Fatwa-Fatwa tentang Shalat
Daftar Isi :
- Mendengar Adzan Dari Rekaman, Perlu Dijawab?
- Kapan Disyariatkan Duduk Tawarruk
- Bagaimana Duduknya Makmum Masbuk Ketika Imam Tasyahud Akhir?
- Memejamkan Mata Saat Shalat
- Tersenyum Ketika Shalat
- Masuk Ketika Imam Rukuk, Takbir Sekali Atau Dua Kali?
- Membatalkan Shalat Untuk Menyelamatkan Orang Yang Terancam Bahaya
- Al Fatihah Setelah Shalat Atau Mengirimnya Untuk Orang Mati
- Berdoa Dengan Bahasa Indonesia Di Dalam Shalat
- Bolehkah Ada Beberapa Jama’ah Dalam Satu Masjid?
- Kapankah Seseorang Dikatakan Mendapati Shalat Jama’ah?
- Hukum Sujud diatas Alas Lantai atau Penghalang
- Bolehkah Menunda Sholat karena alasan Pekerajaan
1.Mendengar Adzan dari rekaman, perlu dijawab
Fatwa Syakh Abdul Karim Al Khudhair
Soal:
Jika menggunakan perekam untuk adzan di waktu-waktu shalat, apakah perlu dijawab adzannya?
Jawab:
Adzan yang bunyinya disalurkan melalui perantaraan media lain, misalnya adzannya masjidil haram disiarkan melalui radio, atau adzan dari masjid jami’ al kabir di Riyadh disiarkan melalui radio Iza’atul Qur’an misalnya, maka ini semua adzan haqiqi yang berlaku hukum-hukum adzan terhadapnya, dan dianjurkan menjawabnya. Karena tujuan penggunaan media-media tersebut adalah untuk menyampaikan adzan kepada orang yang tidak mendengarkan, seperti menggunakan pengeras suara.
Adapun menggunakan rekaman dan muadzin di rekaman tersebut tidak sedang adzan saat itu, yaitu seorang muadzin direkam suaranya, ketika rekaman dibunyikan si muadzin tersebut tidak ada atau bahkan orangnya sudah meninggal, misalnya adzannya Al Minsyawi yang sekarang ini sering diputar oleh beberapa radio padahal Al Minsyawi sudah meninggal beberapa tahun lalu, atau adzannya Muhammad Rif’at padahal beliau telah meninggal empat puluh tahun lalu, semisal ini semua tidak perlu dijawab dan tidak berlaku hukum-hukum adzan.
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/42135
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/14587-fatwa-ulama-mendengar-adzan-dari-rekaman-perlu-dijawab.html
Kembali ke menu/atas
2. Kapan Disyariatkan Duduk Tawarruk
Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad
Soal:
Kapan saja disyariatkan duduk tawarruk*) ?
Jawab:
Duduk tawarruk itu disyariatkan pada shalat yang memiliki dua tasyahud, dan dilakukan pada tasyahud yang terakhirnya. Sehingga ia ada pada semua shalat wajib kecuali shalat shubuh. Maka duduk tawarruk itu dilakukan pada tasyahud terakhir pada shalat rubai’iyyah (yang empat rakaat) dan tsulatsiyyah (yang tiga rakaat).
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/33201
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/20030-fatwa-ulama-kapan-disyariatkan-duduk-tawarruk.html
Kembali ke menu/atas
3. Bagaimana Duduknya Makmum Masbuk Ketika Imam Tasyahud Akhir?
Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al ‘Aqil
Soal:
Bagaimana pendapat kalian –semoga Allah memberikan ganjaran kepada kalian-, tentang seorang makmum yang hendak shalat maghrib bersama imam, ia telah tertinggal 1 raka’at. Apakah jika imam duduk tawarruk pada tasyahud akhir, makmum mengikuti duduk sang imam dalam keadaan tawarruk, ataukah iftirasy? karena duduk tasyahud akhirnya imam adalah tasyahud awal bagi si makmum.
Jawab:
Yang ditegaskan oleh para ulama fikih kita, jika seorang makmum shalat bersama imam yang jumlah raka’atnya 4 atau 3, imam telah mendahuluinya dalam sebagian raka’at, maka makmum duduk tasyahud akhir bersama imam dalam keadaan tawarruk, bukan iftirasy. Alasan mengikuti imam dalam rangka menjaga agar tidak terjadi perselisihan, berdasarkan hadits,
إنما جعل الإمام ليؤتم به، فلا تختلفوا عليه
“Imam itu diangkat untuk ditaati, maka janganlah kalian menyelisihinya”1
Dikatakan dalam Al-Iqna’ dan syarahnya Kasyful Qina’2: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam ketika imam tawarruk. Karena bagi imam, itu merupakan akhir dari shalat, walaupun bagi si makmum, itu bukan akhir shalat. Dalam kondisi ini si masbuk duduk tawarruknya sebagaimana ketika ia sedang tasyahud kedua. Maka, seandainya makmum mendapatkan 2 raka’at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka’at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka’at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.
Disebutkan dalam Al-Muntaha dan syarahnya: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam pada saat tasyahud akhir dalam shalat yang jumlah raka’atnya 4 dan shalat maghrib”.
Disebutkan dalam Mathalib Ulin Nuhaa fi Syarhi Ghayatil Muntaha: “Makmum masbuk duduk tawarruk bersama imam dalam duduk tasyahud yang ia dapatkan bersama imam disebabkan karena itu akhir shalat bagi si imam, walaupun bukan bagi si makum. Sebagaimana ia juga duduk tawarruk pada tasyahud ke-2 yang setelah ia menyelesaikan rakaat sisanya. Maka, seandainya makmum mendapatkan 2 raka’at dari ruba’iyyah (shalat yang jumlahnya 4 raka’at), duduklah bersama imam dalam keadaan tawarruk, dalam rangka mengikuti imam, ketika ia (makmum) tasyahud awal. Kemudian duduk tawarruk lagi setelah menyelesaikan sisa 2 raka’at lainnya, karena itu duduk tasyahud yang diakhiri salam”.
Wallahu A’lam.
1 Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (722), dengan lafazh hadits Abu Hurairah (414) tanpa kata “diangkat”
2 (1/248)
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/27464
Penerjemah: Wiwit Hardi Priyanto
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/14022-fatwa-ulama-bagaimana-duduknya-makmum-masbuk-ketika-imam-tasyahud-akhir.html
Kembali ke menu/atas
4. Memejamkan Mata Saat Shalat
Fatwa Syaikh ‘Abdul Karim Al Khudair hafzihohullah
Soal:
Apakah ketika sujud mata dalam keadaan dipejam atau mesti dibuka?
Jawab:
Asalnya, mata dalam keadaan terbuka baik ketika sujud dan keadaan lainnya dalam shalat. Sebagian ulama mengatakan bahwa disunnahkan untuk memejamkan kedua mata karena hal itu lebih mudah mendatangkan khusyu’. Namun hal itu cuma was-was saja dalam shalat dan tidak ada dalil pendukung. Perlu diketahui bahwa Yahudi biasa memejamkan mata dalam shalat mereka. Kita diajarkan tidak mengikuti jejak mereka (kita dilarang tasyabbuh).[1]
(Sumber fatwa di website pribadi Syaikh ‘Abdul Karim Khudair: http://www.khudheir.com/text/4112)
* Syaikh ‘Abdul Karim Al Khudair adalah ulama senior di Saudi Arabia, berdomisi di kota Riyadh. Beliau adalah anggota Hai-ah Kibaril Ulama dan menjadi pengajar di kuliah hadits Jami’ah Malik Su’ud (King Saud University), Riyadh Saudi Arabia.
Riyadh, KSA, 22 Muharram 1434 H
Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Disebutkan dalam Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim 85 dan Zaadul Ma’ad 1: 283.
Sumber: https://muslim.or.id/10855-fatwa-ulama-memejamkan-mata-saat-shalat.html
Kembali ke menu/atas
5. Tersenyum Ketika Shalat
Fatwa Syaikh Khalid Al Mushlih
Soal:
Fadhilatus Syaikh, assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, apa hukum tersenyum ketika shalat?
Jawab:
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin wa ushali wa usallimu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi
wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, amma ba’du
Jawaban saya terhadap pertanyaan anda, kami katakan, tersenyum ringan ketika shalat itu tidak mengapa jika memang senyumnya tidak bisa ditahan. Adapun jika sengaja tersenyum maka ini dapat mengurangi pahala shalat atau terkadang dapat membatalkannya.
Sumber: http://almosleh.com/ar/index.php?go=fatwa&more=3647
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/19418-fatwa-ulama-tersenyum-ketika-shalat.html
Kembali ke menu/atas
6. Masuk Ketika Imam Rukuk, Takbir Sekali Atau Dua Kali?
Fatwa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta’ Saudi Arabia
Soal:
Seseorang masuk ke masjid ketika imam sedang ruku’. Apakah diwajibkan baginya untuk bertakbir 2 kali ataukah cukup bertakbir sekali lalu ikut ruku’ bersama imam? Ataukah harus 2 kali yaitu takbiratul ihram dan takbir untuk ruku’ ?
Jawab:
Hendaknya ia bertakbir takbiratul ihram dalam keadaan berdiri, lalu bertakbir lagi untuk ruku. Dan jika ia mencukupkan diri dengan satu takbir saja dalam keadaan tersebut, yaitu takbiratul ihram saja, maka itu pun cukup.
Wabillahit taufiq, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wasallam
Sumber: http://goo.gl/Ne4LLw
—
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/19137-fatwa-ulama-masuk-ketika-imam-rukuk-takbir-sekali-atau-dua-kali.html
Kembali ke menu/atas
7. Membatalkan Shalat Untuk Menyelamatkan Orang Yang Terancam Bahaya
Fatwa Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al ‘Aqil
Soal:
Jika saya sedang shalat, lalu saya melihat ada orang yang sedang dalam bahaya –semisal rumahnya terbakar, jatuh dari dinding, atau tertabrak mobil- bolehkah saya membatalkan shalat lalu membantu orang tersebut ataukah saya tetap meneruskan shalat saya?
Jawab:
Iya, Anda boleh membatalkan shalat jika keadaannya sebagaimana yang Anda tanyakan. Bahkan wajib bagi setiap orang untuk menyelamatkan orang lain yang terancam bahaya, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Contoh dengan lisan : Misalkan ada orang tuna netra yang sedang berjalan, lalu di depannya ada sumur atau api, maka hendaknya orang yang sedang shalat memperingatkannya dengan lisan (meneriakinya) supaya tidak terjatuh ke dalam bahaya jika si buta tersebut tidak paham dengan isyarat tasbih (yakni subhaanallah-pent), sementara ia tetap di tempat shalatnya. Setelah itu, ulangilah shalatnya. Ini berlaku baik untuk imam maupun makmum.
Contoh dengan perbuatan : Misalkan ada orang yang tercebur ke dalam air lalu ditakutkan akan tenggelam, atau ada rumah yang dilalap api, atau ada ular yang bergerak mendekati seseorang –atau sebaliknya-, maka orang yang sedang shalat wajib menghentikan shalatnya lalu menolong orang yang terancam bahaya tadi semampunya. Setelah itu, ia ulangi shalatnya.
Penulis Al Mughni berkata dalam kitabnya1 dalam pembahasan hukum berbicara ketika shalat : “Bagian ke-4 : Berbicara yang hukumnya wajib : Misalnya memperingatkan anak kecil atau orang yang terancam bahaya, atau adanya ular yang sedang mendekati orang yang tidak menyadarinya atau sedang tidur, atau melihat api sedang berkobar, sedangkan tidak mungkin untuk memperingatkan orang lain dari bahaya ini dengan sekedar isyarat tasbih”.
Di dalam kitab Al Iqna’ dan Syarh-nya disebutkan : “Wajib menolong orang kafir yang mendapat perlindungan, semisal dzimmi, mu’ahad, atau musta’man yang terjatuh dalam sumur atau semisalnya, seperti bahaya ular yang mengancam dirinya, sebagaimana menolong seorang muslim dari bahaya-bahaya tersebut dengan berbagai cara. Demikian juga wajib untuk menolong orang yang tenggelam ataupun terbakar. Maka orang yang sedang shalat harus menghentikan shalatnya –baik shalat wajib maupun sunnah- untuk menyelamatkan orang lain dari ancaman bahaya”
Di dalam Zaadul Mustaqni’ beserta Syarh-nya2 disebutkan : “(Hukum berbicara) wajib untuk memperingatkan orang lain yang terancam bahaya atau orang yang tidak menyadari adanya bahaya”
Ucapan para ahli fiqih seputar hal ini banyak dan jelas sehingga kita tidak perlu memperpanjang bahasan dengan menyebutkannya semua. Wallahu a’lam.
Catatan Kaki
1 2/448
2 Lihat Ar Raudhul Murbi’ hal. 98
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/26031
—
Penerjemah: Yananto Sulaimansyah
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/17113-fatwa-ulama-membatalkan-shalat-untuk-menyelamatkan-orang-yang-terancam-bahaya.html
Kembali ke menu/atas
8. Al Fatihah Setelah Shalat Atau Mengirimnya Untuk Orang Mati
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan
Soal:
Sebagian jama’ah ada yang selalu membaca Al Fatihah setelah shalat. Alasannya karena Al Fatihah itu doa atau berkah. Apakah amalan ini termasuk dalam sunnah Nabi? Dalam kesempatan lain pun mereka mengirimkan Al Fatihah untuk arwah orang yang sudah mati, apa hukum amalan ini?
Jawab:
Tentang membaca Al Fatihah setelah shalat, saya tidak mengetahui adanya dalil dari sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Adapun yang terdapat dalil dari sunnah Nabi ialah membaca ayat Kursi, qul huwallahu ahad, qul a’udzu birabbil falaq, qul a’udzu birabbinnaas. Terdapat banyak hadits yang menganjurkan membaca surat-surat tersebut setelah shalat yang lima waktu. Adapun surat Al Fatihah, saya tidak mengetahui adanya dalil yang menunjukkan disyariatkan membacanya setelah shalat.
Surat-surat yang tadi saya sebutkan, itu pun tidak boleh dibaca dengan cara bersama-sama dengan suara yang dikeraskan. Yang benar adalah setiap orang membaca sendiri-sendiri dengan suara yang didengar oleh diri sendiri.
Adapun mengirimkan Al Fatihah untuk arwah orang mati, ini termasuk amalan bid’ah. Arwah orang mati tidak perlu dikirimkan Al Fatihah ataupun bacaan Qur’an lainnya, karena amalan demikian tidak ada tuntunannya dari sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun dari praktek orang-orang shalih generasi salaf dari umat ini. Dan ini adalah amalan yang tertolak. Jadi tidak diperlu mengirimkan Al Fatihah baik dari masjid, dari kuburan, dari rumah, atau dari tempat lain.
Kepada orang yang sudah meninggal, yang kita kirimkan adalah doa, jika ia orang Muslim. Kita mohonkan rahmah dan maghfirah baginya. Juga bersedekah atas nama mereka. Juga berhaji atas nama mereka. Inilah amalan-amalan yang ada dalilnya. Adapun mengirim Al Fatihah atau ayat Qur’an lain untuk orang yang sudah mati, ini adalah amalan yang diada-adakan dan bid’ah.
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/29974
—
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id
Sumber: https://muslim.or.id/16769-fatwa-ulama-al-fatihah-setelah-shalat-atau-mengirimnya-untuk-orang-mati.html
Kembali ke menu/atas
9. Berdoa Dengan Bahasa Indonesia Di Dalam Shalat
Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
Soal:
Apakah kita boleh berdoa dengan selain bahasa Arab di dalam shalat seperti setelah tasyahud akhir? Dan bolehkah hanya berdoa dengan lafazh yang terdapat di hadist saja? Juga apakah boleh kita berdoa dengan lafazh yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan tidak terdapat di hadist?
Jawab:
Alhamdulillah
Pertama:
Apabila orang yang shalat tadi bisa dengan baik berdoa menggunakan bahasa arab maka tidak boleh baginya berdoa dengan selain bahasa Arab.
Akan tetapi, apabila orang yang shalat tersebut tidak mampu berdoa dengan bahasa Arab maka tidak mengapa baginya berdoa dengan selain bahasa arab, selama dia tetap berusaha untuk belajar bahasa Arab.
Adapun masalah berdoa di luar sholat maka tidak mengapa bagi seseorang berdoa dengan selain bahasa Arab, lebih-lebih lagi apabila dia bisa lebih menghadirkan hatinya jika berdoa dengan selain bahasa Arab.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah rahimahullah:
والدعاء يجوز بالعربية ، وبغير العربية ، والله سبحانه يعلم قصد الداعي ومراده ، وإن لم يقوِّم لسانه ، فإنَّه يعلم ضجيج الأصوات ، باختلاف اللغات على تنوع الحاجات
“Berdoa itu boleh dengan menggunakan bahasa Arab maupun selain bahasa Arab. Allah mengetahui tujuan dan maksud orang yang berdoa, walaupun bahasanya tidak fasih. Allah mengetahui maksud di balik suara tidak jelas, dengan berbagai macam jenis bahasa dan hajat-hajatnya” (Majmu’ Al Fatawa, 22/488-489).
Kedua :
Tidak mengapa bagi seseorang untuk berdoa dengan lafazh yang terdapat didalam Al-Qur’an walaupun tidak berdoa dengan lafazh yang tidak terdapat di dalam hadist. Semuanya merupakan kebaikan. Dan kita sama-sama mengetahui bahwa doa para Nabi dan Rasul ‘alaihimus sholat was salam kebanyakannya terdapat di dalam Al-Qur’an. Dan tidak diragukan doa mereka adalah doa yang paling mendalam dan yang paling agung kandungan maknanya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
وينبغي للخلق أنْ يدْعوا بالأدعية الشرعيَّة التي جاء بها الكتاب والسنة ؛ فإنَّ ذلك لا ريب في فضله وحُسنه وأنَّه الصراط المستقيم ، وقد ذكر علماءُ الإسلام وأئمَّة الدين الأدعيةَ الشرعيَّة ، وأعرضوا عن الأدعية البدعية فينبغي اتباع ذلك
“Seyogyanya bagi seorang hamba agar berdoa dengan lafazh yang terdapat didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah karena hal tersebut tidak diragukan lagi keutamaannya dan kebaikannya. Dan doa-doa tersebut adalah shiratal mustaqim (jalan yang lurus). Ulama-ulama Islam dan imam-imam mereka berdoa dengan lafazh yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan berpaling dari lafadz doa yang bid’ah. Maka sepatutnya untuk meneladani hal tersebut” (Majmu’ Al Fatawa, 1/346-348).
Wallahu a’lam.
Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/20953
Penerjemah: Muhammad Bimo Prasetyo
Artikel: Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/56873-berdoa-dengan-bahasa-indonesia-di-dalam-shalat.html
Kembali ke menu/atas
10. Bolehkah Ada Beberapa Jama’ah Dalam Satu Masjid?
Ta’addud al jama’ah ada beberapa keadaan, dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
Keadaan Pertama
Di dalam sebuah masjid ada dua jama’ah secara terus menerus. Ada jama’ah pertama dan ada jama’ah kedua. Maka ini tidak ragu lagi, minimalnya makruh andai tidak kita katakan haram. Karena ini adalah sebuah kebid’ahan. Tidak dikenal di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya.
Diantara yang ma’ruf pernah terjadi seperti ini adalah di Masjidil Haram di zaman dahulu, sebelum Masjidil Haram dikelola oleh pemerintah Saudi. Dahulu di Masjidil Haram ada empat jama’ah. Setiap jama’ah memiliki imam tersendiri. Imam Hanabilah mengimami jama’ah Hanabilah. Imam Syafi’iyyah mengimami jama’ah Syafi’iyyah. Imam Malikiyyah mengimami jama’ah Malikiyyah. Imam Hanafiyah mengimami jama’ah Hanafiyah.
Mereka lalu memberi label, ini tempat jama’ah Syafi’iyyah, ini tempat jama’ah Malikiyah, ini tempat jama’ah Hanafiyah, ini tempat jama’ah Hanabilah. Namun Raja Abdul Aziz, semoga Allah membalas beliau dengan kebaikan, ketika beliau masuk ke Makkah, beliau mengatakan: “sungguh ini telah memecah belah umat!”. Maksudnya, umat Muslim terpecah belah dalam satu masjid. Dan ini tidak diperbolehkan. Maka beliau pun menyatukan jama’ah dalam satu imam. Dan ini merupakan jasa beliau dan keutamaan beliau, semoga Allah merahmati beliau.
Demikian juga, adanya beberapa jama’ah dalam satu masjid, akan mengajak orang untuk malas. Karena orang-orang akan mengatakan: “selama ada jama’ah kedua, kami akan menunggu jama’ah kedua saja”. Sehingga orang-orang yang berlambat-lambat untuk menghadiri jama’ah gelombang pertama.
Keadaan Ke Dua
Sedikit berbeda, ada imam ratib (imam tetap) yang mengimami jama’ah di masjid. Namun terkadang ada dua, tiga, atau empat orang shalat di jama’ah yang baru. Maka untuk keadaan ini, ada khilaf di antara ulama.
Sebagian ulama berpendapat, tidak boleh ada jama’ah kedua. Orang yang baru datang, wajib shalat sendiri-sendiri. Sebagian ulama lain berpendapat, boleh ada jama’ah kedua. Dan ini pendapat yang shahih. Dan ini merupakan pendapat madzhab Hambali. Dalilnya sebagai berikut:
Pertama: hadits dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
صلاةُ الرجلِ مع الرجلِ أزكَى من صلاتهِ وحدهُ ، وصلاتهُ مع الرجلينِ أزكَى من صلاتهِ مع الرجلِ ، وصلاتهُ مع الثلاثةِ ، أزكَى من صلاتهِ مع الرجلينِ ، وكلمَا كثرَ فهو أزكَى وأطيبُ
“Shalatnya seseorang bersama orang lain, itu lebih baik daripada shalat sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang itu lebih baik dari pada bersama satu orang. Shalat seseorang bersama tiga orang itu lebih baik dari pada bersama dua orang. Semakin banyak semakin baik” (HR. Abu Daud no.554, An Nasa-i no. 843, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Ini adalah nash yang sharih (tegas) bahwa shalat seseorang bersama orang lain lebih utama daripada shalat sendirian. Andaikan kita katakan bahwa tidak boleh mendirikan jama’ah kedua, maka konsekuensinya kita menjadikan hal yang kurang utama menjadi lebih utama. Dan ini menyelisihi nash.
Kedua: Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam suatu hari sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, lalu ada seorang yang memasuki masjid untuk shalat. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam :
ألَا رَجُلٌ يَتصدَّقُ على هذا يُصلِّي معه؟ فقام رَجُلٌ فصَلَّى معه، فقال رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هذان جَماعةٌ
“Tidakkah ada seseorang yang mau bersedekah terhadap orang yang shalat ini?”. Maka seorang lelaki pun berdiri untuk shalat bersamanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Dua orang ini adalah jama’ah” (HR. Ahmad no.22189, At Tirmidzi no. 220, dishahihkan oleh Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Al Musnad).
Ini adalah nash yang sharih (lugas) bolehnya membuat jama’ah baru setelah jama’ah yang diimami imam ratib. Karena dalam hadits ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menganjurkan para sahabatnya untuk shalat bersama orang yang masuk ke masjid. Jika ada yang beralasan: “shalat yang ada dalam hadits ini adalah sedekah, adapun jama’ah kedua yang didirikan di masjid, shalat yang mereka melakukan itu wajib”. Maka kita jawab, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits ini memerintahkan untuk bersedekah, beliau perintahkan orang yang sudah shalat untuk ikut shalat kepada lelaki tersebut, maka bagaimana lagi dengan orang yang belum shalat? (tentu lebih layak lagi untuk menemani lelaki tersebut, pent).
Keadaan Ke Tiga
Jika masjidnya merupakan masjid yang ada di pasar, di pinggir-pinggir jalan raya, atau semisal itu, maka masjid pasar itu tentunya orang sering keluar-masuk ke sana. Terkadang datang dua orang, terkadang tiga orang, terkadang 10 orang, kemudian keluar. Sebagaimana di masjid-masjid yang ada di pasar-pasar kita. Maka tidak dimakruhkan untuk mendirikan jama’ah-jama’ah lain di sana. Sebagian ulama mengatakan bahwa dalam hal ini tidak ada khilafiyah. Karena memang masjid ini disiapkan untuk tempat shalat banyak jama’ah” (Syarhul Mumthi, 4/227-231).
Wallahu a’lam.
Penulis: Yulian Purnama
Artikel: Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/55302-bolehkah-ada-beberapa-shalat-jamaah-dalam-satu-masjid.html
Kembali ke menu/atas
11. Kapankah Seseorang Dikatakan Mendapati Shalat Jama’ah?
Kapankah seseorang dikatakan mendapati shalat jama’ah?
Seseorang dikatakan mendapati shalat jama’ah bersama imam jika dia mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam. Siapa saja yang mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam, maka dia dinilai mendapatkan shalat jama’ah. Dan siapa saja yang mendapatkan kurang dari satu raka’at bersama imam, seperti dia masuk ketika imam sedang sujud di raka’at terahir atau sedang tasyahhud akhir, maka dia dinilai telah ketinggalan shalat berjama’ah.
Inilah pendapat yang paling kuat dari dua pendapat para ulama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ، فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Siapa saja yang mendapati satu raka’at shalat, maka dia telah mendapati shalat.” (HR. Bukhari no. 580 dan Muslim no. 607)
Makna teks hadits di atas sangatlah jelas, yaitu siapa saja yang mendapatkan satu raka’at penuh bersama imam, dia dinilai telah mendapatkan shalat berjama’ah. Makna sebaliknya dari hadits di atas adalah bahwa siapa saja yang mendapatkan kurang dari satu raka’at bersama imam, dia dinilai belum mendapatkan shalat berjama’ah.
Kapankah seseorang dikatakan mendapati satu raka’at penuh bersama imam?
Satu raka’at penuh tidaklah didapatkan kecuali dengan mendapatkan ruku’ bersama imam, meskipun dalam waktu yang sebentar, meskipun dia tidak membersamai imam ketika membaca surat Al-Fatihah [1, 2].
Ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat jama’ah itu bisa didapatkan asalkan mendapati satu takbir saja bersama imam sebelum salam. Pendapat ini adalah pendapat yang lemah dan tidak didukung oleh dalil, dengan beberapa alasan berikut ini:
Pendapat pertama
Pendapat ini dibangun di atas alasan logika. Yaitu, makmum mendapati “satu bagian” dari shalat imam, maka hal ini mirip (sama) sebagaimana makmum yang mendapati satu raka’at bersama imam (sama-sama mendapatkan satu bagian dari shalat bersama imam). Namun, alasan ini tidaklah diterima karena bertabrakan dengan dalil hadits di atas.
Pendapat Ke dua
Tidak diketahui dari dalil-dalil syari’at dikaitkannya mendapatkan shalat dengan mendapatkan satu takbir bersama imam, baik ketika shalat jum’at atau shalat jama’ah lainnya. Hal ini adalah sifat yang diabaikan atau tidak dianggap berdasarkan dalil syar’i, sehingga tidak boleh dijadikan sebagai patokan dan membangun hukum di atasnya.
Pendapat ke tiga
Bahwa kurang dari satu raka’at itu tidak teranggap dalam shalat, karena makmum akan meneruskan shalatnya secara sendiri. Maka dia tidaklah mendapatkan bagian yang teranggap oleh syari’at, sehingga seluruh shalatnya menjadi shalat sendirian (shalat munfarid).
Bagaimana jika imam kelebihan raka’at karena lupa, apakah itu teranggap?
Ada satu masalah lagi yang perlu dibahas, yaitu apakah makmum masbuq dinilai mendapatkan shalat jama’ah bersama imam ketika dia membersamai imam di raka’at tambahan karena terlupa? Sehingga raka’at tersebut pun teranggap di sisi makmum?
Misalnya, makmum masbuq mendapatkan raka’at ke lima dari shalat dzuhur karena imam lupa, dan makmum tidak tahu hal itu. Atau misalnya makmum masbuq mendapatkan raka’at ke empat dari shalat maghrib karena imam lupa. Ketika makmum masbuq masuk dan membersamai imam di raka’at tambahan tersebut, apakah dia dinilai mendapatkan shalat jama’ah bersama imam?
Pendapat terkuat dari dua pendapat ulama dalam masalah ini adalah bahwa raka’at tersebut teranggap, sehingga makmum masbuq tersebut dinilai mendapatkan shalat berjama’ah. Hal ini karena dia mendapatkan satu raka’at bersama imam, meskipun raka’at tersebut adalah raka’at tambahan di sisi imam. Apa yang dilakukan oleh imam tersebut bisa dimaklumi karena dia lupa dan tidak sengaja melakukannya. Raka’at tambahan (bagi imam) tersebut juga sah di sisi makmum karena raka’at tersebut termasuk bagian dari shalatnya sejak asal. [3]
Rumah Lendah, 18 Rabi’ul akhir 1441/ 15 Desember 2019
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Dalil jumhur ulama dalah masalah ini hadits Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau terlambat mendatangi shalat berjama’ah sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah dalam posisi ruku’. Maka Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu langsung ruku’, meskipun belum sampai masuk ke dalam shaf. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan Abu Bakrah untuk mengulangi raka’at yang dia terlambat tersebut, yang menunjukkan bahwa raka’atnya tersebut sah (HR. Bukhari no. 784).
[2] Silakan dilihat kembali tulisan yang lain di sini:
[3] Pembahasan ini kami sarikan dari kitab Ahkaam Khudhuuril Masaajid karya Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, hal. 158-159 (cetakan ke empat tahun 1436, penerbit Maktabah Daarul
Minhaaj, Riyadh KSA).
Sumber: https://muslim.or.id/54009-kapankah-seseorang-dikatakan-mendapati-shalat-jamaah.html
Kembali ke menu/atas
12. Hukum Sujud diatas Alas Lantai atau Penghalang
Sebagian kaum Muslimin mempermasalahkan sujud seseorang dalam shalat yang tidak langsung ke lantai melainkan di atas suatu alas lantai seperti karpet, sajadah, atau semisalnya. Berikut ini penjelasan Asy Syaikh Al ‘Allamah Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.
Soal:
Apa hukum sujud di atas suatu penghalang yang menghalangi lantai?
Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjawab:
Sujud di atas suatu penghalang yang menghalangi dari lantai ada tiga keadaan: ada yang terlarang, ada yang boleh dan ada yang makruh.
Yang terlarang adalah jika salah satu bagian tubuh anggota sujudnya berada di atas anggota sujud yang lain. Misalnya seperti meletakkan kedua tangannya atau salah satunya di atas pahanya, atau sujud dalam keadaan jidatnya berada di atas kedua tangannya, atau meletakkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain. Ini semua tidak dibolehkan dan membatalkan shalatnya, karena sujud di atas tujuh anggota sujud itu adalah rukun shalat. Dan dalam keadaan tesebut ia meninggalkan sebagian anggota sujudnya sehingga ia dihukumi telah bersujud dengan anggota sujud yang tidak sempurna.
Adapun penghalang yang makruh adalah jika sujud di atas bagian pakaian yang muttashil (bersambung) dengan orang yang shalat tersebut, atau di atas imamah yang ia pakai tanpa udzur.
Adapun yang dibolehkan adalah jika penghalang tersebut ghayru muttashil (tidak bersambung) dengan orang yang shalat. Maka termasuk yang dibolehkan dalam shalat adalah semua jenis alas-alas lantai yang mubah.
(Sumber: Irsyad Ulil Bashair wal Albab li Nailil Fiqhi, hal. 49, Maktabah Mishr).
*
Penyusun: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/28563-fatwa-ulama-hukum-sujud-di-atas-alas-lantai-atau-penghalang.html
Kembali ke menu/atas
13. Apa hukum menunda shalat karena pekerjaan?
Soal:
Apa hukum menunda shalat karena pekerjaan?
Jawab:
Jika penundaan shalat tersebut masih dalam rentang awal hingga akhir waktu, dan shalat masih dikerjakan pada waktunya, maka tidak mengapa. Karena menyegerakan shalat di awal waktu adalah perkara afdhaliyah (hal yang utama), tidak sampai wajib. Ini jika tidak ada shalat jama’ah di masjid. Jika ada shalat jama’ah di masjid, maka wajib menghadiri shalat jama’ah. Kecuali bila ia memiliki udzur syar’i untuk tidak menghadiri shalat jama’ah.
Jika penundaan shalat tersebut sampai keluar dari waktunya, maka ini tidak diperbolehkan. Kecuali jika seseorang itu lupa atau tenggelam dalam kesibukannya sehingga terlewat dari shalat, dalam hal ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من نام عن صلاة أو نسيها فليصلها إذا ذكرها
“barangsiapa yang tertidur hingga ia melewatkan shalat, atau terlupa, maka hendaknya ia shalat ketika ia ingat”
Maka untuk kasus demikian, ketika ia ingat, segeralah ia kerjakan shalat, dan ini tidak mengapa.
Namun jika kasusnya, ia sebenarnya ingat waktu shalat, namun karena alasan sibuk dengan pekerjaan lalu ia tunda shalatnya (hingga keluar dari waktunya) maka ini haram dan tidak boleh. Andaikan ia tetap mengerjakan shalat setelah habis waktunya, shalatnya tetap tidak diterima. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد
“barangsiapa mengamalkan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka ia tertolak”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa orang yang sengaja menunda shalat sehingga keluar dari waktunya tanpa udzur syar’i maka ia tidak bisa mengganti shalat tersebut. Karena sudah keluar dari waktu yang diperintahkan oleh syariat untuk mengerjakannya tanpa udzur, sehingga ia menjadi amalan yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Wallahul muwaffiq.
Sumber: http://islamancient.com/newsite/play.php?catsmktba=10316
Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/28558-fatwa-ulama-bolehkah-menunda-shalat-karena-pekerjaan.html