• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Selasa, 3 Desember 2024

Korespondensi dengan beberapa Raja dan Amir

Bagikan

Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali  ke Menu)

  1. Surat kepada Najasyi, Raja Habasyah
  2. Surat kepada Muqauqis, Raja Mesir
  3. Surat kepada Kisra, Raja Persia
  4. Surat kepada Qaishar, Raja Romawi
  5. Surat kepada Al-Mundzir bin Sawa
  6. Surat kepada Haudzan bin Ali Al-Hanafi, Pemimpin Yamamah
  7. Surat kepada Al-Harits bin Abu Syamr Al-Ghassani, Pemimpin Damaskus
  8. Surat kepada Raja Uman

Pada akhir tahun 6 H, setelah kembali dari Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat yang ditujukan kepada beberapa raja, menyeru mereka kepada Islam.
Saat hendak menulis surat-surat yang ditujukan kepada beberapa raja itu, ada seseorang yang memberitahu, “Sesungguhnya mereka tidak akan mau menerimanya kecuali jika surat itu disertai cincin stempel.” Karena itu beliau membuat cincin stempel yang terbuat dari perak, dengan cetakan yang berbunyi “Muhammad Rasul Allah”. Cetakan tulisan ini tersusan dalam tiga baris. “Muhammad” satu baris, “Rasul” satu baris, dan “Allah” satu baris, dengan susunan yang dimulai dari bawah:

Allah
Rasul
Muhammad

Beliau menunjuk beberapa orang sahabat sebagai kurir, yang cukup mempunyai pengetahuan dan pengalaman. Beliau mengutus para kurir ini untuk menemui beberapa raja. Al-Alamah Al-Manshurfuri memastikan bahwa beliau mengutus para kurir ini pada awal bulan Muharram tahun 7 H, beberapa hari sebelum pergi ke Khaibar. Inilah uraiannya dan isi surat-surat tersebut.

1. Surat kepada Najasyi, Raja Habasyah

Najasyi ini namanya Ashhamah bin Al-Aijar. Beliau menulis surat ini bersama Amr bin Umayyah Adh-Dhamri pada akhir tahun 6 H, atan pada bulan Muharram tahun 7 H. Ath-Thabari telah menyebutkan teks surat itu, tetapi perlu penelitian lebih lanjut. Sebab ada kemungkinan itu bukan teks surat yang ditulis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah perjanjian Hudaibiyah, tetapi boleh jadi itu merupakan surat yang dibawa Ja’far ketika dia hijrah ke Habasyah bersama rekan-rekannya semasa periode Makkah. Apalagi di akhir surat itu disebutkan orang-orang yang hijrah dengan bunyi, “Aku telah mengutus kepada kalian anak pamanku, Ja’far bersama beberapa orang Muslim. Jika dia telah datang, maka terimalah dia dan janganlah berbuat sewenang-wenang kepadanya.”

Al-Bathaqi meriwayatkan dari Ibnu Ishaq teks surat yang ditulis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Najasyi sebagai berikut.

“Dari Muhammad Sang Nabi, kepada Najasyi, Al-Ashham pemimpin Habasyah. Kesejahteraan bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang tidak mempunyai rekan pedamping dan anak, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku menyeru tuan dengan serun Islam, bahwa aku adalah Rasul-Nya. Maka masuklah Islam niscaya tuan akan selamat.

“Katakanlah, Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. ‘Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Ali Imran: 64)

Jika tuan menolak, maka tuan akan menanggung dosa orang-orang Nashrani dari kaum tuan.”
Seorang peneliti yang cukup terkenal, Dr. Humaidilah Baris menyebutkan teks surat ini, yang isinya jauh berbeda. Ibnul Qayyim juga menyebutkannya dengan sedikit perbedaan dalam penyusunan kalimat. Dalam penelitian ini Dr. Humaidilah telah berusaha semaksimal mungkin antuk mengungkapkannya dengan berbagai sarana penelitian yang memungkinkan. Dia menyebutkan teks surat ini sebagai berikut.

“Bismillahir-rahmanir-rahim.

Dari Muhammad Rasul Allah kepada Najasyi, pemimpin Habasyah. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, amma ba’d. Aku memuji bagi tuan kepada Allah yang tiada Illah selain-Nya. Dialah Penguasa yang Mahasuci, Pemberi kesejahteraan, Pemberi perlindungan dan yang Berkuasa. Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam adalah Ruh Allah dan tiupan-Nya, yang disampaikan kepada Maryam yang perawan, baik dan menjaga kehormatan diri. Lalu dia mengandung Isa dari ruh-Nya dan tiupan-Nya, sebagaimana Dia menciptakan Adam dengan tangan-Nya. Aku menyeru kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan senantiasa menaati-Nya, dan hendaklah tuan mengikuti aku, beriman kepada apa yang diberikan kepadaku. Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah, dan aku menyeru tuan dan pasukan tuan kepada Allah.
Aku sudah mengajak dan memberi nasihat. Maka terimalah nasihatku. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk.

Dr. Al-Muhtaram menegaskan bahwa surat yang ditulis Nabi shallallahu ‘alaihi wa shallam ini setelah Perjanjian Hudaibiyah. Adapun tentang keabsahan teks surat tersebut memang perlu penelitian lebih lanjut, dengan melihat beberapa dalil. Kalau pun dikatakan bahwa surat itu ditulis setelah Hudaibiyah, maka tidak ada dalil yang menguadkannya. Yang disebutkan Al-Baihaqi dari Ibnu Ishaq mirip dengan surat yang ditulis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beberapa raja dan amir Nashrani setelah Hudaibiyah, yang di dalamnya ada ayat Al-Qur’ an tersebut. Kemiripan lainnya adalah dalam kandangunnya. Di sini disebudkan nama Al-Ashhamah secara jelas. Sedangkan surat yang disebudkan Dr. Humaidilah menurut hemat kami adalah surat yang ditulis beliau kepada pengganti Ashhamah setelah dia meninggal dunia. Padahal nama Ashhamah disebutkan secara jelas.

Menurut pendapat kami, tertib-tertib ini sama sekali tidak ditunjang dalil yang pasti selain dari beberapa penguat intemal yang bisa dipahami dari surat surat tersebut. Yang aneh, Dr. Humaidilah berani memastikan bahwa teks surat yang disebutkan Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas adalah surat yang ditulis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pengganti Ashhamah setelah dia meninggal dunia. Padahal nama Ashhamah disebutkan secara jelas. Wallahu alam

Setelah Amr bin Umayyah Adh-Dhamri menyampaikan surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Raja Najasyi, maka dia langsung memungut surat itu dan meletakkannya di depan matanya. Dia turun dari kasumya ke atas lantai, lalu masuk Islam di hadapan Ja’far bin Abu Thalib. Najasyi menulis balasan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu pula. Inilah isi surat balasan itu:

“Bismillahhir-rahmanir-rahim.
Kepada Muhammad Rasul Allah, dari Najasyi Ashhamah. Kesejahteraan bagi engkau wahai Nabi Allah, dari Allah dan rahmat Allah serta barakah-Nya. Demi Allah yang tiada Illah selain Dia, amma ba ‘d.
Telah kuterima surat Tuan wahai Rasul Allah, yang di dalamnya tuan menyebut masalah Isa. Demi Rabb langit dan bumi, sesungguhnya Isa memang tidak lebih dari apa yang telah Tuan sebutkan itu, dan dia memang seperti yang Tuan katakan, dan kami juga sudah tahu isi surat yang Tuan kirimkan kepada kami. Kami telah menampung sepupumu dan rekan-rekannya. Maka aku bersaksi bahwa Tuan adalah Rasul Allah yang benar dan dibenarkan. Aku telah bersumpah setia kepada Tuan, bersumpah setia kepada sepupumu Tuan, dan aku telah memasrahkan diri (masuk Islam) di hadapannya kepada Allah, penguasa semesta.

Nabi meminta shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Najasyi agar mengirim Ja’far dan rekan-rekannya yang hijrah ke Habasyah. Maka dia mengirim mereka dengan menumpang dua perahu. Amr bin Umayyah Adh-Dhamri juga ikut dalam rombongan itu, hingga mereka bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang berada di Khaibar. Raja Naj asyi ini meninggal dania pada bulan Rajab tahun 7 H, setelah Perang Tabuk. Beliau bersedih atas kematiannya dan mengucapkan bela sungkawa dan melaksanakan shalat ghaib. Sepeninggalnya ada raja lain yang menggantikan kedudukannya dan beliau menulis surat lagi kepada penggantinya itu, tanpa bisa dilacak apakah penggantinya itu juga masuk Islam ataukah tidak.

2. Surat kepada Muqauqis, Raja Mesir

“Bismillahhir-rahmanir-rahim.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menulis surat kepada Juraij bin Mata, yang bergelar Muqauqis, raja Mesir dan Iskandaria. Inilah isi surat beliau:
Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya, kepada Muqanqis Raja Qibthi. Keselamatan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, amma ba ‘d. Aku menyeru tuan dengan seman Islam. Masuklah Islam, niscaya tuan akan selamat. Masuklah Islam niscaya Allah akan memberikan pahala kepada tuan dua kali lipat. Namun jika tuan berpaling, maka tuan akan menanggung dosa penduduk Qibthi.

“Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa karni adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). “(Ali Imran: 64)

Surat ini dibawa Hathib bin Abu Balta’ah. Setelah menghadap Muqanqis, Hathib berkata kepadanya, “Sebelumnya sebelum tuan ada seseorang yang mengaku bahwa dia adalah tuhan yang paling tinggi. Lalu Allah menimpakan hukuman kepadanya di dunia dan akhirat. Allah menyiksanya lalu menyiksanya lagi. Maka ambillah pelajaran darinya, dan jangan sampai ada orang lain yang mengambil pelajaran dari tuan.”
Muqanqis berkata, “Sesungguhnya kami mempunyai agama yang tidak akan kami tinggalkan kecuali jika ada agama lain yang lebih baik lagi.”

Hathib berkata, “Kami mengajakmu kepada Islam yang Allah telah mencukupkannya dari agama yang lain. Sesunggulmya Nabi ini menyeru kepada semua manusia, yang paling ditekan Quraisy, yang paling dimusuhi Yahudi, dan yang paling dekat dengan orang-orang Nashrani. Demi Allah, kabar yang dibawa Musa tentang Isa sama dengan kabar yang dibawa Isa tentang seman tuan yang memegang Taurat kepada Injil. Setiap nabi yang sudah mengenal suatu kaum, maka kaum itu adalah umatnya. Yang pasti, mereka harus menaatinya. Tuan termasuk orang yang sudah mengenal nabi ini. Kami tidak melarang kalian dari agama Al-Masih, tetapi kami memerintahkan kalian untuk tetap berpegang kepadanya.”

Muqauqis berkata, “Memang aku telah memperhatikan agama nabi ini, dan kutahu bahwa dia tidak memerintahkan untuk menghindari agama Al-Masih, tidak pula seperti tukang sihir yang sesat atau dukun yang suka berdusta. Kulihat dia membawa tanda kenabian, dengan mengeluarkan yang tersembunyi dan mengabarkan rahasia. Aku akan mempertimbangkannya.”
Lalu dia mengambil surat Nabi memberinya setempel lalu diserahkan kepada pembantunya. Kemudian dia memanggil seorang sekertaris dan mendiktekkan surat balasan untuk beliau, yang ditulis dalam bahasa Arab:

“Bismillahir rahmanir rahim.
Kepada Muhammad bin Abdullah, dari Muqauqis, pemimpin Qibthi. Kesejateraan bagi tuan, amma ba ‘d. Saya telah membaca surat tuan dan memahami isinya serta apa yang tuan serukan. Saya sudah tahu bahwa ada seorang nabi yang masih tersisa. Menurut perkiraan saya, dia akan mancul dari Syam. Saya hormati utusan tuan, dan kini ku kirimkan dua gadis yang mempunyai kedudukan terhormat di masyarakat Qibthi dan beberapa lembar kain. Saya hadiahkan pula seekor baghal agar dapat tuan pergunakan sebagai tunggangan. Salam sejahtera bagi tuan.”

Hanya inilah surat tersebut dan ia tidak menyatakan masuk Islam. Dua gadis yang dimaskud adalah Mariyah dan Sirin. Sedangkan baghal itu, yang bernama duldul tetap hidup hingga zaman Mu’awiyah. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengambil Mariyah sebagai istri beliau dan dari rahimnyalah lahir Ibrahim, putra beliau. Sedangkan Sirin diberikan kepada Hassan bin Tsabir Al-Anshari.

3. Surat kepada Kisra, Raja Persia

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menulis surat kepada Kisra, Raja Persia. “Bismillahilar-rahmanir-rahimn.
Dari Muhammad Rasul Allah kepada Kisra, pemimpin Persia. Kesejateraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bersaksi bahwa tiada Illah selain Allah semata, yang tiada sekutu baginya, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku menyeru tuan dengan seruan Islam. Sesangguhnya aku adalah utusan Allah kepada seluruh manusia untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup dan membenarkan perkataan atas orang-orang kafir. Masuklah Islam, niscaya tuan akan selamat. Namun jika tuan menolak, maka dosa orang-orang Majusi ada di pundak tuan.”
Kurir yang menyampaikan surat ini adalah Abdullah bin Hudzafah As¬Saluni. Lalu surat itu disampaikan kepada pemimpin Bahrain. Kita tidak tahu apakah pemimpin Bahrain itu mengutus anak buahnya untuk menyampaikan surat tersebut ataukah Abdullah sendiri yang menyampaikannya. Siapa pun yang menyampaikan surat tersebut, yang pasti setelah membacanya, Kisra langsung mencabik-cabik surat itu. Dengan congkak dia berkata, “Seorang budak yang hina dina dari rakyatku pernah menulis namanya sebelum aku berkuasa.” Setelah mendengar apa yang dilakukan Kisra, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Allah akan mencabik-cabik kerajaannya.”

Kisra benar-benar akan mengalami seperti apa yang disabdakan beliau ini. Setelah itu Kisra menulis surat kepada Badzan, gubemurnya di Yaman, yang isinya: “Utuslah dua orang yang gagah perkasa untuk menemui orang dari Hijaz ini, dan setelah itu hendaklah mereka membawanya untuk menemuiku.”
Maka Badzan menunjuk dua orang bawahannya, membawa surat yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan pulangnya disuruh langsung menemui Kisra. Setelah dua utusan itu tiba di Madinah dan menghadap beliau, salah seorang di antara dua orang itu berkata, “Sesunggulmya Syahinsyah (Raja Diraja) Kisra telah mengirim surat kepada Raja Badzan, agar dia mengirim utusan untuk menemui tuan, lalu membawa tuan ke hadapannya.” Kata-katanya bemada ancaman. Nabi menyuruh agar keduanya menemui beliau lagi esok harinya.

Pada saat yang sama di Persia terjadi pemberontakan besar-besaran terhadap Kisra, yang justru berasal dari keluarganya sendiri. Padahal sebelum itu mereka juga mengalami banyak kekalahan cukup telak dari pasukan Qaishar. Pemberontakan ini dimotori oleh putra Kisra sendiri, Syimyah. Dia bangkit melawan ayahnya dan membunuhnya lalu merebut kerajannya. Hal ini terjadi pada malam Selasa tanggal 10 Jumadal Ula 7 H.

Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengetahuinya lewat pemberitaan wahyu. Maka pada esok harinya beliau memberitahukan pemberontakan yang terjadi terhadap Kisra kepada dua utusan Badzan. Keduanya bertanya, “Apakah tuan betul-betul yakin dengan apa yang tuan katakan ini? Sebenarnya kami tidak seberapa membenci tuan. Maka apakah kami harus mencatat apa yang tuan katakan ini dan menyampaikannya kepada Raja (Badzan)?”

Beliau bersabda, “Benar, sampaikan hal ini kepadanya. Sampaikan pula pesanku kepadanya bahwa agama dan kekuasaanku akan merambah seperti yang dicapai Kisra, menguasai yang kaya dan yang miskin. Sampaikan pula kepadanya, “Apabila tuan mau masuk Islam, kuberikan apa yang menjadi milik tuan sebagai pemimpin bagi kaum tuan.”
Maka kedua utusan itu segera kembali dan menemui Badzan serta menyampaikan pesan beliau. Tak seberapa kemudian datang pula surat tentang terbunuhnya Kisra ditangan putranya sendiri, Syiruyah. Dalam surat itu Syiruyah menyebutkan, “Awasilah orang yang sudah dikirimi surat oleh ayahku itu dan janganlah engkau menyerangnya sebelum ada perintah dariku.”
Inilah yang mendorong Badzan untuk masuk Islam beserta rakyatnya di Yaman.'”

4. Surat kepada Qaishar, Raja Romawi

Al-bukhari meriwayatkan dari hadits yang panjang, yang didalamnya terdapat teks surat yang ditulis nabi shallallahu ‘alahi wa sallam kepada raja Romawi heraklius :
“Bismilahir-rahmanir-rahim.
Dari Muhammad bin Abdullah, kepada Heraklius pemimpin Romawi. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk. Masuklah Islam, niscaya tuan akan selamat. Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan pahala kepada tuan dua kali lipat. Namun jika tuan berpaling maka tuan akan menanggang dosa rakyat Arisiyin,

“Katakanlah, Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah’. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, Waksiatkanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Ali Imran: 64)

Kurir yang menyampaikan surat ini adalah Dihyah bin Khalifah Al Kalbi. Beliau memerintahkan agar surat itu disampaikan kepada pemimpin Bashrah terlebih dahulu, biar dia menyampaikannya kepada Qaishar. Al-bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Abu Sufyan bin Harb pemah memberitahunya tentang surat Heraklius yang dikirimkan kepadanya saat dia dan kafilah dagang Quraisy sedang berada di Syam. Abu Sufyan dan rombongannya mendatangi Heraklius yang saat itu berada di Baitul Maqdis. Heraklius mengundang Abu Sufyan untuk ikut ke pertemuannya yang juga dihadiri para pembesar Romawi. Setelah Heraklius memanggil penerjemahnya, dia bertanya, “Siapakah di antara kalian yang ikatan darahnya paling dekat dengan orang yang mengaku sebagai Nabi ini?”
“Akulah orang yang paling dekat hubungan daralmya dengan dia,” jawab Abu Sufyan.
“Mendekatlah kemari!” pinta Heraklius.

Rekan-rekannya menyuruh Abu Sufyan untuk maju. Maka dia pun maju dan berada paling depan. Kemudian Heraklius berkata kepada para penterjemaahnya, “Aku akan bertanya tentang orang tersebut (Rasulullah) kepada orang ini. Jika dia bohong, maka bohongi pula dia.”

Abu Sufyan berkata sendiri, “Demi Allah, kalau bukan karena rasa malu jika mereka lebih banyak membohongiku, tentu aku akan berkata bohong kepadanya.” Kemudian dia menuturkan, “Pertanyaan pertama yang diajukan kepadaku adalah, “Bagaimana nasabnya di tengah kalian?”
Aku menjawab, “Dia orang yang terpandang di antara kami.”
“Apakah pernah ada seorang sebelumnya yang berkata seperti yang dia katakan?”
“Tidak ada,” jawabku.
“Apakah di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja?”
“Tidak ada.”
“Apakah yang mengikutinya dari kalangan orang-orang yang terpandang atau orang yang lemah?”
“Orang-orang yang lemah di antara mereka.”
“Apakah jumlah mereka semakin hari semakin bertambah atau semakin berkurang?”
“Semakin bertambah.”
“Adakah di antara pengikutnya yang keluar dari agamanya karena benci agama itu setelah dia memasukinya?”
“Tidak ada.”
“Apakah kalian menuduhnya pembohong sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya?”
“Tidak.”
“Apakah dia pemah berkhianat?”
“Tidak pernah. Selama kami bergaul dengannya, kami tidak pernah melihat melakukan hal itu.”
“Tidak ada kata-kata lain yang memungkinkan bagiku untuk mengorek keterangan.” Tetapi kemudian Heraklius bertanya lagi, “Apakah kalian memeranginya?”
“Ya,” jawabku.
“Bagaimana cara kalian memeranginya?”
“Peperangan antara kami dan dia silih berganti. Kadang kami yang menang dan kadang dia yang menang.”
“Apa yang dia perintahkan kepada kalian?”
“Dia berkata, `Sembahlah Allah semata, janganlah menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, tinggalkan apa yang dikatakan bapak-bapak kalian. Dia juga menyuruh kami mendirikan shalat, bersedekah, menjaga kehormatan diri, dan menjalian hubungan persaudaraan.”

Lalu Heraklius berkata kepada para penterjemaahnya, “Katakan kepadanya (Abu Sufyan), `Aku sudah menanyakan kepadamu tentang nasabnya, lalu engkau katakan bahwa dia adalah orang yang terpandang di antara kalian.
Memang begitulah para rasul yang diutus di suatu nasab dari kaumnya. Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah pernah ada seseorang di antara kalian sebelumnya yang mengatakan seperti yang dia katakan? Lalu engkau mengatakan, tidak ada.”
Aku berkata sendiri, “Andaikata ada seseorang yang berkata seperti itu sebelumnya, tentu akan aku katakan memang ada seseorang yang mengikuti perkataan yang pernah disampaikan sebelumnya.”

Heraklius berkata lagi, “Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah di antara bapak-bapaknya ada yang menjadi raja? Engkau katakan tidak ada.”
Aku berkata sendiri,”Kalaupun di antara bapak-bapaknya adayang menjadi raja, tentu akan aku katakan, `Memang di sana ada orang yang mencari-cari kerajaan bapaknya.”
Heraklius berkata lagi, “Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah kalian menuduhnya pembohong sebelum dia mengatakan apa yang dia katakan? Engkau jawab tidak. Memang aku tahu tidak mungkin dia berdusta terhadap manusia dan Allah. Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah yang mengikutinya dari kalangan orang-orang yang terpandang ataukah orang-orang yang lemah? Engkau katakan, orang-orang yang lemahlah yang mengikutinya. Memang begitulah pengikut para rasul. Aku sudah menanyakan kepadamu, adakah seseorang yang murtad dari agamanya karena benci terhadap agamanya setelah dia memasukinya? Engkau katakan, tidak ada. Memang begitulah jika iman sudah meresap ke dalam hati. Aku sudah menanyakan kepadamu, apakah dia pernah berkhianat? Engkan katakan, tidak pernah. Memang begitulah para rasul yang tidak pemah berkhianat. Aku sudah menanyakan kepadamu, apa yang dia perintahkan? Engkau katakan, bahwa dia menyuruh kalian untuk menyembah kepada Allah, tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, melarang kalian menyembah berhala, menyuruh kalian mendirikan shalat, bersedekah, jujur, dan menjaga kehormatan diri. Jika yang engkau katakan itu benar, maka dia akan menguasai tempat kedua kakiku berpijak saat ini. Jauh jauh sebelumnya aku sudah menyadari bahwa orang seperti dia akan mancul, dan aku tidak menduga dia berasal dari tengah kalian. Andaikan aku bisa bebas bertemu dengannya, maka aku lebih memilih bertemu dengannya. Andaikan aku berada di hadapannya, tentu akan kubasuh kedua telapak kakinya.”

Setelah itu Heraklius meminta surat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan membacanya. Setelah selesai, terdengar suara gaduh dan riuh di sana sini. Heraklius memerintahltan agar kami dibawa keluar dari tempat pertemuan itu. Aku berkata kepada para bawahannya yang membawa kami keluar, “Kekuasaannya saat itu tidak beda jauh dengan kekuasaan Ibnu Abu Kabsyah, yang ketakutan terhadap kekuasaan Raja Bani Al-Ashfar.”

Sejak saat itu aku selalu merasa yakin akan kemenangan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam hingga akhirnya Allah menunjukiku untuk masuk Islam.
Begitulah pengaruh surat beliau terhadap diri Qaishar yang bisa ditangkap Abu Sufyan. Karena pengaruh itu pula akhimya Abu Sufyan memberikan sejumlah harta benda dan pakaian terhadap Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi, pembawa surat beliau. Di tengah perjalanan dia berpapasan dengan segolongan orang dari Judzam, yang kemudian merampoknya dan sama sekali tidak menyisakan harta yang dibawanya. Saat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam hendak masuk rumah, Dihyah tiba dan langsung mengabarkan kepada beliau apa yang menimpa dirinya. Beliau mengutas Zaid bin Haritsah bersama 500 orang untuk pergi ke Judzam di belakang Wadil Qura’. Zaid melancarkan serangan gencar ke Judzam dan bertempur hebat, hingga akhhinwa dia memperoleh kemenangan. Dia mendapatkan rampasan cukup banyak, berupa 1000 ekor onta, 5000 ekor domba, 100 tawanan wanita dan anak-anak.

Sebelumnya sudah ada perjanjian antara Judzam dengan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam Maka dari itu salah seorang pimpinan kabilah ini segera mendatangi beliau dan mengajukan beberapa alasan tentang peristiwa itu. Sebenarnya dia dan beberapa orang sudah berusaha membantu Dihyah saat dirampok, karena memang sebelum itu mereka sudah masuk Islam. Beliau menerima alasan ini dan mengembalikan seluruh harta rampasan dan tawanan.

Mayoritas penulis kisah peperangan menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum Perjanjian Hudaibiyah. Ini jelas salah. Sebab pengiriman surat kepada Qaishar teljadi sesudah Perjanjian Hudaibiyah. Maka Ibnul Qayyim berkata, “Tidak diragukan bahwa peristiwa ini terjadi sesudah Perjanjian Hudaibiyah.”

5. Surat kepada Al-Mundzir bin Sawa

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menulis surat kepada Al-Mundzir bin Sawa, pemimpin Bahrain, berisi seruan agar dia masuk Islam. Beliau mengutus Al-Ala’ bin Hadhrami untuk mengantarkannya. Setelah menerima dan membaca surat beliau, Al-Mundzir menulis balasannya sebagai berikut:

“Amma ba’d. Wahai Rasulullah, saya sudah membaca surat tuan yang tertuju kepada rakyat Bahrain. Di antara mereka ada yang menyukai Islam dan kagum kepadanya lalu memeluknya, dan diantara mereka ada pula yang tidak menyukainya. Sementara di negeriku ada orang-orang Majusi dan Yahudi. Maka tulislah lagi surat kepadaku yang bisa menjelaskan utusan tuan.”
Maka Rasulullah menulis surat lagi:
Bismillah-hirrahmanir-rahim.
Dari Muliammad Rasul Allah kepada Al-Mundzir bin Sawa. Kesejahteraan bagi dirimu. Aku memuji bagimu kepada Allah yang tiada Illah selain-Nya. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, amma ba’d. Aku mengingatkanmu terhadap Allah Allah azza wa jalla. Barang siapa yang memberi nasihat kepada dirinya sendiri, dan siapa yang menaati utusan-utusanku dan mengikuti mereka, berarti dia telah menaatiku. Barangsiapa memberi nasihat kepada mereka, berarti dia telah memberi nasihat karena aku. Sesungguhnya para utusanku telah menyampailtan pujian yang baik atas dirimu. Aku telah memberi syafaat kepadamu tentang kaummu. Biarkanlah orang-orang Muslim karena mereka telah masuk Islam, kuampuni orang-orang yang telah berbuat dosa dan terimalah mereka. Selagi engkau tetap berbuat baik, maka kami tidak akan menurunkanu dari kekuasaanmu. Siapa yang ingin melindungi orang-orang Majusi atau Yahudi, maka dia harus membayar jizyah.

6. Surat kepada Haudzan bin Ali Al-Hanafi, Pemimpin Yamamah

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menulis surat kepada Haudzah bin Ali, pemimpin Yamamah sebagai berikut:
Bismillah-hirahmanir-rahim.
Dari Muhammad Rasul Allah kepada Haudzah bin Ali. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk. Ketahuilah bahwa agamaku akan dipeluk orang yang kaya maupun orang yang miskin. Maka masuklah Islam, niscaya tuan akan selamat dan akan kuserahkan apa yang ada di tangan tuan saat ini.”
Kurir yang menyampaikan surat ini adalah Salith bin Al-Amiri. Saat Salith sudah tiba di hadapannya, Haudzah menyambut kedatangannnya dengan ramah tamah dan menyuruhnya masuk ke rumah. Kemudian Haudzah membaca surat beliau dan sesekali memberi komentar. Dia menulis balasan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam sebagai berikut:

“Sungguh bagus dan baik apa yang tuan serukan. Sementara itu banyak orang-orang Arab yang takut terhadap kekuasaanku. Jika tuan mau memberikan sebagian urusan kepadaku, tentu aku mau mengikuti tuan.”

Haudzah memberikan hadiah yang melimpah dan memberinya kain tenun yang bagus. Semua hadiah ini diserahkan kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan mengabarkan apa yang dialaminya. Beliau membaca surat balasan dari Haudzah, lalu bersabda, “Jika dia meminta sepetak tanah kepadaku, maka aku tidak akan memberinya. Cukup, cukup apa yang dimilikinya saat ini.”

Namun setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam kembali dari penaklukkan Makkah, Jibril mengabarkan kepada belian bahwa Haudzah sudah meninggal dunia. Untuk itu beliau bersabda, “Dari Yamamah ini, akan muncul seorang pendusta yang membual sebagai nabi. Dia akan menjadi pembunuh sepeninggalku.”
Ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang dibunuhnya?”
Belian menjawab, “Kamu dan rekan-rekanmu.” Dan memang begitulah yang terjadi.”‘

7. Surat kepada Al-Harits bin Abu Syamr Al-Ghassani, Pemimpin Damaskus

Inilah surat yang ditulis Nabi kepadanya:
“Bismillahir-rahmanir-rahm.
Dari Muhammad Rasul Allah, kepada Al-Harits bin Abu Syamr. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk, percaya dan membenarkannya. Aku menyeru tuan agar beriman kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, niscaya akan kekal kerajaan tuan.”
Beliau menunjuk Syuja’ bin Wahb dari Bani Asad bin Khuzainah untuk mengantarkan surat itu. Setelah membacanya, dia berkata, “Siapa yang mau merebut kerajaan ini dari tanganku, aku pasti akan menghadapinya.” Dan dia tidak mau masuk Islam.

8. Surat kepada Raja Uman

Nabi menulis surat kepada Raja Uman, Jaifaz dan Abd, keduanya adalah anak Al-Julunda. Inilah surat beliau:
“Bisminllahir-rahmanir-rahim.
Dari Muhammad bin Abdullah, kepada Jaifar dan Abd bin Al-Julunda. Kesejahteraan bagi siapa pun yang mengkuti petunjuk, amma ba’d. Sesungguhnya aku menyeru tuan berdua dengan seruan Islam. Masuklah niscaya tuan berdua akan selamat. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada semua manusia,untuk memberi peringatan kepada orang yang hidup dan membenarkan perkataan terhadap orang-orang kafir. Jika tuan berdua berkenan mengikrarkan Islam, maka aku akan mengukuhkan kerajaan tuan, namum jika tuan enggan mengikrarkan Islam, maka kerajaan tuan pasti akan berakhir dan kudaku pasti akan menginjakkan kaki di halaman tuan dan nubuwahku akan mengalahkan kerajaan tuan.”
Beliau menunjuk Amr bin Al-Ash untuk menyampaikan surat ini. Amr menuturkan, “Aku pun berangkat hingga tiba di Uman. Aku ingin menemui Abd bin Al-Julunda terlebih dahulu, karena dia lebih lemah lembut dan lebih kompromis. Aku berkata di hadapannya, “Aku adalah utusan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk menghadap tuan dan saudara tuan.”

“Temuilah saudaraku terlebih dahulu, karena dia lebih tua dan lebih berkuasa dari pada aku. Aku akan mencoba mengantarkan engkau hingga dia bisa membaca suratmu.”
Kemudian Abd mengajukan beberapa pertanyaan, “Apa yang hendak engkau serukan?”
Aku menjawab, “Aku menyeru kepada Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, hendaklah tuan melepaskan apa pun yang disembah selain-Nya, hendaklah tuan bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”

“Wahai Amr, engkau adalah putra pemimpin kaumu. Lalu apa saja yang diperbuat ayahmu? Padahal kami sangat salut kepadanya.”
“Dia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada Muhammad. Padahal aku ingin sekali dia masuk Islam dan membenarkannya. Dulu aku sejalan dan sepemikiran hingga Allah memberikan pettutjuk kepadaku untuk masuk Islam.”
“Sejak kapan engkau mengikutinya?” tanya Abd.
“Belum lama,” jawabku.
“Di mana engkau masuk Islam?”
“Di hadapan Najasyi,” jawabku. Lalu aku mengabarkan kepadanya bahwa Najasyi sudah masuk Islam.
“Lalu bagaimana reaksi kaumnya terhadap kerajaanya?” tanya Abd. “Mereka tetap mengakuinya dan mengikutinya,” jawabku.
“Bagaimana dengan para pendeta dan padri?” tanyanya.
“Begitu pan mereka,” jawabku.
“Hati-hatilah dengan perkataanmu wahai Amr. Sesungguhnya tak ada perangai seseorang yang lebih buruk dari pada dusta.”

“Aku tidak berdusta, dan kami tidak menghalalkan dusta dalam agama kami,” jawabku.
“Menurutku Heraklius tidak tahu keislamannya saat itu.”
“Begitulah.”
“Dari mana engkau bisa mengetahuinya?”
“Dulu Najasyi selalu menyerahkan pajak kepada Heraldius. Setelah masuk Islam dan membenarkan Muhammad, maka dia berkata, “Tidak, demi Allah, andaikan dia meminta satu dirham pun, alm tidak akan menyeralikannya kepada dia,” jawabku.

“Akhirya Heraklius mendengar pula keislamannya. Lalu dia ditanya saudaranya, `Apakah engkau membiarkan rayatmu menolak menyerahkan pajak kepadamu dan memeluk agama baru yang bukan agamamu?’ Heraklius menjawab, ‘Orang itu menyukai satu agama lalu memilih untuk dipeluknya. Apa yang bisa kuperbuat terhadap dirinya? Demi Allah, jika bukan karena beban kerajaanku ini, tentu aku akan melakukan seperti apa yang dilakukannya’.”
“Hati-hatilah dengan perkataanmu wahai Amr,” kata Abd memperingatkan
aku.
“Demi Allah aku berkata jujur kepada tuan,” jawabku.
“Tolong beritahukan kepadaku, apa yang diperintahkan Muhammad dan apa pula yang dilarangnya?”
“Beliau memerintahkan untuk selalu taat kepada Allah dan melarang mendurhakai-Nya, memeritahkan kepada kebajikan dan menyambung tali persaudaraan, dan melarang dari kezhaliman dan permusuhan. Beliau juga melarang zina, minum khamr, menyembah batu, patung dan salib.”

“Alangkah bagusnya apa yang diserukan itu. Andaikan saja sandaraku sependapat denganku tentang dirinya hingga kami beriman kepada Muhammad dan membenarkannya. Tetapi bagi saudaraku lebih baik mempertahankan kerajaannya dari pada meninggalkannya dan hal ini menjadi beban dosa baginya.”
“Sesungguhnya jika dia mau masuk Islam, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tetap akan mengakui kekuasaannya terhadap kaumnya. Beliau akan mengambil sedekah dari penduduk yang kaya lalu memberikannya kepada mereka yang miskin,” kataku.
“Itu suatu akhlak yang bagus. Tetapi apa yang dimaksudkan sedekah itu?” Lalu aku memberitahultan kepadanya tentang apa-apa yang diperitahkan Rasulullah mengenai zakat mal, termasuk pula zakat untuk unta.

“Wahai Amr, apakah sedekah itu diambilkan dari hewan-hewan temak kami yang digembalakan?” tanya Abd.
“Benar,” jawabku.
“Demi Allah, sekalipun kawaku tetap berada di rumahnya dan sekalipan hewan ternak banyak, aku tidak melihat mereka mau menaatinya.”
Beberapa hari aku menunggu di depan rumah Abd, yang saat itu masih berusaha menghubungi saudaranya dan mengabarkan apa yang aku katakan. Suatu kali Jaifar memanggilku. Saat aku menghadapnya, para pengawalnya mencekal lengan tanganku.
“Lepaskan dia!” katanya.
Maka aku pun dilepaskan. Aku bermaksud hendak duduk. Aku memandangi Jaifar. Lalu dia berkata, “Katakan apa keperluanmu!”
Aku menyerahkan surat Rasulullah vyang masih terbungkus dengan cincin stempelnya. Setelah menerima surat beliau, Jaifar merobek tutupnya dan membacanya hingga selesai, lalu menyerahkannya kepada saudaranya, Abd, yang juga membacanya hingga selesai.
“Maukah engkau memberitahukan kepadaku apa yang dilakukan Quraisy?” Tanya Jaifar kepadaku.
Aku menjawab, “Mereka sudah banyak yang mengikuti beliau, entah karena memang menyenangi agamanya entah karena kalah dalam peperangan.” “Siapa saja yang bersamanya (Rasulullah)?” Tanya Jaifar.
“Sudah cukup banyak orang yang menyenangi Islam dan memeluknya. Dengan akalnya dan berkat petunjuk Allah mereka sudah sadar bahwa mereka sebelumnya berada dalam kesesatan. Dalam kepasrahan ini aku tidak melihat seorang pun yang masih tersisa selain diri tuan. Jika saat ini tuan tidak mau masuk Islam dan mengikuti beliau, maka sepasukan berkuda akan datang ke sini dan merebut harta benda tuan. Maka masuklah Islam, niscaya tuan akan selamat dan beliau tetap akan mengangkat tuan sebagai pemimpin kaum tuan. Jangan sampai ada pasukan yang menyerang tuan.”

“Akan kupertimbangkan hari ini juga dan besok silahkan datang lagi ke sini!” kata Jaifar.
Aku kembali menemui Abd. Dia berkata, “Wahai Amr, aku benar benar berharap dia masuk Islam asalkan dia tidak merasa sayang terhadap kerajaannya.”
Besoknya aku hendak menemui Jaifar. Namun dia tidak mengizinkanku. Aku pun kembali menemui Abd dan kuberitahukan kepadanya bahwa aku belum berhasil menemui saudaranya. Setelah aku berhasil menemui Jaifar berkat bantuan Abd, Jaifar berkata, “Aku sedang memikirkan apa yang engkau serukan kepadaku. Aku akan menjadi orang Arab yang paling lemah jika aku menyerahkan kerajaanku ini kepada seseorang, dengan begitu pasukan Muhammad tidak akan menyerang ke sini. Jika pasukannya menyerang ke sini, tentu akan menjadi peperangan yang dahsyat.”

Karena belum juga memberi keputusan, maka aku berkata, “Besok aku akan pulang.”
Setelah Jaifar yakin bahwa besok aku akan pulang, dia berkata kepada saudaranya, “Tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali menerima tawarannya. Sebab siapa pun ymg dikirimi surat oleh Muhammad tentu memenuhi semuanya. Kalau begitu besok suruh dia menghadap lagi ke sini.”
Akhimya Jaifar dan Abd bin Al Julunda masuk Islam dan beriman kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam Bahkan keduanya siap menyerahkan sedekah dan kerajaan tetap berada di tangan mereka berdua. Mereka sangat membantuku dalam menghadapi orang-orang yang hendak menentang.”‘

Alur kisah ini menanjukkan bahwa pengiriman surat ini kepada Jaifar dilakukan pada waktu-waktu belakangan dari pada surat-surat lain yang dikirimkan kepada para raja. Menurut pendapat mayoritas, surat ini dikirimkan setelah Perjanjian Hudaibiyah.
Dengan surat-surat itu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah menyampaikan dakwah kepada sekian banyak raja di muka bumi. Di antara mereka ada yang beriman dan sebagian yang lain ada yang ingkar. Tetapi setidak tidaknya surat tersebut telah berhasil memasygulkan pikiran orang-orang kafir dan membuat mereka mengenal nama beliau dan Islam

Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M