Perang dan Penaklukan Makkah
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Latar Belakang Peperangan
- Abu Sufyan Pergi ke Madinah untuk Memperbarui Isi Perjanjian
- Bersiap-siap untuk Perang dan Usaha Merahasiakannya
- Pasukan Islam Bergerak ke Arah Makkah
- Pasukan Islam Singgah di Marr Azh-Zhahran
- Abu Sufyan di Hadapan Rasulullan dan KeIslamannya
- Pasukan Islam Meninggalkan Marr Azh-Zhahran Menuju Makkah
- Orang-orang Quraisy berpencar Menghindari Pasukan Islam
- Pasukan Islam Berada di Dzu Thuwa
- Pasukan Islam Masuk Makkah
- Rasulullah Masuk Masjidil Haram dan Membersihkannya dari Berhala
- Rasulullah Shalat di dalam Ka’bah lalu Berpidato dihadapan Orang-orang Quraisy
- Kunci Ka’bah diserahkan kepada Orang yang Berwenang
- Bilal Menyerukan Adzan di atas Ka’bah
- Shalat Kemenangan atau Shalat Syukur
- Mengeksekusi Para Tokoh Penjahat
- Shafwan bin Umayyah dan Fadhalah bin Umair Masuk Islam
- Pidato Rasulullah pada Hari Kedua setelah Penaklukan
- Kekhawatiran Anshar Andaikan Rasulullah Menetap di Makkah
- Pengambilan Sumpah
- Keberadaan Rasulullah di Makkah
- Pengiriman Beberapa Satuan Perang dan Utusan
Ibnu Qayyaim berkata, “Ini merupakan penaklukan terbesar yang dengannya Allah memuliakan agama, Rasul, para prajurit dan pasukannya yang dapat dipercaya, yang dengan penaklukan ini pula Dia menyelamatkan negeri dan Rumah-Nya, yang telah dijadikan petunjuk bagi semesta alam, menyelamatkan dari cengkeraman tangan orang-orang kafir dan musyrik. Ini merupakan penalukan dan sekaligus kemenangan yang telah dikabarkan penduduk langit, yang kemudian semua manusia masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong, sehingga wajah bumi berseri-seri memancarkan cahaya dan keceriaan.
Di bagian terdahulu sudah kami paparkan tentang salah satu klausul penanjian Hudaibiyah, bahwa siapa yang ingin bergabung ke pihak Muhammad dan membuat perjanjian, maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung ke pihak Quraisy dan membuat perjanjian, maka dia pun boleh melakukannya. Kabilah manapun yang bergabung ke salah satu pihak, maka kabilah tersebut dianggap sebagai bagian dari pihak yang bersangkutan. Penyerangan terhadap suatu kabilah dianggap sebagai penyerangan terhadap pihak yang bersangkutan.
Atas dasar klausul ini, maka Khuza’ah bergabung ke pihak Nabi sedangkan Bani Bakr bergabung ke pihak Quraisy. Sehingga masing-masing dari dua kabilah ini merasa aman dari gangguan pihak lain. Semasa jahiliyah, dua kabilah ini saling bermusuhan dan saling menyerang. Setelah Islam datang dan terjadi gencatan senjata di Hudaibiyah serta masing-masing mulai merasa aman dari gangguan pihak lainnya, kesempatan ini justru digunakan Bani Bakr untuk melampiaskan dendam lama terhadap Khuza ‘ah.
Naufal bin Mu’awiyah Ad-Daili bersama segolongan orang dari Bani Bakr melakukan serangan mendadak pada malam hari terhadap Bani Khuza’ah yang sedang berada di mata air mereka, Al-Watir. Dalam serangan mendadak ini dia bisa menghabisi beberapa orang Bani Khuza’ah. Kedua belah pihak bertempur seru. Secara diam-diam Quraisy memberi bantuan persenjataan kepada Bani Bakr, dan bahkan beberapa orang Quraisy juga ada yang ikut terlibat langsung dalam pertempuran membantu Bani Bakr pada malam hari. Khuza’ah terdesak hingga ke tanah suci. Sesampainya di sana, orang-orang dari Bani Bakr mengingatkan, “Wahai Naufal, kita sudah memasuki tanah suci. Ingatlah tuhanmu, tuhanmu!”
Dia memberi jawaban dengan kata-kata yang tidak bisa dianggap enteng, “Tidak ada tuhan pada hari ini. Wahai Bani Bakr, lampiaskan dendam kalian. Demi Allah, kalau perlu kalian boleh mencuri di tanah suci. Apakah kalian tidak ingin melampiaskan dendam di tanah suci?”
Ketika penduduk Khuza’ah benar-benar sudah memasuki Makkah, mereka segera berlindung ke rumah Budail bin Warqa’ Al-Khuza’i dan rumah pembantunya yang bernama Rafi’.
Sementara pada saat yang sama Amr bin Salim Al-Khuza’i cepat-cepat pergi ke Madinah hendak menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Setibanya di sana dia berdiri di hadapan beliau yang sedang duduk-duduk di masjid, dikelilingi beberapa orang Muslim. Dia berkata dalam sebuah syair,
“Ya Rabbi,
aku mengingatkan Muhammad dan menyeru
persahabatan ayah kami dan ayahnya di masa lalu
dulu kalimat menjadi anak dan kamilah orang tuanya
kami pasrah diri tanpa melepaskan tangan berdua
ulurkan bantuan saat ini niscaya datang petunjuk-Nya
serulah hamba-hamba Allah agar terulurkan bantuan mereka di tengah mereka ada Rasul Allah yang siap berperang
putih laksana bulan purnama yang terang benderang
semua kotoran menyingkir jika wajah itu terbuka
di lautan luas membentang mengalirkan buih dan busa
Quraisy telah mengkhianatimu dalam perjanjian
melanggar perjanjian yang pernah dikukuhkan
mereka mendesak hingga ke Makkah dan mengepungku
sementara tak seorang pun yang bisa kuseru
mereka terdesak dengan jumlah tak seberapa
Quralsy menyerang kami di Al-Watir secara tiba-tiba
membunuh kami pada saat sujud dan ruku kepada Ilahi.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Engkau pasti akan ditolong wahai Amr bin Salim.” Tiba-tiba saat itu muncul mendung di langit, lalu beliau bersabda, “Mendung ini akan memudahan pertolongan bagi Bani Ka’b.”
Budail dan beberapa orang dari Bani Khuza’ah juga berangkat untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah bertemu, dia mengabarkan apa yang menimpa orang-orang Bani Khuza’ah dan bantuan yang diberikan Quraisy terhadap Bani Bakr. Setelah itu dia kembali lagi ke Makkah.
2. Abu Sufyan Pergi ke Madinah untuk Memperbarui Isi Perjanjian
Tidak dapat diragukan, apa yang dilakukan Quraisy dan sekutunya ini merupakan pengkhianatan yang nyata terhadap perjanjian dan tidak mangkin bisa ditolerir lagi. Orang-orang Quraisy mulai menyadari pengkhianatan ini dan mulai merasakan akibat yang harus mereka tanggung. Mereka menyelenggarakan majelis permusyawaratan dan mengambil keputusan untuk mengirim Utusan, yaitu pemimpin mereka, Abu Sufyan, untuk memperbarui isi pedanjian.
Setelah mendapat informasi tentang pengkhimatan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukanya kepada para sahabat. Beliau bersabda, “Sepertinya Abu Sufyan akan mendatangi kalian untuk membuat perjanjian lagi dan menambahi temponya.”
Abu Sufyan berangkat menuju Madinah dan bertemu Budail bin Warqa’ di Usfan yang sedang pulang ke Madinah.
“Dari mana engkau wahai Budail?” Tanya Abu Sufyan yang merasa yakin bahwa Budail bam saja menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Aku dan beberapa orang dari Khuza’ah ini baru saja dari pesisir pantai dan perkampungan di lembah itu,” jawab Budail berbohong.
“Tidakkah engkau menemui Muhammad?” Tanya Abu Sufyan. “Tidak?” jawab Budail.
Setelah Budail pergi melanjutkan perjalanan ke Makkah, Abu Sufyan berkata sendiri, “Apabila Budail telah pergi ke Madinah, berarti dia telah memberi makan ontanya dengan biji-bijian.” Lalu dia mendatangi tempat menderum onta Budail, mengambil kotoran onta dan memeriksanya, hingga dia melihat ada biji-bijian dalam kotoran itu. Dia berkata, “Aku berani sumpah kepada Allah, Budail benar-benar telah menemui Muhammad.”
Abu Sufyan melanjutkan perjalanan hingga tibadi Madinah. Dia memasuk rumah putrinya yang menjadi istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ummu Habibah. Saat dia beranjak untuk duduk di lapik milik beliau, Ummu Habibah melipatnya agar tidak diduduki ayahnya. Abu Sufyan berkata meradang, “Hai putriku, apakah engkau lebih sayang kepadaku dari pada lapik itu, ataukah engkau lebih sayang kepada lapik itu dari pada aku?”
Ummu Habibah menjawab, “Tetapi ini adalah lapik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal ayah adalah orang musyrik lagi najis.”
Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, rupanya ada yang tidak beres denganmu setelah berpisah denganku.”
Kemudian Abu Sufyan menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbicara panjang lebar kepada beliau. Tetapi beliau sama sekali tidak menanggapinya. Kemudian dia menemui Abu Bakar dan berbicara kepadanya, meminta agar Abu Bakar mau berbicara kepada beliau. Namun Abu Bakar berkata, “Aku tidak sudi melakukannya.”
Kemudian Abu Sufyan menemui Umar bin Al-Khaththab dan berbicara dengannya. Umar berkata,”Layakah aku memintakan pertolongan bagi kalian kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Demi Allah, kalaupan aku hanya mendapatkan debu, tentu debu itu akan kupergunakan untuk menyerang kalian.”
Kemudian Abu Sufyan menemui Ali bin Abu Thalib yang sedang bersama Fathimah dan Hassan yang merangkak dengan tangannya. Abu Sufyan berkata, “Wahai Ali, engkau adalah orang yang paling dekat hubungan kekerabatan denganku, aku datang karena ada keperluan. Aku tidak akan kembali tanpa membawa hasil seperti dulu. Mintalah pertolongan bagiku kepada Muhammad.”
“Celaka engkau wahai Abu Sufyan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah mengambil suatu keputusan dan kami tidak bisa mempengaruhi beliau,” jawab Ali.
Abu Sufyan memandang ke arah Fathimah, lalu berkata kepadanya, “Sudikah engkau menyuruh anakmu ini agar dia memberi perlindungan kepada orang-orang, agar dia menj adi pemimpin Arab sepanjang masa?”
Fathimah menjawab, “Demi Allah, anakku terlalu kecil untuk memberi perlindungan di tengah-tengah orang-orang. Di samping itu, tak seorang pun mau memberi perlindungan dengan mengangkangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dunia terasa gelap gulita bagi Abu Sufyan. Dengan perasaan galau, resah dan putus asa dia berkata kepada Ali bin Abu Thalib, “Wahai ayah Hassan, kulihat semua urusan terasa berat bagiku. Berilah aku saran.’
“Demi Allah, aku tidak melihat lagi sesuatu pan yang berguna bagimu. Bukankah engkau pemimpin Bani Kinanah? Bangkitlah dan berilah perlindungan di antara orang-orang kemudian pulanglah ke tempatmu.”
“Apakah menurutmu hal itu berguna bagiku?” Tanya Abu Sufyan. “Demi Allah, aku juga tidak yakin. Tetapi aku tidak melihat selain yang itu,” jawab Ali.
Lalu Abu Sufyan berdiri di Masjid lalu berkata, “Wahai semua orang, aku telah memberi perlindungan di antara orang-orang.” Lalu dia naik ontanya dan beranjak pergi.
Setelah tiba di tengah-tengah orang-orang Quraisy, mereka bertanya kepada Abu Sufyan, “Apa yang terjadi di belakangmu?”
Abu Sufyan menjawab, “Aku sudah menemui Muhammad dan berbicara panjang lebar dengannya. Demi Allah, dia sama sekali tidak menanggapiku. Kemudian aku menemui Abu Qahafah (Abu Bakar). Tetapi juga tidak banyak membantuku. Kemudian aku menemui Umar bin Al-Khaththab. Aku mendapatkan dialah musuh yang paling dekat. Kemudian aku menemui Ali dan aku mendapatkan dialah orang yang paling lemah lembut. Dia memberiku masukan tentang apa yang seharusnya kulakukan. Demi Allah, aku tidak tahu adakah yang berguna bagiku atau tidak.”
“Apa yang diperintahkannya?” tanya mereka.
“Dia menyuruhku agar aku memberi perlindungan kepada orang-orang. Maka sarannya itu aku lakukan,” jawab Abu Sufyan.
“Apakah Muhammad juga memberi perlindungan?” tanya mereka. “Tidak,” jawabnya.
“Celaka kau. Orang itu semakin mempermainkan dirimu.”
“Tidak demi Allah, hanya itulah yang bisa kuperbuat,” jawab Abu Sufyan.
3. Bersiap-siap untuk Perang dan Usaha Merahasiakannya
Diambilkan dari riwayat Ath-Thabarani, bahwa tiga hari sebelum ada informasi tentang pelanggaran perjanjian oleh pihak Quraisy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Aisyah untuk mempersiapkan peralatan bagi beliau. Tak seorang pun yang mengetahui hal ini. Lalu Abu Bakar datang ke rumah Aisyah dan bertanya, “Wahai putriku, untuk apa peralatan ini?”
“Demi Allah, aku tidak tahu,” jawab Aisyah.
“Demi Allah, yang seperti ini hanya terjadi pada Perang Bani Al-Ashfar. Kemana yang hendak dituju Rasulullah?”
“Demi Allah, aku tidak tahu,” jawab Aisyah.
Pagi-pagi pada hari ketiga, Amr bin Salim Al-Khuza’i datang bersama 40 orang penunggang, lalu melantunkan syair di atas. Dengan begitu orang-orang yang telah mengetahui telah terjadi pelanggaran terhadap perjanjian. Setelah Amr, datang pula Budail dan disusul Abu Sufyan. Sehingga mereka semakin yakin kabar tentang hal itu. Lalu Rasulullah memerintahkan agar semua orang melakukan persiapan dan memberitahukannya bahwa sasarannya adalah Makkah. Beliau bersabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Untuk lebih menjaga misi kerahasiaan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang yang dipimpin oleh Abu Qatadah bin Rab’i ke suatu perkampungan yang terletak antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan 8 H agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Mereka juga diperintahkan untuk menyiarkan kabar itu. Setelah mereka tiba di tempat yang sudah diperintahkan, maka beliau akan berangkat ke Makkah dan mereka diperintahkan untuk menyusul.’
Sementara pada saat itu, Hathib bin Abi Balta’ah menulis surat yang hendak dikirimkan kepada Quraisy, yang isinya mengabarkan keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke sana. Surat itu diberikan kepada seorang wanita dan dia juga memberinya sejumlah upah agar surat tersebut disampaikan kepada Quraisy. Setelah surat disembunyikan di gelungan rambutnya, wanita itu pun berangkat.
Pada saat yang sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat kabar dari langit tentang apa yang dilakukan Hathib bin Abu Balta’ah. Beliau langsung mengutus Ali dan Al-Miqdad seraya bersabda, “Segeralah pergi hingga kalian tiba di Rudhah Khakh. Di sana ada seorang wanita yang membawa selembar surat yang ditujukan kepada Quraisy.”
Maka keduanya berangkat dan memacu kudanya kencang-kencang, hingga mereka dapat menyusul wanita itu di tempat tersebut. Mereka memintanya berhenti sambil berkata, “Engkau sedang membawa sepucuk surat.”
“Aku tidak membawa sepucuk surat pun.” Jawab wanita itu.
Mereka berdua memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali berkata, “Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak bohong, begitu pula kami. Demi Allah engkau mengeluarkan surat itu ataukah kami benar-benar akan menelenjangimu.”
Setelah tahu kesungguhan Ali, wanita itu berkata, “Kalau begitu berpalinglah dariku!”
Mereka berdua memalingkan pandangan, lalu wanita itu melepaskan gelungan rambutnya dan mengeluarkan sepucuk surat, kemudian menyerahkannya kepada mereka berdua. Surat itu diserahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang di dalamnya tertulis, “Dari Hathib bin Abu Balta’ah, kepada Quraisy …” Kelanjutan isinya mengabarkan niat keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Apa ini wahai Hathib?” Tanya beliau setelah memanggilnya.
“Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku adalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah seorang anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku mempunyai keluarga, kerabat, dan anak. Sementara itu, tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Padahal orang-orang yang bersama engkau mempunyai kerabat yang bisa melindungi mereka. Karena itu aku ingin ada kerabat yang bisa melindangi keluargaku di sana.”
Umar bin Al-Khaththab berkata, “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehemya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesunggulmya dia pernah ikut dalam Perang Badr. Lalu bagaimana engkau bisa mengetahui hal itu wahai Umar? Boleh jadi Allah telah mengetahui isi hati orang-orang yang ikut dalam Perang Badr.” Lalu beliau bersabda lagi, “Berbuatlah sesuka kalian, karena kesalahan kalian sudah diampuni.”
Kedua mata Umar meneteskan butir-butir air mata, seraya berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Begitulah Allah mencekal setiap mata-mata, hingga tak ada sedikit informasi pun yang didengar Quraisy tentang persiapan orang-orang Muslim untuk berperang.
4. Pasukan Islam Bergerak ke Arah Makkah
Lewat sepuluh hari pada bulan Ramadhan 8 H, Rasulullah meninggalkan Madinah, beranjak pergi ke Makkah bersama 10.000 sahabat. Sedangkan Madinah diwakilkan kepada Abu Ruhm Al-Ghaifari.
Setiba di Juhfah atau setelah melewati Juhfah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu paman beliau, Al-Abbas bin Abdul Muthalib, yang telah masuk Islam dan hijrah bersama seluruh keluarganya. Kemudian setelah tiba di Abwa’, beliau juga bertemu dengan anak paman beliau, Abu Sufyan bin Al-Harits, dan anak bibi beliau, Abdullah bin Umayyah. Namun beliau menolak untuk bertemu dengan mereka berdua. Karena keadaan keduanya sudah payah dan letih, Ummu Salamah berkata kepada beliau, “Jangan biarkan anak paman engkan dan anak bibi engkau menjadi anak yang paling menderita karena engkau.”
Ali bin Abu Thalib memberi saran kepada Abu Sufyan bin Al-Harits, “Temuilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung di hadapan beliau lalu katakan seperti yang dikatakan saudara Yusuf kepadanya, ‘Mereka berkata, Demi Allah sesungguhnya telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)’. Sesungguhnya beliau tidak ridha sekalipun ada seseorang yang perkataannya lebih baik dari itu.”
Maka Abu Sufyan melaksanakan saran Ali ini. Kemudian beliau bersabda kepada Abu Sufyan, “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian, mudah mudahan Allah mengampuni (kalian) dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.”
Lalu Abu Sufyan melantunkan beberapa bait syair di hadapan beliau, di antaranya,
“Demi aku dulu yang pernah membawa bendera agar pasukan Muhammad dapat dikalahkan pasukan Lata laksana pengelana yang kebingungan di malam yang pekat
begitulah waktuku saat aku dituntut dan mendapat petunjuk seseorang memberiku petunjuk dan menghelaku kejalan Allah sekalipun dahulu aku selain mengusir dan mencegah.” Lalu beliau memukul dadanya sambil berkata, “Engkau dulu mengusirku dengan gigih.
5. Pasukan Islam Singgah di Marr Azh-Zhahran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan perjalanan dalam keadaan puasa, begitu pula semua orang, hingga tiba di Al-Kadid, sebuah mata air yang terletalt antara Usfan dan Al-Qadid. Beliau berbuka disana bersama semua orang yang bergabung ersama beliau. Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan hingga tiba di Marr Azh-Zhahran. Beliau memerintahkan pasukan antuk berhenti dan mereka pun menyalakan api unggun. Beliau mengangkat Umar bin Al-Khaththab sebagai penjaga.
6. Abu Sufyan di Hadapan Rasulullan dan Keislamannya
Setelah pasukan Muslimim singgah di Marr Azh-Zhahran, Al-Abbas berputar-putar mencari kayu bakar atau menjumpai seseorang yang bisa memberi kabar kepada beberapa orang Quraisy, agar mengatur keamanan sebelum beliau masuk Makkah. Dia berputar-putar sambil menunggang baghal milik beliau yang berwama putih.
Allah menjadikan orang-orang Quraisy tidak mendengar kabar ini, sekalipun sebenarnya mereka selalu bersikap waspada. Abu Sufyan juga berputar-putar mencari informasi bersama Hakim bin Hizam dan Budail bin Zarqa’.
Al-Abbas berkata, “Demi Allah, ketika aku menunggang baghal beliau itulah aku mendengar suara Abu Sufyan dan Budail bin Zarqa’ yang sedang berbincang-bincang. Abu Sufyan berkata, “Sekalipun tidak pernah kulihat nyala api dan pasukan yang seperti ini.” Budail menyahut, “Demi Allah, ini adalah Khuza’ ah. Mereka telah dibakar api peperangan.”
Abu Sufyan berkata, “Khuza’ah lemah dan sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan nyala api dan pasukan sebesar ini.”
Al-Abbas berkata, “Setelah aku yakin benar itu adalah suaranya, maka aku bertanya, “Apakah itu Abu Hanzhalah?”
Rupanya dia juga mengenali suaraku. Dia bertanya, “Apakah itu Abu Fadhl?”
“Benar,” jawabku.
“Ada apa dengan dirimu? Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu.” Aku menjawab, “Itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di tengah orang-orang. Demi Allah, amat buruklah orang-orang Quraisy.”
“Apa salahnya jika aku menjadikan ayah dan ibuku sebagai jaminanmu?” Tanya Abu Sufyan.
Aku berkata, “Demi Allah, jika beliau mengalahkanmu, niscaya beliau akan memenggal lehermu. Naiklah ke atas punggung baghal ini, agar aku dapat membawamu ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, lalu mintalah jaminan keamanan kepada beliau.”
Maka Abu Sufyan naik di belakangku, sedangkan kedua temannya kembali ke tempat semula.Setiap kali aku lewat di dekat nyala api orang-orang Muslim, mereka mengajukan pertanyaan, “Siapa ini?” Setelah tahu baghal Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang kunaiki dan aku berada di atas panggungnya, mereka berkata,”Rupanya paman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam yang sedang menunggang baghal beliau.”
Ketika aku melawati nyala api Umar bin Al-Kahththab, dia bertanya, “Siapa ini?” Lalu dia menghampiriku Saat dia melihat Abu Sufyan berada di belakangku, dia berkata, “Hai Abu Sufyan, musuh Allah! Segala puji bagi Allah yang telah menundukkan dirimu tanpa suatu perjanjian pun.” Kemudian dia beranjak ke arah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk memperingatkan beliau.
Aku menghela baghal hingga dapat mendahului Umar. Aku segera turun dari punggung baghal dan masuk ke tempat beliau. Setelah itu barulah Umar masuk, sambil berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah Abu Sufyan. Biarkan aku memenggal lehernya.”
Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melindunginya.” Kemudian aku mendekat lagi ke arah beliau dan kukatakan, “Demi Allah, tak seorang pan boleh berbicara dengannya pada malam ini kecuali aku.”
Karena Umar bin Al-Khaththab terus memaksakan keinginannya maka aku berkata, “Sebentar wahai Umar. Demi Allah, andaikan saja ada di antara orang orang dari Bani Adi bin Ka’ab berkata seperti apa yang engkan katakan ini.”
“Sebentar wahai Abbas,” kata Umar, “demi Allah, keislammunu benar benar telah kucintai dari pada keislaman Al-Khaththab, kalau memang dia masuk Islam, dan sepengetahuanku keislamanmu juga lebih dicintai Rasulullah dari pada keislaman Al-Khaththab.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Pergilah ke kemahmu wahai Abbas. Besok pagi datanglah ke sini!”
Maka aku pun beranjak pergi. Besok paginya aku menemui beliau lagi. Ketika melihatAbu Sufyan yang juga ikut bersamaku, beliau bersabda, “Celaka kau wahai Abu Sufyan. Bukankah sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui bahwa tiada Illah selain Allah?”
Abu Sufyan berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, engkau sungguh orang yang murah hati, mulia, dan selalu menjaga hubungan kekeluargaan. Jauh-jauh hari aku sudah menduga, andaikan ada sesembahan lain bersama Allah, tentunya aku tidak membutuhkan sesuatu pun setelah ini.”
Beliau bersabda, “Celaka kau wahai Abu Sufyan. Bukankah sudah tiba saatnya untuk mengetahui bahwa aku adalah Rasul Allah?”
Abu Sufyan berkata, “Demi ayah dan ibuku sebagai jaminanmu, engkau sungguh orang yang murah hati, mulia dan selalu menjaga hubungan kekeluargaan. Kalau mengenai masalah ini, di dalam hatiku masih ada sesuatu yang mengganjal hingga saat ini.”
Al-Abbas berkata, “Celaka kau. Masuklah Islam, bersaksilah bahwa tiada Illah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, sebelum beliau memenggal lehermu.” Maka setelah itu Abu Sufyan masuk Islam dan memberikan kesaksian secara benar.
Al-Abbas berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang suka membanggakan diri. Maka berilah dia sesuatu!”
Beliau bersabda, “Benar. Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka keamanan dirinya terjamin. Siapa yang memasuki Masjidil Haram, maka keamanan dirinya terjamin.”
7. Pasukan Islam Meninggalkan Marr Azh-Zhahran Menuju Makkah
Pada Selasa pagi hari tanggal 17 Ramadhan 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan Marr Azh-Zhahran menuju Makkah. Beliau memerintahkan Al-Abbas untuk menahan Abu Sufyan di ujung jalan tembus melewati gunung, hingga pasukan Allah lewat di sana, dengan begitu Abu Sufyan bisa melihat semuanya. Setiap kabilah lewat di jalan itu sambil membawa bendera masing-masing. Setiap kali ada kabilah yang lewat, Abu Sufyan bertanya, “Wahai Abbas, kabilah apakah ini?”
Sebagai contoh, Abbas menjawab, “Itu kabilah Sulaim.”
Abu Sufyan berkata, “Apa urusanku dengan Sulaim?”
Kemudian lewat kabilah yang lain lagi, dan Abu Sufyan bertanya, “Kabilah apakah ini?”
Abbas menjawab, “Ini Muzainah.”
“Apa urusanku dengan Muzainah?” kata Abu Sufyan.
Akhirnya semua kabilah sudah lewat dan tak ada satu kabilah pun yang lewat melainkan Abu Sufyan menanyakannya, dan setiap kali dijawab, dia berkata, “Apa urusanku dengan Bani Fulan?”
Hingga Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam lewat bersama kavalerinya yang menyemburatkan warna hijau, yang disana ada beberapa Muhajirin dan Anshar. Diri mereka tidak tampak karena tertutup baju besi.
“Subahnallah, wahai Abbas, siapakah mereka ini?” Tanya Abu Sufyan. “Itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersama Muhajirin dan Aashar,” jawab Abbas. “Tak seorang pan yang sanggup dan kuat menghadapi mereka,” kata Abu
Sufyan. Lalu dia melanjutkan lagi, “Demi Allah wahai Abu Fadhl, kerajaan
keponakau yang tampak pada hari ini benar-benar menjadi besar.” Al-Abbas berkata, “Wahai Abu Sufyan, itu adalah nubuwah.” “Kalau begitu lebih bagus lagi,” kata Abu Sufyan.
Bendera Anshar dipegang Sa’ad bin Ubadah. Ketika melewati tempat Abu Sufyan, Sa’d berkata, “Hari ini adalah hari pembantaian, hari dihalalkannya yang disucikan. Hari ini Allah menghinakan Quraisy.”
Abu Sufyan bertanya ketika Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sudah berada di hadapan Abu Sufyan,”Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan Sa’d?” “Apa yang dikatakannya?” Beliau balik bertanya.
“Dia mengatakan begini dan begitu,” jawab Abu Sufyan.
Utsman bin Abdurrahman bin Auf berkata, “Wahai Rasulullah, kita tidak merasa aman selagi dia masih mempunyai kekuasaan di tengah Quraisy.”
Beliau menjawab, “Justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka’bah dan dimuliakannya Quraisy oleh Allah.”
Kemudian beliau mengirim utusan untuk menemui Sa’d, agar dia menurunkan bendera dan menyerahkannya kepada anaknya, Qais. Tetapi ternyata bendera itu tetap berada di tangan Sa’d. Ada yang berpendapat, bendera itu diserahkan kepada Az-Zubair.
8. Orang-orang Quraisy berpencar Menghindari Pasukan Islam
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melewati Abu Sufyan, Al-Abbas berkata kepadanya, “Segeralah temui kaummu.Maka Abu Sufyan segera masuk Makkah dan berteriak dengan suara lantang, “Wahai semua orang Quraisy, itu Muhammad telah mendatangi kalian, yang tak kan sanggup kalian hadang. Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia akan aman.”
Istrinya, Hindun binti Uthbah, menemuinya, memegangi kumisnya, lalu berkata, “Bunuhlah orang yang gendut dan gembrot Sungguh amat buruk orang yang lebih dulu datang ke sini.” Abu Sufyan menjawab, “Jangan kalian terpedaya dengan ucapan semacam ini. Sesungguhnya dia telah datang dengan kekuatan yang tak kan mungkin sanggup kalian lawan. Barang siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka dia akan aman.” Mereka menyahut, “Semoga Allah memusuhimu. Apa yang berguna bagi kami dari rumah itu?”
Abu Sufyan berteriak lagi, “Barang siapa menutup pintunya, maka dia aman. Barang siapa masuk masjid, maka dia aman.”
Orang-orang berpencar ke rumah masing-masing dan ada pula yang masuk masjid. Mereka berpencar dengan sikap terburu-buru. Di antara mereka ada pula yang berkata, “Kita hadapi mereka. Jika Quraisy masih mempunyai sesuatu yang bisa diandalkan, kita bergabung bersama mereka. Jika kita kalah, maka kita berikan apa yang diminta dari kita.” Lalu beberapa orang Quraisy yang bodoh dan tidak berpikir secara bijaksana berhimpun bersama Ikrimah binAbu Jahl, Shafwan bin Umayyah, dan Suhail bin Amr Khandamah, dengan maksud antuk memerangi orang-orang Muslim. Di antara mereka juga ada seseorang dari Bani Bakr yang bernama Hammas bin Qais, yang bertugas mempersiapkan senjata untuk tujuan ini.
“Mengapa engkau mempersiapkan senjata-senjata ini?” istrinya bertanya.
“Untuk menghadapi Muhammad dan rekan-rekannya?” jawab Hammas.
“Demi Allah, tidak ada sesuatu pun yang mampu menghadapi Muhammad
dan rekan-rekannya,” kata istrinya.
“Demi Allah, aku benar-benar berharap sebagian di antara mereka akan menjadikan dirimu sebagai pembantu,” jawabnya lalu dia melantunkan syair,
“Apabila mereka datang hari ini
aku tidak memiliki satu alasan lagi
inilah senjata yang komplit pedang bergagang panjang
pedang bermata dua mengkilat dan amat tajam.”
9. Pasukan Islam Berada di Dzu Thuwa
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam melanjutkan peljalanan hingga tiba di Dzu Thuwa. Di sana beliau menundukkan kepala karena hendak menunjukkan ketundukan kepada Allah, saat melihat kemenangan yang dianugeralikan Allah. Jenggot beliau hampir menyentuh pelana.
Di sini pula belian membagi pasukan. Khalid bin Al-Walid ditempatkan di sayap kanan bersama Bani Aslam, Sulaim, Ghifar, Muminah, Juhainah, dan beberapa kabilah Arab lainnya. Beliau memerintahkan pasukan Khalid ini masuk dari dataran rendah Makkah. Beliau bersabda, “Jika ada orang-orang Quraisy yang menghadang kalian, maka perangilah mereka, dan tunggulah kedatanganku di Shafa.”
Sedangkan Az-Zubair bin Al-Awwam ada di sayap kiri, membawa bendera Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan memerintahkannya agar masuk Makkah dari dataran tingginya, tepatnya dari arah Qada’. Beliau memerintahkan untuk menancapkan benderanya di Al-Hajun dan tidak boleh meninggalkan tempat itu hingga beliau tiba di sana.
Sementara Abu Ubaidah bersama beberapa orang tanpa membawa senjata diperintahkan untuk masuk langsung ke tengah lembah hingga masuk Makkah di depan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
10. Pasukan Islam Masuk Makkah
Masing-masing satuan pasukan Islam bergerak melewati jalan yang telah ditetapkan untuk masuk Makkah. Siapa pun yang menghadang Khalid bin Al Walid dan rekan-rekannya, tentu dilibas. Dalam peristiwa ini dua rekan Khalid gugur, yaitu Kurz bin Jabir Al-Fihri dan Khanais bin Khalid bin Rabi’ah. Keduanya tersesat dari induk pasukan, sehingga melewati jalan lain yang tidak semestinya, lalu keduanya dibunuh orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy yang bodoh dan sedang berkumpul di Khandamah berhadapan dengan Khalid, lalu terjadi pertempuran sebentar, sehingga Khalid dapat membunuh dua belas orang musyrikin. Karena terdesak, mereka pun melarikan diri. Hammas bin Qais yang tadinya mempersiapkan senjata juga melarikan diri, masuk ke dalam rumahnya, sambil berkata kepada istrinya, “Cepat tutup pintu rumahku!”
“Lalu apa artinya yang pernah engkau katakan?” Tanya istrinya.
Dia menjawab dalam sebuah syair,
“Andaikan kau tahu saat tiba di Khandamah
saat Shafwan angkat kaki begitu juga Ikrimah
pedang orang-orang Muktnin teracung ke arah kita
membabat setiap batang leher dan kepala
tiada terdengar kecuali suara para pahlawan
Mereka mengaum seperti singa dalam barisan.”
Khalid bin Al-Walid terus memasuki Makkah dan menunggu kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di Shafa.
Sedangkan Az-Zubair terus merangsek hingga dapat menancapkan bendera di Al-Hujun, di tempat dilakukannya sujud saat penaklukkan dan tetap berada di sana hingga Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tiba di tempat.
11. Rasulullah Masuk Masjidil Haram dan Membersihkannya dari Berhala
Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bangkit bersama Muhajirin dan Anshar hingga masuk masjid. Beliau menghampiri Hajar Aswad, menciumnya, berthawaf di sekeliling Ka’bah, sambil memegang busur. Sementara, di sekitar Ka’bah pada waktu itu ada 360 berhala. Beliau cukup menunjuk dengan busumya ke arah berhala-berhala itu sambil mengucapkan ayat,
“Dan katakanlah, yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Al-Isra: 81)
“Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.”‘ (Saba’: 49)
Seketika itu pula berhala-berhala tersebut roboh di hadapan beliau. Beliau thawaf sambil menunggang onta dan tidak berpakaian ihram. Bahkan beliau memendekkan thawaf Setelah sempurna, beliau memanggil Utsman bin Thalhah dan memerintahkannya untuk mengambil kanci Ka’bah. Setelah terbuka, beliau masuk ke dalam Ka’bah, yang di dalamnya beliau melihat berbagai gambar, seperti gambar Ibrahim dan Ismail yang sedang membagi anak panah untuk undian. Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, belian (Ibrahim) sama sekali tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.” Belian juga melihat beberapa gambar yang lain, lalu memerintahkannya agar semua dienyahkan.
12. Rasulullah Shalat di dalam Ka’bah lalu Berpidato dihadapan Orang-orang Quraisy
Beliau menutup pintu Ka’bah, yang di dalamnya juga ada Usamah dan Bilal. Beliau menghadap ke arah dinding Ka’bah yang berseberangan dengan pintu Ka’bah. Beliau berdiri berjarak tiga hasta dari dinding, di samping kiri beliau ada dua tiang, di samping kanan beliau ada satu tiang, dan di belakang belian ada tiga tiang. Sementara saat itu di dalam Ka’bah ada enam tiang. Beliau shalat di tempat itu. Seusai shalat, beliau berkeliling di dalam Ka’bah, bertakbir di setiap sudutnya dan memuji Allah. Kemudian beliau membuka pintu Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun memenuhi masjid, menunggu apa yang hendak beliau lakukan.
Dengan memegangi dua pinggiran pintu Ka’bah, sementara orang-orang Quraisy berkumpul di bawahnya, beliau bersabda, “Tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, yang membenarkan janji-Nya, yang menolong hamba-Nya, yang mengalahkan musuh sendirian. Ketahuilah, setiap kekuasaan, harta benda atau darah ada di bawah kedua kakiku ini, kecuali kekuasaan mengurusi Ka’bah dan memberi minum untuk orang-orang yang berhaji. Ketahuilah, pembunuhan yang salah, sama dengan pembunuhan karena sengaja dengan mengganakan cambuk atau pentungan. Dalam hal ini berlaku tebusan yang berat, yaitu seratus onta, empat puluh ekor di antaranya berupa anak yang masih di dalam perut induknya. Wahai semua Quraisy, sesungguhnya Allah telah mengenyahkan kesombongan jahiliyah dan pengagangan terhadap nenek moyang. Manusia berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah.”
Kemudian beliau membaca ayat,
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)
Kemudian beliau bersabda, “Wahai sekalian orang Quraisy, apa yang bisa kuperbuat terhadap kalian menurut pendapat kalian?”
Mereka menjawab, “Yang baik-baik sebagai saudara yang mulia dan anak saudara yang mulia.”
Beliau bersabda, “Kukatakan kepada kalian seperti yang dikatakan Yusuf kepada saudara-saudaranya, ‘Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kalian’. Pergilah karena kalian orang-orang yang bebas.”
13. Kunci Ka’bah diserahkan kepada Orang yang Berwenang
Saat Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sedang duduk di dalam masjid, Ali bin Abu Thalib menghampiri beliau sambil memegang kanci Ka’bah dan berkata, “Wahai Rasulullah, serahkanlah kewenangan menjaga Ka’bah kepada kami bersama kewenangan memberi mimun kepada orang-orang yang haji. Shalawat Allah semoga dilimpahkan kepada engkau.”
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa yang berkata seperti itu adalah Al-Abbas.
Belian bertanya, “Mana Utsman bin Thalhah?”
Setelah Utsman bin Thalhah dipanggil dan menghadap, beliau bersabda, “Inilah kuncimu wahai Utsman. Hari ini adalah untuk berbuat kebaikan dan pemenuhan janji.”
Dalam riwayat Ibnu Sa’d di dalam Ath-Thabaqat, disebutkan bahwa beliau bersabda saat menyerahkan kanci kepada Utsman bin Thalhah, “Ambillah kunci ini sebagai pusaka yang abadi. Tidak ada yang merampasnya dari kalian kecuali orang yang zhalim. Wahai Utsman, sesunggullnya Allah menyerahkan keamanan Rumah-Nya kepada kalian. Ambillah dari apa yang diberikan kepada kalian dari rumah ini dengan cara yang ma’ruf “
14. Bilal Menyerukan Adzan di atas Ka’bah
Saat shalat pun tiba. Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan Bilal untuk naik ke atas Ka’bah dan menyerukan adzan di sana. Sementara saat itu Abu Sufyan bin Harb, Attab bin Usaid, dan Al-Harits bin Hisyam sedang duduk di serambi Ka’bah. Attab berkata, “Allah telah memuliakan Usaid (ayahnya), tanpa mendengar seruan ini. Jika mendengamya tentu membuatnya marah.”
Al-Harits menyahut,”Demi Allah, andaikan saja aku tahu bahwa itu adalah benar, tentu aku akan mengikutinya.”
Abu Sufyan menyahut, “Demi Allah, aku tidak akan berkomentar apa-apa. Andaikan aku bicara, kerikil-kerikil ini tentu akan berbicara atas nama diriku.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam langsung menemui mereka dan bersabda, “Aku sudah tahu apa yang kalian ucapkan.” Lalu beliau memberitahukan apa saja yang telah mereka ucapkan itu.
Akhimya Al-Harits dan Attab berkata, “Kami bersaksi memang engkau adalah Rasul Allah. Demi Allah, tak seorang pun yang mendengar apa yang kami ucapkan, dan tidak pula kami memberitahukannya kepada seseorang.”
15. Shalat Kemenangan atau Shalat Syukur
Pada hari itu pula Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam masuk ke dalam rumah Ummu Hani binti Abu Thalib, lalu mandi dan shalat delapan rakaat dirumahnya. Saat itu adalah
waktu dhuha. Banyak orang yang menduga itu adalah shalat dhuha. Padahal itu adalah shalat kemenangan.
Saat itu Ummu Hani memberi perlindungan kepada dua orang musyrik dari keluarga besannya. Setelah mengetahui dua orang musyrik itu, Ali bin Abu Thalib, saudaranya, hendak membunuh mereka berdua. Ummu Hani cepat-cepat menutup pintu rumahnya untuk melindungi mereka berdua. Lalu Ummu Hani menceritakan perlindungan yang diaberikan kepada dua orang musyrik itu dan kehendak Ali untuk membunuh mereka. Beliau bersabda, “Kami melindungi siapa pun yang engkau lindungi, wahai Ummu Hani.”
16. Mengeksekusi Para Tokoh Penjahat
Pada hari itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memutuskan untuk mengeksekusi sembilan orang tokoh penjahat. Beliau memerintahkan untuk membunuh mereka sekalipun mereka tertangkap di bawah kain penutup Ka’bah. Sembilan orang itu adalah Abdul Uzza bin Khathal, Abdullah bin Abu Sarh, Ikrimah bin Abu Jahl, Al-Harits bin Nufail bin Wahb, Miqyas bin Shubabah, Habbar bin Al-Aswad, dua biduanita milik Ibnu Khathal yang isi nyanyiannya selalu mencaci maki diri beliau dan Sarah, budak sebagian Bani Abdul Muthalib yang membawa surat Hathib bin Abu Balta’ah.
Apakah mereka ini benar-benar dieksekusi? Tentang Abdullah bin Abu Sarh, dia menemui Utsman bin Affan, karena mereka berdua adalah saudara sesusuan. Abdullah meminta perlindungan kepada Utsman bin Affan. Maka Utsman memintakan amnesti kepada beliau. Beliau diam cukup lama dan tidak menanggapi permintaan amnesti itu, dengan harapan para sahabat segera menghampiri Abdullah bin Abu Sarh dan membunuhnya. Sebelum itu Abdullah bin Sarh sudah masuk Islam dan juga ikut hijrah ke Madinah. Tetapi kemudian dia murtad dan kembali lagi ke Makkah.
Ikrimah bin Abu Jahl melarikan diri ke Yaman, lalu istrinya memintakan amnesti baginya. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memberi amnesti, istrinya menyusul ke Yaman, lalu mereka berdua kembali lagi ke Makkah dan Ikhrimah masuk Islam.
Sedangkan Ibnu Khathal berjuntai di kain penutup Ka’bah. Seseorang menemui beliau dan mengabarkannya. Beliau bersabda,”Bunuhlah dia!” Maka orang itu membunuhnya.
Sedangkan Miqyas bin Shubabah dibunuh Numailah bin Abdullah.
Sebelumnya, Miqyas pernah masuk Islam Suatu ketika dia pergi bersama kaum Anshar, lalu membunuhnya. Kemudian dia murtad dan bergabung bersama orang-orang musyrik.
Al-Harits bin Nufail adalah orang yang dahulu seringkali menyiksa dan mengganggu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam saat di Makkah. Dia dibunuh Ali bin Abu Thalib.
Habbar binAl-Aswad adalah orang yang dahulu pernah menghalang-halangi Zainab binti Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam saat hendak hijrah ke Madinah. Dia mengguncang guncangkan sekedup yang ditunggangi Zainab hingga putri beliau itu jatuh ke atas tanah. Akibatnya, dia keguguran. Pada saat penaklukan Makkah ini dia berhasil melarikan diri, kemudian masuk Islam dan Islamnya menjadi bagus.
Salah seorang dari dua biduanita dibunuh, sebagai perlindungan bagi yang lain, lalu dia masuk Islam Sarah juga mendapat perlindungan lalu masuk Islam.
Menurut penuturan Ibnu Hajar, Abu Ma’syar menyebutkan bahwadi antara orang yang dijatuhi hukuman mati adalah Al-Harits bin Ath-ThulatilAI-Khuza’i, yang dibunuh Ali bin Abu Thalib. Al-Hakim juga menyebutkan bahwa ada pula nama Ka’b bin Zuhair. Kisah tentang dirinya cukup terkenal yang kemudian masuk Islam dan mendapat pujian. Al-Hakim juga menyebutkan nama Wallsy bin Harb, Hindun binti Uthbah, istri Abu Sufyan yang masuk Islam, Amab, budak perempuan milik ibnu Khathal yang juga dibunuh, Ummu Sa’d yang juga dibunuh menurut riwayat Ibnu Ishaq. Jadi jumlah mereka yang dibunuh ada delapan orang laki-laki dan enam orang perempuan. Tetapi boleh jadi Amab dan Ummu Sa’d ini adalah biduanita yang ikut dibunuh. Ada perbedaan nama keduanya, karena pertimbangan julukan dan panggilan mereka.
17. Shafwan bin Umayyah dan Fadhalah bin Umair Masuk Islam
Shafwan termasuk orang yang tidak dijatuhi hukuman mati. Tetapi sebagai pemimpin Quraisy yang besar, dia merasa takut terhadap keselamatan dirinya. Karena itu dia melarikan diri. Umair bin Al-Wahb memintakan perlindungan bagi dirinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan beliau memberikannya. Bahkan beliau memberinya kain kerudung kepala yang beliau pakai saat memasuki Makkah. Umair segera menyusul Shafwan yang saat itu sudah bersiap-siap naik perahu dari Jiddah dengan tujuan Yaman.
“Beri aku kesempatan dua bulan antuk mengambil keputusan,” kata Shafwan.
“Bahkan engkau diberi kesempatan selama empat bulan,” kata Umair. Kemudian Shafwan masuk Islam. Sedangkan istrinya sudah masuk Islam lebih dahulu. Beliau mengesahkan keduanya berdasarkan pemikahan yang pertama.
Sementara Fadhalah adalah orang yang pemberani. Dia langsung menemui Rasulullah dan secara diam-diam hendak membunuh beliau yang sedang thawaf Setelah saling berhadapan, beliau mengetahui apa yang terbetik dalam hatinya dan beliau justru mengungkapkan hal ini kepadanya. Maka seketika itu pula Fadhalah masuk Islam.
18. Pidato Rasulullah pada Hari Kedua setelah Penaklukan
Pada hari kedua setelah penalukan, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berdiri di hadapan orang-orang untuk menyampaikan pidato. Beliau menyampaikan pujian kepada Allah dan mengagungkan-Nya, kemudian bersabda, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah menyucikan Makkah pada saat dia menciptakan langit dan bumi. Makkah adalah tempat yang suci dengan kesucian Allah hingga Hari Kiamat. Tidak diperkenankan seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat untuk menumpahkan darah di dalamnya atau menebang pohon. Apabila ada seseorang yang menganggap bahwa ada keringanan bagi Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk berperang, maka katakanlah, “Sesunggulinya Allah telah mengizinkan hal itu bagi Rasul-Nya dan tidak mengizinkan bagi kalian.” Kesuciannya telah kembali pada hari ini seperti kesuciannya yang terdahulu. Hendaklah yang hadir di sini menyampaikan hal ini kepada siapa pun yang tidak hadir.”
Dalam suatu riwayat disebutkan, “Tidak boleh menebang tumbuhannya, tidak boleh membawa pergi hasil buruannya, tidak memangut barang yang jatuh kecuali untuk mengumumkarmya, dan tidak boleh memotong rumputnya.”
Al-Abbas berkata, “Wahai Rasulullah, kecuali pohon idzkhir, karena pohon itu digunakan sebagai tiang dan bahan rumah mereka.”
Beliau menjawab, “Kecuali pohon idzkhir.”
Pada waktu itu Khuza’ah membunuh seorang laki-laki dari Bani Laits, sebagai pembalasan dari masa jahiliyah dahulu. Tentang hal ini Rasulullah bersabda, “Wahai Bani Khuza’ah, bebaskalah tangan kalian dari pembunuhan, karena sudah cukup banyak korban sekalipun itu mungkin ada manfaatnya. Kalian sudah membunuh seorang korban dan aku akan membayar tebusannya. Siapa yang membunuh setelah aku beranjak dari tempat ini, maka keluarga korban dapat memilih salah satu dari dua kebaikan. Jika mereka menghendaki dapat memilih darah pembunuhnya, dan jika menghendaki mereka dapat memilih tebusannya.”
Dalam suatu riwayat disebutkan, “Lalu ada seorang laki laki dari penduduk Yaman yang bemama Abu Syah yang berdiri sambil berkata, `Tuliskanlah bagiku hal itu wahai Rasulullah.’ Maka beliau menuliskan isi pidato beliau ini bagi Abu Syak”
19. Kekhawatiran Anshar Andaikan Rasulullah Menetap di Makkah
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, menyelesaikan semua urusan penaklukan Makkah, yang merupakan tanah kelahiran dan negeri beliau, maka orang-orang Anshar saling kasak kusuk di antara mereka, “Apakah menurut kalian Rasulullah akan menetap di Makkah setelah Allah memberikan kemenangan?”
Saat itu beliau sedang berdoa di Shafa sambil mengangkat kedua tangan beliau. Setelah selesai beliau bertanya, “Apa yang kalian katakan?”
“Tidak ada apa-apa wahai Rasulullah,”jawab mereka. Namun mereka tetap memperbincangkan hingga akhirnya mereka menyampaikannya kepada beliau.
Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Aku berlindung kepada Allah, tempat hidup adalah tempat hidup kalian dan tempat mati adalah tempat mati kalian.”
Ketika Allah menaklukkan Makkah bagi Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dan orang-orang Muslim, maka penduduk Makkah sudah bisa membuka matanya, melihat suatu kebenaran. Mereka menyadari bahwa tidak ada jalan keselamatan kecuali Islam. Mereka pun menyatakan masuk Islam dan berkumpul untuk sumpah setia. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam duduk di Shafa untuk membaiat mereka. Sementara Umar bin Al-Khaththab berada di bawah beliau, memegang tangan orang yang dibaiat. Mereka menyatakan sumpah setia kepada beliau untuk taat dan tunduk menurut kesanggupan.
Di dalam Al-Madarik diriwayatkan, bahwa setelah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam selesai membaiat kaum laki-laki, beliau juga membaiat kaum wanita. Saat itu beliau ada di Shafa dan Umar berada di bawah beliau. Beliau membaiat para wanita itu untuk tunduk kepada perintah belian dan menyampaikan apa pun yang berasal dari beliau. Lalu muncul Hindun binti Uthbah, istri Abu Sufyan. Dia datang dengan cara sembunyi-sembunyi, takut kalau-kalau bebau memergokinya karena apa yang dahulu pemah diperbuatnya terhadap jasad Hamzah. Rasulullah bersabda, “Aku membaiat kalian, untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah” Lalu Umar bin Al-Khaththab membaiat mereka untuk tidak menyekutukan sesuatu pun dengan Allah. Beliau bersabda lagi, “Mereka tidak mencuri.”
Hindun berkata, “Sesunggulusa Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Bagaimana jika aku mengambil sedikit dari hartanya?”
Abu Sufyan menyahut, “Apa yang engkau ambil, maka itu halal bagimu.” Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tersenyum mendengar hal itu hingga beliau dapat mengenali Hindun. Beliau bertanya, “Benarkan engkau Hindun?”
“Ya,” jawab Hindun. Dia berkata lagi, “Ampunilah kesalahanku yang telah lampau wahai Nabi Allah, niscaya Allah akan mengampuni engkau pula.” Beliau bersabda lagi, “Mereka tidak berzina.”
Hindun bertanya, “Adakah wanita merdeka yang berzina?”
Beliau bersabda, “Mereka tidak membunuh anak-anak mereka.”
Hindun berkata, “Kami mengasuh mereka sewaktu kecil lalu kalian membunuh mereka setelah besar.”
Sebagaimana yang diketahui bersama, anak Hindun, Hanzhalah telah terbunuh pada waktu Perang Badr. Mendengar ucapan Hindun itu Umar tertawa hingga badannya telentang karena merasa geli. Sementara Nabi hanya tersenyum.
Beliau bersabda lagi, “Mereka tidak membuat kedustaan.”
Hindun berkata, “Demi Allah, kedustaan adalah perkara yang amat buruk, sementara engkau tidak menyuruh kami kecuali kepada petunjuk dan akhlak yang mulia.”
Beliau bersabda lagi, “Mereka tidak mendurhakaiku dalam perkara yang ma’ruf ”
Hindun berkata, “Demi Allah, kami tidak duduk di tempat ini, sementara di dalam relung hati kami ada niat untuk mendurhakai engkau.”
Setelah Hindun kembali ke rumahnya, dia merobohkan berhala di rumalmya sambil berkata, “Dulu kami terpedaya olehmu.”
21. Keberadaan Rasulullah di Makkah
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam di Makkah selama 19 hari Selama itu beliau memperbarui simbol-simbol Islam dan menyampaikan petunjuk kepada orang-orang. Selama itu pula beliau memerintahkan Abu Usaid Al-Khuza’ i untuk memperbarui beberapa bagian di tanah suci. Beliau juga mengirim beberapa kelompok orang untuk berdakwah kepada Islam serta merobohkan semua berhala di sekitar Makkah. Ada yang berseru di Makkah, “Siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka dia tidak boleh membiarkan ada berhala di dalam rumahnya, melainkan dia harus merobohkannya sendiri.”
22. Pengiriman Beberapa Satuan Perang dan Utusan
Setelah suasana menjadi tenang, beliau mengirim beberapa satuan perang dan utusan, di antaranya :
1. Pengiriman Khalid bin AI-Walid untuk mendatangi berhala Uzza di Nakhlah dan menghancurkannya, tepatnya lima hari sebelum habisnya bulan Ramadhan. Berhala ini milik orang-orang Quraisy dan semua Bani Kinanah, juga termasuk berhala mereka yang paling besar. Penjaga berhala ini adalah Bani Syaiban. Khalid pergi ke sana bersama 30 orang penunggang kuda, hingga tiba di sana dan merobohkannya.
Setelah Khalid kembali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau melihat sesuatu?” “Tidak,” jawab Khalid.
“Kalau begitu engkau belum benar-benar merobohkannya. Kembalilah ke sana lagi dan robohkanlah!” sabda beliau.
Dengan hati bergejolak Khalid pergi lagi sambil menghunus pedangnya. Di sana ada seorang wanita berkulit hitam yang keluar di hadapannya dalam keadaan telanjang dan menggeraikan rambutnya. Orang-orang berteriak karena ulah wanita ini. Khalid menebaskan pedangnya ke tubuh wanita itu dan memotongnya menjadi dua bagian. Setelah itu, Khalid kembali dan memberitahukannya apa yang terjadi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda, “Dulu aku sempat putus asa kalau-kalau Uzza akan disembah selama-lamanya di negeri kalian ini.”
2. Pada bulan itu Amru bin Al-Ash juga diutus untuk menghancurkan Suwa’, berhala milik Hudzail di Ruhath, sejauh 3 mil dari Makkah. Setibanya di sana penjaganya bertanya, “Apa maumu?”
Amru menjawab, “Aku disuruh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghancurkan Suwa’.” “Engkau tidak akan sanggup,” kata penjaga.
“Mengapa?”
“Karena engkau akan dihalangi.”
Amru berkata, “Hingga detik ini engkau berada dalam kebatilan. Celakalah engkau. Apakah berhala itu bisa mendengar dan melihat?” Kemudian dia mendekati ke arah Suwa’ lalu menghancurkannya. Dia juga memerintahkan rekan-rekannya untuk menghancurkan tempat penyimpanan barang, dan mereka tidak mendapatkan apa-apa di sana. Kemudian Amru bertanya kepada penjaganya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Kalau begitu aku pasrah kepada Allah,” kata penjaganya.
3. Pada bulan yang sama beliau mengutus Sa’d bin Zaid Al-Asyhali bersama 20 orang untuk untuk mendatangi Manat yang terletak di Al-Musyallal di bilangan Qadid. Manat ini adalah berhala yang dulunya milik Aus, Khamaj, Ghassan, dan lain-lain.
Setibanya di sana, penjaga Manat bertanya, “Apa maumu?” “Menghancurkan Manat,” jawab Sa’d. “Terserah apa maumu,” kata penjaga.
Sa’d mendekati Manat. Tiba-tiba muncul seorang wanita berkulit hitam yang telanjang sambil menggeraikan rambutnya, mendoakan kecelakaan sambil menepuk-nepuk dadanya. Penjaga berkata kepada wanita itu, “Manat sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap dirimu.”
Sa’d menghampiri wanita itu dan membunuhnya. Lalu dia mendekati berhala dan menghancurkannya. Rekan-rekannya menghancurkan tempat penyimpanan barang dan tidak mendapatkan apa-apa di dalamnya.
4. Setelah pulang dari misinya menghancurkan Uzza, Khalid bin Al-Walid diutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Sya’ban ke Bani Jadzimah, dengan tujuan untuk menyeru penduduk di sana kepada Islam dan bukan sebagai prajurit perang. Dia pergi ke sana bersama 350 orang dari Muhajirin dan Anshar serta Bani Sulaim. Dia tiba di sana dan menyeru kepada Islam. Mereka bukannya berkata, “Kami masuk Islam, tetapi mereka justru berkata, “Kami keluar dari agama kami.”
Khalid menjadi berang, dia menyerang dan menawan mereka. Dia menyerahkan seorang tawanan kepada setiap prajuritnya, lalu selang beberapa hari kemudian dia memerintahkan masing-masing prajurit untuk membunuh tawanannya. Namun, Ibnu Umar dan beberapa rekannya menolak perintah Khalid ini. Ibnu Umar dan beberapa rekannya ini menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan peristiwa ini. Beliau mengangkat tangan ke atas sambil bersabda, “Ya Allah, aku berlepas diri kepada-Mu dari apa yang telah dilakukan. Beliau mengucapkan hingga dua kali.
Yang membunuh para tawanan itu adalah Bani Sulaim. Sedangkan Muhajirin dan Anshar tidak melakukannya. Setelah itu beliau mengutus Ali bin Abu Thalib dan menyerahkan tebusan dari korban yang terbunuh dan segala kerugian yang mereka alami. Khalid dan Abdurrahman bin Auf terlibat dalam perdebatan yang sengit pada waktu itu. Setelah mendengar kejadiannya, beliau bersabda kepada Khalid, “Sebentar wahai Khalid. Biarkanlah para sahabatku. Demi Allah, andaikan Uhud ini gunung emas kemudian engkau menafkahkan semuanya fi sabilillah, maka hal ini tidak akan bisa menyamai kepergian para sahabatku pada waktu pagi maupun petang hari.’
Itulah perang penaklukkan Makkah, suatu peperangan yang sangat menentukan dan kemenangan yang besar untuk menumpas dan menghancurkan eksistensi paganisme hingga tuntas, tidak memberi peluang dan kesempatan bagi kehidupan paganisme di seluruh Jazirah Arab. Sebelum saat penaklukkan Makkah ini, semua orang menunggu-nunggu bagaimana babak akhir permusuhan yang sudah sekian lama berjalan antara orang-orang Muslim dan penyembah berhala. Sebenarnya semua kabilah sadar bahwa tanah suci tidak bisa dikuasai kecuali oleh orang-orang yang berada di atas kebenaran.
Keyakinan mereka seperti ini semakin kuat tertanam di dalam lubuk hati mereka sejak setengah abad yang lalu, yaitu saat pasukan penunggang gajah (pasukan yang dipimpin Abrahah) menyerang Ka’bah, dengan tujuan untuk menghancurkannya. Akibatnya, pasukan mereka hancur lebur seperti daun daun yang habis dimakan ulat.
Perjanjian Hudaibiyah mempakan permulaan dari sinyal datangnya kemenangan yang besar ini. Dengan dikukuhkannya perjanjian ini, semua orang merasa aman. Setiap orang mengobrol dengan yang lain, memperbincangkan masalah Islam. Orang-orang Muslim yang sebelumnya menyembunyikan keislamannya di Makkah, menjadi berani menampakan agamanya dan bahkan berani berdakwah serta berdebat dengan orang lain. Alhasil cukup banyak orang yang masuk Islam Sehingga jumlah pasukan Muslimin ini di berbagai pertempuran sebelumnya yang tak lebih 3000 prajurit, dalam peperangan penaklukkan Makkah ini jumlah mereka tak kurang dari 10.000 prajurit.
Peperangan penaklukkan Makkah ini bisa membuka mata manusia dan mampu mengenyahkan tabir terakhir yang selalu menghalangi dan menyelubangi Islam. Dengan penaklukkan ini pula, orang-orang Muslim bisa memegang kendali kekuasaan politik dan agama secara sekaligus di seluruh Jazirah Arab. Kekuasaan agama dan keduniaan benar-benar telah beralih ke tangan mereka.
Tahapan yang pemah dirintis setelah gencatan senjata dan Perjanjian Hudaibiyah bagi kepentingan orang-orang Muslim benar-benar telah tuntas dan komplit dengan adanya kemenangan yang nyata ini. Setelah itu dimulailah tahapan bam untuk kepentingan orang-orang Muslim secara keseluruhan.
Kekuasaan yang sudah terpegang di tangan ini benar-benar membantu untuk menguasai keadaan. Tidak ada pilihan bagi katun Arab kecuali mengirim utusan kepada Rasulullah, lalu mereka menyatakan kesediaan untuk masuk Islam dan menyebarkan dakwahnya ke seluruh dunia. Misi dakwah ke seluruh dunia ini dapat ditempuh selama dua tahun setelah itu.
Sumber : Kitab Sirah Nabawiyah – Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury