• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Senin, 7 April 2025

Aktivitas Pasukan antara Perang Badr dan Perang Uhud

Bagikan

Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali  ke Menu)

  1. Pendahuluan
  2. Perang Bani Sulaim di Al-Kudr
  3. Konspirasi untuk membunuh Nabi ﷺ
  4. Perang Bani Qainuqa
  5. Kelicikan Tipu Daya Orang-orang Yahudi
  6. Bani Qainuqa’ Melanggar Perjanjian
  7. Terbunuhnya Ka’b bin Al-Asyraf
  8. Perang As-Sawiq
  9. Perang Qarqarah al-Kudri/Dzi Amar (Sumber Air)
  10. Perang As-Sawiq
  11. Perang Burhan
  12. Satuan Perang Zaid bin Haritsah

1. Pendahuluan

Perang Badr merupakan bentrokan bersenjata yang pertama kali antara orang-orang Muslim dan musyrik. Ini merupakan peperangan yang sangat menentukan, dengan kemenangan telak di pihak orang-orang Muslim, yang bisa disaksikan seluruh bangsa Arab. Sementara pihak yang diunggulkan dalam peperangan ini justru harus menelan pil pahit dan kerugian besar, yaitu orang orang musyrik. Ada pihak lain yang melihat kemenangan ini sebagai ancaman yang sangat serius bagi posisi agama dan ekonomi mereka. Mereka adalah orang-orang Yahudi. Setelah orang-orang Muslim memperoleh kemenangan dalam Perang Badr, dua golongan ini merasa terbakar karena kebencian dan kedengkian terhadap orang-orang Muslim.

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang orang Musyrik.” (Al-Maidah: 82)

Ada beberapa orang di Madinah yang berteman karib dengan dua golongan ini yang masuk Islam, karena mereka merasa tidak mendapatkan tempat yang aman lagi. Mereka adalah Abdullah bin Ubay dan rekan-rekannya. Golongan yang ketiga ini tidak kalah bencinya terhadap orang-orang Muslim dari pada golongan pertama.

Di sana ada pula golongan keempat, yaitu orang-orang Badui yang tersebar di sekitar Madinah. Mereka tidak terlalu pusing dengan urusan iman dan kufur. Tetapi toh mereka adalah orang-orang yang suka merampas dan merampok. Mereka justru merasa khawatir melihat kemenangan orang-orang Muslim ini. Mereka takut jika di Madinah berdiri sebuah daulah yang kuat, sehingga bisa menjadi penghalang bagi kegiatan mereka. Oleh karena itu, mereka pun mendengki terhadap orang-orang Muslim dan berdiri sebagai musuh orang orang Muslim.

Jadi begitulah gambaran bahaya yang mengintip orang-orang Muslim dari segala penjuru. Sekalipun begitu, golongan-golongan ini mempunyai sikap sendiri-sendiri dalam menghadapi orang-orang Muslim, setiap golongan memilih jalan sediri-sendiri yang dirasa cukup untuk menggapai tujuannya. Selagi beberapa kekuatan di sekitar Madinah masih memulai menampakkan pemberontakan terhadap Islam, dengan cara memata-matai dan mengintip, justru segolongan orang-orang Yahudi berani mengumumkan perang dan memperlihatkan kedengkian serta kebenciannya. Sementara itu, kekuatan Makkah sudah mengisyaratkan ancaman dan mengumumkan untuk melakukan serangan besar-besaran. Untuk itu mengirim utusan mendatangi orang-orang Muslim, menyampaikan hasrat mereka, dengan menyatakan dalam sebuah syair,

“Kelak kan datang hari yang indah dan mengesankan
setelah itu telingaku selalu mendengar ratap tangisan.

Inilah langkah awal yang menuntun mereka ke peperangan yang seru, tak jauh dari Madinah, yang dikenal dalam sejarah dengan Perang Uhud, yang kemudian menimbulkan pengaruh kurang menyedapkan bagi ketenaran dan kehebatan orang-orang Muslim.

2. Perang Bani Sulaim di Al-Kudr

Informasi yang pertama kali masuk kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam setelah Perang Badr, bahwa Bani Sulaim yang termasuk kabilah Ghathafan menghimpun kekuatannya untuk menyerang Madinah. Dengan mengerahkan dua ratus orang penunggang onta, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendatangi mereka lalu menetap di dekat perkampungan Bani Sulaim yang bernama Al-Kudr. Melihat kedatangan beliau, mereka pun lari tunggang langgang meninggalkan lima ratus onta, yang kemudian dikuasai pasukan Muslimin. Kemudian beliau membaginya setelah seperlimanya, sehingga setiap orang mendapatkan bagian dua ekor onta. Mereka juga menawan seorang pemuda yang bernama Yassar, namun kemudian dia dibebaskan. Setelah menetap di sana selama tiga hari, Nabi kembali lagi ke Madinah.

Peperangan ini terjadi pada bulan Syawwal 2 Hijriyah, selang tujuh hari sepulang dari Badr. Beliau mengangkat Siba’ bin Arfazhah sebagai wakil beliau di Madinah. Namun menurut pendapat lain, dia adalah Ibnu Ummi Maktum.

3. Konspirasi untuk membunuh Nabi ﷺ

Diantara akibat kekalahan yang diderita orang-orang musyrik dalam Perang Badr, mereka semakin dibakar kebencian terhadap Nabi dan menjadikan Makkah mendidih layaknya periuk. Tidak heran jika kemudian para pemukanya bersekongkol untuk menghabisi orang yang menjadi sumber malapetaka, perpecahan, kehancuran dan kehinaan mereka, yaitu Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Selang tak seberapa lama sesudah Perang Badr, Umair bin Wahb Al¬Jumahi duduk-duduk di Hijir bersama Shafwan bin Umayyah. Umair adalah salah seorang pemimpin Quraisy yang dulu sering menyiksa Nabi dan para sahabat selagi masih di Makkah. Anaknya, Wahb bin Umair menjadi tawanan Perang Badr. Saat duduk itulah Umair menyebut orang-orang yang menjadi korban di Perang Badr dan mereka yang dimasukkan ke dalam sumur. Shafwan berkata menghibur, “Demi Allah, pasti akan datang kehidupan yang baik setelah kematian mereka.”

Shafwan mengobarkan semangat Umair dengan berkata, “Aku akan menanggung hutang-hutangmu. Aku asalkan melunasinya, dan keluargamu adalah keluargaku juga. Aku akan menjaga selagi mereka masih hidup. Aku sama sekali tidak keberatan melindungi mereka.”
Umair berkata, “Kalau begitu rahasiakan kesepakatan kita ini.” “Akan kulakulkan,” jawab Shafwan.
Umair meminta pedangnya lalu mengasahnya hingga tajam dan mengkilap. Setelah itu dia berangkat hingga tiba di Madinah. Umar bin Al-Khaththab yang sedang membicarakan kemuliaan yang dikarenakan Allah di Perang Badr bersama beberapa orang Muslim, melihat kehadirannya diambang pintu masjid sambil menderumkan ontanya. Umar berkata, “Anjing musuh Allah ini adalah Umair, yang tentunya datang dengan niat jahat.”
Umar segera menemui Nabi dan mengabarkan kepada beliau, “Wahai Nabi Allah, itu ada musuh Allah, Umair yang datang sambil menyandang Pedangnya.”
“Suruh dia masuk ke sini,” sabda beliau.
Umar berkata kepada beberapa orang Anshar, “Masuklah ke rumah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam duduklah di dekat beliau dan waspadailah orang yang buruk itu kalau-kalau dia menyerang beliau, karena beliau tidak aman dari gangguannya.”
Tatkala Umair sudah masuk dan beliau melihat kehadirannya, maka Umar memegang tali pedang Umair di lehernya. Belian bersabda, “Biarkan saja wahai Umar!”
Umair mendekat ke arah beliau berkata, “Selamat buat kalian pada pagi ini!”
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Allah telah memuliakan kami dengan ucapan selamat yang lebih baik dari pada ucapan selamatmu wahai Umair. Itulah ucapan selamat para penghuni surga.”
Lalu beliau bertanya, “Apa maksud kedatangannu wahai Umair?” Umair menjawab, “Aku datang untuk urusan tawanan di tangan kalian. Berbuat baiklah terhadap dirinya!”
“Lalu untuk apa pedang di lehermu itu?” tanya beliau.
“Semoga Allah memburukan pedang-pedang yang ada. Apakah pedang pedang itu masih berguna bagi kalian?”
“Jujurlah padaku! Apa maksud kedatangarnnu?” tanya beliau. “Hanya untuk itulah tujuan kedatanganku,” jawab Umair.
Beliau bersabda,”Bukankah engkau pernah duduk-duduk bersama Shafwan bin Umayyah di Hijr, lalu kalian berdua menyebut-nyebut orang-orang Quraisy yang dimasukkan ke dalam stunur, kemudian engkau berkata, “Kalau tidak karena aku masih ada hutang yang harus kulunasi, dan kalau tidak karena keluarga yang kutakutkan akan musnah setelah kematianku, niscaya sant ini pun aku akan menunggu onta, akan kutemui Muhammad dan kubunuh dia?’ Bukankah Shafwan hendak menanggung hutang-hutangmu dan keluargamu agar engkau mau membunuhku? Demi Allah, mustahil engkau akan bisa melaksanakannya.”

Umair berkata, “Aku bersaksi bahwa memang engkau adalah Rasul Allah. Wahai Rasulullah, dulu kami selalu mendustakan apa yang engkau sampaikan kepada kami, berupa pengabaran dari langit dan wahyu yang turun kepada engkau. Padahal tidak ada yang tahu masalah ini kecuali aku dan Shafwan. Demi Allah, kini aku benar-benar tahu bahwa apa yang datang kepada engkau adalah dari Allah. Segala puji bagi Allah yang telah menanjuki aku kepada Islam dan menuntunku ke jalan ini.” Setelah itu Umair mengucapkan syahadat dengan sebenamya.

Beliau bersabda, “Ajarkanlah masalah agama kepada saudara kalian ini, bacakanlah Al-Qur’an dan bebaskanlah anaknya!”
Sedangkan Shafwan yang berada di Makkah berkata kepada orang-orang di sana, “Bergembiralah kalian jika nanti mendengar suatu peristiwa yang bisa membuat kalian melupakan peristiwa Badr.” Dia pun terus bertanya-tanya kepada setiap orang yang datang dari bepergian, hingga akhirnya ada seseorang yang mengabarkan tentang keislaman Umair. Maka Shafwan bersumpah untuk tidak berbicara sama sekali dengan Umair dan tidak mau memberinya bantuan macam apa pun.
Sementara setelah itu, Umair kembali ke Makkah, menetap di sana untuk beberapa lama, menyeru orang-orang kepada Islam, sehingga tidak sedikit di antara mereka yang masuk Islam lewat tangannya.'”

4. Perang Bani Qainuqa’

Di bagian terdahulu sudah kami paparkan tentang butir-butir perjanjian yang telah disepakati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan orang-orang Yahudi. Tentu saja beliau benar-benar melaksanakan isi penanjian ini dan tak ada satu huruf pun dari teks perjanjian itu yang dilanggar orang-orang Muslim. Tetapi orang-orang Yahudi yang telah melumuri lembaran sejarah mereka dengan pengkhianatan dan pelanggaran janji, temyata tidak menyimpang jauh dari tabiat mereka yang lama. Mereka lebih suka memilih jalan tipu daya, persekongkolan, menimbulkan keresahan dan keguncangan di barisan orang-orang Muslim. Inilah beberapa gambaran yang mereka lakukan.

5. Kelicikan Tipu Daya Orang-orang Yahudi

Ibnu Ishaq menuturkan, “Syas bin Qais adalah seorang tokoh Yahudi yang sudah tua renta dan sekaligus pemimpin kekufuran. Dia sangat membenci dan mendengki orang-orang Muslim. Suatu kali dia melewati beberapa sahabat dari Aus dan Khazraj yang sedang berkumpul dan berbincang-bincang dalam suatu majlis. Dia menjadi meradang karena melihat kerukunan, persatuan dan keakraban di antara sesama mereka karena Islam. Padahal semasa Jahiliyah Aus dan Khanaj selalu bermusuhan. Dia berkata sendiri, “Ada beberapa orang dari Bani Qailah yang berhimpun di tempat ini. Tidak, demi Allah, kami tidak boleh membiarkan mereka bersatu padu.”

Lalu dia berkata kepada seorang pemuda Yahudi yang disuruhnya, “Hampirilah orang-orang itu dan duduklah bersama mereka. Kemudian ungkit kembali Perang Bu’ats yang pernah mereka alami. Lantunkan juga syair-syair yang pemah mereka ucapkan secara berbalas-balas pada saat itu!”

Pemuda itu pun melakukan apa yang diperintahkan Syas. Akibatnya, mereka saling berdebat dan saling membanggakan diri, hingga ada dua orang yang melompat bangkit dan adu mulut secara sengit. Salah seorang di antara keduanya berkata kepada yang lain, “Jika memang kalian menghendaki, saat ini pula kami akan menghidupkan kembali akar-akar peperangan di antara kita.”

Kedua belah pihak (Aus dan Khazraj) ikut terpancing, lalu masing-masing mengambil senjatanya, dan hampir saja terjadi adu fisik.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mendengar kejadian ini segera beranjak pergi beserta beberapa sahabat dari Muhajirin dan menemui mereka. Beliau bersabda, “Wahai semua orang Muslim, Allah, Allah! Apakah masih ada seruan-seruan Jahiliyah, padahal aku ada di tengah-tengah kalian, setelah Allah menunjuki kalian untuk memeluk Islam, memuliakan kalian, memutuskan urusan Jahiliyah dari kalian, menyelamantan kalian dari kekufuran dan menyatukan hati kalian dengan Islam?”

Mereka pun sadar bahwa kejadian ini merupakan bisikan setan dan tipu daya musuh mereka. Akhirya mereka menangis sesenggukan, orang-orang Aus berpelukan dengan orang-orang Khazraj, lalu mereka beranjak meninggalkan tempat itu beserta Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Mereka semakin taat dan patuh kepada beliau, karena Allah telah memadamkan tipu daya musuh Allah, Syas bin Qais.”

Ini satu gambaran dari usaha orang-orang Yahudi untuk membangkitkan keresahan dan keguncangan di kalangan orang-orang Muslim. Mereka ingin memasang rintangan di hadapan dakwah Islam. Memang mereka memiliki banyak cara untuk memuluskan rencana semacam ini. Mereka menyebarkan isu-isu dusta, menyatakan iman pada pagi hari dan kufur pada sore harinya, dengan tujuan untuk menanamkan benih keragu-raguan di dalam hati orang orang yang lemah. Mereka juga mempersulit penghidupan orang-orang Mukmin yang mempunyai hubungan materiil dengan mereka. Jika ada orang Mukmin berhutang kepada mereka, maka mereka menagihnya siang dan malam. Jika mereka mempunyai tanggungan terhadap orang Mukmin, maka mereka memanipulasi sebagian di antara tanggungan itu dengan cara yang batil atau bahkan tidak mau membayarkan sama sekali. Dalam hal ini mereka berkata, “Kami mau membayar hutang kami selagi kalian masih berada pada agama bapak-bapak kalian. Tetapi setelah kalian keluar dari agama mereka, maka kami tidak ada kewajiban untuk melunasinya.”

Mereka berbuat seperti itu sebelum meletus Perang Badr, sekalipun sudah dikukuhkan perjanjian dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Sementara beliau dan para sahabat selalu bersabar menghadapi semua itu, karena mereka mempunyai komitmen untuk menjaga keamanan dan perdamaian di wilayah Madinah.

6. Bani Qainuqa’ Melanggar Perjanjian

Setelah orang-orang Yahudi mengetahui bahwa Allah mengulurkan pertolongan kepada orang-orang Mukmin di medan Perang Badr, persatuannya semakin mantap dan disegani siapa pun, maka kebencian mereka semakin menjadi-jadi, mereka semakin berani memperlihatkan permusuhan dan keinginan untuk melanggar perjanjian yang sudah disepakati.

Tokoh dan pemimpin mereka yang paling menonjol serta paling jahat adalah Ka’b bin Al-Asyraf. Sedangkan dari tiga golongan mereka yang paling jahat adalah Yahudi Bani Qainuqa’. Mereka menetap di dalam Madinah, sebagai perajin perhiasan, pandai besi, pembuat berbagai perkakas, dan bejana. Karena pekerjaan tersebut, mereka memiliki sekian banyak orang yang pandai membuat perangkat-perangkat perang. Sementara mereka juga mempanyai tujuh ratus prajurit perang. Karena merasa paling pemberani di antara orang-orang Yahudi, maka mereka menjadi pelopor pertama yang melanggar penanjian dari kalangan Yahudi.

Setelah Allah memberikan kemenangan kepada orang-orang Muslim di Badr, justru kelaliman Yahudi Bani Qainuqa’ semakin menjadi-jadi, mereka semakin berani dan lancang, mengolok-ngolok, mengejek dan menggangu orang-orang Muslim yang datang ke pasar mereka. Bahkan mereka juga menganggu wanita-wanita Muslimah.
Karena tindakan dan kesewenang-wenangan mereka ini, maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengumpulkan mereka, memberi nasihat dan mengajak mereka kepada petunjuk, memperingankan agar mereka tidak mencari permusuhan dan tidak berbuat semau sendiri. Tetapi peringatan dan nasihat ini dianggap angin lalu.

Abu Dawud dan lain-lainya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memperoleh kemenangan atas Quraisy pada Perang Badr dan kembali ke Madinah, maka beliau mengumpulkan mereka di pasar

Bani Qainuqa’. Beliau bersabda, “Wahai semua orang-orang Yahudi, masuklah Islam mumpung kalian belum mengalami seperti yang dialami Quraisy.”
Mereka menjawab, “Hai Muhammad, janganlah engkau terpedaya oleh dirimu sendiri, karena engkau telah berhasil membunuh beberapa orang Quraisy. Mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak tahu cara berperang. Andaikan saja engkau berperang dengan kami, tentu engkau akan tahu bahwa kamilah orangnya. Engkau tentu belum pemah bertemu dengan orang-orang yang seperti kami.”

Karenanya Allah menurunkan ayat,

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir,pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan digiring ke dalam neraka Jahannam. Dan, itulah tempat yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya telah ada tanda bagi kalian pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolong) yang kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslim dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan banteran-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang¬orang yang mernpunyat mata hati. ” (Ali Imran: 12-13)

Jawaban Bani Qainuqa’ ini sudah jelas menggambarkan keinginan mereka untuk berperang. Namun begitu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mampu menahan kemarahan dan orang-orang Muslim pun bisa bersabar. Mereka menunggu apa yang bakal terjadi pada hari-hari berikutnya.

Orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ semakin bertambah lancang dan berani, karena mulai muncul keresahan di Madinah. Mereka sengaja mempersempit penghidupan penduduk Madinah dan menutup pintu-pintunya.

Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abu Aun, bahwa ada seseorang wanita Arab yang datang ke pasar Bani Qainuqa’ sambil mengenalkan jilbabnya. Dia duduk di dekat seorang pengrajin perhiasan. Tiba-tiba beberapa orang di antara mereka bermaksud hendak menyingkap kerudung yang menutupi wajahnya. Tentu saja wanita Muslimah itu berontak. Dengan diam-diam tanpa diketahui wanita Muslimah itu, pengrajin perhiasan tersebut mengikat ujung bajunya, sehingga tatkala bangkit, auratnya tersingkap. Mereka pun tertawa dibuatnya. Secara spontan wanita Muslimah berteriak. Seorang laki-laki Muslim yang ada di dekatnya melompat ke arah pengrajin perhiasan dan membunuhnya. Orang-orang Yahudi lainnya mengikat laki-laki Musilm itu lalu membunuhnya. Kejadian ini diserbarluaskan orang-orang Muslim kepada sesamanya, dan mereka pun siap untuk menyerang orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’.

7. Pengepungan lalu Menyerah

Pada saat itu kesabaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah habis. Setelah mengangkat Abu Lubabah bin Abdul Mundzir sebagai wakil beliau di Madinah dan bendera diserahkan kepada Hamzah bin Abdul Muththalib, beliau mengerahkan tentara Allah menuju Bani Qainuqa’. Karena orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ bertahan di benteng mereka, maka beliau mengepung mereka secara ketat. Saat itu hari Sabtu pada pertengahan Syawwal 2 H. Pengepungan berjalan selama 15 hari hingga muncul hilal bulan Dzul-Qa’dah. Allah menyusupkan rasa takut ke dalam hati orang-orang Yahudi itu, dan memang begitulah jika Allah hendak menghinakan suatu kaum, yang diawali dengan menyusupkan perasaan takut ke dalam hati mereka. Akhirnya mereka menyerah kepada keputusan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk berbuat apa pun terhadap diri mereka, harta, para wanita dan keluarga mereka. Beliau memerintahkan untuk menghabisi mereka, dan pasukan Muslimin siap melaksanakannya.
Tiba-tiba Abdullah bin Ubay bin Salul bangkit memerankan sifat kemunafikannya. Dia mendesak agar beliau memaafkan orang-orang Yahudi itu, seraya berkata, “Hai Muhammad, berbuat baiklah kepada teman-temanku.” Karena memang dulu Bani Qainuqa’ merupakan sekutu Khazraj.
Karena beliau diam saja, Abdullah bin Ubay mendesak lagi. Lalu dia memasukkan tangannya ke saku besi beliau.
“Lepaskan!” sabda beliau dengan muka merah padam karena marah. Beliau bersabda lagi, “celaka kau, lepaskan!”
Tetapi tokoh munafik ini tetap mendesak beliau sambil berkata, “Tidak, demi Allah. Aku tidak akan melepaskanmu hingga engkau mau berbuat baik kepada teman-temanku.

Dengan mengerahkan empat ratus orang tanpa mengenakan baju besi dan tiga ratus orang yang mengenakan baju besi, mereka pernah menghalangiku untuk berperang dengan berbagai kaum. Tetapi apakah justru engkau akan membantai mereka hanya dalam satu saat? Demi Allah, aku khawatir akan timbul bencana di kemudian hari.”

Akhirnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mau memperhatikan apa yang dikatakan orang munafik ini, yang memperlihatan keislaman hanya semenjak sebulan sebelumnya. Karena desakannya itu beliau mau bermurah hati kepada mereka. Beliau memerintahkan agar orang-orang Yahudi Bani Qainuqa’ meninggalkan Madinah sejauh-jauhnya, dan tidak boleh hidup bertetangga. Maka mereka pergi ke perbatasan Syam, dan tiada seberapa lama, banyak di antara mereka yang meninggal dunia.

Sementara itu, beliau menahan harta benda mereka. Beliau sendiri mengambil tiga keping uang, dua baju besi, tiga pedang, dan tiga tombak serta seperlima harta rampasan. Yang bertanggung jawab mengumpulkan semua harta rampasan perang adalah Muhammad bin Maslamah.'”

8. Perang As-Sawiq

Shafwan bin Umayyah menjalin persekongkolan dan konspirasi dengan orang-orang Yahudi serta munafik. Abu Sofyan berpikir untuk melakukan suatu tindakan yang sedikit menyerempet bahaya, dengan maksud untuk menjaga kedudukan kaumnya dan menunjukkan kekuatan yang mereka miliki. Dia sendiri sudah bernadzar untuk tidak membasahi rambutnya dengan air sekalipun junub, hingga dia dapat menyerang Muhammad. Maka bersama dua ratus orang dia pergi untuk melaksanakan sumpahnya itu, hingga dia tiba di suatu jalan terusan di sebuah gunung yang bernama Naib. Jaralawa dari Madinah kira-kira 12 mil. Namun tidak berani masuk ke Madinah secara terang-terangan. Maka layaknya seorang perampok, dia mengendap-ngendap masuk Madinah pada malam hari yang gelap dan mendatangi rumah Huyai bin Akhtab. Dia meminta izin untuk masuk nunah, namun Huyai menolaknya karena dia takut. Maka dia beranjak pergi dan mendatangi rumah Sallam bin Misykam, pemimpin Bani Nadhir. Abu Sofyan meminta agar kedatangannya ini dirahasiakan dari siapa pun. Setelah dijamu dan disuguhi arak, pada akhir malam Abu Sofyan keluar rumah dan kembali lagi menemui rekan-rekannya.
Dia mengutus beberapa orang pilihan di antara tentaranya agar pergi ke arah Madinah dan berhenti di Al-Uraidh. Di sana mereka membabati pohon dan membakar pagar-pagar kebun korma. Mereka mendapankan seorang Anshar dan rekanwa di kebun itu, Itu mereka membunuh keduanya. Setelah itu mereka semua kembali lagi ke Makkah.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendengar kabar ini segera pergi untuk mengejar Abu Sofyan dan rekan-rekannya. Namun mereka buru-buru pergi dengan meninggalkan tepung makanan yang mereka bawa sebagai bekal dan bahan-bahan makanan lainnya, agar tidak terlalu memberati. Tetapi mereka tidak terkejar lagi. Beliau mengejar mereka hingga tiba di Qarqaratul Kadr. Setiba di sana beliau kembali lagi. Sedangkan orang-orang Muslim membawa sawiq (tepung gandum) yang ditinggalkan Abu Sofyan dan pasukannya,

Sehingga peperangan ini disebut perang As-Sawiq. Terjadi pada bulan Dzul Hijjah, dua bulan setelah Perang Badr. Urusan di Madinah beliau serahkan kepada Abu Lubabah bin Abdul Mundzir.

9. Perang Qarqarah al-Kudri/Dzi Amar (Sumber Air)

Ini merupakan pasukan paling besar yang dipimpin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sebelum Perang Uhud. Kejadiannya pada bulan Muharram 3 H.
Adapun sebabnya, karena mata-mata Madinah menyampaikan kabar kepada beliau bahwa sebagian besar Bani Tsa’labah dan Muharib berhimpun untuk menyerbu daerah-daerah di sekitar Madinah. Maka beliau segera mempersiapkan orang-orang Muslim dan pergi bersama empat ratus lima puluh prajurit. Sebagian ada yang berjalan kaki dan sebagian lain ada yang naik hewan. Sementara Madinah diserahkan kepada Utsman bin Affan.

Di tengah perjalanan, orang-orang Muslim memegang seseorang yang bernama Jabbar dan berasal dari Bani Tsalabah. Dia dibawa ke hadapan beliau diseru agar masuk Islam. Dia pun berkenan masuk Islam dan disuruh mendampingi Bilal, sebagai penjuk jalan bagi pasukan Muslimin menuju daerah musuh.

Saat mendengar kedatangan pasukan Muslimin, musuh berpencar ke puncak gunung. Nabi sendiri beserta pasukannya tiba di tempat berkumpulnya musuh, yaitu di sebuah mata air yang disebut Dzi Amar. Beliau menetap di sana sebulan penuh pada bulan Shafar 3 H. Tujuannya untuk menunjukkan kekuatan pasukan Muslimin dan menimbulkan keengganan kepada bangsa Arab. Setelah itu beliau kembali ke Madinah.'”

10. Terbunuhnya Ka’b bin Al-Asyraf

Ka’b bin Al-Asyraf termasuk tokoh Yahudi yang sangat mendendam terhadap Islam dan orang-orang Muslim. Secara terang-terangan dia mengajak untuk memerangi dan membunuh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia berasal dari kabilah Thai’, dari Bani Nabhan. Ibunya berasal dari Bani Nadhir. Dia dikenal sebagai orang kaya raya dan suka berbuat baik kepada orang-orang Arab, juga dikenal sebagai salah satu penyair dari kalangan Yahudi.
Bentengnya berada di sebelah tenggara Madinah, tepatnya di bagian belakang dari perkampungan Bani Nadhir.

Saat pertama kali mendengar kabar tentang kemenangan pasukan Muslimin dan terbunuhnya beberapa pemuka Quraisy, maka dia selalu bertanya-tanya, “Benarkah Padahal mereka adalah bangsawan Arab dan raja semua manusia. Demi Allah, jika memang Muhammad dapat mengalahkan orang-orang itu, tentunya perut bumi lebih baik dari pada permukaannya.”

Setelah dia yakin benar dengan kabar itu, maka musuh Allah ini serentak bangkit mengolok-olok Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan orang-orang Muslim, menyanjung nyanjung Quraisy dan membangkitkan semangat untuk menghadapi kaum Muslimin. Tidak berhenti sampai di sini saja. Setelah itu dia pergi mendatangi orang-orang Quraisy di Makkah dan menetap di rumah Al-Muththalib bin Abu Wada’ah As-Sahmi. Di sana dia melantunkan syair-syair sambil menangis mengumbar air mata, menyebut orang-orang yang menjadi korban dan dimasukkan ke dalam sumur Badr. Dengan tindakarnwa, dia berharap dapat membangkitlan kembali harga diri mereka dan membakar ke dengkian terhadap Nabi, yang akhirnya dia mengajak mereka untuk menyerang kaum Muslimin.

“Manakah yang lebih engkau sukai, agama kami ataukah agama Muhammad dan rekan-rekannya? Manakah dua golongan ini yang lebih lurus jalannya?” tanya Abu Sufyan dan orang-orang musyrik kepa.da Ka’b selagi dia masih berada di Makkah.
“Jalan kalian yang lebih lurus dan lebih utama,” jawab Ka’b binAl-Asyraf. Kemudian Allah menurunkan ayat tentang kejadian ini,

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bagian dari Al-Kitab? Mereka percaya kepada yang disembah selain Allah dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Makkah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang bertman.” (An-Nisa’: 51)

Kemudian Ka’b kembali lagi ke Madinah, sambil merangkum syair baru yang menjelek-jelekkan istri-istri sahabat dengan ketajaman lidahnya.
Pada saat itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengajukan pertanyaan kepada orang-orang Muslim, “Siapakah yang berani menghadapi Ka’b bin Al-Asyraf? Sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya.”
Maka ada beberapa sahabat yang maju kedepan, yaitu Muhammad bin Maslamah, Ubbad bin Bisyr, Abu Na’ilah atau Sulkan bin Salamah, saudara Ka’b dari susuan, Al-Harits bin Aus dan Abu Abbas bin Jabr. Yang memimpin kelompok ini adalah Muhammad bin Maslamah.
Dalam beberapa riwayat tentang terbunuhnya Ka’b bin A1-Asyraf ini menyebutkan bahwa tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah yang berani menghadapi Ka’b bin Al-Asyraf? Sesungguhnya dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya”, maka Muhammad bin Maslamah bangkit seraya berkata, “Aku wahai Rasulullah. Apakah engkau suka jika aku membunuhnya?”
“Benar,” jawab beliau.
“Perkenankan aku untuk menyampaikan siasat,” pinta Muhammad bin Maslamah.
“Katakanlah!”
Inilah skenarionya untuk menjebak Ka’b. Muhammad bin Maslamah akan mendatangi Ka’b bin A1-Asyraf sambil berkata, “Sesungguhnya Muhammad telah meminta sedekah kepada kami, namun begitu dia juga telah banyak menolong kami.” katanya seolah-olah dia tidak suka terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Ka’b berkata, “Kamu pasti akan merasa bosan menghadapinya.”
Muhammad bin Maslamah berkata, “Sesungguhnya kami telah mengikutinya. Kami tidak akan meninggalkannya sebelum tahu kemana dia akan membawa urusannya. Untuk itu beri kami pinjaman beberapa gantang.”
“Kalau begitu serahkan jaminannya,” kata Ka’b.
“Apa yang engkau inginkan?” tanya Muhammad bin Maslamah. “Wanita-wanita kalian,” jawab Ka’b.
“Bagaimana mungkin kami menjaminkan wanita-wanita kami, sementara engkau adalah penduduk Arab yang paling tampan?”
“Kalau begitu anak-anak kalian,” kata Ka’b.
“Bagaimana mungkin kami menjaminkan anak-anak kami? Bisa-bisa kami akan dicemooh.”
Ada yang berkata,” Memang harus ada jaminan untuk pinjaman beberapa gantang. Tapi itu merupakan aib bagi kami. Bagaimana jika kami menjaminkan senjata kami.”
Maka Muhammad bin Maslamah berjanji akan mendatanginya lagi. Abu Na’ilah juga berbuat yang sama dengan Muhammad bin Maslamah. Dia menemui Ka’b sambil melantunkan syair-syairnya. Kemudian dia berkata, “Celaka wahai Ibnul Asyraf. Sesungguhnya aku datang untuk suatu keperluan.” Lalu dia menyebutkan keperluan dan meminta agar hal itu dirahasiakan.
“Akan kutepati,” jawab Ka’b bin A1-Asyraf.
“Kedatangan orang ini (Rasulullah) akan menjadi bencana bagi kami, karena bangsa Arab akan menyerang kami, melemparkan anak panah dari satu busur, memutus jalan kehidupan kami hingga keluarga menjadi terlantar, semua orang menjadi susah payah, kami dan keluarga kami akan menjadi payah pula.”
Kemudian terjadi dialog Abu Na’ilah dan Ka’b bin A1-Asyraf, seperti yang dilakukan Muhammad bin Maslamah. Abu Na’ilah menambahi, “Aku juga mempunyai beberapa rekan lain yang sependapat dengan aku. Aku akan datang bersama mereka untuk menemui engkau. Maka engkau harus bersikap ramah terhadap mereka.”
Sampai di sini Muhammad bin Maslamah dan Abu Na’ilah bisa berperan sesuai sekenario yang telah dirancang. Sementara Ka’b tidak boleh menolak keduanya membawa senjata dan rekan-rekannya yang lain dalam pertemuan berikutnya.

Pada suatu malam yang terang bulan, yaitu tanggal 14 Rabi’ul Awwal 3 H, beberapa orang Muslimin yang telah disebutkan di atas berkumpul di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Beliau mengantar mereka hingga di Baqi’Al-Gharqad, lalu memberi arahan kepada mereka, “Pergilah atas nama Allah. Ya Allah, tolonglah mereka!” Setelah itu beliau kembali lagi ke rumah untuk shalat dan berdoa kepada Allah.
Sekumpulan orang-orang Muslim itu berhenti di dekat benteng Ka’b Al¬Asyraf. Abu Na’ilah berbisik-bisik memanggil nama Ka’b. Maka Ka’b bangkit untuk turun dari benteng.

“Pada malam-malam begini engkau hendak pergi?” tanya istrinya yang masih muda belia. Katanya lagi, “Aku mendengar sebuah suara seakan meneteskan darah.”
“Dia adalah saudaraku, Muhammad bin Maslamah, dan saudara susuanku, Abu Na’ilah. Jika dipanggil untuk urusan bunuh-membunuh yang namanya orang terhormat itu tentu akan menemuinya.” Kemudian dia keluar dari benteng, menyebarkan aroma yang harum dan rambutnya disisir rapi.

Sementara Abu Na’ilah berkata kepada rekan-rekannya, “Apabila dia sudah tiba, maka aku akan memeluk kepalanya dan menciumnya. Jika kalian melihatku sudah bisa memegang kepalanya, maka tikamlah dia dari belakang.”
Setelah Ka’b bin Al-Asyraf tiba, mereka mengobrol barang sejenak. Lalu Abu Na’ilah berkata, “Wahai Ibnul Asyraf, maukah engkau jalan-jalan bersama kami ke celah bukit, lalu kita mengobrol di sana menghabiskan sisa malam ini?”
“Kalau memang itu yang kalian kehendaki,” jawab Ka-b bin A1-Asyraf tanpa curiga. Mereka pun pergi berjalan-jalan.
“Aku tidak pernah merasakan yang lebih bagus dan harum dari pada malam ini,” kata Abu Na’ilah sambil jalan-jalan.
Ka-b terpedaya dengan apa yang didengarnya. Dia berkata, “Aku pun mempunyai seorang wanita Arab yang paling harum baunya.”
“Kalau begitu bolehkah aku mencium aroma rambutmu?” tanya Abu Na’ilah.
“Boleh saja,” jawab Ka’b.
Abu Na’ilah mencium rambut Ka’b, lalu memberi isyarat kepada rekan rekannya. Setelah mereka berjalan beberapa saat, Abu Na’ilah bertanya lagi,” Bolehkah aku mencium rambutmu lagi?”
“Boleh,” jawab Ka’b. Karena suasana yang akrab ini Ka’b merasa tenang hatinya. Setelah berjalan beberapa saat, Abu Na’ilah meminta izin untuk mencium rambutnya lagi. Maka untuk ketiga kalinya dia menyusupkan tangannya ke rambut Ka’b. Saat pegangan sudah kuat, dia pun berteriak, “Diamlah wahai musuh Allah!”

Pedang rekan-rekan Abu Na’ilah berseliweran ke arah tubuh Ka’b. Namun tak ada yang mengena. Maka Muhammad bin Maslamah segera memungut belatinya dan menusukkan ke punggung Ka’b hingga tembus ke perut bagian bawah, lalu Ka’b meninggal setelah berteriak dengan suara yang amat keras dan membangunkan orang-orang yang berada di dalam benteng. Bahkan karena teriakannya yang keras itu, mereka menyalakan pelita.

Sekelompok orang-orang Muslim yang telah berhasil membunuh Ka’b itu pun pulang. Namun Al-Harits bin Aus terluka di kepala atau kakinya karena terkena sabetan sebagian pedang rekan-rekannya dan banyak mengeluarkan darah. Mereka terus berjalan hingga tiba di Harratul Uraidh. Karena kondisi Al-Harits semakin melemah mengingat banyaknya darah yang keluar dari lukanya, dan jalanya yang selalu tertinggal di belakang dari rekan-rekannya, maka mereka membopongnya. Setiba di Baqi’ Al-Gharqad, mereka bertakbir dengan suara keras, hingga didengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam Dengan begitu beliau tahu bahwa mereka telah berhasil melaksanakan tugas. Lalu beliau ikut mengucapkan takbir. Setelah mereka tiba di hadapan beliau, maka beliau bersabda, “Wajah wajah yang beruntung.”

“Begitu pula wajah engkau wahai Rasulullah,” kata mereka sambil melemparkan penggalan kepala Ka’b di hadapan beliau. Maka beliau memuji Allah atas terbunuhnya Ka’b. Setelah itu beliau meludahi luka Al-Harits dan seketika itu pula luka tersebut sembuh, hingga tidak tersisa lagi.

Setelah orang-orang Yahudi mengetahui terbunuhnya pemimpin mereka, Ka’b bin Al-Asyraf, mereka pun dicekap perasaan takut. Kini mereka tahu bahwa Rasulullah tidak sungkan-sungkan menggunakan kekuatan terhadap orang-orang yang tidak memperdulikan nasihatnya, ingin mengganggu stabilitas keamanan, menimbulkan keresahan, dan tidak menghormati perjanjian. Mereka tidak berani bertindak apa-apa atas kematian pemimpinnya. Mereka hanya diam dan menampakkan keinginan untuk memenuhi isi perjanjian. Ular-ular pun masuk ke dalam lubangnya dan bersembunyi di sana.

Begitulah tindakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam meredam bahaya yang akan mengancam di luar Madinah. Sehingga orang-orang Muslim juga bisa sedikit bernapas lega karena surutnya gangguan dari Madinah yang selama ini selalu menghantui mereka.

11. Perang Burhan

Ini merupakan mobilitas pasukan yang besar, jumlahnya mencapai tiga ratus prajurit, yang dipimpin langsung oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Rabi’ul Akhir 3 H. Mereka beranjak ke suatu daerah yang disebut Burhan di Hijaz. Beliau menetap di sana hingga habisnya bulan Rabi’ul Akhir dan awa1 Jumadal Ula. Namun tidak terjadi apa-apa, lalu beliau pun kembali ke Madinah.

12. Satuan Perang Zaid bin Haritsah

Ini merupakan mobilitas pasukan terakhir sebelum meletus Perang Uhud, terjadi pada bulan Jumadil Akhirah 3 H.
Gambarannya, orang-orang Quraisy terus dibayangi keresahan dan kegalauan seusai Perang Badr. Tak lama kemudian tiba musim kemarau yang berarti tiba saatnya untuk memberangkatkan kafilah ke Syam. Ini merupakan problem tersendiri.

Kali ini ditunjuk Quraisy sebagai pemimpin kafilah dagang ke Syam adalah Shafwan bin Umayyah. Dia berkata kepada mereka, “Sesungguhnya Muhammad dan rekan-rekannya akan menghadang kafilah dagang kita. Kita juga tidak tahu apa yang bisa kita lakukan untuk menghadapi rekan-rekannya yang tidak akan membiarkan jalur pantai. Sementara penduduk pantai secara keseluruhan sudah terikat perjanjian dengan Muhammad. Kita tidak tahu jalur mana lagi yang bisa kita lewati. Jika kita hanya diam di sini, maka modal perniagaan akan kita pergunakan untuk kebutuhan sehari-hari, semua harta kekayaan kita akan ludes dan tamatlah riwayat kita. Kehidupan kita di Makkah ini bergantung kepada perniagaan ke Syam pada musim panas dan ke Habasyah pada musim dingin.”

Terjadi perdebatan yang hangat tentang masalah ini. Al-Aswad bin Abdul Muththalib berkata kepada Shafwan, “Tinggalkan jalur pantai dan ambil jalur Irak.”
Padahal ini merupakan jalur yang sangat panjang dan jarang dilewati untuk menuju ke Syam, dengan melewati bagian timur Madinah. Orang-orang Quraisy sendiri tidak tahu-menahu jalur ini. Maka Al-Aswad mengisyaratkan kepada Shafwan untuk mengangkat Furat bin Hayyan dari Bani Bakr bin Wa’il sebagai penunjuk jalan bagi kafilah.
Maka dengan mengambil jalur inilah kafilah dagang Quraisy berangkat menuju Syam. Ternyata kabar tentang keberangkatan kafilah Quraisy ini juga terdengar sampai ke Madinah. Ceritanya bermula dari Sulaith bin An-Nu’man yang telah masuk I slam dan masih berada di Makkah. Dia ikut-ikutan minum khamr bersama Nu’aim bin Ma’ud Al-Asy’ay. Saat itu khamr belum diharamkan. Karena pengaruh khamr yang diminumnya, Nua’im mengoceh secara rinci tentang kafilah dagang Quraisy yang mengambil jalur baru. Sulaith yang mendengarnya segera pergi menemui Nabi dan menceritakannya.

Seketika itu pula beliau mempersiapkan pasukan yang terdiri dari seratus prajurit berkendaran, yang dipimpin Zaid bin Haritsah. Zaid mempercepat perjalanan agar dapat memapasi kafilah secara tiba-tiba. Zaid bersama satuan pasukannya menetap di Qardah dan dapat menguasai kafilah dagang Quraisy. Shafwan sama sekali tidak mampu mempertahankan kafilah dagangnya. Tidak ada pilihan lain baginya dan rombongannya kecuali melarikan diri tanpa mampu melakukan perlawanan apa pun. Bahkan pemandunya tertawan bersamanya. Orang-orang Muslim bisa membawa harta rampasan yang jumlahnya amat banyak, terdiri dari pundi-pundi emas dan perak, yang nilainya mencapai seratus ribu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membagi harta rampasan itu kepada semua satuan pasukan, setelah mengambil seperlimanya. Kemudian Furat bin Hayyan masuk Islam di hadapan beliau.

Tentu saja kejadian ini merupakan bencana besar yang menimpa Quraisy setelah Perang Badr. Mereka semakin resah, galau, dan sedih. Hanya ada pilihan bagi mereka, entah membuang jauh-jauh keangkuhan dan kesombongan mereka, lalu berdamai dengan orang-orang Muslim, ataukah berperang habis-habisan untuk mengembalikan kejayaan mereka yang lampau dan melibas kekuatan orang-orang Muslim, agar mereka tidak memiliki kekuasaan lagi. Akhirnya diputuskan, Quraisy mengambil cara kedua dan mereka bertekad untuk menuntut balas. Untuk itu mereka segera melakukan persiapan pertempuran menghadapi orang-orang Muslim. Inilah yang mengawali Perang Uhud. Jabal Uhud

Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M