Manuver-manuver Meliter setelah Perang Bani Quraizhah
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Terbunuhnya Sallam bin Abul Huqaiq
- Satuan Pasukan di Bawah Komando Muhammad bin Maslamah
- Perang Bani Lahyan
- Pengiriman Satuan-satuan Pasukan Berikutnya
1. Terbunuhnya Sallam bin Abul Huqaiq
Sallam bin Abul Huqaiq yang juga biasa dipanggil Abu Rafi’ termasuk tokoh penjahat Yahudi yang mendorong pembentukan pasukan Ahzab untuk memerangi kaum Muslimin, juga mendukung mereka dengan bantuan harta yang banyak dan pasokan bahan makanan. Dahulu dia juga sering mengganggu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Setelah orang-orang Muslim usai menangani urusan Bani Quraizhah, orang-orang Khazraj meminta izin kepada beliau untuk membunuh Sallam bin Abul Huqaiq. Karena sebelumnya orang-orang Auslah yang telah membunuh Ka’b bin Al-Asyraf. Oleh karena itu orang-orang Khazraj ingin mendapatkan kehormatan seperti kehormatan yang didapatkan orang-orang Aus. Maka mereka buru-buru meminta izin untuk melaksanakan rencana ini kepada beliau.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengizinkan permintaan mereka dan melarang membunuh wanita dan anak-anak. Maka ada lima orang di antara mereka yang semuanya berasal dari Bani Salamah dari Khazraj, di bawah pimpinan Abdullah bin Atik.
Mereka berangkat menuju Khaibar, karena disanalah benteng Abu Rafi’ berada. Setelah dekat dengan bentengnya yang saat itu matahari sudah tenggelam dan semua manusia sudah berada di tempat tinggal mereka di dalam benteng, Abdullah bin Atik berkata kepada rekan-rekannya, “Kalian duduk saja di sini. Aku akan pergi dan mengelabuhi penjaga pintu Siapa tahu aku bisa memasuki benteng.”
Dia mendekati pintu benteng, lalu menyingsingkan pakaian layaknya orang yang hendak buang hajat. Saat itu semua orang sudah masuk ke dalam benteng. Penjaga pintu berkata secara bisik-bisik kepadanya, “Wahai Abdullah, apabila engkau hendak masuk, masuklah, karena aku hendak menutup pintu ini.”
Abdullah bin Atik menuturkan, “Lalu aku pun masuk benteng dan main kucing-kucingan. Setelah itu pintu benteng ditutup rapat dengan memasang palang. Kunci itu kuambil dan kubawa. Lalu aku membuka pintu tempat tinggal Abu Rafi’, yang rupanya dia masih mengobrol dengan teman-temannya. Aku menyembunyikan diri agar tidak dipergokinya. Setelah teman-temannya pergi, aku naik ke tempatnya. Setiap pintu tempat tinggalnya dapat kubuka, maka pintu itu kututup lagi seperti semula dari dalam. Aku berkata sendiri, “Rekan rekannya sudah bernadzar kepadaku bahwa aku tidak boleh keluar sebelum aku dapat membunuh Abu Rafi Akhirnya aku dapat mendekati tempatnya yang agak memencil, yaitu di suatu ruangan yang gelap. Aku tidak tahu di mana posisinya secara tepat.
“Wahai Abu Rafi’?” aku bertanya memancing.
“Siapa itu?” tanyanya.
Aku menghampiri tempat asal suaranya dan kusabetkan pedang ke arah dirinya. Aku kaget sendiri, karena sabetanku tidak mengenai sasaran. Dia berteriak. Aku keluar dari ruangan itu, namun tidak jauh dari posisinya. Kemudian aku masuk lagi dan bertanya, “Ada apa engkau berteriak wahai Abu Rafi’?”
Dia menjawab, “Celaka demi ibumu. Ada seseorang di dalam rumah ini yang barusan hendak menebas pedang kepadaku.”
Pedang kusabetkan ke arah dirinya dan tepat mengenai sasaran, tetapi aku yakin sabetanku belum mampu membunuhnya. Kuletakkan ujung pedang ke perutnya, lalu kutusukkan hingga tembus ke punggung. Kini aku yakin sudah dapat membunuhnya. Secara perlahan-perlahan pintu tempat tinggalnya kubuka satu per satu dan berjalan mengendap-ngendap hingga aku dapat menginjak tanah. Di bawah terpaan sinar bulan dapat terlihat betisku yang terkoyak. Aku membalutnya dengan kain penutup kepala, lalu aku duduk di dekat pintu benteng. Aku berkata kepada diri sendiri, “Aku tidak akan keluar dari benteng ini sebelum kutahu apakah dia benar-benar sudah mati.”
Bersamaan dengan terdengarnya suara kokok ayam, ada seseorang yang bertugas menyampaikan kabar kematian, berkata, “Aku hendak menyampaikan kabar kematian Abu Rafi’ kepada pedagang penduduk Hijaz.”
Setelah itu aku menghampiri teman-temanku seraya kukatakan, “Selamat, Allah telah membunuh Abu Rafi’.”
Setelah bertemu Nabi kukabarkan apa yang sudah terjadi. Beliau
bersabda, “Bentangkan kakimu!” Maka kubentangkan kakiku lalu beliau mengusapnya, hingga tidak ada lagi kurasakan sakit sama sekali.
Begitulah yang disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari. Sedangkan menurut riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa mereka berlima masuk ke tempat tinggal Abu Rafi’, dan secara bersama-sama membunuhnya. Adapun yang membunuh Abu Rafi’ adalah Abdullah bin Unais. Di sini disebutkan bahwa peristiwa ini terjadi pada malam hari dan gelap. Sementara saat itu betis Abdullah bin Atik terkoyak atau patah tulangnya. Karena itu, teman-temannya menggotongnya dan diletakan di lubang air yang masuk ke dalam benteng. Sementara waktu mereka juga bersembunyi di sana. Maka saat orang-orang Yahudi mencari-cari, mereka tidak bisa ditemukan. Karena putus asa, orang-orang Yahudi itu kembali lagi menemui pemimpin mereka yang sudah mati. Kemudian para sahabat pulang dan menggotong Abdullah bin Atik hingga bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzul Qa’dah atau Dzul Hijjah 5 H.
Seusai Perang Ahzab dan Bani Quraizhah, serta membungkam para penjahat perang, beliau mengerahkan satuan-satuan pasukan untuk memberi pelajaran kepada beberapa kabilah dan Arab Badui, yang selama itu mengganggu keamanan. Untuk itu beliau perlu menghadapi mereka dengan kekuatan militer.
2. Satuan Pasukan di Bawah Komando Muhammad bin Maslamah
Ini merupakan satuan pasukan yang dikirim pertama kali setelah Perang Ahzab dan Bani Quraizhah. Jumlahnya ada tiga puluh orang yang menunggang kendaraan.
Satuan perang ini bergerak ke arah Al-Quratha’ di bilangan Dhariyah di Najd. Jarak antara Dhariyah dan Madinah bisa ditempuh selama tujuh hari. Mereka pergi selama sepuluh hari dan tiba di perkampungan Bani Bakr bin Kilab. Saat satuan pasukan Muslimin menyerbu tempat itu, mereka pun melarikan diri, sehingga orang-orang Muslim mendapatkan rampasan berupa binatang ternak yang cukup banyak. Mereka tiba di Madinah dengan menawan Tsumamah bin Ustal Al-Hanafi, pemimpin Bani Hanifah. Sebelum itu dia pernah menolak kerja sama dengan Musailamah Al-Kadzdzab untuk membunuh Nabi Setiba di Madinah mereka mengikatnya di salah satu tiang masjid.
Beliau menemuinya dan bertanya, “Bagaimana kabarmu wahai Tsumamah?”
“Aku baik-baik wahai Muhammad,” jawabnya. Lalu dia berkata, “Jika engkau ingin membunuh, berarti engkau akan membunuh seseorang yang masih punya darah. Jika engkau mau memberi makan, maka engkau memberi makan orang yang bersyukur. Jika engkau menghendaki harta benda, sebutkan saja, niscaya engkau akan mendapatkannya sesuai keinginanmu.”
Namun beliau membiarkannya. Saat melewatinya untuk kedua kali, Tsumamah berkata seperti di atas, dan beliau juga berbuat serupa. Pada ketiga kalinya dan setelah berkata seperti itu pula, beliau bersabda, “Lepaskanlah Tsumamah!”
Maka orang-orang Muslim melepaskannya. Lalu Tsumamah pergi ke sebuah kebun korma tak jauh dari masjid, lalu mandi dan kembali lagi untuk masuk Islam. Dia berkata, “Demi Allah, sebelum ini tidak ada wajah yang paling kubenci di dunia ini selain wajahmu. Kini wajah yang paling kucintai adalah wajahmu. Demi Allah, sebelum ini tidak ada agama yang paling kubenci di muka bumi ini selain agamamu. Kini agama yang paling kucintai adalah agamamu. Aku ingin naik kuda milik engkau karena aku ingin melaksanakan umrah.”
Beliau memperkenankannya dan menyuruhnya melaksanakan umrah. Setibanya di Makkah, orang-orang Quraisy bertanya, “Apakah engkau sudah keluar dari agamamu, wahai Tsumamah?”
“Tidak, demi Allah. Tetapi aku telah memasrahkan diri bersama Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Demi Allah, meski sebiji gandum pun, kalian tidak boleh membawanya dari Yamamah kecuali atas perkenan Rasulullah.”
Yamamah adalah tanah yang subur dan merupakan pemasok bahan makanan bagi Makkah. Setelah melaksanakan umrah, Tsumamah kembali lagi ke kampung halamannya. Biji-biji gandum dari Yamamah benar-benar tidak boleh dibawa ke Makkah, sehingga orang-orang Quraisy kekurangan bahan makanan dan kelaparan. Karenanya mereka nekad menulis surat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, memohon kepada beliau atas nama para kerabat, agar beliau mengizinkan pengiriman bahan makanan dari Yamamah ke Makkah. Maka beliau memperkenankannya. Kejadian ini 10 Muharram 6 H (https://almanhaj.or.id)
Bani Lahyan adalah yang pernah mengkhianati sepuluh sahabat dan membunuh mereka di Ar-Raji’. Karena tempat mereka yang masuk wilayah Hijaz dan berbatasan dengan Makkah, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak bemiat untuk memasuki wilayah itu, karena posisi mereka yang berdekatan dengan musuh terbesar. Ini terjadi sebelum meletus peperangan antara kaum Muslimin dan Quraisy serta beberapa kabilah Arab lainnya. Tetapi setelah mental dan semangat pasukan musuh merosot dan membiarkan situasi berjalan serba mengambang tanpa ada ujungnya, maka sudah tiba saatnya bagi beliau untuk melancarkan balasan terhadap Bani Lahyan atas kematian para sahabat beliau di Ar-Raji’.
Pada bulan Rabi’ul Awwal atau Jumadil Ula 6 H, Beliau pergi bersama dua ratus sahabat. Madinah diserahkan kepada Ibnu Ummi Maktum. Beliau membuat kamuflase, seakan-akan kepergian kali ini hendak menuju ke Syam, agar mereka lengah. Perjalanan dipercepat hingga tiba di Ghuran, suatu lembah yang terletak antara Amaj dan Usfan. Di situlah dulu para sahabat beliau dibunuh. Hati beliau terasa trenyuh atas nasib mereka lalu mendoakan mereka.
Bani Lahyan yang mendengar kedatangan beliau dan pasukan Muslimin, langsung melarikan diri ke puncak-puncak gunung. Tak seorang pun di antara mereka yang bisa terpegang. Beliau menetap di perkampungan Bani Lahyan selama dua hari. Selama itu beliau mengutus beberapa orang untuk melakukan pengejaran, namun hasilnya nihil. Lalu beliau pergi ke Usfan dan mengutus sepuluh orang penunggang kuda untuk pergi ke Kura’ Al-Ghamim untuk mencari informasi tentang keadaan orang-orang Quraisy. Setelah itu beliau kembali lagi ke Madinah. Kepergian beliau ini selama empat belas hari.
4. Pengiriman Satuan-satuan Pasukan Berikutnya
Setelah itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyusul dengan pengiriman beberapa satuan pasukan, seperti:
1. Satuan pasukan Ukkasyah bin Mihshan ke Al-Ghamr pada bulan Rabi’ul Awwal 6 H. Ukkasyah pergi bersama 40 orang ke Al-Ghamr, sebuah pangkalan air milik Bani Asad. Melihat kedatangan pasukan Muslimin, mereka melarikan diri, sehingga orang-orang Muslim mendapat rampasan 200 ekor onta, lalu dibawa ke Madinah.
2. Satuan pasukan Muhammad bin Maslamah ke Dzil Qashshah pada bulan Rabi’ul Awwal atau Rabi’ul Akhir. Dia pergi bersama sepuluh orang. Dengan mengendap-ngendap mereka memasuki perkampungan Bani Tsalabah dan membunuh mereka yang jumlahnya 100 orang selagi sedang nyenyak tidur. Hanya saja sebagian rekan Muhammad bin Maslamah ada yang mendapat luka pada peristiwa ini.
3. Satuan pasukan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ke Dzil Qashshah pada Rabi’ul Akhir 6 H. Beliau mengirimnya untuk membalas kematian rekan-rekan Muhammad bin Maslamah. Maka dia pergi bersama 40 orang dengan berjalan kaki pada malam itu pula hingga mereka tiba di Bani Tsa’labah pada pagi harinya. Abu Ubaidah dan pasukannya menyerang Bani Tsa’labah sehingga mereka melarikan diri ke puncak-puricak gunung. Mereka bisa menawan salah seorang di antara mereka, lalu orang tersebut masuk Islam. Cukup banyak harta rampasan berupa hewan ternak.
4. Satuan pasukan Zaid bin Haritsah ke Al-Jamum pada bulan Rabi ‘ul Akhir 6 H. Al-Jamum adalah pangkalan air milik Bani Sulaim di kawasan Marr Azh¬Zhahran dan pasukannya pergi ke sana dan bertemu dengan seorang wanita dari Muzainah, yang bemama Halimah. Wanita ini menunjukkan di mana tempat Bani Sulaim. Atas petunjuk wanita ini, mereka bisa mendapatkan rampasan hewan dan para tawanan. Setelah mereka kembali ke Madinah, beliau memberikan hadiah kepada wanita itu dan juga mengawininya.
5. Satuan perang Zaid bin Haritsah ke Al-Ish pada bulan Jumadil Ula 6 H, bersama 170 orang pengendara. Dalam peristiwa itu mereka bisa merampas kafilah dagang milik Quraisy yang dipimpin Abul Ash, orang yang dikhitan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan menjadi menantu beliau. Abul Ash dapat melepaskan diri lalu mendatangi Zainab, istrinya, dan putri beliau dan meminta jaminan perlindungan kepadanya. Dia juga memohon agar Zainab memintakan seluruh harta kafilah dagang Quraisy yang dirampas. Zainab memenuhi permintaannya. Lalu Rasu1ullah shallallahu alaihi wasallam memberi isyarat kepada orang-orang Muslim untuk mengembalikan harta rampasan itu. Maka mereka mengembalikan harta itu, tanpa ada sedikit pun yang diambil. Kemudian Abul Ash kembali lagi ke Makkah, utuh dengan harta benda milik Quraisy, lalu dia menyerahkan semua titipan kepada orang yang berhak menerimanya, kemudian masuk Islam dan hijrah ke Madinah. Sesampai di Madinah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyerahkan Zainab kepada Abul Ash berdasarkan pernikahan mereka dahulu, setelah berpisah selama tiga tahun lebih. Seperti yang diriwayatkan dalam hadits shahih, beliau tidak menikahkan lagi mereka berdua, karena ayat mengharamkan pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki kafir pada saat itu belum turun. Hadits yang menyebutkan bahwa beliau menikahkan lagi mereka berdua, atau setelah berpisah selama enam tahun, sanadnya tidak shahih dan maknanya pun tidak mengena. Yang aneh orang-orang yang berpegang pada hadits dha’ if ini, mereka menyatakan bahwa Abul Ash masuk Islam pada akhir tahun kedelapan .belum Fathu Makkah. Lalu mereka membuat kontradiksi sendiri, bahwa Zainab meninggal dunia pada tahun kedelapan. Kami telah menyajikan beberapa dalil dalam penjelasan atas buku BulughulMaram, bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun ketujuh. Ini menurut pendapat Abu Bashir dan rekan-rekannya, yang tentu saja tidak sesuai dengan hadits shahih maupun dha’if.
6. Satuan pasukan Zaid bin Haritsah ke daerah perbatasan pada bulan Jumadil Akhir 6 H. Dia pergi bersama 15 orang menuju Bani Tsagabah. Melihat kedatangannya, mereka melarikan diri, karena mereka takut yang datang adalah Nabi shallallahu alaihi wasallam Pasukan Zaid ini bisa mendapatkan rampasan 20 ekor onta dan kembali lagi ke Madinah setelah empat hari.
7. Satuan perang Zaid bin Haritsah ke Wadil Qura pada bulan Rajab 6 H. Dia pergi bersama 12 orang menuju ke Wadil Qura, untuk mencari informasi tentang kemungkinan gerakan musuh disana. Penduduk Wadil Qura menyerang pasukan Muslimin ini hingga ada 9 orang yang terbunuh, dan 3 orang bisa melepaskan diri, termasuk Zaid bin Haritsah.
8. Satuan pasukan Al-Khabthu. Ada yang menyebutkan pengiriman satuan pasukan ini pada bulan Rajab 8 H. Tetapi ada pula yang menyebutkannya sebelum Hudaibiyah.
Jabir menuturkan, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutus kami sebanyak 300 pengendara, di bawah pimpinan Abu Ubaidah Al-Jarrah, untuk mengintai kafilah dagang Quraisy. Karena kami kehabisan bekal dan kelaparan, maka kami memakan dedaunan. Karena itu pasukan ini disebut dengan Al-Khabthu (daun as-salam). Lalu kami menyembelih tiga ekor hewan tunggangan kami. Setelah habis menyembelih tiga ekor lagi, begitu seterusnya hingga Abu Ubaidah menghentikannya. Di pinggir pantai kami mendapatkan ikan sejenis ikan paus, hingga kami dapat memakannya selama setengah bulan hingga kami kenyang dan kondisi fisik kami menjadi segar kembali. Abu Ubaidah membawa tulang-tulang ikan itu dan menaikannya di atas onta yang paling tinggi, dan menyuruh seseorang di antara kami yang paling tinggi perawakannya untuk berjalan di samping onta itu. Dengan begitu kami menjadikan sisa-sisa dagingnya sebagai bekal perjalanan kami. Setiba di Madinah kami menceritakan semua kejadian ini kepada Nabi Lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ini adalah rezeki yang diberikan Allah kepada kalian. Apakah masih ada sisa daging yang bisa kalian berikan kepada kami?” Maka kami menyerahkannya kepada beliau.Penuturan Jabir ini menunjukkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum Hudaibiyah. Sebab orang-orang Muslim tidak lagi mengintai kafilah dagang Quraisy setelah perjanjian Hudaibiyah.
Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury