Kelahiran dan Empat puluh tahun sebelum Kenabian
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Kelahiran
- Hidup Ditengah Kabilah Bani Sa’d
- Kembali ke pangkuan sang ibunda Aminah
- Di pangkuan sang kakek Abdul Mutholib
- Di pangkuan sang paman Abu Tholib
- Meminta Hujan dengan “Wajah” Beliau
- Bersama sang Rahib, Buhaira
- Perang Fijar
- Hilful Fudhuul
- Menjalani kehidupan dengan kerja keras (Mengembala Kambing)
- Menikah dengan Khadijah Radhiyallahu ‘anha
- Renovasi Ka’bah dan Penyelesaian pertikaian serta peletakan Hajar Aswad
- Pembahasan Hums
- Dukun-dukun Arab, Rabi-rabi Yahudi dan Pendeta-pendeta Kristen
- Kewaspadaan Orang-orang Yahudi terhadap Rasulullah
- Waraqah bin Naufal, Ubaidillah bin Jahsy, Utsman bin Al-Huwairits dan Zaid bin Amr bin Nufail
- Sifat Rasulullah ﷺ, dalam Kitab Injil
- Daya Tarik Kepribadian Sebelum Kenabian
Sayyidul Mursalin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di lahirkan di tengah kabilah besar, Bani Hasyim di Mekkah pada pagi hari Senin, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, tahun pertama tragedi pasukan gajah atau empat puluh tahun dari berlalunya kekuasaan kisra Anusyirwan. Juga bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April tahun 571 M sesuai dengan analisis seorang ‘Alim Besar, Muhammad Sulaiman al-Manshur Furi dan Astrolog (Ahli Ilmu Falak), Mahmud Basya.
Ibnu Sa’ad meriwayatkan bahwa ibunda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “ketika aku melahirkannya, dari farajku keluar cahaya yang menerangi istana-istana negeri Syam”. Imam Ahmad, ad-Darimi dan selain keduanya juga meriwayatkan versi yang hampir mirip dengan riwayat tersebut.
Ada riwayat yang menyebutkan telah terjadi irhashaat (tanda-tanda awal yang menunjukkan kenabian) ketika milad beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya; runtuhnya empat belas balkon istana kekaisaran, padamnya api yang sekian lama disembah oleh kaum Majusi, hancurnya gereja-gereja disekitar danau Saawah setelah airnya menyusut. Riwayat tersebut dilansir oleh ath-Thabari, al-Baihaqi dan selain keduanya namun tidak memiliki sanad yang valid.
Setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan, beliau dikirim oleh ibundanya ke rumah kakeknya, ‘Abdul Muththalib dan menginformasikan kepadanya berita gembira perihal cucunya tersebut. Kakeknya langsung datang dengan sukacita dan memboyong cucunya tersebut masuk ke Ka’bah; berdoa kepada Allah dan bersyukur kepadaNya. Kemudian memberinya nama Muhammad padahal nama seperti ini tidak populer ketika itu di kalangan bangsa Arab, dan pada tujuh hari kelahirannya dia mengkhitan beliau sebagaimana tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab.
Wanita pertama yang menyusui beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah ibundanya adalah Tsuaibah. Wanita ini merupakan budak wanita Abu Lahab yang saat itu juga tengah menyusui bayinya yang bernama Masruh . Sebelumnya, dia juga telah menyusui Hamzah bin ‘Abdulul Muththalib, kemudian menyusui Abu Salamah bin ‘Abdul Asad al-Makhzumi setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Hidup Ditengah Kabilah Bani Sa’d
Tradisi yang berlaku di kalangan bangsa Arab yang sudah berperadaban adalah mencari para wanita yang dapat menyusui bayi-bayi mereka sebagai tindakan prefentif terhadap serangan penyakit-penyakit yang biasa tersebar di alam peradaban. Hal itu mereka lakukan agar tubuh bayi-bayi mereka tersebut kuat, otot-otot mereka kekar serta menjaga agar lisan Arab mereka tetap orisinil sebagaimana lisan ibu mereka dan tidak terkontaminasi. Oleh karena itu, ‘Abdul Muththalib mencari wanita-wanita yang dapat menyusui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam; dia memilih seorang wanita dari kabilah Bani Sa’ad bin Bakr, yaitu Halimah binti Abu Dzuaib sebagai wanita penyusu beliau. Suami dari wanita ini bernama al-Harits bin ‘Abdul ‘Uzza yang berjuluk Abu Kabsyah, dari kabilah yang sama.
Dengan begitu, di sana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki banyak saudara sesusuan, yaitu; ‘Abdullah bin al-Harits, Anisah binti al-Harits, Hudzafah atau Judzamah binti al-Harits (dialah yang berjuluk asy-Syaima’ yang kemudian lebih populer menjadi namanya dan yang juga merawat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) serta Abu Sufyan bin al-Harits bin ‘Abdul Muththalib, saudara sepupu Rasulullah.
Paman beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib juga disusui di tengah kabilah Bani Sa’ad bin Bakr. Ibunya juga menyusui beliau selama sehari, yaitu ketika beliau berada disisi ibu susuannya, Halimah. Dengan demikian Hamzah merupakan saudara sesusuan Rasulullah dari dua sisi: Tsuaibah dan (Halimah) as-Sa’diyyah.
Halimah merasakan adanya keberkahan serta kisah-kisah yang aneh lainnya sejak kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah keluarganya. Untuk itu, baiklah kita biarkan dia mengisahkannya sendiri secara detail:
“Ibnu Ishaq berkata: ‘Halimah pernah berkisah: bahwasanya suatu ketika dia pergi keluar bersama suami dan bayinya yang masih kecil dan menyusui. Dia juga membawa serta beberapa wanita yang sama-sama tengah mencari bayi-bayi susuan. Ketika itu sedang dilanda musim paceklik sedangkan kami sudah tidak memiliki apa-apa lagi, lalu aku pergi dengan mengendarai seekor keledai betina berwarna putih kehijauan milikku beserta seekor onta yang sudah tua. Demi Allah! Tidak pernah hujan turun meski setetespun, kami juga tidak bisa melewati malam dengan tidur pulas lantaran tangis bayi kami yang mengerang kelaparan sedangkan ASI di payudaraku tidak mencukupi. Begitu juga dengan air susu onta tua yang bersama kami tersebut sudah tidak berisi. Akan tetapi kami selalu berharap pertolongan dan jalan keluar. Aku kembali pergi keluar dengan mengendarai onta betina milikku yang sudah tidak kuat lagi untuk meneruskan perjalanan sehingga hal ini membuat rombongan kami gelisah akibat letih dan kondisi kekeringan yang melilit. Akhirnya kami sampai juga ke Mekkah untuk mencari bayi-bayi susuan akan tetapi tidak seorang wanita pun diantara kami ketika disodorkan untuk menyusui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melainkan menolaknya setelah mengetahui kondisi beliau yang yatim. Sebab, tujuan kami (rombongan wanita penyusu bayi), hanya mengharapkan imbalan materi dari orang tua si bayi sedangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bayi yang yatim, lantas apa gerangan yang dapat diberikan oleh ibu dan kakeknya buat kami?. Kami semua tidak menyukainya karena hal itu; akhirnya, semua wanita penyusu yang bersamaku mendapatkan bayi susuan kecuali aku. Tatkala kami semua sepakat akan berangkat pulang, aku berkata kepada suamiku: ‘demi Allah! Aku tidak sudi pulang bersama teman-temanku tanpa membawa seorang bayi susuan. Demi Allah! Aku akan pergi ke rumah bayi yatim tersebut dan akan mengambilnya menjadi bayi susuanku. Lalu suamiku berkata: ‘tidak ada salahnya bila kamu melakukan hal itu, mudah-mudahan Allah menjadikan kehadirannya di tengah kita suatu keberkahan. Akhirnya aku pergi ke rumah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan membawanya serta. Sebenarnya, motivasiku membawanya serta hanyalah karena belum mendapatkan bayi susuan yang lain selain beliau. Setelah itu, aku pulang dengan membawanya serta dan mengendarai tungganganku. Ketika dia kubaringkan di pangkuanku dan menyodorkan puting susuku ke mulutnya supaya menetek ASI yang ada seberapa dia suka, diapun meneteknya hingga kenyang, dilanjutkan kemudian oleh saudara sesusuannya (bayiku) hingga kenyang pula. Kemudian keduanya tertidur dengan pulas padahal sebelumnya kami tak bisa memicingkan mata untuk tidur karena tangis bayi kami tersebut. Suamiku mengontrol onta tua milik kami dan ternyata susunya sudah berisi, lalu dia memerasnya untuk diminum. Aku juga ikut minum hingga perut kami kenyang, dan malam itu bagi kami adalah malam tidur yang paling indah yang pernah kami rasakan. Pada pagi harinya, suamiku berkata kepadaku:’ demi Allah! Tahukah kamu wahai Halimah?; kamu telah mengambil manusia yang diberkahi’. Aku berkata: ‘demi Allah! Aku berharap demikian’. Kemudian kami pergi keluar lagi dan aku menunggangi onta betinaku dan membawa serta beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam diatasnya. Demi Allah! Onta betinaku tersebut sanggup menempuh perjalanan yang tidak sanggup dilakukan oleh onta-onta mereka, sehingga teman-teman wanitaku dengan penuh keheranan berkata kepadaku:’wahai putri Abu Zuaib! Celaka! Kasihanilah kami bukankah onta ini yang dulu pernah bersamamu?, aku menjawab:’demi Allah! Inilah onta yang dulu itu!’. Mereka berkata:’demi Allah! Sesungguhnya onta ini memiliki keistimewaan’. Kemudian kami mendatangi tempat tinggal kami di perkampungan kabilah Bani Sa’ad. Sepanjang pengetahuanku tidak ada bumi Allah yang lebih tandus darinya; ketika kami datang, kambingku tampak dalam keadaan kenyang dan banyak air susunya sehingga kami dapat memerasnya dan meminumnya padahal orang-orang tidak mendapatkan setetes air susupun walaupun dari kambing yang gemuk. Kejadian ini membuat orang-orang yang hadir dari kaumku berkata kepada para pengembala mereka: celakalah kalian! Pergilah membuntuti kemana saja pengembala kambing putri Abu Zuaib mengembalakannya. Meskipun demikian, realitasnya, kambing-kambing mereka tetap kelaparan dan tidak mengeluarkan air susu setetespun sedangkan kambingku selalu kenyang dan banyak air susunya. Demikianlah, kami selalu mendapatkan tambahan nikmat dan kebaikan dari Allah hingga tak terasa dua tahun pun berlalu dan tiba waktuku untuk menyapihnya. Dia tumbuh besar namun tidak seperti kebanyakan anak-anak sebayanya; sebab belum mencapai usia dua tahun dia sudah tumbuh dengan postur yang bongsor. Akhirnya, kami mengunjungi ibunya dan dalam hati yang paling dalam kami sangat berharap dia masih berada di tengah keluarga kami dikarenakan keberkahan yang kami rasakan sejak keberadaannya dan itu semua kami ceritakan kepada ibundanya. Aku berkata kepadanya: ‘kiranya anda sudi membiarkan anak ini bersamaku lagi hingga dia besar, sebab aku khawatir dia terserang penyakit menular yang ada di Mekkah’. Kami terus mendesaknya hingga dia bersedia mempercayakannya kepada kami lagi”.
Begitulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akhirnya tetap tinggal di lingkungan kabilah Bani Sa’ad, hingga terjadinya peristiwa dibelahnya dada beliau ketika berusia empat atau lima tahun. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam saat beliau tengah bermain bersama teman-teman sebayanya. Jibril memegang beliau sehingga membuatnya pingsan lalu membelah bagian dari hatinya, kemudian mengeluarkannya segumpal darah bersamanya. Jibril berkata: ‘ini adalah bagian syaithan yang ada pada dirimu! Kemudian meletakkannya di dalam baskom yang terbuat dari emas dan mencucinya dengan air zam-zam, merapikan dan mengembalikannya ke tempat semula. Teman-teman sebayanya tersebut berlarian mencari ibu susuannya seraya berkata:’sesungguhnya Muhammad sudah dibunuh!’. Mereka akhirnya beramai-ramai menghampirinya dan menemukannya dalam kondisi rona muka yang sudah berubah. Anas berkata: ‘sungguh aku telah melihat bekas jahitan itu di dada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam ‘.
3. Kembali ke pangkuan sang ibunda Aminah
Setelah peristiwa tersebut, Halimah merasa cemas atas diri beliau sehingga dikembalikan lagi kepada ibundanya. Beliau hidup bersama ibundanya sampai berusia enam tahun.
Aminah memandang perlu untuk menziarahi kuburan suaminya di Yatsrib sebagai bentuk kesetiaannya terhadapnya. Akhirnya, dia keluar dari Mekkah dengan menempuh perjalanan yang mencapai 500 km bersama anaknya yang masih yatim, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, pembantunya, Ummu Aiman dan mertuanya, ‘Abdul Muththalib. Setelah menginap selama sebulan disana, dia kembali pulang ke Mekkah akan tetapi di tengah perjalanan dia diserang sakit keras sehingga akhirnya meninggal dunia di al-Abwa’ , suatu tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah.
4. Dipangkuan sang kakek Abdul Muthalib
Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dibawa kembali ke Mekkah oleh kakeknya. Perasaan kasih terhadap sang cucu yang sudah yatim piatu semakin bertambah di sanubarinya, dan hal ini ditambah lagi dengan adanya musibah baru yang seakan menimpali luka lama yang belum sembuh betul. Maka ibalah ia terhadapnya; sebuah perasaan yang tak pernah ia tumpahkan terhadap seorangpun dari anak-anaknya. Dia tidak lagi membiarkan cucunya tersebut hanyut dengan kesendirian yang harus dialaminya bahkan dia lebih mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan anak-anaknya. Ibnu Hisyam berkata: ” Biasanya, ‘Abdul Muththalib menghamparkan permadaninya di naungan Ka’bah, lalu anak-anaknya duduk di sekitar permadani tersebut hingga dia keluar, dan ketika itu, tak seorangpun dari anak-anaknya tersebut yang berani duduk-duduk disitu untuk menghormati kedudukannya. Namun tidak demikian halnya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ; tatkala beliau masih berusia di bawah dua dengan postur tubuh yang bongsor datang dan langsung duduk-duduk diatas permadani tersebut, paman-pamannya sertamerta mencegahnya agar tidak mendekati tempat itu. Melihat tindakan anak-anaknya itu, dia berkata kepada mereka: ‘biarkan saja anakku ini melakukan apa saja! Demi Allah! Sesungguhnya dia nanti akan menjadi orang yang besar!’. Kemudian dia duduk-duduk bersama beliau di permadani itu, mengelus-elus punggungnya dengan tangan kasihnya. Dia merasa senang dengan apa yang dilakukan oleh cucunya tersebut”.
Kakek beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal di Mekkah saat beliau berusia delapan tahun dua bulan sepuluh hari. Sebelum meninggal, dia memandang bahwa selayaknya dia menyerahkan tanggung jawab terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Thalib ; saudara kandung ayahanda beliau.
5. Dipangkuan sang paman Abu Thalib
Abu Thalib menjalankan kewajiban yang diembankan kepadanya untuk mengasuh keponakannya dengan penuh tanggung jawab sepertihalnya dia mengasuh anak-anaknya sendiri. Dia bahkan mendahulukan kepentingannya diatas kepentingan mereka. Dia juga, mengistimewakannya dengan penghargaan yang begitu berlebihan. Perlakuan tersebut terus berlanjut hingga beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berusia diatas empat puluh tahun; pamannya masih tetap memuliakan beliau, memberikan pengamanan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun mengobar permusuhan dalam rangka membelanya. Dan sekilas tentang hal itu, akan kami paparkan nanti pada bagian pembahasan tersendiri.
6. Meminta Hujan dengan “Wajah” Beliau
Ibnu ‘Asaakir mengeluarkan hadits dari Jalhamah bin ‘Arfathah, dia berkata: ” ketika aku datang ke Makkah, mereka sedang mengalami musim paceklik (tidak turunnya hujan), lantas orang-orang Quraisy berseru:’wahai Abu Thalib! Lembah telah mengering airnya dan kemiskinan merajalela, untuk itu mari kita meminta turun hujan!’. Kemudian Abu Thalib keluar dengan membawa seorang anak yang laksana matahari yang diselimuti oleh awan tebal pertanda hujan lebat akan turun, dan disekitarnya terdapat sumber mata air sumur; Abu Thalib memegang anak tersebut, menempelkan punggungnya ke Ka’bah, serta menggandengnya dengan jari-jemarinya. Ketika itu tidak ada sama sekali gumpalan awan, maka tiba-tiba awan menggumpal kemudian turunlah hujan dengan lebatnya sehingga lembah jebol dan lahan-lahan tanah menjadi subur. Mengenai peristiwa ini, Abu Thalib menyinggungnya dalam rangkaian baitnya :
“…putih, seorang penolong anak-anak yatim meminta turunnya hujan
melalui ‘wajah’-nya demi menjaga kehormatan para janda”
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berusia dua belas tahun – ada riwayat yang menyatakan; dua belas tahun dua bulan sepuluh hari – pamannya, Abu Thalib membawanya serta berdagang ke negeri Syam hingga mereka sampai di suatu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam dan merupakan ibukota Hauraan . Ketika itu juga, Syam merupakan ibukota negeri-negeri Arab yang masih dibawah kekuasaan Romawi. Di negeri inilah dikenal seorang Rahib yang bernama Buhaira (ada yang mengatakan nama aslinya adalah Jirjis). Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka padahal sebelumnya tidak pernah dia lakukan hal itu, kemudian menyampiri mereka, satu-persatu hingga sampai kepada Rasulullah lalu memegang tangannya sembari berkata: “inilah penghulu para makhluk, inilah Rasul Rabb alam semesta, dia diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta ini”. Abu Thalib dan pemuka kaum Quraisy bertanya kepadanya: “bagaimana anda tahu hal itu?”. Dia menjawab: “sesungguhnya ketika kalian menanjak bebukitan, tidak satupun dari bebatuan ataupun pohon melainkan bersujud terhadapnya, dan kedua makhluk itu tidak akan bersujud kecuali terhadap Nabi. Sesungguhnya aku dapat mengetahuinya melalui cincin kenabian yang terletak pada bagian bawah tulang rawan pundaknya yang bentuknya seperti apel. Sesungguhnya kami mengetahui beritanya dari kitab suci kami. Kemudian barulah sang Rahib mempersilahkan mereka dan menjamu mereka secara istimewa. Lalu dia meminta kepada Abu Thalib agar memulangkan keponkannya tersebut ke Mekkah dan tidak lagi membawanya serta ke Syam sebab khawatir bila tercium oleh orang-orang Romawi dan Yahudi. Akhirnya, pamannya mengirimnya bersama sebagian anak-anaknya ke Mekkah.
Perang Fijar yang terjadi antara kabilah Quraisy dan sekutu mereka dari Bani Kinanah melawan kabilah Qais dan ‘Ilan meletus pada saat beliau berusia dua puluh tahun. Harb bin Umayyah terpilih menjadi komandan perang membawahi kabilah Quraisy dan Kinanah secara umum karena faktor usia dan kedudukan. Perang pun meletus, pada permulaan siang hari, kemenangan berada di pihak kabilah Qais terhadap Kinanah namun pada pertengahan hari keadaan terbalik; justeru kemenangan berpihak pada Kinanah. Dinamakan “Perang Fijar” karena dinodainya kesucian asy-Syahrul Haram pada bulan tersebut. Dalam perang ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ikut serta dan membantu paman-pamannya menyediakan anak panah buat mereka.
Peperangan tersebut berdampak pada terjadinya suatu perjanjian (kebulatan tekad/sumpah setia) yang disebut dengan “Hilful Fudhuul” pada bulan Dzul Qaidah di bulan haram. Hampir seluruh kabilah Quraisy berkumpul dan menghadirinya, mereka terdiri dari: Bani Hasyim, Bani al-Muththalib, Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, Zahrah bin Kilaab dan Tiim bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman ‘Abdullah bin Jud’an at-Tiimy karena faktor usia dan kedudukannya. Isi dari perjanjian tersebut; mereka bersepakat dan berjanji untuk tidak membiarkan ada orang yang dizhalimi di Mekkah baik dia penduduk asli maupun pendatang, dan bila hal itu terjadi mereka akan bergerak menolongnya hingga dia meraih haknya kembali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menghadiri hilf tersebut. Setelah beliau dimuliakan oleh Allah dengan ar-Risalah , beliau berkomentar :”aku telah menghadiri suatu hilf (perjanjian) di kediaman ‘Abdullah bin Jud’an yang lebih aku sukai ketimbang aku memiliki Humrun Na’am (onta merah yang merupakan harta yang paling termahal dan menjadi kebanggaan bangsa Arab ketika itu-red). Andai di masa Islam aku diundang untuk menghadirinya, niscaya aku akan memenuhinya”.
Sebagai catatan, semangat perjanjian ini bertentangan dengan fanatisme Jahiliyyah yang digembar-gemborkan ketika itu. Diantara hal yang disebutkan sebagai sebab terjadinya perjanjian tersebut adalah ada seorang dari kabilah Zabiid datang ke Mekkah membawa barang dagangannya, kemudian barang tersebut dibeli oleh al-‘Ash bin Waa-il as-Sahmi akan tetapi dia tidak memperlakukannya sesuai dengan haknya. Orang tersebut meminta bantuan kepada sukutu-sekutu al-‘Ash namun mereka mengacuhkannya. Akhirnya, dia menaiki gunung Abi Qubais dan menyenandungkan sya’ir-sya’ir yang berisi kezhaliman yang tengah dialaminya seraya mengeraskan suaranya. Rupanya, az-Zubair bin ‘Abdul Muththalib mendengar hal itu dan bergerak menujunya lalu bertanya-tanya:”kenapa orang ini diacuhkan?”. Tak berapa lama kemudian berkumpullah kabilah-kabilah yang telah menyetujui perjanjian Hilful Fudhuul diatas, lantas mereka mendatangi al-‘Ash bin Waa-il dan mendesaknya agar mengembalikan hak orang tersebut, mereka berhasil setelah membuat suatu perjanjian.
10. Menjalani kehidupan dengan kerja keras (Mengembala Kambing)
Diawal masa mudanya, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki pekerjaan tertentu, hanya saja riwayat-riwayat yang ada menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai pengembala kambing dan mengembalanya di perkampungan kabilah Bani Sa’ad disamping bekerja untuk Ahli Mekkah dengan upah sebesar Qaraariith (jamak dari kata qiiraath ; yaitu bagian dari uang dinar, ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa itu adalah nama suatu tempat di Mekkah akan tetapi pendapat ini tidak kuat-[lihat; fathul Bari dalam syarahnya terhadap hadits tentang ini]-red). Ketika berusia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan modal yang diperoleh dari Khadijah radhiallâhu ‘anha . Ibnu Ishaq berkata: “Khadijah binti Khuwailid adalah salah seorang wanita pedagang yang memiliki banyak harta dan bernasab baik. Dia menyewa banyak kaum lelaki untuk memperdagangkan hartanya dengan sistem bagi hasil. Kabilah Quraisy dikenal sebagai pedagang handal, maka tatkala sampai ke telinganya perihal kejujuran bicara, amanah dan akhlaq Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkannya untuk memperdagangkan harta miliknya ke negeri Syam. Dia menyerahkan kepada beliau barang dagangan yang istimewa yang tidak pernah dipercayakannya kepada pedagang-pedagang yang lainnya. Beliau juga didampingi oleh seorang pembantunya bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangannya bersama pembantunya tersebut hingga sampai ke Syam.
11. Menikah dengan Khadijah Radianyallahu ‘anha
Ketika beliau pulang ke Mekkah dan Khadijah melihat betapa amanahnya beliau terhadap harta yang diserahkan kepadanya begitu juga dengan keberkahan dari hasil perdagangan yang belum pernah didapatinya sebelum itu, ditambah lagi informasi dari Maisarah, pembantunya tentang budi pekerti beliau, kejeniusan, kejujuran dan keamanahannya; maka dia seakan menemukan apa yang dicarinya selama ini (calon pendamping idaman-red) padahal banyak kaum laki-laki bangsawan dan pemuka yang sangat berkeinginan untuk menikahinya namun semuanya dia tolak. Akhirnya dia menceritakan keinginan hatinya kepada teman wanitanya, Nafisah binti Munayyah yang kemudian bergegas menemui beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta kesediaan beliau untuk menikahi Khadijah. Beliau pun menyetujuinya dan menceritakan hal tersebut kepada paman-pamannya. Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamar keponakannya. Maka pernikahan pun berlangsung setelah itu dan ‘aqad tersebut dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemimpin Mudhar. Pernikahan tersebut berlangsung dua bulan setelah kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau memberikan mahar berupa dua puluh ekor onta muda sedangkan Khadijah ketika itu sudah berusia empat puluh tahun. Dia adalah wanita kabilahnya yang paling terhormat nasabnya, paling banyak hartanya dan paling brilian otaknya. Dialah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dimana beliau tidak menikah lagi dengan wanita selainnya hingga dia wafat.
Semua putra-putri beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam lahir dari rahim Khadijah kecuali putranya, Ibrahim. Putra-putri beliau tersebut adalah:1). al-Qasim (dimana beliau dijuluki dengannya). 2). Zainab. 3). Ruqayyah. 4). Ummu Kultsum. 5). Fathimah. 6). ‘Abdullah (julukannya adalah ath-Thayyib dan ath-Thaahir). Semua putra beliau meninggal ketika masih kecil sedangkan putri-putri beliau semuanya hidup pada masa Islam, menganutnya dan juga ikut berhijrah namun semuanya meninggal dunia semasa beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup kecuali Fathimah radhiallâhu ‘anha yang meninggal enam bulan setelah beliau wafat.
12. Renovasi Ka’bah dan Penyeleseaian pertikaian serta peletakan Hajar Aswad
Pada saat beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berusia tiga puluh lima tahun, kabilah Quraisy merenovasi Ka’bah karena kondisinya sebelum itu hanyalah berupa tumpukan-tumpukan batu-batu berukuran diatas tinggi badan manusia, yaitu setinggi sembilan hasta di masa Ismail ‘alaihissalam dan tidak memiliki atap. Karenanya, harta terpendam yang ada didalamnya berhasil dicuri oleh segerombolan para pencuri. Disamping itu, karena merupakan peninggalan sejarah, ka’bah sering diserang oleh pasukan berkuda sehingga merapuhkan bangunannya dan merontokkan sendi-sendinya. Lima tahun sebelum beliau diutus menjadi Rasulullah, Mekkah dilanda banjir besar dan airnya meluap mencapai pelataran al-Baitul Haram sehingga mengakibatkan bangunan ka’bah hampir ambruk. Orang-orang Quraisy terpaksa merenovasi bangunannya untuk menjaga reputasinya dan bersepakat untuk tidak membangunnya dari sembarang sumber dana selain dari sumber usaha yang baik; mereka tidak mau memakai dana dari mahar hasil pelacuran, transaksi ribawi dan hasil pemerasan terhadap orang-orang. Mereka merasa segan untuk merobohkan bangunannya, sampai akhirnya dimulai oleh al-Walid bin al-Mughirah al-Makhzumi baru kemudian diikuti oleh yang lainnya setelah mereka melihat tidak terjadi apa-apa terhadapnya. Mereka terus melakukan perobohan hingga sampai ke pondasi pertama yang dulu diletakkan oleh Ibrahim ‘alaihissalam . Setelah itu mereka memulai perenovasiannya; pertama-pertama mereka membagi bagian bangunan ka’bah yang akan dikerjakan beberapa bagian, yaitu masing-masing kabilah mendapat satu bagian dan mengumpulkan sejumlah batu sesuai dengan jatah masing-masing lalu dimulailah perenovasiannya. Sedangkan yang menjadi pimpinan proyeknya adalah seorang arsitek asal Romawi yang bernama Baqum . Tatkala pengerjaan tersebut sampai ke al-Hajar al-Aswadi, mereka bertikai tentang siapa yang paling berhak untuk meletakkannya ke tempat semula dan pertikaian tersebut berlangsung selama empat atau lima malam bahkan semakin meruncing sehingga hampir terjadi peperangan yang maha dahsyat di tanah al-Haram . Untunglah, Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumi menengahi dan menawarkan penyelesaian pertikaian diantara mereka lewat perundingan damai, caranya; siapa yang paling dahulu memasuki pintu masjid diantara mereka maka dialah yang berhak meletakkannya. Tawaran ini dapat diterima oleh semua dan atas kehendak Allah Ta’ala, Rasulullah lah yang menjadi orang pertama yang memasukinya. Tatkala mereka melihatnya, dia disambut dengan teriakan: “inilah al-Amiin! Kami rela! Inilah Muhammad! “. Dan ketika beliau mendekati mereka dan diberitahu tentang hal tersebut, beliau meminta sehelai selendang dan meletakkan al-Hajar al-Aswad ditengahnya, lalu pemimpin-pemimpin kabilah yang bertikai tersebut diminta agar masing-masing memegang ujung selendang dan memerintahkan mereka untuk mengangkatnya tinggi-tinggi hingga manakala mereka telah menggelindingkannya dan sampai ke tempatnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengambilnya dengan tangannya dan meletakkannya di tempatnya semula. Ini merupakan solusi yang tepat dan jitu yang diridhai oleh semua pihak.
Orang-orang Quraisy kekurangan dana dari sumber usaha yang baik sehingga mereka harus membuang sebanyak enam hasta dari bagian utara, yaitu yang dinamakan dengan al-Hijr (Hijr Isma’il-red) dan al-Hathim, lalu mereka tinggikan pintunya dari permukaan bumi agar tidak dapat dimasuki kecuali saat menginginkannya. Tatkala pembangunan sudah mencapai lima belas hasta, mereka memasang atap yang disangga dengan enam tiang.
Akhirnya Ka’bah yang baru diselesaikan tersebut berubah menjadi hampir berbentuk kubus dengan ketinggian 15 m dan panjang sisi yang berada di bagian al-Hajar al-Aswad dan bagian yang searah dengannya adalah 10,10 m. al-Hajar al-Aswad sendiri dipasang diatas ketinggian 1,50 m dari permukaan pelataran thawaf. Adapun panjang sisi yang berada di bagian pintu dan bagian yang searah dengannya adalah 12 m sedangkan tinggi pintunya adalah 2 m diatas permukaan bumi. Dan dari sebelah luarnya dikelilingi oleh tumpukan batu bangunan, tepatnya di bagian bawahnya, tinggi rata-ratanya adalah 0,25 m dan lebar rata-ratanya 0,30 m dan bagian ini dikenal dengan nama asy-Syaadzirwan yang merupakan bagian dari pondasi asal Ka’bah akan tetapi orang-orang Quraisy membuangnya.
Ibnu Ishaq berkata: Orang-orang Quraisy dahulu, saya tidak tahu pasti apakah itu sebelum atau setelah tahun gajah membuat bid’ah agama yang dinamakan Al-Humsu. Mereka berkata: “Kami adalah anak anak keturunan Ibrahim, penduduk tanah haram penguasa Ka’bah, penjaga dan penghuni Mekkah. Tidak ada seorang Arabpun yang memiliki hak sebagaimana hak kami, tidak ada pula yang memiliki kedudukan seperti kedudukan kami, dan tidak ada yang lebih dikenal dari orang Arab yang melebihi kami. Karena itulah, janganlah mengagungkan sedikit pun dari tanah halal sebagaimana kalian mengagungkan tanah haram. Sebab jika kalian melakun itu, orang-orang Arab akan merendahkan kehormatan kalian.” Mereka akan berkata: “Mereka telah telah mengagungkan yang halal sebagaimana mereka mengagungkan tanah haram.”
Mereka tidak menunaikan wukuf di Arafah tidak juga bertolak darinya padahal mereka telah tahu dan mengakui bahwa wukuf di Arafah dan bertolak darinya adalah termasuk masyair, haji, dan sekaligus agama Ibrahim Alaihis Salam. Mereka berpandangan bahwa bagi semua orang non-Arab haruslah wukuf di Arafah dan harus bertolak daripadanya. Mereka berkata: “Kami penduduk tanah haram, karena itu kami terus berada di dalamnya dan kami tidak akan rela mengagungkan tanah halal seperti halnya mengagungkan tanah haram. Kami adalah Al-Humsu dan Al-Humsu adalah penduduk tanah haram.” Kemudian mereka menentukan bahwa orang-orang Arab yang tinggal di tanah haram dan tanah mempunyai hak yang sama dengan mereka Dengan kelahiran mereka maka dihalalkan apa yang dihalalkan buat mereka dan diharamkan atas mereka apa yang diharakan atas mereka.
Ibnu Ishaq berkata: Kinanah dan Khuza’ah masuk dalam kesepakatan dengan orang-orang Quraisy dalam bid’ah Al-Humsu ini.
Ibnu Hisyam berkata: Abu Ubaidah An-Nahwi berkata kepadaku, Bani Amir bin Sha’shaah bin Muawiyah bin Bakr bin Hawazin sependapat dengan Quraisy dalam bid’ah Al-Humsu ini.
Yang dimaksud dengan Al-Ahamisu pada syair di atas adalah Bani Amir bin Sha’shaah.
Sedangkan Abbas yang dimaksud adalah Ab-bas bin Mirdas As-Sulami. Ia menyerbu Bani Zubayd di Tatslits. Bait syair di atas adalah penggalan dari syair Amr.
Pemicu terjadinya Perang Jablah adalah karena Bani Abas pada perang tersebut menjadi sekutu Bani Amir bin Sha’sha’ah. Perang Jablah adalah perang yang terjadi antara Bani Handzalah bin Malik bin Zaid bin Manat bin Tamim dengan Bani Amir bin Sha’sha’ah. Pada perang ini, kemenangan berada dipihak Bani Amir bin Sha’sha’ah atas Bani Handzalah. Laqith bin Zurarah bin Udas terbunuh, Hajib bin Zurarah bin Udas tertawan, dan Amr bin Amr bin Udas bin Zaid bin Abdullah bin Darim bin Malik bin Handzalah lari lintang pukang.
Bait syair di atas adalah potongan dari syair-syair Jarir.
Mereka berhadapan lagi di Dzu Najab. Pada perang tersebut, Handzalah berhasil menaklukkan Bani Amir. Sementara Hassan bin Muawiyah Al-Kindi, yang tak lain adalah putera Kabsyah tewas. Yazid bin Ash-Sha’iq tertawan, Ath-Thufail bin Malik bin Ja far bin Kilab Abu Amir bin Ath-Thufal terhempas mundur.
Ibnu Ishaq berkata: Orang-orang Quraisy menciptakan banyak hal yang belum ada preseden sebelumnya. Bahkan mereka berkata: “Penduduk tanah suci Mekkah tidak boleh membuat mentega, tidak boleh memasak minyak selama mereka ihram, tidak memasuki rumah yang terbuat dari dedaunan, dan tidak berteduh kecuali d rumah-rumah dari kulit ketika mereka sedang ihram.” Apa yang me-reka lakukan semakin menjadi-jadi dengan berkata: Penduduk tanah halal tidak boleh menyantap makanan yang mereka bawa dari tanah halal ke tanah haram jika mereka mau menunaikan ibadah haji atau umrah. Jika tiba di Mekkah mereka tidak boleh yang thawaf pertama kecuali dengan mengenakan pakai- an penduduk Hums (Mekkah). Jika ternyata tidak mendapatkan pakaian penduduk Mekkah, mereka thawaf di sekitar Ka’bah dengan cara telanjang. Jika di antara mereka terdapat orang dermawan; laki-laki atau perempuan dan tidak mendapatkan pakaian penduduk Mekkah kemudian ia thawaf dengan tetap memakai pakaiannya yang ia dibawa dari negeri asalnya, ia harus membuang pakaian tersebut usai thawaf, tidak boleh memanfaatkannya, tidak juga menyentuhnya baik dirinya atau- pun siapa pun selain dirinya untuk selama-lamanya.”
Orang-orang Arab menyebut pakaian tersebut dengan Al-Laqa’. Mereka menerapkan aturan aneh ini kepada seluruh orang Arab, dan mereka pun patuh dengannya. Orang- orang Arab wukuf di Arafah, berangkat dari sana, dan thawaf di Ka’bah dengan telanjang. Laki-lakinya thawaf dengan telanjang bulat. Sedangkan para wanitnya, maka salah seorang dari mereka melorotkan seluruh pakaiannya kecuali yang berlubang di depan dan belakang, kemudian ia thawaf dengan pakaian tersebut. Seorang wanita Arab berkata ketika thawaf di Ka’bah dengan pakaian seperti ini:
Pada hari ini, tampaklah sebagian atau semuanya
Apa yang tampak padanya, tidaklah aku halalkan
Siapa yang thawaf dengan mengenakan pakaian yang dibawanya dari daerah asalnya, maka setelah itu ia harus mencopotnya dan tidak memanfaatkannya baik dirinya atau orang lain. Salah seorang Arab berkata ketika ia ingat pakaiannya yang ditanggalkan dan dia tidak boleh mendekatinya setelah thawaf dengannya, padahal ia demikian menyukainya:
Cukuplah ini sebuah kesedihan karena ku harus balik padanya Karena ia laksana pakaian Al-Laqa yang ada di tangan orang-orang yang thawaf yang dimanfaatkan
Keadaan ini terus berlangsung lama sekian lama hingga Allah Taala mengutus Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa Sallam sebagai Nabi. Allah menurunkan wahyu kepada beliau ketika Dia kehendak memantapkan agama- Nya, dan mensyariatkan aturan-aturan haji-Nya:
“Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Baqarah: 199).
Yang dimaksud dengan An-Naasu pada ayat itu adalah orang-orang Arab. Kemudian Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam menetapkan dalam sunnah haji untuk pergi ke Arafah, wukuf di sana, dan bertolak darinya. Selain itu, Allah juga menurunkan ayat yang menyinggung aturan orang-orang Quraisy yang mengharamkan manusia makan dan berpakaian di Baitullah tatkala mereka thawaf dengan telanjang dan mengharamkan diri mereka memakan-makanan yang Allah halalkan. Allah Ta’ala berfirman:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih lebihan. Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui. (QS. Al-A’raaf: 31-32).
Allah Ta ‘ala menghapus aturan Al-Humsu dan bid’ah yang diciptakan orang-orang Quraisy untuk manusia dengan agama Islam ketika Dia mengutus Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa Sallam sebagai Rasul-Nya. Ibnu Ishaq berkata: Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm berkata kepadaku dari Utsman bin Abu Sulaiman bin Jubair bin Muth’im dari pamannya, Nafi’ bin Jubair dari ayahnya, Jubair bin Muth’im dimana dia berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam -sebelum diturunkannya kepada beliau-wukuf di atas untanya di Arafah hingga beliau berangkat pergi dari sana. Itulah petunjuk Allah kepada beliau. Semoga Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan yang berlimpah padanya dan para sahabatnya.
14. Dukun-dukun Arab, Rabi-rabi Yahudi dan Pendeta-pendeta Kristen
Ibnu Ishaq berkata: Rabi-rabi Yahudi, pendeta-pendeta Kristen, dan dukun-dukun Arab membahas tentang Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam sebelum kenabian beliau, karena masa kenabian sudah semakin dekat. Rabi-rabi Yahudi dan para pendeta Kristen mewacanakan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam sebab mereka dapatkan ciri-ciri beliau dan ciri zamannya dalam kitab-kitab mereka, dan sesuai dengan wasiat Nabi-nabi mereka dalam kitab itu. Sedangkan dukun-dukun Arab, mereka didatangi setan-setan dari bangsa jin yang membawa berita yang mereka curi, sebab saat itu setansetan tidak dihalang-halangi untuk mencuri berita langit. Dukun lelaki dan dukun wanita Arab tiada henti mengungkap tentang hak-hal yang berhubungan dengan Rasulullah, tapi orang- orang Arab tidak ambil peduli hingga saat Allah mengutus Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam sebagai Nabi, dan ramalan-ramalan dukun-dukun tersebut menjadi kenyataan. Saat itulah, orang-orang Arab baru mengetahui berita tersebut.
Tatkala masa kenabian Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam semakin dekat dan waktunya telah tiba, setan-setan dihalang untuk mencuri-curi kabar langit dan dijauhkan dari kursi-kursi yang di masa lalu mereka duduki untuk mencuri kabar langit. Mereka dilempari dengan panah-panah berapi. Saat itulah jin-jin menyadari, bahwa pelemparan terhadap dirinya itu pasti terjadi karena satu urusan besar yang ditetapkan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa Sallam seraya bercerita kepada beliau tentang para jin saat mereka dihalangi untuk mencuri kabar langit. Merekapun tahu namun, merekapun tidak mengingkarinya setelah mereka melihat apa yang mereka saksikan.
Katakanlah (hai Muhammad): “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan (Al Quran)” lalu mereka berkata: “Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutu kan seorang pun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak. Dan bahwasanya: orang yang kurang akal dari pada kami dahulu selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah, dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jin sekali-kali tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah. Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. Dan sesungguhnya mereka (jin) menyangka sebagaimana persangkaan kamu (orang-orang kafir Mekah), bahwa Allah sekali-kali tidak akan membangkitkan seorang (rasul) pun, dan sesungguhnya kami telah mencoba engetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengardengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). Dan sesungguhnya kami tidak mengetahui (dengan adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki bagi orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan bagi mereka.” (QS. al-Jin: 1-10)
Setelah mendengar Al-Qur’an tahulah jin itu bahwa mereka kini terhalang untuk mendengarkan kabar langit agar wahyu tidak tercampur dengan sesuatu dari berita langit yang akan membuat manusia tidak memiliki kepastian tentang apa yang datang dari Allah kepada mereka. Karena Al-Qur’an diturunkan untuk hujjah dan memangkas semua keraguraguan (syubhat). Maka jin-jin itupun beriman dan membenarkan.
Setelah itu Mereka pulang pada kaumnya dan memberikan peringatan: Mereka berkata: “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. ” (QS. al-Ahqaaf: 29-30).
Perkataan jin,
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan. “(QS. al- Jin: 6).
Jika ada orang Arab dari kalangan Quraisy ataupun selain Quraisy melakukan perjalanan lalu mampir
di salah satu lembah untuk bermalam di sana maka ia berkata: “Aku meminta perlindungan penguasa lembah ini dari jin di malam ini dari kejahatan yang ada di dalamnya.”
Ibnu Hisyam berkata: Makna Ar-Rahaqu adalah tindakan yang melampaui batas (zalim) dan kebodohan. Ru’bah bin Al-Ajjaj berkata:
Tiba-tiba penyakit panas menyerang unta yang bodoh
Bait syair di atas adalah penggalan dari syair-syairnya. Ar-Rahaqu berarti pula pencarianmu pada sesuatu hingga engkau dekat padanya lalu engkau mengambil atau meninggalkannya. Ru’bah bin Al-Ajjaj berkata menyifati seekor keledai liar:
Mereka menggerakkan ekornya dan gemetar karena takut ditangkap
Bait syair di atas adalah penggalan dari syair-syairnya. Ar-Rahaqu juga berarti kata mashdar dari perkataan seseorang pada orang lain: Rahiqtu al-lisma aw al-‘usra al-ladzi arhaqtani rahaqan syadidan.” Artinya, saya memikul dosa atau kesulitan atas beban berat yang engkau bebankan kepadaku. Sebagaimana Allah sebutkan dalam Al-Quran:
Dan kami khawatir dia mendorong kedua orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. (QS. al-Kahfi: 80).
Dalam firman-Nya yang lain:
Dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku. (QS. al- Kahfi: 73).
Ibnu Ishaq berkata: Yaqub bin Utbah bin Al-Mughirah bin Al-Akhnas bercerita kepadaku bahwa ia diberitahu bahwa orang Arab yang pertama kali khawatir tertimpa lemparan bintang-bintang saat dilemparkan adalah perkampungan Tsaqif. Mereka datang kepada seseorang yang bernama Amr bin Umayyah yang berasal dari Bani Ilaj. Ia adalah orang Arab yang pintar dan ramalan selalu tepat. Mereka berkata kepada Amr: “Wahai Amr, tidakkah engkau melihat lontaran bintang-bintang yang terjadi di langit?” Amr bin Umayyah menjawab: “Benar, aku telah melihatnya. Maka perhatikanlah bintang-bintang itu jika yang dilemparkan adalah bintang-bintang yang bisa dipakai sebagai penunjuk jalan di daratan, lautan, dan untuk mengenali musim panas dan musim hujan yang mendatangkan kemaslahatan kepada manusia dalam kehidupan mereka, maka ketahuilah demi Allah, ia adalah kebinasaan dunia dan kehancuran makhluk yang ada di dalamnya. Jika bintang-bintang tersebut adalah bintang- bintang selain itu, dan ia tetap berada di tempatnya semula, maka yang demikian itu adalah sesuatu yang Allah kehendaki untuk makhluk-Nya. Lalu apa itu?”
Ibnu Ishaq berkata: Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri menyebutkan dari Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abu Thalib dari Abdullah bin Abbas dari beberapa orang dari kaum Anshar bahwa Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka:
“Apa pandangan kalian tentang bintang yang digunakan untuk melempar(setan)?” Para sahabat menjawab: “Wahai Nabi Allah, dahulu jika kami melihat bintang tersebut di lempar maka kami berkata: ‘Seorang raja telah meninggal dunia, raja telah diangkat, seorang anak telah lahir, dan seorang bayi telah meninggal dunia.”‘ Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Tidak demikian. Jika Allah Yang Mahatinggi menetapkan sesuatu atas makhluk-Nya, maka hal itu didengar oleh para malaikat pemikul Arasy, kemudian mereka bertasbih dan bertasbihlah pula siapa saja yang berada di bawah mereka. Tasbih bergema hingga terhenti di langit dunia kemudian mereka bertasbih.” Sebagian dari mereka bertanya kepada sebagia lainnya: “Kenapa kalian bertasbih?” Mereka menjawab: “Karena malaikat-malaikat yang berada di atas kami bertasbih, makanya kami ikut pula bertasbih.” Mereka berkata: “Kenapa kalian tidak menanyakan kepada para malaikat yang di atas kalian apa yang membuat mereka bertasbih?” Mereka mengatakan perkataan ini hingga berakhir pada malaikat pemikul Arasy. Maka ditanyakanlah hal itu kepada malaikat pemikul Arasy: “Kenapa kalian semua bertasbih?” Para malaikat pemikul Arasy berkata: “Allah telah menetapkan perkara ini dan itu pada makhluk-Nya karena sesuatu hal yang sudah ada, kemudian hal tersebut merembet dari langit ke langit hingga terhenti di langit dunia. Saat mereka sedang memperbin- cangkannya, tiba-tiba setan setan mencuri pendengaran dengan prasangka dan salah tangkap, lalu mereka membawanya kepada dukun-dukun di bumi. Dukun-dukun membicarakan apa yang mereka peroleh dari setan-setan. Kadang apa yang mereka katakan itu salah dan kadang kala benar.” Kemudian Allah Yang Mahamulia menghalangi setan-setan dengan bintang-bintang yang dilemparkan kepada mereka. Sehingga terhentilah perdukunan sampai hari ini.
Ibnu Ishaq berkata: Sebagian pakar bertutur kepadaku bahwa seorang wanita dari Bani Sahm yang bernama Al-Ghaithalah dikenal sebagai seorang dukun wanita pada zaman jahiliyah. Pada suatu malam, sahabatnya bangsa jin datang menemuinya kemudian menjungkirkan apa yang ada di bawah sang dukun sambil berkata: “Aku mengerti apa yang kumengerti! hari luka serta hari penyemDennan. Ketika hai tersebut terdengar oleh orang-orang Quraisy, mereka berkata: “Apa maksud dari ucapan itu?” Pada malam yang lain, jin sahabat Al-Ghaithalah kembali datang menemuinya kemudian merobohkna apa yang ada di bawah Al-Ghaithalah sambil berkata: “Apakah kematian itu?. Di dalamnya Ka’ab tewas terbaring.” Ketika hal ini didengar orang-orang Quraisy, mereka berkata: “Apa maksud dari ucapannya itu? Apa yang dia dikatakan pasti suatu saat terjadi. Perhatikanlah dengan seksama apa yang akan terjadi?” Mereka tidak mengerti maksud perkataan jin tersebut hingga terjadinya Perang Badar dan Uhud di Syi’b. Saat itulah, mereka mengerti bahwa itulah maksud perkataan jin kepada Al-Ghaithalah.
Ibnu Hisyam berkata: Al-Ghaithalah berasal dari Bani Murrah bin Abdu Manat bin Kinanah, saudara Mudlij bin Murrah. Al-Ghaithalah adalah ibu dari Al-Ghayathil yang disebutkan Abu Thalib dalam untaian syairnya,
Sungguh bodohlah bayangan sebuah kaum yang mengubah Bani Khalaf menjadi Al-Ghayathil
Anak-anaknya disebut dengan Al-Ghayathil. Mereka adalah Bani Sahm bin Amr bin Hushaish. Bait syair di atas adalah penggalan dari syair-syair Abu Thalib dan secara lengkap, insyaallah, akan saya paparkan pada tempatnya.
Ibnu Ishaq berkata: Ali bin Naff Al-Jurasyi berkata kepadaku bahwa Janb, satu kabilah di Yaman mempunyai seorang dukun pada zaman jahiliyah. Tatkala berita tentang Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam menyebar ke mana-mana, kabilah Janb berkata kepada dukun itu: “Coba perhatikan dengan cermat tentang orang tersebut.” Mereka berkumpul di lereng gunung guna menunggu dukun tersebut. Ketika matahari terbit, dukun tersebut turun kepada mereka, kemudian berdiri dengan bersandar kepada busur panahnya. Ia angkat kepalanya ke langit dalam waktu yang lama sekali, kemudian ia melompat dan berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah memuliakan dan memilih Muhammad serta mensucikan hati dan isi perutnya, namun ia tak lama tinggal di tengah-tengah kalian.” Setelah itu, si dukun naik kembali ke gunung tempat dia semula.
Ibnu Ishaq berkata: Seorang yang tidak aku ragukan kredibilitasnya berkata kepadaku dari Abdullah bin Ka’ab, mantan budak Utsman bin Affan, bahwa Utsman bin Affan berkata: Ketika Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu sedang duduk bersama sahabat-sahabatnya di asjid Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam, tiba-tiba datanglah orang Arab kemudian masuk ke dalam masjid karena ingin bertemu dengan Umar bin Khaththab. Saat Umar bin Khaththab melihat kedatangan orang itu, ia berkata: “Sungguh orang ini ada padanya kesyirikan dan dia tidak akan berpisah dengannya.” Atau mungkin ia sebelumnya adalah seorang dukun pada zaman jahiliyah. Orang tadi mengucapkan salam kepada Umar bin Khaththab lalu duduk. Umar bin Khaththab berkata: “Apakah engkau telah memeluk agama Islam?” Orang tadi menjawab: “Ya. wahai Amirul Mukminin.” Umar bin Khaththab melanjutkan: “Apakah pada zaman jahiliyah engkau pernah menjadi seorang dukun?” Orang tersebut berkata: “Maha suci Allah, wahai Amirul Mukminin, bagaimana kau bisa tahu?!” Umar bin Khaththab berkata: “Ya Allah, ampunilah orang ini. Sesungguh nya pada zaman jahiliyah kami lebih buruk dari itu. Kami menyembah berhala, dan memeluk agama berhala hingga pada akhirnya Allah memuliakan kami dengan Rasul-Nya dan dengan agama Islam.” Orang itu berkata: “Benar apa yang kau katakan, wahai Amirul Mukminin, pada zaman jahiliyah aku adalah seorang dukun.” Umar bin Khaththab berkata: “Tolong jelaskan kepadaku hal apa (yang paling menakjubkan) yang dibawa jin sahabatmu.” Orang itu berkata: “Sebulan atau kurang sebelum Islam datang, ia mendatangi aku seraya berkata: “Tidakkah engkau perhatikan para jin yang diam seribu bahasa, yang dilanda putus asa dari agamanya, dan kepergiannya pada unta muda bersama dengan alas pelananya?”
Ibnu Hisyam berkata: Perkataan di atas adalah sebuah sajak dan bukan untaian syair. Abdullah bin Ka’ab berkata: Kemudian Umar bin Khaththab berkata kepada orang-orang, “Demi Allah, pada zaman jahiliyah aku pernah berada di sisi sebuah patung bersama beberapa orang dari Quraisy. Salah seorang Arab telah menyembelih sapi betina sebagai sesem bahan untuk patung tersebut. Kami menunggu ia memberi bagian untuk dari lembu betina yang ia sembelih. Tiba-tiba terdengar suara dari perut lembu betina itu dan aku tidak mendengar suara yang lebih keras daripada suara tersebut. Peristiwa ini terjadi satu bulan atau kurang sebelum Islam datang. Suara itu adalah: “Hai Dzarih(unta yang disembelih), persoalan yang tepat, dan orang yang meneriakkan Laa Ilaaha ilia Allahu”
Ibnu Hisyam berkata: Dikatakan, seorang yang berteriak dengan suara yang fasih, dengan berucap: Laa Ilaaha Ilia Allah.
Sebagian ahli syair membacakan syair berikut kepadaku:
Aku tertegun dengan jin dan kebingungannya Dan ikatannya pada unta dengan pelananya Ia bergerak ke Mekkah tuk mencari petunjuk Jin yang beriman tidak sama dengan kotoran- nya
Ibnu Ishaq berkata: Inilah kabar yang kami ketahui mengenai para dukun dari kalangan orang-orang Arab.
Sumber : Sirah Nabawiyah Ibnu Ishaq, Syarah & Tahqiq oleh Ibnu Hisyam
15. Kewaspadaan Orang-orang Yahudi terhadap Rasulullah
Ibnu Ishaq berkata: Ashim bin Umar bin Qatadah bercerita kepadaku yang bersumber dari beberapa orang kaumnya yang berkata: “Sesungguhnya faktor yang membuat kami tertarik memeluk Islam, selain rahmat dan petunjuk Allah, adalah karena kami mendengar beberapa perkataan orang-orang Yahudi. Kami adalah kaum musyrikin dan penyembah berhala, sedangkan mereka adalah Ahli Kitab. Mereka memiliki ilmu yang tidak kami miliki. Konflik terus terjadi antara kami dengan mereka. Jika kami mendapatkan dari mereka apa yang tidak disukai, mereka berkata kepada kami: “Sesungguhnya kini telah dekat kemunculan seorang Nabi dan bersama dengan Nabi itu kami akan membunuh kalian seperti pembunuhan terhadap Ad dan Iram.” Sangat sering kami mendengar ucapan tersebut dari mereka. Makanya. ketika Allah mengutus Rasul-Nya, kami langsung merespon positif seruannya saat ia menyeru kepada agama Allah. Kami paham ancaman yang dilontarkan orang-orang Yahudi kepada kami, sehingga kami segera menghadap Nabi, lalu beriman kepada beliau sedangkan mereka tetap kafir. Mengenai kami dan mereka Allah Ta’ala menu- runkan firman-Nya di surat Al-Baqarah:
Dan setelah datang kepada mereka Al quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (QS. al-Baqarah: 89).
Ibnu Hisyam berkata: yastaftihuuna artinya yastanshiruuna (meminta pertolongan) atau yatahakamuuna (meminta kepastian hu kum). Sebagaimana disebutkan Kitabullah:
“Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik- baiknya” (QS. al-A’raaf: 89).
Ibnu Ishaq berkata: Shalih bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf bercerita kepadaku dari Mahmud bin Labid, saudara Bani Abdu Al-Asyhal dari Salamah bin Salamah bin Waqqasy-Salamah salah seorang yang terlibat pada Perang Badar: “Kami memiliki tetangga seorang Yahudi di Bani Abdu Al-Asyhal. Suatu ketika ia keluar dari rumahnya menemui kami kemudian berdiri di hadapan Bani Abdu Al-Asyhal. Ketika itu akulah anak yang paling muda di antara yang hadir. Aku mengenakan jubah kecil dan tidur-tiduran di halaman keluargaku. Grang Yahudi itu berkhotbah tentang hari kiamat, hari kebangkitan, hari perhitungan amal, neraca, surga dan neraka. Ia menceritakan itu semua kepada orang-orang musyrikin penyembah patung-patung yang tidak mempercayai adanya kebangkitan kembali setelah kematian. Orang-orang musyrikin berkata: “Dasar sialan kau, apakah engkau mengira bahwa setelah kematiannya manusia mereka akan dibangkitkan di sebuah negeri yang di dalamnya terdapat surga dan neraka, kemudian mereka diberi balasan setimpal dengan amal perbuatan mereka?” Orang Yahudi tersebut berkata: “Ya, demi Dzat yang dengannya aku bersumpah. Seseorang saat itu akan berharap andaikata sebagai ganti neraka tersebut ia mempunyai tungku yang paling besar di dunia ini. Lalu tungku tersebut dijaga, kemudian ia dimasukkan ke dalamnya dan dilumur dengannya itu jauh lebih dan lebih ia sukai asalkan ia selamat dari api neraka.” Mereka berkata kepada orang Yahudi itu: “Sialan sekali kau Fulan, lalu apa tanda-tandanya?” Yahudi itu berkata: “Nabi yang diutus dari negeri-negeri ini, sambil menunjuk dengan tangannya ke arah Mekkah dan Yaman.” Mereka bertanya: “Kapan itu terjadi?” Orang tersebut menoleh ke arahku dan ketika itu aku adalah anak yang paling muda yang hadir pada pertemuan tersebut, kemudian ia berkata: “Jika umur anak muda ini panjang, niscaya ia berjumpa dengan Nabi tersebut.”
Salamah berkata: “Demi Allah, malam dan siang terus bergulir, sampai Allah Ta’ala mengutus Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa Sallam sebagai Rasul-Nya, sedangkan Yahudi itu hidup di tengah kami, kemudian kami beriman kepada beliau, sedangkan orang Yahudi tersebut malah ingkar kepadanya karena dengki dan hasud yang ada dalam dadanya. Kami berkata kepada orang Yahudi tersebut: “Sialan sekali kau fulan, bukankah engkau yang berkata demikian dan dan demikian kepada kami?” Ia berkata: “Ya, benar, namun Nabi itu bukanlah yang kami maksudkan.”
Ibnu Ishaq berkata: Ashim bin Umar bin Qatadah berkata kepadaku dari tetua Bani Quraizhah yang bertanya kepadaku: “Apakah engkau tahu tentang keislaman Tsa labah bin Sa’yah, Usaid bin Sa’yah, dan Asad bin Ubaid?” Mereka adalah orang-orang Bani Quraizhah sahabat-sahabat mereka di zaman jahiliyah kemudian mereka menjadi pempinan di zaman Islam. Aku berkata: “Tidak, demi Allah.” Orang-orang dari Bani Hadl berkata: “Sesung- guhnya seorang Yahudi dari Syam yang bernama Ibnu Al-Hayyaban datang menemui kami dua tahun sebelum Islam datang. Dia tinggal bersama dengan kami. Demi Allah, kami belum pernah melihat orang mengerjakan shalat lima waktu yang lebih baik daripadanya. Ia tinggal bersama-sama kami. Jika kami ditimpa kekeringan dan hujan tidak turun, kami berkata kepada Ibnu Al-Hayyaban: “Keluarlah, wahai Ibnu Al-Hayyaban dan mohonkanlah air hujan untuk kami.” Ia berkata: “Tidak, demi Allah, aku tidak akan melakukan itu hingga kalian mengeluarkan sedekah di tempat kalian keluar.” Kami bertanya kepadanya: “Berapa jumlahnya?” Ia menjawab: “Satu sha’ kurma, atau dua mud gandum.” Kami segera bersedekah, kemudian Ibnu Al-Hayyaban menyertai kami keluar kampung lalu ia berdoa kepada Allah agar hujan turun untuk kami. Demi Allah, belum lama ia beranjak dari duduknya, mendung telah berarak kemudian menurunkan hujan untuk kami. Ia lakukan ini bukan hanya sekali, dua atau tiga kali.
Ashim bin Amir berkata: Saat menjelang kematiannya dan dia berada di tengah kami, dan dia tahu bahwa kematiannya telah semakin dekat ia berkata: “Wahai orang-orang Yahudi, apa pendapat kalian yang membuat aku keluar dari negeri minuman keras dan roti ke sebuah negeri yang penuh derita dan kelaparan?” Mereka berkata: “Engkau jauh lebih tahu tentang hal itu daripada kami.” Ibnu Al-Hayyaban berkata: “Sesungguhnya aku datang ke negeri ini dengan tujuan menanti diutusnya seorang Nabi yang sudah dekat kedatangannya. Negeri ini adalah tempat hijrah Nabi tersebut. Aku berharap kiranya ia telah diutus kemudian aku mengikutinya, karena masa kemunculannya telah semakin dekat. Oleh sebab itulah, kalian bersegeralah jangan sampai ada orang yang mendahului kalian wahai orang orang Yahudi, karena ia diutus dengan menumpahkan darah dan menawan anak-anak dan wanita wanita siapa saja yang menentangnya. Janganlah kalian menjauh darinya.”
Pada saat Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam mengepung Bani Quraizhah, anak-anak muda yang dulunya masih anak-anak tersebut, berkata: “Wahai Bani Quraizhah, demi Allah, inilah Nabi yang diceritakan Ibnu Al-Hayyaban kepada kalian.” Mereka berkata: “Tidak! Bukan dia!” Mereka berkata: ‘Demi Allah, dialah nabi itu dengan semua ciri-ciri yang dimilikinya.” Merekapun lalu masuk Islam lalu darah, harta, dan keluarga mereka terlindungi.
Sumber : Sirah Nabawiyah Ibnu Ishaq, Syarah & Tahqiq oleh Ibnu Hisyam
16. Waraqah bin Naufal, Ubaidillah bin Jahsy, Utsman bin Al-Huwairits dan Zaid bin Amr bin Nufail
Ibnu Ishaq berkata: Suatu ketika, orang-orang Quraisy mengadakan rapat di sisi salah satu patung yang mereka miliki. Mereka mengagung-agungkan patung tersebut, menyembelih hewan qurban untuknya, duduk berdoa di sampingnya serta thawaf di sekelilingnya. Demikianlah hari raya mereka setiap tahunnya. Mereka melakukan ritual seperti itu, kecuali empat orang di antara mereka. Salah seorang dari mereka berkata kepada sahabatnya: “Bersahabatlah kalian, dan hendaklah sebagian dari kalian merahasiakan dirinya dari sebagian yang lain.” Mereka berkata: “Baiklah!” Keempat orang tersebut adalah Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Kaab bin Luay, Ubaidillah bin Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mar bin Shabrah bin Murrah bin Kabir bin Ghanm bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah (ibunya bernama Umaimah binti Abdul Muthalib), Utsman bin Al-Huwairits bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay, dan Zaid bin Amr bin Nufail bin Abdul Uzza bin Abdullah
bin Qurth bin Riyah bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Luay. Sebagian di antara mereka berkata kepada sebagian yang lain: “Demi Allah, belajarlah kalian, karena kaum kalian tidak berada pada kondisi yang bisa diandalkan. Karena mereka telah menyeleweng dari agama nenek moyang mereka, Ibrahim. Batu yang kita thawaf di sekitarnya itu hanyalah batu yang tidak mendengar, tidak melihat, tidak bisa memberi madharat, dan tidak bisa memberi manfaat. Wahai kaum, carilah satu agama untuk untuk diri kalian, kalian tidak berada pada sesuatu yang tidak benar.” Lalu mereka menyebar ke berbagai negeri untuk menemukan agama Ibrahim yang lurus (hanafiyyah).
Adapun Waraqah bin Naufal, ia masuk Kristen, dan mempelajari kitab-kitab dari umat Ahli Kitab, hingga ia memperoleh ilmu dari mereka. Sementara itu Ubadillah bin Jahsy mencari agama yang lurus hingga ia masuk Islam dan hijrah bersama kaum Muslimin ke Habasyah. Ketika hijrah, ia disertai istrinya, Ummu Habibah binti Abu Sufyan yang juga telah masuk Islam. Namun pada saat tiba di Habasyah ia masuk agama Kristen dan keluar dari agama Islam. Ia meninggal di Habasyah dalam keadaan memeluk agama Kristen.
Ibnu Ishaq berkata: Muhammad bin Jafar bin Zubair bercerita kepadaku: Setelah murtad dari Islam, Ubaidillah berjalan melewati sahabat-sahabat Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam yang berada di Habasyah. Mereka berkata: “Kami telah melihat, sedang kalian sedang berusaha untuk melihat tetapi tidak akan pernah bisa melihat.” Kata “Sha’sha’a” ini dipakai karena jika anak anjing ingin membuka edua matanya untuk melihat, ia takut untuk melihat (Sha’shaa).
Ibnu Ishaq berkata: Setelah Ubaidillah bin Jahsy meninggal dunia, Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan, isteri Ubaidillah bin Jahsy.
Ibnu Ishaq berkata: Muhammad bin Ali bin Husain berkata kepadaku: Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam mengutus Amr bin Umayyah Adh-Dhamri menghadap Najasyi, kemudian Najasyi melamarkan Ummu Habibah untuk beliau. Setelah itu, Najasyi menikahkan Ummu Habibah dengan Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam dan beliau memberi mahar kepadanya sebesar empat ratus dinar. Kami lihat Abdul Malik bin Marwan menentukan mahar wanita sebesar empat ratus dinar berdasarkan mahar Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam kepada Ummu Habibah. Yang menjadi wakil Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam dalam pernikahan tersebut adalah Khalid bin Sa’id bin Al-Ash. Ibnu Ishaq berkata: Adapun Utsman bin Al-Huwairits, ia datang menemui Kaisar, raja Romawi, kemudian masuk agama Kristen, dan memperoleh kedudukan terhormat di sisinya. Ibnu Hisyam berkata: Ada kisah tentang Utsman bin Al-Huwairits bersama Kaisar, namun saya enggan menyebutkannya, seba- gaimana yang saya lakukan pada saat memaparkan Perang Fijar.
Ibnu Ishaq berkata: Adapun Zaid bin Amr bin Nufail, ia tidak memeluk agama Yahudi tidak pula memeluk agama Kristen. Ia meninggalkan agama kaumnya, kemudian menjauhi patung-patung, bangkai, darah, hewan-hewan yang disembelih untuk patung-patung, dan melarang mengubur anak dalam keadaan hidup-hidup. Ia berkata: “Aku menyembah Tuhan Ibrahim!” Ia menentang kaumnya secara terang-terangan dan mengkritik mereka.
Ibnu Ishaq berkata: Hisyam bin Urwah berkata kepadaku dari ayahnya dari ibunya, Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu Anhuma ia berkata: Aku pernah melihat Zaid bin Amr bin Nufail di masa tuanya. Ia menyandarkan punggungnya ke Ka’bah sambil berkata: “Hai orang-orang Quraisy, demi Tuhan, tidak ada satupun di antara kalian selain aku yang setia berpegang teguh kepada agama Ibrahim.” Setelah itu, ia berkata: “Ya Allah, andai kata aku mengetahui wajah yang paling Engkau sukai, pasti aku menyembahnya, namun aku tidak mengetahuinya.” Kemudian ia sujud dengan tenang. Ibnu Ishaq berkata: Aku diberitahu bahwa anak Zaid, Sa id bin Zaid bin Amr bin Nufail, dan Umar bin Khaththab, ia adalah sepupunya berkata kepada Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam: “Bolehkah kita memohon ampunan untuk Zaid bin Amr?” Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Boleh. Sungguh, dia akan sendirian sebagai satu umat.”
Zaid bin Amr bin Nufail berkata tentang dirinya yang meninggalkan agama kaumnya, dan perlakuan kaumnya terhadap dirinya karena tindakan tersebut:
Apakah satu Tuhan ataukah seribu tuhan yang mesti aku sembah Jika semua perkara dibagi Ku tinggalkan Al-Lata dan A-Uzza semuanya. Demikianlah yang dilakukan orang yang gigih dan sabar Ku tidak menyembah Uzza dan dua anak wanitanya Tidak pula dua patung Bani Amr Tidak pula aku menyembah Hubal Walau sejak lama ia dianggap Tuhan sejak masa kecil Aku kagum dan malam-malam itu memang begitu mengagumkan Demikian siang yang hanya diketahui oleh orang yang bisa melihat Sesungguhnya Allah telah memusnahkan banyak orang Karena mereka berkubang dengan kejahatan Dia sisakan yang lain karena kebaikan kaum yang lain Kemudian anak kecil di antara mereka tumbuh dengan baik Ketika seseorang tersesat, ia akan sadar kembali pada suatu hari Laksana daun ranting yang kembali tumbuh setelah ia gugur terkena air hujan Namun aku menyembah Ar-Rahman, Tuhanku Agar Tuhan Yang Maha Pengampun mengampuni dosa-dosaku Pertahankan ketakwaan kalian kepada Allah, Tuhan kalian Jika kalian menjaganya maka kalian tidak akan pernah binasa Kau lihat bahwa negeri-negeri orang yang baik-baik adalah surga Sedang negeri orang-orang kafir adalah api yang panas membakar Mereka mendapat kehinaan hidup di dunia Dan pada saat mati, mereka ditimpa siksa yang menyesakkan dada.
Zaid bin Amr bin Naufal juga berkata: Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa ini adalah ucapan dari Umayyah bin Abi Shalt dalam syairnya kecuali dua bait pertama, bait ke lima dan bait terakhir. Sedangan akhir dari bait pertama bukan dari Ibnu Ishaq.
Ibnu Hisyam berkata: Nama AI-Hadhrami ialah Abdullah bin Ibad bin Akbar, salah seorang dari Ash-Shadaf. Nama Ash-Shadaf ialah Amr bin Malik Ahas As-Sakun bin Asyras bin Kindi (ada yang mengatakan Kindah) bin Tsaur bin Muratti’ bin Ufair bin Adi bin Al-Harits bin Murrah bin Adad bin Zaid bin Mihsa’ bin Amr bin Arib bin Zaid bin Kahlan bin Saba. Ada yang mengatakan Muratti’ adalah anak Malik bin Zaid bin Kahlan bin Saba’.
Ibnu Ishaq berkata: Zaid bin Amr memutuskan untuk pergi dari Mekkah dan berkelana ke negeri negeri yang lain untuk menelusuri agama Ibrahim.
Ibnu Ishaq berkata: Yang aku tahu, dari sebagian keluarga Zaid bin Amr bin Nufail bahwa jika Zaid tiba di Ka’bah, ia masuk ke dalam masjid, kemudian berkata: “Ya Allah, aku sambut seruan-Mu dengan sepenuh jiwa sebagai ibadah dan kerendahan untuk-Mu. Aku berlindung dengan apa yang Ibrahim berlindung diri dengannya.”
Ya Allah, hidungku ini kuserahkan untuk-Mu Walau kau membeniku tetap tak ada keluh dariku Kebaikanlah yang kucari bukannya seseorang Tidaklah sama yang keluar di terik siang dengan yang tidur di siang bolong.
Al-Khaththab menganiaya Zaid bin Amr, membuangnya ke Mekkah Atas, turun ke Gua Hira menghadap Mekkah, kemudian menyerahkannya kepada salah seorang pemuda Quraisy, dan beberapa orang-orang yang bodoh yang ada di tengah-tengah mereka. Al- Khaththab berkata kepada mereka: “Janganlah kalian biarkan dia memasuki Mekkah!” Zaid bin Amr tidak memasuki masuk Mekkah kecuali dengan cara sembunyi-sembunyi. Ketika orang-orang Ouraisy mengetahui Zaid bin Amr memasuki Mekkah, mereka melaporkannya kepada Al-Khaththab kemudian mereka mengusir Zaid bin Amr dan mengeroyoknya karena dikhawatirkan mengacak-acak agama mereka, dan tindakannya meninggalkan agama kaumnya bisa diikuti orang lain. Zaid bin Amr berkata lantang sambil membanggakan kehormatan dirinya atas kaumnya yang telah merusaknya.
Usai kejadian itu, Zaid bin Amr pergi menelusuri agama Ibrahim dan bertanya kepada para pendeta Yahudi dan pendeta Kristen hingga ia melintasi Al-Maushil dan jazirah Arab. Ia tak kenal lelah berjalan menyusuri seluruh wilayah Syam hingga bertemu dengan seorang pendeta di bukit di wilayah Al-Balqa’. Seorang pendeta yang menjadi rujukan para pemeluk agama Kristen karena ilmunya. Zaid bin Amr bertanya kepada pendeta tersebut tentang agama Ibrahim. Pendeta tersebut berkata: “Engkau mencari agama yang belum muncul di zaman ini. Tapi ketahuilah telah dekat zaman kemunculan Nabi yang berasal dari negerimu. Ia diutus dengan membawa agama Ibrahim. Kembalilah engkau ke negerimu, karena Nabi itu telah diutus, dan sekarang masa kemunculannya.” Sebelumnya Zaid bin Amr menyelami agama Yahudi dan Kristen, namun ia tidak tertarik kepada keduanya. Setelah mendengar perkataan pendeta itu Zaid bin Amr segera bergegas pulang ke Mekkah. Ketika Zaid bin Amr tiba di pertengahan negeri-negeri Lakhm, penduduk setempat menzaliminya kemudian membunuhnya.
Ketika Waraqah bin Naufal mendengar berita kematiannya, ia menangis kemudian berkata:
Wahai anak Amr kau telah dapatkan mahligai petunjuk dan nikmat Engkau jauh dari bara api neraka dan terlindung darinya Karena kau bersujud pada Tuhan yang tiada Tuhan lain selain Dia Karena engkau tinggalkan patung-patung thaghut yang tidak bisa berbuat apa-apa Kau telah dapatkan agama yang engkau selama ini kau cari Engkau tidak pernah lalai mengesakan Tuhanmu Kini kau berada di negeri akhirat yang mulia Di dalamnya kau bersuka cita dengan kenikmatan Engkau berjumpa dengan kekasih Allah Ibrahim Tidaklah kau termasuk manusia sombong penghuni neraka Kadang kala rahmat Allah itu mengalir pada manusia Walapun telah berada tujuh puluh lembah di bawah bumi.
Ibnu Hisyam berkata: Ada yang mengatakan bahwa dua bait pertama dan terakhir pada syair di atas adalah ucapan Umayyah bin Abu Ash-Shalt. Adapun ucapan Waraqah bin Naufal, ‘Patung-patung thaghut,’ bukan dari Ibnu shaq.
Sumber : Sirah Nabawiyah Ibnu Ishaq, Syarah & Tahqiq oleh Ibnu Hisyam
17. Sifat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Kitab Injil
Ibnu Ishaq berkata: Aku diberitahu bahwa salah satu yang dikabarkan Isa bin Maryam dalam Injil untuk orang-orang Kristen tentang sifat Rasulullah Shallahahu ‘Alaihi wa Sallam yang ia terima dari Allah, ialah apa yang ditegaskan Yohanes Al-Hawari kepada orang-orang Kristen ia ketika menulis Injil untuk mereka dari zaman Isa bin Maryam Alaihis Salam. Di dalamnya dijelaskan tentang kedatangan Rasulullah Shallahahu ‘Alaihi wa Sallam kepada mereka. Yohanes Al-Hawari mengabarkan bahwa Isa bin Maryam bersabda: Barang siapa yang membuatku marah, sama saja membuat marah Tuhan. Andai aku tidak melakukan di depan mereka tindakan-tindakan yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum aku, pastilah mereka tidak memiliki dosa. Namun sejak kini mereka sombong dan mengaku mengagungkan aku Tuhan. Namun kalimat yang tertera dalam Namus (sebutan bagi Jibril oleh orang Kristen Arab) itu harus terealisir. Mereka telah membuatku marah tanpa mendapat apa-apa. Andai saja Al-Munhammana telah datang kepadaku, dia yang diutus kepada kalian dari sisi Tuhan dan Ruhul Qudus, dan dia yang berasal dari Tuhan telah keluar, ia menjadi saksi atas aku juga atas kalian. Karena sejak dulu kalian senantisa bersamaku dalam hal ini maka aku kabarkan ini kepada kalian, agar kalian tidak berkeluh kesah.”
Dalam bahasa Ibrani Al-Munhamana berarti Muhammad, dan Muhammad dalam bahasa Romawi ialah Paraclet. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Rasulullah Shallahahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sumber : Sirah Nabawiyah Ibnu Ishaq, Syarah & Tahqiq oleh Ibnu Hisyam
18. Daya Tarik Kepribadian Sebelum Kenabian
Sesungguhnya telah terhimpun pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sejak dari perkembangannya kelebihan-kelebihan yang merupakan terbaik yang ada pada lapisan masyarakat kala itu. Beliau adalah tipe manusia utama dari sisi kejernihan berpikir dan ketajaman pandangan. Beliau memiliki porsi kecerdikan yang lebih, orisinilitas pemikiran dan ketepatan sarana dan misi. Beliau biasa diam berlama-lama untuk renungan yang panjang, pemusatan pikiran serta pencapaian kebenaran. Dengan akalnya yang brilian dan fithrahnya yang suci beliau memonitor lembaran kehidupan, urusan manusia dan kondisi banyak kelompok. Karenanya, beliau acuh terhadap segala bentuk khurafat dan jauh sejauh-sejauhnya dari hal itu. Beliau berinteraksi dengan manusia secara profesional baik terhadap dirinya ataupun diri mereka; hal yang baik beliau ikut berpartisipasi didalamnya dan jika tidak, maka beliau lebih memilih untuk mengasingkan diri. Beliau tidak pernah minum khamar, tidak pernah makan daging yang dipersembahkan kepada berhala, tidak pernah menghadiri perayaan untuk berhala ataupun pesta-pestanya bahkan dari sejak pertumbuhannya sudah menghindari dari sesembahan yang bathil. Lebih dari itu, beliau malah amat membencinya dan tidak dapat menahan dirinya bila mendengar sumpah serapah dengan nama laata dan ‘uzza.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa berkat takdir ilahi lah beliau dapat terjaga dari hal tersebut; manakala hawa nafsu menggebu-gebu untuk mengintai sebagian kenikmatan duniawi dan rela mengikuti sebagian tradisi tak terpuji, ketika itulah ‘inaayah rabbaniyyah menghalanginya dari hal-hal tersebut.
Ibnu al-Atsir meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “aku hanya dua kali pernah berkeinginan untuk melakukan apa yang pernah dilakukan oleh Ahli Jahiliyyah namun semua itu dihalangi oleh Allah sehingga aku tidak melakukannya, kemudian aku berkeinginan lagi untuk melakukannya hingga Dia Ta’ala memuliakanku dengan risalahNya. (Pertama kalinya-red);Suatu malam aku pernah berkata kepada seorang anak yang menggembala kambing bersamaku di puncak Mekkah; ‘sudikah kamu mengawasi kambingku sementara aku akan memasuki Mekkah dan bergadang ria seperti yang dilakukan oleh para pemuda tersebut?’. Dia menjawab: ‘ya, aku sudi! ‘. Lantas aku pergi keluar hingga saat berada di sisi rumah yang posisinya paling pertama dari Mekkah, aku mendengar suara alunan musik (tabuhan rebana), lalu aku bertanya: apa gerangan ini?, mereka menjawab: ‘prosesi pernikahan si fulan dengan si fulanah! ‘. Kemudian aku duduk-duduk untuk mendengarkan, namun Allah melarangku untuk mendengarkannya dan membuatku tertidur. Dan tidurku amat lelap sehingga hampir tidak terjaga bila saja terik panas matahari tidak menyadarkanku. Akhirnya, aku kembali menemui temanku yang langsung bertanya kepadaku tentang apa yang aku alami dan akupun memberitahukannya. Kemudian (kedua kalinya-red), aku berkata pada suatu malam yang lain seperti itu juga; aku memasuki Mekkah namun aku mengalami hal yang sama seperti malam sebelumnya; lantas aku bertekad, untuk tidak akan berkeinginan jelek sedikitpun”.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdullah, dia berkata: “ketika Ka’bah direnovasi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ‘Abbas bekerja mengangkut bebatuan, lalu ‘Abbas berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :’tarik kainmu hingga sebatas lututmu agar kamu tidak terluka oleh bebatuan, namun beliau tetap tersungkur ke tanah dalam posisi terlentang sedangkan kedua mata beliau mengarah ke langit, tak berapa lama kemudian beliau baru tersadar, sembari berkata: ‘mana kainku! mana kainku!’. Lalu beliau mengikat kembali kain tersebut dengan kencang. Dan dalam riwayat yang lain:’maka setelah itu, tidak pernah lagi ‘aurat beliau kelihatan’.
Di kalangan kaumnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasalam memiliki keistimewaan dalam tabi’at yang manis, akhlak yang mulia dan sifat-sifat yang terpuji. Beliau merupakan orang yang paling utama dari sisi muruu-ah (penjagaan kesucian dan kehormatan diri), paling baik akhlaknya, paling agung dalam bertetangga, paling besar tingkat kelemahlembutannya, paling jujur bicaranya, paling lembut wataknya, paling suci jiwanya, paling dermawan dalam kebajikan, paling baik dalam beramal, paling menepati janji serta paling amanah sehingga beliau dijuluki oleh mereka dengan al-Amiin. Hal itu semua lantaran bertemunya kepribadian yang shalih dan pekerti yang disenangi. Maka pantaslah dikatakan terhadap beliau sebagaimana yang dikatakan oleh Ummul Mukminin, Khadijah radhiallâhu ‘anha ; “orang yang memikul beban si lemah, memberi nafkah terhadap si papa (orang yang tidak memiliki/tanpa apa-apa), menjamu tetamu dan selalu menolong dalam upaya penegakan segala bentuk kebenaran.
Sumber : Sirah Nabawiyah, Kitab Ar-Rahiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury)