• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Bab Puasa

Bagikan

ANAK PEREMPUAN SAYA BERUMUR TIGA PULUH TAHUN DAN TELAH MEMPUNYAI ANAK, AKAN TETAPI LA MENDERITA PENYAKIT SYARAF

Pertanyaanke307:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Saya mempunyai anak perempuan yang berumur tiga puluh tahun dantelah mempunyai beberapa orang anak, sejak empat belas tahun lalu ia mengalami gangguan pada otaknya.

Dulupenyakit ini dialaminya sebentar kemudian berhenti, dan kali ini penyakit itu telah menjangkitinya lagi sehingga ia berperilaku yang tidak biasanya, penyakit itu telah berlangsung selama kira-kira tiga bulan, dengan demikian ia tidak bisamelakukan shalat dan wudhu dengan baik kecuali jika dibantu seseorang yang membimbingnya.

Ketika datang bulan Ramadhan yang penuh berkah ia melaksanakan puasa selama satu hari saja, itupun tidak dilakukan dengan baik, sedangkan hari-hari yang selebihnya, ia tidak berpuasa. Berilah saya keterangan tentang masalah inisehingga saya mengetahui apa yang wajib saya laksanakan dan apa yang wajib bagi anak saya itu, karena saya adalah walinya?

Jawaban:
Jika kenyataannya kondisi wanita itu sebagaimana yang Anda sebutkan, maka tidak ada kewajiban bagi wanita itu untuk melaksanakan puasa danshalat, juga tidak ada kewajiban mengqadha puasa baginya selama ia dalam keadaan seperti itu, bahkan tidak ada kewajiban bagi Anda kecuali memeliharanya, karena Anda adalah walinya. Telah disebutkan dalam suatu hadits dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwa beliau bersabda:

"Masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggung jawaban tentang yang dipimpinnya.”

Jika pada suatu waktu ia sadar, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalatpada saat sadarnya itu, demikian juga bila ia sadar pada suatu hari di bulan Ramadhan, maka pada saat ia sadar itu ia wajib berpuasa. Jadi ia wajib berpuasa hanya pada hari yang ia sedang sadar saja.

Ibid, halaman 59.

Via HijrahApp

APA HUKUM BERBICARA DENGAN SEORANG WANITA ATAU MENYENTUH TANGANNYA DI SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan ke378:
Al-LajnahAd-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Apa hukum berbicara dengan seorang wanita ataumenyentuh tangannya di siang hari Ramadhan bagi orang yang berpuasa, sebab di sebagian tempat perbelanjaan sering terjadi yang seperti ini?

Jawaban:
Jika pembicaraan antara pria dan wanita itu tidak disertai dengan rayuan dan tidak bertujuan untuk bersenang-senang melalui obrolan, melainkan hanya sebagai transaksi dalam jual beli atau sekadar bertanya tentang arah jalan atau hal serupa Lainnya, dan juga menyentuh tangannya tanpa unsur kesengajaan, maka hal itudiperbolehkan di bulan Ramadhan.

Akan tetapi jika pembicaraan itu untuk bersenang-senang dengan cara mengobrol dengan wanita itu, maka hal ini tidak boleh dilakukan, baik di bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dan di bulan Ramadhan lebih dilarang lagi.

Fatawa Ash-Shiyam, halaman 29-30.

Via HijrahApp

APAKAH BERBUKA UNTUK MENOLONG ORANG LAIN BISA DIKIASKAN PADA WANITA HAMIL

Pertanyaan ke329:
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya: Apakah mungkin mengkiaskan orang yang berbuka karena menolong oranglain dengan wanita hamil yang tidak puasa karena khawatir terhadap anaknya, yaitu: diharuskan baginya untuk mengqadha puasanya serta memberi makan kepada orang miskin?

Jawaban:
Ya, ia boleh berbuka untukmenolong orang lain dari kebinasaan jika hal itu dibutuhkan, yakni tidak mungkin baginya untuk menolong itu dari kebinasaan kecuali dengan berbuka, pada saat demikian ia boleh berbuka dan diharuskan mengqadha puasanya.

Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/141.

Via HijrahApp

APAKAH HUKUM PUASA YANG DILAKUKAN OLEH WANITA HAMIL ATAU WANITA MENYUSUI

Pertanyaan ke328:
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang hukum puasa yang dilakukan oleh wanita hamil dan wanitamenyusui?

Jawaban:
Wanita yang sedang hamil atau wanita yang sedang menyusui bila berpuasa akan rentan terhadap bahaya, berbahaya bagi dirinya atau bagi anaknya atau bagi keduanya, maka kedua wanita itu boleh tidak berpuasa saat hamil dan saat menyusui.

Jika bahaya puasa berakibat pada bayinya saja maka wanita itu harus mengqadha puasanya serta memberi makan kepada orang miskin setiap harinya, sedangkan jika bahaya puasa berakibat pada wanita itu, maka cukup bagi wanita itu mengqadha puasanya saja, hal itu dikarenakan wanita hamil dan menyusui termasuk dalam keumuman hukum yang terdapat pada firman Allah:

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin" (Al-Baqarah: 184)

At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, halaman 37.

Via HijrahApp

APAKAH KELUAR DARAH DARI YANG HAMIL TERMASUK YANG MEMBATALKAN SHAUM

Pertanyaan ke336:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Pada bulan Ramadhan yang mulia saya sedang keadaan hamil dan sayamengeluarkan darah pada tanggal dua puluhnya, walaupun demikian saya tetap berpuasa kecuali selama empat hari ketika saya di rumah sakit. Setelah Ramadhansaya mengqadha puasa saya yang empat hari itu, apakah saya hams berpuasa lagi sedangkan saya masih mengandung?

Jawaban:
Puasa Anda pada saat hamil yang disertai dengan keluamya darah adalah sah, darah itu tidak mempengaruhi puasaAnda sebab darah itu adalah istihadhah, sedangkan puasa yang Anda tinggalkan selama empat hari itu karena dirawcl di rumah sakit lalu Anda mengqadhanyasetelah Ramadhan sudah cukup, Anda tidak tidak perlu mengqadha puasa itu untuk kedua kalinya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Calmah litlfta', 10/225, fatwa nomor 13168.

Via HijrahApp

APAKAH KELUARNYA AIR KETUBAN DAPAT MEMBATALKAN PUASA

Pertanyaan ke347:
Al-Lajnah Ad-Da'imah ditanya: Seorang wanita tengah hamil sembilan bulan saat bulan Ramadhan. Pada permulaanbulan Ramadhan tersebut wanita itu mengeluarkan cairan, cairan itu bukan darah dan dia tetap berpuasa saat cairan itu keluar, hal ini telah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Yang saya tanyakan adalah, Apakah wanita itu diwajibkan untuk mengqadha puasa, sebab saat mengeluarkan cairan itu ia tetap berpuasa?

Jawaban:
Jika kenyataannya seperti yang disebutkan maka puasa wanita itu sah dan tidak perlu mengqadhanya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/221, fatwa nomor 6549.

Via HijrahApp

APAKAH KOSMETIK PELEMBAB DAPAT MEMBATALKAN PUASA

Pertanyaan ke345:
Syaikh Abdullah Al-Jibrin ditanya: Apakah kosmetik pelembab kulit dapat membatalkan puasa jika termasukjenis yang tidak menghalangi mengalimya air pada kulit?

Jawaban:
Tidak mengapa menggunakan kosmetik pelembab pada tubuh saat berpuasa jika hal itu dibutuhkan, karena pelembab itu hanya membasahkan permukaan kulit dan tidak masuk hingga ke dalam tubuh, kemudian jika pelembab itu diperkirakan dapat masuk ke dalam pori-pori kulit maka hal itu pun tidak termasuk yang membatalkan puasa.

Fatawa Ash-Shiyam, halaman 41.

Via HijrahApp

APAKAH SUAMI BERHAK UNTUK MELARANG ISTRINYA BERPUASA SUNAH

Pertanyaan ke368:
SyaikhAbdullah bin Jibrin ditanya: Apakah saya berhak untuk melarang istri saya jikaia hendak melakukan puasa sunat seperti puasa enam hari Syawal? Dan apakah perbuatan saya itu berdosa?

Jawaban:
Ada nash yang melarang seorang wanita untuk berpuasa sunat saatsuaminya hadir di sisinya (tidak bepergian/ safar) kecuali dengan izin suaminya, hal ini untuk tidak menghalangi kebutuhan biologisnya.

Dan seandainyawanita itu berpuasa tanpa seizin suaminya maka boleh bagi suaminya untuk membatalkan puasa istrinya itu jika suaminya ingin mencampurinya. Jika suaminya itu tidak membutuhkan hajat biologis kepada istrinya, maka makruh hukumnya bagi sang suami untuk melarang istri berpuasa jika puasa itu tidak membahayakan diri istrinya atau menyulitkan istrinya dalam mengasuh atau menyusui anaknya, baik itu berupa puasa Syawal yang enam hari ituataupun puasa-puasa sunat lainnya.

At-Tanbihat halaman 38.

Via HijrahApp

APAKAH WANITA HAIDH BOLEH BERBUKA DI BULAN RAMADHAN DAN BERPUASA PADA HAD DI LUAR BULAN RAMADHAN

Pertanyaanke318:
Apakah wanita haidh dibolehkan berbuka di bulan Ramadhan dan berpuasa menggantikan hari-hari tersebutdi luar bulan Ramadhan?

Jawaban:
Tidak sah puasanya seorang wanita yang sedang haidh, dan tidak boleh wanita haidh melaksanakan puasa. Jika seorang wanita mendapat haidh maka tidak boleh baginya- berpuasa, dan hendaknya ia mengqadha puasa itu pada hari-hari lain saat ia dalam keadaan suci.

Fatawa Ash-Shiyam, halaman 62.

Via HijrahApp

BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA WANITA MENYUSUI TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Pertanyaan ke325:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Hllfta' ditanya: Istri saya belum mengqadha puasanya selama kurang lebih tiga atauempat kali Ramadhan, ia belum mampu melaksanakan puasa qadha itu karena hamil atau menyusui, dan kini ia dalam keadaan menyusui.

Istri saya bertanya kepada Anda; apakah ia bisa mendapat keringanan(rukhshah) dengan memberi makan kepada orang miskin, sebab ia menemukan kesulitan yang besar dalam mengqadha puasa sebanyak tiga atau empat kali Ramadhan?

Jawaban:
Tidak ada masalah baginya untuk menunda qadha puasanya yang disebabkan adanya kesulitan pada dirinya karena hamil atau menyusui, dan kapan ia sanggup maka hendaklah ia bersegera melaksanakan qadha puasanya, karena ia dikenakan hukumi sebagai orang sakit, dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

"dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. " (Al-Baqarah: 184)

Tidak ada kewajiban memberi makan orang miskin atasnya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’, 10/221, fatwa nomor 6608.

Via HijrahApp

BAGAIMANA HUKUMNYA WANITA HAMIL DAN MENYUSUI JIKA TIDAK BERPUASA PADA BULAN RAMADHAN

Pertanyaan ke324:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Apa hukumnya bagi wanita hamil dan menyusui jika tidakberpuasa di bulan Ramadhan?

Jawaban:
Tidak boleh bagi wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa pada siang hari Ramadhan kecuali ada udzur (halangan), jika wanita itu tidakberpuasa karena ada suatu udzur, maka wajib bagi kedua wanita itu untuk mengqadha puasanya berdasarkan firman Allah tentang orang sakit:

"dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 185)

Wanita menyusui dan wanita hamil ini bisa disamakan atau diartikan sebagaiorang sakit, akan tetapi jika udzur kedua wanita itu karena ada rasa khawatir terhadap bayi atau janin yang dalam perut maka di samping mengqadha puasa,kedua wanita itu diharuskan memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya berupa makanan pokok, bisa berupa gandum, beras, korma atau lainnya.

Sebagianulama lainnya berpendapat: Tidak ada kewajiban bagi kedua wanita itu kecuali mengqadha puasa, karena tentang memberi makan orang miskin, tidak ada dalilnya dalam Al-Kitab maupun As-Sunnah, ini adalah madzhab Abu Hanifah dan merupakanpendapat yang kuat.

Ibid, hal. 66.

Via HijrahApp

BAGAIMANA HUKUMNYA WANITA HAMIL YANG TIDAK PUASA KARENA KHAWATIR TERHADAP JANINNYA

Pertanyaan ke327:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Jika wanita hamil tidak berpuasa karena khawatir terhadap janinnya, apa yang harus ia lakukan, apakah ada perbedaan antara kekhawatiran terhadap dirinya dan kekhawatiran terhadap janinnya menurut Imam Ahmad?

Jawaban:
Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah bahwa, jika seorang wanita hamil tidak berpuasa karena khawatir terhadap anaknya saja, maka ia harus mengqadha puasanya karena ia tidak berpuasa, dan bagi orang yang bertanggung jawab pada anaknya harus memberi makan seorang miskin setiap harinya, karena wanita itu tidak berpuasa untuk kemaslahatan anaknya.

Sebagian ulama berpendapat: Yang wajib bagi wanita hamil itu adalahmengqadha puasanya saja, baik tidak berpuasanya itu karena khawatir pada dirinya atau khawatir kepada anaknya atau khawatir pada keduanya, dan wanita itu dikategorikan sebagai orang yang sakit, dan tidak ada kewajiban bagi wanita tersebut selain itu.

Durus Fatawa M-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/47.

Via HijrahApp

BEBERAPA TAHUN YANG LALU TIDAK BERPUASA RAMADHAN KARENA HAIDH DAN BELUM MENGQADHANYA

Pertanyaan ke353:
SyaikhIbnu Baaz ditanya: Pada salah satu bulan Ramadhan beberapa tahun yang lalu,saya mendapat haidh oleh karenanya saya tidak berpuasa dan sampai saya belum mengqadha utang puasa itu, tapi saya tidak mengetahui berapa jumlah hari yang harus saya qadha itu, apa yang harus saya lakukan?

Jawaban:
Anda harus melaksanakan tiga hal:

Pertama:
Bertobat kepada Allah karena keterlambatan itu dan menyesali apa telahAnda mengabaikan suatu ketetapan Allah, di samping itu Anda harus bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi, karena Allah berfirman:

"Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (An-Nur: 31)

Menunda-nunda qadha puasa adalah suatu maksiat, maka bertaubat kepada Allahdari itu adalah suatu kewajiban.

Kedua:
Segera mengqadha puasa berdasarkan perkiraan Anda dalam menentukanjumlah harinya, karena Allah aza wajalla tidak membebani seseorang kecuali apa yang disanggupinya. Berapa jumlah hari yang telah Anda tinggalkan menurut dugaan Anda, maka sejumlah hari itulah yang harus Anda qadha.

Jika Anda perkirakanbahwa puasa yang harus Anda qadha itu sepuluh hari, maka hendaklah Anda berpuasasepuluh hari, dan jika Anda menduga bahwa jumlah lebih banyak ataukurang dari itu, maka berpuasalah Anda berdasarkan dari sepuluh hari maka berpuasalah Anda dengan berpatokan pada dugaan Anda itu, berdasarkan firman Allah:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengankesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

Dan Firman Allah:

"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (At-Taghabun: 16)

Ketiga:
Memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang Anda qadhaitu, dan itu bisa diberikan seluruhnya kepada satu orang miskin. Jika Anda sendiri seorang yang miskin sehingga tidak dapat memberi makan, maka tidak mengapa Anda tidak melakukan yang ini tetapi tetap bertaubat dan mengqadha puasa. Jika Anda mampu memberi makan, maka jumlah yang harus diberikan adalah setengah sha' makanan pokok, yaitu sekitar satu setengah kilogram.

Majmu'ah Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah, Syaikh Ibnu Baaz, 6/19.

Via HijrahApp

BELUM MENGQADHA PUASA YANG DITINGGALKAN PADA DUA TAHUN PERTAMA SEJAK MENJALANKAN PUASA WAJIB

Pertanyaan ke360:
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya: Saya seorang remaja putri berumur tujuh belas tahun, pertanyaan saya, bahwa pada dua tahun pertama sejak saya menjalankan puasa wajib, saya belum mengqadha puasa yang saya tinggalkan di bulan Ramadhan, apa yang harus saya lakukan?

Jawaban:
Wajib bagi Anda untuk segera mengqadha hari-hari puasa itu walaupun tidak berturut-turut. Di samping mengqadha Anda pun dikenakan denda, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang Anda tinggalkan, hal ini dikarenakan Anda telah menunda qadha puasa lebih dari satu tahun, sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

Ibid, halaman 77.

Via HijrahApp

BERNADZAR UNTUK BERPUASA SELAMA SATU TAHUN KEMUDIAN BERKATA BAHWA LA TAK MAMPU

Pertanyaan ke375:
Al-LajnahAd-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Seorang wanita bernadzar untuk berpuasa selamasatu tahun jika ia selamat melahirkan bayinya dan bayinya juga selamat dalam satu tahun dan ternyata apa yang diingini itu terjadi bahkan bayinya selamat lebih dari satu tahun, kemudian wanita itu sadar bahwaia tak sanggup untuk memenuhi nadzarnya itu?

Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa nadzar ketaatan adalah ibadah, dan Allah telah memuji orang-orang beriman yang memenuhi nadzarnya, Allah berfirman:

"Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang azabnyamerata di mana-mana."

Dalam Sunnah Rasul disebutkan, beliau bersabda:

"Barangsiapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah, maka hendaklah iamentaatiNya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk berbuat maksiat kepada Allahmaka hendaklah ia tidak melakukan perbuatan maksiat itu."

Seorang pria bernadzar bahwa bahwa ia hendak mengurbankan seekor unta di suatutempat, maka orang itu mendatangi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan beliau bersabda:

"Apakah di tempat itu terdapat salah satu berhala jahiliyah yangdisembah",

pria itu menjawab: Tidak, maka Nabi bertanya lagi:

Apakah tempat itu dijadikan tempat perayaan-perayaan mereka?,

pria itu menjawab: 'Tidak", Nabishalallahu alaihi wasallam bersabda:

"Penuhilah nadzarmu itu, karenasesungguhnya nadzar tidak boleh di penuhi jika dalam perbuatan maksiat kepada Allah dan nadzar tidak boleh dipenuhi pada sesuatu yang tidak dimiliki anak Adam.”

Dan sebagaimana yang disebutkan oleh penanya bahwa wanita itu bernadzar untukberpuasa selama satu tahun, sementara puasa satu tahun penuh dengan terus menerus setiap hari termasuk puasa sepanjang masa, sementara puasa sepanjang masa makruh hukumnya sebagaimana disebutkan dalam kitab Ash-Shahih dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda:

"Barangsiapa melaksanakan puasa sepanjang masa maka dia dianggap tidakberpuasa dan tidak pula berbuka.”

Dan tidak diragukan lagi bahwa melakukan ibadah yang makruh adalah kedurhakaanterhadap Allah, maka tidak perlu dilaksanakan nadzar yang mengandung ibadah makruh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: Seandainya seseorang bernadzar untuk melakukan ibadah makruh, seperti melakukan shalat tahajud sepanjang malam dan berpuasa sepanjang siang hari, maka tidak wajib baginya untuk melaksanakan nadzar tersebut.

Untuk itu, sebagai penggantinya, hendaklah si penanya membayar kaffarah yaniin (denda karena melanggar sumpah) yaitu memberi makan kepada sepuluh orang miskin, untuk masing masing orang miskin sebanyak setengah sha'kurma atau lainnya yang berupa makanan pokok setempat. Jika ia tak sanggup maka hendaklah ia berpuasa selama tiga hari berturut-turut.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, halaman 44-45.

Via HijrahApp

BILA WANITA HAMIL DAN WANITA MENYUSUI TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Pertanyaan ke330:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lit Ifta’ ditanya: Wanita yang sedang hamil atau menyusui yang khawatir pada dirinya atau anaknya jika berpuasa di bulan Ramadhan, lalu karena itu ia tidak berpuasa, apa yang harus ia lakukan nantinya.

Apakah ia harus mengqadha sertamemberi makan pada orang miskin, atau ia harus mengqadha saja tanpa perlu memberi makan kepada orang miskin, ataukah cukup baginya untuk memberi makan tanpa perlu mengqadha puasanya? Manakah yang benar diantara ketiga hal ini?

Jawaban:
Jika wanita hamil itu khawatir kepada dirinya atau anaknya jika berpuasa di bulan Ramadhan,maka hendaknya ia tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasanya saja. Statusnya saat itu adalah seperti orang yang tidak kuat untuk berpuasa atau takut akan timbulnya bahaya pada dirinya, sebagaimana firman Allah:

"dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 185)

Begitu juga halnya wanita yang menyusui, jika ia khawatir pada dirinya bilamenyusui anaknya sambil berpuasa di bulan Ramadhan, atau khawatir pada anaknya jika ia berpuasa lalu tidak dapat menyusui, maka boleh baginya berbuka, dan wajib baginya mengqadha saja.

Majalah Al-Buhuts Al-lslamiyah, edisi 14, halaman 109-110.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA HAMIL TIDAK BERPUASA

Pertanyaan ke326:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil ifta’ ditanya: Apakah ada rukhshah bagi wanita hamil di bulanRamadhanuntuk tidak berpuasa jika rukhshah itu ada baginya, apakah itu berlaku pada bulan-bulan tertentu saja di masa hamil yang umumnya sembilan bulan itu, ataukah keringanan itu hanya berlaku pada masa hamil.

Jikarukhshah itu ada baginya, apakah wajib qadha baginya ataukah boleh memberi makan orang miskin dan berapa-kah ukuran memberi makan itu? Kemudian, karena kita tinggal di daerah yang panas, apakah puasa itu dapat berpengaruh terhadap wanita hamil?

Jawaban:
Jika seorang wanita hamil khawatir adanya bahaya terhadap dirinya atau terhadap janinnya jika ia melaksanakan puasa di bulan Ramad-han, maka hendaknya ia tidak berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasa itu, baik ia tinggal di daerah panas ataupun di daerah dingin. Hal itu tidak dibatasi pada umur kehamilan tertentu, karena ia sama kedudukannya dengan orang sakit, dan Allah telah berfirman:

"dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 184)

Ibid, halaman 222, fatwa nomor 7785.

Via HijrahApp

BULAN RAMADHAN KEDUA TELAH DATANG TAPI LA BELUM MENGQADHA PUASA RAMADHAN YANG LALU

Pertanyaan ke357:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Sebagian wanita memasuki bulan Ramadhan yang baru dan belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, apa yang harus mereka lakukan?

Jawaban:
Yang wajib mereka lakukan adalah bertobat kepada Allah dari perbuatan ini, karena sesungguhnya tidak boleh bagi seseorang untuk menunda qadha puasanya hingga datangnya bulan Ramadhan kedua tanpa adanya udzur (halangan), berdasarkan ucapan Aisyah رضى الله عنها.: "Saya mempuyai utang puasa yang harus saya lunasi dan saya tidak bisa mengqadha puasa itu kecuali di bulan Sya'ban", hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh mengqadha puasa hingga datangnya bulan Ramadhan berikutnya.

Karena itu hendaknya para wanita itu bertobat kepada Allah atas apa yang telah mereka perbuat, dan mengqadha puasa tersebut setelah bulan Ramadhan kedua.

52 Su'alan an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 17-18.

Via HijrahApp

DI DEPAN KELUARGANYA LA BERPUASA, NAMUN SEBENARNYA DENGAN CARA SEMBUNYI-SEMBUNYI LA TIDAK BERPUASA SELAMA TIGA BULAN RAMADHAN

Pertanyaan ke356:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Seorang wanita berkata: Saya pada permulaan masa baligh berpura-pura puasa di depan keluarga saya tapi sebenamya saya tidak berpuasa selama tiga Ramadhan, setelah menikah saya bertobat kepada Allah, dan ketika saya hendak mengqadha puasa tiga bulan ini, suami saya mengatakan kepada saya: "Taubat itu untuk menghapus yang sebelumnya, dan dengan puasamu berarti engkau mengabaikan aku dan anak-anak".

Apakah saya tetap harus mengqadha puasa atau saya harus memberi makan 180 orang miskin?

Jawaban:
Jika pada dasamya wanita ini belum disyari'atkan untuk berpuasa maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengqadha puasa, karena kita punya kaedah yang amat penting yaitu: "Bahwa ibadah-ibadah yang telah ditentukan waktunya, jika seorang telah melewati waktunya tanpa udzur maka ibadahnya itu tidak diterima", berdasarkan hal ini kami berpendapat, jika wanita ini pada dasamya tidak berpuasa maka tidak kewajiban baginya untuk mengqadha, karena taubat itu untuk menebus yang sebelumnya.

Sedangkan jika wanita ini pada dasarnya disyari'atkan untuk berpuasa akantetapi ia tidak berpuasa pada pertengahan hah, maka wajib baginya untuk mengqadha dan tidak boleh bagi suaminya untuk mencegah istrinya itu, karena qadhanya itu adalah suatu kewajiban, dan tidak boleh bagi seorang suami untuk melarang istrinya mengqadha puasa yang wajib.

Ibid, 3/78.

Via HijrahApp

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG WANITA DI BULAN RAMADHAN

Pertanyaan ke377:
SyaikhShalih Al-Fauzan ditanya: Apakah faktor-faktor yang mendukung wanita untuk mencapai ketaatan kepada Allah di bulan Ramadhan?

Jawaban:
Faktor-faktor yang mendukung seorang Muslim, baik pria maupun wanita untuk melakukan ketaatan di bulan Ramadhan adalah:

1. Takut kepada Allah yang disertai keyakinan bahwa Allah aza wajalla senantiasa mengawasi hambaNya dalam seluruh perbuatannya, ucapannya danniatnya, dan bahwa semua perbuatannya itu akan mendapat balasan. Jika seorang Muslim telah memiliki perasaan ini maka ia akan menyibukkan dirinya dengan segala macam ketaatan kepada Allah dan bersegera untuk bertaubat dari segala macam maksiat.

2. Memperbanyak dzikir kepada Allah aza wajalla dan membaca Al-Qur'an, karenadengan demikian hatinya akan menjadi lunak, Allah berfirman:

"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. lngatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." (AR-Ra'd:28)

Dan firmanNya juga:

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka," (Al-Anfal: 2)

3. Menghindari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan hati menjadi keras dan menjauhkan dirinya dari Allah aza wajalla, yaitu seluruh perbuatan mak-siat,bergaul dengan orang-orang jahat, memakan yang haram, lalai dalam mengingat Allah dan menyaksikan film-film yang rusak.

4. Hendaknya wanita tetap tinggal di dalam rumahnya dan tidak keluar darirumahnya kecuali untuk suatu kebutuhan dengan segera kembali ke rumah jika keperluannya telah terpenuhi.

5. Tidur pada malam hari, karena hal yang demikian itu akan membantunya untuk bisa bangun lebih cepat di penghujung malam, dan mengurangi tidur di siang hari sehingga dapat melakukan shalat lima waktu tepat pada waktunya serta dapat memanfaatkan waktunya untuk ketaatan.

6. Menjaga lidah dari ghibah (menggunjing atau membicarakan aib orang lain),mengadu domba (menebarkan provokasi), berdusta dan mengumbar perkataan haram lainnya, sebagai penggantinya hendaknya ia menyibukkan dirinya dengan berdzikir.

Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Al-Fauzan.

Via HijrahApp

HAIDH DATANG BEBERAPA SAAT SEBELUM MATAHARI TERBENAM

Pertanyaan ke311:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya: Seorang wanita tengah berpuasa, beberapa saat sebelum adzan Magrib ia mendapatkan haidh, apakah ia harus membatalkan puasanya?

Jawaban:
Jika haidh datang beberapa saat sebelum Maghrib maka puasanya bataldan ia diwajibkan mengqadha puasa pada hari itu di hari lain, akan tetapi jika haidh itu datang setelah terbenamnya matahari maka puasanya sah dan tidak wajib baginya mengqadha puasa tersebut.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’, 10/155, fatwa nomor 10343.

Via HijrahApp

HIKMAH DARI DIWAJIBKANNYA MENGQADHA PUASA TANPA MENGQADHA SHALAT BAGI WANITA HAIDH

Pertanyaan ke362:
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta’ ditanya: Apakah hikmah yang terkandung dalam ketetapan syari'at bahwa wanita haidh wajib mengqadha puasa tanpa diwajibkan mengqadha shalat?

Jawaban:
Pertama, telah diketahui bahwa kewajiban seorang muslim adalah melaksanakan apa-apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan menahan diri dari segala sesuatu yang dilarang Allah, baik ia tahu ataupun tidak tahu hikmah dari perintah dan larangan itu, yang disertai dengan keyakinan bahwa Allah tidak akan memerintah hambanya melainkan dalam perintah itu terdapat kebaikkan bagi mereka, dan Allah tidak akan melarang mereka dari sesuatu melainkan karena yang dilarang itu mengandung bahaya bagi mereka.

Semua ketetapan yang terdapat dalam syari'at Allah pastimemiliki hikmah yang telah diketahui Allah, yang di antaranya ditampakkan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambanya. Demikian ini agar seorang mukmin menjadi bertambah imannya kepada Allah, dan agar Allah bisa merahasiakan dengan apa yang dikehendakiNya agar seorang mukmin bertambah keimanannya dengan kepasrahannya terhadap perintah Allah.

Kedua: Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat itu banyak dan berulang-ulang,yaitu lima kali dalam sehari semalam sehingga untuk mengqadhanya adalah suatu hal yang sulit bagi wanita haidh, walaupun haidhnya itu hanya satu atau dua hari, Allah berfirman:

"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah." (An-Nisa: 18)

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 5/397.

Via HijrahApp

HUKUM MENCICIPI MAKANAN KETIKA BERPUASA

Pertanyaanke373:
Apa hukumnya mencicipi makanan bagi wanita yang berpuasa disiang hari Ramadhan?

Jawaban:
Boleh melakukan hal itu untuk suatu keperluan akan tetapi ia harus membuang (meludahkan) kembali apa yang dicicipinya itu.
52 Sualan 'an Ahkamlt Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 20.

Via HijrahApp

HUKUM MENGGUNAKAN CELAK MATA DAN PERLENGKAPAN KECANTIKAN LAINNYA DI SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan ke342:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Apa hukumnya menggunakan celak mata dan perlengkapan kecantikan lainnya bagi kaum wanita pada siang hari bulan Ramadhan, apakah hal ini dapat membatalkan puasanya atau tidak?

Jawaban:
Celak mata tidak membatalkan puasa kaum pria maupun kaum wanita menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, akan tetapi memakainya pada malam hari lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa.

Begitu juga menggunakan perlengkapan kecantikan wajah lainnya yang berhubungan dengan wajah, seperti sabun, cream dan sejenisnya yang berhubungan dengan kulit, termasuk inai, make up dan sebagainya, hanya saja make up sebaiknya tidak digunakan jika dapat merusak wajah.

Kitab Fatawa Ad-Dawah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/170.

Via HijrahApp

HUKUM MENGISI BULAN RAMADHAN DENGAN BEGADANG, BERJALAN-JALAN DI PASAR DANTIDUR

Pertanyaan ke376:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Wanita Muslimah zaman sekarang banyak menghabiskan bulan Ramadhan dengan begadang di depan televisi atau video atau siaran dari parabola atau berjalan di pasar-pasar dan tidur, apa saran Anda kepada wanita Muslimah ini?

Jawaban:
Yang disya'riatkan bagi kaum Muslimin baik pria maupun wanita adalah menghomnati bulan Ramadhan, dengan menyibukkan dirinya pada perbuatan-perbuatan ketaatan serta menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat dan pekerjaan buruk lainnya di setiap waktu, lebih-lebih lagi di bulan Ramadhan karena kemuliaan Ramadhan.

Begadang untuk menonton film atau sinetron yang ditayangkan televisi atau video atau lewat parabola atau mendengarkan musik dan lagu, semua perbuatan itu adalah haram dan merupakan perbuatan maksiat, baik di bulan Ramadhan ataupun bukan. Dan jika perbuatan itu diiakukan di bulan Ramadhan maka dosanya akan lebih besar.

Kemudian jika begadang yang diharamkan ini ditambah lagi dengan melalaikankewajiban dan meninggalkan shalat karena tidur di siang hari, maka ini adalah perbuatan maksiat lainnya. Begitulah watak perbuatan maksiat, saling dukung mendukung, jika suatu perbuatan maksiat diiakukan maka akan menimbulkan perbuatan maksiat lainnya, begitu seterusnya.

Haram hukumnya wanita pergi ke pasar-pasar kecuali untuk suatu keperluanyang mendesak. Keluarnya wanita harus sebatas keperluan dengan syarat ia harus menutup aurat serta menjauhkan diri dari bercampur dengan kaum pria atau berbicara dengan mereka kecuali sebatas keperluan hingga tidak menimbulkan fitnah. Dan hendaknya ia jangan terlalu lama keluar rumah hingga melalaikan shalatnya karena keburu tidur ketika sampai di rumah, atau menyia-nyiakan hak-hak suami dan anak-anaknya.

Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanamiyah, Syaikh Ibnu Baaz.

Via HijrahApp

HUKUM MENGQADHA ENAM HARI PUASA SYAWAL

Pertanyaan ke366:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulanSyawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesuciannya ia mengqadha puasa Ramadhan.

Apakah diharuskan baginyauntuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walaupun puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja, dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak?

Jawaban:
Puasa enam hari di bulan Syawal sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah:

"Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasaenam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" (Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secaraberurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah aza wajalla:

"dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha(kepadaku)." (Thaha: 84)

Juga berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkankeutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah:

"Amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakanwalaupun sedikit."

Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal,karena puasa tersebut adalah puasa sunat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.

Ibid, halaman 107.

Via HijrahApp

HUKUM PUASA SUNNAH BAGI WANITA BERSUAMI

Pertanyaan ke369:
SyaikhShalih Al-Fauzan ditanya: Bagaimanakah hukum puasa sunat bagi wanita yang telahbersuami?

Jawaban:
Tidak boleh bagi wanita untuk berpuasa sunat jika suaminya hadir (tidak musafir) kecuali dengan seizinnya, berdasarkan hadit syang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa saat suaminyabersamanya kecuali dengan seizinnya"

dalam riwayat lain disebutkan: "kecuali puasa Ramadhan”. Adapun jika sang suami memperkenankannya untuk berpuasa sunat,atau suaminya sedang tidak hadir (bepergian),atau wanita itu tidak bersuami, maka dibolehkan baginya menjalankan puasa sunat, terutama pada hari-hari yang dianjurkan untuk berpuasa sunat yaitu: Puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari dalam setiap bulan, puasa enam hari di bulan Syawal, puasa pada sepuluh hari di bulan Dzulhijjah dan di hari 'Arafah, puasa 'Asyura serta puasa sehari sebelum atau setelahnya.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 19.

Via HijrahApp

HUKUM PUASANYA WANITA HAIDH DAN WANITA NIFAS

Pertanyaan ke317:
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya: Apa hukum puasa yang dilakukan oleh wanita yang sedang haidh dan yang sedang nifas?

Jawaban:
Diharamkan berpuasa bagi wanita haidh dan nifas, dan wajib bagi wanita itu untuk mengqadha hari-hari puasa itu pada hari-hari lain berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain, dari Aisyah رضى الله عنها , bahwa ia berkata: "Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat", ia mengucapkan hal itu karena ditanya oleh seorang wanita: "Kenapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidak mengqadha shalat?" Kemudian Aisyah menerangkan bahwa hal ini adalah petunjuk yang harus diikuti berdasarkan nash.

At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, halaman 37.

Via HijrahApp

IBU SAYA TELAH LANJUT USIA, LA BERPUASA SELAMA LIMA BELAS HARI KEMUDIAN TIDAK BERPUASA KARENA TAK SANGGUP

Pertanyaan ke365:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Ibu saya sakit, tepatnya beberapa hari sebelum bulan Ramadhan, penyakit itu cukup menyiksanya sementara ia telah lanjut usia sehingga hanya mampu berpuasa selama lima belas hari di bulan Ramadhan itu, kemudian untuk menyempumakan puasa di bulan itu ia tidak sanggup, dan juga tidak mampu untuk mengqadhanya.

Apakah boleh ia bersedekah sebagai pengganti puasa yang ditinggalkannya, danberapakan besamya sedekah itu untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Perlu diketahui bahwa saat ini saya yang bertanggung jawab atas nafkahnya, dan apakah boleh saya membayar sedekahnya itu di saat ia tidak mampu untuk bersedekah?

Jawaban:
Barangsiapa yang tidak sanggup berpuasa karena usianya yang telah lanjut atau karena sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka ia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya, Allah berfirman:

"Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin" (Al-Baqarah: 184)

Ibnu Abbas berkata: "Ayat ini diturunkan untuk memberi rukhsah(keringanan) kepada orang tua yang telah lanjut usia baik pria maupun wanita yang tidak sanggup berpuasa, maka keduanya harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari (yang ditinggalkannya)." (HR. Al-Bukhari)

Dengan demikian, wajib bagi ibu Anda memberi makan kepada seorang miskinuntuk setiap hari yang ditinggalkannya, yaitu sebanyak setengah sha' yangberupa makanan pokok setempat, jika wanita itu tidak memiliki sesuatu yang harus ia berikan untuk menebus dirinya, maka tidak ada kewajiban apapun baginya.

Jika Anda inginmemberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan itu atas nama ibu Anda, maka hal itu termasuk perbuatan yang baik, dan sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.

Ibid, halaman 58.

Via HijrahApp

ISTRI SAYA HAMIL DAN MENGELUARKAN DARAH PADA PERMULAAN RAMADHAN

Pertanyaanke314:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Istri saya sedang hamil dua bulan, tapi ada tetesan darah yang keluar darinya pada permulaan bulan Ramadhan, tepatnya setelah Isya, beberapa hari setelah itu ia mengeluarkan tetesan lain Sebelum terbenamnya matahari, saat itu ia tetap meneruskan puasanya, mohon keterangan Anda tentang hal ini?

Jawaban:
Jika wanita itu hamil dan mengeluarkan darah secara tidak teratur, yaitu tidak seperti Sebelum hamil, maka darah ini bukan masalah, baik setetes atau dua tetes ataupun banyak, karena darah yang keluar dari wanita hamil itu dianggap darah rusak (darah penyakit), lain halnya jika keluamya darah tersebut secara teratur sebagaimana keluarnya darah Sebelum hamil, maka darah tersebut dianggap darah haidh.

Adapun jika darah tersebut berhenti kemudiankeluar lagi seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, maka bagi wanita itu tetap diwajibkan puasa dan shalat, puasanya sah dan begitu pula dengan shalatnya.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/63.

Via HijrahApp

JIKA MENDAPAT KESUCIAN SETELAH SHUBUH

Pertanyaanke310:
Syaikh Muhammad bin Shallh Al-Utsaimin ditanya: Jika seorang wanita mendapatkan kesuciannya tepat setelah waktu Shubuh, apakah ia harus tetap berpuasa pada hari itu, ataukah ia harus mengqadha puasa hari itu di hari lain?

Jawaban:
Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya setelah terbitnya fajar, tentang keharusannya berpuasa pada hari itu, ada dua pendapat ulama; pendapat pertama: Diwajibkan baginya berpuasa pada hari itu, akan tetapi puasanya itu tidak mendapat imbalan, bahkan wajib baginya un-tuk mengqadha puasa, ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan Madzhab Imam Ahmad,

pendapat kedua adalah: Tidak wajib baginya berpuasa pada hari itu,karena pada permulaan hari itu ia dalam keadaan haidh yang menjadikan bukan termasuk golongan orang-orang yang wajib berpuasa, sehingga dengan demikian (bila ia berpuasa maka) puasanya itu tidak sah, jika puasanya itu tidak sah maka tidak ada faedah baginya melakukan puasa pada hari itu, juga dikarenakan pada hari ini ia diperintahkan untuk tidak berpuasa pada permulaan hari itu, bahkan haram baginya berpuasa pada hari itu,

sebab puasa yang disyari'atkan sebagaimana kita keta-hui adalah:menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sebagai suatu ibadah kepada Allah swt dari sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, menurut pendapat kami inilah pendapat yang lebih kuat dari pendapat yang mewajibkan wanita itu untuk berpuasa. Kedua pendapat itu mengharuskan qadha puasa hari tersebut.

52 Su'alan an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 9-10.

Via HijrahApp

KAPAN REMAJA PUTRI DIWAJIBKAN UNTUK BERPUASA

Pertanyaanke306:
Syaikh Abdullah binJibrin ditanya: Kapankah seorang remaja putri diwajibkan puasa?

Jawaban:
Wajib puasa bagi remaja putri yang telah mencapai usia baligh,biasanya umur baligh itu pada umur lima belas tahun, atau tumbuh bulu yang kasar di sekitar kemaluannya, atau telah mengeluarkan air mani, atau telah mengalami haidh, atau telah mengalami kehamilan.

Jika salahsatu di antara lima hal itu telah dialami maka wajib baginya untuk berpuasa, walaupun ia baru berumur sepuluh tahun, karena ada kalanya seorang wanita telahmengalami haidh pada umur sepuluh tahun atau sebelas tahun, namun keluarganya seringkali mengabaikan hal ini karena menduga bahwa ia masih kecil sehingga tidak menyuruhnya berpuasa.

Ini tindakan yang salah, karenasesungguhnya seorang remaja putri yang telah haidh, maka ia telah menjadiwanita baligh, dengan demikian telah berlaku baginya ketetapan-ketetapansyari'at sebagaimana orang dewasa lainnya.

Fatawa Ash-Shiyam, Syaikh Abdullah bin Jibrin, halaman 22-23.

Via HijrahApp

MELAHIRKAN DI BULAN RAMADHAN KEMUDIAN IA TIDA MENGQADHA KARENA ADA KEKHAWATIRAN PADA BAYI, KEMUDIAN BULAN RAMDHAN SELANJUTNYA IA MELAHIRKAN LAGI

Pertanyaan ke323:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Seorang wanita melahirkan di bulan Ramadhan dan setelah Ramadhan itu ia tidak mengqadha puasanya karena kekhawatirannya pada si bayi yang sedang menyusu, kemudian wanita itu hamil dan melahirkan pada bulan Ramadhan selanjutnya, bolehkah bagi wanita itu untuk membagikan uang sebagai pengganti puasa?

Jawaban:
Yang wajib bagi wanita ini adalah mengqadha puasanya selama hari-hari puasa yang ia tinggalkan di bulan Ramadhan walaupun puasa itu diqadha di hari-hari setelah Ramadhan yang kedua, hal itu dikare-nakan ia tidak mengqadha puasa antara Ramadhan pertama dan Ramadhan kedua yang disebabkan adanya suatu alasan atau udzur.

Saya tidak tahu, apakah hal itu akan menyulitkannya atau tidak dalam mengqadha puasa itu di musim dingin dengan dicicil sehari demi sehari, sebenarnya jika ia menyusui maka sesungguhnya Allah akan memberi kekuatan padanya hingga puasa itu tidak mempengaruhi dirinya juga tidak memberi pengaruh kepada air susunya.

Dan hendaknya wanita itu berusaha semampu mungkin untuk mengqadha puasaRamadhan yang telah berlalu sebelum datangnya Ramadhan yang kedua, jika hal itu tidak bisa ia lakukan maka tidak masalah baginya untuk menunda qadha puasanya itu hingga setelah Ramadhan kedua.

Fatawa Ash-Shiyam, halaman 68.

Via HijrahApp

MEMAKSA ISTERI UNTUK TIDAK BERPUASA DENGAN CARA MENCAMPURINYA

Pertanyaan ke333:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Jika seorang pria mencampuri isterinya di siang hari padabulan Ramadhan, yang mana hal itu dilakukan karena dipaksa suaminya. Perlu diketahui, bahwa kedua orang itu tidak sanggup memerdekakan budak dan tidakmampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut karena kesibukan keduanya dalam mencari nafkah, apakah tebusannya cukup dengan memberi makan kepada orang miskin dan berapa ukurannya serta apa jenisnya?

Jawaban:
Jika seorang pria memaksa istrinya untuk bersenggama saat keduanya berpuasa, maka puasa sang istri sah dan tidak dikenakan kaffarah(tebusan) baginya, namun sang suami dikenakan kaffarah karena persetubuhan yang ia lakukan itu jika dilakukan pada siang hari di bulan Ramadhan.

Kaffarahnyaadalah memerdekakan seorang hamba sahaya, jika ia tidak menemukan hamba sahaya maka hendaknya ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika ia tidaksanggup maka hendaknya ia memberi makan orang miskin sebanyak enam puluh orang berdasarkan hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan dalam Ash-Shahihain, dan bagi sang suami harus mengqadha puasanya.

Ibid, halaman 50.

Via HijrahApp

MEMAKSA ISTRI UNTUK TIDAK BERPUASA

Pertanyaan ke334:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Pada bulan Ramadhan lalu saya menderita beberapa penyakit hingga saya tidak sanggup berpuasa, maka saya tidak berpuasa dan saya memaksakan istri saya yang menemani saya selama masa penyembuhan untuk tidak berpuasa pula, dan apakah cukup saya memberi makan kepada orang miskin karena saya tidak sanggup berpuasa?

Apakah boleh bagi saya melakukan itu terhadap istri saya, bolehkah saya memberi makan orang miskin sebagai kaffarah saya dan bolehkah saya memberi makan orang miskin atas nama istri saya, karena sekarang ia sedang menyusui anak kami?

Jawaban:
Anda tidak berpuasa karena penyakit yang Anda alami adalah merupakan keringan dari Allah berdasarkan firman Allah:

"Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (laluia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 184)

Sedangkan pemaksaan terhadap istri Anda untuk tidak berpuasa, maka di sinisaya tidak melihat adanya alasan, karena istri Anda itu tidak sedang sakit, bukan sebagai musafir dan bukan sebagai orang yang memiliki udzur.

Anda telah melakukan kesalahan dalam hal ini, dan hendaknya istri Anda mengqadha hari-hari puasa yang telah ia tinggalkan, jika telah datang bulan Ramadhan berikutnya sementara ia belum mengqadha puasanya tanpa adanya udzur, maka disamping tetap mengqadha puasa diwajibkan baginya untuk memberi makan seorang miskin sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Jika iatidak sanggup mengqadha puasa pada sekarang karena ia sedang menyusui, maka ia tetap harus mengqadha puasa itu pada saat yang memungkinkan baginya untuk mengqadha.

Ibid

Via HijrahApp

MEMPUNYAI UTANG PUASA SELAMA DUA RATUS HARI KARENA KETIDAKTAHUANNYA DAN SEKARANG SEDANG SAKIT

Pertanyaan ke354:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Seorang wanita beusia lima puluh tahun tengah menderita diabetes (penyakit gula), sementara puasa baginya adalah suatu hal yang sangat memberatkan karena kondisinya yang seperti itu.

Kendati demikian ia tetap berpuasa pada bulan Ramadhan, hanya saja ia tidak tahu bahwa hari-hari haidhnya di bulan Ramadhan harus diqadha, dan jika dihitung masa haidhnya selama beberapa tahun lalu itu, maka ia harus mengqadha puasa selama dua ratus hari, bagaimanakah hukumnya yang dua ratus hari ini, sebab kini ia sedangsakit?

Apakah Allah mengampuni apa yang telah lalu itu, ataukah ia tetap harus berpuasa dan memberi makan orang yang berpuasa?Apakah mesti memberi makan kepada orang yang berpuasa, atau memberi makan kepada sembarang orang miskin?

Jawaban:
Jika keadaannya seperti yang digambarkan oleh penanya, yaitu puasa akan membahayakan dirinya karena usianya yang telah lanjut atau karena penyakit yang dideritanya, maka ia harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya sebanyak hari tersebut.

Begitu juga dengan puasa-puasa yangakan datang jika berpuasa itu menyulitkan baginya dan tidak ada harapan untuk keluar dari kesulitannya itu, yaitu harus memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/64.

Via HijrahApp

MENCAMPURI ISTRI TANPA MENGELUARKAN MANI

Pertanyaan ke340:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Seorang pria menyetubuhi istrinya pada siang hariRamadhan tanpa mengeluarkan mani, bagaimana hukumnya? Dan bagaimana pula hukumnya jika istrinya tidak mengerti hal ini?

Jawaban:
Bersetubuh di siang hari Ramadhan saat suami berpuasa dan tidakdalam perjalanan maka ia dikenakan kaffarah, yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika hal itu tidak didapatkan dipenuhi maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika hal itu tidak sanggup dilakukan maka ia harus memberimakan kepada enam puluh orang miskin.

Kaffarah yang sama juga dikenakan bagi istrinya, jikaia melakukan hal itu dengan rela, namun jika dilakukan dengan terpaksa maka wanita itu tidak dikenakan apa pun. Adapun bila keduanya itu dalam keadaan musafir maka tak ada dosa, tak ada kaffarah dan tidak perlu berpuasa pada sisa hari itu melainkan keduanya harus mengqadha puasa hari itu saja, karena orang musafir tidak diwajibkan untuk puasa.

Begitu pula bagi orang yang tidak melakukan puasa karena keadaan darurat, seperti menolong orang dari kebinasaan, jika ia bersetubuh pada saat tidak berpuasa karena sebelumnya ia tidak berpuasa karenamenolong seseorang, maka hal itu tidak mengapa, karena saat itu adalah saat yang tidak merusak puasa wajib karena sedang tidak berpuasa. Tapi bila seseorang tengahberpuasa dan muqim (bukan musafir) jika ia bersetubuh maka ia dikenakan lima hal yaitu:

1. Berdosa

2. Puasanya rusak

3. Wajib meneruskan puasa hari itu

4. Wajib mengqadha puasa hari itu

5. Wajib melaksanakan kaffarah.

Dalil kaffarah adalah hadits Abu Hurairah tentang seorang pria yang menyetubuhiistrinya pada siang hari Ramadhan, yaitu jika orang ini tidak mampu memerdekakan budak, tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan tidak mampu memberi makan enam puluh orang miskin, maka kewajiban kaffarah itu hilangkarena Allah tidak akan memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya, sebab tidak ada kewajiban jika disertai ketidakmampuan.

Dalam hal ini tidak ada bedanya antara bersetubuh yang menyebabkan keluarnya mani ataupun tidak mengeluarkan mani jika persetubuhan itu telah dilakukan. Lain halnya jika keluarnya mani itu tanpa bersetubuh, maka dalam hal ini tidak ada kaffarah, melainkan berdosa dan diwajibkan melanjutkan puasa serta mengqadha puasanya juga.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/46-47.

Via HijrahApp

MENCAMPURI ISTRI DI SLANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan ke338:
Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin ditanya: Saya seorang pemuda, saya pernah mencampuri istri saya di siang hari Ramadhan, apakah saya harus membeli kurma untuk saya sedekahkan?

Jawaban:
Jika ia seorang pemuda maka berarti ia sanggup untuk berpuasa selama dua bulan beturut-turut, kita memohon kepada Allah agar pemuda itu diberi kekuatan untuk melaksanakan puasa selama dua bulan itu. Jika seorang telah bertekad keras untuk melaksanakan suatu pekerjaan maka hal itu akan mudah dikerjakannya, dan sebaliknya jika dirinya telah diliputi rasa malas maka perbuatan itu akan terasa berat sehingga hal tersebut akan mempersulit dirinya dalam melaksanakannya.

Kita harus mengucapkan puji dan syukur kepada Allah, karena Allah telah menetapkan sesuatu yang yang harus kita kerjakan di dunia yang dapat menghindarkan diri kita dari siksa Akhirat. Maka kepada pemuda ini kami katakan: Hendaklah Anda berpuasa selama dua bulanpenuh berturut-turut, jika cuaca panas dan siang hari panjang, maka Anda mempunyai kesempatan menundanya hingga musim dingin.

Hal yang sama diberlakukan pula pada pihak wanita yaitu istri Andajika ia turut serta secara rela, namun jika si istri melakukan hal itu dengan terpaksa dan tak ada kesempatan untuk menghindar, maka puasa wanita itu sah sehingga tidak perlu mengqadhanya dan tidak perlu melaksanakan kaffarah.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/60.

Via HijrahApp

MENCEGAH HAIDH AGAR BISA BERPUASA

Pertanyaan ke370:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apa pendapat Anda tentang wanita yang mengkonsumsi pilpencegah haidh hanya untuk bisa berpuasa bersama orang-orang lainnya di bulan Rama-dhan?

Jawaban:
Saya peringatkan untuk tidak melakukan hal-hal semacam ini, karena pil-pil pencegah haidh ini mengandung bahaya yang besar, ini saya ketahui dan pada dokter yang ahli dalam bidang ini. Haidh adalah suatu ketetapan Allah yang diberikan kepada kaum wanita, maka hendaklahAnda puas dengan apa yang telah Allah tetapkan, dan berpuasalah Anda jika Anda tidak berhalangan. Jika Anda berhalangan untuk berpuasa maka janganlahberpuasa, hal itu sebagai ungkapan keridhaan pada apa yang telah Allah ditetapkan.

Ibid

Via HijrahApp

MENCIUM ISTRI DAN MENCUMBUINYA KETIKA BERPUASA

Pertanyaan ke341:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Bolehkah orang yang sedang puasa memeluk istrinya dan mencumbuinya di atas ranjang pada bulan Ramadhan?

Jawaban:
Ya, boleh bagi orang yang sedang berpuasa untuk mencium dan mencumbui istrinya dalam keadaan berpuasa, baik di bulan Ramadhan ataupun bukan di bulan Ramadhan. Akan tetapi jika hal itu menyebabkannya mengeluarkan mani, maka puasanya batal, walaupun demikian wajib baginya untuk meneruskan puasanya serta diwajibkan pula baginya untuk mengqadha puasa hari itu.

Jika hal itu terjadi bukan pada bulan Ramadhan maka puasanya batal dan tidakperlu meneruskan puasa pada sisa hari itu, akan tetapi jika puasanya itu adalah puasa wajib maka wajib baginya untuk mengqadha puasa itu, namun jika itu puasa sunat maka tidak ada masalah baginya.

Ibid, 3/64-65.

Via HijrahApp

MENDAPAT KESUCIAN SETELAH TUJUH HARI MELAHIRKAN LALU BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Pertanyaan ke321:
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta'ditanya: Istri saya melahirkan seorang bayi beberapa hari sebelumRamadhan, tepatnya tujuh hari sebelum Ramadhan, dan sebelum masuk Ramadhan ia telah mendapat kesuciannya dari nifas, puasa yang ia lakukan itu sah? Ataukah ia harus mengqadha puasanya itu? Perlu diketahui bahwa menurutnya, ia menjalankan puasa itu karena ia telah suci.

Jawaban:
Jika keadaannya seperti apa yang Anda sebutkan dalam pertanyaan,yaitu bahwa istri Anda berpuasa dalam keadaan suci di bulan Ramadhan, maka puasa istri Anda itu sah dan tidak wajib baginya untuk mengqadha puasanya itu.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/155-156, fatwa nomor 10138.

Via HijrahApp

MENDAPAT KESUCIAN DARI HAIDH ATAU DARI NIFAS SEBELUM FAJAR DAN TIDAK MANDI KECUALI SETELAH FAJAR

Pertanyaanke 316:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari haidh atau dan nifas sebelum fajar dan tidak mandi kecuali setelah fajar, apakah puasanya sah atau tidak?

Jawaban:
Ya, sah puasa wanita itu yang mendapat kesuciannya dari haidh sebelum fajar dan belum mandi kecuali setelah terbitnya fajar, begitu pula wanita yang mendapat kesuciannya dari nifas, karena pada saat itu ia telah termasuk pada golongan orang yang wajib puasa, dan dia sama halnya dengan orang yang junub di waktu fajar, orang yang junub di waktu fajar puasanya sah berdasarkan firman Allah:

"Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telahditetapkan Allah untukmu, dan makan minnmlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (Al-Baqarah: 187)

Maka jika Allah mengizinkan bersetubuh hingga tiba waktu fajar makadibolehkan mandi junub setelah terbitnya fajar. Juga berdasarkan hadits Aisyah : "Bahwa Nabi di waktu Shubuh dalam keadaan junub karena mencampuri istrinya dan beliau tetap berpuasa". maksudnya bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم tidak mandi junub kecuali setelah waktu Shubuh. '

Ibid, halaman 11.

Via HijrahApp

MENGELUARKAN DARAH SELAMA TIGA TAHUN, APA YANG HARUS DILAKUKAN DI BULAN RAMADHAN

Pertanyaan ke374:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Seseorang berkata: Saya mempunyai seorang ibu berumur enam puluh lima tahun dan selama sembilan belas tahun ini ia tidak mendapatkan anak. la mengalami pendarahan selama tiga tahun, dan tampaknya hal itu adalah penyakit. Karena dia akan menghadapi puasa, maka mohon dengan hormat apa nasehat yang perlu Anda sampaikan untuknya? Dan apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
Wanita seperti ini, yang menderita pendarahan, hukumnya yaitu meninggalkan shalat dan puasa pada masa-masa haidhnya dahulu sebelum datangnya penyakit yang ia derita saat ini. Jika kebiasaan haidhnya datang di awal bulan selama enam hari misalnya, maka ia harus meninggalkan puasa dan shalat setiap awal bulan selama enam hari, selesai enam hari itu ia harus mandi, shalat dan berpuasa.

Adapun shalat wanita ini adalah, terlebih dahulumencuci kemaluannya hingga bersih atau memberi pembalut kemudian berwudhu, dan hal itu dilakukan setelah masuk waktu shalat wajib, begitu juga jika ia ingin melakukan shalat sunat di luar waktu shalat wajib.

Dalam keadaan seperti itu untuk tidakmenyulitkannya maka ia dibolehkan menjama' shalat Zhuhur dengan shalat Ashar dan Maghrib dengan shalat Isya, jadi bersuci yang ia lakukan sekali dapat untuk melakukan dua shalat, sehingga untuk melaksanakan shalat lima waktu dapat dikerjakan dengan tiga kali.

Saya ulangi sekali lagi, ketika akan bersuci, hendaklah ia membersihkankemaluannya terlebih dahulu dan membalutnya dengan kain atau lainnya untuk mengurangi yang keluar, kemudian berwudhu dan shalat. Shalat Zhuhur empat rakaat, Ashar empat rakaat, Maghrib tiga rakaat, Isya empat rakaat dan Shubuh dua rakaat. Tidak mengqashar sebagaimana yang dikira oleh orangorang.

Tetapi boleh menjama'Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya, baik berupajama' ta'khir maupunjama' taqdim. Dan bila ia hendak shalat sunat dengan wudhu tadi maka tidak apa-apa.

Ibid, halaman 25-26.

Via HijrahApp

MENGGAULI ISTRI PADA SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan ke339:
Syaikh Shalih Al-FAuzan ditanya: Seorang pria menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan selama tiga hari berturut-turut, apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
Jika seorang yang berpuasa bersetubuh saat berpuasa, maka ia telah melakukan dosa yang besar, wajib baginya untuk bertobat kepada Allah dari dosa yang ia lakukan itu dan mengqadha puasanya itu. Di samping itu wajib baginya untuk melaksakan kaffarah (memenuhi tebusan), yaitu memerdekakan hamba sahaya, jika tidak bisa maka ia harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak sanggup maka ia harus memberi makan kepada enam puluh orang miskin, setiap orang miskin mendapatkan setengah sha' makanan pokok.

Kaffarah itu dilakukan sesuaidangan jumlah hari yang ia gunakan untuk bersetubuh yaitu setiap satu hari satu kaffarah tersendiri. Wallahu a'lam?

Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/116.

Via HijrahApp

MENGGUNAKAN ALAT-ALAT KECANTIKAN MODERN SAAT BERPUASA

Pertanyaan ke343:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Saya menggunakan alat-alat kecantikan modem saat berpuasa, apakah saya dikenakan sesuatu karena menggunakannya?

Jawaban:
Tidak ada apa pun yang dikenakan pada seorang wanita yang berpuasa jika ia menggunakan cream pada wajahnya, baik untuk mempercantik dirinya ataupun bukan, yang penting semua kosmetik ini dengan segala macam rupanya yang digunakan di wajahnya atau di punggungnya atau di bagian badan lainnya tidak ada pengaruhnya terhadap orang yang sedang berpuasa dan tidak membatalkannya.

Fatawa wa Durus Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/65.

Via HijrahApp

MENGGUNAKAN INAI PADA RAMBUT SAAT BERPUASA

Pertanyaan ke344:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Apakah boleh menggunakan inai pada saat berpuasa dan saat shalat, karena saya telah mendengar pendapat yang menyatakan bahwa inai dapat membatalkan puasa?

Jawaban:
Pendapat itu tidak benar, karena sesungguhnya menggunakan inai saat puasa tidak membatalkan puasa dan tidal berdampak apa pun bagi orang yang berpuasa, sama halnya dengan menggunakan celak mata, dan sama halnya juga dengan menggunakan obat tetes mata atau obat tetes untuk telinga, karena semua itu tidak dapat membahayakan puasa seseorang dan tidak membatalkan puasa.

Adapun menggunakan inai saat shalat, saya tidak paham bagaimana maksud dari pertanyaan ini, sebat wanita yang sedang shalat tidak bisa memakaikan inai, mungkin yang dimaksud penanya adalah: Apakah inai dapat menghalang sahnya wudhu seorang wanita jika ia menggunakannya?

Jawabnya adalah: Bahwa menggunakan inai tidak membatalkan wudhu, karena inai tidak memiliki dzat yang dapat mencegal mengalirnya air pada kulit, sebab inai hanyalah wama saja. adapun yang dapat membatalkan wudhu adalah sesuatu yang memilik dzat yang mana dzat itu dapat menghalangi mengalirnya air pada kulit, maka dzat tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu hingga wudhu menjadi sah.

Fatawa Nur 'ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 46.

Via HijrahApp

MENGKONSUMSI PIL PENCEGAH HAIDH AGAR BISA BERPUASA BERSAMA ORANG-ORANG LAINNYA

Pertanyaan ke372:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ditanya: Saya mengkonsumsi pil-pil pencegah haidh di bulan Ramadhan, apakahboleh bagi saya untuk berpuasa pada hari-hari saya mengkonsumsi pil tersebut di bulan Ramadhan? Sementara yang saya lakukan, tetap berpuasa dan shalat bersama orang-orang lainnya, apakah dengan begitu saya berdosa?

Jawaban:
Boleh bagi seorang wanita untuk mengkonsumsi sesuatu yangdapat menunda datangnya haidh agar dapat melaksanakan haji atau umrah atau puasa di bulan Ramadhan. Anda tidak diharuskan untuk mengqadha hari-hari puasa yang telah Anda lakukan bersama-sama yang lainnya dengan mengkonsumsi pil pencegah haidh.

Majalah Al-Buhuts Al-lslamiyah, 22/62.

 

Via HijrahApp

MENGOBATI PILEK DENGAN OBAT YANG DIHIRUP MELALUI HIDUNG

Pertanyaan ke346:
Al-LajnahAd-Da'imah lil Ifta' ditanya: Ada sejenis obat untuk penyakit pilek yang cara penggunaannya dengan menghirupnya melalui hidung, apakah menggunakan obat ini dapat membatalkan puasa atau tidak?

Jawaban:
Obat penyakit pilek yang digunakan oleh penderita penyakit itu dengan cara menghirupnya melalui hidung lalu masuk ke dalam paru-paru melalui rongga tempat berlalunya pernafasan dan tidak menuju ke tempat perut besar, maka hal ini tidak dinamakan memakan atau meminum atau yang serupa dengan keduanya. Cara pengobatan seperti itu samahalnya dengan meneteskan obat melalui suntikan untuk menuju pada badan tanpa menggunakan mulut atau hidung.

Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat, apakah pengobatan dengan cara itu dapat membatalkan puasa atau tidak, sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak membatalkan puasa, walaupun demikian mereka semua bermufakat bahwa hal tersebut tidak dinamakan makan ataupun minum, akan tetapi mereka yang berpendapat bahwa hal itu dapat membatalkan puasa karena benda yang dimasukkan itu masuk ke dalam tubuh, berdasarkan sabda Rasullullah:

"Dan mantapkanlah dalam istinsyaq kecuali jika kamu sedang berpuasa."

Perintah memantapkan beristinsyaq ini dikecualikan bagi orang yang sedangberpuasa, karena dikhawatirkan air yang dihirup itu akan masuk ke dalam kerongkongan lalu ke perut besar, sebab hal itu dapat membatalkan puasa. Maka hadits ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam tenggorokan yang bukan karena keterpaksaan, dapat membatalkan puasa.

Adapun golongan ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak membatalkan puasa, di antara mereka adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang sependapat dengannya, menyatakan bahwa tidak benar mengkiaskan hal ini dengan makan dan minum, karena dalil-dalil yang ada tidak menunjukkan bahwa yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu yang sampai ke dalam otak atau ke dalam tubuh, dan juga bukan yang masuk melalui suatu jalan yang sampai ke tenggorokan.

Karena tidak ada dalil syar'i yang menjadikan salahsatu proses itu (intinsyaq atau berkumur) sebagai penyebab berlakunya hukum,yakni membatalkan puasa. Jadi proses tersebut (istinsyaq atau berkumur) tidak dapat dikategorikan dengan sampainya benda ke dalam tenggorokan atau perut sehingga membatalkarn puasa, baik itu sampainya melalui hidung maupun melalui mulut, sebab keduanya hanyalah jalan.

Karena itu, puasa seseorang tidak batal hanya karena berkumur atau istinsyaq yang tidak dalam, bahkan hal ini tidak dilarang. Mulut itu sendiri, hanya sebagai jalan masuk saja, tapi jalan ini tidak pasif,artinya tidak semua yang masuk ke mulut mesti masuk ke tenggorokan, sebab mulut bisa memuntahkan lagi.

Jika masuknya sesuatu melalui hidung sama dengan yang melalui mulut, kemudian adakalanya hidung digunakan untuk memasukkan sesuatu, maka mulut dan hidung mempunyai fungsi yang sama, yakni bisa sebagai jalan masuk, bisa menahan dan bisa mengeluarkan kembali. Tampaknya pendapat yang benar adalah pendapat yang yang menyatakan tidak membatalkan puasa bila menggunakan obat yang dihirup, karena cara tersebut tidak sama dengan makan dan minum.

Majalah Al Buhuts Al Islamiyah 3/365

Via HijrahApp

MENGQADHA ENAM HARI PUASA RAMADHAN DI BULAN SYAWAL, APAKAH MENDAPAT PAHALA PUASA SYAWAL ENAM HARI

Pertanyaan ke367:
Syaikh Abdullah bin Jibrin ditanya: Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal?

Jawaban:
Disebutkan dalam riwayat dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda:

"Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun."

Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhanyang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunat untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan:

"Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari dibulan Syawal sama dengan dua bulan."

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkanhadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya.

Jika telah menyempurnakan qadha puasaRamadhan, baru disyari'atkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak berstatus sebagai puasa sunat bulan Syawal.

Ibid, halaman 111.

Via HijrahApp

MENGQADHA PUASA BAGI YANG TIDAK PUASA KARENA HAMIL

Pertanyaan ke348:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Saya hamil di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa, dan sebagai penggantinya saya berpuasa sebulan penuh dan bersedekah, kemudian saya hamil kedua kalinya di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa dan sebagai gantinya saya berpuasa sebulan sehari demi sehari selama dua bulan dan saya tidak bersedekah, apakah dalam hal ini diwajibkan bagi saya untuk bersedekah?

Jawaban:
Jika seorang wanita hamil khawatir pada dirinya atau khawatir pada janinnya jika berpuasa lalu iaberbuka, maka yang wajib baginya hanya mengqadha puasa, keadaannya saat itu adalah seperti keadaan orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau seperti orang yang khawatir dirinya akan mendapat bahaya jika berpuasa, Allah aza wajalla berfirman:

"dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."' (Al-Baqarah: 185)

Ibid, 10/219, fatwa nomor 114

Via HijrahApp

MENINGGALKAN PUASA DENGAN SENGAJA SELAMA ENAM HARI DI BULAN RAMADHAN KARENA UJIAN SEKOLAH

Pertanyaan ke332:
Sayaseorang remaja putri, keadaan telah memaksaku untuk tidak berpuasa selama enamhari di bulan Ramadhan, sebabnya adalah ujian sekolah, karena masa ujian itu dimulai pada bulan Ramadhan dengan materi pelajaran yang sulit, seandainya saya berpuasa pada hari-hari itu, maka saya tidak dapat mempelajari materi-materi itu, karena memang materinya sulit. Saya harap Anda menerangkan apa yang harus saya lakukan agar Allah mengampuni saya?

Jawaban:
Hendaknya Anda bertaubat kepada Allah dan mengqadha hari-hari puasa yang telah Anda tinggalkan, Allah akan memberikan taubat kepada orangyang telah bertaubat kepadanya.

Hakikat taubat yang dengannya Allah akan menghapuskandosa-dosa, adalah meninggalkan perbuatan dosa sebagai pengagungan terhadap Allah, takut kepada siksaNya, menyesali perbuatannya yang telah lalu, dan bertekad untuk tidak mengu-langi perbuatan itu, jika perbuatan itu berupa kezhalimanterhadap sesama manusia, maka untuk menyempurnakan taubatnya adalah dengan mengem-balikan hak-hak orang yang dizhalimi. Allah SWT berfirman:

"Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (An-Nur: 31)

Dalam ayat lain disebutkan:

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya" (At-Tahrim: 8)

Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda:

"Taubat itu untuk yang sebelumnya"

Dalam hadits lain disebutkan:

"Barangsiapa yang melakukan kezhaliman pada saudaranya maka hendaklah ia membersihkan dirnya hari ini sebelum (datangnya hari) yang tidak ada dinarmaupun dirham, (yang mana saat itu) jika ia memiliki amal shalih, maka akan diambilkan dari kebaikannya itu seukuran dengan kezhalimannya, dan jika ia tidak memilikiamal baik maka perbuatan buruk dari orang yang dizhaliminya itu akan dipindahkan kepadanya" (HR. Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya)

Fatawa Ash-Shiyam, halaman 80-81.

Via HijrahApp

MENINGGALKAN PUASA RAMADHAN SELAMA EMPAT TAHUN KARENA GANGGUAN KEJIWAAN

Pertanyaan ke364:
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta' ditanya: Ada seseorang wanita yang terkena gangguan kejiwaan, demam, kejang dan sebagainya, akibat penyakit itu ia meninggalkan puasa selama kurang lebih empat tahun, apakah dalam keadaan seperti ini wajib baginya untuk mengqadha puasa atau tidak, dan bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Jika ia meninggalkan puasa karena ketidakmampuannya untuk berpuasa, maka wajib baginya untuk mengqadha hari-hari puasa yang telah ia tinggalkan selama empat kali bulan Ramadhan itu di saat ia memiliki kesanggupan untuk mengqadhanya, Allah berfirman:

"dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuknya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (Al-Baqarah: 185)

Akan tetapi jika penyakitnya dan ketidakmampuannya untuk berpuasa tidak bisahilang menurut keterangan para dokter, maka ia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ia tinggalkan sebanyak setengah sha' berupa gandum atau korma atau beras atau makanan pokok lainnya yang biasa disimpan orang di rumahnya. Sama halnya dengan orang tua renta danjompo yang sudah tidak mampu lagi berpuasa, tidak ada keharusan qadha.

Fatawa Ash-StUyam, halaman 76.

Via HijrahApp

MENUNDA QADHA PUASA HINGGA DATANG BULAN RAMADHAN YANG BARU

Pertanyaan ke361:
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya tentang hukumnya wanita yang menunda qadha puasa hingga datangnya bulan Ramadhan yang baru?

Jawaban:
Jika telah datang bulan Ramadhan yang baru tapi masih mempunyai utang puasa Ramadhan sebelumnya, dan tidak ada alasan (yang dibenarkan syari’at) dalam penangguhan qadhanya, maka yang harus dilakukan adalah mengqadha puasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.

Jika penundaanqadha puasa itu dikarenakan adanya udzur maka yang wajib dilakukan hanya mengqadha puasa saja. Demikian pula bagi yang mempunyai utang puasa karena sakit atau karena musafir, ketentuannya adalah seperti ketentuan wanita haidh, yaitu berbuka untuk kemudian mengqadhanya.

At-Tanbihat, Syakh Al-Fauzan, halaman 38.

Via HijrahApp

MERASA ADA DARAH TAPI BELUM KELUAR SEBELUM MATAHARI TERBENAM

Pertanyaanke313:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Jika seorang wanita merasakan adanya darah dan darah itu belum keluar Sebelum terbenamnya matahari atau ia merasakan sakityang biasanya ia alami pada masa haidh, apakah puasanya itu sah ataukah ia harus mengqadha puasanya pada hari itu?

Jawaban:
Jika seorang wanita suci merasakan akan datang masa haidhnya saat ia puasa, akan tetapi darah itu tidak keluar kecuali setelah terbenamnyamatahari, atau ia merasakan sakit haidh akan tetapi darah haidh itu belum keluar kecuali setelah terbenamnya matahari, maka puasanya pada hari itu adalah sah dan tidak ada ketetapan mengqadha puasa pada hari itu jika ia sedang melaksanakan puasa wajib, dan jikaia sedang melaksanakan puasa sunat maka kondisi itu tidak menghilangkan pahala puasanya.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 11-12.

Via HijrahApp

MINUM OBAT BEBERAPA SAAT SETELAH FAJAR

Pertanyaan ke355:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Ibu saya meminum obat beberapa saat setelah adzan Shubuh di bulan Ramadhan, dan saya telah memperingatkannya, bahwa jika ia minum obat saat itu maka ia harus mengqadha puasanya hari itu?

Jawaban:
Jika orang sakit meminum obat setelah fajar di bulan Ramadhan, maka puasanya itu tidak sah, karena ia sengaja tidak berpuasa, untuk itu ia tetap harus berpuasa pada sisa hari itu kecuali jika puasa itu menyulitkannya karena sakit, ia boleh untuk tidak berpuasa karena sakit dan wajib baginya untuk mengqadha puasanya itu karena ia sengaja tidak berpuasa.

Tidak boleh bagi orang yang sakit untuk meminum obat saat ia berpuasa di bulan Ramadhan kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa (tidak ada pilihan), umpamanya dikhawatirkan meninggal bila tidak meminum obat yang dapat meringankan penyakitnya, dalam kondisi seperti ini berarti ia dibolehkan untuuk berbuka, dan tidak ada dosa baginya berbuka itu karena sakit.

ibid, 3/88.

Via HijrahApp

ORANG MENINGGAL YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN PUASA

Pertanyaan ke351:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Bila ada seorang muslim yang meninggal, baik pria maupun wanita, sementara ia mempunyai tanggungan puasa yang harus diqadha, apakah harus dipuasakan oleh keluarganya ataukah cukup memberi makan orang miskin atas namanya? Dan bagaimana pula hukumnya jika puasa yang belum dilaksanakannya itu puasa nadzar, bukan qadha Ramadhan?

Jawaban:
Jika seseorang meninggal dengan tanggungan puasa Ramadhan yang belum diqadhanya karena sakit, maka untuk hal ini ada dua kemungkinan: Kemungkinan pertama: Penyakit yang dideritanya itu terus berlanjut sampai meninggal sehingga ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha puasa. Jika demikian keadaannya maka tidak ada kewajiban apapun baginya, tidak ada kewajiban untuk mengqadha puasa dan tidak pula kewajiban untuk memberi makan, karena ada halangan untuk mengqadha puasa.

Kemungkinan kedua: Jika ia telah sembuh dari penyakit yang menybabkan iatidak berpuasa di bulan Ramadhan, lalu datang bulan Ramadhan berikutnya, sementara ia belum mengqadha puasa Ramadhan yang pertama, kemudian setelah Ramadhan kedua ia meninggal, maka wajib bagi keluarganya memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya pada Ramadhan yang pertama atas nama dia, hal ini lakukan oleh keluarganya atas namanya, karena ia telah melakukan kelalaian dalam mengqadha puasa.

Adapun cukupnya mengqadha puasa yang dilakukan olehkeluarganya, para ulama telah berbeda pendapat tentang hal ini. Kemudian bila puasa yang belum ia laksanakan itu puasa nadzar, maka puasanya itu harus dipuasakan oleh keluarganya berdasarkan sabda Rasulullah:

"Barangsiapa yang mati dan ia mempunyai tanggungan puasa’,

dalam riwayat lain disebutkan:

'Puasa orang yang bernadzar hendaknya walinya mempuasakan untuknya. '

Ibid.

Via HijrahApp

REMAJA PUTRI BERUSIA DUA BELAS ATAU TIGA BELAS TAHUN TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN

Pertanyaanke308:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Remaja putri telah mencapai umur dua betas atau tiga betas tahun, pada bulan Ramadhan ia tidak melaksanakan puasa, apakah ia dikenakan suatu sanksi atau kepada keluarganya, apakah wajib baginya berpuasa, dan jika ia tidak berpuasa, apakah ia mendapatkan sanksi?

Jawaban:
Seorang wanita menjadi mukallaf (terkena beban ketentuan syari'at) dengan beberapa syarat, yaitu: Beragama Islam, berakal, dan telah baligh. Wanita dianggap baligh jika telah mengalami haidh, atau bermimpi hingga mengeluarkan mani, atau telah tumbuh bulu kasar di sekitar kemaluannya, atau ia telah mencapai umur lima belas tahun.

Jika ketiga syarat itu telah terpenuhi, makawajib baginya untuk berpuasa dan wajib baginya untuk mengqadha puasa yang telah ditinggalkan selama ia telah dikategorikan terkena beban ketentuan syari'at. Tapi jika salah satu syarat itu tidak ada, maka ia belum terkena beban ketentuan dan tidak dikenakan sanksi apa pun baginya.

Ibid, halaman 22.

Via HijrahApp

SAYA PERNAH BERTANYA KEPADA SEORANG DOKTER, LA MENGATAKAN, BAHWA PIL PENCEGAH HAIDH ITU TIDAK BERBAHAYA

Pertanyaan ke371:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Saya seorang wanita yang mendapatkan haidh di bulan yang muiia ini, tepatnyasejak tanggal dua lima Ramadhan hingga akhir bulan Ramadhan, jika saya mendapatkan haidh maka saya akan kehilangan pahala yang amat besar, apakah saya harus menelan pil pencegah haidh karena saya telah bertanya kepada dokter lalu ia menyatakan bahwa pil pencegah haidh itu tidakmembahayakan diri saya?

Jawaban:
Saya katakan kepada wanita ini dan wanita-wanita lainnya yang mendapatkan haidh di bulan suci Ramadhan, bahwahaidh yang mereka alami itu, walaupun pengaruh dari haidh itu mengharuskannya meninggalkan shalat, membaca Al-Qur'an dan ibadah-ibadahlainnya, adalah merupakan ketetapan Allah, maka hendaknya kaum wanita bersabar dalam menerima hal itu semua, maka dari itu Nabi shalallahu alaihi wasallambersabda kepada Aisyah yang kala itu sedang haidh:

"Sesungguhnya haidh itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan kepada kaum wanita."

Maka kepadawanita ini kami katakan, bahwa haidh yang dialami oleh dirinya adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan bagi kaum wanita, maka hendaklah wanita itu bersabar dan janganlah menjerumuskan dirinya ke dalam bahaya, sebab kami telah mendapat keterangan dari beberapa orangdokter yang menyatakan bahwa pil-pil pencegah kehamilan berpengaruh buruk pada kesehatan dan rahim penggunanya, bahkan kemungkinan pil-pil tersebut akanmemperburuk kondisi janin saat wanita itu hamil.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/273-274.

Via HijrahApp

SEKARANG BERUSIA LIMA PULUH TAHUN, DUA PULUH TAHUN YANG LALU TIDAK MENJALANKAN PUASA RAMADHAN SELAMA LIMA BELAS HARI

Pertanyaan ke352:
Syaikh Ibnu Baaz ditanya: Sekarang saya berumur lima puluh tahun, dua puluh tujuh tahun lalu saya tidakberpuasa selama lima belas hari karena melahirkan salah seorang anak saya, dan saya belum sempat mengqadhanya di tahun tersebut, bolehkah saya mengqadha puasa itu saat ini, dan apakah saya berdosa?

Jawaban:
Hendaknya Anda bertobat kepada Allah karena penundaan ini dan Anda harus mengqadha puasa yang lima belas hari itu dengan disertai memberi makan kepada seorang miskin sejumlah hari yang Anda tinggalkan sebanyak setengah sha' yang berupa makanan pokok.

Kitab Fatawa Ad-Dawaah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/159.

Via HijrahApp

SEORANG PRIA MUSAFIR TIBA DI RUMAHNYA PADA SIANG HARI RAMADHAN LALU INGIN MENGGAULI ISTRINYA

Pertanyaan ke335:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Seorang pria melakukan perjalanan pendek, perjalanan itu dilakukan di bulan Ramadhan, maka ia pun tidak berpuasa. Ketika ia tiba di rumahnya pada siang hari Ramadhan, ia ingin menggauli istrinya dengan atau tanpa ridha istrinya,

bagaimana hukum perbuatan suaminya itu danbagaimana hukum istrinya jika melayani suaminya dengan ridha atau dengan paksaan?

Jawaban:
Mengenai suaminya, sebagaimana yang Anda dengar bahwa ia adalah seorang musafir yang tidak berpuasa lalu kembali ke kampungnya dalam keadaan tidak berpuasa. Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat di antara ulama.

Ada yang berpendapat: Bahwa seorang musafir jika ia telah sampai di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa maka ia harus imsak (menahan dari yang membatalkan) sebagai penghormatan terhadap hari itu, walaupun puasanya itu tidak dihitung karena ia diharuskan mengqadha puasa pada hari itu.

Sebagian ulama lainnyaberpendapat: Bahwa seorang musafir jika telah sampai di kampung halamannya dalam keadaan tidak berpuasa, maka tidak diharuskan baginya untuk berpuasa dan boleh baginya untuk makan pada sisa hari itu.

Kedua pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad,pendapat yang paling benar di antara kedua pendapat ini adalah tidak diwajibkan baginya untuk berpuasa pada sisa hari itu, karena jika ia berpuasa pada sisa hari itu maka puasanya tidak mendatangkan faedah apa pun, karena waktu tersebut bagi musafir itu bukan waktu yang harus dihormati, sebab pada hari itu dibolehkan baginya untuk makan dan minum sejak permulaan hari, sedangkan puasa sebagaimana yang telah kita ketahui, adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Karena itu, diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa ia berkata: "Barangsiapa yang makan dipermulaan hari maka hendaknya ia makan di akhir hari, karena siang hari baginya tidak terhormat (kerena tidak berpuasa)". Berdasarkan ungkapan ini maka musafir yang sampai ke tempatnya dalam keadaan tidak berpuasa dibolehkan baginya untuk makan dan minum pada sisa hari itu.

Adapun bersetubuh, tidak boleh baginya menyetubuhi istrinya yang sedang menjalankan puasa fardhu, karena hal itu akan merusak puasanya. Jika sang suami memaksanya dan menyetubuhinya, maka tidak ada kaffarah pada sang istri, dan tidak ada pula kaffarah bagi suaminya karena tidak diwajibkan baginya berpuasa sebab ia tiba di kampung halamannya dalam keadaan sedang tidak berpuasa.

Durus Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/85.

Via HijrahApp

SETELAH EMPAT PULUH HARI SEJAK MELAHIRKAN, DARAH YANG KELUAR BERUBAH, APAKAH SAYA HARUS SHALAT DAN PUASA

Pertanyaan ke322:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Saya seorang wanita bersuami dan alhamdulillah Allah telah mengaruniakan dua orang anak. Setelah habis empat puluh hari dari masa melahirkan tepatnya hari ketujuh dari bulan Ramadhan, saya masih tetap mengeluarkan darah, akan tetapi darah yang keluar itu telah berubah dan tidak seperti darah yang keluar sebelum empat puluh hari,

apakah saya harus puasa dan shalat? Sebab sayamelaksanakan puasa setelah melewati empat puluh hari itu dan saya selalu mandi setiap kali akan shalat, apakah puasa saya itu sah atau tidak?

Jawaban:
Seorang wanita nifas jika ia tetap mengeluarkan darah setelah melewati empat puluh hari dan darah itu tidak berubah, maka jika masa yang lebih dari empat puluh hari itu sesuai dengan masa haidh yang biasanya, maka ia harus meninggalkan shalat, dan jika masa yang lebih dari empat puluh hari itu tidak sesuai dengan masa haidh yang biasanya, maka para ulama berbeda pendapat, di antara ulama ada yang berpendapat: Hendaknya wanita itu mandi, shalat dan puasa, walaupun darah tetap mengalir sebab darah ini adalah darah istihadhah.

Sebagian ulama lainnya berpendapat:bahwa ia tetap meninggalkan shalat hingga hari keenam puluh, karena ada sebagian wanita yang tetap dalam keadaan nifas hingga hari keenam puluh, dan ini adalah kejadian nyata yang tidak bisa dipungkiri, sehingga dikatakan bahwa sebagian wanita mempunyai kebiasaan nifas selama enam puluh hari, maka berdasarkan ini, sebaiknya wanita itu tetap meninggalkan shalat hingga hari keenam puluh, kemudian setelah itu ia kembali kepada masa haidh seperti biasanya.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/65.

Via HijrahApp

SUAMI MENCIUM DAN MENCUMBUI ISTRINYA DI SIANG HARI RAMADHAN

Pertanyaan ke337:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Jika seorang pria mencium istrinya di bulan Ramadhan ataumencumbuinya, apakah hal itu akan membatalkan puasanya atau tidak?

Jawaban:
Suami yang mencium istrinya dan mencumbuinya tanpa menyetubuhinya dalam keadaan berpuasa,adalah dibolehkan dan tidak berdosa, karena Nabi shalallahu alaihi wasallam pernah mencium istrinya dalam keadaan berpuasa, dan pemah juga beliau mencumbuiistrinya dalam keadaan berpuasa. Akan tetapi jika dikhawatirkan dapat terjadi perbuatan yang diharamkan Allah aza wajalla karena perbuatan itu dapat membangkitkansyahwat dengan cepat, maka hal demikian menjadi makruh hukumnya.

Jika menciumdan mencumbui menyebabkan keluamya mani, maka ia harus terus berpuasa dan harus mengqadha puasanya itu tapi tidak wajib kaffarah baginya menurut sebagian besar pendapat ulama, sedangkan jika mengakibatkan keluamya madzi maka hal itu tidak membatalkan puasanya menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, karena pada dasamya hal tersebut tidak membatalkan puasa dan memang hal tersebut sulit untuk dihindari.

Fatawa Ad-Dawah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/164.

Via HijrahApp

TELAH BALIGH PADA UMUR DUA BELAS TAHUN NAMUN BARU BERPUASA PADA UMUR EMPAT BELAS TAHUN

Pertanyaanke309:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Seorang wanita mengatakan: Saya telah baligh pada umur dua belas tahun, tepatnya satu bulan sebelum Ramadhan, tapi saya baru melaksanakan puasa pada umur empat belas tahun, apakah wajib bagi saya untuk mengqadha puasa untuk dua tahun yang telah lewat itu atau tidak?

Jawaban:
Wajib bagi Anda untuk mengqadha hari-hari puasa yang telah Anda tinggalkan selama bulan Ramadhan itu, sebab saat Anda meninggalkan puasa itu Anda telah baligh. Hendaknya Anda memohon ampun dan bertobat kepada Allah «8g karena Anda telah berbuat dosa, yaitu meninggalkan puasa di bulan Ramadhan tanpa udzur yang dibenarkan syari'at. Semoga Allah menerima taubat Anda dan memberi Anda ampunan atas kelalaian yang telah Anda lakukan. Allah telah berfirman:

"Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orans yang beriman supaya kamu beruntung." (An-Nur: 31)

Dan firmannya pula:

"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertanbat,beriman, beramal shalih, kemudian tetap dijalan yang benar." (Thaha: 82)

Via HijrahApp

TIDAK BERPUASA KARENA MENYUSUI ANAKNYA DAN BELUM MENGQADHANYA, KINI ANAK ITU TELAH BERUSIA DUA PULUH EMPAT TAHUN

Pertanyaan ke359:
Syaikh Abdullan bin Jibrin ditanya: Pada bulan Ramadhan tahun 1382 H, seorang wanita tidak berpuasa selama satu bulan penuh karena suatu halangan yaitu menyusui anaknya, anak itu sudah besar dan saat ini berusia dua puluh empat tahun, dan sampai saat ini wanita itu belum mengqadha puasanya itu. Hal itu terjadi karena ketidaktahuannya dan bukan karena kelalaian, juga bukan karena sengaja, apa yang harus dilakukannya?

Jawaban:
Wajib baginya untuk segera mengqadha puasanya itu secepat mungkin walaupun hal itu dilakukan tidak berurutan sejumlah hari-hari yang dipuasai kaum Muslimin pada tahun itu.

Di sampingberpuasa ia pun harus bersedekah, yaitu memberi makan kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya sejumlah hari-hari yang harus diqadhanya itu sebagai kaffarah (tebusan), karena ia telah menunda qadha puasanya, karena barang-siapa yang menunda qadha puasa hingga tiba masa Ramadhan lainnya, maka di samping wajib mengqadha, ia juga diwajibkan memberi makan orang miskin sebanyak hari yang diqadha.

Untuk satu bulan itu cukup dengan sekarung beras yang beratnya 45 Kg. Yang wajib baginya adalah bertanya tentang urusan agamanya, karena sesungguhnya masalah yang dihadapi wanita ini adalah masalah yang telah dikenal oleh banyak orang, yaitu ba-rangsiapa yang tidak berpuasa karena suatu udzur, maka wajib baginya mengqadha puasa itu sesegera mungkin dan tidak boleh baginya menunda qadha puasa itu tanpa udzur yang dibenarkan syari'at.

Fatawa Ash-Shiyam, halaman 78.

Via HijrahApp

TIDAK BERPUASA KARENA SAKIT LALU MENINGGAL BEBERAPA HARI SETELAH RAMADHAN

Pertanyaan ke350:
Al-Lajnah Ad-Da 'imal Lil Ifta’ ditanya: Istri saya sakit di bulan Ramadhan yang lalu setelah ia berpuasadua puluh dua hari, penyakitnya itu semakin parah hingga ia tidak mampu menyempumakan puasanya yang delapan hari terakhir, lalu ia meninggal dunia beberapa hari setelah bulan Ramadhan, apakah yang harus kami lakukan untuk sisa harinya itu?

Jawaban:
Wanita yang mengalami sakit di bulan Ramadhan ini dan meninggalkan puasa karena sakit, lalu penyakitnya itu bertambah parah hingga ia wafat, maka tidak ada suatu apa pun yang dikenakan kepadanya sebab puasa yang ia tinggalkan itu, karena ia tidak melakukan kelalaian dan qadha puasa yang ia tinggalkan pun bukan karena kelalaian.

Sakit yang dideritanya telah menjadi dinding pembatas antara dirinya dengan puasa, maka tidak ada kewajiban apa pun baginya dalam hal itu berdasarkan firman Allah:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengankesanggupannya." (Al-Baqarah: 286)

Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah.

Via HijrahApp

TIDAK BERPUASA SELAMA DUA RAMADHAN KARENA SAKIT KEMUDIAN PADA RAMADHAN KETIGA LA BERPUASA, APA YANG HARUS LAKUKAN UNTUK DUA RAMADHAN YANG TELAH LEWAT

Pertanyaan ke363:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Seorang wanita menderita sakit parah, ketika datang bulan Ramadhan dan dia tak sanggup berpuasa, lalu ketika datang bulan Ramadhan kedua ia pun belum sanggup berpuasa, kemudian datang Ramadhan ketiga, saat itu kesehatannya lebih baik dan sebelumnya maka ia berpuasa, apakah diwajibkan baginya berpuasa untuk dua bulan yang ditinggalkannya itu, ataukah cukup bersedekah saja sebagai penggantinya, perlu diketahui bahwa wanita itu berpuasa selama tiga hari pada setiap bulannya dalam setiap tahun?

Jawaban:
Yang wajib baginya adalah mengqadha puasa yang dua bulan itu berdasarkan keumuman dalil yang terdapat dalam firman Allah aza wajalla:

"dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 185)

Adapun mengenai puasanya wanita tersebut selama tiga hari setiap bulannya sebagaimana disebutkan oleh penanya, jika niatnya untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan selama dua kali bulan Ramadhan, maka niatnya ini sah, dan hendaknya ia melaksanakan sisa puasa dari yang dua bulan itu,

akan tetapi jika niatnyaitu hanya sekedar untuk puasa sunat maka kewajibannya mengqadha puasanya berarti belum terlaksana, dan karena itu hendaknya ia berpuasa selama dua bulan penuh dan tidak ada kewajiban baginya untuk memberi makan orang miskin, karena wanita itu memiliki udzur dalam menunda qadha puasanya, yaitu karena sakit.

Majalah Al Buhuts Al Islamiyah, 14/114-115.

Via HijrahApp

TIDAK BERPUASA SELAMA MASA HAIDH, DAN SETIAP KALI TIDAK BERPUASA LA MEMBERI MAKAN, APAKAH WAJIB QADHA BAGINYA

Pertanyaanke312:
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya: Ibuku berumur enam puluh tahun, ia tidak mengqadha puasanya selama hari hari haidh di bulan Ramadhan yang telah iatinggatkan sejak ia bersuamikan ayahku, hal itu dikarenakan ayahku berkata kepada ibuku agar berkaffarah dengan memberi makan fakir miskin setiap harisebagai pengganti qadha puasa, karena ia adalah seorang ibu yang telah memiliki beberapa orang anak,

hal itu dilakukannya selama dua puluh tahun, dengan tujuhhari masa haidh di setiap bulan Ramadhan, apa yang wajib ia lakukan? Apakah ia harus berpuasa selama hari-hari yang telah ditinggalkan itu atau ia harusbersedekah? Dan berapakah ukuran sedekahnya itu?

Jawaban:
Yang wajib dilakukan oleh ibu Anda adalah mengqadha hari-hari puasa yang telah ia tinggalkan dengantidak berpuasa di bulan Ramadhan selama masa haidh, sekalipun itu terjadi berulang-ulang selama beberapa kali bulan Ramadhan.

Hendaklah ia menghitunghari-hari tersebut dan mengqadha puasa sejumlah hari-hari itu, bersamaan dengan mengqadha puasa itu ia diwajibkan memberi makan seorang miskin setiap hariselama hari-hari puasa yang diqadha, sebesar satu setengah sha' setiap harinya sebagai kaffarah (penebus) penundaan qadha puasa dari waktu yang seharusnya, dan boleh baginya mengqadha puasa itu secara berurutan atau tidak berurutan sesuai dengan kondisinya.

Yang penting, bahwa tidak boleh baginya meninggalkan qadha puasa itu, dan ayahAnda telah melakukan kesalahan besar dengan mengeluarkan fatwa tanpa didasari ilmu.

Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/138-139.

Via HijrahApp

TIDAK BERPUASA DI BULAN RAMADHAN KARENA HAMIL KEMUDIAN BERPUASA SEBULAN PENUH SEBAGAI PENGGANTINYA DAN BERSEDEKAH PULA

Pertanyaan ke331:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Saya hamil di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa, dan sebagai penggantinya saya berpuasa sebulan penuh dan bersedekah, kemudian saya hamil kedua kalinya di bulan Ramadhan maka saya tidak berpuasa dan sebagai gantinya saya berpuasa sebulan sehari demi sehari selama dua bulan dan saya tidak bersedekah, apakah dalam hal ini diwajibkan bagi saya untuk bersedekah?

Jawaban:
Jika seorang wanita hamil khawatir pada dirinya atau khawatir pada janinnya jika berpuasa lalu ia berbuka, maka yang wajib baginya hanya mengqadha puasa, keadaannya saat itu adalah seperti keadaan orang sakit yang tidak kuat berpuasa atau seperti orang yang khawatir dirinya akan mendapat bahaya jika berpuasa, Allah berfirman:

"dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wqjiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 185).

Fatawa Ash-Shiyam, halaman 67.

Via HijrahApp

TIDAK MAMPU MENGQADHA PUASA

Pertanyaan ke349:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Saya seorang wanita yang sakit, saya tidak berpuasa beberapa hari padabulan Ramadhan lalu dan karena sakit yang saya alami maka saya tidak dapat mengqadha puasa, apakah yang harus saya lakukan sebagai kaffarah-nya Kemudian juga saya tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan tahun ini, apakah yang saya lakukan sebagai kaffarahnya?

Jawaban:
Orang sakit yang menyebabkan sulitbaginya untuk berpuasa disyari'atkan untuk tidak berpuasa, lalu jika Allahmemberinya kesembuhan maka ia harus mengqadha puasanya itu berdasarkan firman Allah:

"dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (Al-Baqarah: 185)

Dan Anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan ini jika Anda masih dalamkondisi sakit, karena tidak berpuasa merupakan keringanan (rukhshah) dari Allah bagi orang yang sakit serta orang yang musafir, dan Allah suka jika rukhshahNya itu dijalankan, sebagaimana Allah benci jika perbuatan maksiat dilakukan. Kemudian Anda tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa, semoga Allah memberi Anda kesembuhan dan memberi kita semua ampunan atas dosa yang telah kita perbuat.

Fatawa Ash-Shiyam, halaman 57.

Via HijrahApp

TIDAK PERNAH MENGQADHA PUASA YANG DITINGGALKANNYA KARENA HAIDH SEJAK DIWAJIBKAN BAGINYA BERPUASA

Pertanyaan ke358:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Seorang wanita mengatakan: Bahwa ia berkewajiban menjalankan puasa maka ia berpuasa, akan tetapi tidak pernah mengqadha puasa yang tidak dijalaninya karena haidh, dan dikarenakan ia tidak tahujumlah hari yang harus diqadha, maka ia meminta petunjuk tentang apa yang harus ia lakukan?

Jawaban:
Kami menyesalkan hal ini masih sering terjadi di kalangan wanita beriman, sebab tidak melaksanakan qadha puasa itu, adalah suatu musibah. baik itu karena ketidaktahuan ataupun karena kelalaian. Obat kebodohan adalah tahu dan bertanya, sementara obat kelalaian adalah bertaqwa kepada Allah aza wajalla, mendekatkan diri kepadaNya, takut terhadap siksaNya dan bersegera melakukan perbuatan yang mendatangkan keridaan-NYa.

Hendaknya wanita inibertaubat kepada Allah dan memohon ampun atas apa yang telah diperbuatnya, dan hendaknya pula ia memperkirakan hari-hari yang telah ia tinggalkan karena haidh kemudian mengqadha jumlah hari puasa itu dengan demikian terlepaslah ia dari tanggung jawabnya, dan semoga Allah menerima taubatnya itu.

Ibid, halaman 23.

Via HijrahApp

USIANYA EMPAT BELAS DAN TELAH MENGALAMI HAIDH, TAPI KARENA TIDAK TAHU LA TIDAK BERPUASA PADA TAHUN ITU

Pertanyaanke305:
Syaikh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Saat saya berumur empat belas tahun dan saya telah mengalami haidh, tahun itu saya tidak berpuasa di bulan Ramadhan karena ketidaktahuan saya dan keluarga saya, itu pun karena kami tinggal di tempat yang jauh dari para ahli ilmu, sementara kami tidak mengetahui tentang hal itu.

Kemudian pada umur lima belas tahun saya telah melaksanakan puasa, dan saya pun telah mendengar dari sebagian pemberi fatwa, bahwa jika seorang wanita telah mengalami haidh maka wajib baginya untuk berpuasa, bahkan walaupun umumya itu belum mencapai usia baligh, saya mohon keterangan tentang hal ini ?.

Jawaban:
Penanya yang menyebutkan tentang dirinya bahwa ia mendapatkan haidh pada umur empat belas tahun dan tidak mengetahui bahwa datangnya haidh merupakan tanda bahwa ia telah baligh, maka tidak ada dosa baginya meninggalkan puasa pada tahun itu karena tidak mengeta-huinya, sebab tidak ada dosa bagi orang yang tidak mengetahui hukum.

Akan tetapi jika ia telah mengetahui bahwa wajib bagi dirinya untuk berpuasa, maka hendaknya ia bersegera untuk mengqadha puasa Ramadhan yang dialaminya setelah ia mengalami haidh, karena jika seorang wanita telah baligh maka wajib baginya untuk berpuasa.

Seorang wanita dianggap baligh jika telah mengalami satu di antara empat haldi bawah ini, yaitu:

1. Umumya telah mencapai lima belas tahun.

2. Telah ditumbuh bulu di sekitar kemaluannya.

3. Mengeluarkan air mani.

4. Mengalami masa haidh.

Jika satu di antara keempat hal ini telah dialami oleh seorang wanita, makaberarti ia telah baligh dan beriaku baginya ketetapan-ketetapan syari'at, yaitu berupa kewajiban-kewajiban ibadah sebagaimana diwajibkan atas orang dewasa. Kemudian saya sampaikan kepada penanya: Bahwa kini ia berkewajiban melaksanakannya, jika pada bulan Ramadhan yang telah dilaluinya ia tidak berpuasa sementara ia telah mengalami haidh, maka hendaknya ia segera mengqadhanya agar bisa terlepas dari dosanya.

Fatawa Nur 'ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 65-66.

Via HijrahApp

WANITA HAIDH DAN NIFAS, BOLEHKAH MAKAN DAN MINUM DI SIANG HARI PADA BULAN RAMADHAN

Pertanyaanke315:
Bolehkah wanita haidh dan wanita nifas makan dan minum di siang hari pada bulan Ramadhan?

Jawaban:
Ya, boleh bagi keduanya untuk makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan, akan tetapi yang lebih utama adalah dilakukan secara tersembunyi, apalagi jika wanita itu mempunyai anak di rumah, karena jika si anak melihat ibunya makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan maka hal itu dapat menimbulkan masalah dalam diri mereka.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 13.

Via HijrahApp

WANITA MENYUSUI MENGELUARKAN SEDIKIT DARAH, KEMUDIAN OARAH ITU BERHENTI SELAMA DUA HAD, MAKA LA PUN BERPUASA, KEMUDIAN DARAH ITU KELUAR LAGI

Pertanyaanke319:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Seorang wanita di masa menyusui, dan ia tidak mengalami haidhselama tiga bulan pertama setelah melahirkan, kemudian ia mengeluarkan cairan sejenis darah yang amat sedikit di tengah malam lalu darah itu berhenti pada siang harinya, maka ia pun berpuasaselama dua hari. Kemudian darah itu keluar lagi, lalu ia mendapat haidh seperti biasanya. Apakah puasanya yang dua hari itu sah?

Jawaban:
Jika kondisinya sebagaimana yang Anda katakan, yaitu bahwa darah keluar darinya di tengah malam saja, maka puasanya yang dua hari ituadalah sah, dan tidak ada pengaruh dari darah yang keluar pada malam hari itu terhadap puasanya pada dua hari tersebut. Begitu juga datangnya haidh yang biasa tidakmembatalkan puasa pada kedua hari tersebut.

Fatawa Al-Lajnah, 5.

Via HijrahApp

SEORANG WANITA MENDAPAT KESUCIANNYA DARI NIFAS DALAM SATU PEKAN KEMUDIAN DARAH ITU DATANG LAGI

Pertanyaan ke320:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas dalam satu pekan, kemudian ia berpuasa bersama kaum Muslimin di bulan Ramadhan selama beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi, apakah ia harus meninggalkan puasa dalam situasi seperti ini? Dan apakah ia harus mengqadha hari-hari puasa yang ia jalani selama beberapa
hari itu dan hari-hari puasa yang ia tinggalkan?

Jawaban:
Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas sebelum empat puluh hari lalu ia puasa beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi sebelum empat puluh hari, maka puasanya itu sah dan hendaknya ia meninggalkan shalat dan puasa pada harihari ketika darah itukeluar lagi, karena darah itu dianggap darah nifas hingga ia suci atau hingga sempurna empat puluh hari.

Dan jika telah mencapai empat puluh hari maka wajib baginya untuk mandi walaupun darah itu masih tetap keluar, karena empat puluh hari adalah akhir masa nifas menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, dan setelah itu hendaknya ia berwudhu untuk setiap waktu shalat hingga darah itu berhenti mengalir darinya, sebagaimana yang diperintahkan Nabi صلی الله عليه وسلم kepada wanita yang mustahadhah, dan boleh bagi suaminya untuk mencampurinya setelah empat puluh hari walaupun ia masih mengeluarkan darah,

karena darah dan kondisi yang seperti demikian adalahdarah rusak (darah istihadhah) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat dan puasa danjuga tidak menghalangi suaminya untuk menggauli istrinya padasaat itu. Akantetapi jika keluamya darah itu sesuai dengan masa haidhnya, maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa karena ia dianggap haidh.

Kitad Ad-Dawah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/73.

Via HijrahApp

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M