Fikih Haji (8): Kesalahan-Kesalahan Seputar Haji
Dalam pelaksanaan ibadah haji, ternyata masih banyak ditemukan kesalahan. Berikut kesalahan seputar ibadah haji yang sering dilakukan.
Daftar Isi
Kesalahan ketika ihram
- Melewati miqot tanpa berihram seperti yang dilakukan oleh sebagian jamaah haji Indonesia dan baru berihram ketika di Jeddah.
- Keyakinan bahwa disebut ihram jika telah mengenakan kain ihram. Padahal sebenarnya ihram adalah berniat dalam hati untuk masuk melakukan manasik.
- Wanita yang dalam keadaan haidh atau nifas meninggalkan ihram karena menganggap ihram itu harus suci terlebih dahulu. Padahal itu keliru. Yang tepat, wanita haidh atau nifas boleh berihram dan melakukan manasik haji lainnya selain thawaf. Setelah ia suci barulah ia berthawaf tanpa harus keluar menuju Tan’im atau miqot untuk memulai ihram karena tadi sejak awal ia sudah berihram.
Kesalahan dalam thawaf
- Membaca doa khusus yang berbeda pada setiap putaran thawaf dan membacanya secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang pemandu. Ini jelas amalan yang tidak pernah diajarkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Melakukan thawaf di dalam Hijr Isma’il. Padahal thawaf harus dilakukan di luar Ka’bah, sedangkan Hijr Isma’il itu berada dalam Ka’bah.
- Melakukan roml pada semua putaran. Padahal roml hanya ada pada tiga putaran pertama dan hanya ada pada thawaf qudum dan thawaf umrah.
- Menyakiti orang lain dengan saling mendorong dan desak-desakan ketika mencium hajar Aswad. Padahal menyium hajar Aswad itu sunnah (bukan wajib) dan bukan termasuk syarat thawaf.
- Mencium setiap pojok atau rukun Ka’bah. Padahal yang diperintahkan untuk dicium atau disentuh hanyalah hajar Aswad dan rukun Yamani.
- Berdesak-desakkan untuk shalat di belakang makam Ibrahim setelah thawaf. Padahal jika berdesak-desakkan boleh saja melaksanakan shalat di tempat mana saja di Masjidil Haram.
- Sebagian wanita berdesak-desakkan dengan laki-laki agar bisa mencium hajar Aswad. Padahal ini adalah suatu kerusakan dan dapat menimbulkan fitnah.
Kesalahan ketika sa’i
- Sebagian orang ada yang meyakini bahwa sa’i tidaklah sempurna sampai naik ke puncak bukit Shafa atau Marwah. Padahal cukup naik ke bukitnya saja, sudah dibolehkan.
- Ada yang melakukan sa’i sebanyak 14 kali putaran. Padahal jalan dari Shafa ke Marwah disebut satu putaran dan jalan dari Marwah ke Shafa adalah putaran kedua. Dan sa’i akan berakhir di Marwah.
- Ketika naik ke bukit Shafa dan Marwah sambil bertakbir seperti ketika shalat. Padahal yang disunnahkan adalah berdoa dengan memuji Allah dan bertakbir sambil menghadap kiblat.
- Shalat dua raka’at setelah sa’i. Padahal seperti ini tidak diajarkan dalam Islam.
- Tetap melanjutkan sa’i ketika shalat ditegakkan. Padahal seharusnya yang dilakukan adalah melaksanakan shalat jama’ah terlebih dahulu.
Kesalahan di Arafah
- Sebagian jamaah haji tidak memperhatikan batasan daerah Arafah sehingga ia pun wukuf di luar Arafah.
- Sebagian jamaah keluar dari Arafah sebelum matahari tenggelam. Yang wajib bagi yang wukuf sejak siang hari, ia diam di daerah Arafah sampai matahari tenggelam, ini wajib. Jika keluar sebelum matahari tenggelam, maka ada kewajiban menunaikan dam karena tidak melakukan yang wajib.
- Berdesak-desakkan menaiki bukit di Arafah yang disebut Jabal Rahmah dan menganggap wukuf di sana lebih afdhol. Padahal tidaklah demikian. Apalagi mengkhususkan shalat di bukit tersebut, juga tidak ada dalam ajaran Islam.
- Menghadap Jabal Rahmah ketika berdo’a. Padahal yang sesuai sunnah adalah menghadap kiblat.
- Berusaha mengumpulkan batu atau pasir di Arafah di tempat-tempat tertentu. Seperti ini adalah amalan bid’ah yang tidak pernah diajarkan.
- Berdesak-desakkan dan sambil mendorong ketika keluar dari Arafah.
Kesalahan di Muzdalifah
- Mengumpulkan batu untuk melempar jumroh ketika sampai di Muzdalifah sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya’. Dan diyakini hal ini adalah suatu anjuran. Padahal mengumpulkan batu boleh ketika perjalanan dari Muzdalifah ke Mina, bahkan boleh mengumpulkan di tempat mana saja di tanah Haram.
- Sebagian jama’ah haji keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam. Seperti ini tidak disebut mabit. Padahal yang diberi keringanan keluar dari Muzdalifah adalah orang-orang yang lemah dan itu hanya dibolehkan keluar setelah pertengahan malam. Siapa yang keluar dari Muzdalifah sebelum pertengahan malam tanpa adanya uzur, maka ia telah meninggalkan yang wajib.
Kesalahan ketika melempar jumroh
- Saling berdesak-desakkan ketika melempar jumroh. Padahal untuk saat ini lempar jumroh akan semakin mudah karena kita dapat memilih melempar dari lantai dua atau tiga sehingga tidak perlu berdesak-desakkan.
- Melempar jumroh sekaligus dengan tujuh batu. Yang benar adalah melempar jumroh sebanyak tujuh kali, setiap kali lemparan membaca takbir “Allahu akbar”.
- Di pertengahan melempar jumroh, sebagian jama’ah meyakini bahwa ia melempar setan. Karena meyakini demikian sampai-sampai ada yang melempar jumroh dengan batu besar bahkan dengan sendal. Padahal maksud melempar jumroh adalah untuk menegakkan dzikir pada Allah, sama halnya dengan thawaf dan sa’i.
- Mewakilkan melempar jumroh pada yang lain karena khawatir dan merasa berat jika mesti berdesak-desakkan. Yang benar, tidak boleh mewakilkan melempar jumroh kecuali jika dalam keadaan tidak mampu seperti sakit.
- Sebagian jama’ah haji dan biasa ditemukan adalah jama’ah haji Indonesia, ada yang melempar jumrah di tengah malam pada hari-hari tasyrik bahkan dijamak untuk dua hari sekaligus (hari ke-11 dan hari ke-12).
- Pada hari tasyrik, memulai melempar jumroh aqobah, lalu wustho, kemudian ula. Padahal seharusnya dimulai dari ula, wustho lalu aqobah.
- Lemparan jumroh tidak mengarah ke jumroh dan tidak jatuh ke kolam. Seperti ini mesti diulang.
Kesalahan di Mina
- Melakukan thawaf wada’ dahulu lalu melempar jumrah, kemudian meninggalkan Makkah. Padahal seharusnya thawaf wada menjadi amalan terkahir manasik haji.
- Menyangka bahwa yang dimaksud barangsiapa yang terburu-buru maka hanya dua hari yang ia ambil untuk melempar jumrah yaitu hari ke-10 dan ke-11. Padahal itu keliru. Yang benar, yang dimaksud dua hari adalah hari ke-11 dan ke-12. Jadi yang terburu-buru untuk pulang pada hari ke-12 lalu ia ia melempar tiga jumrah setelah matahari tergelincir dan sebelum matahari tenggelam, maka tidak ada dosa untuknya.
Kesalahan ketika Thawaf Wada’
- Setelah melakukan thawaf wada’, ada yang masih berlama-lama di Mekkah bahkan satu atau dua hari. Padahal thawaf wada’ adalah akhir amalan dan tidak terlalu lama dari meninggalkan Mekkah kecuali jika ada uzur seperti diharuskan menunggu teman.
- Berjalan mundur dari Ka’bah ketika selesai melaksanakan thawaf wada’ dan diyakini hal ini dianjurkan. Padahal amalan ini termasuk bid’ah.
Demikian beberapa penjelasan haji yang bisa kami ulas dalam tulisan yang sederhana ini.
Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Selesai disusun di Ummul Hamam, Riyadh KSA
5 Dzulhijjah 1432 H (1 hari sebelum safar ke Mina)
Referensi Kitab
- Al Hajj Al Muyassar, Sholeh bin Muhammad bin Ibrahim As Sulthon, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan keempat, 1430 H.
- Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, sumber dari Mawqi’ Ya’sub (nomor halaman sesuai cetakan).
- Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama dan Urusan Islam Kuwait.
- Al Minhaj li Muriidil Hajj wal ‘Umroh, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Muassasah Al Amiyah Al ‘Anud.
- Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi-Beirut, cetakan kedua, 1392 H.
- Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, terbitan Darul Fikr-Beirut, cetakan pertama, 1405 H.
- An Nawazil fil Hajj, ‘Ali bin Nashir Asy Syal’an, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, 1431 H.
- Ar Rofiq fii Rihlatil Hajj, Majalah Al Bayan, terbitan 1429 H.
- Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
- Mursyid Al Mu’tamir wal Haaj waz Zaair fii Dhouil Kitab was Sunnah, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qohthoni, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan ketiga, 1418 H.
- Tafsir Al Jalalain, Jalaluddin Al Mahalli dan Jalaluddin As Suyuthi, terbitan Darus Salam, cetakan kedua, 1422 H.
- Taisirul Fiqh, Prof. Dr. Sholeh bin Ghonim As Sadlan, terbitan Dar Blansia, cetakan pertama, 1424 H.
- Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Saalim, terbitan Maktabah At Taufiqiyah.
- Shifatul Hajj wal ‘Umrah, terbitan bagi pengurusan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, cetakan keduabelas, 1432 H.
- Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1424 H.
Referensi Buku Indonesia
- Meneladani Manasik Haji dan Umrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Mubarak bin Mahfudh Bamuallim, Lc, terbitan Pustaka Imam Asy Syafi’i, cetakan ketiga, 1429 H.
Referensi Mawqi’
- Mawqi’ Islam Web: http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=58685
- Mawqi’ resmi Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz : http://www.binbaz.org.sa/mat/3737
- Mawqi’ Dorar.net: http://www.dorar.net/art/379
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel: Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/10209-fikih-haji-8-kesalahan-kesalahan-seputar-haji.html