Bulughul Maram Tentang Bejana
Daftar Isi :
1. DIHARAMKAN MAKAN DAN MINUM DARI WADAH YANG TERBUAT DARI EMAS DAN PERAK
1.1. HADITS KE-16
1.2. Faedah hadits
2. DIHARAMKAN MINUM DARI WADAH PERAK
2.1. HADITS KE-17
2.2. Faedah hadits
3. SUCINYA KULIT BANGKAI SETELAH DISAMAK
3.1. HADITS KE-18
3.2. HADITS KE-19
3.3. HADITS KE-20
3.4. Faedah hadits
4. HUKUM WADAH AHLI KITAB
4.1. HADITS KE-21
4.2. Faedah hadits
4.3. Masalah menggunakan bejana ahli kitab
5. BOLEH MENGGUNAKAN BEJANA ORANG MUSYRIK
5.1. HADITS KE-22
5.2. Faedah hadits
6. BOLEHNYA MEMPERBAIKI WADAH DENGAN IKATAN BERBAHAN PERAK
6.1. HADITS KE-23
6.2. Faedah hadits
6.3. Selama barang masih bisa diperbaiki, tak mesti ganti yang baru
6.3.1. REFERENSI
BAB BEJANA
1. DIHARAMKAN MAKAN DAN MINUM DARI WADAH YANG TERBUAT DARI EMAS DAN PERAK
1.1. HADITS KE-16
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – – لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ والْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِهَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian minum dengan bejana yang terbuat dari emas dan perak. Janganlah pula kalian makan dengan piring yang terbuat dari emas dan perak. Karena barang-barang itu untuk mereka di dunia, sedangkan untuk kalian di akhirat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 5426 dan Muslim, no. 2067]
1.1. Faedah hadits
1. Diharamkan makan dan minum pada wadah yang terbuat dari emas dan perak.
2. Sebab diharamkan adalah karena tasyabbuh (menyerupai) orang kafir.
3. Hukum larangan ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan, artinya tidak boleh bagi laki-laki dan
perempuan menggunakan wadah yang terbuat dari emas murni atau emas yang bercampur dengan yang
lain, begitu pula perak murni atau perak yang bercampur dengan yang lain.
4. Jumhur ulama menganggap terlarangnya wadah atau bejana ini bukan hanya untuk makan dan minum.
Namun, larangan tersebut berlaku juga untuk penggunaan lainnya seperti untuk wadah berwudhu.
5. Menggunakan wadah atau bejana dari emas dan perak dilarang karena: (a) perantara pada
kesombongan, (b) menghancurkan hati orang-orang miskin.
2.DIHARAMKAN MINUM DARI WADAH PERAK
2.1. HADITS KE-17
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – الَّذِي يَشْرَبُ فِي إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang minum dengan bejana dari perak, sungguh ia hanyalah memasukkan api jahannam ke dalam perutnya.” (Muttafaqun ‘alaih). [HR. Bukhari, no. 5634 dan Muslim, no. 2065]
2.2. Faedah hadits
1. Diharamkan minum dari wadah yang terbuat dari perak, lebih-lebih lagi jika menggunakan emas.
2. Cincin perak untuk laki-laki dibolehkan, sedangkan cincin emas untuk laki-laki tidak dibolehkan.
3. Balasan sesuai dengan amalan perbuatan, al-jazaa’ min jinsil ‘amal.
3. SUCINYA KULIT BANGKAI SETELAH DISAMAK
3.1. HADITS KE-18
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ – أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ . وَعِنْدَ الْأَرْبَعَةِ: – أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ –
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kulit hewan telah disamak, kulit tersebut menjadi suci.” (Diriwayatkan oleh Muslim) [HR. Muslim, no. 366]
Menurut riwayat Imam yang Empat, “Kulit hewan apa pun yang telah disamak, maka ia menjadi suci.” [HR. Abu Daud, no. 4123; Tirmidzi, no. 1728; An-Nasa’i, 7:173; Ibnu Majah, no. 3609]
3.2. HADITS KE-19
وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ – صلى الله عليه وسلم – – دِبَاغُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ طُهُورُهاَ – صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ
Dari Salamah bin Al-Muhabbiq radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyamak kulit bangkai adalah menyucikannya.” (Hadits ini sahih menurut Ibnu Hibban) [HR. Ibnu Hibban, no. 4522 dan Ahmad, 25:250. Hadits ini sahih lighairihi. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:89].
3.3. HADITS KE-20
وَعَنْ مَيْمُونَةَ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: – مَرَّ رَسُولُ الْلَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِشَاةٍ يَجُرُّونَهَا، فَقَالَ: “لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا؟” فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ، فَقَالَ: “يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ” – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ، وَالنَّسَائِيُّ
Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melewati seekor kambing yang sedang diseret orang-orang. Kemudian beliau bersabda, “Alangkah baiknya jika engkau mengambil kulitnya.” Mereka berkata, “Kambing ini benar-benar telah mati (bangkai).” Beliau bersabda, “Kulitnya dapat disucikan dengan air dan daun salam.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i). [HR. Abu Daud, no. 4126 dan An-Nasa’i, 7:174-175]
3.4. Faedah hadits
1. Hadits Ibnu ‘Abbas menunjukkan bahwa kulit apa saja yang disamak, maka menjadi suci, baik berasal
dari hewan suci ketika hidupnya seperti unta, sapi, dan kambing, atau berasal dari hewan yang tidak
suci ketika hidupnya seperti anjing dan babi.
2. Menurut madzhab Hambali dan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kulit bangkai yang menjadi
suci adalah kulit dari hewan yang halal disembelih, berarti dari hewan yang halal dimakan. Hal ini
adalah kesimpulan dari hadits Maimunah.
3. Adapun kulit dari hewan yang tidak halal disembelih walaupun suci ketika hidupnya (seperti kucing),
maka tidaklah suci kulitnya walaupun disamak. Karena penyembelihan tidak menghalalkannya.
Kesucian hewan tersebut ketika hidupnya hanya karena sulit menghindar dari hewan semacam itu.
4. Memang dari hadits menyatakan semua kulit apa pun itu jadi suci ketika disamak. Namun, dalam
rangka wara’ (kehati-hatian), kulit hewan yang jadi suci hanya dari hewan yang halal dimakan, bukan
dari selain itu. Hal ini demi menjalankan hadits mengenai meninggalkan yang syubhat.
5. Menyamak itu menyucikan kulit bangkai.
4. HUKUM WADAH AHLI KITAB
4.1. HADITS KE-21
وَعَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: – قُلْتُ: يَا رَسُولَ الْلَّهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ: “لَا تَأْكُلُوا فِيهَا، إِلَّا أَنْ لَا تَجِدُوا غَيْرَهَا، فَاغْسِلُوهَا، وَكُلُوا فِيهَا” – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyaniyy radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya bertanya, wahai Rasulullah, kami tinggal di daerah Ahlul Kitab, bolehkah kami makan dengan wadah (bejana) mereka?” Beliau menjawab, “Janganlah engkau makan dengan wadah mereka kecuali jika engkau tidak mendapatkan yang lain. Oleh karena itu, bersihkanlah dahulu dan makanlah dengan bejana tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 5478, 5488, 4596; dan Muslim, no. 1930].
4.1. Faedah hadits
1. Hendaklah tidak makan dari wadah ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) karena mereka tidak berhati-hati
dalam menjaga diri dari yang najis.
2. Di sini seolah-olah bertentangan dengan kaidah asal yaitu hukum asal segala sesuatu itu suci.
Sedangkan kita yakini pada mereka tidak hati-hati dalam memperhatikan yang najis. Jadi sikapnya
adalah sesuai sangkaan kuat saja manakah yang akan dimenangkan.
Masalah menggunakan bejana ahli kitab
Tidak boleh menggunakan wadah orang kafir kecuali jika memenuhi dua syarat: (1) tidak ada wadah yang lain, (2) dibersihkan atau dicuci terlebih dahulu. Syarat pertama diberlakukan agar kita bersikap wara’ atau hati-hati. Sedangkan syarat kedua mesti dicuci agar kita yakin bahwa wadah tersebut benar-benar telah suci. Namun, perintah mencuci di sini bukanlah wajib, hanya anjuran. Kenapa dibawa ke hukum anjuran (sunnah)? Karena dalam surah Al-Maidah ayat 5 disebutkan bahwa makanan ahli kitab halal bagi kita. Makanan mereka tentu saja ada pada wadah mereka.
Kalau wadah tersebut digunakan untuk wadah babi atau wadah minum khamar, maka tetap wajib dicuci. (Faedah-faedah di atas diambil dari Minhah Al-‘Allam, 1:95-97 dan Fath Dzi Al-Jalal wa Al-Ikram, 1:164-168)
5. BOLEH MENGGUNAKAN BEJANA ORANG MUSYRIK
5.1. HADITS KE-22
وَعَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا؛ – أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَصْحَابَهُ تَوَضَّئُوا مِنْ مَزَادَةِ اِمْرَأَةٍ مُشْرِكَةٍ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ
Dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya berwudhu di mazadah (tempat air yang terbuat dari kulit hewan) milik seorang perempuan musyrik. (Muttafaqun ‘alaih dalam hadits yang panjang). [HR. Bukhari, no. 344 dan Muslim, no. 682]
5.2. Faedah hadits
1. Dibolehkan menggunakan wadah orang musyrik selama tidak yakin ada najis.
2. Sucinya kulit hewan setelah disamak. Karena mazadah adalah kulit hewan sembelihan orang musyrik. 3. Hasil sembelihan orang musyrik itu dihukumi bangkai. Namun kalau kulit itu dari hewan yang suci ketika hidup walau matinya bangkai, bisa jadi suci dengan cara disamak.
6. BOLEHNYA MEMPERBAIKI WADAH DENGAN IKATAN BERBAHAN PERAK
6.1. HADITS KE-23
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – – أَنَّ قَدَحَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – اِنْكَسَرَ، فَاتَّخَذَ مَكَانَ الشَّعْبِ سِلْسِلَةً مِنْ فِضَّةٍ. – أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa bejana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam retak, lalu beliau menambal tempat yang retak itu dengan pengikat dari perak. (Diriwayatkan oleh Bukhari). [HR. Bukhari, no. 3109]
6.2. Faedah hadits
1. Boleh memperbaiki wadah yang retak dengan ikatan atau potongan perak ketika butuh karena
maslahatnya ketika itu nampak.
2. Yang digunakan untuk menambal di sini adalah perak, tidak boleh dengan emas karena emas lebih
mahal dan lebih tegas dilarang.
3. Suatu barang selama bisa diperbaiki, hendaklah diperbaiki tanpa mesti beli yang baru.
Selama barang masih bisa diperbaiki, tak mesti ganti yang baru
Suatu barang selama masih bisa diperbaiki, hendaklah diperbaiki tanpa mesti beli yang baru. Memperbaiki barang yang rusak ini tanda kalau seseorang bersikap sederhana dan selalu menjaga harta. (Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:103)
REFERENSI
1. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-
Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
2. Fath Dzi Al-Jalal wa Al-Ikram bi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1425 H. Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Madarul Wathan.
3. Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-22, Juli 2019. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Penerbit
P.T. Berkat Mulia Insani.
4. Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah
bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Sumber https://rumaysho.com/24731-bulughul-maram-tentang-bejana-bahas-tuntas.html