• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Rabu, 29 Oktober 2025

Abu Muzahim Musa bin Ubaidillah Al Khaqani

Bagikan

BLOGGURU – Dahulu kaum salaf mempraktikkan Dasar-dasar (ushul) tajwid secara amaliah. Mereka menukil qiraah dengan cara talqin dan musyafahah (langsung mengambil dari lisan guru-gurunya). Seperti generasi pertama umat ini dari kalangan Sahabat dan Tabi’in yang tidak belajar ilmu ini dalam kitab-kitab, tetapi langsung bertalaqqi (berguru) kepada para ulama mereka dengan tajwidnya, di samping kefasihan bahasa dan bersihnya lisan mereka dari ‘ujmah (gagap dan ketidakfasihan).

Berkenaan dengan hal ini, Syaikh Muhammad al Mar’ asyi pernah berkata: “Tajwid al-Qur’an terkadang didapatkan oleh seorang penuntut ilmu dengan cara musyafahah (secara lisan) dari Syaikh mujawwid (ahli tajwid) dengan tanpa mengenal permasalahan – permasalahan ilmu ini, bahkan musyafahah menjadi landasan dalam mendapatkannya. Akan tetapi, dengan perantara ilmu tersebut akan memudahkannya dalam musyafahah, bertambah kemahirannya serta (ilmu) yang diambil terjaga dari keraguan dan tahrif (perubahan).”

Siapakah ulama yang pertama kali menulis ilmu tajwid? Para ulama menjelaskan bahwa Abu Muzahim al-Khaqani adalah ulama yang pertama kali menulis kitab tajwid. Nama lengkapnya Musa bin Ubaidilah bin Yahya bin Khaqan, yang lahir tahun 248 H dan wafat tahun 325 H. Imam Ibnul Jazari berkata, “Dialah orang yang pertama kali menulis tentang tajwid.” Ulama yang pertama kali menulis kitab tajwid yakni Abu Muzahim al-Khaqani. Hal ini disampaikan dalam buku Tajwid Lengkap Asy-Syafi’i karya Abu Ya’la Kurnaedi. Para ulama menjelaskan bahwa Abu Muzahim al-Khaqani merupakan ulama yang pertama kali menulis kitab tajwid. Nama lengkapnya Musa bin Ubaidullah bin Yahya bin Khaqan, yang lahir tahun 248 Hijriah dan wafat tahun 325 Hijriah.

Imam Ibnul Jazari rahimahullah berkata, “Dialah orang yang pertama kali menulis tentang tajwid” (Haji Khalifah berkata: “Orang yang pertama kali menulis tentang Tajwid adalah Musa bin Ubaidullah bin Yahya Khaqan al-Khaqani al-Baghdadi al-Muqri (wafat 325 hijriah), sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jazari”. Dia seorang ulama terkenal, bahkan al-Khatib berkata tentangnya: “Seorang yang tsiqah, taat, dan berasal dari kalangan Ahlus Sunnah” (Abhats fi Ilmit Tajwid).

Tulisannya dikenal juga dengan nama al-Qashidah al-Khaqaniyah. Demikianlah sebagian ulama menyebutnya. Dan, pada bait yang ke-5 dari kasidahnya dikatakan: ‘Wahai qari Alquran, baguskanlah bacaannya, niscaya Allah melipatgandakan untukmu pahala yang banyak’. Tulisan Abu Muzahim ini sangat berpengaruh bagi perkembangan ilmu tajwid pada masanya dan masa-masa berikutnya. Terbukti setelah itu, bermunculanlah para ulama yang menulis kitab-kitab serupa.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُرْءَانًا فَرَقْنَٰهُ لِتَقْرَأَهُۥ عَلَى ٱلنَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَٰهُ تَنزِيلًا
Artinya:
“Dan Alquran (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap” (Alquran surat Al Isra ayat 106).

Dalil tersebut menunjukkan adanya tata cara atau sifat tertentu dalam qiraah Alquran, tidak seperti membaca buku-buku biasa ataupun koran berbahasa Arab. Akan tetapi, ia dibaca dengan kaifiyat atau tata cara yang diajarkan Nabi ﷺ. Tata cara itu dirangkum oleh para ulama, hingga mereka mengistilahkannya dengan ilmu tajwid.

Perhatian umat terhadap ilmu ini sangat besar. Ini dapat menyaksikan bagaimana para ulama dari dahulu sampai sekarang menulis tentang ilmu tajwid dan ilmu qiraah. Tulisan-tulisan mereka begitu menakjubkan dan bermanfaat bagi umat, yang bisa ditemui di dalam perpustakaan-perpustakaan kaum muslimin.

Dahulu kaum salaf mempraktikkan ushul (dasar-dasar) tajwid secara amaliah. Mereka menukil qiraah dengan cara talqin dan musyafahah (langsung mengambil dari lisan guru-gurunya). Seperti generasi pertama umat ini dari kalangan Sahabat dan Tabi’in, yang tidak belajar ilmu ini dalam kitab-kitab, tetapi langsung ber-talaqqi (berguru) kepada guru-guru mereka dengan tajwidnya, di samping kefasihan bahasa dan bersihnya lisan mereka dari ‘ujmah (gagap atau ketidakfasihan).

Mengenal Imam Abu Muzahim al-Khaqani
Para ulama menjelaskan bahwa Abu Muzahim al-Khaqani merupakan ulama yang pertama kali menulis kitab tajwid. Nama lengkapnya Musa bin Ubaidullah bin Yahya bin Khaqan. Dia lahir tahun 248 Hijriah dan wafat tahun 325 Hijriah (862-937 M). Beliau satu zaman dengan Imam Abu Bakr bin Musa, yang lebih dikenal dengan nama Ibn Mujahid (wafat 324 H) penyusun kitab as-Sab’ah fil Qiraat. Keduanya memiliki banyak memiliki guru dan murid yang sama.

Imam Ibnul Jazari rahimahullah berkata tentang Abu Muzahim al-Khaqani:
“Dialah orang yang pertama kali menulis tentang tajwid” (Haji Khalifah berkata: “Orang yang pertama kali menulis tentang Tajwid adalah Musa bin Ubaidullah bin Yahya Khaqan al-Khaqani al-Baghdadi al-Muqri (wafat 325 hijriah), sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jazari”.
Dia seorang ulama terkenal, bahkan al-Khatib berkata tentangnya: “Seorang yang tsiqah, taat, dan berasal dari kalangan Ahlus Sunnah” (Abhats fi Ilmit Tajwid).

Menurut Syekh Ibn Al-Jazari, keluarga Abu Muzahim merupakan keluarga bangsawan pada masa Kesultanan Dinasti ‘Abbasiyyah. Ayahnya ‘Ubaydillah adalah seorang menteri pada masa Khalifah Al-Mutawakkil (Ja’far bin Mu’tashim bin Rasyid 205-247 H.). Begitupula saudaranya Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Ubaidillah. Jabatan ayahnya sebagai menteri masih berlanjut pada masa pemerintahan Khalifah Ahmad bin Ja’far Al-Mutawakkil.

Abu Muzahim menghabiskan hari-harinya di Baghdad, menurut beberapa riwayat, beliau juga pernah tinggal di Makkah dan Madinah. Pada saat usianya 15 tahun ayahnya wafat, namun ia tetap berada dalam lingkungan kesultanan karena salah seorang saudaranya juga merupakan seorang menteri. Namun yang patut ditiru dan diteladani dari sosok Abu Muzahim adalah sikap acuhnya pada dunia. Beliau meninggalkan dunia dan menyibukkan dirinya dalam mensyiarkan Ajaran Islam.

Selain semangat dalam menekuni qiraat Al-Qur’an, Abu Muzahim Al-Khaqani juga semangat untuk mengambil riwayat hadits dari para ulama ahli hadits, di antaranya adalah: Syekh Abbas bin Muhammad Ad-Duri, Syekh Muhammad bin Ismail At-Tirmidziy, Syekh ‘Ubaidillah bin Abi Sa’d Al-Warraq, Syekh Ishaq bin Ya’qub Al-Aththar, Al-Harits bin Abi Salamah, Imam ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dan ulama lainnya pada masa itu.

Tulisannya tentang Tajwid diberinya nama Al-Qashidah al-Khaqaniyah, sangat berpengaruh pada pengembangan ilmu tajwid pada masanya dan masa-masa berikutnya. Terbukti setelah itu, bermunculanlah para ulama yang menulis kitab-kitab serupa seperti:

1. Abul Hasan Ali bin Ja’far bin Muhammad as-Sa’idi ar – Razi yang wafat pada tahun 410 H. Dia menulis kitab at – Tanbih ‘ala al-Lahnil Jaliy wal-Lahnil Khafiy.
2. Abu Muhammad Makki bin Abu Thalib al-Qaisi yang wafat pada tahun 437 H. Dia menulis kitab ar-Ri’ayah li Tajwidil Qiraah wa Tahqiqi Lafzhit Tilawah.
3.Abu Amr Utsman bin Said ad-Dani yang wafat tahun 444 H. Dia menulis kitab at-Tahdid fil-Itqan wat-Tajwid.

Ulama ini menyebutkan dalam muqaddimah tentang latar belakang penulisan kitab itu, bahwa ia melihat para qari dan muqri di zamannya menyepelekan tajwid dalam tilawah al-Qur’an. Tiga ulama tadi menulis tentang tajwid setelah Abu Muzahim Musa al-Khaqani dan mereka adalah generasi pertama ulama tajwid. Tiga ulama inilah yang mempopulerkan istilah tajwid dalam kitab-kitabnya. Secara khusus, mulai zaman, ad-Dani, istilah tajwid telah ditetapkan dan menjadi nama yang dikenal bagi ilmu yang berhubungan makharijul huruf (tempat keluarnya huruf) dan sifat-sifatnya.

Peletak Dasar Ilmu Tajwid
Sebenarnya Ilmu yang membahas cara baca Al-Qur’an ini telah bermula sejak awal mula datangnya Islam, yaitu pada masa Rasulullah. Sebab, ia diperintah oleh Allah untuk membaca Al-Qur’an dengan tajwid dan tartil. Hanya saja, pada masa itu belum ditemukan pengodifikasian secara khusus. Bacaan-bacaan Rasulullah tentu menjadi referensi paling solid bagi para sahabat. Semua permasalahan tentang cara membaca Al-Qur’an langsung diputuskan oleh mereka berdasarkan arahan secara langsung dari Rasulullah yang diturunkan kepadanya.

Oleh karenanya, belum ditemukan satu kodifikasi ilmu yang membahas secara khusus tentang cara baca Al-Qur’an saat itu. Cara baca mereka masih kuat dan utuh dengan mengacu pada bacaan Rasulullah secara langsung saat bersamanya. Masa sahabat pun selesai, dan diganti oleh masa tabiin (orang-orang yang menututi sahabat). Pada masa itu perkembangan Islam semakin luas, tentu juga banyak pemeluknya yang semakin beragam; dari berbagai bangsa dengan tipikal sosial dan geografis yang plural.

Akibatnya, terjadilah asimilasi bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lainnya sehingga banyak umat Islam yang membaca Al-Qur’an dengan gaya dan kehendak sendiri, tanpa metode dan tanpa ilmu. Penyebaran Islam yang terus meluas tidak lantas bersamaan dengan menjadikan pemeluknya bisa membaca Al-Qur’an dengan benar dan tepat sesuai dengan bacaan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Dari sinilah, ilmu yang membahas secara khusus perihal cara membaca Al-Qur’an dengan benar mulai dibutuhkan.

Tepat pada abad kedua setelah hijrah, lahirlah ulama tersohor yang berhasil mengkodifikasikan ilmu tajwid, dia adalah Imam Abu Muzahim Al-Khaqani, yang kemudian dikenal dengan kitab karangannya yang berjudul Qashidah Raiyyah fil Qurra wa Husnil Ada. Pendapat ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Al-Jazari dalam kitabnya, beliau mengatakan:

هُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ فِي التَّجْوِيْدِ
Artinya:
“Dia (Abu Muzahim) adalah orang pertama yang menyususun perihal (ilmu) tajwid.” (Syekh Al-Jazari, Ghayatun Nihayah fi Thabqatil Qurra, [maktabah syamilah], halaman 418).
Jika ditanya, “Kapankah Abu Muzahim al-Khaqani memulai menulis ilmu tajwid?” Maka sejarah menjawab, bahwa ia sudah alim sejak usia muda dan mulai menulis dan mengkodifikasikan ilmu tajwid sejak usianya yang juga muda.

Ilmu tajwid secara istilah adalah ilmu yang menerangkan hukum serta kaidah-kaidah yang harus diterapkan saat membaca Al Quran. Hukum dan kaidah ini sesuai dengan apa yang diwarisi oleh umat Islam (para shahabat) dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, dengan memberi hak bagi setiap huruf, baik makhroj (tempat keluar huruf), sifat, maupun harokat, tanpa unsur takalluf (memberat-beratkan diri) atau ta’assuf (memaksa).

Peletak ilmu tajwid bisa dibagi menjadi dua, yaitu peletak dari sisi amaliah dan dari sisi ilmiah. Dari sisi amaliah, adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliaulah yang menyampaikan Al Qur’an yang diturunkan oleh Allah Ta’ala. Ketika beliau menyampaikan al-Qur’an kepada para shahabat, maka beliau membacakan ayat-ayat al-Qur’an tersebut dengan bacaaan yang benar dan tepat, baik secara makhraj dan sifat huruf maupun harakatnya. Para sahabat radhiyallahu anhum mempelajari Al Qur’an langsung dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan bacaan yang benar dan tepat pula. Kemudian ilmu ini diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya, yaitu para tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga akhir zaman. Kemudian dari bacaan yang benar dan tepat itulah disusun kaidah-kaidah ilmu tajwid.

Dari sisi ilmiah, yaitu ilmu tajwid sebagai salah satu cabang disiplin ilmu al-Qur’an. Maka yang merumuskannya pertama kali adalah Al Khalil bin Ahmad. Dia meletakkan ilmu tajwid sebagai bidang ilmu khusus. Bidang ilmu ini membahas kaidah-kaidah dan istilah-istilah dari ilmu tajwid. Bukan maknanya bahwa Al-Khalil bin Ahmad yang mengarang atau menciptakan ilmu tajwid. Namun beliau hanyalah orang yang pertama kali menyimpulkan dan menuliskan kaidah-kaidah tajwid yang diambil dari bacaan Al-Qur’an yang dipraktekkan dan diwariskan oleh para shahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al Khalil bin Ahmad adalah Abu ‘Abdirrahman Al Khalil bin Ahmad Al Farahidi Al Azdy lahir di Bashrah pada tahun 100 H kemudian wafat pada tahun 170 H. Beliau merupakan guru Sibawaih.
Menurut pendapat lain peletak pertama dari sisi ilmiah adalah Abul Aswad Ad Dualiy dan Al Qaasim bin Sallam. Abul Aswad Ad Dualiy, adalah Zhalim bin ‘Amru, tabi’iy mukhadhram termasuk Bashriyyun. Mengambil qiro`ah dari ‘Utsman bin ‘affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Wafat tahun 69 H. Dia dikenal sebagai peletak pertama ilmu nahwu menurut ijma’ ulama nahwu, sedang Al Qaasim bin Sallam, adalah Abu ‘Ubayd Al Khurasany Al Anshari. Beliau lahir di Herat (dalam wilayah Afghanistan saat ini) pada tahun 154 H dan wafat pada 224 H.

Abu Muzahim al Khaqani adalah Musa bin ‘Ubaydillah bin Yahya bin Khoqon, muqri’ negeri Baghdad. Beliau lahir pada tahun 248 H dan wafat pada tahun 325 H. Beliau menulis syair yang terdiri dari 51 bait yang dikenal dengan “Ra’iyatul Khaqaniy” atau “Qashidah Khaqaniyah fii Tajwid”

Pujian Ulama kepada Imam Abu Muzahim al-Khaqani
Lahirnya Abu Muzahim Al-Khaqani memberikan pengaruh yang sangat besar pada keberlangsungan ajaran Islam, khususnya dalam ilmu Al-Qur’an. Oleh karenanya, kecerdasan, kehebatan dan luasnya ilmu pengetahuan yang dimiliki Abu Muzahim Al-Khaqani mendapatkan apresiasi dan pujian dari para ulama, di antaranya dari Syekh Abu Umar ad-Dani (wafat 440 H), dalam salah satu kitabnya ia memujinya dengan pujian yang sangat istimewa, beliau mengatakan,

كَانَ فِي أَبِي مُزَاحِم مِنَ الْمَنَاقِبِ الْمَحْمُوْدَةِ وَالْأَخْلَاقِ الشَّرِيْفَةِ ظَاهِرِ النُّسُكِ مَشْهُوْرِ الْفَضْلِ وَافِرِ الْحَظِّ مِنَ الدِّيْنِ وَالْعِلْمِ حُسْنِ الطَّرِيْقَةِ سُنِّيًا جَمَاعِيًا

Artinya;
“Dalam diri Abu Muzahim terdapat karakter yang terpuji, akhlak yang mulia, ahli ibadah yang nyata, terkenal keutamaannya, pengetahuan yang luas dalam agama dan gudangnya ilmu, memiliki thariqah yang baik, seorang sunni, seorang jama’i (Ahlussunnah wal Jamaah).” (Abu Umar ad-Dani, Syarah Qasidah Al-Khaqani, [Beirut, Darul Kutubil ‘Ilmiah], halaman 18).

Syekh Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi (wafat 748 H) juga memberikan apresiasi dan pujian kepada Imam Abu Muzahim, dalam kitabnya dinyatakan,

اَلْاِمَامُ الْمُقْرِئُ الْمُحَدِّثُ، أَبُوْ مُزَاحِم مُوْسَى بِنْ عُبَيْدِ اللهِ بن يَحْيَى بن خَاقَانْ، اَلْخَاقَانِي اَلْحَافِظُ البَغْدَادِي

Artinya:
“Seorang imam, pakar qiraat, pakar hadits, Abu Muzahim Musa bin ‘Ubaidillah bin Yahya bin Khaqan Al-Khaqani, seorang hafizh, berkebangsaan Baghdad.” (Ad-Dzahabi, Siyaru A’lamin Nubala’, [Mu’assasah ar-Risalah, cetakan ketiga: 1985 M/1405 H, tahqiq: Syekh Syu’ib], juz XV, halaman 94).

Maka demikianlah, Imam Abu Muzahim dikenal sebagai peletak dasar Ilmu Tajwid. Sampai kini, karyanya “Raiyatul Khaqani” atau juga dikenal dengan “Qashidah Abi Muzahim Al-Khaqani allati Qalaha fil Qurrai wa Husnil Ada” masih dipelajari hingga kini dan banyak pelajar/guru qiraah berburu sanadnya. Pada generasi di belakangnya, usaha Imam Abu Muzahim menggiatkan pemahaman Tajwid dan cara membaca Al-Qur’an diteruskan oleh ulama klasik lainnya, dengan matan Muqaddimah Al-Jazariyyah; dan Tuhfatul Athfal.

Oleh Muhammad Farid Wajdi,(Guru/Pengasuh Ponpes Modern Putri IMMIM Minasatene-Pangkep)
Summber : https://immimpangkep.ponpes.id/blogguru/blog/mengenal-imam-abu-muzahim-al-khaqani-dan-al-qashidah-al-khaqaniyah/

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M