• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Senin, 10 Maret 2025

Qadha’ Shalat yang Luput

Bagikan

Daftar Isi :
1. Pengertian Qadha’ Shalat
2. Ada Shalat Al-Adaa’ dan Al-I’adah
3. Siapa yang Wajib Mengqadha’ Shalat?
4. Qadha’ Shalat Karena Tidur dan Lupa
6. Qadha’ Shalat bagi yang Meninggalkannya dengan Sengaja
7. Jangan Kira Sekadar Qadha’ Shalat Sudah Menghapuskan Dosa
8. Qadha’ Shalat Karena Murtad
9. Qadha’ Shalat Karena Gila
10. Qadha’ Shalat Karena Pingsan
11. Qadha’ Shalat bagi Shabiy (Anak Kecil)
12. Qadha’ Shalat bagi yang Masuk Islam di Negeri Perang
13. Qadha’ Shalat karena Mabuk
14. Qadha’ Shalat Orang yang Dibius
15. Qadha’ Shalat Sunnah

1. Pengertian Qadha’ Shalat

Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahdalam Manhajus Salikin,

وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا

“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.”

Secara bahasa, qadha’ punya beberapa makna. Qadha’ kadang dimaksudkan untuk hukum terhadap sesuatu. Bisa maknanya pula adalah selesai dari sesuatu, seperti dalam ayat,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10). Juga qadha’ bisa bermakna hukum, ijab, dan hukum yang telah berlalu.

Sedangkan secara istilah, qadha’ adalah menjalankah ibadah setelah waktunya lewat.

Ibnu ‘Abidin mengatakan bahwa yang dimaksud qadha’ adalah mengerjakan yang wajib setelah waktunya. Adapun qadha’ shalat yang luput adalah qadha’ shalat yang sudah berlalu waktunya dan belum dikerjakan. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 3:24.

2. Ada Shalat Al-Adaa’ dan Al-I’adah

Shalat al-adaa’ adalah mengerjakan shalat pada waktunya. Shala al-i’adah adalah mengerjakan shalat untuk kedua kalinya.

Imam Al-Hashkafi mengatakan bahwa shalat al-adaa’ adalah mengerjakan shalat pada waktunya. Sedangkan shalat al-i’aadah adalah mengerjakan shalat seperti yang wajib pada waktunya karena ada yang kurang, namun bukan sesuatu yang membatalkan shalat. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 3:24.

Contoh hadits yang menyebutkan tentang shalat al-i’adah.

Dari Yazid bin Al-Aswad, ia berkata,

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ فِي مَسْجِدِ الْخَيْفِ فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ إِذَا هُوَ بِرَجُلَيْنِ فِي آخِرِ الْقَوْمِ لَمْ يُصَلِّيَا مَعَهُ قَالَ عَلَيَّ بِهِمَا فَأُتِيَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا فَقَالَ مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا قَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا قَالَ فَلَا تَفْعَلَا إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ

“Aku pernah menghadiri shalat Shubuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Masjid Al-Khaif. Ketika selesai shalat, ternyata ada dua orang laki-laki di belakang shaf yang tidak shalat bersama beliau. Beliau bersabda, ‘Bawalah dua orang laki-laki tersebut kepadaku.’ Dibawalah kedua laki-laki itu oleh para shahabat ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan gemetar sendi-sendinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk shalat bersama kami?’ Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami telah shalat di rumah kami.’ Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jangan kalian lakukan. Apabila kalian telah shalat di rumah-rumah kalian, lalu kalian mendatangi masjid yang sedang melaksanakan shalat berjamaah, maka shalatlah kalian bersama mereka, karena shalat itu bagi kalian terhitung sebagai shalat sunnah.’” (HR. An-Nasa’i, no. 858. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits inihasan).

Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا. قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ صَلِّ الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ

“Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?” Abu Dzar berkata, “Aku berkata “Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?” Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya. Apabila engkau mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah (bersamanya). Sesungguhnya ia dihitung bagimu sebagai shalat sunnah.” (HR. Muslim, no. 648).

Ibadah Dilihat dari Masalah Qadha’

1. Ada ibadah yang boleh diqadha’ setiap waktu seperti nadzar.
2. Ada ibadah yang boleh diqadha’ pada yang semisal waktunya saja seperti haji.
3. Ada ibadah yang menerima adaa’ dan qadha’ seperti haji, puasa, dan shalat.
4. Ada ibadah yang menerima adaa’ saja, dan tidak ada qadha’ seperti shalat Jumat, hanya dikerjakan pada waktu Zhuhur saja.
5. Ada ibadah yang masih boleh ditunda waktu qadha’nya seperti menunda qadha’ puasa Ramadhan, tidak ditunda sampai Ramadhan berikutnya menurut jumhur (mayoritas) ulama.

Siapa yang Wajib Mengqadha’ Shalat?

Para fuqaha sepakat bahwa yang wajib mengqadha’ shalat yang luput adalah orang yang lupa dan orang yang tertidur.

Para fuqaha’ menganggap bahwa orang yang mabuk juga wajib mengqadha’ shalat, bahkan ada ulama yang menganggapnya sebagai ijmak seperti diklaim Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla dan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni. Namun ada pendapat ulama Hanabilah yang menyatakan bahwa orang mabuk tidak wajib mengqadha’.

Yang jelas para ulama tidak berbeda pendapat bahwa wanita haidh, wanita nifas, dan orang kafir asli ketika masuk Islam tidak perlu mengqadha’ shalat yang luput.

Bahasan ini masih berlanjut tentang pembahasan qadha’ shalat. Semoga Allah mudahkan untuk terus meraih ilmu yang bermanfaat.

Referensi:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Sumber https://rumaysho.com/18853-manhajus-salikin-qadha-shalat-yang-luput-01.html

4. Qadha’ Shalat Karena Tidur dan Lupa
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah berfirman (yang artinya): Kerjakanlah shalat ketika ingat.” (QS. Thaha:14). (HR. Muslim, no. 684)

Orang yang luput dari shalat karena tertidur atau lupa, maka tidak ada dosa untuknya, namun wajib baginya mengqadha’ shalat ketika ia bangun atau ketika ia ingat. Lihat penjelasan dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 111783.

5. Qadha’ Shalat yang Diperselisihkan Para Ulama
Ada qadha’ shalat yang para ulama perselisihkan wajibnya seperti:

1. Meninggalkan shalat dengan sengaja
2. Orang yang murtad
3. Orang gila setelah ia sadar
4. Orang yang pingsan
5. Anak kecil ketika ia telah baligh
6. Orang yang masuk Islam di negeri perang
7. Orang yang shalat dalam keadaan tidak berthaharah karena tidak punya kemampuan

6. Qadha’ Shalat bagi yang Meninggalkannya dengan Sengaja
Menurut jumhur ulama tetap ada qadha’ bagi shalat yang ditinggalkan dengan sengaja. Namun, sebagian ulama berpandangan bahwa tidak wajib qadha’ bagi yang meninggalkan shalat dengan sengaja. Yang jelas orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja telah terjatuh dalam dosa besar. Kewajibannya adalah bertaubat kepada Allah yaitu menyesal, kembali lagi mengerjakan shalat, dan bertekad tidak akan meninggalkannya lagi pada masa akan datang. Hendaklah ia rajin mengerjakan pula amal shalih dan menutup kesalahannya dengan rajin mengerjakan shalat sunnah.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Adapun orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja sampai keluar waktunya, maka tidak ada qadha’ baginya selamanya. Hendaklah ia memperbanyak amalan kebaikan dan rajin mengerjakan shalat sunnah untuk memberatkan timbangannya pada hari kiamat. Hendaklah ia bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas kesalahan-Nya.” (Al-Muhalla, 2:235).

Pendapat yang menyatakan tidak perlu ada qadha’ juga menjadi pendapat ‘Umar bin Al-Khatthab, Ibnu ‘Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Salman, Ibnu Mas’ud, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr, Badil Al-‘Uqaili, Muhammad bin Sirin, Mutharrif bin ‘Abdillah, dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Pendapat ini juga dianut oleh Daud Az-Zahiriy, Ibnu Hazm, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah serta Asy-Syaukani. Ulama belakangan yang memilih pendapat ini adalah Syaikh Al-Albani, Syaikh Ibnu Baz, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.

Di antara dalil yang menyatakan tidak ada qadha’ adalah karena waktu shalat sudah ada batasannya sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103). Berarti tidak boleh mengerjakan shalat di luar dari waktunya kecuali jika ada dalil.

Dalam Al-Muhalla (2:235) disebutkan bahwa karena Allah telah menetapkan waktu shalat punya batasan awal dan akhir, maka jika shalat tidak boleh dilakukan sebelum waktunya, maka tidak boleh dilakukan setelah waktunya habis.

7. Jangan Kira Sekadar Qadha’ Shalat Sudah Menghapuskan Dosa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Minhaj As-Sunnah (5:233) menyatakan bahwa ulama-ulama yang memerintahkan untuk mengqadha’ shalat bagi orang yang meninggalkannya dengan sengaja tidaklah mengatakan bahwa dengan qadha’ semata lantas dosa meninggalkan shalatnya jadi terhapus atau jadi ringan. Jika ia luput dari shalat hingga keluar waktu dan dilakukan dengan sengaja, maka tetap butuh untuk bertaubatsebagaimana dosa-dosa lainnya. Ia butuh memperbanyak kebaikan untuk menghapuskan kesalahannya atau menghapuskan hukumannya.

Masih berlanjut tentang masalah qadha’ shalat yang luput pada edisi berikutnya insya Allah.

Referensi:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
Fatwa Al–Islam Sual wa Jawab, https://islamqa.info/ar/answers/111783, oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid.

Sumber https://rumaysho.com/18947-manhajus-salikin-qadha-shalat-yang-luput-02.html

8. Qadha’ Shalat Karena Murtad

Ulama Hanafiyah dan ulama Malikiyah menganggap tidak ada qadha’ bagi shalat yang ditinggalkan selama ia murtad karena selama itu ia kafir.

Sedangkan ulama Syafi’iyah menganggap shalatnya tetap diqadha’ ketika masuk Islam kembali sebagai peringatan keras baginya. Sedangkan pendapat dari Imam Ahmad ada dua yaitu tidak qadha, pendapat lainnya disuruh qadha’. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:27.

9. Qadha’ Shalat Karena Gila

Adapun orang gila ketika ia gila tidaklah dibebani syariat.

Kalau ia sadar dari gilanya, maka menurut ulama Hanafiyah, ia punya kewajiban qadha’. Ulama Malikiyah juga menganggap masih ada qadha’.

Adapun ulama Syafi’iyah merinci, asalnya tidak ada qadha’ kecuali bagi yang sengaja sampai membuatnya gila.

Adapun ulama Hanabilah (Hambali) menganggap bahwa orang gila itu tidak dibebani syariat. Selama ia gila, maka shalat yang ia tinggalkan tidak diperintahkan untuk diqadha’ kecuali ia sadar pada waktu shalat. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:27-28.

Syaikh Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih hafizhahullah menyatakan bahwa tidak wajib shalat bagi orang kafir dan orang gila. Namun jika orang kafir masuk Islam atau orang gila kembali sadar dan itu masih berada dalam waktu shalat dengan mendapatkan satu rakaat, maka shalat tersebut tetap ditunaikan. Lihat Al-Mukhtashar fii Al-‘Ibadah, hlm. 52.

10. Qadha’ Shalat Karena Pingsan

Adapun orang yang pingsan, ia tidak punya keharusan mengqadha’ shalat kecuali ia sadar dan mendapati sebagian waktu shalat. Inilah pendapat Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Namun ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa kalau pingsannya disengaja, maka ia punya kewajiban untuk qadha’.

Ulama Hanafiyah menganggap bahwa orang yang pingsan tidak ada qadha’ jika waktu pingsannya bertambah sehari semalam (lebih dari lima shalat). Sedangkan jika pingsan dalam masa lima shalat atau kurang, tetap qadha’.

Ulama Hambali menganggap bahwa orang yang pingsan itu seperti orang yang tidur. Ia tetap dikenakan qadha’ sebagaimana keadaan orang yang tertidur. LihatAl-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:28.

Ada riwayat yang disebutkan bahwa ‘Ammar bin Yasir pernah tidak sadarkan diri selama tiga hari, kemudian ia sadar dan mengqadha’ shalatnya. Hal yang sama dilakukan oleh ‘Imran bin Hushain dan Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhuma. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 11:110.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah menerapkan atsar ‘Ammar tersebut untuk menyatakan tentang masalah orang yang pingsan jika tiga hari atau kurang, maka tetap diqadha’ shalatnya. Namun jika lebih dari tiga hari, tidak ada qadha’ shalat.

Catatan:
Jika orang yang pingsan diserupakan dengan orang yang hilang ingatan karena gila lebih mendekati daripada mengaitkannya dengan orang yang tidur. Siapa yang hilang akal karena sebab yang mubah seperti karena obat, sakit, atau kecelakaan, maka tidak ada qadha’ baginya jika telah keluar waktu. Inilah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i, juga merupakan salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang menyatakan tidak ada qadha’ bagi yang pingsan menjadi pendapat sebagian salaf dari kalangan para sahabat. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Hazm karena menjadi amalan Ibnu ‘Umar dan Anas bin Malik.

Dari ‘Amr bin Ibnu Qais, dari ‘Ashim, ia menyatakan, “Anas bin Malik pernah pingsan dan ia tidak mengqadha’ shalatnya.” (HR. Ibnul Mundzir dalam Al-Awsath, 2333).

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah sakit beberapa hari dalam keadaan tidak sadar, lalu ia kembali sehat dan sadar, namun ia tidak mengqadha’ shalat yang luput. (HR. Ibnul Mundzir dalam Al-Awsath, 2331, sanad hadits ini shahih)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah sakit selama tiga hari, ia tidak mengqadha’ shalatnya. (HR. Ibnul Mundzir, 2332 sanad hadits ini shahih)

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat itu mengqadha’ shalat karena pingsan namun riwayatnya tidaklah shahih seperti tentang ‘Ammar bin Yasir, juga Samurah bin Jundub dan ‘Imran bin Hushain. Lihat bahasan Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin, 1:172-173.

Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhalla (2:234), “Telah shahih dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyelisihi pendapat ‘Amar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu.”

Semoga Allah beri taufik dan hidayah.

Referensi:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
Al-Mukhtashar fii Al-‘Ibadah. Cetakan kedua, Tahun 1428 H. Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad Al-Musyaiqih. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.
Fatwa Al–Islam Sual wa Jawab https://islamqa.info/ar/answers/151203/oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid.
Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Sumber https://rumaysho.com/18976-manhajus-salikin-qadha-shalat-yang-luput-03.html

11. Qadha’ Shalat bagi Shabiy (Anak Kecil)
Menurut jumhur (mayoritas) fuqaha, shalat tidaklah diwajibkan pada shabiy(anak kecil). Shalat diperintahkan kepada anak kecil ketika sudah berusia tujuh tahun, lalu ketika usia sepuluh tahun belum mau mengerjakan, maka ia dipukul.

Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ

“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud, no. 495. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ulama Syafi’iyah menegaskan bahwa anak kecil dan sudah tamyiz, lantas ia meninggalkan shalat, diperintahkan untuknya mengqadha’ shalat ketika ia baligh, dan itu cuma nadbanatau dianjurkan saja, tidaklah jadi wajib. Karena anak kecil yang belum baligh masih disunnahkan untuk mengerjakan shalat (bukan wajib). Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:28.

12. Qadha’ Shalat bagi yang Masuk Islam di Negeri Perang

Orang yang masuk Islam di negeri perang, lantas ia meninggalkan shalat atau puasa, dan ia tidak mengetahui kewajiban tersebut, ulama Hambali menyatakan bahwa orang semacam ini diperintahkan untuk mengqadha’nya. Hal ini juga menjadi pemahaman ulama Syafi’iyah dan perkataan dari ulama Malikiyah. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:29.

Orang yang Tidak Bisa Bersuci, Apakah Tetap Shalat?
Menurut ulam Syafi’iyah, orang yang tidak bisa bersuci tetap wajib shalat, namun cuma boleh mengerjakan shalat wajib saja. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:29.
Qadha’ Shalat untuk Orang Mukim dan Musafir

Disebutkan dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (27:281), ulama Hanafiyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah dalam qaul qadim berpendapat bahwa jika ada shalat safar yang luput lalu diqadha ketika mukim, maka shalatnya dikerjakan dua rakaat (sama seperti saat safar, pen.). Jika ada shalat saat mukim diqadha ketika safar, maka shalatnya tetap empat rakaat (sama seperti saat mukim dikerjakan sempurna, pen.). Karena qadha’ shalat mempertimbangkan shalat yang ia mesti kerjakan tepat pada waktunya (shalat ada’an).

Ulama Hambali punya pendapat berbeda. Jika lupa mengerjakan shalat mukim, lalu ingat ketika safar atau lupa mengerjakan shalat saat safar dan ingatnya ketika mukim, maka shalatnya untuk dua keadaan tersebut dikerjakan dengan sempurna seperti mukim. Karena qashar shalat cuma rukhsah ketika safar. Ketika tidak safar, gugur untuk mengqashar. Pendapat ini menjadi pegangan Imam Ahmad, juga pendapat dari Abu Daud dan Al-Atsram.

Cara Baca Surah ketika Mengqadha Shalat yang Luput
Ulama Syafi’iyah berpandangan yang paling tepat adalah menjadikan waktu qadha’ shalat sebagai patokan. Misalnya mengqadha’ shalat Maghrib pada waktu Isya, berarti bacannya dijaherkan (dikeraskan). Mengqadha’ shalat Zhuhur pada waktu Ashar, berarti bacaannya disirrkan (dilirihkan). Begitu pula mengqadha’ shalat malam pada siang hari atau sebaliknya, yang dijadikan patokan adalah waktu qadha’nya.

Imam Nawawi rahimahullah berpendapat bahwa untuk shalat Shubuh, walaupun diqadha’ ketika sudah siang tetap bacaannya dijaherkan (dikeraskan). Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:30.

Berurutan dalam Mengerjakan Qadha’

Ulama Hanfiyah, Malikiyah, dan Hambali berpandangan bahwa tartib (berurutan) itu wajib dalam mengerjakan shalat yang luput. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan salah satu pendapat Malikiyah menganggap berurutan dalam mengerjakan qadha’ shalat yang luput dianjurkan (tidak jadi wajib). Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:31.

Dalil baiknya mengerjakan qadha’ shalat secara berurutan (misalnya, qadha’ shalat Zhuhur kemudian Ashar) adalah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu di mana disebutkan,

إِنَّ المُشْرِكِيْنَ شَغَلُوا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَرْبَعِ صَلَواتٍ يَوْمَ الخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللهُ فَأَمَرَ بِلَالًا فَأَذَنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى المَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى العِشَاءَ

“Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari empat shalat pada perang Khandaq hingga lewat sebagian malam sesuai kehendak Allah. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan azan, lalu iqamah kemudian shalat Zhuhur dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Ashar dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Maghrib dilaksanakan, lalu iqamah kemudian shalat Isya dilaksanakan.” (HR. Tirmidzi, no. 178. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Bersegera dalam Mengerjakan Shalat Qadha’
Ulama Malikiyah, Hambali menganggap hal ini wajib. Sedangkan ulama Syafi’iyah seperti Imam Nawawi menganggap fawriyyah (mengerjakan segera) dalam qadha’ shalat tidaklah wajib. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:31-32.

Dalil yang menunjukkan baiknya qadha’ shalat yang luput dilakukan sesegera mungkin (fawran) adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat.” (HR. Muslim, no. 684)

Referensi:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Sumber https://rumaysho.com/19005-manhajus-salikin-qadha-shalat-yang-luput-04.html

13. Qadha’ Shalat karena Mabuk

Yang jelas, orang mabuk tidak boleh melaksanakan shalat. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)

Yang pemabuk lakukan adalah dosa besar. Kalau sampai keluar waktu, maka ia diperintahkan mengqadha’ shalat. Ada ijmak (kesepakatan ulama) dalam hal ini seperti dikatakan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, dan Ibnu Nujaim. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 189.

14. Qadha’ Shalat Orang yang Dibius

Siapa yang hilang kesadaran karena bius atau obat-obatan, maka ia diwajibkan qadha’ shalat walaupun panjang waktunya. Inilah pendapat ulama seperti ulama Hanafiyah, ulama Hambali, dan dipilih oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, serta fatwa dari ulama Al-Lajnah Ad-Daimah. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat tidak ada qadha’.

Wallahu a’lam pendapat terakhir ini lebih tepat sebagaimana penjelasan qadha’ shalat bagi orang yang pingsan yang diterangkan dalam Qadha’ Shalat yang Luput #03.

Mengingat Shalat yang Luput di Waktu Shalat Lainnya
Siapa saja luput shalat lantas ia mengingatnya di waktu shalat lainnya, maka ia mengerjakan shalat yang luput terlebih dahulu, barulah shalat yang ia dapati waktunya. Secara umum seperti itu. Ada nukilan ijmak akan hal ini dari Imam Nawawi rahimahullah. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 189. Walaupun dalam segi urutan mengerjakan shalat yang luput (al-faaitah) dan shalat yang didapati waktunya (al-haadirah) ada perbedaan pendapat di antara para ulama akan wajib dan sunnahnya.

Lupa Beberapa Shalat Namun Tidak Jelas Shalatnya
Siapa yang lupa satu, dua, tiga, empat dari shalat lima waktu yang ada, namun ia tidak bisa menentukan shalat apakah itu, maka ia harus mengerjakan shalat lima waktu. Demikian atas dasar kesepakatan empat ulama madzhab. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 190.

Penghalang Hilang Sebelum Habis Waktu Shalat
Siapa saja yang suci dari haidh, sadar dari gilanya, siuman setelah pingsan, atau masuk Islam dari sebelumnya kafir lalu ia mendapati waktu shalat sekadar satu rakaat, maka tetap ia mengerjakan shalat. Ada ijmak dalam hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dan Imam Asy-Syaukani. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 190.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ

“Siapa yang mendapatkan satu rakaat, maka ia telah mendapatkan shalat.” (HR. Bukhari, no. 580 dan Muslim, no. 607)

Tidak Berurutan dalam Mengerjakan Qadha’

Syarat tartib (berurutan) dalam qadha’ shalat dapat gugur karena tiga alasan:

Pertama: Lupa
Kedua: Karena tidak tahu
Dalil dari dua hal ini adalah firman Allah Ta’ala,

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al-Baqarah: 186). Dalam hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman,

قَدْ فَعَلْتُ

“Aku telah penuhi.” (HR. Muslim, no. 126, dari Ibnu ‘Abbas)

Ketiga: Khawatir luput dari shalat atau waktu shalat semakin sempit.

Seperti orang yang tertidur dari shalat Isya dan barulah bangun ketika matahari akan terbit, saat itu masih bisa mendapati waktu untuk berwudhu dan mengerjakan shalat dua rakaat. Maka ketika itu didahulukan mengerjakan shalat hadhirah (shalat yang saat itu ada) yaitu shalat Shubuh, barulah setelah itu ia mengqadha’ shalat Isya yang belum dikerjakan.

15. Qadha’ Shalat Sunnah

Ulama Hanafiyah, Malikiyah yang masyhur, dan ulama Hambali memilih shalat sunnah yang sudah selesai waktunya tidak perlu qadha’ kecuali shalat sunnah Fajar. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 34:37.

Dalilnya adalah dari Qois (kakeknya Sa’ad), ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah melihatku sedang shalat sunnah Fajar setelah shalat Shubuh. Beliau berkata, “Dua rakaat apa yang kamu lakukan, wahai Qois?” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shalat sunnah Fajar. Inilah dua rakaat shalat sunnah tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mendiamkannya.” (HR. Al-Hakim. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim. Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa hadits ini memiliki ‘illah yaitu munqothi’ seperti kata Tirmidzi).

Masih Dibolehkan Mengerjakan Qadha’ Shalat pada Waktu Terlarang Shalat

Inilah yang jadi pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambali. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Siapa yang lupa shalat atau tertidur darinya, maka kafarahnya (tebusannya) adalah ia mengerjakan shalat ketika ia ingat.” (HR. Muslim, no. 684, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Referensi:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Sumber https://rumaysho.com/19028-manhajus-salikin-qadha-shalat-yang-luput-05.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M