FiqihTayamum
Pengertian Tayamum
Bersuci Dengan Debu
Ari Wahyudi, S.Si.
Syari’at Islam adalah ajaran yang sangat sempurna. Sebuah ajaran yang diturunkan dari sisi Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Oleh karena itu siapa saja yang dengan lapang dada dan hati gembira menyambut syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai jalan hidupnya maka sesungguhnya dia telah menemukan cahaya penerang serta ruh kehidupannya. Para pembaca yang budiman, Islam mengajarkan umatnya untuk beribadah kepada Allah dalam keadaan suci. Oleh karena itu disyariatkanlah syariat bersuci. Dan sebagaimana sudah dikenal di kalangan umat Islam bersuci itu meliputi wudhu, mandi dan tayamum. Nah, pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan membahas tentang masalah tayamum. Semoga Allah ta’alamengaruniakan ilmu yang bermanfaat kepada kita.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahmendefinisikan tayamum sebagai berikut. Secara bahasa tayamum berarti bermaksud atau menyengaja. Sebagaimana ungkapan orang Arab tayyamamtu asy-syai’a yang maknanyaqashadtuhu (saya menginginkannya). Adapun dalam terminologi syariat, yang dimaksud dengan tayamum yaitu: membasuh wajah dan kedua telapak tangan dengan menggunakan ash-sha’idyang suci sebagai pengganti bersuci dengan air yaitu ketika terhalangi memakai air. Bahkan syariat tayamum ini merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh umat ini. Allah mensyariatkannya demi menyempurnakan agama mereka, dan juga sebagai tanda bukti kasih sayang dan cinta kasih-Nya kepada mereka (lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 112)
Dalil disyari'atkan nya Tayamum
Diriwayatkan dari sahabat ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhubahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat ada seorang lelaki yang memisahkan diri tidak ikut shalat berjamaah bersama orang-orang. Maka beliau pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apakah yang menghalangimu untuk shalat bersama orang-orang ?”Lelaki itu menjawab, “Wahai Rasulullah, saya mengalami junub sedangkan air tidak ada.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya engkau bersuci dengan ash-sha’id, itu saja sudah cukup bagimu.” (HR. Bukhari no. 348 dalam At-Tayamum) Yang dimaksud denganash-sha’id adalah permukaan bumi serta segala sesuatu yang berdiri di atasnya. Oleh sebab itu diperbolehkan bertayamum dengan apapun yang masih layak disebut sebagai bagian permukaan bumi. Inilah pendapat yang dipilih oleh Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Malik serta Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahumullah (lihatShahih Fiqih Sunnah, I/198) Hadits ini menunjukkan bahwa apabila tidak ada air maka diperbolehkan bersuci dengan cara tayamum. Dan menunjukkan pula bahwa tayamum itu berkedudukan sebagaimana bersuci dengan air, selama air tidak ada atau tidak sanggup memakainya(lihat Tanbiihul Afhaam wa Taisirul ‘Allaam, jilid 1 hal. 113-114)
Media yang dapat dijadikan Tayamum
Media yang dapat digunakan untuk bertayammum adalah seluruh permukaan bumi yang bersih baik itu berupa pasir, bebatuan, tanah yang berair, lembab ataupun kering. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiyallahu ‘anhu di atas dan secara khusus,
جُعِلَتِ الأَرْضُ كُلُّهَا لِى وَلأُمَّتِى مَسْجِداً وَطَهُوراً
“Dijadikan (permukaan, pent.) bumi seluruhnya bagiku (Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam) dan ummatku sebagai tempat untuk sujud dan sesuatu yang digunakan untuk bersuci”.[6]
Jika ada orang yang mengatakan bukankah dalam sebuah hadits Hudzaifah ibnul Yaman[7] Nabi mengatakan tanah?! Maka kita katakan sebagaimana yang dikatakan oleh Ash Shon’ani rohimahullah, “Penyebutan sebagian anggota lafadz umum bukanlah pengkhususan”[8]. Hal ini merupakan pendapat Al Auzaa’i, Sufyan Ats Tsauri Imam Malik, Imam Abu Hanifah[9] demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Amir Ashon’ani[10], Syaikh Al Albani[11], Syaikh Abullah Alu Bassaam[12] –rohimahumullah-, Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan[13] dan Syaikh DR. Abdul Adzim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahumallah[14].
Keadaan yang dapat menyebabkan sesorang bersuci dengan Tayamum
Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan beberapa keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum,
Jika tidak ada air baik dalam keadaan safar/dalam perjalanan ataupun tidak[15].Terdapat air (dalam jumlah terbatas pent.) bersamaan dengan adanya kebutuhan lain yang memerlukan air tersebut semisal untuk minum dan memasak.Adanya kekhawatiran jika bersuci dengan air akan membahayakan badan atau semakin lama sembuh dari sakit.Ketidakmapuan menggunakan air untuk berwudhu dikarenakan sakit dan tidak mampu bergerak untuk mengambil air wudhu dan tidak adanya orang yang mampu membantu untuk berwudhu bersamaan dengan kekhawatiran habisnya waktu sholat.Khawatir kedinginan jika bersuci dengan air dan tidak adanya yang dapat menghangatkan air tersebut.
Tata cara bertayamum Nabi shallalhu 'alaihi was sallam
Tata cara tayammum Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dijelaskan hadits ‘Ammar bin Yasir rodhiyallahu ‘anhu,
بَعَثَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى حَاجَةٍ فَأَجْنَبْتُ ، فَلَمْ أَجِدِ الْمَاءَ ، فَتَمَرَّغْتُ فِى الصَّعِيدِ كَمَا تَمَرَّغُ الدَّابَّةُ ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ بِكَفِّهِ ضَرْبَةً عَلَى الأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ، ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفِّهِ بِشِمَالِهِ ، أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam mengutusku untuk suatu keperluan, kemudian aku mengalami junub dan aku tidak menemukan air. Maka aku berguling-guling di tanah sebagaimana layaknya hewan yang berguling-guling di tanah. Kemudian aku ceritakan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Lantas beliau mengatakan, “Sesungguhnya cukuplah engkau melakukannya seperti ini”. Seraya beliau memukulkan telapak tangannya ke permukaan bumi sekali pukulan lalu meniupnya. Kemudian beliau mengusap punggung telapak tangan (kanan)nya dengan tangan kirinya dan mengusap punggung telapak tangan (kiri)nya dengan tangan kanannya, lalu beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.[16]
Dan dalam salah satu lafadz riwayat Bukhori,
وَمَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ وَاحِدَةً
“Dan beliau mengusap wajahnya dan kedua telapak tangannya dengan sekali usapan”.
Berdasarkan hadits di atas kita dapat simpulkan bahwa tata cara tayammum beliau shallallahu ‘alaihi was sallam adalah sebagai berikut.
Memukulkan kedua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan kemudian meniupnya.Kemudian menyapu punggung telapak tangan kanan dengan tangan kiri dan sebaliknya.Kemudian menyapu wajah dengan dua telapak tangan.Semua usapan baik ketika mengusap telapak tangan dan wajah dilakukan sekali usapan saja.Bagian tangan yang diusap adalah bagian telapak tangan sampai pergelangan tangan saja atau dengan kata lain tidak sampai siku seperti pada saat wudhu[17].Tayammum dapat menghilangkan hadats besar semisal janabah, demikian juga untuk hadats kecil.Tidak wajibnya urut/tertib dalam tayammum
Pembatal Tayamum
Pembatal tayammum sebagaimana pembatal wudhu. Demikian juga tayammum tidak dibolehkan lagi apa bila telah ditemukan air bagi orang yang bertayammum karena ketidakadaan air dan telah adanya kemampuan menggunakan air atau tidak sakit lagi bagi orang yang bertayammum karena ketidakmampuan menggunakan air[18]. Akan tetapi shalat atau ibadah lainnya[19] yang telah ia kerjakan sebelumnya sah dan tidak perlu mengulanginya. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu,
خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ ، فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ – وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ – فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا ، فَصَلَّيَا ، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ ، فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ ، وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ : أَصَبْت السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْك صَلَاتُك وَقَالَ لِلْآخَرِ : لَك الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulang shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu telah mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya, “Untukmu dua pahala[20]”[21].
Juga hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu ‘anhu,
الصَّعِيدُ وُضُوءُ الْمُسْلِمِ ، وَإِنْ لَمْ يَجِدْ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِينَ.فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيَتَّقِ اللَّهَ وَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ
“Seluruh permukaan bumi (tayammum) merupakan wudhu bagi seluruh muslim jika ia tidak menemukan air selama sepuluh tahun (kiasan bukan pembatasan angka)[22], apabila ia telah menemukannya hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menggunakannya sebagai alat untuk besuci”.[23]
Diantara hikmah disyari'akannya Tayamum
Sebagai penutup kami sampaikan hikmah dan tujuan disyari’atkannya tayyamum adalah untuk menyucikan diri kita dan agar kita bersyukur dengan syari’at ini serta tidaklah sama sekali untuk memberatkan kita, sebagaimana akhir firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 6,
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak menyucikan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
Abul Faroj Ibnul Jauziy rohimahullah mengatakan ada empat penafsiran ahli tafsir tentang nikmat apa yang Allah maksudkan dalam ayat ini,
Pertama, nikmat berupa diampuninya dosa-dosa[24].
Kedua, nikmat berupa hidayah kepada iman, sempurnanya agama, ini merupakan pendapat Ibnu Zaid rohimahullah.
Ketiga, nikmat berupa keringanan untuk tayammum, ini merupakan pendapat Maqotil dan Sulaiman.
Keempat, nikmat berupa penjelasan hukum syari’at, ini merupakan pendapat sebagian ahli tafsir[25].
Demikianlah akhir tulisan ini mudah-mudahan menjadi tambahan ‘amal bagi penulis dan tambahan ilmu bagi pembaca sekalian. Allahumma Amiin.
Di waktu Dhuha, Ahad 12 Dzulhijjah 1430 H.
Penulis: Aditya Budiman
Muroja’ah: M.A. Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah hal. 231/I, terbitan Al Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.
[2] Kami ringkas dengan penyesuaian redaksi dari Lisanul ‘Arob oleh Muhammad Al Mishriy rohimahullah hal. 251/III, terbitan Darush Shodir, Beirut, Lebanon.
[3] Sebagaimana dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah. [Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim oleh An Nawawi rohimahullah hal. 279/IV cetakan Darul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syaikh Kholil Ma’mun Syihaa].
[4] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom oleh Syaikh Abdullah Alu Bassaam rohimahullah hal. 412/I terbitan Maktabah Asaadiy, Mekkah, KSA.
[5] HR. Muslim no. 522.
[6] HR. Ahmad no. 22190, dinyatakan shohih lighoirihi oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam Ta’liq beliau untuk Musnad Imam Ahmad, terbitan Muasa’sah Qurthubah, Kairo, Mesir.
[7] Yang kami maksud adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,
« وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ »
Demikian juga hadits dari sahabat ‘Ali yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya no. 774 dinyatakan Shohih oleh Syaikh Ahmad Syakir,
« وَجُعِلَ اَلتُّرَابُ لِي طَهُورًا »
[8] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah hal. 354/I dengan tahqiq dari Syaikh Muhammad Shubhi Hasan Halaaq cetakan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[9] Lihat Al Minhaaj Syarh Shohih Muslim hal. 280/IV.
[10] Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 351-352/I.
[11] Lihat Ats Tsamrul Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitaab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah hal. 31/I cetakan Ghiroos, Kuwait.
[12] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom hal. 414/I.
[13] Lihat Al Mulakhoshul Fiqhiy hal. 38 oleh Syaikh DR. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah cetakan Dar Ibnul Jauziy Riyadh.
[14] Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah oleh Syaikh DR. Abdul Adhim bin Badawiy Al Kholafiy hafidzahullah hal. 56 Dar Ibnu Rojab Kairo, Mesir.
[15] Asy Syaukani menambahkan keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bersuci dengan tayammum dengan jauhnya air, kemudian beliau menambahkan batasan suatu jarak dikatakan tidak jauh dalam hal ini dengan adanya kemungkinan seseorang dapat mendapatkan air kemudian berwudhu
dengannya dan dapat sholat pada waktunya. [lihat As Saylul Jaror oleh Asy Syaukani rohimahullah hal. 129/I, terbitan Darul Kutub ‘Ilmiyah, Beirut, Lebanon.] namun Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan bahwa batasan dikatakan tidak jauh itu adalah urf/penilaian masyarakat [lihat Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ hal. 235/I ].
Tambahan dari editor,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “…. Akan tetapi, mereka juga boleh cukup dengan tayamum jika memang harus memperoleh air yang tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum dan mengerjakan shalat di waktunya masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan jama’ suri seperti tadi dan tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih afdhol (lebih utama). Walhamdulillah.”[ Majmu’ Al Fatawa, hal. 458/XXI.]
[16] HR. Bukhori no. 347, Muslim no. 368.
[17] Kami katakan demikian karena kemutlakan yang ada dalam ayat tayammum (وَأَيْدِيكُمْ ,”Dan sapulah tanganmu”. [QS. Al Maidah (5) : 6]) tidak bisa di dimuqoyyadkan dengan ayat wudhu (وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ, “Dan basuhlah tanganmu sampai dengan siku” [QS. Al Maidah (5) : 6]), karena hukum kedua masalah ini berbeda (yang satu masalah tayammum yang lainnya wudhu) walaupun sebabnya sama, hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rohimahullah dalam Syarh Nadzmul Waroqot hal. 123, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh dan lihat juga Ma’alim Ushul Fiqh oleh Syaikh Muhammad Husain bin Hasan Al Jaizaniy, hal. 441, terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh.
Lihat Al Wajiz fi Fiqhil Kitab was Sunnah hal.56.
[19] Karena tayammum merupakan badal/pengganti dari wudhu. Sehingga apa yang dibolehkan dengan berwudhu dibolehkan juga dengan tayammum. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 360/I ].
[20] Yaitu satu pahala untuk sholat yang pertama dan satu pahala untuk sholat yang kedua. [Lihat Subulus Salaam Al Mausulatu ilaa Bulughil Maroom hal. 362/I, Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom hal. 426/I].
[21] HR. Abu Dawud no. 338, An Nasa’i no. 433. Dinyatakan shohih oleh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 3861.
[22] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Maroom hal. 422/I.
[23] HR. Ahmad no. 21408, Tirmidzi no. 124, Abu Dawud no. 333, An Nasa’i no. 420, dan lain-lain. Hadits ini dinyatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dan dinyatakan shohih lighoirihi oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth.
[24] Dalil tentang hal ini hadits Humroon tentang wudhunya Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu.
[25] Lihat Zaadul Masiir hal. 108, Asy Syamilah.