• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Rabu, 29 Oktober 2025

Abu Dzarr al-Ghifari

Bagikan

Nama dan Nasabnya

Abu Dzar al-Ghifari namanya adalah Jundub bin Junadah al-Ghifari. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan tentang nama asli Abu Dzar. Ada yang mengatakan Jundub bin Abdullah. Pendapat lain menyatakan Jundub bin as-Sakan. Namun yang masyhur adalah Jundub bin Junadah. Ibunya bernama Ramlah binti al-Waqi’ah al-Ghifariyah. Dan ibunya memeluk Islam.

Abu Dzar adalah seorang laki-laki Arab yang berkulit sawo matang. Berpostur tinggi kurus. Rambut dan janggutnya putih. Abu Qilabah (tabi’in) berkata tentang seseorang dari Bani Amir, “Aku memasuki masjid di Mina. Kulihat laki-laki tua yang kurus berkulit sawo matang. Ia mengenakan pakaian Qitri. Aku pun tahu dia itu Abu Dzar, karena sifat-sifat fisiknya itu.

Di Zaman Jahiliyah

Abu Dzar radhiallahu ‘anhu dilahirkan di Kabilah Ghifar. Sebuah kabilah yang terletak antara Mekah dan Madinah. Kabilah ini terkenal sebagai perampok. Mereka adalah begal bagi para musafir dan pedagang. Mereka merampas harta dengan paksa dan kekuatan. Abu Dzar adalah salah seorang dari mereka. Bahkan ia lebih hebat lagi. Terkadang ia membegal sendirian tanpa rombongan. Dia sergap orang-orang dengan kudanya mereka di kegelapan pagi. Atau bahkan tanpa tunggangan sekalipun. Seakan ia hewan buas yang menerkam. Ia lepaskan korbannya dalam kondisi hidup. Namun ia rampok apapun yang ia inginkan.

Meskipun demikian, Abu Dzar adalah seorang yang percaya dengan Tuhan. Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata, “Suatu hari Abu Bakar memegang tanganku. Ia berkata, ‘Abu Dzar’! ‘Iya, Abu Bakar’, jawab Abu Dzar. ‘Apakah engkah menyembah Tuhan di masa jahiliyah’? tanya Abu Bakar. Abu Dzar menjawab, ‘Iya. Aku teringat dulu berdiri saat matahari terbit. Aku senantiasa shalat sampai aku merasa kepanasan. Lalu aku menyungkurkan diri seakan tersembunyi’. Abu Bakar kembali bertanya, ‘Ke arah mana engkau menghadap’? ‘Tidak tahu. Ke arah mana saja Allah hadapkan. Hal itu terus kulakukan sampai aku memeluk Islam’.”

Di masa jahiliyah, Abu Dzar mengucapkan laa ilaaha illallah. Dan dia tidak menyembah berhala.

Satu Kabilah Memeluk Islam

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku adalah seorang yang berasal dari Ghifar. Lalu, sampai kabar kepada kami bahwa ada seorang laki-laki di Mekah mengaku sebagai nabi. Aku berkata pada saudaraku, ‘Temuilah orang itu. Lalu kabarkan padaku tentang dia’. Saudaraku pun berangkat. Kemudian ia kembali. Aku berkata, ‘Kabar apa yang kau bawa’? Ia menjawab, ‘Demi Allah, aku melihat seseorang yang mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan’. ‘Kabarmu itu tidak cukup memuaskanku’, kataku padanya.

Aku pun mengambil kantong (semacam tas untuk safar) dan tongkat. Kemudian berangkat ke Mekah, padahal aku tidak tahu orang yang mengaku nabi itu yang mana. Namun aku tidak mau bertanya yang mana orangnya. Aku minum air zamzam dan tinggal di masjid.

Lalu Ali bin Abu Thalib lewat menemuiku. Ia berkata, ‘Sepertinya kau ini orang asing’? ‘Iya’, jawabku. ‘Mari tinggal di rumahku’, katanya. Aku pun pergi bersamanya. Dia tidak bertanya apapun padaku dan aku juga tak memberi tahunya tujuanku. Saat pagi tiba, aku pergi ke masjid untuk bertanya tentang orang yang mengaku nabi itu. namun tak ada seorang pun yang memberi tahuku tentangnya.

Aku bertemu lagi dengan Ali. Ia berkata, ‘Apakah kau sudah tahu mau tinggal dimana? ‘Belum’, jawabku. ‘Kalau begitu tinggallah lagi bersamaku’, katanya. Ali bertanya, ‘Apa keperluanmu dan mengapa datang ke Mekah’? Kukatakan padanya, ‘Jika kau rahasiakan, akan aku beri tahu’. ‘Aku akan merahasiakannya’, jawabnya. ‘Sampai kabar kepada kami bahwa di sini ada seorang yang mengaku sebagai nabi. Lalu aku utus saudaraku untuk berbicara dengannya. Saat dia kembali, dia membawa kabar yang tidak memuaskanku. Aku pun ingin menemuinya’, kataku. Ali berkata, ‘Engkau seorang yang mendapat petunjuk. Aku akan berjalan menuju tempatnya. Ikuti aku. Masuklah di tempat aku masuk. Kalau sampai ada yang seseorang yang melihatmu, aku khawatir melakukan sesuatu padamu’.

Aku akan berdiri di dinding pura-pura memperbaiki sendalku. Lalu pergilah. Ali pun pergi, lalu aku membututinya. Sampai ia masuk ke tempat nabi, dan aku pun masuk. Saat bertemu nabi, aku berkata, ‘Sampaikan Islam padaku’. Beliau pun menyampaikannya. Lalu saat itu juga aku memeluk Islam. Nabi berkata, ‘Abu Dzar, rahasiakanlah keislamanmu ini. Pulanglah ke negerimu. Kalau engkau sudah mendengar kekuatan kami, barulah datang lagi’.

Aku berkata, ‘Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku akan meneriakkan hal ini di tengah-tengah mereka’. Abu Dzar pergi menuju masjid. Saat itu Quraisy tengah berkumpul di sana. Ia berkata, ‘Hai orang-orang Quraisy, sungguh aku bersaksi tidak ada Tuhan yang benar kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya’. Mereka berkata, ‘Ayo tangkap orang murtad ini’!! Merekapun menghampiriku dan memukuliku untuk membunuhku. Lalu Abbas datang mengangkatku yang tengah tersungkur. Ia berkata kepada Quraisy, ‘Celaka kalian ini! Kalian mau membunuh seorang dari Ghifar?! Sementara jalur perdagangan kalian melewati perkampungan orang-orang Ghifar’! Mereka pun berhenti memukuliku.

Esok paginya, aku mengatakan di tengah-tengah Quraisy perkataanku yang kemarin. Mereka berkata, ‘Bereskan orang murtad ini’! Respon mereka sama seperti kemarin. Lalu Abbas menolongku dan mengatakan ucapannya kemarin juga.

Abu Dzar memeluk Islam setelah empat orang memeluk Islam. Artinya, dia orang yang kelima. Sehingga ia pun menempati kedudukan yang tinggi di tengah para sahabat. Di masa keislamannya, Nabi mempersaudarakannya dengan al-Mundzir bin Amr. Seorang sahabat yang berasal dari Bani Sa’adah. Al-Mundzir adalah seseorang pemberani yang mengejar mati syahid.

Pengaruh Nabi Pada Diri Abu Dzar

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh yang kuat bagi para sahabatnya. Termasuk Abu Dzar radhiallahu ‘anhu. Abu Dzar termasuk orang yang lama bersahabat dengan nabi. Sehingga banyak hal yang ia teladani dari manusia paling utama itu. Dari Hatib, Abu Dzar berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang ditinggalkan Rasulullah yang dimasukkan Jibril dan Mikail ke dada beliau, kecuali juga beliau masukkan di dadaku.”

Kemudian Nabi mengajarkan kepada Abu Dzar bahwa dzikir itu bernilai sedekah.

عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ أَبُو ذَرٍّ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَصْحَابُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَلَهُمْ فُضُولُ أَمْوَالٍ يَتَصَدَّقُونَ بِهَا وَلَيْسَ لَنَا مَالٌ نَتَصَدَّقُ بِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا ذَرٍّ أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ تُدْرِكُ بِهِنَّ مَنْ سَبَقَكَ وَلَا يَلْحَقُكَ مَنْ خَلْفَكَ إِلَّا مَنْ أَخَذَ بِمِثْلِ عَمَلِكَ قَالَ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكَبِّرُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَتَحْمَدُهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَتُسَبِّحُهُ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَتَخْتِمُهَا بِلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ لَهُ ذُنُوبُهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

Dari Abu Hurairah rhadhiallahu ‘anhu, ia berkata, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Mereka mempunyai kelebihan harta yang mereka sedekahkan sementara kami tidak memiliki harta untuk bersedekah.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu Dzar, maukah engkau ku-ajarkan beberapa kalimat yang dengannya engkau bisa menyusul orang yang telah mendahuluimu dan orang yang di belakangmu tidak dapat mengejarmu kecuali mereka mengerjakan apa yang kau kerjakan”? Abu Dzar menjawab, “Tentu, Rasulullah.”

Beliau bersabda, “Engkau bertakbir tiga puluh tiga kali setiap selesai shalat. Bertahmid tiga puluh tiga kali. Bertasbih tiga puluh tiga kali. Dan tutup dengan ucapan LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAU LAA SYARIIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WA HUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, milik-Nya seluruh kerajaan, dan bagi-Nya segala puji dan Dia Maha Mampu melakukan segala sesuatu) niscaya dosa-dosanya akan diampuni walaupun sebanyak buih lautan.” [Sunan Abu Daud, No: 1286].

Zuhud dan Sederhana

Ada seseorang berkata pada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, “Apakah engkau tidak tertarik menguasai suatu wilayah seperti Thalhah dan az-Zubair”? Ia menjawab, “Apa yang akan kulakukan dengan menjabat pemimpin? Cukup bagiku setiap hari dengan tegukan air, nabidz (air kurma), atau susu. Dan setiap pekannya satu takaran gandum.”

Abu Dzar berkata, “Di zaman Rasulullah, makananku hanyalah satu sha’ kurma. Dan aku tidak tertarik menambahnya hingga aku bertemu dengan Allah (wafat).”
Rasulullah memuji Abu Dzar,

ما تُقِلُّ الغبراءُ ولا تظلُّ الخضراءُ من ذي لهجةٍ أصدَقَ ولا أوفى من أبي ذَرٍّ شبيهِ عيسى ابنِ مريمَ فقامَ عمرُ بنُ الخطَّابِ فقالَ يا رسولَ اللَّهِ فنعرِفُ ذلكَ لهُ قالَ نعم فاعرِفوهُ لَهُ

“Tidaklah ada di atas bumi dan di bawah kolong langit ini seorang yang lebih jujur ucapannya dan lebih memenuhi janji dari Abu Dzar. Ia mirip dengan Isa bin Maryam (dalam zuhud dan tawadhu’).” Umar berdiri dan menanggapi, “Wahai Nabi Allah, apakah kita mengetahui kedudukan tersebut untuknya”? Nabi menjawab, “Iya, ketauhilah untuknya.” [HR. at-Turmudzi 3802].

Setia Bersama Nabi Meskipun Dalam Kondisi Sulit

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Saat Rasulullah berjalan menuju Tabuk. Sebagian orang tidak turut serta dalam pasukan. Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, si Fulan tidak ikut’. Beliau menjawab, ‘Biarkan saja. Kalau pada dirinya ada kebaikan, Allah akan menyusulkannya menuju kalian. Kalau memang dia orang yang buruk, Allah membuat kalian nyaman dengan ketidak-kehadirannya’.

Lalu ada yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, Abu Dzar juga tidak ada di pasukan. Hewannya membuat ia terhambat’. Beliau menjawab, ‘Biarkan dia. Kalau pada dirinya ada kebaikan, Allah akan menyusulkannya menuju kalian. Kalau memang dia orang yang buruk, Allah membuat kalian nyaman dengan ketidak-kehadirannya’.

Saat itu Abu Dzar kesal, ia mencela hewan tunggangannya. Saat si hewan semakin menghambatnya, ia ambil barang-barangnya dan ia pikul di pundaknya. Lalu berangkat jalan kaki mengikuti Rasulullah.

Rasulullah berhenti di suatu tempat. Lalu ada seseorang yang melihat dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, ada seseorang yang tengah berjalan’. Rasulullah berkata, ‘Mudah-mudahan itu Abu Dzar’. Setelah diamati, para sahabat mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, benar itu Abu Dzar’. Rasulullah bersabda,

رحم الله أبا ذَرّ، يمشي وحده، ويموت وحده، ويبعث وحده

“Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Dia berjalan sendirian. Wafat dalam kondisi sendirian. Dan dibangkitkan sendirian.”

Meriwayatkan Hadits

Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata,

سأَلْتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم هل رأَيْتَ ربَّكَ فقال نُورٌ أنَّى أراه

“Aku bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apakah Anda melihat Rabb Anda (saat mi’raj)”? Nabi menjawab, ‘Yang kulihat hanyalah cahaya’.” [HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, 8/170].

Abu Dzar bertanya pada Rasulullah,

قلتُ يا رسولَ اللهِ ألا تستعمِلُني قال فضرب بيدِه على مَنكِبي ثمَّ قال يا أبا ذرٍّ إنَّك ضعيفٌ وإنَّها أمانةٌ وإنَّها يومَ القيامةِ خِزيٌ وندامةٌ إلَّا من أخذها بحقِّها وأدَّى الَّذي عليه فيها

“Wahai Rasulullah, tidakkah Anda memberiku tugas (jabatan)”? Beliau menepuk pundakku dan berkata, “Abu Dzar, engkau seorang yang lemah. Sementara jabatan itu amanah. Dan hal itu di hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan. Kecuali bagi mereka yang mengambilnya dengan benar dan menunaikannya.” [HR. Muslim 1852].

Bersama Para Sahabat

Bersama Muawiyah

Zaid bin Wahb berkata, “Aku melewati Rabadzah. Ternyata di sana ada Abu Dzar radhiallahu ‘anhu. Aku berkata padanya, ‘Apa yang menyebabkan Anda bisa tinggal di sini’? Ia menjawab, ‘Sebelumnya aku tinggal di Syam. Lalu aku bersilang pendapat dengan Muawiyah mengenai ayat:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّه

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah…” [Quran At-Taubah: 34]

Muawiyah mengatakan, ‘Ayat tersebut turun terkait dengan ahlul kitab’. Sementara aku berpendapat, ‘Ayat itu turun berkaitan dengan kondisi kita sekarang (yang bermewahan)’. Karena itu, terjadi perselisihan antara aku dengannya. Iapun menulis surat kepada Utsman mengadukan perihalku.

Lalu Utsman memerintahkanku untuk datang ke Madinah. Orang-orang mengumpuli seakan mereka belum pernah berjumpa denganku sebelumnya. Kemudian aku menyampaikan kepada Utsman pendapatku tentang ayat itu. Ia menanggapi dengan berkata, ‘Kalau engkau mau, kau bisa mengasingkan diri di tempat yang dekat dengan Madinah’. Karena inilah aku sekarang berada di sini. Seandainya yang memerintahku seorang Habasyi sekalipun, aku akan mendengar dan taat.”

Bersama Ubay bin Ka’ab

Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku masuk masjid di hari Jumat. Saat itu Nabi sedang berkhutbah. Lalu aku duduk di dekat Ubay bin Ka’ab. (Saat shalat) Nabi membaca Surat Bara-ah (At-Taubah). Aku berkata pada Ubay, ‘Kapan surat ini diturunkan’? Namun ia hanya menatapku dan tidak menjawab. Lalu aku diam beberapa saat. Setelah itu aku bertanya lagi padanya. Tapi, ia tetap menatapku dan tidak berbicara. Aku diam lagi beberapa saat. Kemudian bertanya lagi. Ia tetap menatapku dan tidak menjawab.

Saat Nabi selesai mengerjakan shalat, aku berkata pada Ubay, ‘Tadi aku bertanya padamu, tapi kau malah mematapku dan tidak menjawabku’. Ubay berkata, ‘Engkau tidak dapat apa-apa dari shalatmu kecuali kesia-siaan saja’.

Lalu aku menuju Nabi dan bertanya, ‘Wahai Nabi Allah, tadi aku berada di samping Ubay saat Anda membaca Surat Bara-ah. Aku bertanya padanya kapan surat ini diturunkan. Tapi ia hanya menatapiku dan tidak menjawab. Kemudian ia mengatakan, ‘Engkau tidak dapat apa-apa dari shalatmu kecuali kesia-siaan saja’. Nabi menanggapi, ‘Ubay benar’. [Shahih Ibnu Khuzaimah, 1807].

Di awal-awal turunnya perintah shalat, para sahabat boleh ngobrol dalam shalatnya. Hingga turun firman Allah Ta’ala,

وَقُومُوا للهِ قَانِتِيْنَ

“Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” [Quran Al-Baqarah: 238].

Merekapun tidak boleh lagi ngobrol saat shalat. Kemungkinan Abu Dzar belum mengetahui tentang ayat ini. Tapi dari riwayat ini, kita bisa tahu betapa semangatnya Abu Dzar dalam mempelajari ilmu agama. Mendengar surat yang dibaca Rasulullah, ia langsung ingin tahu tentang surat tersebut. Saat ia dinilai salah dalam syariat, ia langsung bertanya kepada sumbernya langsung. Yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Petuah

Sejak memeluk Islam, Abu Dzar telah menjadi seorang pendakwah di jalan Allah. Ia mendakwahi ayah, ibu, keluarga, dan kabilhanya. Sampai semua anggota kabilahnya memeluk Islam. rasulullah bersabda kepada Bani Ghifar,

غفار غفر الله لها، وأسلم سالمها الله

“Kabilah Ghifar semoga mendapat maghfirah (ampunan) Allah. Kabilah Aslam semoga Allah selamatkan.”

Di antara petuah Abu Dzar dalam berdakwah terdapat dalam riwayat berikut ini. Dari Shadqah bin Abi Imran bin Hatthan, ia berkata, “Aku menemui Abu Dzar. Kulihat ia berada di masjid, menyendiri dengan kain hitamnya. Aku bertanya, ‘Abu Dzar, mengapa menyendiri seperti ini’? Ia menjawab, ‘Aku mendengar Rasulullah bersabda,

الوَحدةُ خَيرٌ مِن جليس السُّوءِ، والجليسُ الصَّالحُ خَيرٌ مِن الوَحدةِ، وإملاءُ الخيرِ خَيرٌ مِن السُّكوتِ، والسُّكوتُ خَيرٌ مِن إملاءِ الشَّرِّ

‘Sendirian lebih baik daripada teman yang buruk. Teman yang shaleh lebih baik daripada sendirian. Ucapan yang baik lebih baik daripada diam. Dan diam lebih baik daripada berbicra yang buruk’.” [al-Jami’ ash-Shaghir, 9647].

Abu Dzar berkata,

حجوا حجة لعظائم الأمور، وصوموا يومًا شديد الحر لطول يوم النشور، وصلوا ركعتين في سوداء الليل لوحشة القبور

“Berhajilah untuk menghadapi perkara yang besar. Berpuasalah di hari yang sangat terik untuk menghadapi panjangnya hari berkumpul (di mahsyar). Shalatlah dua rakaat di tengah gelapnya malam untuk menghadapi ngerinya kegelapan kubur.” [Hilyatul Auliya, Hal: 166].

Dalam Kesendirian

Setelah Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu wafat, kekhalifahan dipegang oleh khalifah rasyid lainnya, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Di masa Utsman, kekuasaan kaum muslimin semakin meluas. Harta-harta datang berlimpah. Dari Persia, Romawi, Mesir. Orang-orang Arab yang dulunya miskin menjadi kaya. Mereka membangun istana. Dan hidup sebagai penguasa dunia.

Dalam kondisi gemah ripah bangsa Arab ini, Abu Dzar merenungi firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ * يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأَنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”.” [Quran At-Taubah: 34-35].

Saat itu Abu Dzar tinggal di Syam dengan gubernurnya, Muawiyah bin Abi Sufyan. Syam adalah tanah kaum muslimin yang paling subur dan yang terbaik. Sementara Abu Dzar terus menyerukan pendapatnya tentang ayat tersebut. Muawiyah khawatir kedudukan Abu Dzar sebagai sahabat senior akan memperngaruhi banyak orang. Sehingga berdampak pada stabilitas pemerintahan. Namun ia segan. Ia menaruh hormat besar pada Abu Dzar. Tak berani berdiskusi dengannya, meskipun ia pemimpinnya. Iapun menulis surat kepada Amirul Mukminin Utsman bin Affan terkait masalah ini.

Utsman mengundang Abu Dzar datang ke Madinah. Terjadilah diskusi panjang antara sahabat utama ini. Dua orang yang pertama-tama memeluk Islam. Berkedudukan mulia. Dan lama bersahabat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di akhir diskusi, Abu Dzar berkata, “Aku tak butuh dengan dunia kalian ini.” Abu Dzar meminta dengan hormat kepada Utsman untuk mengasingkan diri di Rabadzah. Utsman mengizinkannya.

Saat berada di Rabadzah, ada seseorang dari Kufah menemui Abu Dzar. Ia mengajaknya untuk memberontak kepada Utsman bin Affan. Spontan ia menghardiknya. Ia berkata, “Demi Allah, seandainya Utsman menyalibku di batang kayu. Atau mengasingkanku di gunung. Pasti aku akan menaatinya. Aku akan bersabar dan berharap pahala. Aku berpendapat itulah yang terbaik untukku. Seandainya dia mengungsikan aku dari ufuk ke ufuk. Pasti aku akan menaatinya. Aku akan bersabar dan berharap pahala. Dan menurutku itulah yang terbaik untukku. Kalau dia mengembalikan aku ke rumahku. Pasti aku akan menaatinya. Aku akan bersabar dan berharap pahala. Dan menurutku itulah yang terbaik untukku.

Wafat

Abu Dzar al-Ghifari radhiallahu ‘anhu wafat di pengasingan di Rabadzah pada tahun 32 H/652 M. Dan ini sekaligus membuktikan mukjizat kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. beliau bersabda tentang Abu Dzar,

رحم الله أبا ذَرّ، يمشي وحده، ويموت وحده، ويبعث وحده

“Semoga Allah merahmati Abu Dzar. Dia berjalan sendirian. Wafat dalam kondisi sendirian. Dan dibangkitkan sendirian.”

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com
Referensi : https://kisahmuslim.com/6577-abu-dzar-al-ghifari-bukti-kebenaran-sabda-nabi.html

Abu Dzar al-Ghifari  Semoga Allah Meridainya, namanya aslinya dikenal dengan Jundub bin Junadah bin Qais bin Amr bin Malīl bin Ṣhaʿīr bin bin H̱arām bin ʿAffān. Az-Zahabi  Semoga Allah Merahmatinya berkata bahwa dia termasuk as-Sābiqūn al-Awwalūn (orang-orang yang awal-awal masuk Islam dan salah satu Sahabat Muhammad Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam yang mulia. Konon, dia adalah orang kelima yang pertama-tama masuk Islam.

ثم إنه رد إلى بلاد قومه فأقام بها بأمر النبي صلى الله عليه وسلم له بذلك، فلما أن هاجر النبي صلى الله عليه وسلم هاجر إليه أبو ذر رضي الله عنه ولازمه وجاهد معه. وكان يفتي في خلافة أبي بكر عمر وعثمان . قيل: كان آدمَ [ يعني : أسمر اللون ] ، ضخما ، جسيما ، كث اللحية. وكان رأسا في الزهد والصدق والعلم والعمل، قوالا بالحق، لا تأخذه في الله لومة لائم. وقد شهد فتح بيت المقدس مع عمر ” . “سير أعلام النبلاء” (3/ 367368) .

Setelah itu, dia kembali ke negeri kaumnya lalu tinggal di sana atas perintah Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam kepadanya untuk melakukan hal tersebut. Ketika Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berhijrah, Abu Dzar Semoga Allah Meridainya  menyusul berhijrah kepada beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, tinggal bersama beliau, dan ikut serta berperang bersama beliau.

Beliau biasa memberi fatwa di masa pemerintahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Konon kabarnya, dia adalah orang yang warna kulitnya pertengahan antara hitam dan putih, bertubuh besar, kekar, dan lebat jenggotnya. Dia adalah panutan dalam kezuhudan, kejujuran, ilmu, amal, dan menyampaikan kebenaran, yang tidak pernah kendur di jalan Allah karena celaan para pencela. Ia ikut serta dalam penaklukan Baitul Maqdis bersama Umar Semoga Allah Meridainya. Selesai kutipan dari Siyar Aʿlām an-Nubalāʾ (3/367368).

وقال القاضي أبو بكر بن العربي رحمه الله :

” كان أبو ذر زاهدا، وكان يقرّع عمال عثمان، ويتلو عليهم: ( وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ ) ، ويراهم يتسعون في المراكب والملابس حين وجدوا، فينكر ذلك عليهم ” انتهى “العواصم من القواصم” (ص 73)

Al-Qāḏhī Abu Bakar Ibnul Arabi Semoga Allah Merahmatinya berkata bahwa Abu Dzar adalah pribadi yang zuhud. Dia sering mengkritik para bawahan Utsman dengan membacakan kepada mereka ayat (yang artinya), “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 34). Hal itu karena dia memandang mereka telah berlebihan dalam kendaraan dan pakaian ketika mereka mampu mendapatkannya. Oleh sebab itulah dia Semoga Allah Meridainya mengingkari perbuatan mereka tersebut. Selesai kutipan dari al-ʿAwāṣhim min al-Qawāṣhim (hal. 73).

وقال ابن كثير رحمه الله :

” هُوَ أَوَّلُ مَنْ حَيَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَحِيَّةِ الْإِسْلَامِ، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى بِلَادِهِ وَقَوْمِهِ، فَكَانَ هُنَاكَ حَتَّى هَاجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَهَاجَرَ بَعْدَ الْخَنْدَقِ، ثُمَّ لَزِمَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَضَرًا وَسَفَرًا، وَرَوَى عَنْهُ أَحَادِيثَ كَثِيرَةً ” انتهى من “البداية والنهاية” (10/ 256) .وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يحبه، ويعتني بأمره، ويرشده إلى ما يصلحه: روى مسلم (1826) عَنْ أَبِي ذَرٍّ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: (يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ، وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ) .

Ibnu Katsir Semoga Allah Merahmatinya berkata bahwa dialah orang pertama yang mengucapkan salam kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Setelah itu, dia kembali kepada kaumnya dan menetap di sana sampai Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hijrah ke kota Madinah. Dia menyusul berhijrah setelah perang Khandaq lalu senantiasa membersamai Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, baik saat beliau mukim maupun safar. Dia Semoga Allah Meridainya meriwayatkan dari beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam banyak hadis. Selesai kutipan dari al-Bidāyah wa an-Nihāyah (10/256). Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mencintainya, memperhatikan urusannya, dan memberikan bimbingan demi kemaslahatannya.

Imam Muslim (1826) meriwayatkan dari Abu Dzar Semoga Allah Meridainya bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, “Wahai Abu Dzar, menurutku engkau itu lemah. Sungguh, aku mencintai untukmu apa yang aku cintai untuk diriku sendiri, maka jangan sampai engkau menjadi pemimpin walau hanya untuk dua orang dan jangan pernah engkau mengurusi harta anak yatim.”

وبلغ رضي الله عنه في الصدق نهايته ، فكان أصدق الناس لسانا :

روى الترمذي (3801) وابن ماجة (156) عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (مَا أَقَلَّتِ الْغَبْرَاءُ، وَلَا أَظَلَّتِ الْخَضْرَاءُ، مِنْ رَجُلٍ أَصْدَقَ لَهْجَةً مِنْ أَبِي ذَرٍّ). وصححه الألباني في “صحيح الترمذي” . قال السندي رحمه الله : ” الْمُرَادُ بِهِ أَنَّهُ بَلَغَ فِي الصِّدْقِ نِهَايَتَهُ وَالْمَرْتَبَةُ الْأَعْلَى ” انتهى من “حاشية السندي على سنن ابن ماجه” (1/ 68) .

Dia Semoga Allah Meridainya telah mencapai puncak kejujuran. Dia adalah orang yang paling jujur dalam ucapannya. Diriwayatkan oleh Tirmidzi (3801) dan Ibnu Majah (156) dari Abdullah bin Amr yang mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda bahwa tidak ada seorang pun di atas hamparan bumi dan di bawah kolong langit ini yang lebih jujur perkataannya daripada Abu Dzar.” Hadis ini dinilai sahih oleh al-Albani dalam Sahih at-Tirmidzi. As-Sindi Semoga Allah Merahmatinya berkata, “Maksud hadis ini adalah bahwa ia Semoga Allah Meridainya telah mencapai puncak dan derajat tertinggi dalam hal kejujuran.“ Selesai kutipan dari H̱āsyiyah as-Sindī ʿalā Sunan Ibni Mājah (1/ 68).

وكان رضي الله عنه من أصدق الناس متابعة لرسول الله صلى الله عليه وسلم :

روى البخاري (6050) ومسلم (1661) عَنِ المَعْرُورِ بن سُوَيْدٍ، قَالَ: رَأَيْتُ على أَبِي ذَرٍّ بُرْدًا، وَعَلَى غُلاَمِهِ بُرْدًا، فَقُلْتُ: لَوْ أَخَذْتَ هَذَا فَلَبِسْتَهُ كَانَتْ حُلَّةً، وَأَعْطَيْتَهُ ثَوْبًا آخَرَ، فَقَالَ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ كَلاَمٌ، وَكَانَتْ أُمُّهُ أَعْجَمِيَّةً، فَنِلْتُ مِنْهَا، فَذَكَرَنِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِي: أَسَابَبْتَ فُلاَنًا؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: أَفَنِلْتَ مِنْ أُمِّهِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ. قُلْتُ عَلَى حِينِ سَاعَتِي هَذِهِ مِنْ كِبَرِ السِّنِّ؟ قَالَ: (نَعَمْ، هُمْ إِخْوَانُكُمْ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ جَعَلَ اللَّهُ أَخَاهُ تَحْتَ يَدِهِ، فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَلاَ يُكَلِّفُهُ مِنَ العَمَلِ مَا يَغْلِبُهُ، فَإِنْ كَلَّفَهُ مَا يَغْلِبُهُ فَلْيُعِنْهُ عَلَيْهِ) .

Dia Semoga Allah Meridainya adalah orang yang paling jujur dalam Ittibāʿ (mengikuti) Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam.

Imam Bukhari (6050) dan Muslim (1661) meriwayatkan dari riwayat al-Maʿrūr bin Suwaid yang mengatakan,

“Aku pernah melihat Abu Dzar dan seorang budaknya mengenakan kain beludru tebal, lalu aku mengatakan, ‘Wahai Abu Dzar, sekiranya engkau ambil kain itu (yang dikenakan oleh budaknya, pent) lalu engkau pakai sendiri, tentu itu akan menjadi perhiasan untukmu, Lalu engkau bisa memberi dia pakaian yang lain.’

Abu Dzar berkata, ‘Aku pernah ada urusan dengan orang ini. Ibunya adalah orang non-Arab dan aku pernah menghinanya. Lalu orang ini mengadukan aku kepada Rasulullah Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam hingga beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata kepadaku,

‘Wahai Abu Dzar, benar engkau mencela si fulan?’

Aku jawab, ‘Iya.’

Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berkata lagi kepadaku, ‘Benar engkau menghina ibunya?’

Aku jawab, ‘Iya.’

Lalu beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya kamu adalah orang yang masih punya sisa-sisa sifat jahiliyah.’

Aku berkata dalam diriku, ‘Saat ini aku sudah tua dan masih seperti ini?’

Beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya, ‘Mereka itu adalah saudara-saudara kalian. Allah Menjadikan mereka berada di bawah kuasa kalian, maka barang siapa yang Allah Beri kuasa sehingga saudaranya ada dalam kuasanya, maka hendaknya dia memberi makan dari (jenis) makanan yang dia makan, memberi pakaian dari (jenis) pakaian yang dia kenakan, tidak membebaninya dengan pekerjaan yang memberatkannya. Pun seandainya dia membebaninya dengan pekerjaan yang memberatkannya, hendaknya dia membantunya.’”

مات رضي الله عنه ، بالربذة سنة اثنتين وثلاثين ، وصلى عليه ابن مسعود ، ثم مات بعده بيسير ، ومناقبه وفضائله كثيرة جدا رضي الله عنه . انظر : “تهذيب التهذيب” (12/ 90) ، “البداية والنهاية” (10/ 256-257) ، “الإصابة” (7/106-109) . وانظر للأهمية -في فضائل أبي ذر رضي الله عنه أيضاً -جواب السؤال رقم : (222788) و (148989). والله تعالى أعلم .

Beliau Semoga Allah Meridainya wafat di daerah ar-Rabdzah pada tahun 33 Hijriah. Ibnu Mas’ud Semoga Allah Meridainya yang menyalati jenazahnya, lalu dia Semoga Allah Meridainya sendiri wafat tak lama setelah itu. Keutamaan dan kebaikan Abu Dzar Semoga Allah Meridainya sangat banyak. Lihat: Tadzhīd at-Tadzhīd (12/90), al-Bidāyah wa an-Nihāyah (10/256-257), dan al-Iṣhābah (7/106-109). Penting juga untuk mengetahui keutamaan Abu Dzar Semoga Allah Meridainya pada jawaban atas pertanyaan nomor (222788) dan (148989). Allah Yang lebih Mengetahui.

Sumber: https://www.islamqa.info/ar/answers/224263/نبذة-مختصرة-عن-ابي-ذر-رضي-الله-عنه
Refernsi : https://kisahmuslim.com/7561-biografi-ringkas-abu-dzar-al-ghifari.html

Perjuangannya dalam mencari hidayah adalah teladan. Keteguhannya dalam memegang keyakinan adalah panutan. Beliau adalah shahabat yang mulia Abu Dzar [ranhu] . Nama beliau adalah Jundub bin Junadah Al Ghifari, seorang shahabat yang terkenal kezuhudan dan keilmuannya. Ali bin Abi Thalib [ranhu] mengatakan, “Ia adalah seorang penampung ilmu Rasulullah ` yang orang lain tidak mampu melakukannya.” Beliaulah yang mengucapkan perkataannya yang terkenal, “Sungguh Rasulullah ` telah wafat meninggalkan kita, dan tidaklah seekor burung pun yang mengepakkan dua sayapnya di langit kecuali beliau telah menyebutkan ilmunya kepada kita.” Dalam indah perjalanan hidup beliau tercermin sifat hamba yang benar-benar berjalan menuju kepada Allah ta’ala.

Beliau termasuk As-Sabiqunal Awwalun, orang-orang pertama yang masuk Islam. Perjalanan jauh ia tempuh, tanpa peduli segala resiko ia hadapi. Abu Dzar menuturkan sendiri, “Aku adalah orang keempat dalam Islam, ada tiga orang yang masuk Islam sebelumku. Ketika itu, aku mendatangi Rasulullah `, aku mengatakan, ‘Assalamu’alaika wahai Rasulullah, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar untuk diibadahi kecuali Allah, aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.’ Aku pun melihat raut bahagia pada wajah Rasulullah `.” Demikianlah fitrah yang bersih. Senantiasa merindu terhadap kebenaran, ke manapun akan ia cari untuk meraih kebahagiaan hakiki.

Dalam Shahih Al Bukhari, Ibnu Abbas x mengisahkan bahwa ketika berita tentang pengutusan Rasulullah ` sampai pada Abu Dzar, ia segera mengutus saudaranya yang bernama Unais ke Mekah untuk mencari berita yang sesungguhnya. Berangkatlah saudara Abu Dzar tersebut ke Mekah, sehingga ia berjumpa dan mendengar dari Rasulullah `. Ia pun pulang untuk menyampaikan apa yang ia dapatkan kepada Abu Dzar. Ia berkata, “Aku melihat beliau seorang yang memerintahkan untuk berakhlak mulia. Beliau mengucapkan ucapan-ucapan indah yang bukan syair.” Abu Dzar merasa kurang puas dengan hasil yang dibawa saudaranya. Tekadnya semakin bulat untuk menyongsong dan meraih kemuliaan demi kemuliaan bersama sang Nabi.

Ia pun mempersiapkan perbekalannya, kemudian berangkat menuju Mekah. Sesampai diMasjidil Haram,ia mencari Rasulullah ` seorang diri, tanpa bertanya kepada seorang pun. Padahal ia tidak mengenal beliau `. Sampai ketika malam menyelimuti bumi, Ali melihat Abu Dzar, Ali tahu bahwa ia adalah orang asing. Kemudian Ali menawarkan kepada Abu Dzar untuk bermalam di rumahnya. Ketika pagi menjelang, Abu Dzar pun membawa perbekalannya ke masjid. Sampai sore tiba, ia masih belum bertemu Nabi `, ia pun mencari tempat di masjid untuk tidur. Ketika Ali melewatinya, mengatakan, “Tidakkah sekarang waktunya orang ini menyebutkan asalnya.” Ali pun mengajak Abu Dzar kembali untuk bermalam di rumahnya. Tetapi masing-masing belum bertanya kepada yang lainnya tentang tujuan kedatangan Abu Dzar.

Pada hari yang ketiga, Ali kembali mengajak Abu Dzar. Ali mulai membuka pertanyaan, “Bisakah Anda menyampaikan kepadaku sebab kedatangan Anda?”

Abu Dzar menjawab, “Seandainya anda berjanji untuk menunjukkanku kepada apa yang aku cari, akan aku ceritakan kepada Anda.”

Setelah Ali menyanggupi, Abu Dzar menceritakan tujuan kedatangannya. Ali mengatakan, “Sungguh beliau benar, beliau ` benar-benar utusan Allah. Besok pagi ikutilah aku, ketika ada sesuatu yang aku khawatirkan menimpamu, nanti aku akan berdiri seolah-olah menuangkan air, sebagai isyarat. Apabila aku kembali berjalan ikutilah aku sampai engkau masuk ke rumah yang aku masuki.”

Abu Dzar melakukannya, ia mengikuti Ali sampai tiba menemui Nabi `.Ia dengarkan sabda-sabda beliau. Seketika itu pula kesejukan Islam menyentuh qalbunya, ia pun masuk islam. Rasulullah ` bersabda, “Kembalilah kepada kaummu, sampaikan kepada mereka tentang Islam. Tinggallah bersama mereka sampai datang perintah dariku.” Ya, ketika seseorang bersungguh-sungguh mencari hidayah, Allah pasti akan membimbingnya. Allah tunjukkan jalan keselamatan baginya.

Abu Dzar mengatakan, “Demi Allah, aku akan mengumumkan ke-Islamanku di hadapan mereka.” Abu Dzar pergi ke masjid, ia berteriak mengatakan, “Asyhadu an laa ilaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah.” Manusia pun bangkit memukuli Abu Dzar sampai terkapar. Di saat genting seperti itu, datanglan Al-Abbas kemudian memeluknya. Ia mengatakan, “Celaka kalian, tidakkah kalian tahu orang ini dari kabilah Ghifar, jalan yang kalian lewati ketika berdagang ke Syam?” mereka pun melepaskan Abu Dzar. Esok harinya Abu Dzar mengulangi perbuatannya. Kaum musyrikin pun menimpakan kepadanya sebagaimana sebelumnya. Lagi-lagi Al Abbas menghentikannya. Kemudian Abu Dzar kembali ke kaumnya sampai lewat perang Badr, Uhud, dan Khandaq.

Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Abu Dzar sebelum bertemu Nabi ` sudah melakukan shalat. Ia kisahkan sendiri hal ini kepada Abdullah bin Shamit, “Aku sudah shalat sebelum diutusnya Rasulullah ` selama tiga tahun.”

Abdullah berkata, “Untuk siapa?”

“Untuk Allah” jawab Abu Dzar.

Abdullah berkata, “Lantas menghadap kemana?”

“Menghadap ke mana Allah hadapkan.” jawabnya. Bahkan dikisahkan bahwa Abu Dzar pada masa jahiliah telah beribadah kepada Allah semata. Dari dahulu ia mengatakan ‘Laa ilaha illallah’. MasyaAllah…

Abu Dzar meninggal di daerah Ar-Rabadzah pada tahun 32 H. Beliau dishalati oleh Abdullah bin Masud z bersama rombongan yang lain ketika pulang dari Kufah. Di antara rombongan itu adalah Hajar bin Al Adbar, Malik bin Al-Harits Al Asytar, dan seorang pemuda Anshar.

Malik bin Al-Harits mengatakan bahwa Ummu Dzar, istri Abu Dzar, mengisahkan bahwa saat kematian suaminya dia berkata kepada Abu Dzar, “Bagaimana aku tidak menangis, engkau meninggal di tengah gurun sedangkan kita tidak memiliki kain yang cukup untuk mengafanimu, aku juga tidak punya kemampuan untuk memakamkanmu.”

Abu Dzar mengatakan, “Bergembiralah dan jangan menangis. Sungguh aku mendengar Rasulullah ` bersabda, ‘Tidaklah dua orang muslim yang ditinggal mati dua atau tiga anaknya, lantas bersabar dan mengharap pahala dari Allah, lalu mereka melihat neraka, selama-lamanya.’ Sedangkan tiga anak kita telah meninggal. Aku juga mendengar Rasulullah ` bersabda, ‘Sungguh akan meninggal salah seorang dari kalian di tengahpadanggurun yang akan disaksikan jenazahnya oleh sekelompok kaum mukminin.’ Dan semua yang mendengar hadits beliau ini telah meninggal di perkampungan atau dalam pemukiman, kecuali aku. Akulah yang dimaksud Rasulullah `, aku tidak dusta, tidak pula didustakan. Maka lihatlah ke jalan.”

Ummu Dzar melanjutkan, “Aku pun naik ke atas gundukan untuk melihat-lihat ke jalan, ketika tidak terlihat sesuatu pun, aku kembali. Begitu berulang-ulang, sampai tiba-tiba aku melihat sekelompok orang di atas tunggangan mereka.”

Ummu Dzar mengisyaratkan agar mereka mendekat. Segera mereka ke arah Ummu Dzar kemudian mereka mengatakan, “Wahai hamba Allah, kenapa engkau?”

Ummu Dzar menjawab, “Seorang muslim meninggal, apakah kalian bersedia mengafaninya?”
Mereka bertanya siapa gerangan yang meninggal? Ummu Dzar menjawab, “Abu Dzar.”
Mereka memastikan, “Apakah shahabat Rasulullah `?”
Ummu Dzar mengiyakannya.

Mereka kembali memastikan dan segera masuk menemui Abu Dzar yang hampir meninggal. Abu Dzar kemudian menyampaikan perkataan Rasulullah ` sebagaimana yang disampaikan kepada Ummu Dzar. Kemudian mengatakan, “Seandainya aku atau istriku memiliki kain yang cukup untuk mengafani, aku tidak mau dikafani kecuali dari kainku atau istriku. Aku minta kalian atas nama Allah, janganlah kalian kafani aku dengan kain dari orang yang dulu pernah sebagai pemimpin, wakil pemimpin, ketua atau utusan. Dan tidaklah ada yang memenuhi syarat Abu Dzar kecuali seorang pemuda Anshar.

Ia mengatakan, “Aku yang akan mengafanimu dengan kainku ini dan dua kain pintalan ibuku, wahai pamanku.”

Abu Dzar mengatakan, engkau yang mengafaniku anakku.” Pemuda Anshar ini akhirnya yang mengafani Abu Dzar.

Abu Dzar meninggal, kembali menghadap Rabbul ’alamin Allah Yang Maha Tinggi meninggalkan dunia yang hina lagi fana. Beliau meninggal disaksikan dan diurus jenazahnya oleh Abdullah bin Mas’ud beserta rombongan beliau. Diriwayatkan bahwa Rasulullah ` bersabda, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar, hidup sendirian, mati sendirian, dan kelak akan dibangkitkan sendirian.”

Demikian sekilas sejarah indah figur teladan, Abu Dzar Jundub bin Junadah Al-Ghifari [ranhu], semoga kita bisa menggambil pelajaran darinya. Allahu a’lam. [farhan].

Referensi: Shahih As-Sirah An-Nabawiyyah karya Syaikh Al Albani rahimahullah
Al-Isti’ab karya Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah
Al-Ishabah karya Imam Ibnu Hajar rahimahullah
Fathul Bari karya Imam Ibnu Hajarrahimahullah

Sumber: http://tashfiyah.net/2012/01/abu-dzar/
Refernsi : https://darussalaf.or.id/abu-dzar-al-ghifari/

Abu Dzaar al-Ghifari Nama aslinya adalah Jundab bin Junadah dinisbatkan kepada kakeknya Junadah yang berasal dari Ghifar, ia seorang Kinani. Abu Dzarr orang yang ahli ibadah sebelum diutusnya Nabi Shallallahu alaihi wassalam. Ia adalah sahabat kelima yang lebih dulu masuk Islam, Ia baru bisa Hijrah setelah perang Khandaq.

Abu Dzarr seorang yang zuhud tidak pernah menyimpan makanan untuk hari esok. Namun dimasa pemerintahan Utsman, ia mengajak orang orang untuk mendirikan semacam baitul mal, hal ini didorong rasa kemanusiaan namun Utsman bin Affan tidak tertarik akan gagasan itu dan selanjutnya ia mengasingkan ke Rabadzah dan menetap disitu sampai wafatnya. Pada saat wafatnya yang kebetulan Ibnu Mas’ud lewat ke Rabadzah dan menshalatkannya jenazahnya.

Abu Dzaar meriwayatkan hadits dari Umar, Ibnu abbas, Ibnu Umar dan lainnya. Yang diriwayatkan darinya antara lain Al-Hanaf bin Qais, Abdurahman bin Ghanam dan Atha’.

Sanad paling shahih yng berpangkal daripadanya ialah yang diriwayatkan dari penduduk syam dari jalur Sa’id bin Abdil Aziz, dar Rabi’ah bin Yazid, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Abu Dzarr.

Abu Dzarr meriwayatkan hadits sebanyak 281 hadits.

Beliau ini adalah seorang sahabat yang masuk Islam dari sejak dini. Semasa Jahiliah beliau ini telah melarang minum khamar dan beliau tidak pernah ikut menyembah berhala oleh sebab itu beliau terkenal orang takwa. Dia selalu mengajak fakir miskin agar integrasi dengan orang kaya. Beliau ini mengikuti penaklukan Baitulmakdis bersamakhalifah Umar bin Khatab. Rasulullah pernah bersabda tentang beliau “Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Abu Zar, yang hidup menyendiri, mati menyendiri dan akan dibangkitkan sendiri pula”.

Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling giat menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri.

Di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.

Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,” katanya. Muawiyah hanya terdiam mendengar teguran sahabatnya ini.

Dukungannya kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah . Saat Rasul akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga akhir hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh.

Abu Dzar terlahir dengan nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yang mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melaui jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh dengan kejahatan dan kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur perdagangan Mekkah-Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya.

Namun begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara laki-lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya.

Di tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait dengan sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian harta yang dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan kepada pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat Mekkah. Di tempat inilah ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran Rasulullah dengan ajaran Islam.

Abu Dzar segera menemui Rasulullah . Melihat ajarannya yang sejalan dengan sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, ia memproklamirkan keislamannya di depan Ka’bah, saat semua orang masih merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja terbunuh bila Abbas, paman Rasulullah , tidak melerai dan mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.

Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam. Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir seluruh kaumnya yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam. Sikap hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai tindakannya itu. Di masa Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum Quraisy, termasuk salah satu tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan.

Suatu kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya. Tujuannya agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, usaha itu tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat sambutan hangat di Madinah.

Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak Madinah.

Di kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32 Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah ini bila tak ada kafilah haji yang menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera berhenti dan menshalati jenazah dengan imam Abdullah ibn Masud, seorang sarjana Islam terkemuka masa itu.

Ia wafat pada tahun 32 H.

Sumber :
– Biografi Abu Dzarr dalam al-Ishabah Ibn Hajar Asqalani VII/60, Thabaqaat Ibn Sa’ad IV/161.
Referensi : https://sayahafiz.com/Ulama/56/Abu%20Dzar%20Al-Ghifari.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M