Abu al Wafa’ Ibnu Aqil
Ibnu Aqil al Hanbali : Tak Luntur Semangat Thalabul Ilmi
Beberapa ahli menyebut “Al Funun” sebagai kitab terbesar sepanjang sejarah. Ada yang mengatakan 200 jilid, 300 jilid, 400 jilid, bahkan ada pula yang mengklaim 800 jilid. Adz Dzahabi (Siyar A’lam 14/330) menyatakan, “ Kitab tersebut lebih dari 400 jilid”. Ibnu Rajab al Hanbali (Dzail Thabaqat 1/344) menilai Al Funun sebagai , “Kitab yang besar sekali”.
Siapakah penulisnya?
Nama lengkapnya, Abul Wafa’ Ali bin Aqil bin Muhammad bin Aqil al Baghdadi al Hanbali. Lebih akrab dan familiar dengan panggilan Ibnu Aqil al Hanbali. Lahir tahun 431 H, 1011 tahun yang lalu. Sejak kecil telah terlihat menonjol dan memiliki kelebihan dibandingkan anak-anak sebayanya.
Abu Thahir as Silafy, seorang muridnya, mengakui, “ Kedua mataku tidak pernah melihat orang sehebat Abul Wafa Ibnu Aqil al Faqih. Tidak ada satu orang pun yang mampu berbicara di hadapan beliau, dikarenakan ilmunya yang luas, keindahan penyampaian, bahasa bersastra tinggi, dan kekokohan argumen”
Ibnu Aqil bercerita (Siyar A’lam 14/330), “ Allah telah menjaga saya sejak usia muda dengan berbagai macam penjagaan (dari maksiat). Minat saya hanya terfokus pada ilmu. Satu kali pun, tidak pernah saya bergaul akrab dengan teman yang senang bermain. Saya tidak mau berteman kecuali dengan kawan-kawan yang sama semangat thalabul ilmi”
Demikianlah, Kawan!
Inilah resep dan kiat untuk berhasil. Manfaatkan masa muda! Masa muda ibarat pondasi, jika kita menganalogikan kehidupan sebagai bangunan. Pondasi yang kokoh dan kuat akan mampu menahan beban seberat apapun itu. Nah, beban kehidupan itu amat berat. Jika masa muda dimanfaatkan sebaik-baiknya, maka berbahagialah engkau. Sebab, beban-beban yang pasti engkau hadapi di masa depan akan terasa ringan.
Isi masa mudamu dengan ilmu dan kegiatan yang positif, Kawan. Contohlah Ibnu Aqil! Beratus-ratus jilid yang ditulis Ibnu Aqil bukan dari masa muda yang berleha-leha dan bermalasan. Bukan dengan masa muda yang dipenuhi main-main dan senang-senang. Masa muda yang prihatin dan tak kenal lelah untuk berbenah adalah bekal utama hidupmu.
Pilihlah teman yang baik! Inipun kunci keberhasilan. Lihat Ibnu Aqil! Beliau tidak mau bergaul dan berteman dengan orang-orang yang lebih senang bermain dan bermalasan. Ingat, teman dapat memberikan pengaruh. Pilihlah teman yang baik, teman yang rajin, teman yang semangat, dan teman yang saleh.
Masa muda yang dimanfaatkan dengan baik membantumu untuk kuat. Masa muda yang dipenuhi dengan ilmu dan kegiatan bermanfaat adalah bekal untuk menjadi tegar.
Ibnul Jauzi bercerita (al Muntazham 17/148), “Aku kehilangan dua anak laki-laki yang baik. Pertama, sudah hafal al Quran dan belajar fiqih. Ia meninggal sebelum mencapai usia baligh. Kedua, meninggal dunia juga setelah hafiz al Quran dan mampu menulis dengan indah”
Ibnul Jauzi memuji, “ Dua anak laki-lakinya meninggal dunia. Terlihat jelas kesabaran Ibnu Aqil yang membuat kita takjub”
Inilah buah dari ilmu! Manfaat ketekunan di usia muda akan banyak membantu untuk kuat dan tegar. Mengerti bahwa segala sesuatu telah diatur sempurna dan indah oleh Allah Ta’ala. Adakah musibah yang lebih menyedihkan dibandingkan kehilangan dua anak laki-laki yang saleh dan berbakti? Adakah beban hidup yang lebih berat dari ini?
Apa yang membuat beliau tegar? Ibnu Aqil menjelaskan,” Kalau bukan dikarenakan hati ini sangat yakin akan pertemuan yang kedua (hari kiamat kelak), niscaya hilang sudah semangat hidup karena berpisah dengan orang-orang yang dicintai”
Rahimahullah. Semoga Allah merahmati Ibnu Aqil. Beliau telah menjadi teladan baik untuk kita.
Semangat Ibnu Aqil dalam belajar tidak pernah luntur. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Usia bukan alasan untuk berhenti belajar. Bertambah usia, bertambahlah pula semangat belajar. Semakin belajar, semakinlah sadar bahwa ilmu yang dimiliki sangatlah berkadar.
Kata Ibnu Aqil : “ Di usia 80 tahun ini, semangat saya untuk menuntut ilmu lebih besar dibandingkan semangat di saat usia 20 tahun”. Ibnu Aqil wafat di usia 82 tahun. Diperkirakan jenazah beliau dishalatkan oleh 300 ribu orang.
Semoga semangat belajarmu tetap terjaga, Kawan. Bersabarlah dalam thalabul ilmi.
Bersambung ( Ibnu Aqil al Hanbali : Kisah Taubat Inspiratif) …..
Lendah. Jum’at pagi. 25 Juni 2021
t.me/anakmudadansalaf
Sumber : https://www.atsar.id/2021/06/ibnu-aqil-al-hanbali-tak-luntur.html
Ibnu Aqil al Hanbali : Kisah Taubat Inspiratif
8 Muharram 465 H , Ibnu Aqil mengumumkan taubat. Usia beliau waktu itu masih muda, 34 tahun. Masjid yang dikelola oleh Asy Syarif Abu Jakfar, tokoh madzhab Hanbali paling dihormati masa itu, dipilih sebagai lokasi. Khalayak ramai hadir sebagai saksi pertobatannya.
Abu Bakr al Bazzar bercerita, “ Saya turut hadir pada Senin 8 Muharram 465 H , menyaksikan taubatnya Asy Syaikh Al Imam Abul Wafa Ibnu Aqil di masjid Asy Syarif Abu Jakfar -rahimahullah- , di distrik Nahr Mu’alla ( Sungai Mu’alla). Hari itu khalayak ramai ikut menghadiri”
Ibnu Aqil sejak masih muda terpengaruh dan terbawa paham sesat kaum muktazilah. Beliau belajar langsung kepada 2 tokoh terbesar muktazilah di masanya, yakni Abu Ali bin Al Walid dan Abul Qasim bin Tabban. Pada dasarnya beliau sangat cerdas, hingga Adz Dzahabi menilai,” Dalam hal kebid’ahan, tidak ada yang bisa menandingi Ibnu Aqil di zaman tersebut”
Siapakah kelompok muktazilah itu? Muktazilah adalah kelompok sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Akal atau logika menjadi standar untuk menentukan benar salah dan ada tiada. Ada 5 pokok pemikiran yang mereka jadikan sebagai dasar beragama. Mereka menafikan sifat-sifat Allah, mereka meyakini pelaku maksiat akan kekal di dalam neraka dll.
Hidayah adalah milik Allah. Hanya Dia yang menentukan, siapakah yang akan diberi dan siapa yang tidak diberi. Ibnu Aqil yang sudah dan sempat digadang-gadang sebagai penerus aliran muktazilah, Allah berikan hidayah untuk bertaubat.
Ibnu Hajar (Lisanul Mizan 4/243) menulis: “Beliau ini termasuk ulama besar. Memang benar, dulunya Ibnu Aqil penganut faham mu’tazilah. Akan tetapi, beliau telah menyatakan diri bertaubat. Taubatnya pun sungguh-sungguh. Bahkan, beliau menulis kitab untuk membantah kaum mu’tazilah”
Tidak malu untuk mengaku salah. Tidak sungkan untuk menyatakan telah keliru. Padahal pengikutnya tidaklah sedikit. Pengagumnya saat itu lumayan banyak. Terlanjur ditokohkan. Pengaruhnya bisa dirasakan. Namun, apa artinya itu semua jika dibangun di atas kebatilan?
Ibnu Qudamah (Ar Radd ‘ala Ibni Aqil hal.18) menceritakan kronologi taubatnya. Ibnu Aqil dinilai melakukan kesalahan besar dan kesesatan yang fatal. Sampai-sampai beliau dicari dan dikejar-kejar untuk ditangkap.
Suatu hari, dalam pelariannya di atas sebuah kapal, Ibnu Aqil mendengar seorang pemuda berkata,” Sungguh, saya sangat berambisi bisa menemukan Ibnu Aqil untuk saya bunuh dan tumpahkan darahnya sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Allah”.
Mendengar hal itu, Ibnu Aqil terkejut. Segera beliau mencari Asy Syarif Abu Jakfar, tokoh tertinggi dalam madzhab Hanbali saat itu, untuk menyatakan taubat.
Ibnu Qudamah menerangkan,” Berikut ini saya sebutkan teks taubatnya Ibnu Aqil beserta sanadnya. Supaya dapat diketahui bahwa hal-hal yang menyelisihi Sunnah dalam kitab-kitab beliau, hal itu termasuk yang beliau sendiri sudah menyatakan taubat. Jangan sampai ada yang tertipu. Jangan sampai dipegangi karena akan tersesat. Berpegang dengan kesalahan-kesalahan itu, sama artinya dengan status beliau sebelum taubat dari kezindikan dan darahnya yang halal”
Ibnu Rajab al Hanbali (Dzail Thabaqat Hanabilah 1/322) menukil teks taubatnya, :“Sungguh! Saya berlepas diri kepada Allah dari pemahaman mu’tazilah dan pemahaman sesat lainnya. Berlepas diri dari pertemanan tokoh-tokohnya, mengagungkan para pengikutnya, mendoakan rahmat untuk pendahulu-pendahulu mereka, dan menyanjung perilaku mereka”
Selanjutnya, beliau menyatakan, “ Apapun yang pernah saya tulis dan tulisan itu masih ditemukan tentang pemahaman mereka dan kesesatannya, maka saya menyatakan taubat kepada Allah dari tulisan-tulisan tersebut. Tulisan itu tidak halal, tidak boleh dibaca, dan tidak boleh diyakini”
Di bagian akhir, Ibnu Aqil menegaskan bahwa, “ Asy Syarif Abu Jakfar, para guru, dan murid-muridnya – tokoh-tokoh dan saudara-saudaraku yang semoga Allah menjaganya- , mereka semua lah yang benar karena mengingkari apa yang telah mereka lihat dalam tulisan-tulisanku ; yang saya sudah berlepas diri kepada Allah darinya.Saya juga menyatakan bahwa sayalah yang salah, saya tidak benar”
Cukup sampai di sini, Kawan!
Kita harus memohon kepada Allah agar hati terbuka, berjiwa besar, dan dada yang lapang. Sehingga kebenaran dapat diterima dan diikuti dengan tulus hati.
Ya Allah, tunjukkanlah kebenaran kepada kami sebagai kebenaran yang terang benderang. Bimbinglah kami untuk mengikuti kebenaran tersebut. Ya Allah, perlihatkanlah kebatilan itu sebagai kebatilan yang nyata. Bimbinglah kami agar menjauhi dan membenci kebatilan itu.
Sumber : https://www.atsar.id/2021/06/ibnu-aqil-al-hanbali-kisah-taubat-inspiratif.html.html
Ibnu Aqil : Cinta di Balik Kalung Mutiara Bertali Merah
Versi I : Versi Ibnu Aqil
Adz Dzahabi (wafat 748 H) dalam Siyar A’lam Nubala (14/332) menukil Abul Muzaffar Sibt Ibnil Jauzi yang menghikayatkan dari Ibnu Aqil.
Ibnu Aqil bercerita :
“Saya berangkat berhaji. Di perjalanan, saya menemukan kalung mutiara bertali merah. Rupanya, setelah itu, ada orang buta sudah lanjut usia mengumumkan telah kehilangannya. Beliau menjanjikan akan memberi 100 dinar bagi yang menemukannya. Saya kembalikan kalung mutiara itu kepada beliau. “Terimalah 100 dinar ini!”, katanya. Namun, saya menolak. Setelah haji, saya berangkat ke negeri Syam dan mengunjungi Baitul Maqdis. Dalam perjalanan menuju Baghdad, saya singgah di sebuah masjid Aleppo. Dalam kondisi kedinginan dan lapar, jamaah meminta saya menjadi imam salat. Setelah saya mengimami salat, mereka menjamu saya dengan makanan. Hari itu adalah hari pertama di bulan Ramadhan”
Ibnu Aqil melanjutkan :
“Jamaah masjid menyampaikan bahwa, “ Imam masjid kami baru saja meninggal dunia. Tolonglah agar Anda menjadi imam selama bulan Ramadhan”. Saya terima tawaran itu. “Imam masjid kami punya seorang putri”, lanjut mereka. Saya kemudian dinikahkan dengan putri dimaksud”
Setahun kemudian, istrinya melahirkan anak laki-laki. Namun, istrinya sempat jatuh sakit setelah melahirkan. Suatu hari, Ibnu Aqil memperhatikan istrinya yang saat itu sedang memakai kalung mutiara bertali merah seperti kalung yang pernah ditemukannya. Ibnu Aqil lalu bercerita kepada istrinya tentang kalung mutiara itu. Istrinya menangis mendengar cerita itu.
“ Demi Allah! Ternyata orang itu adalah engkau! Sungguh, ayahku dahulu sering menangis dan berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah seorang suami untuk putriku ini seperti laki-laki yang mau mengembalikan kalung mutiara bertali merah kepadaku”
“Ternyata, doa ayahku dikabulkan Allah”, lanjut istrinya. Tidak lama kemudian, istrinya meninggal dunia. Kalung mutiara itu lalu dibawa pulang ke Baghdad oleh Ibnu Aqil.
Versi II : Versi Qadhi Abu Bakar al Anshari
Ibnu Rajab (wafat 795 h ) dalam Dzail Tabaqat Hanabilah (1/443) meriwayatkan kisah Qadhi Abu Bakar al Anshari.
Qadhi Abu Bakar bercerita:
“Saya menetap di Mekkah. Suatu hari saya sangat lapar namun tidak ada sedikitpun makanan yang bisa menghilangkan lapar. Di jalan, saya menemukan kantong sutra dengan tali pengikat dari sutra juga. Kantong itu saya bawa pulang ke rumah. Setelah saya buka, isinya mutiara-mutiara indah yang belum pernah saya lihat sebelumnya”
Qadhi Abu Bakar melanjutkan:
“Cepat-cepat saya keluar rumah. Ternyata ada seorang kakek mengumumkan telah kehilangan kantong sutra. Kakek itu membawa kampil kain berisi 500 dinar. Katanya, “500 dinar ini akan saya berikan kepada yang mau mengembalikan kantong sutra berisi mutiara”
Kata Qadhi Abu Bakar :
“Saya sedang kesulitan. Saya juga lapar. Saya kembalikan saja kantong sutra itu kepadanya dan saya bisa mengambil 500 dinar sebagai hadiah agar dapat saya manfaatkan”
Qadhi Abu Bakar lalu mengajak kakek itu ke rumahnya. Kakek itu secara tepat bisa menyebutkan tanda-tanda kantong sutra, tanda tali pengikatnya, tanda mutiara-mutiara berikut jumlahnya. Maka, Qadhi Abu Bakar mengeluarkan dan menyerahkan kantong sutra itu kepadanya. Sementara, 500 dinar yang dijanjikan akhirnya ditolaknya.Walaupun telah dipaksa berulang kali, Qadhi Abu Bakar tetap menolaknya. Kakek itu lalu pergi.
Qadhi Abu Bakar beberapa waktu kemudian meninggalkan Mekkah melalui jalur laut. Ternyata kapal yang dinaikinya pecah terhantam ombak dan karam. Banyak penumpang tenggelam. Adapun Qadhi Abu Bakar termasuk yang selamat dikarenakan berpegang sepotong kayu bagian kapal. Beberapa waktu, Qadhi Abu Bakar terombang-ambing di lautan tanpa mengetahui arah. Sampai, beliau terdampar di sebuah dataran berpenghuni.
“Saya memilih istirahat di sebuah masjid”,lanjut beliau.
Orang-orang di sana sempat mendengarkan bacaan Al Quran dari Qadhi Abu Bakar. Maka, penduduk kampung itu meminta beliau agar bersedia mengajarkan Al Quran untuk mereka. Penduduk kampung banyak yang memberi uang kepada beliau.
Selanjutnya, bukan hanya Al Quran yang diajarkan. Tulis menulis pun diajarkan. Setelah beberapa lama mengajar di sana, Qadhi Abu Bakar diberi tawaran untuk menikah.”Ada anak gadis yatim di sini. Dia cukup kaya raya”, kata mereka. Mulanya beliau menolak, namun karena disuruh-suruh, akhirnya, tawaran tersebut diiyakan.
Malam pengantin, Qadhi Abu Bakar melihat istrinya mengenakan kalung mutiara seperti mutiara-mutiara yang pernah ditemukannya. Beliau lantas bercerita tentang kisahnya bersama mutiara-mutiara tersebut.
Mendengar kisah itu, orang-orang langsung bertakbir dan bertahlil dengan keras hingga terdengar di sudut-sudut kampung.
“Kakek yang Anda kisahkan tadi adalah ayah dari gadis yang Anda nikahi hari ini”, kata mereka. “Kakek itu dulu selalu berdoa ; “Ya Allah, pertemukanlah aku dengan orang itu supaya bisa saya nikahkan dengan putriku”.
Setelah menikah, Qadhi Abu Bakar menetap di sana beberapa waktu sampai Allah karuniakan dua anak laki-laki. Istrinya lalu meninggal yang disusul kedua anak laki-lakinya.
“Mutiara-mutiara itu lalu saya jual senilai 100.000 dinar. Harta yang saya miliki dan kalian lihat sekarang ini, adalah sisa-sisa dari hasil penjualan tersebut”, jelas Qadhi Abu Bakar.
Kesimpulan :
Ibnu Rajab (Dzail Tabaqat 1/443) menerangkan :
“Cerita di atas (Qadhi Abu Bakar) dibawakan oleh al Hafiz Yusuf bin Khalil dalam Mu’jam-nya. Sementara Ibnu Najjar dalam Tarikh-nya mengatakan ; Cerita ini sangat menakjubkan”.
“Namun, saya menilai Qadhi Abu Bakar bercerita tentang orang lain”, lanjut Ibnu Rajab.
Mengenai cerita kalung mutiara versi I yang disebutkan Abu Muzaffar dari Ibnu Aqil, Ibnu Rajab menilai, “Abu Muzaffar tidak bisa dijadikan patokan dalam nukilan-nukilannya. Beliau juga tidak menyebutkan sanad bersambung sampai kepada Ibnu Aqil. Beliau pun tidak menyebutkan sumber referensi yang terpercaya. Ibnu Aqil sendiri tidak ada data yang menunjukan beliau pernah ke negeri Syam’
Lalu bagaimana?
“Menisbatkan kisah di atas kepada Qadhi Abu Bakar al Anshari tentu lebih tepat. Wallahu a’lam”, tutup Ibnu Rajab.
Tiga catatan dari artikel ini :
1. Cinta selalu saja mewartakan tentang keajaiban-keajaiban. Ada cerita indah yang walau tersembunyi, pada akhirnya bersinar cerah. Jodoh adalah rahasia Allah. Jarak, waktu, usia, harta, atau nasab bukanlah ukuran baku. Cinta selalu menghadirkan cerita.
2. Doa orangtua memang dahsyat! Sayang, masih banyak orangtua yang tidak menyadari. Kalaupun sadar, hanya sedikit yang mengetuk pintu doa untuk kebaikan agama dan akhirat anaknya. Rata-rata, orangtua mendoakan kesuksesan duniawi anaknya saja. Bagaimana ia bisa berpangkat, ia kaya raya, ia berjodoh dengan berkriteria materi. Sayang, doa orangtua yang mustajab tidak dimanfaatkan baik-baik.
3. Wanita yang baik hanyalah untuk laki-laki yang baik. Sebaliknya pun demikian. Jika engkau berharap hidup bersanding dengan seorang istri yang spesial, yang istimewa, dan salehah tentunya, maka berjuanglah untuk menjadi seorang laki-laki yang spesial, yang istimewa, dan saleh seharusnya.
Baarakallahu fiikum
Lendah, Malam Tasyriq Pertama 1442 H
Selasa 20 Juli 2021
t.me/anakmudadansalaf
Sumber : https://www.atsar.id/2021/07/ibnu-aqil-cinta-di-balik-kalung-mutiara-bertali-merah.html
