• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Rabu, 29 Oktober 2025

Abu Ubaidah Ibnul Jarrah

Bagikan

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau merupakan salah satu dari 10 sahabat yang telah dikabarkan masuk surga. Beliau juga termasuk dari orang-orang awal yang masuk Islam. Beliau masuk Islam lewat perantara dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika Abu Bakar mendakwahkan untuk beribadah hanya kepada Allah di awal-awal Islam.

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu merupakan salah satu di antara para sahabat yang hijrah ke Habasyah. Ketika beliau dan para sahabat lainnya berada di Habasyah, rasa rindu mereka kepada Rasulullah sangatlah besar sehingga ketika ada berita bohong mengenai Islamnya penduduk Makkah, mereka pun langsung kembali ke Makkah.

Setelah kembali ke Makkah dan mendapati ternyata kabar tersebut palsu, mereka pun kembali menerima kekejaman dari penduduk Makkah yang sudah menunggu kehadiran para muhajirin dari Habasyah. Setelah menerima perilaku yang buruk dari penduduk Makkah, akhirnya kaum muslimin hijrah menuju Madinah dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah termasuk dari orang-orang yang hijrah ke Madinah.

Pelajaran wala’ dan bara’ Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr
Ketika perang Badr berlangsung, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Para pasukan kaum musyrikin mayoritas menjauhi beliau karena takut. Akan tetapi, ada satu prajurit kaum musyrikin yang terus-menerus mengincar Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika itu berusaha untuk menghindari prajurit tersebut. Hingga akhirnya, beliau radhiyallahu ‘anhu menyerang prajurit tersebut dan membunuhnya. Ketahuilah, orang yang terbunuh tersebut adalah Abdullah bin Al-Jarrah, ayah dari Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ketika perang Badr membunuh ayahnya sendiri yang memerangi Islam demi berjihad di jalan Allah.

Atas kejadian tersebut, Allah pun menurunkan ayat,

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ كَتَبَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْاِيْمَانَ وَاَيَّدَهُمْ بِرُوْحٍ مِّنْهُۗ وَيُدْخِلُهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُۗ اُولٰۤىِٕكَ حِزْبُ اللّٰهِۗ اَلَآ اِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Mujadilah: 22)

Dari kisah beliau, kita bisa ambil pelajaran bahwa wala dan bara kita hanya kepada Islam, hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika orang-orang terdekat kita menentang dan memerangi Islam, kita sebagai seorang muslim harus tetap membela Islam, walaupun mereka ayah atau ibu kita. Sebagaimana Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang melawan ayahnya sendiri di perang Badr karena ayahnya memerangi Islam. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah lebih memilih Islam dibandingkan ayahnya.

Ketahuilah, bahwasanya tidak mungkin seorang muslim bisa berkasih sayang dengan orang yang memusuhi Islam. Selayaknya bagi seorang muslim, kecintaan yang paling besar baginya adalah mencintai Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قُلْ اِنْ كَانَ اٰبَاۤؤُكُمْ وَاَبْنَاۤؤُكُمْ وَاِخْوَانُكُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَاَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ اَحَبَّ اِلَيْكُمْ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهٖ فَتَرَبَّصُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan daripada berjihad di jalan-Nya, tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)

Kasih sayang dan adab Abu Ubaidah bin Jarrah terhadap Rasulullah di perang Uhud
Perang Uhud adalah perang di mana kaum muslimin dikalahkan oleh orang-orang musyrik Quraisy. Hal tersebut dikarenakan ketidaktaatan para pemanah atas perintah Rasulullah. Mereka mengabaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap berada di atas bukit Uhud. Akan tetapi, mereka malah turun dari bukit karena tergoda harta rampasan perang yang ditinggalkan oleh kaum musyrikin yang ketika itu sudah terpukul mundur.

Turunnya para pemanah ini memberi celah bagi kaum musyrikin untuk melakukan serangan balik. Ketika itu, Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu yang masih belum masuk Islam mengambil inisiatif untuk menyerang balik kaum muslimin dan membalikkan keadaan. Ketika itu, kaum muslimin terpukul mundur dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diincar oleh kaum musyrikin untuk dibunuh.

Pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terluka cukup parah. Bahu beliau tertebas pedang oleh seorang penunggang kuda yang terlaknat bernama Abdullah bin Qamiah. Walaupun terlindung dengan baju besinya, beliau masih terluka cukup parah. Lalu, Abdullah bin Qamiah menyerang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan serangan yang sama kerasnya dengan serangan yang pertama. Serangan tersebut mengenai topi besi beliau sehingga menancaplah cincin besi pada topi besi beliau di pipinya.

Melihat hal tersebut, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencabut cincin topi besi tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi, beliau radhiyallahu ‘anhu tidaklah mencabutnya dengan tangannya, melainkan menggunakan giginya. Hal itu ia lakukan agar ia tidak menyakiti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia mencabut cincin tersebut. Akibat keinginannya untuk bersikap lembut tersebut, tanggallah dua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu ketika mencabut cincin tersebut dari pipi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Walaupun gigi beliau tanggal demi berbuat lembut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tetapi beliau dibalas menjadi salah seorang yang paling dicintai Nabi. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau ditanya,

أي أصحاب رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان أحب إليه؟ قالت: أبو بكر ثم عمر ثم أبو عبيدة بن الجراح

“Siapakah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam yang paling dicintai?” Aisyah menjawab, “Abu Bakar, lalu Umar, lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR Tirmidzi)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,

نِعْم الرجلُ أبو عبيدةَ بنَ الجرَّاحِ

“Sebaik-baiknya laki-laki adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. Tirmidzi)

Tidak tertariknya Abu Ubaidah bin Jarrah pada kepemimpinan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Amr bin Al-Ash untuk ekspedisi militer ke Dzatu Salasil. Ketika itu, Amr bin Al-Ash menimbang perlunya pasukan bantuan sehingga Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk memimpin pasukan bantuan untuk Amr bin Al-Ash.

Ketika kedua pasukan bertemu, terdapat perselisihan antara dua pasukan tentang siapa yang jadi imam. Melihat itu, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ‘anhu menyatakan tunduk atas komando Amr bin Al-Ash radiyallahu ‘anhu demi melaksanakan perintah Rasulullah agar mereka berdua tidak berselisih. Amr bin Al-Ash pun ketika itu mengimami salat dan memimpin pasukan.

Demikianlah beberapa pelajaran yang kita bisa ambil dari kisah jihadnya Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

***
Penulis: Firdian Ikhwansyah
Artikel: Muslim.or.id

Referensi:
Kitab Ashabu Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri.
Sumber: https://muslim.or.id/101248-kisah-abu-ubaidah-bin-al-jarrah-bag-1-mengambil-pelajaran-dari-jihad-abu-ubaidah-bin-jarrah.html
Copyright © 2025 muslim.or.id

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radiyallahu ’anhu merupakan salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling mulia. Beliau merupakan satu di antara orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Beliau juga merupakan salah satu dari sepuluh orang yang sudah dijamin masuk surga. Dari beliau juga, telah kita pelajari sikap wala‘ dan bara’ ketika beliau harus berhadapan dengan ayahnya di perang Badar. Dari beliau juga, kita bisa pelajari sikap lemah lembut terhadap Rasulullah ketika ia mencabut cincin besi dari pipi Rasulullah hingga tanggallah kedua gigi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di perang Uhud.

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga merupakan salah seorang sahabat yang paling amanah di antara sahabat-sahabat lainnya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاح

“Sesungguhnya setiap umat memiliki seorang ‘amin’ (orang yang amanah/terpercaya) dan amin umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.” (HR. Bukhari)

Kisah Rasulullah dengan kaum Nasrani Najran
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan sahabat yang dipercayai oleh Rasulullah hingga disebut oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai orang kepercayaan umat ini. Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh kaum Nasrani Najran dan mereka pun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang Nabi Isa ‘alaihi salam. Ketika itu, turunlah firman Allah Ta’ala,

اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ

“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah kemudian berfirman kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka, jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59)

Setelah menerima kebenaran dari firman Allah tersebut, kaum Nasrani tersebut tidak mau menerima kebenaran dan menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu, mereka pun hendak melakukan mubahalah (saling bersumpah) dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,

فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ لَا تَفْعَلْ فَوَاللَّهِ لَئِنْ كَانَ نَبِيًّا فَلَاعَنَّا لَا نُفْلِحُ نَحْنُ وَلَا عَقِبُنَا مِنْ بَعْدِنَا قَالَا إِنَّا نُعْطِيكَ مَا سَأَلْتَنَا وَابْعَثْ مَعَنَا رَجُلًا أَمِينًا وَلَا تَبْعَثْ مَعَنَا إِلَّا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُمْ يَا أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ فَلَمَّا قَامَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّة

“Maka, salah seorang dari mereka berdua berkata kepada temannya, ‘Jangan kamu lakukan! Demi Allah, seandainya dia benar seorang Nabi, maka dia yang akan melaknat kita, hingga kita tidak akan pernah beruntung dan tidak punya keturunan lagi setelah kita.’ Kemudian keduanya berkata, ‘Wahai Rasulullah! Kami akan memberikan apa yang engkau minta kepada kami. Oleh karena itu, utuslah orang kepercayaan engkau kepada kami. Dan jangan sekali-kali engkau mengutusnya, kecuali memang orang itu sangat terpercaya.’ Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Aku akan mengutus orang kepercayaan yang sebenar-benarnya.’ Maka, para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Lalu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Berdirilah, wahai Abu Ubaidah bin Jarrah!’ Setelah Abu Ubaidah bin Jarrah berdiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dialah orang kepercayaan umat ini.’ ” (HR. Bukhari)

Ketika itu, Rasulullah menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk diutus kepada kaum Nasrani Najran yang menuntut untuk diutus kepada mereka seorang yang sangat amanah untuk mengurus perkara mereka. Bahkan, Rasulullah pun menyatakan bahwa Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan orang kepercayaan umat ini.

Abu Ubaidah menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin
Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga diberikan amanah yang sangat besar oleh Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu di masa kekhalifahan Umar. Umar menunjuk Abu Ubaidah bin Al-Jarrah untuk menggantikan Khalid bin Walid untuk menjadi pemimpin pasukan kaum muslimin. Sebuah amanah yang sangat besar bagi Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.

Akan tetapi, walaupun beliau menjadi komandan pasukan kaum muslimin, kedudukan dunia tidaklah mengubah dirinya. Ketika Abu Ubaidah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan oleh Umar, ketika itu sedang berlangsung pengepungan kota Damaskus. Abu Ubaidah tidak seperti orang-orang pada umumnya yang mungkin langsung merebut kepemimpinan, lalu mengklaim prestasi penaklukan Damaskus adalah prestasinya. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah menunggu untuk tidak memberitahukan Khalid bin Walid atas pengangkatan Abu Ubaidah menjadi pemimpin hingga selesai penaklukan Damaskus. Abu Ubaidah lebih mementingkan kondusif dan lancarnya penaklukan Damaskus dibandingkan kepentingan pribadinya.

Ketika perang Yarmuk, Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu juga menyerahkan kepemimpinan kepada Khalid bin Walid. Hal itu dikarenakan beliau menimbang maslahat yang lebih besar ketika itu. Tentunya bukan dikarenakan inkompetennya Abu Ubaidah bin Al Jarrah, tapi murni timbangan maslahat. Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga mencetak berbagai pencapaian yang luar biasa. Salah satunya adalah penaklukan Yerusalem.

Sebelum berperang, beliau selalu mendakwahkan Islam kepada pemimpin musuh. Hal tersebut beliau lakukan agar pemimpin tersebut masuk Islam dan membuat bawahannya pun mengikuti.

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu, walaupun beliau merupakan seorang pemimpin pasukan seluruh kaum muslimin, kedudukannya yang tinggi tidaklah membuat beliau berubah dan menjadi cinta dunia. Ketika dunia datang kepada beliau, hal tersebut tidak akan mengubahnya. Syekh Mahmud Al-Mishri mengutip dari Tabaqat Ibnu Sa’ad,

يرسل إليه عمر بن الخطاب بأربعة آلاف درهم وأربعمائة دينار، وقال لرسوله: انظر ما يصنع, فقسمها أبو عبيدة، فلما أخبر عمر رسوله بما صنع أبو عبيدة بالمال، قال: الحمد لله الذى جعل في الإسلام من يصنع هذا

“Umar bin Al-Khattab mengirimkan padanya (Abu Ubaidah) 4000 dirham dan 400 dinar. Umar berkata pada utusannya, ‘Lihatlah apa yang ia (Abu Ubaidah) lakukan.’ Maka, ia (Abu Ubaidah) membagi-bagikannya. Ketika utusan Umar melaporkan kepada Umar tentang apa yang Abu Ubaidah lakukan terhadap hartanya, Umar berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang menjadikan dalam Islam orang yang melakukan hal tersebut.’ “

Abu Ubaidah bin Al-Jarrah juga hidup dalam keadaan yang sederhana. Di rumah beliau tidak terdapat perabotan rumah yang bagus. Di dalamnya hanya ada barang-barang yang ia butuhkan untuk sekadar menjalani kehidupan saja. Bahkan, ketika Umar berkunjung ke rumah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, beliau menangis melihat kondisi Abu Ubaidah.

Perpisahan dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah
Ketika wabah taun melanda, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah merupakan salah seorang yang terkena wabah tersebut. Abu Ubaidah wafat akibat wabah taun pada usia 56 tahun.

Penulis: Firdian Ikhwansyah
Artikel: Muslim.or.id

Referensi:
Kitab Ashabu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, karya Syekh Mahmud Al-Mishri
Sumber: https://muslim.or.id/101250-kisah-abu-ubaidah-bin-al-jarrah-bag-2-orang-kepercayaan-amin-umat-ini.html
Copyright © 2025 muslim.or.id

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِيْنًا، وَأَمِيْنُ هَذِهِ الأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بنُ الجَرَّاحِ

“Sesungguhnya setiap umat itu ada orang yang kepercayaan. Orang yang paling terpercaya di tengah umatku adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” [HR. al-Bukhari 4382 dan Muslim 2419]

Ini adalah persaksian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mulianya akhlak Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Tentu ini adalah sebaik-baik rekomendasi. Lalu, seperti apa profil lengkap Abu Ubaidah bin al-Jarrah?

Nama dan Nasabnya

Nama Abu Ubaidah adalah Amir bin Abdullah bin al-Jarrah al-Fihri al-Qurasyi radhiallahu ‘anhu. Ia lebih dikenal dengan kun-yahnya, Abu Ubaidah dan langsung dinisbatkan (di-bin-kan) ke kakeknya. Sementara ibunya adalah Umaimah binti Ghanam.

Abu Ubaidah lahir 40 tahun sebelum hijrah. Tepatnya tahun 584 M. Ia adalah laki-laki yang berperawakan kurus berwajah cekung. Janggutnya tipis. Posturnya tinggi bungkuk. Dan patah gigi serinya. (Thabaqat Ibnu Saad).

Meskipun berasal dari Quraisy, suku terhormat di Mekah, namun sedikit sekali riwayat yang mengisahkan tentang kehidupan Abu Ubaidah sebelum memeluk Islam. Sehingga kehidupannya kita kenal adalah kehidupan tatkala ia mulai memeluk Islam.

Memeluk Islam

Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat yang pertama memeluk Islam. Keislamannya hanya beda satu hari setelah islamnya Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Dan dari dakwah Abu Bakar-lah ia memeluk Islam. Kemudian, bersama Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh’un, dan al-Arqam bin Abil Arqam, ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menyampaikan pada Nabi telah menerima kebenaran Islam. Dan mereka inilah pondasi kokoh dan pertama dakwah Islam tersebar di Kota Mekah. (al-Mustadrak, 3/266).

Kedudukan Yang Mulia

Abu Ubaidah adalah salah seorang dari sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk surga. Ia dua kali berhijrah, turut serta dalam Perang Badar dan perang-perang setelahnya. Saat helm perang Rasulullah bengkok, menghujam hingga mematahkan gigi beliau, Abu Ubaidah-lah yang melepaskan helm yang sempit itu dari kepala Rasulullah. Dan saat barisan kaum muslimin porak-poranda di Perang Uhud, ia tetap teguh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kepungan musuh (al-Mustadrak 3/266 dan al-Ishabah 2/243).

Keutamaannya yang lain adalah ia dipuji oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

نِعمَ الرَّجلُ أبو بَكْرٍ، نِعمَ الرَّجلُ عمرُ، نِعمَ الرَّجلُ أبو عُبَيْدةَ بنُ الجرَّاحِ، نِعمَ الرَّجلُ أُسَيْدُ بنُ حُضَيْرٍ، نِعمَ الرَّجلُ ثابتُ بنُ قَيسِ بنِ شمَّاسٍ، نِعمَ الرَّجلُ معاذُ بنُ جبلٍ، نِعمَ الرَّجلُ معاذُ بنُ عمرِو بنِ الجموحِ

“Laki-laki yang terbaik adalh Abu Bakar. Laki-laki yang terbaik adalah Umar. Laki-laki terbaik adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Laki-laki terbaik adalah Usaid bin Hudhair. Laki-laki terbaik adalah Tsabit bin Qais bin Syammas. Laki-laki terbaik adalah Muadz bin Jabal. Laki-laki terbaik adalah Muadz bin Amr bin al-Jamuh.” [HR. at-Tirmidzi 3795].

Abdullah bin Syaqiq berkata, “Aku bertanya pada Aisyah, ‘Siapakah di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling beliau cintai’? Aisyah menjawab, ‘Abu Bakar’. ‘Lalu siapa’? tanyaku. Ia menjawab, ‘Umar’. ‘Setelah itu’? tanyaku lagi. ‘Abu Ubaidah bin al-Jarrah’, jawabnya. Aku bertanya lagi, ‘Siapa lagi’? Ia hanya diam [Shahih at-Tirmidzi, 3657].

Mendapatkan Pendidikan Dari Sang Penerima Wahyu

Pada tahun 8 H, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Amr bin al-Ash menuju Dzatus Salasil. Dzatus Salasil adalah perang menghadapi Romawi di Syam di perkampungan Bani Bali. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyertakan Abdullah dan orang-orang Qudha’ah lainnya untuk menemani Amr.

Urwah bin Az-Zubair mengatakan, “Bani Bali masih paman dari al-Ash bin Wail. Saat tiba di sana, ia merasa takut karena jumlah musuh begitu banyak. Amr pun mengirim utusan kepada Rasulullah untuk meminta bala bantuan. Rasulullah mengerahkan generasi awal Muhajirin. Berangkatlah Abu Bakar, Umar, dan sejumlah pasukan lainnya dari kalangan Muhajirin. Pasukan bantuan ini dipimpin oleh Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”

Musa bin Uqbah mengatakan, “Saat mereka tiba, Amr, ‘Aku adalah pimpinan kalian. Karena aku meminta kepada Rasulullah pasukan bantuan’. Orang-orang Muhajirin berkata, ‘Engkau adalah pimpinan untuk pasukanmu. Sementara Abu Ubaidah adalah pimpinan pasukan Muhajirin’. Amr kembali berkata, ‘Kalian ini adalah bala bantuan yang aku pinta kepada Rasulullah’.

Melihat kondisi seperti ini, Abu Ubaidah menunjukkan akhlak yang mulia dan kelembutan karakternya. Ia berkata, ‘Ketauhilah hai Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam janjikan kepadaku dengan ucapan beliau, ‘Kalau kau temui Amr, kalian berdua ditaati. Dan jika engkau tidak taat padaku, sungguh aku benar-benar akan menaatimu’. Lalu Abu Ubaidah menyerahkan kepemimpinan kepada Amr bin al-Ash.” (al-Baihaqi menyebutkan kisah ini sebelum penaklukkan Mekah).

Di antara pengaruh besar didikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Ubaidah dalah dalam permasalahan al-wala’ (loyal) dan al-bara’ (tidak loyal). Terdapat kisah dalam masalah ini. Mungkin kisah ini akan sulit diterima dan dibayangkan. Di Perang Badar, Abu Ubaidah bertemu dengan ayahnya di pihak musuh. Abdullah bin Syaudzb menceritakan, “Ayah Abu Ubaidah menantang sang anak di Perang Badar. Saat duel itu Abu Ubaidah berhasil membuat ayahnya terpojok. Saat sang ayah sudah banyak terluka, Abu Ubaidah pun menghabisinya. Turunlah firman Allah berkaitan dengan kejadian ini,

لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” [Quran Al-Mujadilah: 22] (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, al-Hakim, dan al-Baihaqi).

Tentu sulit dibayangkan bagaimana bisa anak membunuh ayahnya. Apalagi dengan kaca mata orang-orang toleran yang tak pernah menyentuh akidah al-wala’ dan al-bara’. Mereka akan bingung. Akan berprasangka. Mungkin mereka kecewa dengan agama ini dan orang-orang yang dijadikan teladan dalam agama. Tapi kita yang kenal al-wala’ dan al-bara’ tidak seperti itu cara pandangnya. Abu Ubaidah pun adalah seorang yang berakhlak mulia. Rasa tega dan kuat yang ia dapat saat berhadapan dengan sang ayah adalah spirit dari Allah. Ia tidak menimbang dengan pandangan dunia yang fana. Sehingga ia berhasil keluar dari sekat dan ikatan duniawi. Lalu menguatkan diri dengan ikatan akidah.

Peranan Penting

Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu adalah seorang pemimpin yang amanah. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu.

عَنْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ أَهْلُ نَجْرَانَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا ابْعَثْ لَنَا رَجُلًا أَمِينًا فَقَالَ لَأَبْعَثَنَّ إِلَيْكُمْ رَجُلًا أَمِينًا حَقَّ أَمِينٍ فَاسْتَشْرَفَ لَهُ النَّاسُ فَبَعَثَ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ

“Orang-orang Najran pernah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, utuslah kepada kami seseorang yang jujur dan dipercaya’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh aku akan mengutus kepada kalian seseorang yang sangat jujur dan dapat dipercaya. Para sahabat merasa penasaran dan akhirnya menunggu-nunggu orang yang dimaksud oleh Rasulullah itu. Ternyata Rasulullah mengutus Abu Ubaidah bin Jarrah.”

Abu Ubaidah bin al-Jarrah adalah seorang yang sangat mencintai Nabi dan senantiasa membela beliau. Dalam Thabaqat Ibnu Saad, Aisyah radhiallahu ‘anha mengisahkan, “Aku mendengar Abu Bakar berkata, ‘Saat Perang Uhud, wajah Rasulullah terluka. Helm perang beliau bengkok menghimpit pipi beliau. Aku bersegera menuju beliau. Lalu ada seseorang dari arah timur bergerak cepat

Pada saat Perang Uhud, sebuah batu dilemparkan ke wajah Nabi, aku merasa lemparan itu begitu keras sehingga dua rantai helm beliau sendiri terputus. Aku bersegera berlari menuju Rasulullah dan kulihat seorang pria bergegas lari ke arahnya. Orang itu bergerak ke arah Rasulullah seolah-olah sedang terbang. Karena itu, aku berdoa untuknya, ‘Ya Allah, jadikan orang ini sebagai sarana penyebab kebahagiaan’ (Artinya, apa yang dia lakukan harus menjadi penyebab kebahagiaan bagi Nabi dan juga bagi kita).

Ketika kami mencapai Rasulullah, ternyata kulihat Abu Ubaidah bin al-Jarrah itulah yang mendahuluiku. Dia berkata padaku,

أَسْأَلُكَ بِاللَّهِ يَا أَبَا بَكْرٍ إِلاَّ تَرَكْتَنِي فَأَنْزِعَهُ مِنْ وَجْنَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم

‘Wahai Abu Bakar, kumohon padamu, demi Allah, biarlah aku yang mengeluarkan rantai ini dari wajah Rasulullah.’

Hadhrat Abu Bakar mengatakan, “Kuizinkan dia untuk melakukannya.”

Kemudian Abu Ubaidah meraih salah satu dari dua rantai tersebut dengan giginya dan mencabutnya begitu keras sehingga beliau terjatuh di tanah dengan punggungnya. Beliau melakukannya sangat kuat sehingga salah satu gigi depannya patah. Kemudian ia gigit rantai satu lagi dengan giginya dan mencabutnya dengan sangat keras, gigi depannya yang lain juga patah.”

Abu Ubaidah adalah seorang yang berakhlak mulia. Ia seorang yang sangat tenang, zuhud, dan rendah hati. Umar pernah berkata dengan orang-orang yang duduk bersamanya, “Buatlah harapan”! Orang-orang pun menyampaikan harapan-harapan mereka. Lalu Umar berkata, “Adapun aku, aku berharap sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”

Bersama Abu Bakar

Abu Bakar pernah berkata kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah, “Kemarilah, biar aku membaiatmu sebagai khalifah. Sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن لكل أمة أمينًا، وأنت أمين هذه الأمة

Setiap umat itu memiliki orang yang terpercaya (amanah). Dan engkau adalah orang terpercayanya umat ini.”

Lalu Abu Ubaidah menanggapi, “Aku tidak akan mengunggulkan diriku dengan orang yang ditunjuk oleh Rasulullah sebagai imam kami.”

Abu Bakar berkata pada orang-orang yang hadir di Tsaqifah Bani Sa’idah, “Aku ridha untuk mengurusi urusan kalian salah satu dari dua orang ini.” Maksudnya Umar bin al-Khattab dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah.

Bersama Umar bin al-Khattab

Umar bin al-Khattab berkata, “Aku tidak akan mengubah suatu perkara yang telah diputuskan oleh Abu Ubaidah.” (Tarikh ath-Thabari, 3/434).

Keputusan pertama yang dibuat oleh Umar bin al-Khattab tatkala menjabat khalifah adalah menunjuk Abu Ubaidah sebagai panglima perang menggantikan Khalid bin al-Walid. Umar berkata,

“Kuwasiatkan padamu untuk bertakwa kepada Allah Yang Maha Abadi sementara selain-Nya fana. Dialah yang memberi petunjuk kepada kita. Mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya. Aku telah menunjukmu menjadi panglima perang menggantikan Khalid bin al-Walid. Atur mereka sesuai dengan wewenangmu. Jangan kau biarkan kaum muslimin terjerumus dalam kebinasaan dengan semata-mata hanya berharap rampasan perang. Jangan kau posisikan mereka di satu posisi sebelum kau periksa kondisi mereka. Dan mengetahui tempat yang akan mereka datangi. Jangan kau kirim pasukan kecuali dengan jumlah yang besar. Jangan sampai kau hadapkan kaum muslimin pada kebinasaan. Kalau kau lakukan itu, kau telah menimpakan musibah untukmu demikian juga untukku. Tundukkan pandangamu dari dunia. Dan palingkan hatimu darinya. Waspadalah! Jangan sampai engkau binasa seperti binasanya umat-umat sebelummu. Padahal engkau telah tahu kekalahan mereka.” (Tarikh ath-Thabari, 3/434).

Bersama Khalid bin al-Walid

Saat Umar mencopot Khalid radhiallahu ‘anhu dari jabatan panglima pasukan, ia menunjuk Abu Ubaidah sebagai suksesornya. Lalu Khalid berkata kepada pasukan, “Kalian dikirimi seseorang yang terpercayanya umat ini.” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menanggapi, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَالِدٌ سَيْفٌ مِنْ سُيُوفِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَنِعْمَ فَتَى الْعَشِيرَةِ

“Khalid adalah pedang di antara pedang-pedang Allah Azza wa Jalla dan sebaik-baik pemuda di suatu kaum.” [HR. Ahmad 16220].

Nasehat

Saat terjadi perpedaan pendapat antara Muhajirin dan Anshar tentang siapa yang memimpin setelah Rasulullah, Abu Ubaidah mengucapkan satu kalimat yang menyatukan. Ia berkata, “Wahai orang-orang Anshar, kalian adalah yang pertama menolong dan membantu. Karena itu, jangan sampai kalian menjadi yang pertama berubah.”

Dalam satu peperangan, ia berpidato membakar semangat pasukannya dengan mengatakan, “Ibadallah, tolonglah agama Allah, pasti Allah akan tolong kalian. Allah akan meneguhkan kaki kalian. Ibadallah, bersabarlah. Karena kesabaran adalah jalan selamat dari kekufuran. Ridha dari Allah. Keselamatan dari ketergelinciran. Jangan tinggalkan barisan. Jangan berikan musuh peluang. Jangan mulai duluan berperang. Siapkan dulu pasukan pemanah. Kita berlindung dulu di balik tameng. Jangan banyak bicara kecuali dzikir kepada Allah Azza wa Jalla. Hingga Allah sempurnakan urusan kita ini insyaallah..”

Wafat

Penyebab wafatnya Abu Ubaidah bin al-Jarrah adalah wabah thaun yang melanda negeri Syam. Tepatnya di masa pemerintahan Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, siapa yang wafat karena penyakit ini, ia seorang syahid. Kemudian ia juga wafat fi sabilillah. Ia menggabungkan dua keutamaan. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَا تَعُدُّونَ الشُّهَدَاءَ فِيكُمْ؟» قالوا: يَا رَسولَ اللهِ، مَنْ قُتِلَ في سَبيلِ اللهِ فَهُوَ شَهِيدٌ. قَالَ: «إنَّ شُهَدَاءَ أُمَّتِي إِذًا لَقَليلٌ»! قالوا: فَمَنْ هُمْ يَا رسول الله؟ قَالَ: «مَنْ قُتِلَ في سَبيلِ الله فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ في سَبيلِ الله فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ في الطَّاعُونِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ مَاتَ في البَطْنِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَالغَرِيقُ شَهِيدٌ». رواه مسلم.

“Menurut kalian, orang yang kalian anggap mati syahid itu seperti apa”? Para sahabat menjawab, “Mereka yang terbunuh dalam jihad di jalan Allah. Itulah syahid.” Nabi menanggapi, “Kalau begitu pasti sedikit yang syahid di tengah umatku.”

Para sahabat bertanya, “Jadi siapa mereka, wahai Rasulullah”? Rasulullah menjawab, “Siapa yang terbunuh saat jihad di jalan Allah adalah syahid. Siapa yang wafat dalam ketaatan kepada Allah, dia syahid. Siapa yang wafat karena thaun, dia syahid. Siapa yang wafat karena penyakit yang ada di perutnya, dia syahid.”

Ibnu Miqsam berkata pada anak Abu Ubaidah, “Aku bersaksi bahwa ayahmu termasuk di dalam hadits ini.” [HR. Muslim 1915].

Sejarawan sepakat bahwa Abu Ubaidah wafat karena wabah thaun amwas di Syam pada tahun 18 H [Al-Isti’ab ‘ala Hasyiyah al-Ishabah, 3/3].

Saat Abu Ubaidah dimakamkan, Muadz bin Jabal berkhotbah di tengah masyarakat yang hadir. Ia menyebutkan banyak keutamaan Abu Ubaidah dalam khotbahnya.

Abu Said al-Maqbari berkata, “Saat Abu Ubaidah terfinfeksi wabah thaun, ia berkata, ‘Muadz, imamilah orang shalat’. Muadz pun mengimami masyarakat. Lalu Abu Ubaidah bin al-Jarrah wafat. Muadz berdiri dan menyampaikan khotbah, ‘Masyarakat sekalin bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosa yang kalian kerjakan. Karena tidaklah seorang hamba Allah menghadap-Nya dalam kondisi ia sudah bertaubat kecuali Allah mewajibkan diri-Nya sendiri untuk mengampun orang tersebut.”

Muadz melanjutkan, “Kalian dikejutkan dengan wafatnya seseorang. Yang aku tak pernah melihat seorang yang paling sedikit kesalahannya, paling baik hatinya, paling jauh dari kejahatan, paling cinta dengan akhirat, dan paling menginginkan kebaikan untuk masyarakat melebihi dirinya. Doakan dia rahmat. Dan mari kita ke tanah lapang untuk menyalatkannya. Demi Allah, kalian tidak akan mendapatkan orang semisalnya lagi.”

Orang-orang pun berkumpul dan jenazah Abu Ubaidah dikeluarkan ke tanah lapang. Muadz maju ke depan mengimami shalat jenazahnya. Muadz bin Jabal, Amr bin al-Ash, adh-Dhahak bin Qays adalah orang-orang yang masuk ke liang kuburnya dan meletakkan jenazah Abu Ubaidah di lahad. Saat tanah sudah menibun jasad Abu Ubaidah, Muadz berkata, “Abu Ubaidah, sungguh aku akan memujimu dan yang kukatakan ini bukanlah dusta yang aku khawatir Allah akan menghukumku. Demi Allah, sungguh engkau adalah orang yang banyak berdzikir mengingat Allah. Orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Orang yang tunduk dan patuh kepada Allah. seorang yang rendah hati. Yang menyayangi anak-anak yatim, orang-orang miskin. Dan tidak suka dengan orang-orang yang berkhianat dan sombong. (al-Mustadrak, 3/295).

Pujian Muadz bin Jabal kepada Abu Ubaidah ini menunjukkan keutamaan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Menunjukkan tingginya kedudukannya. Semoga Allah Ta’ala meridhainya.

Diterjemahkan dari: https://islamstory.com/ar/artical/33993/أمين_الأمة_أبو_عبيدة_بن_الجراح

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nurfitri_hadi)
Artikel www.KisahMuslim.com
Sumber : https://kisahmuslim.com/6637-abu-ubaidah-bin-al-jarrah-umat-muhammad-yang-paling-amanah.html

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M