• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Selasa, 3 Desember 2024

Ilmu Rijalul Hadits

Bagikan

I. PENGERTIAN ISNAD DAN URGENSINYA
II. MUNCULNYA ILMU RIJAAL
III. CABANG-CABANG ILMU RIJAL
IV. SEKILAS TENTANG ILMU THOBAQAT
V. THABAQAT RUWAAT (RIJALUL ISNAD)
VI. MADAARISUL ‘ILM AL UULA (Madrasah-2 ilmu yang pertama kali muncul)

I. PENGERTIAN ISNAD DAN URGENSINYA

Sanad adalah pengabaran (penyampaian) dengan melalui matan. Sedangkan isnad maknanya adalah mengangkat hadits (ucapan) sampai kepada orang yang mengucapkannya. Para Muhadditsin menggunakan istilah sanad dan isnad untuk hal yang sama, yakni silsilah (rangkaian) rijaal (periwayat hadits) yang menyampaikan ke matan. Adapun matan adalah apa yang sampai padanya ujung sanad berupa ucapan.

Isnad merupakan suatu kekhususan yang utama bagi ummat ini dimana dia tidak ada pada ummat-ummat terdahulu. Oleh karena itulah hilang atau berubahlahlah kitab-kitab samawiyah yang ada pada mereka. Sebagaimana telah hilang hadits-hadits (ucapan dan berita) tentang nabi-nabi mereka dan posisinya digantikan oleh kebohongan dan kedustaan.

Isnad memiliki kedudukan yang agung dalam Islam, karena asalnya adalah ummat menerima agama ini dari sahabat dan mereka menerimanya dari Rasulullah shallallohu alaihi wasallam dan beliau menerimanya dari Rabbul-izzah baik dengan perantara ataupun tidak. Dan diriwayatkan dengan jalan shohih dari Abdullah bin Abbas radhiyallohu anhuma bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :

تَسْمَعُونَ وَيُسْمَعُ مِنْكُمْ وَيُسْمَعُ مِمَّنْ سَمِعَ مِنْكُمْ

Artinya : “Kalian mendengar lalu didengar dari kamu dan didengar dari yang mendengar dari kamu” (HR. Abu Daud dan Ahmad, keduanya dengan sanad yang shohih)

Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah bin Mubarak bahwasanya beliau berkata:

« الْإِسْنَادُ مِنْ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ »

“Isnad itu bagian dari din, kalaulah bukan isnad maka orang akan mengatakan sekehendaknya”

Dan beliau (Muslim) meriwayatkan juga dengan isnadnya dari Ibnu Sirin ucapannya :

« إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ »

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agama kamu”

Imam Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Imam Abdullah ibnul Mubarak bahwa ia berkata:

« بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْقَوَائِمُ يَعْنِي الْإِسْنَادَ »

“Antara kita dengan kaum-kaum itu (yang berdusta atas nama hadits) adalah isnad”

Ibnu Hibban meriwayatkan dari Imam Sofyan Ats Tsauri ucapannya :

«الإِسْنَادُ سِلَاحُ المُؤْمِنِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ السلَاح فَبِأَي شَيءٍ يُقَاتِلُ»

“Isnad itu adalah senjata seorang mukmin, maka kalau ia tidak punya senjata dengan apa ia berperang?”

II. MUNCULNYA ILMU RIJAAL

1. Mulainya penggunaan isnad

Penggunaan isnad ini sebenarnya telah ada di masa sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam yaitu bermula dari sikap taharri (kehati-hatian) mereka terhadap berita yang datang kepada mereka, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallohu anhu dalam kisah nenek yang datang meminta bagian warisan, kemudian kisah Umar bin Al Khaththab radhiyallohu anhu dalam peristiwa isti’dzan (minta izinnya) Abu Musa, juga kisah tatsabbut (klarifikasi) Ali bin Abi Thalib radhiyallohu anhu dimana beliau meminta bersumpah bagi orang yang menyampaikan padanya hadits Rasulullah shallallohu alaihi wa sallam.

Hanya saja makin banyaknya pertanyaan terhadap isnad dan makin intensnya orang meneliti dan memeriksa isnad, itu mulai terjadi setelah terjadinya fitnah Abdullah bin Saba dan pengikut-pengikutnya yaitu di akhir-akhir kekhalifaan Utsman bin Affan radhiyallohu anhu dan penggunaan sanad terus berlangsung dan bertambah seiring dengan menyebarnya para Ashabul-ahwaa(pengikut hawa nafsu) di tengah-tengah kaum muslimin, juga banyaknya fitnah yang mengusung kebohongan sehingga orang-orang tidak mau menerima hadits tanpa isnad agar supaya mereka mengetahui perawi-perawi hadits tersebut dan mengenali keadaan mereka.

Imam Muslim meriwayatkan dengan isnadnya dari Muhammad bin Sirin bahwasanya beliau berkata :

« لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنْ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتْ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ «

“Dahulu orang-orang tidak pernah menanyakan isnad, akan tetapi setelah terjadi fitnah maka dilihat hadits Ahli Sunnah lalu diterima dan dilihat haditsnya ahlil-bida’ lalu tidak diterima (ditolak)”

Ali ibnul Madini mengatakan bahwa Muhammad bin Sirin adalah orang yang selalu melihat hadits dan memeriksa isnadnya, kami tidak mengetahui seorang pun yang lebih dahulu darinya.

2. Munculnya ilmu Rijal

Kemunculan ilmu Rijal merupakan buah dari berkembang dan menyebarnya penggunaan isnad serta banyaknya pertanyaan tentangnya. Dan setiap maju zaman, maka makin banyak dan panjang jumlah perowi dalam sanad. Maka perlu untuk menjelaskan keadaan perawi tersebut dan memisah-misahkannya, apalagi dengan munculnya bid’ah-bid’ah dan hawa nafsu serta banyaknya pelaku dan pengusungnya. Karena itu tumbuhlah ilmu Rijaal yang merupakan suatu keistimewaan ummat ini di hadapan ummat-ummat lainnya.

Akan tetapi kitab-kitab tentang ilmu Rijal nanti muncul setelah pertengahan abad-2. Dan karya tulis ulama yang pertama dalam hal ini adalah kitab At Tarikh yang ditulis oleh Al Laits bin Sa’ad (wafat 175 H) dan kitab Tarikh yang disusun oleh Imam Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H). Imam adz Dzahabi menyebutkan bahwa Al Walid bin Muslim (wafat 195 H) juga memiliki sebuah kitab Tarikh Ar Rijaal, lalu secara berturut-turut muncul karya-karya tulis dalam ilmu ini, dimana sebelum masa kodifikasi ini pembahasan tentang perowi hadits dan penjelasan hal ihwal mereka hanya bersifat musyafahah(lisan), ditransfer sedemikian rupa oleh para ulama dari masa ke masa.

III. CABANG-CABANG ILMU RIJAL

Terbagi kepada dua macam ilmu yang utama. Yaitu:

A. Ilmu Tarikhur Ruwah.
B. Ilmu Jarhu wat Ta’dil.

Dari dua pokok ilmu Rijalil Hadits yang utama itu terpancarlah menjadi beberapa ilmu yang semuanya mencabang kepadanya dengan mempunyai ciri pembahasan yang lebih mengarah kepada hal-hal tertentu. Ilmu cabang itu antara lain:

1. Ilmu Thabaqatir Ruwah; Yaitu suatu ilmu yang mengelompokan para perawi ke dalam suatu angkatan atau generasi tertentu.

2. Ilmu All-Mu’talif wal Mukhtalif; Yakni suatu ilmu yang membahas tentang perserupaan bentuk tulisan dari nama asli, nama samara dan nama keturunan para rawi, namun bunyi bacaannya berlainan.

3. Ilmu Al-Muttafiq wal Muftariq; Yaitu suatu ilmu yang membahas tentang perserupaan bentuk tulisan dan bunyi bacaannya, akan tetapi berlainan personalianya

4. Ilmu Al-Mubhamat; Ilmu yang membahas nama-nama rawi yang tidak disebut dengan jelas.

A. Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah

1. Definisi Ilmu Tarikh al-Ruwah

Di muka telah diterangkan bahwa Ilmu Tawarih ar Ruwah itu termasuk dari ilmu Rijalil Hadits. Jika Ilmu Rijalil hadits itu membicarakan hal ihwal dan biografi para perawi pada umumnya, maka ilmu tawarih ar ruwah ini membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi dilahirkan, dari siapa ia menerima hadits, siapa orang yang pernah mengambil hadits daripadanya dan akhirnya diterangkan pula dimana dan kapan ia wafat.

Dr. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib menta’rifkan ilmu tawarih ar ruwah itu ialah:

هو العلم الذى يعرف برواة الحديث من الناحية التى تتعلق بروايتهم للحديث, فهويتناول بلبيان احوال الرواة وبزكر تاريخ ولادة الراوى ووفا ته وشيوخه وتاريخ سماعه منهم, ومن روى عنه وبلا دهم ومواطنهم ورحلات الراوىوتا ريخ قدومه الى البلدان المختلفة وسماعه من بغض الشيوخ قبل الاختلاط أوبعده وغيردلك مماله صلة بامورالحديث.

“Ilmu untuk mengetahui para rawi dalam hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadits. Karena itu ia mencangkup keterangan tentang hal ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggal kapan mendengar dari guru-gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya, perantauannya, tanggal kunjungannya ke negeri-negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits dari sebagian guru sebelum dan sesudah ia lanjut usia, dan lain sebagainya yang ada hubungannya dengan masalah perhaditsan”.

Secara sederhana ilmu Tawarikh Ar-Ruwah adalah :

هوالتقريف با لوقت الذي تضبط با لاحوال من المواليد والوفيات والوقاءع وغيرها

“Adalah Ilmu yang mempelajari waktu yang membatasi keadaan kelahiran , wafat, peristiwa/kejadian lainnya.”

Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggal kapan mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per hadits.

Atau dalam pengertian lain Ilmu Tawarikh Ar- Ruwah adalah ilmu yang membahas tentang hal keadaan para perawi hadits dan biografinya dari segi kelahiran dan wafat mereka, siapa gurunya siapa muridnya atau kepada siapa mereka menyampaikan periwayatan hadits, baik dari kalangan sahabat, tabi’ maupun tabi’ tabiin.

Tujuan Ilmu ini adalah untuk mengetahui bersambung(muttasil) atau tidaknya sanad suatu hadits. Maksud persaambungan sanad adalah petemuan langsung apakah perawi berita itu bertemu langsung dengan gurunya atau pembawa berita ataukah tidak atau hanya pengakuan saja. Semua itu dapat dideteksi melalui ilmu ini. Muttasilnya sanad ini menjadi salah satu syarat kesahihan suatu hadits dari segi sanad Ilmu ini berkaitan dengan perkembangan riwayat. Para ulama sangat perhatian terhadap ilmu ini dengan tujuan mengetahui para perawi dan meneliti keadaan mereka. Karena dari situlah mereka menimba ilmu agama. Muhammad bin Sirin pernah mengatakan: “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kamu mengambil agamamu” (Muqaddimah Shahih Muslim).

2. Faedah ilmu Tawarih ar-Ruwah

Ilmu ini berkembang bersama berkembangnya ilmu Riwayah. Perhatian para ulama dalam membahas ilmu ini didorong oleh suatu maksud untuk mengetahui dengan sebenarnya hal ihwal para rawi hadits (rijalus sanad). Atas motif tersebut mereka menanyakan kepada para rawi yang bersangkutan mengenai umur dan tanggal kapan mereka menerima hadits dari guru-guru mereka, disamping para ulama tersebut meneliti tenteng identitas para rawi itu.

Mengetahui tanggal lahir dan wafatnya para rawi adalah sangat penting untuk menolak pengakuan seorang rawi yang mengaku pernah bertemu dengan seorang guru yang pernah memberikan hadits kepadanya, padahal setelah diketahui tanggal lahir dan wafat gurunya, mungkin sekali mereka tidak saling bertemu, disebabkan kematian gurunya mendahului daripada kelahirannya.

Jika demikian halnya, maka hadits yang mereka riwayatkan itu sanandnya tidak bersambung. Dengan kata lain faedah mempelajari ilmu tarikhir ruwh ialah mengetahui muttasil atau munqathinya sanad hadits dan untuk mengetahui marfu’ atau mursalnya pemberian hadits.
Mengetahui kampung halaman rawi pun besar faedahnya. Yaitu untuk membedakan rawi-rawi yang kebetulan sama namanya akan tetapi berbeda marga dan kampong halamannya. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rawi-rawi itu banyak yang namanya bersamaan, akan tetapi tempat tinggal mereka berbeda. Tampak faedahnya pula dalam hal ini apabila rawi yang namanya bersamaan itu sebagiannya ada yang tsiqah, sehingga dapat diterima haditsnya, sedang sebagian yang lain adalah tidak tsiqah yang menyebabkan harus ditolak haditsnya.

3. Kitab-kitab Tarikh ar-Ruwah

Jika kita mempelajari dan mengkaji kitab-kitab tentang hal ihwal para rawi ini, kita akan menemukan beberapa kitab tarikh dengan sistem yang berbeda-beda satu sama lain.

Sebagian Muhaditsin dan Muarrikhin (ahli tarikh) dalam menyusun kitab tarikh ar-ruwah mengetengahkan tahun wafat para rawi, lalu diterangkan biografinya dan akhirnya diterangkan pula jumlah hadits-haditsnya.

Sebagian muhaditsin yang lain menyusun kitabnya dengan mengutamakan kota tempaat kelahiran dan domisili para rawi hadits. Dalam sistem ini penulis mengemukakan lebih dahulu tentang keutamaan kota itu beserta para sahabat dan ulama-ulama lain yang berdomisili atau berada ditempat tersebut, dengan diatur secara alfabetis.

Disamping itu ada ulama yang dalam menyusun kitabnya dengan mengutamakan nama asli, samaran, dan laqab para rawi beserta asal-usul orang yang menurunkan mereka. Dan ada pula ulama yang menuliskan berdasarkan kepada angkatan dan generasi (thabaqah) para rawi hadits.

Kitab-kitab tarikhur ruwah yang harus diketahui oleh penggali sunah Rasulullah antara lain:

1. At-Tarikhul Kabir, karya imam Muhammad bin Ismail al-Bukhary (tahun 194-252 H.). dalam kitab tersebut imam Bukhari menerangkan biografi dari guru-gurunya yang pernah memberikan hadits kepadanya baik dari golongan tabi’in maupun sahabat sampai kurang lebih 40.000 orang. Baik merekaa itu laki-laki maupun perempuan, baik mereka yang tsiqah maupun yang gair tsiqah. Nama-nama rawi itu disusun secara alfabetis. akan tetapi nama yang pertama ditaruh pada bab pendahuluan adalah nama yang menggunakan Muhammad. Setiap nam dijadikan satu bab dan disusun secara alfabetis atau arabiyah dengan mengutamakan nama leluhurnya. Kitab tersebut terdiri dari 4 jilid besar-besar. Pada cetakan Haiderabad tahun 1362 H, kitab tersebut dijadikan 8 jilid.[5]

2. Tarikh Nisabur, karya imam Muhammad bin Abdullah Al Hakim An Nisabury ( 321-405 H ). Kitab ini merupakan kitab Tarikh yang terbesar dan banyak faidahnya bagi para fuqoha’. Hanya saja kitab ini telah hilang. Ia hanya ditemukan dalam koleksi cuplikan yang terdiri dari beberapa lembar.

3. Tarikh Bagdad, karya Abu Bakar Ahmad Ali Al Bagdady, yang terkenal dengan nama Al khatib Al Bagdady ( 392-463 H ). Kitab yang besar faidahnya ini memuat biografi darri ulama-ulama besar dalam segala bidang ilmu pengetahuan sebanyak 7831 orang dan disusun secara alfabetis. Perawi-perawi yang tsiqah, lemah dan yang ditinggalkan haditsnya dimasukkan semuanya di dalam kitab ini. Ia terdiri dari 14 jilid dan dicetak di kairo pada tahun 1349 H ( 1931 M ).

Selain kitab-kitab tersebut di atas masih banyak lagi kitab-kitab Tarikh Al Ruwah, antara lain Al Ikmal firaf’il-ibtiyab ‘anil mu’talif wal mukhtalif, karya Al Amir Al Hafidz Abi Nashr ‘Ali bin Hibatillah bin Ja’far yang terkenal dengan nama Ibnu Ma’kula Al Bagdady. Ada juga kitab Tahdzibul Kamal fi asmair-rijal, karya Al Hafidz Jamaludin Abil Hajjad Yusuf Al Mizay Ad-dimasyqy ( 654-742 H ).

B. Ilmu Thabaqat al-Ruwat

1. Pengertian

Ilmu thabaqah itu termask bagian dari ilmu rijalul hadits, karena obyek yang dijadikan pembahasannya ialah rawi-rawi yang menjadi sanad suatu hadits. Hanya saja masalahnya berbeda. Kalau di dalam ilmu rijalul hadits para rawi dibicarakan secara umum tentang hal ihwal, biografi, cara-cara menerima dan memberikan al-hadits dan lain sebagainya, maka dalam ilmu thabaqah, menggolongkan para rawi tersebut dalam satu atau beberapa golongn, sesuai dengan alat pengikatnya.

Thabaqat dalam istilah Muhadditsin adalah suatu kaum yang berdekatan dalam umur dan isnad, atau dalam isnadnya saja, yang mana syuyukh (guru) dari seseorang adalah syuyukh juga bagi yang lain atau mendekati syuyukhnya yang lain.

Asal mula pembagian perawi berdasarkan thabaqat adalah dari tuntunan Islam sendiri, dimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain ra., bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Sebaik-baik ummatku yang ada di zamanku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka…” Kata Imran radhiyallohu anhu, “Saya tidak tahu apakah ia menyebut sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR. Bukhari)

Ilmu ini telah muncul dan berkembang di tangan para ulama hadits sejak abad ke-2 H. Ilmu ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat atas thabaqat berdasarkan perjumpaan mereka terhadap syuyukh, tapi juga berkembang di kalangan muhadditsin kepada pembagian mereka berdasarkan makna dan I’tibar yang lainnya seperti fadhl (keistimewaan) dan sabiqah (kesenioran) sebagaimana dalam hal sahabat, atau hal (keadaan) dan manzilah (kedudukan) seperti yang disebutkan oleh Abbas Ad Dauraqi (wafat 271 H), ada thabaqat fuqaha, thabaqat ruwaat, thabaqaat mufassirin dan seterusnya.

Penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini terus berlanjut dan berkembang hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul system pembagian thabaqat dalam bidang keilmuan yang lain. Misalnya thabaqaat al qurra, thobaqaat al fuqahaa, thobaqaat ash shufiyah, thobaqaat asy syu’ara dan sebagainya.

Imam As Sakhawi mengatakan, “Faidah ilmu thabaqaat ini adalah keamanan dari bercampurnya al mutasyabihin (para rijal hadits yang memiliki kesamaan); seperti yang sama namanya atau kuniyahnya atau yang lain, kita dapat juga menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan membedakannya dari yang musnad…”

2. Thabaqat Ruwaat (Rijalul Isnad)
Ada empat thabaqat yang pokok bagi ruwaat/rijaalul (para perawi) hadits, yaitu :
1) Thobaqah Pertama : Sahabat
Ash-Shahabah merupakan jamak dari Shahabi, dan Shahabi secara bahasa diambil dari kata Ash- Shuhbah, dan ini digunakan atas setiap orang yang bershahabat dengan selainnya baik sedikit maupun banyak. Dan Ash-Shahabi menurut para ahli hadits adalah setiap muslim yang pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meskipun tidak lama pershahabatannya dengan beliau dan meskipun tidak meriwayatkan dari beliau sedikitpun. Imam Bukhari berkata dalam Shahihnya,”Barangsiapa yang pernah menemani Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau melihatnya di antara kaum muslimin, maka dia termasuk dari shahabat-shahabat beliau”.
Ibnu Ash-Shalah berkata,”Telah sampai kepada kami dari Abul- Mudlaffir As-Sam’ani Al-Marwazi, bahwasannya dia berkata : Para ulama hadits menyebut istilah shahabat kepada setiap orang yang telah meriwayatkan hadits atau satu kata dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasalla, dan mereka memperluas hingga kepada orang yang pernah melihat beliau meskipun hanya sekali, maka ia termasuk dari shahabat. Hal ini karena kemuliaan kedudukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan diberikanlah julukan shahabat terhadap setiap orang yang pernah melihatnya”.
Dan dinisbatkan kepada Imam para Tabi’in Sa’id bin Al-Musayyib perkataan : “Dapat dianggap sebagai shahabat bagi orang yang pernah tinggal bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam setahun atau dua tahun, dan ikut berperang bersamanya sekali atau dua kali peperangan”. Ini yang dihikayatkan para ulama ushul- fiqh. Akan tetap Al-‘Iraqi membantahnya,”Ini toadk benar dari Ibnul-Musayyib, karena Jarir bin Abdillah Al-Bajali termasuk dari shahabat, padahal dia masuk Islam pada tahun 10 Hijriyah. Para ulama juga menggolongkan sebagai shahabat orang yang belum pernah ikut perang bersama beliau, termasuk ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat sedangkan orang itu masih kecil dan belum pernah duduk bersamanya”.
Ibnu Hajar berkata,”Dan pendapat yang paling benar yang aku pegang, bahwasannya shahabat adalh seorang mukmin yang pernah berjumpa dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mati dalam keadaan Islam, termasuk di dalamnya adalah orang yang pernah duduk bersama beliau baik lama atau sebentar, baik meriwayatkannya darinya atau tidak, dan orangyang pernah melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam walaupun sekali dan belum pernah duduk dengannya, dan termasuk juga orang yang tidak melihat beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam karena ada halangan seperti buta”
(Lihat Shahih Al-Bukhari tentang kutamaan para shahabat, Ulumul-Hadiits oleh Ibnu Shalah halaman 263 , Al-ba’itsul-Hatsits halaman 179 , Al-Ishabah 1 /4 , Fathul-Mughits 4 /29 . dan Tadriibur-Rawi halaman 396).
2) Thobaqah Kedua : At Taabi’un
3) Thobaqah Ketiga : Atbaa’ut Taabi’in
4) Thobaqah Keempat : Taba’ul Atbaa’
Tingkatan-tingkatan thobaqot yang ada dalam ilmu-ilmu hadis itu terbagi atas beberapa bagian diantaranya :
1. Thobaqot yang pertama : para shahabat (الصحابة)
2. Thobaqot yang kedua : thobaqot kibar tabi’in (كبار التابعين), seperti sa’id bin al-musayyib, dan begitu pula para mukhodhrom. Mukhodhrom (المخضرم) : orang yang hidup pada zaman jahiliyyah dan islam, akan tetapi ia tidak pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman. Misalnya : seseorang masuk islam pada zaman rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia tidak pernah bertemu rasulullah karena jauhnya jarak atau udzur yang lain. Atau seseorang yang hidup sezaman dengan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ia belum masuk islam melainkan setelah wafatnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Thobaqot ketiga : thobaqot pertengahan dari tabi’in (الطبقة الوسطى من التابعين), seperti al-hasan (al-bashri, pent) dan ibnu sirin, dan mereka adalah (berada pada) thobaqot yang meriwayatkan dari sejumlah shahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Thobaqot keempat : tabi’in kecil (صغار التابعين), mereka merupakan thobaqot yang sesudah thobaqot yang sebelumnya (thobaqot ke-3, pent). Kebanyakan riwayat mereka adalah dari kibar tabi’in (thobaqot ke-1, pent). Rowi yang dalam thobaqot ini contohnya adalah az-zuhri dan qotadah.
5. Thobaqot kelima : thobaqot yang paling kecil dari tabi’in (الطبقة الصغرى من التابعين), mereka adalah yang lebih kecil dari yang thobaqot-thobaqot tabi’in yang sebelumnya. Dan mereka adalah termasuk tabi’in, mereka melihat seorang atau beberapa orang shahabat. Contoh thobaqot ini adalah musa bin ‘uqbah dan al-a’masy.
6. Thobaqot keenam : thobaqot yang sezaman dengan thobaqot ke-5 (عاصروا الخامسة), akan tetapi tidak tetap khobar bahwa mereka pernah bertemu seorang shahabat seperti ibnu juraij.
7. Thobaqot ketujuh : thobaqot kibar tabi’ut tabi’in (كبار أتباع التابعين), seperti malik dan ats-tsauri.
8. Thobaqot kedelapan : thobaqot tabi’u tabi’in pertengahan (الوسطى من أتباع التابعين), seperti ibnu ‘uyainah dan ibnu ‘ulaiyyah.
9. Thobaqot kesembilan : thobaqot yang paling kecil dari tabi’ut tabi’in (الصغرى من أتباع التابعين), seperti yazid bin harun, asy-syafi’i, abu dawud ath-thoyalisi, dan abdurrozzaq.
10. Thobaqot kesepuluh : thobaqot tertinggi yang mengambil hadits dari tabi’ut taabi’in (كبار الاخذين عن تبع الاتباع) yang mereka tidak bertemu dengan tabi’in, seperti ahmad bin hanbal.
11. Thobaqot kesebelas : thobaqot pertengahan dari rowi yang mengambil hadits dari tabi’ut tabi’in (الوسطى من الاخذين عن تبع الاتباع), seperti adz-dzuhli dan al-bukhori.
12. Thobaqot keduabelas : thobaqot yang rendah dari rowi yang mengambil hadits dari tabi’ut tabi’in (صغار الاخذين عن تبع الاتباع), seperti at-tirmidzi dan para imam yang enam lainnya yang tertinggal sedikit dari wafatnya para tabi’ut tabi’in, seperti sebagian para syaikh-nya an-nasa’i.[6]
Adapun ulama yang membagi thabaqah shahabah kepada lima thabaqah, tersusun sebagai berikut:
1. Ahli Badar.
2. Mereka yang masuk Islam lebih dulu, berhijrah ke Habsyi dan menyaksian pertemuan-pertemuan sesudahnya.
3. Mereka yang ikut perang Khandaq.
4. Wanita-wanita yang masuk Islam, setelah mekah terkalahka dan sesudahnya.
5. Anak-anak.[7]

DAFTAR PUSTAKA
– Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2004. Pengantar Studi ilmu Hadits.Terj. Mifdhol Abdurrahman, Lc. Jakarta : Pustaka Al-Kausar.
– Dr. H. abdul Majid Khon, M.Ag .2008. Ulumul Hadis . Jakarta : AWZAH
– Drs. Munzier Suparta. 2002. Ilmu Hadis . Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
– Ilmu Ar Rijaal; Nasyatuhu wa tathawwuruh, Prof.Dr. Muhammad bin Mathar Az Zahrani
– Ushul At Takhrij wa Dirasatul Asaaniid, DR. Mahmud Ath Thahhan
– Muqaddimah Tahqiq Syarah Shohih Muslim lin Nawawi, pada pasal Al Isnaadu minad dien oleh Syaikh Khalil Ma’mun Syiha
– http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/ilmu-rijaalul-hadiits/

Para penyusun kitab-kitab dalam ilmu Rijal pada masa-masa awal menempuh beberapa metode sehingga hal ini melahirkan percabangan dalam ilmu rijal al hadits, diantaranya:

1. Kitab-kitab tentang Thobaqat ar Rijal melahirkan ilmu thobaqaat (tingkatan-tingkatan rijal) yang
mencakup 4 thabaqat (sahabat, taabi’un, atbaa’ut tabi’in dan taba’ul atba’)

2. Kitab-kitab Ma’rifah Ash Shohaabah melahirkan ilmu tentang ma’rifatush shohabah (pengenalan
tentang sahabat-sahabat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam)

3. Kitab-kitab al jarh wat ta’dil melahirkan ilmu tentang al jarh wat ta’dil
Ketiga jenis kitab rijal ini pertama kali muncul di sekitar penghujung abad II H dan pertengahan abad
III H, setelah itu menjadi banyak dan meluas

4. Kitab-kitab Tawarikh al Mudun (sejarah kota-kota/negeri-negeri), yang memuat biografi para ruwaat
(rijaalul hadits) pada suatu negeri/kota tertentu. Ilmu ini mulai muncul pada paruh kedua dari
abad III H

5. Kitab-kitab Ma’rifatul Asmaa wa Tamyiizuha (pengenalan terhadap nama-nama perawi dan cara
membedakannya). Ilmu ini muncul agak belakangan dari yang lainnya, yaitu setelah jumlah periwayat
dari yang lainnya, yaitu setelah jumlah periwayat hadits semakin banyak, dan nama kuniyah dan
nasab mereka banyak yang serupa sehingga dibutuhkan pembedaannya.

6. Kitab-kitab biografi rijaal al hadits yang terdapat pada suatu kitab hadits atau beberapa kitab hadits
tertentu. Kitab-kitab ini muncul belakangan dan mulai meluas setelah abad V H.

IV. SEKILAS TENTANG ILMU THOBAQAT

Thobaqat dalam istilah Muhadditsin adalah suatu kaum yang berdekatan dalam umur dan isnad, atau dalam isnadnya saja, yang mana syuyukh (guru) dari seseorang adalah syuyukh juga bagi yang lain atau mendekati syuyukhnya yang lain.

Asal mula pembagian perawi berdasarkan thabaqat adalah dari tuntunan Islam sendiri, dimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyallohu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik ummatku yang ada di zamanku, kemudian yang datang sesudah mereka, kemudian yang datang sesudah mereka…” Kata Imran radhiyallohu anhu, “Saya tidak tahu apakah ia menyebut sesudah masanya dua masa atau tiga” (HR. Bukhari)

Ilmu ini telah muncul dan berkembang di tangan para ulama hadits sejak abad ke-2 H. Ilmu ini tidak terbatas pada pembagian ruwaat atas thabaqat berdasarkan perjumpaan mereka terhadap syuyukh, tapi juga berkembang di kalangan muhadditsin kepada pembagian mereka berdasarkan makna dan I’tibar yang lainnya seperti fadhl (keistimewaan) dan sabiqah (kesenioran) sebagaimana dalam hal sahabat, atau hal (keadaan) dan manzilah (kedudukan) seperti yang disebutkan oleh Abbas Ad Dauraqi (wafat 271 H), ada thabaqat fuqaha, thabaqat ruwaat, thabaqaat mufassirin dan seterusnya

Penyusunan kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu ini terus berlanjut dan berkembang hingga akhir abad-9 H. Bahkan muncul system pembagian thabaqat dalam bidang keilmuan yang lain. Misalnya thabaqaat al qurra, thabaqaat al fuqahaa, thabaqaat ash shufiyah, thabaqaat asy syu’ara dan sebagainya.

Imam As Sakhawi mengatakan, “Faidah ilmu thabaqaat ini adalah keamanan dari bercampurnya al mutasyabihin (para rijal hadits yang memiliki kesamaan); seperti yang sama namanya atau kuniyahnya atau yang lain, kita dapat juga menelaah terjadinya tadlis secara jelas dan menyingkap hakikat an’anah untuk mengetahui hadits yang mursal atau munqathi’ dan membedakannya dari yang musnad…”

V. THABAQAT RUWAAT (RIJALUL ISNAD)

Ada empat thabaqat yang pokok bagi ruwaat/rijaalul (para perawi) hadits, yaitu :

Thabaqah Pertama : Sahabat
Thabaqah Kedua : At Taabi’in
Thabaqah Ketiga : Atbaa’ut Taabi’in
Thabaqah Keempat : Taba’ul Atbaa’

VI. MADAARISUL ‘ILM AL UULA (Madrasah-madrasah ilmu yang pertama kali muncul)

A. Para Imam yang pada mereka beredar riwayat-riwayat di kota-kota pusat ilmu
Menurut Imam Ali ibn Abdullah Al Madini (wafat tahun 234 H) BAHWA ISNAD HADITS ITU BEREDAR (BERPUTAR) PADA 6 orang:

Untuk Penduduk Medinah :
(1) Ibn Syihab yaitu Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Abdillah ibn Syihab Az Zuhri, kuniyahnya adalah Abu Bakar (wafat 124 H)

Untuk Penduduk Mekkah :
(2) Amru ibn Dinar, kuniyahnya Abu Muhammad (wafat 124 H)

Untuk Penduduk Bashrah :
(3) Qatadah ibn Di’amah As Sadusi, kuniyahnya Abul Khaththab (wafat 117 H)
(4) Yahya ibn Abi Katsir, kuniyahnya Abu Nashr (wafat 132 H)

Untuk Penduduk Kufah :
(5) Amru ibn Abdillah As Sabi’I, kuniyahnya Abu Ishaq (wafat 129 H).
(6) Sulaiman ibn Mihran Al A’masy, kuniyahnya Abu Muhammad (wafat 148 H)

Kemudian ilmu mereka 6 ORANG turun kepada tokoh-tokoh 12 ORANG berikut ini :

Untuk Penduduk Medinah :
(1) Malik bin Anas bin Abi ‘Amir Al Ashbahi (wafat 179 H) beliau telah mendengar dari Ibn Syihab Az Zuhri dan
(2) Muhammad bin Ishaq bin Yasar, kuniyahnya Abu Bakar (wafat 152 H) beliau telah mendengar dari Ibn Syihab Az Zuhri dan Al A’masy

Untuk Penduduk Mekkah :
(3) Abdul Malik ibn Abdil Aziz ibn Juraij, Abul Walid (wafat 151 H)
(4) Sufyan in Uyainah bin Maimun Al Hilali, kuniyah beliau Abu Muhammad (wafat 198 H); beliau bertemu Ibn Syihab, Amru ibn Dinar, Abu Ishaq dan Al A’masy

Untuk Penduduk Bashrah :
(5) Said ibn Abi Arubah, kuniyahnya Abun Nadhr (wafat 158/159 H)
(6) Hammad ibn Salamah, kuniyahnya Abu Salamah (wafat 168 H)
(7) Abu ‘Awanah Al Wadhdhah (wafat 175 H).
(8) Syu’bah ibn Hajjaj, kuniyahnya Abu Bistham (wafat 160 H).
(9) Ma’mar ibn Rasyid,
Untuk Penduduk Kufah :
(10) Sufyan ibn Said Ats Tsauri, kuniyahnya Abu Abdillah (wafat 161 H)

Untuk Penduduk Syam : (11) Abdurrahman ibn Amr ibn Al Auza’I, kuniyahnya Abu Amr (wafat 151 H)

Untuk penduduk Wasith : (12) Hasyim ibn Basyir, kuniyahnya Abu Muawiyah (wafat 183 H)

Kemudian ilmu kedua belas orang tersebut sampai kepada 6 orang :

1. Yahya ibn Said Al Qaththan, kuniyahnya Abu Sa’id (wafat 198 H)
2. Yahya ibn Zakariyya ibn Abi Zaidah, kuniyahnya Abu Said (wafat 182 H)
3. Waki’ ibn Al Jarrah, kuniyahnya Abu Sufyan (wafat 199 H)
4. Abdullah ibn Al Mubarak Al Hanzhali, kuniyahnya Abu Abdirrahman (wafat 181 H)
5. Abdurrahman ibn Mahdi Al Asadi, kuniyahnya Abu Said (wafat 198 H)
6. Yahya ibn Adam, kuniyahnya Abu Zakaria (wafat 203 H)

B. Madrasah-madrasah awal

1. Madrasah Madinah Nabawiyyah
2. Madrasah Makkah
3. Madrasah Kufah
4. Madrasah Bashrah
5. Madrasah Syam
6. Madrasah Mesir
7. Madrasah Khurasan

Referensi :
1. Ilmu Ar Rijaal; Nasyatuhu wa tathawwuruh, Prof.Dr. Muhammad bin Mathar Az Zahrani
2. Ushul At Takhrij wa Dirasatul Asaaniid, DR. Mahmud Ath Thahhan
3. Muqaddimah Tahqiq Syarah Shohih Muslim lin Nawawi, pada pasal Al Isnaadu minad dien oleh Syaikh Khalil Ma’mun Syiha

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M