Perang Khaibar dan Perang Wadil Qura
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Latar Belakang Peperangan
- Berangkat ke Khaibar
- Jumlah Pasukan Islam
- Orang-orang Munafik Mengadakan Kontak dengan Yahudi
- Jalan Menuju Khaibar
- Beberapa Peristiwa yang Terjadi di tengah Perjalanan
- Pasukan Islam tiba di Pagar Khaibar
- Persiapan untuk Bertempur dan Kondisi Benteng-benteng Khaibar
- Permulaan Pertempuran dan Penaklukkan Benteng Na’im
- Penaklukkan Benteng Ash-Sha’b bin Mu’adz
- Penaklukkan Benteng Az-Zubair
- Penaklukkan Benteng Ubay
- Penaklukkan Benteng An-Nizar
- Penaklukkan Paroh Kedua dari Khaibar
- Perundingan
- Terbunuhnya Dua Anak Abil Huqaiq Karena Melanggar Perjanjian
- Pembagian Harta Rampasan
- Kedatangan Ja’far bin Abu Thalib dan Orang-orang Asy’ariyin
- Pernikahan dengan Shafiyah
- Masalah Daging Domba yang Disusupi Racun
- Korban di Kedua Belah Pihak
- Fadak
- Perang Wadil Qura
- Taima’
- Kembali ke Madinah
- Satuan Perang Aban bin Sa’id
Dulu Khaibar adalah sebuah kota besar yang memiliki benteng dan kebun-kebun sejauh enam puluh hingga delapan puluh mil dari Madinah, tepatnya ke arah utara. Kini Khaibar merupakan perkampungan yang cukup berbahaya.
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa aman dari serangan salah satu dari tiga sayap pasukan musuh dan mendapatkan jaminan keamanan yang utuh setelah dikukuhkannya gencatan senjata, maka pandangan beliau terarah kedua sayap lainnya, yaitu Yahudi dan beberapa kabilah Najd, agar stabilitas keamanan dan kesejahteraan benar-benar menjadi lengkap, sehingga ketentraman tercipta di seluruh wilayah, lalu orang-orang Muslim dapat berkonsentrasi untuk menyebarkan risalah Allah.
Karena Khaibar merupakan kandang konspirasi dan pengkhianatan, pangkalan militer, sumber permusuhan dan pemicu peperangan, maka tidak mengherankan jika Khaibar menjadi sasaran pertama yang dilirik orang-orang Muslim.
Sekalipun memang demikian keadaan Khaibar, kita tidak boleh lupa bahwa penduduk Khaibar adalah orang-orang yang menghimpun pasukan untuk memerangi kaum Muslimin dan mendorong Bani Quraizhah untuk melanggar perjanjian dan berkhianat, menjalin kontak dengan orang-orang munafik yang merupakan duri dalam masyarakat Islam, berhubungan dengan penduduk Ghathafan dan orang-orang Arab Badui, yang merupakan sayap ketiga dari pasukan musuh. Di samping itu, mereka sendiri juga mempersiapkan diri untuk berperang. Sepak terjang mereka ini membuat orang-orang Muslim selalu merasa terancam bahaya. Bahkan mereka pernah menyusun rencana untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa shallam.
Dihadapkan pada kenyataan ini, terpaksa orang-orang Muslim mengirim satuan pasukan hingga beberapa kali dan menghabisi para tokoh pengkhianat, seperti Sallam bin Abul Hugaiq dan Usair bin Razzam. Sekalipun keharusan orang-orang Muslim untuk menuntaskan masalah orang-orang Yahudi lebih besar, tetapi mereka menundanya. Sebab ada kekuatanyang lebih besar dari pada orang-orang Yahudi itu, yaitu Quraisy yang secara terang-terangan menyerang kaum Muslimin. Setelah serangan ini padam, maka perhatian bisa dipusatkan kepada para penjahat itu dan sudah tiba saatnya untuk membuat perhitungan dengan mereka.
Sepulang dari Hudaibiyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Madinah pada bulan Dzul Hijjah dan sebagian Muharram. Pada sisa bulan Muharram itu beliau berangkat ke Khaibar.
Menurut para mufasir, Khaibar merupakan janji yang pemah disampaikan Allah dalam firman-Nya,
“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu.” (Al¬Fath: 20)
Maksud janji ini adalah Perjanjian Hudaibiyah. Adapun harta rampasan itu adalah Khaibar.
Karena orang munafik dan mereka yang hatinya lemah tidak mau bergabung dalam peristiwa Hudaibiyah, maka Allah menurunkan perintah kepada NabiNya tentang mereka,
“Orang-orang yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan, Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu ‘; mereka hendak merobah janji Allah. Katakanlah, Kamu sekali-kali tidak (boleh ) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya; Mereka akan mengatakan, Sebenarnya kamu dengki kepada karni Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali ” (Al-Fath: 15)
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak keluar ke Khaibar, beliau mengumumkan bahwa yang boleh bergabung hanya orang-orang yang suka berjihad. Sehingga yang bergabung bersama beliau hanya orang-orang yang pemberani, sebanyak seribu empat ratus orang pasukan dan 20 pasukan berkendaraan. Perang ini terjadi bulan Muharram 7 H (www.kisahmuslim.com)
Yang diangkat sebagai wakil beliau di Madinah adalah Siba’ bin Urfiahah Al-Ghifari. Tetapi menurut Ibnu Ishaq adalah Nwnailah bin AbdullahAl-Laitsy. Namun pendapat pertama lebih benar menurut para peneliti.
Pada saat itulah Abu Hurairah datang ke Madinah untuk masuk Islam Dia bertemu Siba’ bin Urfuthah yang sedang shalat subuh. Seusai shalat, Siba’ memberinya bekal perjalanan, lalu Abu Hurairah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memberitahukan keislamannya kepada para sahabat dan menyuruhnya bergabung bersama mereka.
4. Orang-orang Munafik Mengadakan Kontak dengan Yahudi
Orang-orang munafik telah banyak berbuat untuk kepentinrgan orang-orang Yahudi. Pemimpin munafikin, Abdullah bin Ubay, mengirim utusan kepada Yahudi Khaibar untuk menyampaikan pesan,”Muhammad hendak mendatangi kalian, maka bersiap siagalah dan kalian tidak perlu takut terhadapnya, karena jumlah dan kekuatan kalian lebih banyak. Kaum Muhammad hanya sedikit dan hanya membawa persenjataan yang minim.”
Ketika penduduk Khaibar mengetahui kabar ini, mereka mengutus Kinanah bin Abul Huqaiq dan Haudzah bin Qais ke Ghathafan untuk meminta bantuan kepada mereka, sebab Ghathafan merupakan sekutu Yahudi dan sepakat untuk memusuhi orang-orang Muslim. Jika dapat mengalahkan orang-orang Ghathafan meminta syarat untuk diberi separoh hasil korma Khaibar.
Dalam perjalannya ke Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil jalan lewat Gunung Ashr (ada yang membaca Ishr). Setelah melewati Ash-Shahba’ , beliau bermalam di suatu lembah yang disebut Ar-Raji’. Dari tempat ini ke Ghathafan ditempuh dengan perjalanan sehari semalam. Orang-orang Ghathafan sudah mengadakan persiapan secara matang dan berangkat ke Khaibar untuk mengulurkan bantuan kepada orang-orang Yahudi. Tak seberapa jauh berjalan, mereka mendengar suara gaduh dan hiruk pikuk dari arah belakang. Mereka mengira orang-orang Muslim menyerbu keluarga dan harta benda yang mereka tinggalkan di Ghathafan. Karena itu mereka kembali lagi dan membatalkan niat untuk membantu orang-orang Yahudi, karena khawatir suatu saat orang-orang Muslim justru menyerang keluarga dan harta benda yang mereka tinggalkan.
Mereka tidak ingin ikut campur lagi urusan antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang Yahudi Khaibar.
Kemudian beliau menunjuk dua orang penunjuk jalan yang ikut serta dalam rombongan pasukan. Salah seorang di antara keduanya bernama Husail. Mereka berdua menunjukkan jalan yang lebih pas untuk memasuki Khaibar dari arah utara, tepatnya dari jalur Syam. Dengan begitu pasukan Muslimin bisa menghadang kemungkinan orang-orang Yahudi akan melarikan diri ke arah Syam atau ke Ghathafan.
“Aku akan menunjukkan jalan kepada engkau wahai Rasulullah,” kata penunjuk jalan itu. Beliau menyetujui rencana jalan yang akan dilalui hingga mereka tiba di suatu persimpangan yang memiliki beberapa jurusan.
Salah seorang penunjuk jalan berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah beberapa jalan yang semuanya bisa ditempuh untuk mencapai tujuan.”
Beliau meminta untuk menyebutkan masing-masing nama jalan itu. Penunjuk jalan itu berkata, “Nama jalan ini adalah Hum (kesedihan).” Beliau tidak mau melalui jalan tersebut.
“Yang itu namanya jalan Syasy (Itacau),” kata penunjuk jalan itu. Beliau juga menolak melalui jalan itu.
“Yang itu namanya Hathib (sial),” kata penunjuk jalan. Beliau menolaknya
lagi.
“Berarti tinggal satu jalan,” kata Husail.
“Apa namanya?” Tanya Umar bin Al-Khaththab.
“Marhab (selamat datang),” jawab Husail. Akhimya beliau menetapkan untuk melewati jalan
6. Beberapa Peristiwa yang Terjadi di tengah Perjalanan
1. Dari Salamah bin Al-Akwa’, dia menuturkan, “Kami keluar bersama Nabi ke Khaibar. Kami mengadalkan perjalanan pada malam hari. Ada seseorang berkata kepada Amir, `Wahai Amir, apakah engkau tidak mau memperdengarkan suaramu?’
Amir adalah seorang penyair. Karena itu dia turun lalu bergerombol dengan orang-orang, dan melantunkan syair,
“Kalau bukan karena Engkau ya Allah
kami adak akan mendapatkan hidayah
tidak pula shalat dan bersedekah
ampunilah dosa kami sebagai tebusan
selagi kami tegar dalam ketakwaan
teguhkanlah pendirian kami dalam peperangan
berikanlah kepada kami ketentraman hati
kami tidak ingin hidup jika musuh mengalahkan kami.”
“Siapakah yang melantunkan syair itu?” Tanya beliau.
Orang-orang menjawab, “Amir bin Al-Akwa’.”
Beliau bersabda, “Allah meramahtinya.”
Mereka berkata, “Memang sudah selayaknya dia mendapatkan surga wahai Nabi Allah, andaikan kami tidak bisa memberinya kesenangan.” Orang-orang sudah hafal, bahwa apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan ampunan bagi seseorang secara khusus, pasti orang itu akan mati syahid. Dan, memang begitulah yang terjadi pada Perang Khaibar ini.
2. Di tengah perjalanan orang-orang menemukan suatu lembah. Orang-orang bertakbir dengan suara keras, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, la ilaaha illallah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tenangkanlah diri kalian, karena kalian tidak berdoa kepada yang tuli dan yang jauh, tetapi kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar lagi dekat.”
3. Di Ash-Shahba yang jaraknya tidak seberapa jauh dengan Khaibar, beliau shalat ashar. Kemudian beliau meminta bekal makanan. Karena hanya sedikit, beliau disodori tepung gandum yang tak seberapa banyak jumlahnya. Setelah diolah, tepung itu menjadi banyak. Beliau memakannya dan begitu pula semua orang. Kemudian beliau hendak melaksanakan shalat maghrib. Beliau cukup berkumur, dan orang-orang juga berkumur. Kemudian beliau melaksanakan shalat maghrib tanpa wudhu lagi, kemudian shalat isya’ tanpa wudhu’ lagi, karena memang belum batal.
7. Pasukan Islam tiba di Pagar Khaibar
Pada malam hari sebelum esok hari terjadinya peperangan, orang-orang Muslim berada di suatu tempat tak jauh dari Khaibar. Orang-orang Yahudi belum menyadari kedatangan mereka. Seperti biasanya, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menyerbu suatu kaum pada malam hari, beliau tidak mendekati mereka kecuali setelah pagi harinya. Setelah waktu subuh tiba, beliau segera mendirikan shalat subuh. Penduduk Khaibar keluar dari rumah mereka sambil membawa sekop dan keranjang seperti biasanya, menuju kebun. Saat melihat pasukan Muslimin, mereka berteriak,”Itu Muhammad. Demi Allah, Muhammad dan pasukannya.” Kemudian mereka kembali lagi ke kota mereka dengan berlarian.
Nabi berseru, “Allah Akbar, runtuhlah Khaibar! Allahhu Akbar, runtuhlah Khaibar! Jika kita tiba di pelataran suatu kaum, maka amat buruklah bagi orang-orang yang mendapatkan peringatan.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih suatu tempat untuk dijadikan markas pasukan Muslimin. Al-Hubab bin Al-Mundzir menemui beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tempat yang engkau pilih ini merupakan ketetapan yang diturunkan Allah, ataukah ini hanya sekedar pendapat dalam siasat perang?”
“Ini adalah pendapatku” jawab beliau.
“Wahai Rasulullah, tempat ini terlalu dekat dengan benteng nathat dan para prajurit Khaibar yang dipusatkan di benteng itu, dengan begitu mereka bisa mengetahui keadaan kita, sementara kita tidak bisa mengetahui keadaan mereka. Anak panah mereka juga bisa ke tempat kita ini sementara anak panah kita tidak bisa mencapai ke tempat mereka. Kita tidak bisa aman dari sergapan mereka sewaktu-waktu. Di sini banyak terdapat pohon-pohon korma, tempatnya rendah dan tanahnya kurang baik. Andaikan saja engkau berkenan memerintahkan pindah ke suatu tempat yang tidak seperti ini, lalu kita ambil sebagai markas.”
“Engkau telah memberikan pendapat yang jitu,” sabda beliau, lalu memerintahkan untuk pindah ke tempat lain.
Setelah tiba di suatu tempat yang tak jauh dari Khaibar, beliau berseru “Berhenti!”
Setelah pasukan berhenti beliau berdoa,
“Ya Allah, Rabb langit dan bumi serta apa-apa yang dipayunginya. Rabb bumi yang tujuh dan apa-apa yang dikandungnya, Rabb setan-setan dan apa-apa yang disesatkannya, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan dusun ini, kebaikan penduduknya, kebaikan apa pun yang ada di dalamnya. Kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan dusun ini, kejahatan penduduknya dan kejahatan apa pun yang ada di dalamnya. Majulah dengan nama Allah.”
8. Persiapan untuk Bertempur dan Kondisi Benteng-benteng Khaibar
Pada malam menjelang penyerbuan benteng, beliau bersabda, “Besok aku benar-benar akan menyerahkan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, juga dicintai Allah dan Rasul-Nya.”
Esok harinya orang-orang mengeremuni beliau dan berharap masing masing agar diserahi bendera. Beliau bertanya, “Mana Ali bin Abu Thalib?” “Wahai Rasulullah, kedua matanya sakit,” jawab mereka.
“Suruh dia kemari!”
Maka Ali bin Abu Thalib dibawa menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamlalu beliau meludahi matanya, berdoa dan seketika itu juga sembuh, seakan-akan dia sama sekali tidak pernah merasakan sakit mata. Setelah itu beliau menyerahkan bendera kepadanya.
Ali berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan memerangi mereka hingga mereka sama seperti kita.”
“Jangan terburu-buru. Turunlah di pelataran mereka, kemudian suruhlah mereka untuk masuk Islam. Beritahukan kepada mereka apa-apa yang harus dilakukan dari hak Allah. Demi Allah, lebih baik Allah memberikan petunjuk kepada seseorang lewat dirimu dari pada engkau memiliki keledai yang paling elok.’
Khaibar bisa dibagi menjadi dua paroh. Satu paroh memiliki lima benteng, yaitu:
1. Benteng Na’im
2. Benteng Ash-Shab bin Muadz
3. Benteng Qal’ah Az-Zubair
4. Benteng Ubay
5. Benteng An-Nizar
Tiga benteng yang pertama terletak di wilayah Nathat, sedanglcan dua benteng yang terakhir berada di wilayah Asy-Syiq.
Sedangkan paroh kedua yang juga disebut Al-Katibah, memiliki tiga benteng, yaitu:
1. Benteng Al-Qamush, benteng milik Bani Abul Hucjaiq dari Bani Nadhir
2. Benteng Al-Wathih
3. Benteng As-Salalim
Sebenarnya di Khaibar masih ada beberapa benteng selain delapan benteng ini, namun benteng-benteng itu relatif lebih kecil, tidak sebesar dan sekuat benteng-benteng tersebut. Pertempuran yang seru meletus di sekitar benteng benteng paroh yang pertama. Sekalipun benteng-benteng di paroh kedua lebih besar dan lebih banyak jumlah prajuritnya, tetapi mereka justru menyerah begitu saja, tanpa ada pertempuran.
9. Permulaan Pertempuran dan Penaklukkan Benteng Na’im
Benteng pertama yang diserbu orang-orang Muslim dari delapan benteng ini adalah benteng Na’im dan sekaligus merupakan garis pertahanan yang pertama bagi orang-orang Yahudi, karena tempatnya yang lebih strategis. Benteng ini ditempati para tokoh dan pahlawan Yahudi, yang jumlahnya ada sekitar 1000 orang.
Ali bin Abu Thalib bersama orang-orang Muslim menghampiri benteng ini dan menyeru orang-orang Yahudi agar mau masuk Islam Mereka menolak seruan ini. Bersama rajanya yang bernama Marhab, mereka keluar untuk menghadapi orang-orang Muslim. Setelah kedua belah pihak berada di kancah pertempuran, Marhab menantang untuk adu tanding. Salamah bin Al-Akwa’ berkata, “Setelah kami tiba di Khaibar, raja mereka, Marhab, keluar dengan menghunus pedangnya sambil melantunkan syair,
“Khaibar sudah mengenal, akulah Marhab
memanggul senjata tajam pahlawan berpengalaman.”
Pamanku, Amir maju ke hadapan Marhab sambil membalas syairnya,
“Khaibar sudah mengenal, akulah Amir
memanggul senjata tajam pahlawan berpetualang.”
Keduanya terlibat dalam pergamulan yang seru dan saling menyerang. Pedang Marhab mengenai perisai Amir dan membuatnya terpental. Amir berkelit dengan menunduk. Dia berusaha memegang lengan Marhab agar dapat menyabetkan pedangnya yang lebih pendek. Tetapi mata pedang Marhab membalik ke arahnya sekali lagi dan mengenai lututnya hingga dia meninggal dunia
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang diri Amir, “Sesungguhnya dia mendapat dua pahala.” Lalu beliau menjajarkan dua jari tangan, dan bersabda lagi, “Dia telah berusaha dan telah berjuang. Tidak banyak orang Arab yang berjalan seperti dia.”
Marhab tampil lagi untuk menantang adu tanding sekali lagi, sambil melanturkan syair yang dia lantunkan sebelumnya. Ali bin Abu Thalib maju ke depan untuk menghadapinya sambil membalas syair yang dilantunkan Marhab.
“Akulah yang dijuluki ibuku sebagar perusak
laksana serigala hutan yang dipandang pun tak sedap.”
Ali bin Abu Thalib dapat membabat kepala Marhab hingga meninggal, dan akhirnya benteng ini dapat direbutnya.
Saat Ali semakin mendekati benteng mereka, tiba-tiba muncul seorang Yahudi dari atas benteng seraya berkata, “Siapa kamu?”
“Akulah Ali bin Abu Thalib.”
“Demi yang diturunkan kepada Musa, niscaya kalian lebih unggul,” kata orang Yahudi itu. Kemudian tampil Yasir, saudara Marhab, seraya berkata, “Siapakah yang berani tanding denganku?”
Az-Zubair tampil ke depan untuk menghadapinya. Shafiyah, ibu Az-Zubair berkata, “Wahai Rasulullah, orang itu akan membunuh anakku.”
“Anak mulah yang justru akan membunuhnya,” sabda beliau, dan memang begitulah kenyataannya.
Terjadi pertempuran yang seru di sekitar benteng Na’im. Di sini banyak pahlawan Yahudi yang terbunuh. Karena itu pertahanan mereka pun semakin mengendor dan tak sanggup lagi menghadang serangan orang-orang Muslim. Dari beberapa buku rujukan dapat disimpulkan bahwa pertempuran ini berjalan hingga beberapa hari. Orang-orang Muslim harus menghadapi perlawanan dan pertahanan yang cukup kuat. Hanya saja lama kelamaan orang-orang Yahudi merasa putus asa mengahadapi orang-orang Muslim. Karena benteng ini dapat direbut, orang-orang Yahudi menyelinap ke benteng lain, yaitu Ash-Sha’b.
10. Penaklukkan Benteng Ash-Sha’b bin Mu’adz
Benteng Ash-Sha’b merupakan benteng kedua yang terkokoh setelah benteng Na’im. Orang-orang Muslim melancarkan serangan di bawah komando Al-Hubab bin Al-Mundzir Al-Anshari. Mereka mengepung benteng ini selama tiga hari. Pada hari ketiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan doa khusus untuk dapat menundukkan benteng ini.
Abu Ishaq meriwayatkan bahwa bani Sahm dari Bani Aslam mendatangi beliau dan berkata, “Kita telah berjuang dan tidak ada lagi sesuatu yang tersisa di tangan kita.”
Beliau memanjatkan doa,
“Ya Allah, Engkau sudah tahu keadaan mereka (orang-orang Muslim). Mereka tidak lagi mempunyai kekuatan dan di tanganku tak ada lagi sesuatu pun yang bisa kuberikan kepada mereka. Maka berikanlah kemenangan kepada mereka dengan menaklukkan benteng yang paling mereka perlukan, paling banyak makanan dan paling gemuk ternak ternaknya. “
Orang-orang muslim bangkit melakukan penyerbuan dan Allah menundukkan benteng Ash-Sha’b bin Muadz. Sementara di Khaibar tidak ada benteng yang lebih banyak makanannya dan lebih gemuk ternak-ternaknya selain dari benteng ini.
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan doa dan memerintahkan untuk menyerbu benteng, maka Bani Aslamlah yang berada di barisan terdepan. Terjadi pertempuran yang sengit di depan benteng. Sebelum matahari tenggelam benteng sudah bisa direbut dan ditaklukkan. Di dalam benteng ini orang-orang Muslim mendapatkan beberapa manjaniq dan dabbabah (alat perang untuk melontarkan peluru)
Karena mereka benar-benar kelaparan seperti yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Ishaq, maka beberapa prajurit Muslimin ada yang langsung menyembelih himar dan menjerang belanga di atas api. Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui hal ini, beliau melarang memakan daging himar yang sudah membusuk.
11. Penaklukkan Benteng Az-Zubair
Setelah benteng An-Na’im dan Ash-Sha’b dapat ditaklukan, orang-orang Yahudi yang berada di setiap benteng di wilayah Nathat, berpindah ke benteng Az-Zubair, sebuah benteng yang kokoh, terletak di sebuah pancak bukit, yang tidak bisa dij angkau kuda atau pejalan kaki, karena perjalanan ke sana cukup terjal dan sulit, di samping benteng itu sendiri yang sangat kokoh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengepung benteng ini. Pengepungan berjalan selama tiga hari.
Ada seorang Yahudi menemui beliau seraya berkata, “Wahai Abdul Qasim, sekalipun engkau berada di sini selama sebulan, mereka tak akan ambil pusing, sebab mereka mempunyai mata air dan cadangan mimunan di bawah tanah. Mereka bisa pergi ke sana pada malam hari dan mengambil minum dari sana, lalu kembali lagi ke benteng antuk bertahan disana. Jika engkau hendak memotong jalan mereka ke mata air, tentu mereka akan keluar untuk berhadapan denganmu.”
Maka beliau memutuskan untuk menghadang jalan ke mata air ini. Karena itu, orang-orang Yahudi keluar bertempur hebat untuk mempertahankan mata air itu. Dalam pertempuran ini ada seorang Muslim yang menjadi korban, sedangkan dari pihak Yahudi ada sepuluh orang. Tak lama kemudian beliau dapat menaklukkan benteng ini.
Setelah benteng Az-Zubair dapat direbut dan ditaklukkan, orang-orang Yahudi berpindah ke benteng Ubay dan bertahan di sana. Beliau memeritahkan orang-orang Muslim untuk mengepungnya. Satu per satu para pahlawan Yahudi menantang adu tanding, yang semuanya dapat dibinasakan orang-orang Muslim yang meladeninya. Yang dapat membinasakan pahlawan Yahudi giliran kedua adalah seorang pahlawan Muslim yang terkenal, yaitu Abu Dujanah Simak bin Kharasyah, pemilik ikat kepala berwarna merah. Setelah dapat membunuh tokoh Yahudi yang menjadi lawannya dalam perang tanding, dia segera menyelinap ke benteng di atas bukit bersama beberapa prajurit Muslim. Terjadi pertempuran yang seru di dalam benteng untuk beberapa saat, yang membuat orang-orang Yahudi keluar dari benteng dan berpindah ke benteng An-Nizar, benteng terakhhir dari paroh pertama.
13. Penaklukkan Benteng An-Nizar
Benteng ini merupakan benteng yang paling kokoh dalam paroh pertama. Orang -orang Yahudi sudah merasa yakin bahwa orang-orang Muslim tidak akan sanggup menyelinap ke dalam benteng ini, sekalipun mereka mengerahkan segala kemampuannya. Oleh karena itu para wanita dan anak anak ditempatkan di dalam benteng ini, setelah benteng-benteng yang lain tidak dapat dipertahankan.
Orang-orang Muslim memutuskan untuk mengepung benteng ini secara ketat. Mereka melakukan tekanan sedemikian rupa secara keras, mengingat benteng ini terletak di atas sebuah bukit yang cukup tinggi. Praktis tidak ada jalan yang bisa ditempuh untuk menyelinap ke dalam benteng. Sementara itu, orang-orang Yahudi tentu tidak akan berani keluar dari benteng untuk berhadapan langsung dengan kekuatan orang-orang Muslim.
Sekalipun begitu, orang-orang Yahudi tetap melancarkan serangan ke arah orang-orang Muslim dengan melepaskan anak-anak panah dan melontarkan peluru batu.
Karena dirasa benteng An-Nizar ini terlalu kuat bagi kekuatan orang orang Muslim, maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan untuk memasang manjaniq. Pasukan Muslimin mulai melancarkan peluru-pelum batu sehingga bisa merusak sebagian dinding benteng. Dari dinding yang sudah jebol inilah orang-orang Muslim masuk ke dalam benteng. Karena itu, terjadi pertempuran yang seru di dalam benteng. Orang-orang Yahudi mengalami kekalahan secara telak, karena mereka sudah tidak memiliki jalan untuk menyelinap dari benteng ini seperti yang mereka lakukan ketika masih bertahan di benteng-benteng lain sebelumnya. Karena itu sebisa mungkin mereka melarikan diri bagi yang bisa melarikan diri, dan meninggalkan para wanita dan anak-anak menjadi tawanan orang-orang Muslim.
Dengan ditaklukkanya benteng yang kokoh ini, maka tuntaslah sudah penaklukkan seluruh benteng Khaibar dalam paroh pertama yang yang berada di wilayah Nathat dan Asy-Syiq. Sebenarnya masih ada benteng-benteng lain yang lebih kecil. Tetapi dengan takluknya benteng An-Nizar ini, benteng benteng lain yang kecil langsung ditinggalkan begitu saja. Setelah itu mereka melarikan diri ke benteng paroh kedua di Khaibar.
14. Penaklukkan Paroh Kedua dari Khaibar
Setelah wilayah Nathat dan Asy-Syiq dapat ditaklukkan, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengalihkan sasaran ke benteng Al-Wathih, As-Salalim, dan Abul Huqaiq dari Bani Nadhir. Orang-orang Yahudi dari wilayah Nathat dan Asy-Syiq yang sudah kalah, bergabung ke benteng ini dan bertahan di sana.
Para penulis sejarah perang saling berbeda pendapat, apakah di tiga benteng ini terjadi pertempuran atau tidak. Dalam penuturan Ibnu Ishaq disebutkan secara jelas tentang terjadinya pertempuran untuk menaklukkan benteng Al Qamush. Bahkan dari penuturan ini dapat disimpulkan bahwa benteng ini dapat ditaklukkan hanya dengan pertempuran, tanpa ada proses serah terima.
Sedangkan Al-Wagidi, menjelaskan bahwa pengambil alihan tiga benteng ini melalui serah terima. Tetapi dapat juga serah terima dilakukan setelah ada pertempuran untuk menaklukkan benteng Al-Qamush. Untuk pengambil alihan dua benteng lain memang dilakukan dengan proses serah terima, tanpa ada pertempuran.
Apa pun dan bagaimanapun yang terjadi, yang pasti Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menetapkan untuk melakukan pengepungan secara ketat sesampainya di wilayah Al-Katibah. Pengepungan ini berjalan selama 14 hari. Selama itu orang-orang Yahudi sama sekali tidak keluar dari benteng. Setelah beliau menyiapkan manjaniq dan orang-orang Yahudi yakin akan kekalahannya, mereka pun menawarkan jalan damai kepada beliau.
Ibnu Abul Hugaiq mengirim utusan untuk menyampaikan pesannya, “Aku akan turun untuk berunding denganmu.”
Beliau menjawab, “Bisa.”
Maka Ibnu Abil Huqaiq turun dari benteng dan menawarkan suatu perundingan, agar orang-orang Yahudi yang ada di dalam benteng tidak dibunuh, anak-anak tidak ditawan, mereka siap meninggalkan Khaibar dengan segenap keluarga, menyerahkan semua harta kekayaan Khaibar, tanah, emas, perak, kuda, dan himar, baju perang, kecuali pakaian-pakaian yang dikenakan.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Aku juga membebaskan kalian dari perlindungan Allah dan Rasul-Nya apabila kalian menyembunyikan sesuatu pun dariku.”
Mereka menyetujui perundingan ini dan mengukuhkannya. Dengan begitu selesailah sudah penyerahan semua benteng kepada orang-orang Muslim sehingga selesai pula penaklukkan Khaibar.
16. Terbunuhnya Dua Anak Abil Huqaiq Karena Melanggar Perjanjian
Sekalipun anak Abil Huqaiq sudah menyetujui perjanjian ini, toh dia masih menyembunyikan sejumlah harta. Dia menyembunyikan tempat-tempat minyak wangi yang berisi berbagai macam perhiasan milik Huyai bin Akhthab, yang dulu dibawanya ke Khaibar ketika An-Nadhir ditumpas.
Ibnu Ishaq menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menemui Kinanah bin Ar-Rabi’ yang menyimpan harta simpanan Bani Nadhir. Beliau memintanya, namum Kinanah menolak permintaan ini, dengan alasan dia tidak mengetahui di mana harta itu disimpan. Tiba-tiba muncul salah seorang Yahudi yang berkata, “Aku tahu Kinanah mengitari bekas renuntuhan bangunan itu setiap pagi.”
Beliau bertanya kepada Kinanah, “Bagaimana jika aku membunuhmu jika ternyata harta benda itu bisa kami temukan?”
“Boleh,” jawab Kinanah.
Maka beliau memeritahkan untuk memeriksa reruntuhan bangunan dan menggalinya. Ternyata harta benda itu memang ada di sana. Maka semua harta simpanan itu dikeluarkan dan beliau meminta sisanya yang lain. Namun Kinanah tetap membandel. Maka beliau menyerahkan Kinanah kepada Zubair seraya bersabda, “Siksa dia sampai engkau dapat mengambil semua yang ada di tangannya!”
Kemudian beliau menyerahkan kepada Muhammad bin Maslamah, lalu dia memenggal leher Kinanah hingga meninggal, sebagai pembalasan atas meninggalnya Mahmud bin Maslamah, yang terbunuh di bawan dinding benteng Na’im, setelah ditimpuk batu penggiling dari atas, karena saat itu Mahmud sedang berteduh di pinggir benteng itu.
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa peristiwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan untuk membunuh dua anak Abul Hugaig, setelah diketahui keduanya menyimpan harta benda yang semestinya diserahkan kepada beliau.
Beliau menahan Shafiyah binti Huyai bin Akhthab, yang saat itu baru saja melangsungkan pernikahan dengan Kinanah bin Abul Huqaiq.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengiginkan agar orang-orang Yahudi hengkang dari Khaibar. Tetapi mereka berkata, “Wahai Muhammad, berilah kami kesempatan untuk tetap berada di tanah ini agar kami bisa mengolah dan menanganinya. Kami lebih berpengalaman dari pada kalian. Dan memang Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam maupun para sahabat tidak mempunyai tenaga untuk mengolah tanah-tanah itu. Mereka sendiri tak punya banyak kesempatan untuk menanganinya. Karena itu beliau menyerahkan tanah Khaibar kepada orang-orang Yahudi, dan mereka memperoleh bagian dari hasil tanaman dan panen buahnya, tergantung kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam seberapa banyak beliau akan menetapkan bagian bagi mereka. Yang membuat ancar-ancar tentang pembagian hasil pengolahan tanah ini adalah Abdullah bin Rawahah.
Tanah Khaibar dibagi menjadi 30 kelompok. Setiap kelompok dibagi lagi menjadi 100 bagian, hingga jumlah totalnya ada 3600 bagian. Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan orang-orang Muslim mendapat separohnya, yaitu 1800 bagian. Beliau mendapat satu bagian seperti yang didapat Muslim lainya. Sementara separoh lainnya, sebanyak 1800 bagian dikhususkan untuk para wakil beliau dan untuk urusan umum kaum Muslimin. Orang-orang Muslim yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah, yang jumlahnya 1400 orang, juga mendapat bagian dari separoh yang terakhir ini, baik yang saat Perang Khaibar itu mereka ikut bergabung atau tidak. Karena bagaimanapun juga, harta rampasan dari Perang Khaibar ini juga tidak lepas dari peran orang-orang yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah. Setiap kuda yang ikut mendapat dua bagian, penunggangnya mendapat tiga bagian, sedangkan pejalan kaki mendapat satu bagian.
Banyaknya harta rampasan dari Khaibar ini telah diriwayatkan Al-Bukhari, dari Umar, dia berkata, “Sebelumnya kami tidak pernah merasa kenyang hingga kami bisa menaklukkan Khaibar.
Begitu pula yang diriwayatkan Aisyah, dia berkata, “Saat Khaibar ditaklukkan, kami berkata, `Sekarang kami bisa kenyang karena makan korma.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam kembali ke Madinah, orang-orang Muhajirin menyerahkan apa yang dulu pernah diberikan orang-orang Anshar kepada mereka, berupa pohon dan buah korma, karena mereka kini sudah mempunyai banyak pohon korma di Khaibar.
18. Kedatangan Ja’far bin Abu Thalib dan Orang-orang Asy’ariyin
Pada saat-saat peperangan Khaibar ini, anak paman beliau, Ja’far bin Abu Thalib, tiba bersama orang-orang Asy’ariyin yaitu Abu Musa dan rekan rekannya.
Abu Musa menuturkan, “Kami mendengar keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam (ke Khaibar) saat kami masih berada di Yaman. Lalu kami pergi untuk berhijrah dengan naik perahu, yang akhirnya perahu kami terdampar hingga ke Habasyah. Kami bertemu Ja’far dan rekan-rekannya saat mereka berada di hadapan Raja Najasyi. Dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengutus kami dan memerintahkan agar kami menetap di sini. Maka menetaplah disini bersama kami.” Maka kami menetap di sana, lalu meninggalkan Habasyah hingga akhirnya kami tiba pada saat penaklukkan Khaibar. Beliau memberikan bagian dari harta rampasan kepada kami, padahal beliau tidak memberikan harta rampasan kecuali kepada orang-orang yang ikut bergabung bersama beliau. Namun beliau memberikan kepada orang-orang yang naik perahu kami bersama Ja’far dan rekan-rekannya. Beliau juga memberikan bagian kepada mereka.
Saat Ja’far sudah tiba, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyambutnya dan memeluknya. Beliau bersabda, “Demi Allah, aku tidak tahu karena apa aku gembira, entah karena penaklukkan Khaibar entah karena kedatangan Ja’far.”
19. Pernikahan dengan Shafiyah
Seperti yang sudah disebutkan di atas, Shafiyah dikumpulkan bersama para tawanan setelah suaminya, Kinanah bin Abul Huqaiq, dibunuh karena berkhianat. Setelah semua tawanan dikumpulkan, Mancul Dihyah bin Khalifah Al-Kalbi, seraya berkata, “Wahai Nabi Allah, berikan kepadaku seorang tawanan wanita!”
Beliau bersabda, “Pergilah dan ambilahl”
Setelah dia memilih Shafiyah binti Huyai, ada seorang menemui Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam seraya berkata, “Wahai nabi Allah, apakah engkau menyerahkan Shafiyah binti Huyai, putri pemimpin Quraizah dan Bani Nadhir kepada Dihyah? Shafiyah hanya pantas milik engkau.”
“Kalau begitu panggil dia bersama Shafiyah,” sabda beliau.
Setelah Shafiyah binti Huyai dihadirkan, beliau memandang dirinya, lalu bersabda kepada Dihyah, “Ambilah tawanan wanita selainnya!”
Beliau menawarkan kepada Shafiyah agar masuk Islam, dan dia pun memenuhinya. Setelah memerdekakannya, beliau menikahinya. Ada pun mas kawinnya adalah pembebasan dirinya. Setiba di Ash-Shahba’ dalam perjalanan ke Madinah, Ummu Sulaim merias Shafiyah, dan malam itu menjadi miliknya bersama beliau dan merupakan malam pengantinnya. Untuk acara walimah dihidangkan korma, makanan dari tepung, dan keju. Beliau berada di sana selama tiga hari.
Pada saat-saat itu beliau melihat ada bilur-bilur warna biru membekas di wajah Shafiyah. Beliau bertanya, “Ada apa ini?”
Shafiyah menjawab, “Wahai Rasulullah, sebelum engkau mendatangi kami, aku bermimpi melihat bulan seakan-akan terlepas dari tempatnya dan jatuh di bilikku. Tidak, demi Allah, aku tidak menyebut-nyebut diri engkau sedikit pun. Aku menceritakan mimpiku ini kepada suamiku, lalu dia menempeleng wajahku.”
“Rupanya engkau dianugerahi kerajaan yang ada di Madinah,” sabda beliau.?”
20. Masalah Daging Domba yang Disusupi Racun
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam merasa tenang karena sudah bisa menaklukkan Khaibar, tiba-tiba mancul Zainab binti Al-Harits, istri Sallam bin Misykam di hadapan beliau sambil menyodorkan daging domba yang sudah dipanggang. Sebelumnya Zainab binti Al-Harits pernah menanyakan, bagian mana dari daging domba yang paling disukai Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam Ada yang mengabarkan kepadanya bahwa beliau menyukai bagian paha. Maka dia menyusupkan racun lebih banyak ke bagian ini, lalu mengirimkannya. Setelah menerimanya, beliau menggigit untuk satu kunyahan, namun kemudian memuntahkannya lagi dan tidak menelannya. Beliau bersabda, “Tulang ini mengabarkan kepadaku bahwa di dalam daging disusupi racun.”
Kemudian beliau memerintahkan untuk memanggil Zainab binti Al-Harits. Setelah ditanya, dia mengakui perbuatannya.
“Apa yang mendorongmu berbuat seperti itu?” Tanya beliau.
Dia menjawab, “Aku pernah berkata sendiri, `Kalau memang Muhammad seorang raja, maka aku ingin menghabisinya. Jika dia seorang Nabi tentu akan ada pemberitahuan kepadanya.'”
Setelah itu beliau meninggalkan wanita itu. Sementara saat itu ada Bisyr bin Al-Barra’ bin Ma’rur yang juga mengambil daging tersebut, mengunyah dan menelannya, hingga dia meninggal karenanya.
Ada beberapa riwayat yang berbeda, apakah wanita itu dilepas begitu saja ataukah dibunuh. Namun kemudian banyak yang sepakat bahwa memang wanita itu dilepas pada awal mulanya. Tetapi setelah Bisyr meninggal gara-gara memakan daging itu, maka wanita tersebut dibunuh sebagai qishash.
21. Korban di Kedua Belah Pihak
Jumlah orang Muslim yang mati syahid dalam Perang Khaibar ada 16 orang. Dengan rincian, empat orang dari keturunan Quraisy, satu orang Asyja, satu orang dari Aslam, satu orang dari penduduk Khaibar, dan sisanya dari Anshar.
Namun ada yang berpendapat, jumlah korban dari orang-orang Muslimin ada 18 orang. Al-Manshurfuri menyebutkan 19 orang. Dia berkata, “Namun setelah kuteliti lebih lanjut, aku bisa mendapatkan 23 nama. Satu nama di antaranya disebutlan Ath-Thabari, satu orang disebutkan Al-Wagidi, satu orang karena makan daging domba yang disusupi racun, dan satu orang lagi diperselisihkan, apakah dia meninggal di Perang Badr ataukah di Perang Khaibar. Tapi yang benar, yang terakhir ini meninggal di Perang Badr.”
Sedangkan di pihak Yahudi ada 73 orang.
Setelah tiba di Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam langsung mengutus Muhayyishah bin Mas’ud untuk menemui orang-orang Yahudi Fadak, dan menyeru mereka agar masuk Islam. Namun mereka menunda jawaban. Setelah Khaibar dapat ditaklukan, Allah menyusupkan ketakutan ke dalam hati penduduk Fadak. Lalu mereka mengirim utusan kepada beliau untuk mengadakan perjanjian, intinya mereka sanggup menyerahkan separoh hasil fadak, seperti kesediaan penduduk Khaibar. Beliau menerima tawaran mereka ini. Hasil pembagian dari Fadak ini murni bagi Rasulullah karena orang-orang Muslim sama sekali tidak mengerahkan pasukan kuda atau pejalan kaki ke sana.
Setelah urusan Khaibar selesai, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengalihkan sasaran ke Wadil Qura. Di sana ada segolongan orang-orang Yahudi yang hidup bersama segolongan orang-orang Arab.
Saat orang-orang Muslim tiba di sana, orang-orang Yahudi menyambut mereka dengan lemparan anak panah, hingga mengenai seorang pembantu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam hingga meninggal dunia. Orang-orang berkata, “Selamat atas surga yang diperolehnya.”
Beliau bersabda, “Sama sekali tidak. Demi yang diriku ada di tangan-Nya, mantel yang dia curi dari harta rampasan Khaibar, padahal dia tidak mendapat bagian dari harta rampasan itu, benar-benar menjadi api yang membakarnya.”
Saat orang-orang mendengarkan sabda beliau ini, tiba-tiba muncul seseorang ke hadapan beliau sambil membawa satu atau dua tali terompah. Beliau bersabda, “Ini adalan terompah dari api neraka.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menyiapkan para sahabat untuk berperang dan membariskan mereka. Satu bendera diserahkan kepada Sa’d bin Ubadah, satu bendera lagi diserahkan kepada Al-Hubab bin Al-Mundzir dan satu bendera lagi diserahltan kepada kepada Abbad bin Bisyr. Beliau menyeru agar mereka mau masuk Islam, namun mereka menolaknya. Muncul salah seorang dari mereka yang mengajak adu tanding. Az-Zubair bin Al-Awwam melayani tantangannya dan dapat membunuhnya. Muncul orang kedua dari mereka dan akhirnya dapat dibunuh lagi oleh Az-Zubair. Orang ketiga dilayani oleh Ali bin Abu Thalib dan dapat dibunuhnya, hingga ada sebelas orang di antara mereka yang semuanya dapat dibunuh. Setiap kali ada satu orang di antara mereka yang dapat dibunuh, maka sisanya diseru untuk masuk Islam.
Saat itu tiba waktu shalat. Maka beliau melaksanakan shalat bersama para sahabat. Setelah selesai shalat, beliau kembali menyeru mereka lagi agar mau masuk Islam, mengajak kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi mereka tetap menolak. Pertempuran berjalan terus hingga sore hari. Esok paginya selagi matahari belum naik sepenggalah, mereka sudah menyerah. Beliau dapat menundukan mereka dengan cara damai. Cukup banyak harta rampasan yang diperoleh dari mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di Wadil Qura selama empat hari, dan membagi harta rampasan di antara para sahabat. Sedangkan tanahnya diserahkan kepada penduduk Wadil Qura untuk diolah, seperti yang diberlakukan terhadap penduduk Khaibar.”?
Perang terjadi Muharram 7 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa shallam memimpin dengan 1382 Sahabat. Berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dan 11 orang Yahudi tewas (www.kisahmuslim.com)
Tatkala orang-orang Yahudi Taima’ mendengar kabar tentang penduduk Khaibar yang menyerah, kemudian disusul penduduk Fadak dan Wadil Qura, mereka tidak berani menunjukkan perlawanan terhadap orang-orang Muslim. Mereka mengirimkan utusan untuk menawarkan perjanjian damai. Rasulullah menerima tawaran ini. Isi perjanjian dituangkan dalam sebuah tulisan, yang isinya:
“Inilah perjanjian Muhammad Rasul Allah dengan Bani Adi, bahwa mereka mendapat jaminan sebagai ahli dzimmah, mereka harus menyerahkan jizyah, tidak ada permusuhan dan kepindahan ke tempat lain.”
Yang bertugas menulis surat penanjian ini adalah Khalid bin Sa’id.
Setelah semua urusan beres, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memutuskan untuk kembali ke Madinah. Perjalanan dilakukan pada malam hari. Pada akhir malam dalam perjalanan ini, pasukan dihentikan untuk tidur.
Beliau bersabda kepada Bilal, “Jagalah kami malam ini.”
Namun rupanya Bilal tidak mampu menahan kantuknya. Dia terkantuk kantuk sambil bersandar di samping ontanya. Pagi itu tak seorang pun yang terbangun, hingga mereka disengat matahari. Yang pertama kali bangun adalah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Setelah bangun beliau pergi ke lembah, lalu melaksanakan shalat subuh bersama orang-orang. Ada yang berpendapat, kisah tentang hal ini tidak terjadi pada perjalanan kali ini.
Dengan melihat uraian tentang berbagai peristiwa dalam Perang Khaibar ini, maka dapat disimpulkan bahwa kepulangan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ke Madinah dilakukan pada akhir bulan Shafar atau pada bulan Rabi’ul Awwal 7 H.
26. Satuan Perang Aban bin Sa’id
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam lebih tahu dari siapa pun bahwa mengosongkan Madinah setelah berakhirnya bulan-bulan suci tidak membuat hati menjadi tenang. Sebab orang orang Badui di sekitar Madinah selalu mengintai kelengahan orang-orang Muslim, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk merampas dan merampok. Oleh karena itu beliau mengirim satuan pasukan ke Najd untuk menakut-nakuti orang-orang Arab Badui. Satuan pasukan ini dikomandoi Aban bin Sa’id. Selagi beliau masih ada di Khaibar, Aban sudah menemui beliau di sana dan sudah melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Menurut pendapat yang lebih kuat, pengiriman pasukan ini terjadi pada bulan Shafar 7 H. Satuan pasukan ini disebutkan dalam Al-Bukhari. Ibnu Hajar berkata, “Aku tidak tahu keadaan pengiriman satuan pasukan ini.
Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury