Perebutan kekuasan di Mesir dimasa Khalifah Ali bin Thalib رضي الله عنه
Amir Mesir pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan adalah Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh. Ketika kelompok Khawarij Mesir bersiap-siap berangkat menemui Utsman untuk membunuhnya, orang yang mem-persiapkan rombongan mereka selain Abdullah bin Saba’ -yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnus Sauda’- adalah Muhammad bin Abi Hudzaifah bin Utbah. Sewaktu ayahnya (Abu Hudzaifah) terbunuh pada peperangan Yamamah, ia mewasiatkan agar menyerahkan puteranya (yakni Muhammad) kepada Utsman. Maka Utsmanpun memelihara dan mengasuhnya di rumahnya. Utsman banyak berbuat baik kepadanya. Lalu bocah inipun tumbuh dengan baik, rajin beribadah dan zuhud.
Kemudian saru hari ia meminta kepada Utsman agar memberinya jabatan. Utsman berkata kepadanya, “Jika engkau telah mampu aku akan memberimu jabatan.”
Namun hatinya menggerutu terhadap Utsman. Kemudian ia meminta kepada Utsman agar diizinkan keluar berperang. Utsman mengizinkannya. Lalu iapun berangkat ke negeri Mesir. la bergabung bersama amir Mesir Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh dalam peperangan ash-Shawari. Sejak saat itu mulailah ia mencela Utsman. Sikapnya itu didukung pula oleh Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq. Maka Ibnu Abi Sarh pun menu-lis surat kepada Utsman dan mengadukan perihal mereka berdua. Namun Utsman tidak menghiraukan keduanya.
Demikianlah sikap Muhammad bin Abi Hudzaifah hingga akhirnya ia melepas rombongan yang berangkat mengepung Utsman. Ketika sampai kepadanya bahwa mereka telah mengepung Utsman, ia mengambil alih secara paksa kekuasaan negeri Mesir dan mengusir Ibnu Abi Sarh. Ia mengimami kaum muslimin shalat di sana. Di tengah perjalanan dalam pengusirannya sampailah ke telinga Ibnu Abi Sarh berita terbunuhnya Utsman, ia berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Kemudian sampai pula kepadanya berita bahwa Ali bin Abi Thalib ra. mengirim Qais bin Sa’ad bin Ubadah sebagai amir negeri Mesir. Ia gembira melihat kehancuran yang sebentar lagi menimpa Muhammad bin Abi Hudzaifah yang tidak sampai setahun menguasai negeri Mesir.
Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh berangkat ke Syam. Ia melaporkan kondisinya selama menjabat sebagai amir di Mesir. Ia menceritakan bahwa Muhammad bin Abi Hudzaifah sekarang berkuasa di sana. Maka Mu’awiyah mengutus Amru bin al-‘Ash dengan tugas mengeluarkan Muhammad bin Abi Hudzaifah dari Mesir. Karena dialah penyokong terbesar atas terbunuhnya Utsman. Padahal Utsmanlah yang telah memelihara dan mengasuhnya serta banyak berbuat baik kepadanya.
Amru bin al-‘Ash berusaha memasuki negeri Mesir, pada awalnya ia tidak mampu menembusnya. Namun ia terus berusaha dengan segala macam tipu daya hingga beliau berhasil mengusir Muhammad bin Abi Hudzaifah ke al-‘Arisy. Lalu Amru mengurungnya dan menghujaninya dengan mortir hingga Muhammad bin Abi Hudzaifah bersama tiga puluh orang pasu-kannya tewas. Demikianlah kisah yang dicantumkan oleh Muhammad bin Jarir.[1100]
Pada tahun 36 H Ali bin Abi Thalib ra. menyerahkan kekuasaan negeri Mesir kepada Qais bin Sa’ad bin Ubadah al-Anshari. Sa’ad berangkat menuju Mesir dan masuk ke Mesir bersama tujuh orang. Beliau naik mimbar lalu membacakan kepada penduduk Mesir surat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. dan pengangkatannya sebagai amir Mesir.”[1101]
Ibnu Katsir berkata, “Kemudian Qais bin Sa’ad bangkit dan berkhutbah di hadapan manusia serta mengajak mereka berbai’at kepada Ali bin Abi Thalib ra. Orang-orang pun bangkit dan membai’atnya. Seluruh negeri Mesir berada di bawah ketaatannya kecuali daerah bernama Khiribta [1102]. Di sana terdapat beberapa orang yang menganggap besar peristiwa terbunuhnya Utsman. Mereka terdiri dari para tokoh dan sesepuh. Jumlah mereka sekitar sepuluh ribu orang. Di antaranya adalah Busr bin Abi Artha’ah, Maslamah bin Mukhallad, Mu’awiyah bin Hudaij dan sejumlah tokoh besar lainnya. Mereka dipimpin oleh seorang lelaki bernama Yazid bin al-Harits al-Mudlaji. Mereka mengirim utusan menemui Qais bin Sa’ad lalu beliau mengajak mereka berdamai.[1103]
Kemudian setelah seluruh daratan Syam berada di bawah kekuasaannya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan menulis surat kepada Qais bin Sa’ad mengajaknya untuk menuntut atas tertumpahnya darah Utsman dan menga-jaknya agar mendukung gerakan menuntut darah Utsman yang sedang ia galang tersebut. Setelah surat Mu’awiyah sampai ke tangan Qais beliau adalah orang yang bijak- beliau tidak menyelisihinya dan tidak pula menyetujuinya. Namun beliau berusaha mengambil simpati Mu’awiyah. Karena kedudukannya yang jauh dari Ali dan dekatnya ia dengan negeri Syam, apalagi Mu’awiyah memiliki pasukan yang besar. Qais berusaha mengajaknya berdamai dan membiarkannya. Namun Mu’awiyah menulis surat kepadanya, “Sesungguhnya tidak ada gunanya bagimu sikapmu yang terus menunda-nunda dukungan terhadapku serta tipu dayamu terhadapku. Aku harus tahu engkau berada di pihakku atau musuhku.”
Ternyata Mu’awiyah juga seorang yang bijak. Setelah terus dipaksa akhirnya Qais menulis surat balasan kepada Mu’awiyah yang isinya, “Aku berada di pihak Ali karena ia lebih berhak memegang urusan ini ketimbang engkau.” Ketika sampai jawaban tersebut kepada Mu’awiyah, putuslah harapannya terhadap Qais. Kemudian sebagian penduduk Syam menyebarkan berita burung bahwa Qais berkirim surat secara sembunyi-sembunyi kepada mereka dan berkomplot dengan mereka melawan penduduk Iraq.
Ibnu Jarir meriwayatkan [1104] bahwa sampailah kepada Ali surat berisi bai’at Qais kepada Mu’awiyah. Setelah surat itu diterima oleh Ali, beliau ingin menguji Qais dan ingin memastikan kebenaran isu tersebut. Beliau menulis surat kepada Qais yang isinya perintah untuk memerangi penduduk Khiribta yang menolak berbai’at kepadanya. Qais menulis surat balasan isinya meminta udzur kepada Ali bahwa jumlah mereka sangat banyak dan mereka adalah para tokoh yang terpandang. Dalam suratnya itu Qais menyatakan, “Sesungguhnya engkau memerintahkanku seperti itu hanya untuk mengujiku. Karena engkau telah mencurigai ketaatanku kepadamu. Tunjuk-lah amir selain aku untuk wilayah Mesir.”
Maka Ali mengirim al-Asytar an-Nakha’i. Iapun berangkat menuju Mesir. Sesampainya di Qalzam ia meminum seteguk madu dan itulah penyebab kematiannya. Sampailah berita itu ke telinga penduduk Syam, mereka bersorak, “Sesungguhnya Allah SWT. memiliki tentara yakni madu!” Sampai pula berita kematian al-Asytar kepada Ali. Kemudian beliau mengutus Muhammad bin Abi Bakar sebagai amir di Mesir. Maka Qais pun pulang ke Madinah. Kemudian ia bersama Sahal bin Hunaif berangkat menemui Ali. Qais menyampaikan alasan-alasannya dan meminta udzur kepada Ali. Ali menerima alasannya. Kemudian Qais mengikuti peperangan Shiffin bersama Ali. Muhammad bin Abi Bakar tetap memerintah negeri Mesir. Hingga usai peperangan Shiffin dan kesepakatan tahkim (perundingan), penduduk Mesir berusaha mengenyahkan Muhammad bin Abi Bakar. Mereka semakin berani melawannya dan menampakkan sikap bermusuhan terhadapnya.
Sepulangnya Ali dari peperangan Shiffin sampailah berita kepadanya bahwa penduduk Mesir sudah memandang rendah Muhammad bin Abi Bakar, seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh enam tahun. Ali berniat mengirim kembali Qais bin Sa’ad ke Mesir. Saat itu Ali telah mengangkatnya menjadi kepala angkatan bersenjata. Namun beliau tidak sempat mengirimnya karena kondisi di Mesir dan Iraq yang sedang kacau.
Sementara Mu’awiyah menunjuk Amru bin al-’Ash sebagai amir Mesir bilamana ia mampu menaklukkannya. Kemudian Mu’awiyah menulis surat kepada Maslamah bin Mukhallad al-Anshari dan Mu’awiyah bin Hudaij as-Sakuni, keduanya adalah pemimpin kelompok pro Utsman di negeri Mesir. Mu’awiyah mengirim berita bahwa pasukan dari Syam akan segera datang kepada mereka. Setelah surat itu sampai ke tangan Maslamah dan Mu’awiyah bin Hudaij, keduanya gembira menyambutnya dan segera mengirim surat jawaban berisi sambutan baik, dukungan dan bala bantuan untuknya dan untuk pasukan yang dikirimnya.
Saat itula Mu’awiyah mengirim Amru bin al-‘Ash bersama enam ribu personil. Mu’awiyah melepas pasukan dengan memberi ucapan selamat dan memberi wasiat agar bertakwa kepada Allah SWT., berlaku lembut, sabar dan santun. Hendaklah memerangi orang yang memerangi, membiarkan orang yang melarikan diri dan mengajak manusia kepada perdamaian danpersatuan. Mu’awiyah berpesan kepada Amru, “Apabila engkau memperoleh kemenangan maka jadikanlah para pendukungmu sebagai orang yang paling engkau utamakan.”
Amru pun berangkat dan ketika beliau bersama rombongan memasuki Mesir, kelompok pro Utsman menyambut dan mengawal mereka. Amru menulis surat kepada Muhammad bin Abi Bakar,”Amma ba’du, menyingkirlah dariku demi keselamatan dirimu. Sesungguhnya aku tidak ingin sedikitpun mencederai dirimu walau seujung kuku. Sesungguhnya rakyat di negeri ini telah bersepakat menyelisihi perintahmu dan menolak segala titahmu. Mereka menyesal telah mengikutimu. Mereka membiarkan dirimu pergi apabila engkau menjauh dari masalah ini. [1105] Keluarlah dari negeri ini sesungguhnya aku termasuk orang yang memberi nasihat kepadamu, wassalam.”[1106]
Lalu Muhammad bin Abi Bakar menulis surat kepada Ali, memberitahukan kepadanya perihal kedatangan Amru ke Mesir dengan pasukan yang dikirim oleh Mu’awiyah. Dalam suratnya Muhammad bin Abi Bakar memberi ultimatum, “Jika engkau masih punya kepentingan di negeri ini maka kirimlah kepadaku perbekalan dan pasukan, wassalam.”
Ali menulis jawaban berisi perintah agar ia bersabar dan menghadapi musuh dengan tegar. Beliau menjanjikan akan mengirim perbekalan dan orang-orang serta akan mengirim bala bantuan pasukan yang besar. Muhammad bin Abi Bakar berpidato di hadapan rakyat Mesir memotivasi mereka berjihad dan menghadang pasukan Syam yang datang menyerang mereka. Amru bin al-Ash dan pasukan bergerak memasuki Mesir diikuti oleh sebagian penduduk Mesir yang bergabung bersama mereka. Seluruhnya berjumlah sekitar enam belas ribu pasukan. Di lain pihak Muhammad bin Abi Bakar berangkat dengan lebih kurang dua ribu pasukan berkuda. Mereka adalah penduduk Mesir yang merelakan diri ikut serta bersamanya. Beliau menunjuk Kinanah bin Bisyr di depan memimpin pasukan. Setiap kali ber-papasan dengan pasukan Syam langsung mereka serang. Melihat itu, Amru bin al-‘Ash mengirim Mu’awiyah bin Hudaij ke depan. Mu’awiyah bin Hudaij maju dan berhasil mengambil tempat di belakang pasukan Muhammad bin Abi Bakar.
Kemudian pasukan Syam bergerak maju ke depan mengurung mereka dari segala arah. Lalu Kinanah menyergap ke depan seraya meneriakkan firman Allah SWT., “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah SWT., sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (Ali Imran: 145).
Ia berperang hingga akhirnya terbunuh. Selanjutnya tercerai berailah pasukan Muhammad bin Abi Bakar. Iapun mengambil inisiatif mundur. Ia melihat bangunan yang sudah runtuh lalu bersembunyi di dalamnya. Lalu Amru bin al-‘Ash memasuki kota Kairo. Sementara Mu’awiyah bin Hudaij pergi mencari Muhammad bin Abi Bakar. Di tengah jalan ia bertemu dengan rombongan orang-orang kafir. Ia bertanya kepada mereka:” Apakah kalian melihat seseorang yang mencurigakan?” Mereka menjawab, “Tidak ada!” Lalu salah seorang dari mereka berkata, “Sesungguhnya aku melihat seorang lelaki duduk di reruntuhan bangunan ini.” Mu’awiyah bin Hudaij berseru, “Demi Rabb Ka’bah, itulah dia!” Mere-kapun meringkusnya lalu mengeksekusinya.
Ketika berita kematian Muhammad bin Abi Bakar sampai kepada ‘Aisyah ra., beliau sangat terpukul sekali. Beliau memeluk keluarganya, termasuk di antaranya al-Qasim, putera Muhammad bin Abi Bakar.
Al-Waqidi menyebutkan bahwa Amru bin al-‘Ash datang ke Mesir bersama empat ribu pasukan, termasuk di dalamnya Abul A’war as-Sulami. Mereka berpapasan dengan pasukan Mesir di Musannat, lalu terjadilah pertempuran hebat di tempat itu. Hingga Kinanah bin Bisyr at-Tujibi tewas dalam pertempuran tersebut. Lalu Muhammad bin Abi Bakar melarikan diri, beliau bersembunyi di rumah seorang yang bernama Jabalah bin Masruq, namun orang ini memberitahu tempat persembunyian beliau. Selanjutnya Mu’awiyah bin Hudaij dan pasukannya datang mengepungnya. Muhammad bin Abi Bakar keluar dari tempat persembunyiannya dan menyerang mereka hingga akhirnya beliau terbunuh.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Shafar tahun 38 H. [1107]
Abu Mikhnaf meriwayatkan dengan sanadnya [1108], bahwa ketika sampai kepada Ali berita tentang terbunuhnya Muhammad bin Abi Bakar, peristiwa yang terjadi di tanah Mesir, Amru bin al-‘Ash yang berhasil menguasai Mesir dan kesepakatan rakyat Mesir tunduk di bawah kekuasaan Amru bin al-‘Ash dan Mu’awiyah, beliau berpidato di hadapan rakyat Iraq, beliau memotivasi mereka berjihad dan sabar menghadapi musuh-musuh mereka pasukan Syam dan Mesir. Beliau menjanjikan mereka untuk berkumpul di Jara’ah, daerah antara Kufah dan Herat.
Keesokan harinya beliau keluar dan berangkat menuju Jara’ah. Sesampainya di sana ternyata tidak ada seorangpun yang datang. Sore harinya beliau mengundang para tokoh-tokoh kabilah. Mereka datang menemui Ali yang saat itu kelihatan sangat bersedih. Ali mencela sikap mereka itu. Lalu bangkitlah Malik bin Ka’ab al-Hamdani al-Arhubi, ia mengajak rakyat Iraq untuk melaksanakan perintah Ali, mendengar itu serta merta mereka taat kepada beliau. Dua ribu orang menyambut seruan itu. Ali bin Abi Thalib ra. menunjuk Malik bin Ka’ab sebagai pemimpin pasukan berjumlah dua ribu orang tersebut. Mereka dibagi menjadi lima kelompok.
Kemudian sejumlah pasukan yang berperang bersama Muhammad bin Abi Bakar di Mesir datang menghadap Ali bin Abi Thalib ra. . Mereka menceritakan peristiwa yang telah terjadi di sana, tentang terbtinuhnya Muhammad bin Abi Bakar dan perihal kekuasaan Amru di Mesir yang semakin kokoh. Mendengar informasi itu Ali mengirim utusan kepada Malik bin Ka’ab yang berada di tengah perjalanan supaya kembali. Karena beliau mengkhawa-tirkan keselamatan mereka dari serangan pasukan Syam sebelum mereka tiba di Mesir.
Referensi :
[1100] Tarikh ath-Thabari 1V/546).
[1101] Lalu beliau menyebutkan isi surat Ali, di dalamnya terdapat kata-kata mungkar dan tidak shahih dari Ali. Riwayat tersebut dikeluarkan oleh ath-Thabari dalam Tar/khnya, 4/548, dalam sanadnya terdapat Hisyam bin Muhammad al-Kalbi, ia adalah seorang penganut paham Rafidhah matruk dan tidak tsiqah. Di dalam sanadnya juga terdapat Abu Mikhnaf Luth bin Yahya. Ia sama seperti di atas seorang sejarawan syi’ah tidak tsiqah {Mizanul I’tidal, 4/304 dan 3/419).
[1102] Khiribta adalah nama sebuah tempat di Mesir dekat al-Iskandariyah (silahkan lihat Mu’jamulBuldan, 2I4 )
[1103] Tarikh ath-Thabari, 4/549, dari jalur Hisyam al-Kalbi dari Abu Mikhnaf.
[1104] Tarikh ath-Thabari, 4/553, zhahirnya kisah ini adalah palsu.
[1105] Al-Bithan adalah tali kekang yang diletakkan di perut bagian bawah unta, di situ terdapat dua rantai, Jika kedua rantai itu disatukan maka akan menjadi ketatlah ikatan. Ini merupakan satu peribahasa bagi orang yang menjauhkan diri dari kebuwkan. Silahkan ithat Mu’jamul Amtsai, 3/102.
[1106] Tarikh ath-Thabari, 5/101.
[1107] Ibnu Jarir memuat cerita yang hampir sama dengan di atas dalam Tarikfmya, 5/105.
[1108] Tarikh ath-Thabari, 5/106.
Sumber : https://hbis.wordpress.com/2010/03/17/perebutan-kekuasaan-di-mesir-dimasa-khalifah-ali-bin-abi-thalib/