Abu Hanifah An-Nu’man
Nama dan kunyah
Dia adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuwatha At-Taimi Al-Kufi. Dikatakan bahwa dia adalah keturunan Persia. Ayahnya, Tsabit, lahir dalam Islam, dan Abu Hanifah sendiri adalah seorang pedagang sutra. Beliau diberi nama Nu’man adalah sebagai harapan kelak menjadi orang besar, sebagaimana Nu’man salah satu raja Persia. Memiliki kunyah Abu Hanifah.
Kelahiran
Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H. Dia pernah melihat Anas bin Malik ketika Anas datang ke Kufah, namun tidak terdapat bukti bahwa dia mendengar langsung dari salah satu sahabat.
Kisah menuntut ilmu
Zufar bin Al-Hudhayl berkata, Aku mendengar Abu Hanifah berkata, “Aku dulu mendalami ilmu kalam, bahkan aku menjadi rujukan orang banyak. Kami biasa duduk dekat halaqah Hammād bin Abi Sulaimān. Suatu hari, seorang wanita datang kepadaku dan bertanya, ‘Seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan sebagai istrinya ingin menceraikannya menurut sunah, bagaimana caranya?’
Aku tidak tahu jawabannya, lalu kusuruh ia bertanya kepada Hammād dan menyampaikan jawabannya padaku. Ia bertanya kepada Hammād, dan Hammād menjawab, ‘Suaminya hendaknya menceraikannya saat ia suci dari haid dan tidak disetubuhi, dengan satu kali talak, lalu membiarkannya hingga mengalami dua kali haid. Jika ia mandi, maka ia halal dinikahi oleh pria lain.’ Wanita itu kembali menyampaikan jawaban itu kepadaku. Maka, aku berkata, ‘Aku tidak butuh lagi ilmu kalam.’ Aku pun mengambil sandalku dan bergabung di halaqah Hammād untuk mendengarkan berbagai masalah fikih yang ia ajarkan. Aku hafalkan jawabannya, lalu Hammād mengulanginya di hari berikutnya, dan aku kembali menghafalnya, sementara murid-murid lain sering melakukan kesalahan. Hingga akhirnya ia berkata, ‘Tidak ada yang layak duduk di hadapanku, selain Abu Hanifah.’
Aku menemani Hammād selama sepuluh tahun. Kemudian timbul dalam diriku keinginan untuk menjadi pemimpin sendiri dan membuka halaqahku sendiri. Suatu sore, aku keluar dengan niat melakukannya, namun saat aku melihat Hammād, aku tak sanggup meninggalkannya. Pada malam itu juga, datang kabar bahwa kerabatnya di Bashrah wafat dan meninggalkan harta yang tidak memiliki ahli waris selainnya. Hammād pun memerintahkanku untuk menggantikannya. Begitu ia pergi, datanglah berbagai pertanyaan yang belum pernah aku dengar darinya. Aku menjawab dan menuliskan jawabanku. Ia pergi selama dua bulan, lalu kembali.
Aku kemudian memperlihatkan kepadanya pertanyaan-pertanyaan yang jumlahnya sekitar enam puluh. Ia sependapat denganku dalam empat puluh soal dan berbeda pendapat dalam dua puluh. Aku pun bersumpah pada diriku untuk tidak meninggalkannya hingga ia wafat.”
Guru-guru
Di antara guru-guru Abu Hanifah adalah Atha’ bin Abi Rabah, Asy-Sya’bi, Jabalah bin Suhaim, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Amr bin Dinar, Nafi’ Mawla Ibnu Umar, Qatadah, Qais bin Muslim, Qasim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Dinar, Abdul Aziz bin Rafi’, Atha’iyah Al-‘Awfi, Hammad bin Abi Sulaiman (yang menjadi gurunya dalam fikih), Abdul Malik bin Umair, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin Al-Munkadir, Abu Ishaq As-Sabi’i, Manshur bin Al-Mu’tamir, Muslim Al-Batin, dan banyak lagi lainnya.
Murid-murid
Di antara murid-murid Abu Hanifah adalah Abdurrazzaq bin Hammam (guru Imam Ahmad), Hammad bin Abi Hanifah, Zufar bin Hudhail At-Tamimi, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani, Waki’ bin Jarrah, dan Qadhi Abu Yusuf, serta banyak lagi lainnya.
Abu Hanifah adalah Imam ahli sunah waljamaah
Akidah Imam Abu Hanifah rahimahullah terkait tauhid, penetapan sifat-sifat Allah, bantahan kepada Jahmiyah, masalah qadar, keyakinan terhadap para sahabat radhiyallahu ‘anhum, dan perkara-perkara pokok iman lainnya sejalan dengan manhaj salaf dan manhaj para imam mazhab lainnya, kecuali dalam beberapa perkara kecil yang menyelisihi, seperti:
Pertama, pendapatnya bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
Kedua, definisi iman sebagai tasdiq (pembenaran) dalam hati dan iqrar (pengakuan) dengan lisan, tanpa memasukkan amal dalam hakikat iman.
Namun, Ibn Abdil Barr dan Ibn Abi Al-‘Izz menyebutkan indikasi bahwa Abu Hanifah kembali dari pendapat ini.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Para imam yang masyhur semuanya menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk, serta percaya bahwa Allah akan dilihat di akhirat. Inilah mazhab para sahabat, tabiin, dan yang mengikuti mereka dengan baik dari kalangan Ahlul Bait dan lainnya. Ini juga mazhab imam-imam yang diikuti seperti Malik bin Anas, Ats-Tsauri, Al-Laits bin Sa’ad, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahuyah.”
Yahya bin Nashr berkata, “Abu Hanifah mengutamakan Abu Bakar dan Umar, serta mencintai Ali dan Utsman. Ia beriman kepada takdir, baik maupun buruknya, dan tidak berbicara tentang Allah ‘Azza Wajalla dengan hal yang tak pantas. Ia membolehkan mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu, dan ia adalah orang yang paling ahli fikih dan paling bertakwa di zamannya.”
Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Aku mendengar Abu Hanifah berkata, ‘Yang dimaksud dengan ‘jamaah’ adalah mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan Utsman, serta tidak merendahkan salah satu pun dari sahabat Rasulullah ﷺ. Jangan mengkafirkan orang karena dosa-dosanya, salatlah atas siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’ dan di belakang siapa saja yang mengucapkan ‘Lailahaillallah’. Mengusap kedua khuf (sepatu kulit) dalam wudu diperbolehkan. Serahkan segala urusan kepada Allah, dan tinggalkan pembicaraan yang tidak pantas tentang Allah Yang Mahamulia.”
Abu Hanifah berkata, “Al-Qur’an adalah kalam Allah dan bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan selain itu, maka dia adalah kafir.”
Perkataan para ulama tentang Abu Hanifah
Yahya bin Ma’in (imam dalam bidang Jarh wa Ta’dhil) berkata bahwa Abu Hanifah adalah seorang yang tsiqah (terpercaya). Ia hanya meriwayatkan hadis yang benar-benar ia hafal, dan tidak meriwayatkan sesuatu yang tidak ia ingat dengan jelas.
Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Saya belum pernah melihat seseorang yang lebih mulia di majelisnya, atau lebih baik dalam penampilan dan kesabaran daripada Abu Hanifah.”
Hayan bin Musa Al-Marwazi berkata, “Ibnu Mubarak ditanya, ‘Siapa yang lebih faqih, Malik atau Abu Hanifah?’ Dia menjawab, ‘Abu Hanifah.’ ” Dan Ibnu Mubarak berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih di antara manusia.”
Ujian yang diterima Abu Hanifah
Ubaidullah bin Amr Al-Ruqy berkata, “Ibn Hubayrah (Amir Kufah) meminta Abu Hanifah untuk menjadi hakim di Kufah, namun beliau menolaknya. Akibatnya, beliau dipukul seratus kali dan sepuluh kali lebih banyak, namun Abu Hanifah tetap menolak. Ketika Ibn Hubayrah melihat keteguhan beliau, akhirnya dia melepaskannya.”
Wafat
Hammad bin Abi Hanifah berkata, “Ketika ayahku meninggal, kami meminta Hassan bin Amarah untuk memandikannya, dan dia pun melakukannya. Ketika selesai memandikannya, dia berdoa, ‘Semoga Allah merahmatimu dan mengampunimu. Engkau tidak pernah berbuka puasa selama tiga puluh tahun, dan tidak pernah tidur dengan meletakkan tangan kananmu sebagai bantal selama empat puluh tahun. Engkau telah menyusahkan orang setelahmu, dan memalukan para pembaca (Al-Qur’an).’ ”
Imam Abu Hanifah Al-Nu’man wafat pada tahun 150 Hijriah, pada usia 70 tahun. Ketika jenazahnya dibawa untuk disalatkan di Baghdad, umat Islam begitu banyak yang ingin menyalatkannya sehingga proses salat jenazah dilakukan enam kali karena padatnya kerumunan.
***
Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan
Artikel: Muslim.or.id
Sumber:
Diterjemahkan dan diringkas oleh penulis dari web: https://www.alukah.net/culture/0/99420/الإمام-الفقيه-أبو-حنيفة-النعمان/
Sumber: https://muslim.or.id/103858-biografi-ringkas-imam-abu-hanifah.html
Copyright © 2025 muslim.or.id
Berbicara mazhab fiqih di kalangan ahli sunnah wal jama’ah, pikiran kita tentunya tertuju kepada empat mazhab, yakni Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah atau Hambaliyyah. Di antara keempat mazhab di atas, Hanafiyyah lah yang dianggap paling tua. Hal ini karena perintis mazhab tersebut, Imam Abu Hanifah rohimahulloh adalah yang paling senior dibandingkan tiga Imam lainnya, Malik bin Anas, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal rohimahumulloh. Dan mazhab ini pula yang lebih dahulu mendominasi di negeri-negeri Islam sebelum mazhab lainnya. Siapakah figur Imam mazhab yang paling senior di antara keempat mazhab ini? Tulisan kali ini akan mengangkat tema tentang Imam ahli ro’yi[1]Abu Hanifah rohimahulloh.
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi, dikenal dengan kuniah Abu Hanifah. Lahir tahun 80 hijriah di masa para shighor sahabat (sahabat junior) masih hidup. Di masa beliau, ada empat orang sahabat yang masih hidup. Mereka adalah Anas bin Malik, Abdulloh bin Abi Aufa Al-Anshori, Abu Thufail Amir bin Watsilah dan Sahal bin Sa’ad As Sa’idi[2]. Beliau sempat melihat Anas bin Malik rodhiyallahu‘anhu ketika Anas berkunjung ke Kufah[3]. Dengan demikian Abu Hanifah masih tergolong dalam tingkat para tabi’in, khususnya shighor tabi’in (tabi’in junior) karena masih bertemu dengan salah seorang sahabat rodhiyAllah Ta’alau ‘anhum meskipun tidak meriwayatkan dari mereka[4]. Namun Ibnu Hajar menggolongkan beliau ke dalam tingkat orang-orang yang hidup di masa tabiut tabi’in, yaitu tingkat yang sezaman dengan tabi’in junior. Ibnu Hajar hanya mengkategorikan sezaman namun tidak memasukkannya ke dalam tingkat para tabi’in.
Adapun guru-guru Imam Abu Hanifah di antaranya adalah Atho bin Abi Robah, Abu Ishaq As-Sabi’i, Nafi’ Maula Ibnu Umar, Hisyam bin Urwah dan lainnya[5]. Dari merekalah Abu Hnifah mengambil hadits. Adapun fiqih, beliau berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman di Bashroh. Ketika di Bashroh, Abu Hanifah menyangka bahwa beliau bisa menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan kepada beliau. Namun ternyata beliau tidak bisa menjawab beberapa permasalahan yang mana Hammad bin Abi Sulaiman bisa menjawabnya. Sejak saat itu Abu Hanifah selalu duduk di majelis Hammad selama 18 tahun. Hammad bin Abi Sulaiman lah guru yang paling memberi kesan kepada Abu Hanifah. Bahkan setelah Hammad wafat, Abu Hanifah tidak pernah sholat kecuali beliau selalu memintakan ampun kepada Allah Ta’ala bagi kedua orang tuanya dan Hammad bin Abi Sulaiman. Dan sudah menjadi kebiasaan Abu Hanifah untuk mendoakan setiap orang yang mengajarkannya ilmu dan setiap orang yang beliau ajari[6].
Sedangkan murid-murid beliau di antaranya adalah Abdulloh bin Mubarok, Yazid bin Harun, Waki’ bin Jarroh, Abdurrozzaq bin Hammam Ash-Shan’ani, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrohim Al-Qodhi (hakim), dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan inilah yang meriwayatkan serta menyebarkan fiqih Abu Hanifah.
Awal Mula Abu Hanifah Belajar Fiqih
Ada beberapa versi mengenai motivasi awal Imam Abu Hanifah belajar fiqih. Di antaranya sebagaimana yang diriwayatkan Al-Khothib Al-Baghdadi:
“Bahwa Abu Hanifah pada awalnya belajar nahwu dan shorof. Beliau mencoba melakukan qiyas di dalam ilmu tersebut. Beliau mempelajari perubahan kata dari bentuk tunggal ke bentuk jamak. Beliau mengatakan qolbun qulub, kalbun kulub. Abu Hanifah menyamakan wazan bentuk jamak kalbun dengan qolbun yaitu kulub dengan wazan fu’ul. Namun beliau ditegur oleh gurunya, kalbun jamaknya kilab. Dengan ini beliau tidak puas. Beliau tidak bisa melakukan qiyas di dalam ilmu nahwu. Oleh karena itu beliau berpindah ke disiplin ilmu lain untuk mempelajari fiqih”[7].
Kisah diatas diriwayatkan oleh Al-Khothib Al-Baghdadi sampai kepada Ibrohim Al-Harbi[8]. Dengan demikian Ibrohim Al-Harbi lah yang menceritakan kisah ini.
Terdapat kisah lain berkenaan dengan awal mula Abu Hanifah belajar fiqih yang diriwayatkan oleh Al-Khothib Al-Baghdadi dengan sanadnya sampai kepada Abu Hanifah bahwa beliau menuturkan pada mulanya belajar ilmu kalam. Abu Hanifah mengira bahwa beliau bisa menjawab semua permasalahan yang dilontarkan kepada beliau. Hingga datang seorang wanita menanyakan permasalahan talak (perceraian). Abu Hanifah tidak bisa menjawab. Beliau menyuruh wanita tadi mendatangi Hammad bin Abi Sulaiman kemudian memberitahukan apa jawaban Hammad. Setelah Abu Hanifah mengetahui jawaban dari Hammad bin Abi Sulaiman, beliau terkesan dengan fiqih. Sejak saat itulah beliau senantiasa mengambil ilmu di majelis Hammad bin Abi Sulaiman sampai gurunya tersebut wafat[9].
Kecerdasan dan Kezuhudan Abu Hanifah
Abu Hanifah adalah seorang imam yang cerdas, faqih dan pandai beretorika. Tidak jarang beliau membuat lawan bicaranya terdiam kehabisan hujjah (argumen). Ada beberapa kisah yang menunjukkan kecerdasan beliau dalam beretorika, di antaranya:
Kisah Abu Hanifah bersama Abu Ja’far Al-Manshur ketika beliau diminta untuk menjadi qodhi (hakim). Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Khothib Al-Baghdadi di dalam Tarikh Baghdad[10].Ketika itu Abu Hanifah bersumpah bahwa beliau tidak mampu. Namun Abu Ja’far Al-Manshur juga bersumpah bahwa Abu Hanifah mampu. Maka terdapat dua sumpah yang saling beradu, sumpahnya Abu Hanifah dan sumpahnya Amirul Mukminin Abu Ja’far Al-Manshur. Rabi’ bin Yunus Al-Hajib yang ketika itu menyaksikan kejadian itu mengatakan kepada Abu Hanifah: “Tidakkah engkau melihat bahwa Amirul Mukminin telah bersumpah?” Secara umum jika sumpah seorang rakyat diadu dengan sumpahnya seorang pemimpin seharusnya sumpahnya pemimpinlah yang harus dimenangkan. Namun Abu Hanifah mengatakan: “Amirul Mukminin lebih mampu untuk membayar kafarat sumpahnya dibandingkan saya”. Artinya jika Amirul Mukminin lebih mampu membayar kafarat, beliau lebih mampu untuk membatalkan sumpahnya dibandingkan Abu Hanifah. Dalam hal ini hujjah Abu Hanifah untuk tidak menerima jabatan qodhi (hakim) lebih kuat daripada hujjahnya Amirul Mukminin. Setelah itu Abu Hanifah harus dijebloskan ke penjara akibat menolak untuk dijadikan qodhi (hakim).
Di kisah yang lain, Abu Hanifah bersumpah bahwa beliau tidak mampu memegang amanat sebagai qodhi (hakim). Amirul Mukminin kemudian mengatakan: “Tidak, anda telah berbohong”. Abu Hanifah mengatakan: “Ya anda benar wahai Amirul Mukminin, bagaimana seorang pembohong seperti saya memegang amanat sebagai seorang qodhi (hakim)”[11]. Dengan jawaban ini, Abu Ja’far Al-Manshur terjepit dalam dua keadaan. Jika Abu Ja’far mengatakan Abu Hanifah tidak berdusta maka Abu Hanifah akan lepas dari jabatan qodhi (hakim) karena Abu Ja’far telah mengakui ketidakmampuan Abu Hanifah. Namun ketika beliau mengatakan bahwa Abu Hanifah berdusta, hal tersebut juga menyebabkan beliau harus mengakui bahwa Abu Hanifah tidak mampu memegang amanat qodhi (hakim). Karena seorang pendusta tidak bisa memegang amanat sebagai seorang qodhi (hakim).
Kedua kisah di atas seolah bertentangan, karena ada dua versi cerita mengenai hujjah Abu Hanifah. Namun sebenarnya tidak. Ketika Abu Hanifah menolak amanat sebagai qodhi (hakim) di Baghdad, Abu Hanifah dijebloskan di penjara. Dan sangat mungkin sekali selama beliau di penjara, beliau dipanggil beberapa kali menghadap Amirul Mukninin, untuk mengetahui apakah beliau berubah pikiran atau tidak. Jadi kedua hujjah Abu Hanifah tersebut bisa saja terjadi di dua kesempatan ketika beliau dipanggil menghadap Amirul Mukminin.
Meskipun demikian kedua kisah di atas menunjukkan sisi kezuhudan dan wara’ sang Imam. Di zaman ini kita melihat orang-orang berlomba-lomba mencari kedudukan dan jabatan, namun Abu Hanifah justru menghindari hal tersebut. Apa yang dilakukan Abu Hanifah selaras dengan kalam Allah Ta’ala:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِين
“Itulah negeri akhirat yang kami jadikan bagi mereka yang tidak menginginkan kedudukan tinggi di dunia dan tidak ingin berbuat kerusakan. Dan itulah balasan bagi orang-orang bertaqwa”. [Al-Qoshosh/28: 83]
Juga selaras dengan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ وَلِيَ القَضَاءَ ، أَوْ جُعِلَ قَاضِيًا بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ
“Barangsiapa mengurusi peradilan atau dijadikan sebagai qodhi (hakim) maka dia telah disembelih tanpa pisau”. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi)[12].
Abu Hanifah dan Tuduhan Murji`atul Fuqoha
Dalam perbincangan masalah iman, Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya seringkali diidentikkan dengan mazhab murji`atul fuqaha`. Mazhab murji`atul fuqaha` mengatakan bahwa amal perbuatan bukan merupakan bagian dari iman. Sementara ahlus sunnah mengatakan bahwa amal perbuatan termasuk iman. Al-Khothib Al-Baghdadi meriwayatkan beberapa atsar yang menghikayatkan bahwa Abu Hanifah beraqidah murji`ah[13]. Keidentikan inilah yang diyakini oleh sebagian besar penuntut ilmu syar’i dewasa ini. Di antara para pakar, ada yang mencari jalan tengah bahwa perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan ahlus sunnah dalam masalah ini hanya perbedaan pendapat yang bersifat etimologi atau perbedaan istilah saja. Namun sebenarnya Abu Hanifah telah merevisi pendapatnya (rujuk).
Rujuknya Imam Abu Hanifah dari pendapatnya yang semula telah dijelaskan oleh Al-Qodhi (hakim) Ibnu Abil Izzi dalam Syarah Aqidah Thahawiyyah-nya. Beliau menukilkan kisah yang dihikayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath-Thohawi tentang perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan Imam Hammad bin Zaid dalam permasalahan Iman, apakah amal perbuatan termasuk di dalamnya atau tidak? Imam Abu Hanifah mengatakan “tidak”, sedangkan Imam Hammad bin Zaid mengatakan termasuk. Kemudian Imam Hammad bin Zaid meriwayatkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya Urwah bin Zubair dari Abu Murawih Al-Laitsi dari Abu Dzar rodhiyallahu’anhu beliau mengatakan:
يَا رَسُولَ اللهِ أَيُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ الإِيْمَانُ بِاللهِ وَالجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ
“Wahai Rosululloh amalan apakah yang paling utama? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab iman kepada Allah Ta’ala dan jihad di jalan-Nya.”[14]
Hammad bin Zaid mengatakan: “Tidak kah kau lihat ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang amal perbuatan beliau menjawab dengan iman. Dengan demikian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menganggap amal perbuatan merupakan iman.
Abu Hanifah terdiam mendengar hujjah Hammad bin Zaid. Kemudian para pengikut Abu Hanifah berseru: “Jawablah dia wahai Abu Hanifah!”
Namun sontak Abu Hanifah mengatakan: “Dengan apa aku harus menjawab sementara yang mengatakan demikian adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ”.
Berdasarkan kisah ini Ibnu Abil Izzi berkesimpulan bahwa setelah peristiwa tersebut Abu Hanifah rujuk dari perkataan sebelumnya. Segala pendapat tentang amal perbuatan tidak termasuk ke dalam iman yang disandarkan kepada Abu Hanifah sesungguhnya pendapat tersebut adalah pendapat para pengikutnya dari kalangan Hanafiyyah. Sementara Abu Hanifah sendiri berlepas dari tuduhan itu[15].
Kisah di atas juga sekaligus menepis tuduhan bahwa fiqih Abu Hanifah adalah fiqih yang paling jauh dari sunnah. Abu Hanifah adalah sosok yang mencintai sunnah sebagaimana ditunjukkan pada kisah di atas. Dengan kecerdasan yang beliau miliki beliau diam di hadapan hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berani berkomentar. Jika beliau di dalam fiqihnya lebih sering menggunakan analogi qiyas bukan berarti beliau adalah seorang yang menolak sunnah. Beliau adalah sosok Imam yang hati-hati dan teliti dalam menerima sunnah. Karena beliau hidup di lingkungan di mana aliran-aliran sesat tumbuh dengan subur, yaitu kota Kufah. Aliran-aliran tersebut tidak segan-segan menggunakan hadits lemah bahkan palsu untuk membenarkan keyakinannya. Oleh sebab itu Imam Abu Hanifah sangat berhati-hati dalam menerima hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H di usianya yang ke tujuh puluh tahun. Beliau disholatkan enam kali karena banyaknya yang hadir ketika hari wafatnya[16].
Daftar Pustaka
Al-Hanafi, Ibnu Abil Izz. Syarah Aqidah Thohawiyyah. Beirut: Al-Maktab Al-Islami. Cetakan Keempat, 1391 H.
Al-Khothib Al-Baghdadi. Tarikh Baghdad. Tahqiq: Basyar Awwad Ma’ruf. Beirut: Darul Ghorob Al-Islami. Cetakan Pertama, 1422 H.
As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman. Sunan Abu Dawud. Tahqiq: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Beirut: Al-Maktab Al-Ashriyyah.
At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad. Jami’ut Tirmidzi (Sunan Tirmidzi). Tahqiq: Basyar Awwad Ma’ruf. Beirut: Darul Ghorob Al-Islami. 1998 M.
An-Naisaburi, Muslim bin Hajjaj. Shohih Muslim. Tahqiq: Muhammad Fu’ad Abdul Baqi. Beirut: Dar Ihya`it Turats Al-Arobi.
Ibnu Sholah, Utsman bin Abdirrohman. Ulumul Hadits. Tahqiq: Nuruddin Itr. Damaskus: Darul Fikr. 1986 M.
Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Siyar A’lam Nubala. Tahqiq: Tim Filolog dipimpin oleh Syu’aib Al-Arnauth. Beirut: Mu`assasah Risalah. Cetakan Ketiga, 1985 M.
Asy-Syirozi, Abu Ishaq Ibrohim bin Ali. Thobaqôtul Fuqohâ. Tahqiq: Ihsan Abbas. Beirut: Darur Ro`id Al-Arobi.
__________
[1] Madzhab yang kebanyakan dalilnya menggunakan akal
[2] Thobaqôtul Fuqohâ, (1/86)
[3] Siyar A’lâmin Nubalâ, (6/391)
[4] Ulumul Hadits Libni Sholah, (hal:302)
[5] Tarikh Baghdad, (15/444)
[6] Tarikh Baghdad, (15/444)
[7] Tarikh Baghdad, (15/444)
[8] Beliau adalah Ibrohim bin Ishaq bin Ibrohim Abu Ishaq Al-Harbi penyusun kitab Ghoribul Hadits salah seorang murid Imam Ahmad bin Hanbal yang mempelajari fiqihnya. Lihat: Tarikh Baghdad, (6/522)
[9] Lihat: Tarikh Bahdad, (15/444)
[10] Lihat: Tarikh Bahdad, (15/444)
[11] Lihat: Tarikh Bahdad, (15/444)
[12] Abu Dawud (No: 3571) & Tirmidzi (No: 1325)
[13] Dalam Tarikh Baghdad Al-Khothib menyusun bab khusus untuk mengumpulkan atsar-atsar tersebut. Beliau memberi judul bab tersebut “Ma Hukiya ‘An Abi Hanifah fil Iman” (15/502)
[14] HR. Muslim dari jalur Hammad bin Zaid dari Hisyam bin Urwah dari Urwah bin Zubair dari Abu Murowih Al-Laitsi dari Abu Dzar secara marfu’ (no: 84)
[15] Syarh Aqidah Thowiyyah, (1/351)
[16] Tarikh Baghdad, (15/585)
Sumber: Ustadz Haidir Lc, Majalah Lentera Qolbu, tahun ke-4 edisi ke-9
Disalin dari kuncikebaikan
Referensi : https://almanhaj.or.id/4507-biografi-imam-abu-hanifah.html
Semakin jauh dari masa Rasulullah dan semakin luas daerah-daerah yang mengenal Islam, semakin luas pula perkembangan ilmu keislaman. Perkembangan di sini diartikan dalam hal yang positif bukan perkembangan yang keluar dari garis besar tuntunan Islam. Misalnya, dahulu di zaman Rasulullah dan sahabatnya, huruf-huruf Alquran ditulis dengan tanpa menggunakan harokat dan tanda titik. Setelah orang-orang non-Arab mengenal Islam, penulisan huruf-huruf Alquran lebih disederhanakan dengan menambahkan titik pada huruf-huruf yang hampir sama, lalu di masa berikutnya ditambahkan harokat. Yang demikian dimaksudkan agar orang-orang non-Arab mudah membacanya.
Demikian juga dalam permasalahan agama secara umum, para sahabat dimudahkan dalam memahami Islam karena mereka bisa bertanya langsung dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in bisa bertanya kepada para sahabat. Adapun orang-orang setelah mereka, dengan penyebaran Islam yang luas membutuhkan penyederhanaan yang lebih mudah dipahami oleh akal pikiran mereka. Orang pertama yang melakukan usaha besar menyederhanakan permasalahan ini adalah seorang imam besar yang kita kenal dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah. Beliau menyusun kajian fikih dan mengembangkannya demi kemudahan umat Islam.
Kelahiran dan Masa Kecilnya
Sebagaimana orang-orang lebih mengenal Imam Syafii daripada nama aslinya yaitu Muhammad bin Idris, jarang juga orang yang tahu bahwa nama Imam Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Marzuban, kun-yahnya Abu Hanifah. Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan orang Arab). Asalnya dari Kota Kabul (ibu kota Afganistan sekarang). Kakeknya, Marzuban, memeluk Islam di masa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, lalu hijrah dan menetap di Kufah.
Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada tahun 699 M. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah, tidak heran kita mengenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah. Jadi, beliau tumbuh di dalam keluarga yang shaleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan yang represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil mempelajari ilmu agama.
Memulai Belajar
Sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran sedari kecil. Di masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama-ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau sepuluh orang sahabat Nabi semisal Anas bin Malik, Sahl bin Sa’d, Jabir bin Abdullah, dll.
Saat berusia 16 tahun, Abu Hanifah pergi dari Kufah menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Madinah al-Munawwaroh. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, Atha bin Abi Rabah, yang merupakan ulama terbaik di kota Mekah.
Jumlah guru Imam Abu Hanifah adalah sebanyak 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in. Jumlah guru yang demikian banyak tidaklah membuat kita heran karena beliau banyak menempuh perjalanan dan berkunjung ke berbagai kota demi memperoleh ilmu agama. Beliau menunaikan haji sebanyak 55 kali, pada musim haji para ulama berkumpul di Masjidil Haram menunaikan haji atau untuk berdakwah kepada kaum muslimin yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Seorang Ulama Berpengaruh
Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad dengan cara melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Imam Abu Hanifah akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari Alquran dan sunnah ataupun dengan logikanya. Diskusi bisa berlangsung seharian dalam menuntaskan suatu permasalahan. Inilah metode Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan metode yang sangat mengoptimalkan logika.
Metode ini dianggap sangat efektif untuk merangsang logika para murid Imam Abu Hanifah sehingga mereka terbiasa berijtihad. Para murid juga melihat begitu cerdasnya Imam Abu Hanifah dan keutamaan ilmu beliau. Dari majlis beliau lahirlah ulama-ulama besar semisal Abu Yusuf, Muhammad asy-Syaibani, az-Zuffar, dll. dan majlis beliau menjadi sebuah metode dalam kerangka ilmu fikih yang dikenal dengan Madzhab Hanafi dan membuah sebuah kitab yang istimewa, al-Fiqh al-Akbar.
Imam Abu Hanifah beberapa kali ditawari untuk memegang jabatan menjadi seorang hakim di Kufa, namun tawaran tersebut senantiasa beliau tolak. Hal inilah di antara yang menyebabkan beliau dipenjara oleh otoritas Umayyah dan Abbasiah.
Wafatnya
Imam Abu Hanifah wafat di Kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M. Imam Ibnu Katsir mengatakan, “6 kelompok besar Penduduk Baghdad menyolatkan jenazah beliau secara bergantian. Hal itu dikarenakan banyaknya orang yang hendak menyolatkan jenazah beliau.”
Di masa Turki Utsmani, sebuah masjid di Baghdad yang dirancang oleh Mimar Sinan didedikasikan untuk beliau. Masjid tersebut dinamai Masjid Imam Abu Hanifah.
Sepeninggal beliau, madzhab fikihnya tidak redup dan terus dipakai oleh umat Islam, bahkan menjadi madzhab resmi beberapa kerajaan Islam seperti Daulah Abbasiyah, Mughal, dan Turki Utsmani. Saat ini madzhab beliau banyak dipakai di daerah Turki, Suriah, Irak, Balkan, Mesir, dan India.
Sumber:
– Islamstory.com
– Lostislamichistory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
Sumber : https://kisahmuslim.com/4365-biografi-imam-abu-hanifah.html
