Daftar Isi
Wasiat atau al-washiyyah (الوصية) adalah perintah dari seseorang untuk melakukan suatu bentuk tasharruf (muamalah) atau suatu bentuk tabarru’ (perbuatan baik) dengan hartanya setelah dia wafat nanti (Lihat Al-Mughni karya Ibnu Qudamah, 1: 10).
Maka, wasiat di sini bisa berupa dua bentuk:
(1) Memerintahkan untuk melakukan suatu bentuk tasharruf (muamalah). Seperti seseorang yang mengatakan, “Jika saya meninggal nanti, tolong kuburkan saya di sebelah makam istri saya”, atau “Jika saya meninggal nanti tolong lunasi hutang-hutang saya”, dan semisalnya. Sebagian ulama menyebut ini dengan istilah al-ii-sha’ (الإيصاء).
(2) Melakukan suatu bentuk tabarru’ (perbuatan baik) dengan harta. Seperti seseorang mengatakan, “Jika saya meninggal nanti, maka tanah milik saya di tempat A, saya wakafkan untuk masjid”, atau “Jika saya meninggal nanti, maka uang saya sebesar 50 juta tolong diberikan kepada panti asuhan B”, dan semisalnya.
1. Anjuran untuk membuat wasiat
Dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah menunjukkan dianjurkannya membuat wasiat, terutama ketika sakit atau menjelang wafat. Allah Ta’ala berfirman,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
“Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 180).
Dalam hadits, dari Abdullah bin Umar Radhiallahu’ahu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، له شيءٌ يُرِيدُ أَنْ يُوصِيَ فِيهِ، يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ، إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ
“Tidak layak bagi seorang Muslim melewati dua malamnya padahal dia memiliki sesuatu hal untuk diwasiatkan, kecuali wasiatnya sudah tertulis di sisinya” (HR. Bukhari no.2738 dan Muslim no.1627).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini menunjukkan bahwa disyariatkan untuk bersegera dan tidak menunda-nunda menulis wasiat. Ketika memang ada perkara yang perlu untuk diwasiatkan” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 19: 405-406).
Zahir surat Al-Baqarah ayat 180 di atas mewajibkan untuk berwasiat. Namun yang rajih, membuat wasiat hukumnya sunnah, tidak diwajibkan. Karena mayoritas para shahabat Nabi tidak meninggalkan wasiat ketika mereka wafat. Adapun surat Al-Baqarah ayat 180, ayat ini telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan turunnya surat An-Nisa ayat 7 (yaitu ayat tentang warisan). Hal ini sebagaimana disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Ayat ini (Al-Baqarah ayat 180) telah mansukh oleh ayat waris” (Lihat Al-Fiqhul Islamiy karya Wahbah Az Zuhaili, 10: 7443).
Dan wasiat seseorang ketika itu berupa kebaikan, akan mengalirkan pahala baginya setelah dia meninggal. Ini termasuk dalam keumuman hadis dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Ketika seorang insan mati, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim no. 1631).
2. Kewajiban menunaikan wasiat
Pada asalnya, wasiat dari seseorang yang sudah meninggal itu wajib ditunaikan oleh keluarganya. Selama wasiat tersebut memenuhi ketentuan-ketentuan syar’i. Allah Ta’ala berfirman,
فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah dia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 181).
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts wal Ifta’ mengatakan, “Wajib bagi wali (keluarga) dari mayit untuk menunaikan wasiat dari mayit, selama sesuai dengan syariat. Jika tidak ditunaikan, atau ditunaikan dengan cara yang tidak benar, maka yang berdosa adalah para walinya (keluarganya) tersebut” (Fatawa Al-Lajnah, 16: 369-370).
3. Ketentuan-ketentuan dalam wasiat
Ada beberapa ketentuan yang terkait dengan perkara yang diwasiatkan, sehingga wasiat menjadi wajib ditunaikan jika terpenuhi ketentuan-ketentuannya. Di antaranya:
Pertama, Isi wasiat tersebut berupa kebaikan, bukan maksiat atau perkara yang batil
Karena tidak boleh taat kepada siapa pun jika dia memerintahkan untuk maksiat, baik ketika dia masih hidup ataupun ketika dia sudah meninggal. Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ’anhu, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang makruf” (HR Bukhari no. 7257 dan Muslim no. 1840).
Oleh karena itu, para ulama melarang menunaikan wasiat yang berisi maksiat. Dalam matan Mukhtashar Al-Khalil juga disebutkan,
وبطلت بردته وإيصاء بمعصية
“Wasiat itu batal jika orangnya murtad, dan wasiat juga batal jika isinya berupa maksiat.”
Demikian juga wasiat yang isinya berupa perkara-perkara yang tidak bermanfaat, menyia-nyiakan harta, menjatuhkan wibawa, atau menimbulkan kemudaratan bagi keluarga yang ditinggalkan. Maka wasiat seperti tidak wajib ditunaikan. Ibnu Rusyd Rahimahullah menyatakan,
لا يلزم أن يُنفَّذ من الوصايا إلا ما فيه قربة وبر
“Tidak wajib menunaikan wasiat kecuali jika isinya berupa qurbah (ibadah) dan kebaikan” (Al-Bayan wat Tahshil, 2: 287).
Seperti jika mayit berwasiat untuk dimakamkan di tempat yang sangat jauh, maka ini menimbulkan kemudaratan bagi keluarga yang ditinggalkan. Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah mengatakan,
وإذا كانت المقبرة بعيدة من بلد إلى بلد فلا وجه لهذه الوصية ولا حاجة إلى تنفيذها بل يدفن في مقبرة بلده
“Jika tempat pemakaman yang diwasiatkan itu sangat jauh dari tempatnya, maka tidak wajib dan tidak ada kebutuhan untuk menunaikan wasiat ini. Hendaknya dia dimakamkan di negeri tempat dia berada” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi).
Kedua, Wasiat berupa muamalah yang masih dalam ruang lingkup hak si mayit
Wasiat berupa al-ii-sha’ hanya terbatas pada muamalah yang masih dalam cakupan hak si mayit. Wasiat yang di luar cakupan hak si mayit, tidaklah sah dan tidak wajib ditunaikan. Dalam matan Zadul Mustaqni, Al-.Allamah Al-Hijawi Rahimahullah menyatakan,
ولا تصح وصية إلا في تصرفٍ معلوم يملكه الموصي ، كقضاء دينه ، وتفرقة ثلثه ، والنظر لصغاره ، ولا تصح بما لا يملكه الموصي
“Wasiat tidaklah sah kecuali pada muamalah yang diketahui merupakan hak dari al-mushi (pemberi wasiat; mayit). Seperti wasiat untuk melunasi hutangnya, memisahkan 1/3 hartanya, meminta untuk merawat anak-anaknya. Wasiat tidak sah dalam perkara yang tidak dimilikinya.”
Seperti seorang yang berwasiat kepada tetangganya untuk menjual rumah si tetangga tersebut. Karena rumah si tetangga di luar hak dari si mayit. Sehingga wasiat ini tidak sah dan tidak wajib ditunaikan.
Demikian juga, seorang suami atau istri yang berwasiat kepada pasangannya untuk tidak menikah lagi. Ini wasiat yang tidak sah dan tidak wajib ditunaikan. Karena pernikahan suami atau istri (setelah pasangannya meninggal) ini di luar haknya. Dan juga ini merupakan wasiat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena Al-Quran dan As-Sunnah memerintahkan orang yang bersendirian untuk menikah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Baqarah: 240).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsamin Rahimahullah menjelaskan ayat ini,
“Seorang istri dihalalkan baginya untuk keluar dari rumah suaminya, walaupun suaminya mewasiatkan untuk menetap di sana. Boleh untuk tidak menunaikan wasiatnya. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “… akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu”. Karena ini adalah perkara yang terkait kemaslahatan sang istri dan sang suami (yang wafat) tidak mendapat kemaslahatan dari perkara ini. Turunan dari masalah ini, jika seorang suami berwasiat kepada istrinya untuk tidak menikah lagi, maka ini tidak wajib ditunaikan. Karena jika wasiat untuk tinggal di rumah saja tidak wajib untuk ditunaikan, maka masalah menikah ini min bab al aula (lebih layak untuk tidak ditunaikan)” (Tafsir Surat Al-Baqarah, pada tafsir ayat 240).
Selain itu, wasiat disyariatkan agar mayit bisa mendapatkan tambahan kebaikan dan mengurangi dosa-dosanya. Maka tidak ada maknanya jika mayit mewasiatkan sesuatu yang di luar haknya yang tidak memberikan dia tambahan pahala atau pengurangan dosa
Ketiga, wasiat harta tidak boleh lebih dari 1/3 total harta
Ketentuan terkait wasiat dalam bentuk tabarru‘ (perbuatan baik) dengan harta, ia tidak boleh lebih dari 1/3 total harta. Karena jika lebih dari 1/3 total harta, akan membahayakan ahli waris, yang mereka lebih berhak terhadap harta warisan mayit. Sehingga tidak sah wasiat harta yang melebihi 1/3 dari total harta. Sebagaimana dalam hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu’anhu, ia berkata,
تَشَكَّيْتُ بمَكَّةَ شَكْوًا شَدِيدًا، فَجاءَنِي النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَعُودُنِي، فَقُلتُ: يا نَبِيَّ اللَّهِ، إنِّي أتْرُكُ مالًا، وإنِّي لَمْ أتْرُكْ إلَّا ابْنَةً واحِدَةً، فَأُوصِي بثُلُثَيْ مالِي وأَتْرُكُ الثُّلُثَ؟ فقالَ: لا قُلتُ: فَأُوصِي بالنِّصْفِ وأَتْرُكُ النِّصْفَ؟ قالَ: لا قُلتُ: فَأُوصِي بالثُّلُثِ وأَتْرُكُ لها الثُّلُثَيْنِ؟ قالَ: الثُّلُثُ، والثُّلُثُ كَثِيرٌ
“Suatu hari di Mekkah, saya sedang sakit parah. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjengukku. Aku berkata: ‘Wahai Nabi Allah, aku memiliki banyak harta namun aku hanya memiliki satu orang putri. Bolehkah aku mewasiatkan 2/3 hartaku dan 1/3 untuk waris?’. Nabi menjawab: ‘tidak boleh’. Sa’ad berkata, ‘Bolehkah aku mewasiatkan 1/2 hartaku dan 1/2 sisanya untuk waris?’. Nabi menjawab: ‘tidak boleh’. Sa’ad berkata, ‘Bolehkah aku mewasiatkan 1/3 hartaku dan 2/3 sisanya untuk waris?’. Nabi menjawab, ‘Boleh, dan wasiat sebanyak 1/3 itu sudah cukup banyak’” (HR. Bukhari no. 5659).
Namun boleh memberikan wasiat harta lebih dari 1/3 total harta jika diizinkan oleh seluruh ahli waris atau jika tidak ada ahli waris. Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Wasiat tidak sah jika melebihi 1/3 total harta, bagi mayit yang memiliki ahli waris. Berdasarkan hadis Sa’ad bin Abi Waqqash di atas. Kecuali, jika semua ahli waris mengizinkan hal itu. Adapun jika mayit tidak memiliki ahli waris, maka boleh mewasiatkan seluruh hartanya.”
Harta wasiat tidak boleh ditujukan kepada ahli waris. Karena ahli waris sudah mendapatkan hak berupa harta waris. Dari Abu Umamah Al Bahili Radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
إنَّ اللَّهَ قد أعطى كلَّ ذي حقٍ حقَّهُ ، فلا وصيَّةَ لوارِثٍ
“Sesungguhnya Allah telah memberikan hak setiap orang yang berhak mendapatkannya. Maka tidak boleh ada harta wasiat bagi ahli waris” (HR. Abu Daud no. 2853, At Tirmidzi no. 2203, disahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
Maka harta wasiat itu ditujukan untuk segala bentuk tabarru‘ (perbuatan baik) kepada selain ahli waris. Seperti wakaf masjid, donasi panti asuhan, membantu fakir miskin dan perbuatan baik lainnya.
Memang benar, terdapat firman Allah ta’ala yang membolehkan wasiat harta untuk orang tua dan karib kerabat. Allah Ta’ala berfirman,
“Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS. Al Baqarah: 180).
Namun ayat ini mansukh oleh ayat-ayat waris, sebagaimana telah dijelaskan pada artikel sebelumnya. Disebutkan dalam Al Aunul Ma’bud (8/52),
قَالَ الْخَطَّابِيُّ : هَذَا إِشَارَةٌ إِلَى آيَةِ الْمَوَارِيثِ ، وَكَانَتِ الْوَصِيَّةُ قَبْلَ نُزُولِ الْآيَةِ وَاجِبَةً لِلْأَقْرَبِينَ ، وَهُوَ قَوْلُهُ تَعَالَى : (كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إن ترك خيرا الوصية للوالدين والأقربين)، ثُمَّ نُسِخَتْ بِآيَةِ الْمِيرَاثِ .وَإِنَّمَا تَبْطُلُ الْوَصِيَّةُ لِلْوَارِثِ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَجْلِ حُقُوقِ سَائِرِ الْوَرَثَةِ
“Al Khathabi mengatakan: ayat ini mengisyaratkan kepada ayat waris. Dahulu wasiat itu wajib diberikan kepada para karib kerabat, sebelum turunnya ayat waris. Berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya): ‘Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya.’ Namun kemudian ayat ini di-nasakh oleh ayat waris. Dan wasiat untuk para ahli waris itu batal menurut pendapat jumhur ulama, dalam rangka menjaga hak seluruh ahli waris.”
Demikian juga disyariatkannya warisan bagi kerabat yang menjadi ahli waris, telah mansukh oleh hadis dari Abu Umamah di atas. Namun hadis Abu Umamah ini juga menunjukkan bahwa karib kerabat yang bukan ahli waris, boleh menerima wasiat. Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsamin Rahimahullah menjelaskan,
الحديث ليس فيه نسخ، بل فيه التخصيص؛ لأن الآية فيها الأمر بالوصية للأقربين، وهذا يعم الوارث وغير الوارث، ثم رفع الحكم عن الوارث فقط
“Hadis ini tidak terdapat nasakh (penghapusan terhadap surat Al Baqarah ayat 180). Namun yang ada adalah takhsis (pengkhususan). Karena ayat tersebut memerintahkan untuk berwasiat kepada para karib kerabat, ini sifatnya umum mencakup karib kerabat yang punya jatah waris dan yang tidak punya jatah waris. Sedangkan yang dihapus hukumnya hanya karib kerabat yang punya jatah waris” (Liqa Baabil Maftuh, rekaman no. 46).
Sebagaimana hal ini secara jelas ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala, ketika Allah menjelaskan tentang ketentuan waris,
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“(warisan dibagikan) setelah menunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh mayit atau setelah melunasi hutang (mayit)” (QS. An Nisa: 11).
Demikian juga berdasarkan perkataan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu,
أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قَضى بالدَّينِ قبلَ الوصيَّة
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasa menunaikan hutang sebelum wasiat” (HR. At Tirmidzi no.2122, di-hasan-kan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Dijelaskan dalam kitab Al Fiqhul Muyassar fi Dhau’il Kitab was Sunnah (hal. 273): “Hutang dan kewajiban-kewajiban syar’i lainnya seperti zakat, haji dan kafarat (yang tertunda) lebih didahulukan daripada menunaikan wasiat.”
4. Mengganti atau mengurungkan wasiat
Orang yang sudah membuat wasiat, boleh saja menggantinya atau mengurungkannya sebelum ia meninggal. Karena wasiat adalah muamalah yang hukumnya mubah, maka boleh dilakukan, boleh tidak dilakukan, dan boleh diurungkan. Sebagaimana juga dikatakan oleh Umar bin Khathab Radhiallahu’anhu,
يغير الرجل ما شاء فى وصيته
“Seseorang boleh mengubah wasiatnya semau dia” (HR. Al Baihaqi [6/281], disahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil [6/99]).
Adapun mengganti wasiat setelah pembuatnya meninggal, karena memandang ada maslahat yang lebih besar, ini diperselisihkan oleh para ulama. Semisal seorang yang meninggal berwasiat untuk mewakafkan sebagian hartanya kepada masjid di dekat rumahnya. Namun setelah ia meninggal, para keluarga mayit memandang agar hartanya diwakafkan kepada masjid yang lain, yang lebih banyak jamaahnya dan lebih makmur, agar ia mendapat pahala lebih banyak.
Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah menjelaskan,
“Mengubah wasiat kepada yang lebih utama, ini diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama berpendapat tidak diperbolehkan. Berdasarkan keumuman ayat: ‘Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya’ (QS. Al Baqarah: 181). Dan dalam ayat ini tidak dikecualikan keadaan apapun, kecuali orang yang melanggarnya dan mendapat dosa. Sehingga mengubah wasiat tetap haram hukumnya.
Sebagian ulama mengatakan, boleh mengubah wasiat kepada yang lebih utama. Karena tujuan dari wasiat adalah ibadah kepada Allah dan memberi manfaat kepada mayit. Maka semua yang lebih mendekatkan kepada Allah dan lebih bermanfaat bagi mayit, itu lebih utama. Dan orang yang berwasiat itu manusia biasa sehingga bisa terluput dari suatu yang lebih utama. Dan terkadang yang ia pandang lebih utama ketika masih hidup, berbeda dengan apa yang utama ketika ia sudah meninggal. Dan juga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan untuk mengubah nadzar kepada yang lebih utama disamping kewajiban untuk menunaikannya.
Yang saya pandang lebih tepat dalam masalah ini, jika wasiat itu disebutkan secara mu’ayyyan (spesifik), maka tidak boleh mengubahnya. Misalnya jika disebutkan: ‘wasiat harta ini adalah untuk si Zaid saja’ atau ‘saya wakafkan harta ini untuk Said’, maka ini tidak boleh diubah. Karena ada hak orang lain yang spesifik disebutkan di sana.
Namun jika wasiatnya tidak spesifik, seperti jika dikatakan: ‘wasiat harta ini untuk masjid’, atau ‘wasiat harta ini untuk orang miskin’, maka tidak mengapa memberikan harta wasiat tersebut kepada yang paling utama” (Tafsirul Qur’an, 4/256).
Demikian penjelasan ringkas seputar fikih wasiat, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Nas’alullah at taufiq was sadaad.
Penulis: Yulian Purnama, S.Kom
Artikel: Muslim.or.id
© 2023 muslim.or.id Sumber 1. : https://muslim.or.id/61053-ringkasan-fikih-wasiat-bag-1.html
Sumber 2 : https://muslim.or.id/61055-ringkasan-fikih-wasiat-bag-2.html