadha'il al-Qur'an (5027).
[3] HR. At-Tirmidzi, Fadha'il al-Qur'an (2910).
[4] HR. Al-Bukhari, Fadha'il al-Qur'an (5052); Muslim, ash-Shiyam (1159).
[5] amdka
Rujukan:
Fatawa al-Mar'ah, h.96-97, Dari Fatwa Syaikh Ibn Baz.
Via HijrahApp
Membandingkan Antara Syariat dan Undang-undang
MEMBANDINGKAN ANTARA SYARI'AT DAN UNDANG-UNDANG
Pertanyaan:
Apakah mengadakan perbandingan antara syari'at dan undang-undang dinilai sebagai pelecehan terhadap syari'at?
Jawaban:
Bila perbandingan itu dilakukan untuk tujuan yang baik, seperti tujuan menjelaskan keuniversalan syari'at, posisinya yang tinggi, keunggulannya atas undang-undang buatan manusia dan cakupannya terhadap kemashlahatan umum; maka hal itu tidak apa-apa karena di dalamnya terdapat unsur menampakkan kebenaran, upaya membuat para penyeru kebatilan puas dan menjelaskan kepalsuan statement-statement mereka di dalam mengajak kepada pemberlakuan undang-undang tersebut, ajakan kepada anggapan bahwa zaman sekarang ini tidak relevan lagi untuk penerapan syari'at atau sudah dimakan zaman.
Jadi, tidak ada larangan untuk mengadakan perbandingan antara syari'at dan undang-undang buatan manusia, bila tujuannya baik, untuk menjelaskan hal yang dapat membungkam mereka dan kebatilan yang sedang mereka lakukan serta agar hati-hati kaum mukminin menjadi tenteram dan mantap di atas al-Haq. Akan tetapi hal itu dilakukan bila melalui perantaraan ulama yang mumpuni dan dikenal sebagai orang-orang yang memiliki 'aqidah yang benar, berkelakuan baik dan memiliki keluasan ilmu di bidang ilmu-ilmu syari'at dan tujuan-tujuannya yang agung.
Rujukan:
Majalah Al-Buhuts, edisi XXVII, Dari fatwa Syaikh Ibn Baz.
Via HijrahApp
Mencela Agama dan Rabb
MENCELA AGAMA DAN RABB
Pertanyaan:
Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz kepada saudaraku, seorang muslim yang memiliki komitmen yang tinggi yang ingin berlepas diri demi agama dan kehormatannya, semoga Allah menjaganya, Amin. Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarokatuh, waba'du: Saya telah membaca pertanyaan anda yang menyatakan bahwa seorang isteri menyinggung perihal suaminya yang mencela agama, Rabb dan seterusnya.
Jawaban:
Mencela agama dan Rabb سبحانه و تعالى, semuanya merupakan jenis kekufuran yang paling besar menurut ijma' para ulama. Sedangkan hal yang terkait dengan pembuktian terhadap tindakan orang tersebut sekaligus vonis terhadapnya berdasarkan hal itu, perihal pemisahan antara dirinya dan isterinya tersebut, maka ini semua dikembalikan kepada wewenang pengadilan.
Saya bermohon kepada Allah agar memberikan taufiq kepada kita semua terhadap hal yang diridhaiNya. Wassalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh.
Rujukan:
Majmu' Fatawa Syaikh Ibn Baz, Juz.II, h.525.
Via HijrahApp