Aneka Peristiwa Pada Masa Khalifah Ali bin Thalib رضي الله عنه dan Perang Jamal
1. Para amir didaerah pada saat terbunuh Ustman bin Affan رضي الله عنه
Di Kufah, Abu Musa al-Asy’ari ditunjuk sebagai imam shalat, al -Qa’qa’ bin Amru sebagai amir jihad dan Jabir bin Amru al-Muzni sebagai ketua amil zakat dan pajak. Amir di Bashrah adalah Abdullah bin Amir. Amir di Mesir adalah Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh, namun kekuasaannya didominasi oleh Muhammad bin Abi Hudzaifah. Amir di Syam adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan wakilnya untuk daerah Hims adalah Abdurrahman bin Khalid bin al-Walid. Amir di Qinnasrin adalah Habib bin Maslamah. Amir di Yordania adalah Abul A’war bin Sufyan. Amir di Palestina adalah ‘ Alqamah bin Hakim [958]. Walikota di Adzerbaijan adalah al-Asy’ats bin Qais. Amir di Qarqisiya’ adalah Jarir bin Abdillah al-Bajali. Amir di Hulwan adalah Utaibah bin an-Nahhas. Amir di Mah adalah Malik bin Habib. Amir di Hamadzan adalah an-Nusair. Amir di Rayy adalah Sa’id bin Qais. Amir di Ashbahan adalah as-Saib bin al-Aqra’. Amir di Masbadzan adalah Hubaisy. Itulah amir-amir pada saat terbunuhnya Utsman berdasarkan yang disebutkan oleh Ibnu Jarir, mereka adalah pemimpin-pemimpin di daerah. Ketua baitul mal di Madinah saat itu adalah Uqbah bin Amru. Dan sebagai qadhinya adalah Zaid bin Tsabit. [959]
2. Pengangkatan Amir-amir didaerah oleh Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه
Memasuki tahun 36 H Ali bin Abi Thalib ra. mulai menjalankan kekhalifahannya. Beliau mengangkat amir-amir di daerah. Beliau mengangkat Ubaidullah bin Abbas sebagai amir di Yaman. Mengangkat Utsman bin Hunaif sebagai amir di Bashrah. Mengangkat Umarah bin Syihab sebagai amir di Kufah. Mengangkat Qais bin Sa’ad bin Ubadah sebagai amir di Mesir. Mengangkat Sahal bin Hunaif sebagai amir di Syam menggantikan Mu’awiyah.
Maka Sahal pun berangkat menuju Syam, tatkala tiba di Tabuk ia berpapasan dengan orang-orang Mu’awiyah, mereka bertanya, “Siapakah anda?” “Aku adalah amir” jawab Sahal. “Amir di mana?” tanya mereka. “Amir di wilayah Syam” jawabnya. Mereka berkata, “Jika Utsman yang mengutusmu maka selamat datang, jika orang lain yang mengutusmu maka lebih baik anda kembali.” Sahal bertanya, “Apakah kalian telah mendengar apa yang terjadi?” “Tentu saja” jawab mereka. Maka Sahal pun kembali kepada Ali. Adapun Qais bin Sa’ad, penduduk Mesir berselisih pendapat tentang keamirannya, jumhur penduduk Mesir membaiatnya. Sebagian kelompok mengatakan, “Kami tidak akan berbai’at sehingga kami dapat membunuh para pembunuh Utsman.”
Demikian pula penduduk Bashrah, sebahagian dari mereka menolak berbai’at.
Adapun Umarah bin Syihab yang diutus sebagai amir untuk wilayah Kufah, maka dicegah oleh Thulaihah bin Khuwailid karena kemarahannya atas terbunuhnya Utsman. Kemudian Umarah kembali kepada Ali ra. dan menceritakan perihal di sana. Berkembanglah fitnah, semakin runyamlah masalah dan semakin runcing pula perselisihan. Abu Musa mengirim berita kepada Ali ra. tentang ketaatan penduduk Kufah dan bai’at mereka kecuali sedikit dari mereka.[960]
Ali ra. telah mengirim banyak sekali surat kepada Mu’awiyah namun Mu’awiyah tidak memberikan jawaban. Hal itu terus berlangsung hingga bulan ketiga terbunuhnya Utsman di bulan Shafar. Kemudian Mu’awiyah mengutus Thaumar bersama seorang lelaki untuk menemui Ali ra.. Keduanyapun masuk menemui beliau. Ali ra. berkata, “Berita apa yang kalian bawa?” Mereka menjawab, “Kami datang dari satu kaum yang hanya menghendaki Qishash. Mereka semua berputus asa, aku telah bertemu dengan enam puluh ribu orang tua mereka menangisi kepergian Utsman. Sedang dia berdiri di atas mimbar
Damaskus.” Maka Alipun berkata, “Ya Allah, aku berlepas diri kepadaMu dari darah Utsman.” Kemudian utusan Mu’awiyah keluar dari hadapan Ali ra.. Kaum Khawarij yang telah membunuh Utsman berhasrat menghabisi beliau. Dan mereka baru berhasil melampiaskan hasrat tersebut setelah berusaha keras.[961]
3. Tuntutan terhadap darah Utsman bin Afffan رضي الله عنه
Setelah terbunuhnya Utsman , Mu’awiyah bin Abi Sufyan beserta sejumlah sahabat lainnya angkat bicara di hadapan manusia dan mendorong mereka agar menuntut darah Utsman dari orang-orang Khawarij yang telah membunuhnya. Para sahabat yang turut serta dalam tuntutan ini adalah: Ubadah bin Shamit, Abu Darda’, Abu Umamah, Amru bin Abasah [962] dan para sahabat lainnya. Dari kalangan tabi’in: Syarik bin Khubasyah,[963] Abu Muslim al-Khaulani, Abdurrahman bin Ghanm dan yang lainnya.[964]
Setelah selesai proses pembai’atan Ali ra., Thalhah, az-Zubair dan beberapa pemuka sahabat datang menemui beliau guna menuntut penegakan hukum dan menegakkan qishash atas kematian Utsman. Namun Ali ra. menyampaikan alasan kepada mereka bahwa kelompok pembangkang itu memiliki kekuatan yang besar. Dan tidak mungkin tuntutan itu dilakukan sekarang. Az-Zubair meminta kepada beliau agar diangkat menjadi amir di Bashrah. Az-Zubair berjanji akan membawa pasukan dari Bashrah untuk memperkuat barisan melawan kaum Khawarij dan kaum Arab Badui yang ikut bersama mereka dalam pembunuhan Utsman, Ali ra. berkata kepada mereka berdua, “Bersabarlah dulu, jangan paksa aku! [965]
Kemudian Abdullah bin Abbas menganjurkan kepada Ali ra. agar tetap mempertahankan amir-amir yang dahulu ditunjuk oleh Utsman di daerah-daerah sampai stabilitas keamanan pulih kembali. Khususnya Mu’awiyah di wilayah Syam. Ibnu Abbas berkata kepadanya,” Aku khawatir ia akan menuntut darah Utsman bila anda mencopotnya.” Ali ra. berkata, “Aku tidak berpendapat demikian, akan tetapi berangkat-lah ke Syam, sungguh aku mengangkatmu menjadi amir di sana.” Abdullah bin Abbas berkata kepada Ali ra., “Aku khawatir Mu’waiyah membunuhku karena menuntut balas kematian Utsman. Atau aku khawatir ia mengira aku diangkat menjadi amir karena aku ada hubungan keluarga denganmu. Akan tetapi tulislah surat kepada Mu’awiyah, berilah harapan dan janji untuknya.”
Ali ra. berkata, “Demi Allah, hal itu tidak akan terjadi selamanya.” Abdullah bin Abbas berkata, “Wahai Amirul Mukminin, perang adalah tipu daya seperti yang dikatakan oleh Rasulullah ﷺ.[966] Demi Allah, sekiranya anda menuruti kata-kataku, niscaya aku akan menggiring mereka semua kepadamu.” Abdullah bin Abbas telah melarang Ali ra. agar jangan menerima saran sebagian orang yang membujuk beliau agar berangkat ke Iraq dan meninggalkan Madinah, akan tetapi Ali ra. menolak seluruh saran Abdullah bin Abbas967
4. Thalhah, az-Zubair dan ‘Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا Berangkat ke Bashrah
Istri-istri nabi , para umahatul mukminin berangkat menunaikan haji pada tahun ke tiga puluh lima hijriyah untuk menghindari fitnah. Ketika sampai ke telinga orang banyak berita terbunuhnya Utsman , yaitu ketika mereka hendak pulang dari haji, mereka kembali lagi ke Makkah dan menetap di sana. Mereka menunggu apa yang akan dilakukan oleh manusia. Setelah dibai’atnya Ali ra. Dan orang-orang yang paling berpengaruh di sekitar beliau yaitu karena desakan kondisi dan dominasi mereka bukan atas keinginan beliau pribadi- adalah para pemimpin-pemimpin Khawarij yang telah membunuh Utsman.
Padahal Ali ra. sebenarnya sangat membenci mereka. Akan tetapi beliau menunggu kehancuran mereka dan sangat ingin kalaulah berhasil menguasai mereka, beliau akan mengambil hak Allah dari mereka. Akan tetapi karena kondisinya seperti itu, justru mereka yang menguasai beliau dan bahkan mereka menghalangi para sahabat yang lainnya dari beliau, maka larilah sekelompok Bani Umayyah dan yang lainnya ke Makkah. Kemudian Thalhah dan az-Zubair meminta izin kepada beliau untuk mengerjakan umrah ke Makkah. Ali ra. mengizinkan mereka berdua, lalu keduanyapun berangkat ke Makkah diikuti oleh banyak orang.
Kemudian datang pula Ya’la bin Umayyah dari Yaman -ia adalah amir di Yaman pada masa kekhalifahan Utsman dengan membawa enam ratus ekor unta dan enam ratus ribu dirham. Bertepatan pula dengan kedatangan Abdullah bin Amir dari Bashrah, ia adalah wakil Utsman untuk daerah Bashrah. Maka berkumpullah di Makkah para tokoh dari kalangan sahabat dan para umahatul mukminin. ‘Aisyah ra. mengajak orang-orang agar menuntut balas atas tertumpahnya darah Utsman. ‘Aisyah ra. menyebutkan kelaliman orang-orang yang telah membunuh Utsman di tanah Haram dan di bulan Haram serta tidak mempedulikan kehormatan Rasulullah ﷺ. mereka telah menumpahkan darah dan menjarah harta. Orang-orangpun menyambut seruan ‘Aisyah ra. dan bersedia mengikuti apa yang menurut ‘Aisyah ra. baik dan membawa maslahat.
Mereka berkata kepadanya, “Ke manapun anda pergi, kami akan ikut bersama anda.” Sebagian dari mereka berkata, “Mari kita berangkat ke Syam.” Sebagian dari mereka berkata, “Sesungguhnya Mu’awiyah bisa mengurus masalah di sana, sekiranya para pemberontak itu datang ke sana niscaya mereka akan kalah. Penduduk Syam pasti akan bersatu, karena tokoh-tokoh besar dari kalangan sahabat nabi di Syam bersama mereka.” Yang lainnya berkata, “Mari kita berangkat ke Madinah dan menuntut Ali ra. agar menyerahkan para pembunuh Utsman untuk diqishash.”
Dan sebagian lainnya mengusulkan, “Lebih baik kita berangkat ke Bashrah untuk menggalang kekuatan di sana dengan kuda-kuda dan pasukan. [968] Kita mulai dari sana dengan mencari para pembunuh Utsman.” Lalu mereka pun sepakat dengan usulan tersebut. Para umahatul mukminin lainnya menghendaki agar ‘Aisyah ra. ikut bersama mereka ke Madinah. Namun ketika orang-orang sepakat berangkat ke Bashrah mereka berkata, “Kami tidak akan pergi ke tempat lain selain Madinah.”
Ya’la bin Umayyah menyiapkan rombongan. Beliau mengeluarkan enam ratus ekor unta dan enam ratus ribu dirham untuk keperluan rombongan. Abdullah bin Amir pun menyiapkan uang yang cukup banyak untuk keperluan rombongan. Pada saat itu Hafshah binti Umar ummul mukminin menyetujui pendapat ‘Aisyah ra. untuk berangkat ke Bashrah. Namun ia dilarang oleh saudara laki-lakinya, yakni Abdullah bin Umar.
Abdullah bin Umar menolak berangkat bersama mereka ke tujuan lain selain Madinah. Orang-orangpun menyertai ‘Aisyah ra. Dengan seribu pasukan berkuda, ada yang mengatakan sembilan ratus pasukan berkuda dari penduduk Madinah dan Makkah. Lalu banyak pula orang-orang lain yang ikut serta dalam rombongan ini. Sehingga jumlah mereka menjadi tiga ribu orang.
Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. berada dalam haudaj (sekedup) unta yang bernama ‘Askar yang dibeli oleh Ya’la bin Umayyah. Rombongan pun bergerak menuju Bashrah. Yang bertindak menjadi imam shalat atas perintah ‘Aisyah ra. adalah keponakan beliau, Abdullah bin az-Zubair. Sedang Marwan bin al-Hakam bertindak sebagai muadzin pada waktuwaktu shalat. Di tengah perjalanan pada malam hari mereka tiba di mata air bernama al-Hau’ab.[ 969]
Anjing-anjing mengonggong menyambut kedatangan mereka di mata air itu. Demi mendengar gonggongan anjing ‘Aisyah ra.. bertanya, “Apa nama mata air ini?”
“Mata air al-Hau’ab” kata mereka. ‘Aisyah ra.. memukul tangannya sendiri sambil berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Menurutku aku harus kembali.” “Mengapa?” tanya mereka. Beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. berkata kepada istri-istri beliau, “Duhai kiranya siapakah di antara kalian yang disambut oleh gonggongan anjing di mata air al-Hau’ab.” Kemudian ‘Aisyah ra. memukul kaki untanya dan menambatkannya. ‘Aisyah ra. berkata, “Kembalikanlah aku, kembalikanlah aku! Demi Allah akulah wanita (yang disambut gonggongan anjing) di mata air al-Hau’ab.” Kami telah mencantumkan hadits ini beserta sanad dan matannya dalam kitab Dalail an-Nubuwah.[970]
Orang-orang pun menambatkan unta mereka di dekatnya sehari semalam. Abdullah bin az-Zubair berkata kepadanya, “Sesungguhnya orang-orang yang menyampaikan kepadamu bahwa mata air ini bernama al-Hau’ab telah berdusta.[971]
Mereka pun berangkat menuju Bashrah, ketika rombongan mendekati Bashrah ‘ Aisyah ra.. menulis surat kepada al-Ahnaf bin Qais dan orang-orang di sana mengabarkan bahwa ia sudah sampai di Bashrah. Utsman bin Hunaif mengutus Imran bin Hushain dan Abul Aswad ad-Duali untuk menemui ‘Aisyah ra. guna menanyakan maksud kedatangannya.
Ketika kedua utusan itu datang menemui ‘Aisyah ra. , keduanya mengucapkan salam dan menanyakan maksud kedatangan beliau. ‘Aisyah ra.menyampaikan kepada kedua utusan itu bahwa maksud kedatangannya adalah hendak menuntut atas tertumpahnya darah Utsman. Karena beliau dibunuh secara zhalim pada bulan Haram di negeri Haram. Beliau membacakan firman Allah: ” Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisa’: 114).
Kedua utusan itupun meninggalkan ‘Aisyah ra.. lalu menemui Thalhah dan bertanya kepadanya, “Apa gerangan tujuan anda kemari?” Thalhah menjawab, “Menuntut atas tertumpahnya darah Utsman.” Keduanya berkata, “Bukankah engkau telah membai’at Ali ra.?” Thalhah menjawab, “Ya, dibawah ancaman pedang di leherku. Aku tidak akan membatalkannya [972] apabila ia tidak membiarkan kami menebus balas atas para pembunuh Utsman!” Lalu keduanya mendatangi az-Zubair, dan beliaupun mengucapkan seperti itu. Imran dan Abul Aswad kembali kepada Utsman bin Hunaif lalu menyampaikan kepadanya. Utsman bin Hunaif berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, demi Rabb pemilik Ka’bah, telah tiba masa berperang dalam Islam.[973] Coba lihat alternatif apakah yang terbaik untuk kita?” Imran berkata, “Demi Allah, hal itu akan menjebak kalian dalam peperangan yang panjang.” Kemudian Utsman bin Hunaif berkata kepada Imran bin Hushain, “Beri aku saran!”
Imran berkata, “Menghindarlah, sesungguhnya aku akan berdiam dalam rumahku atau aku akan duduk di atas untaku.[974] Utsman bin Hunaif berkata, “Aku akan menghadang mereka hingga Amirul Mukminin datang.” la pun menyerukan kepada manusia agar mengambil senjata mereka dan berkumpul di masjid. Mereka pun berkumpul lalu Utsman bin Hunaif menyuruh mereka agar bersiap-siap.
Ketika Utsman bin Hunaif berbicara di atas mimbar seorang lelaki bangkit dan berkata, “Wahai sekalian manusia, jika mereka datang dalam keadaan takut maka sungguh mereka datang dari negeri yang aman. Jika mereka datang untuk menuntut darah Utsman maka kita bukanlah pembunuhnya. Ikutilah kata-kataku, kembalikanlah mereka ke tempat asal mereka.”
Lalu bangkitlah al-Aswad bin Sarie’ as-Sa’di [104] dan berkata, “Sesungguhnya mereka datang meminta pertolongan kepada kita untuk menangkap para pembunuh Utsman yang berasal dari kita maupun dari orang di luar kita.” Orang-orang pun menyorakinya. Tahulah Utsman bin Hunaif bahwa para pembunuh Utsman memiliki pendukung di Bashrah. Hal itu mengendorkan semangatnya. Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. tiba bersama rombongan yang menyertainya. Mereka berhenti di tempat bernama al-Mirbad [975] sebelah atas dekat kota Bashrah. Maka keluarlah Penduduk Bashrah yang ingin bergabung bersama ‘Aisyah ra. Utsman bin Hunaif keluar bersama pasukan dan berkumpul di al-Mirbad. Thalhah berbicara -beliau berada di sebelah kanan pasukan mengajak orang-orang untuk menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Lalu diikuti pula oleh az-Zubair, ia mengatakan hal yang sama. Perkataan mereka berdua dibalas oleh sejumlah orang dari pasukan Utsman bin Hunaif. Bergejolaklah sekelompok orang dari kedua pasukan lalu mereka saling melempar batu. Kedua pasukanpun bersiap-siap dan kembali ke pangkalan masing-masing. Sebagian orang dari pasukan Utsman bin Hunaif keluar dan bergabung dengan pasukan ‘Aisyah ra. Maka jumlah merekapun bertambah banyak.
Jariyah bin Qudamah as-Sa’di datang dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin, demi Allah terbunuhnya Utsman lebih ringan daripada keluarnya anda dari rumah anda dengan mengendarai unta ini untuk menghadapi senjata. Jika anda datang kepada kami sebagai orang yang taat maka kembalilah ke tempat anda semula. Jika anda datang karena dipaksa maka mintalah bantuan kepada orangorang untuk kembali.
5. Pecahnya Perang Antara Pasukan ‘Aisyah ra. dengan Wakil Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه di Bashrah
Hukaim bin Jabalah[976] yang berada dalam pasukan Utsman bin Hunaif yang memicu pecahnya perang. Sementara pasukan Ummul Mukminin menahan diri dan enggan meladeninya. Lalu Hukaim menyerang mereka. Kedua pasukan saling berperang di mulut jalan. ‘Aisyah ra.. menyuruh pasukan-nya agar menghindar ke kanan hingga mereka sampai di perkuburan Bani Mazin. Malam memisahkan antara kedua pasukan. Pada hari kedua, masing-masing pasukan keluar dengan tujuan berperang. Mereka pun terlibat dalam pertempuran yang sengit sampai menjelang sore hari. Orang-orang dari pasukan Utsman bin Hunaif banyak yang tewas, dan banyak pula orang yang cedera dan luka-luka dari kedua belah pihak.
Setelah letih berperang kedua pasukan pun setuju berdamai. Hanya saja beberapa orang yang terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman ra. dan para pendukung mereka telah menyelusup ke dalam pasukan. Jumlah mereka lebih kurang tiga ratus orang. Pemimpin mereka adalah Hukaim bin Jabalah ia adalah salah seorang yang terlibat langsung dalam pembunuhan Utsman ra., mereka keluar dan berperang. Salah seorang lelaki menebas kaki Hukaim bin Jabalah hingga putus. Hukaim merangkak lalu mengambil kakinya dan memukulkannya kepada lelaki yang telah menebasnya hingga lelaki itu terbunuh. Hukaim tewas dalam pertempuran tersebut bersama tujuh puluh orang yang mem-bunuh Utsman ra. Dan para pendukung mereka. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 5 Rabi’ul Akhir tahun 36 H. Peristiwa ini disebut juga dengan perang Jamal Shugh ra. [977]
6. Ali bin Thalib رضي الله عنه keluar dari Madinah menuju Iraq
Pada saat itu Ali bin Abi Thalib ra. sedang bersiap-siap menuju Syam. Ketika sampai berita tentang maksud Thalhah dan az-Zubair, beliau bangkit dan berkhutbah di hadapan manusia mengajak mereka keluar ke Iraq. Sebagian besar penduduk Madinah keberatan menyambut ajakan beliau, adapun sebagian lainnya menyambutnya.
Asy-Sya’bi berkata, “Tidak ada yang ikut serta bersama Ali ra. dalam perkara ini kecuali enam orang sahabat peserta perang Badar, tidak ada yang ketujuh.[978] Ibnu Jarir dan ulama lainnya menyebutkan di antara tokoh sahabat yang menyambut ajakan Ali ra. adalah Abul Haitsam bin at-Taihan, Abu Qatadah al-Anshari, Ziyad bin Hanzhalah, Khuzaimah bin Tsabit. Mereka berkata, “la bukanlah Khuzaimah yang bergelar pemilik dua persaksian, karena ia wafat pada masa kekhalifahan Utsman ra. [979]
Ali bin Abi Thalib ra. berangkat dari Madinah berjalan hingga tiba di Rabadzah [980]. Sebagai wakil di Madinah Ali ra. menunjuk Tammam bin Abbas, wakil di Makkah Qutsam bin Abbas. Peristiwa ini terjadi pada akhir bulan Rabi’ul Akhir tahun 36 H. Ali ra. keluar dari Madinah dengan membawa sembilan ratus pasukan. Abdullah bin Salam berpapasan dengan Ali ra. di Rabadzah. Ia memegang tali kekang kudanya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, janganlah keluar dari Madinah! Demi Allah jika anda keluar dari Madinah anda tidak akan kembali ke sana dan pusat kekuasaan kaum muslimin tidak akan kembali ke sana selamalamanya.” Sebagian anggota pasukan mencelanya, Ali ra. berkata, “Biarkan dia! Dia adalah sebaik-baik orang dari kalangan sahabat Nabi.[981]
Al-Hasan bin Ali ra. mendatangi ayahnya dan berkata,”Aku telah melarangmu namun kamu tidak menurutinya. Kamu akan terbunuh esok secara tersiasia tanpa ada seorang pun yang membelamu!” Ali ra. berkata kepada puteranya itu, “Engkau masih saja merengek kepadaku seperti anak kecil. Apa laranganmu yang telah aku langgar?”
Al-Hasan berkata, “Bukankah aku telah menyarankan kepadamu sebelum terbunuhnya Utsman ra. agar keluar dari kota Madinah? Supaya Utsman ra. Tidak terbunuh sementara engkau berada di dalamnya sehingga orang-orang membicarakan atau mempersoalkannya? Bukankah aku telah menyarankan agar jangan membai’at orang-orang setelah terbunuhnya Utsman ra. sebelum wakil-wakil dari setiap daerah datang kepadamu untuk berbai’at? Dan aku telah menyarankan kepadamu agar tatkala wanita ini (maksudnya adalah ‘Aisyah ra. .) dan dua lelaki ini (maksudnya adalah Thalhah dan az-Zubair) keluar sebaiknya engkau duduk saja di rumah hingga mereka berdamai? Namun engkau melanggar semua saranku itu!?”
Ali ra. pun berkata kepadanya, “Adapun saranmu agar aku harus keluar dari Madinah sebelum Utsman ra. terbunuh, maka sesungguhnya kitapun dalam keadaan terkepung sebagaimana halnya beliau. Adapun bai’at yang kuterima sebelum wakil-wakil tiap daerah menyerahkan bai’atnya maka sesungguhnya urusan ini berada di tangan penduduk Madinah, aku tidak mau urusan ini tersia-siakan. Adapun aku duduk saja di rumah, sesungguhnya mereka telah pergi ke tempat tujuan mereka. Apakah engkau menghendaki aku seperti anjing hutan yang terkepung lalu diteriaki, ‘Merayaplah, merayaplah bukan di sini!’ Hingga ia melepaskan tumit kakinya lalu melarikan diri? Jika aku tidak menangani masalah yang harus kuselesaikan ini dan engkau menolongku untuk menyelesaikannya lalu siapakah lagi yang akan menanganinya? Biarkanlah diriku wahai puteraku! [982]
Setelah mendengar aksi yang dilakukan oleh mereka di Bashrah, Ali ra. menulis surat kepada penduduk Kufah dan mengutus Muhammad bin Abi Bakar dan Muhammad bin Ja’far, isinya, “Sesungguhnya aku telah memilih kalian dari penduduk negeri lainnya. Aku sangat terkejut mendengar peristiwa yang terjadi. Jadilah kalian penolong dan pembela agama Allah, bergabunglah bersama kami, sesungguhnya kami hanya menghendaki perdamaian. Agar umat ini kembali bersatu dan saling bersaudara.” Kedua utusan inipun berangkat, lalu Ali ra. mengirim urusan ke Madinah agar mengambil persenjataan dan kendaraan yang dibutuhkan.
7. Khutbah Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه
Ali ra. berdiri di tengah kerumunan manusia dan menyampaikan khutbahnya, “Sesungguhnya Allah telah memuliakan kita dengan Islam dan mengangkat derajat kita dengannya. Dan Allah telah menjadikan kita bersaudara setelah kita hina, sedikit, saling membenci dan saling menjauhi. Umat manusia mempertahankan hal itu sampai dengan waktu yang dikehendaki Allah. Islam adalah agama mereka. Kebenaran tegak di antara mereka. Kitabullah adalah imam mereka. Hingga lelaki ini (yakni Utsman bin Affan) terbunuh di tangan orang-orang yang disesatkan oleh setan untuk menghembuskan api permusuhan di tengah umat ini. Ketahuilah, umat ini pasti berselisih sebagaimana perselisihan yang menimpa umat-umat sebelumnya. Kita berlindung [983] kepada Allah dari keburukan yang akan terjadi. Dan hal itu pasti terjadi. Ketahuilah, umat ini akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Golongan yang paling buruk adalah golongan yang menisbatkan diri kepa-daku namun tidak mengikuti amal perbuatanku. Kalian telah menemukan dan melihatnya sendiri.
Komitmenlah di atas agamamu dan ikutilah petunjuk nabimu. Ikutilah sunnah beliau. Tinggalkanlah masalah-masalah sulit kalian atasi, selesaikanlah dengan Kitabullah. Ambillah perkara-perkara yang dikenal dalam al-Qur’an dan tolaklah perkara-perkara yang tidak dikenal. Ridhailah Allah sebagai Rabb kalian, Islam sebagai agama kalian, Muhammad sebagai nabi kalian dan al-Qur’an sebagai hakim dan imam kalian.”
8. Perjalanan dari Rabadzah dan Mobilisasi Penduduk Kufah
Setelah berazam untuk bergerak dari Rabadzah, bangkitlah salah seorang putera Rifa’ah bin Rafi’984dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah yang engkau inginkan? Ke manakah engkau bawa kami?” Ali ra. menjawab, “Yang kami inginkan dan kami niatkan adalah perdamaian jika mereka menerimanya dan menyambutnya.” “Jika mereka tidak menyambutnya?” Tanyanya lagi. Ali ra. menjawab, “Kita biarkan mereka dengan alasan-alasan mereka dan kita berikan hak mereka dan kita bersabar.” “Jika mereka tidak merestui itu?” Tanyanya lagi. Ali ra. menjawab, “Kita biarkan mereka selagi mereka membiarkan kita.” “Jika mereka tidak membiarkan kita pergi?” Tanyanya lagi. Ali ra. menjawab, “Kita akan mempertahankan diri dari serangan mereka.” “Bagus kalau begitu!” Katanya. Kemudiah al-Hajjaj bin Ghaziyyah al-Anshari985 bangkit dan berkata, “Aku akan melakukan apa yang anda inginkan sebagaimana engkau telah mengatakan kepadaku apa yang aku inginkan. Demi Allah, aku akan menolong agama Allah sebagaimana Dia telah menyebut kami kaum Anshar.”
Kemudian datang pula jama’ah dari suku Tha’i sewaktu Ali ra. berada di Rabadzah. Ada yang berkata kepada Ali ra., “Mereka adalah jama’ah yang datang dari Tha’i, ada yang ingin ikut serta bersamamu dan ada pula yang hanya ingin menyampaikan salam kepadamu.” Ali ra. berkata, “Semoga Allah membalas keduanya dengan kebaikan! “Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yangduduk dengan pahala yangbesar.” (An-Nisa1: 95).
Mereka berkata, Maka Ali ra. pun bergerak dari Rabadzah dengan membawa pasukan, Ali ra. mengendarai unta merah dengan menggiring kuda yang berwarna hitam kemerah-merahan. Setelah tiba di daerah Faid [986] datang menemui beliau jama’ah dari Bani Asad dan Tha’i, mereka menawarkan diri untuk membantu beliau. Ali ra. berkata, “Orang-orang yang ikut bersamaku sudah cukup.” Datang pula seorang lelaki dari penduduk Kufah bernama Amir bin Mathar asy-Syaibani. Ali ra. berkata kepadanya, “Berita apa yang engkau bawa?” Lalu ia menyampaikan peristiwa yang telah terjadi. Ali ra. bertanya kepadanya tentang Abu Musa al-Asy’ari. Ia berkata, “Jika engkau menghendaki perdamaian maka Abu Musalah orangnya, adapun jika engkau menghendaki pertempuran maka Abu Musa bukanlah orangnya.”
Ali ra. berkata, “Demi Allah, kami hanya menghendaki perdamaian dengan orang-orang yang telah bertindak sewenang-wenang terhadap kami.” Ketika pasukan sudah sampai di Dzi Qar [987] Utsman bin Hunaif, wali Bashrah, datang menemui beliau dan melaporkan kondisi di sana. Ali ra. berkata, “Engkau telah memperoleh kebaikan dan pahala.” Ali ra. bermukim di Dzi Qar menunggu jawaban surat yang dikirimnya melalui Muhammad bin Abi Bakar dan Muhammad bin Ja’far. Kedua utusan ini membawa surat Ali ra. menemui Abu Musa al-Asy’ari. Atas perintah Abu Musa keduanya menyampaikan maksud kedatangan mereka di hadapan manusia namun tidak ada yang menyambutnya. Keesokan harinya, seseorang yang bijak datang menemui Abu Musa dan membujuk beliau agar bergabung bersama Ali ra. Dalam pasukan. Abu Musa menjawab, “Seharusnya pendapat ini diajukan kemarin, yang tersisa sekarang hanya dua perkara, berdiam diri yang merupakan jalan akhirat atau keluar yang merupakan jalan dunia.”
Akhirnya mereka memilih jalan akhirat dan tidak ada satu pun yang mengikuti ajakan. Maka marahlah Muhammad bin Abi Bakar dan Muhammad bin Ja’far. Keduanya pulang menemui Ali ra. di Dzi Qar dan menceritakan apa yang telah terjadi. Ali ra. berkata kepada al-Asytar, “Engkau adalah utusan kami kepada Abu Musa, pergilah bersama Abdullah bin Abbas untuk menemui-nya.” Maka keduanya pun berangkat, lalu tiba di Kufah dan mengutarakan maksud mereka kepada Abu Musa. Keduanya meminta bantuan dari beberapa orang penduduk Kufah untuk membujuk Abu Musa.
Abu Musa al-Asy’ari bangkit dan berkata, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya sahabat Muhammad yang telah menyertai beliau lebih tahu tentang Allah dan RasulNya daripada orang yang belum menyertai beliau. Sesungguhnya kalian memiliki hak yang wajib kami penuhi dan aku akan memenuhinya dengan menyampaikan nasihat kepada kalian. Pendapatku, janganlah kalian memandang rendah Sultan dan jangan melangkahi perin-tahnya. Dalam menyikapi fitnah ini, orang-orang yang tidur lebih baik daripada yang terjaga, orang-orang yang terjaga lebih baik daripada yang duduk, orang-orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri, orang-orang yang berdiri lebih baik daripada yang berkendaraan, orangorang yang berken-daraan lebih baik daripada yang berlari. Sarungkanlah pedang, copotkanlah mata panah, potonglah tali busur dan lindungilah orang-orang yang ditindas dan dizhalimi sehingga masalah ini selesai dan fitnah ini tersingkap.”
Maka Abdullah bin Abbas dan al-Asytar kembali kepada Ali dan menceritakan apa yang telah terjadi. Lalu Ali ra. mengutus al-Hasan dan Ammar bin Yasir. Keduanya berangkat ke Kufah lalu masuk ke Masjid. Abu Musa keluar dan menemui al-Hasan bin Ali ra. lalu memeluknya. Al-Hasan bin Ali ra. Berkata kepada Abu Musa, “Mengapa engkau menahan orang-orang untuk mengikuti kami? Demi Allah, kami hanya menginginkan perdamaian. Tentu tidak yang perlu dikhawatirkan dari orang seperti Amirul Mukminin!?”
Abu Musa berkata, “Engkau benar, ayah dan ibuku menjadi tebusannya! Akan tetapi orang yang dimintai nasihat haruslah amanah, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya akan terjadi fitnah, orang yang duduk (dalam fitnah tersebut) lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri lebih baik daripada orang yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik daripada orang yang berkendaraan.[988] Sesungguhnya Allah telah menjadikan kita bersaudara dan telah mengharamkan darah dan harta kita. Sesungguhnya apabila fitnah datang maka akan samar kedudukannya, apabila pergi barulah menjadi jelas dan terang.” Al-Qa’qa’ bin Amir bangkit dan berkata, “Sesungguhnya yang benar adalah apa yang dikatakan oleh amir. [989] Akan tetapi manusia harus memiliki pemimpin yang dapat menegur orang yang zhalim dan melindungi orang-orang yang dizhalimi. Dengan begitu urusan manusia akan beres. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. sedang menghadapi masalah.
Dengan penuh kearifan beliau mengajak kita. Dan beliau hanyalah menginginkan perdamaian, maka marilah kita bergabung dengan beliau.” Kemudian orang-orang pun saling angkat bicara lantas bangkitlah Ammar bin Yasir dan al-Hasan bin Ali ra. naik ke atas mimbar mengajak manusia untuk bergabung bersama Amirul Mukminin. Amirul Mukminin hanya menghendaki perdamaian di antara kaum muslimin. Lalu Amar mendengar seorang lelaki mencaci ‘Aisyah ra..’. Amar berkata, “Diamlah kamu, demi Allah ia adalah istri Rasulullah ﷺ di dunia dan di akhirat. Akan tetapi Allah menguji kalian dengannya, untuk mengetahui apakah kalian taat kepada Allah atau taat kepadanya.” Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. [990]
Hujr bin Adi bangkit dan berkata, “Wahai sekalian manusia, berga-bunglah bersama Amirul Mukminin! ” Berangkatlah kamu baik dalam keadaan ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwa pada jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah: 41).
Orang-orangpun menyambut seruannya, hasilnya berangkatlah sem-bilan ribu personil bersama al-Hasan di darat maupun di sungai Tigris. Ada yang mengatakan jumlah personil yang berangkat bersama al-Hasan men-capai dua belas ribu orang. Mereka berangkat menemui Amirul Mukminin yang menyambut kedatangan mereka di Dzi Qar bersama sejumlah orang di antaranya adalah Abdullah bin Abbas, Amirul Mukminin menyambut hangat kedatangan mereka dan berkata, “Wahai penduduk Kufah, kalian telah ber-hadapan dengan raja-raja Ajam dan berhasil menceraiberaikan pasukan mereka. Aku mengajak kalian untuk ikut bersama kami menghadapi saudara-saudara kita dari Bashrah. Jika mereka kembali maka itulah yang kita harap-kan. Jika mereka menolak maka akan kita hadapi dengan lemah lembut kecuali bila mereka memulainya secara zhalim.
Tidak akan kita lewatkan satu perkarapun yang membawa perdamaian melainkan akan lebih kita prioritaskan daripada perkara yang membawa kerusakan insya Allah.” Maka merekapun berkumpul di Dzi Qar, di antara deretan tokoh yang bergabung bersama Ali adalah al-Qa’qa1 bin Amru, Sa’ar [991] bin Malik, Hindun bin Amru, al-Haitsam bin Syihab, Zaid bin Shuhan, al-Asytar, Adi bin Hatim, al-Musayyib bin Najabah, Yazid bin Qais, Hujr bin Adi dan Iain-lain, sementara seluruh personil dari kabilah Abdul Qais menunggu Ali di antara Dzi Qar dan Bashrah.
9. Komunikasi Antara Ali dengan Thalhah dan az-Zubair dan Kesepakatan Mereka Untuk Berdamai
Ali ra. mengirim al-Qa’qa’ sebagai utusan untuk menemui Thalhah dan az-Zubair di Bashrah mengajak mereka berdua untuk berdamai dan bersatu dan memperingatkan bahaya berpecah belah dan berselisih. Al-Qa’qa’ be-rangkat ke Bashrah dan pertama-tama ia menemui ‘Aisyah ra. Ummul Mukminin ra. La berkata, “Wahai Ummul Mukminin, apa gerangang tujuan anda datang ke negeri ini?” “Hai bunayya, untuk mengadakan perdamaian di antara manusia!” jawab ‘Aisyah ra. Lalu al-Qa’qa’ meminta kepadanya agar mengirim seseorang kepada Thalhah dan az-Zubair agar bisa hadir bersamanya di situ. Singkat cerita keduanyapun hadir.
Al-Qa’qa’ berkata, “Aku bertanya kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah ra apa gerangan tujuannya datang ke negeri ini?” Ia menjawab, “Sesung-guhnya aku datang untuk mengadakan perdamaian di antara manusia.” Thalhah dan az-Zubair berkata, “Kami juga demikian.” Al-Qa’qa’ berkata, “Ceritakan kepadaku bagaimana bentuk perdamaian tersebut dan atas dasar apa? Demi Allah jika kami pandang baik tentu kita akan berdamai. Jika kami pandang mungkar kita tidak akan bisa berdamai.”
Thalhah dan az-Zubair berkata, “Para pembunuh Utsman ra, jika mereka dibiarkan berarti kita meninggalkan al-Qur’an.” Al-Qa’qa’ berkata, “Kalian telah menghabisi para pembunuh Utsman ra. Dari kalangan penduduk Bashrah. Sebelum menghabisi mereka kalian berdua lebih dekat kepada keistiqamahan daripada hari ini. Kalian telah menghabisi enam ratus orang dari mereka. Lalu membangkitkan kemarahan enam ribu orang yang menuntut balas terhadap kalian dan memisahkan diri dari kalian. Mereka keluar dari pihak kalian. Kalian menuntut Hurqush bin Zuhair, akan tetapi enam ribu orang melindunginya. Jika kalian membiarkan mereka maka kalian telah memperoleh seperti apa yang kalian harapkan. Namun jika kalian memerangi mereka maka mereka akan menimpakan atas kalian apa yang kalian khawatirkan. Dan kalian memecah belah urusan ini lebih parah daripada perdamaian yang ingin kalian usahakan dan kalian berkumpul karenanya.”
Yakni tujuan yang kalian inginkan yaitu membunuh para pembunuh Utsman ra. adalah sebuah maslahat. Akan tetapi akan menimbulkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar. Sebagaimana halnya kalian tidak mampu menuntut balas atas darah Utsman ra. dari Hurqush bin Zuhair karena enam ribu orang membelanya dan menghalangi orang yang hendak membunuhnya, tentu alasan Ali ra. membiarkan para pembunuh Utsman ra. untuk sementara lebih berhak diterima. Karena beliau menunda penuntutan balas atas darah Utsman ra. sampai beliau dapat menguasai mereka. Karena tiap-tiap daerah masih berselisih dalam menentukan sikap.
Kemudian al-Qa’qa’ mengabarkan kepada mereka bahwa sejumlah pasukan dari Rabi’ah dan Mudhar telah bersatu untuk memerangi mereka disebabkan persoalan yang telah terjadi ini. Ummul Mukminin ‘Aisyah ra.. berkata kepadanya, “Lalu bagaimana menurut pendapatmu?” Al-Qa’qa’ menjawab, “Menurutku solusi masalah ini adalah meredakan ketegangan! Jika keadaan sudah tenang barulah para pembunuh Utsman ra. Dapat diringkus. Jika kalian sepakat maka itu adalah alamat kebaikan, rahmat dan kemenangan. Jika kalian tidak sepakat dan tetap bersikeras maka itu adalah alamat keburukan dan lenyapnya kekuasaan ini. Utamakanlah keafiatan dan kesalamatan niscaya kalian akan memperolehnya. Jadilah kunci kebaikan sebagaimana halnya kalian dahulu. Janganlah bawa kami kepada bala sehingga kalian harus menghadapinya dan Allah membinasakan kita semua. Demi Allah aku mengutarakan maksud ini dan mengajak kalian kepadanya. Aku khawatir masalah ini tidak akan selesai hingga Allah menimpakan kemarahannya terhadap umat ini yang minim perbekalannya lalu terjadilah apa yang terjadi. Sesungguhnya masalah yang terjadi ini sangatlah besar. Bukan sekedar seorang lelaki membunuh seorang lelaki lainnya atau sekelompok orang membunuh seorang lelaki atau satu kabilah membunuh seorang lelaki!”
Mereka berkata, “Engkau benar, kembalilah! Jika Ali datang dengan membawa pemikiran seperti yang engkau utarakan niscaya urusan ini akan selesai.” Maka al-Qa’qa’ pun kembali kepada Ali dan mengabarkan apa yang terjadi. Ali ra. takjub mendengarnya. Orang-orang pun berharap perdamaian dapat diwujudkan. Sekelompok orang ada yang tidak suka dan sekelompok lainnya ada yang suka. ‘Aisyah ra. . mengirim berita kepada Ali ra. untuk menyampaikan bahwa sesungguhnya ia datang untuk berdamai. Maka kedua belah pihakpun bergembira menyambutnya. Lalu Ali ra. bangkit dan berkhutbah menyebutkan perkara jahiliyah, kerugian dan perangai-perangai jahiliyah. Lalu menyebutkan Islam, kebahagiaan para pemeluknya dengan persatuan dan jama’ah. Menyebutkan bahwa Allah telah mengumpulkan mereka sepeninggal Rasulullah saw. di bawah kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq . Kemudian setelah itu Umar bin al-Khaththab kemudian Utsman ra. .
Kemudian terjadilah malapetaka yang menimpa umat ini. Sebagian orang mengejar keuntungan dunia dan hasad terhadap orang-orang yang Allah beri nikmat atasnya dan atas keutamaan yang Allah karuniakan kepadanya. Lalu mereka ingin menolak Islam dan beberapa perkara lain di belakangnya. Akan tetapi Allah akan melak-sanakan ketetapanNya. Kemudian Ali ra. berkata, “Ketahuilah, esok hari aku akan berangkat maka berangkatlah bersamaku. Dan jangan ikut bersamaku orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman ra.!”
10. Para Pembunuh Utsman ra. Khawatir Perdamaian akan terlaksana dan Usaha Mereka untuk Merusaknya Ketika para sahabat sepakat berdamai dan orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman ra. mendengar khutbah Ali ra, mereka khawatir atas keselamatan diri mereka. Maka berkumpullah sejumlah tokohnya, diantaranya al-Asytar an-Nakhai, Syuraih bin Aufa, Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sauda’, Salim bin Tsa’labah, Alba’ bin al-Haitsam dan lain-lain bersama dua ribu lima ratus pendukung mereka. Tidak ada seorang-pun dari mereka yang berasal dari sahabat nabi. Mereka berkata, “Bagaimana pendapat kalian? Demi Allah Ali ra. lebih tahu tentang Kitabullah dan ia termasuk orang yang menuntut para pembunuh Utsman ra.. Dan ia lebih kuasa untuk meringkus kita. Dan ia telah mengatakan seperti yang kalian dengar sendiri. Besok ia akan mengumpulkan manusia untuk meringkus kalian. Sesungguhnya yang mereka cari adalah kalian semua! Lalu apa yang kalian lakukan sedangkan jumlah kalian sedikit dibanding jumlah mereka yang sangat banyak!?”
Al-Asytar berkata, “Kita sudah tahu bagaimana sikap Thalhah dan az-Zubair terhadap kita, adapun sikap Ali ra. baru kita ketahui hari ini. Apabila mereka berdamai maka artinya mereka sepakat untuk menghabisi kita. Jika demikian adanya maka kita habisi Ali ra. seperti halnya Utsman ra., niscaya fitnah akan kembali bergejolak dan mereka akan membiarkan kita.”
Ibnu Sauda’ berkata, “Sungguh buruk pendapatmu itu! Seandainya kita menghabisi Ali ra. pasti habislah kita! Kita semua wahai para pembunuh Utsman ra. berjumlah dua ribu lima ratus orang. Sedang Thalhah dan az-Zubair bersama para pendukungnya berjumlah lima ribu orang. Kalian tidak akan mampu menundukkan mereka dan mereka sesungguhnya menginginkan kalian!”
Alba’ bin al-Haitsam berkata, “Biarkanlah mereka, marilah kita kembali dan berlindung di beberapa negeri dan mempertahankan diri dari orang yang menyerang kita.” Ibnu Sauda’ berkata, “Sungguh buruk perkataanmu itu! Demi Allah kalau begitu kita akan diburu-buru orang banyak.” Kemudian Ibnu Sauda’ semoga Allah memburukkannya berkata, “Wahai kaum, tidak ada kemenangan bagi kalian kecuali berbaur dengan orang-orang. Jika mereka bertemu maka nyalakanlah api peperangan di antara mereka. Jangan biarkan mereka berdamai! Orang-orang yang bersama kamu tidak punya pilihan lain kecuali mempertahankan diri. Sementara Thalhah, az-Zubair dan orang-orang yang bersamanya sibuk menuntut apa yang mereka kehendaki! Mereka akan menemukan apa yang tidak mereka sukai!”
Merekapun sepakat dengan ide tersebut lalu membubarkan diri semen-tara orang-orang tidak mengetahui ide busuk ini. Keesokan paginya Ali ra. berangkat menuju Bashrah dan bertemu dengan pasukan Bani Abdil Qais lalu bergabung bersama beliau hingga sampai di az-Zawiyah. Dari tempat itu mereka bergerak menuju Bashrah. Di lain pihak, Thalhah dan az-Zubair beserta para pendukungnya bergerak untuk menyambut Ali ra.. Lalu mereka berkumpul di istana Ubaidullah bin Ziyad. [992] Kedua belah pihak mengambil posisi masing-masing. Pasukan Ali ra. lebih dahulu mengambil tempat, mereka berangsur-angsur tiba. Mereka bermukim di tempat itu tiga hari. Kedua belah pihak berganti-gantian mengirim utusan. Peristiwa ini terjadi pada pertengahan bulan Jumadil Akhir tahun 36 H.
Sebagian orang mengusulkan kepada Thalhah dan az-Zubair agar memanfaatkan kesempatan tersebut untuk meringkus para pembunuh Utsman ra. Mereka berdua berkata, “Sesungguhnya Ali ra. telah mengisyaratkan agar menenangkan persoalan ini. Kami telah mengirim utusan kepadanya untuk meng-adakan perdamaian.”
Ali ra. berkhutbah di hadapan manusia, lalu al-A’war bin Bunan al-Min-qari bangkit dan bertanya tentang keinginannya terhadap penduduk Bashrah. Ali ra. berkata, “Berdamai, memadamkan api fitnah, menyatukan manusia di atas kebaikan dan merapikan kembali barisan umat ini.” la berkata, “Jika mereka tidak menerima ajakan tersebut?”
Ali ra. menjawab, “Kita biarkan mereka selagi mereka membiarkan kita.” “Jika mereka tidak membiarkan kita?” tanyanya lagi. “Kita mempertahankan diri dari serangan mereka” jawab Ali ra.. “Apakah mereka punya hak dalam urusan ini sebagaimana hak yang kita miliki?” Tanyanya lagi. “Ya!” Jawab Ali ra. singkat. Lalu bangkitlah Abu Salamah ad-Dalani dan berkata, “Apakah tuntutan mereka terhadap darah Utsman ra. punya alasan jika mereka menghendaki keridhaan Allah dalam perkara ini?””Ya ada!” jawab Ali ra.. “Apakah anda punya alasan menunda tuntutan tersebut?” tanyanya lagi. “Ya ada!” jawab Ali ra. pula.
Abu Salamah lantas berkata, “Lalu bagaimana keadaan kita dan keadaan mereka bila kita bertempur besok?” Ali ra. menjawab, “Aku berharap tidak satu pun korban yang jatuh dari pihak kita ataupun dari pihak mereka yang hatinya bersih karena Allah melainkan Allah memasukkannya ke dalam Surga.” Ali ra. berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, tahanlah tangan dan lisan kalian terhadap mereka! Jangan sekali-kali kalian bertindak mendahului kami! Sesungguhnya orang yang tergugat besok [993] adalah yang tergugat pada hari ini.”
Lalu al-Ahnaf bin Qais datang bersama rombongannya dan bergabung bersama Ali ra. Sebelumnya ia telah berbai’at kepada Ali ra. di Madinah. Ceritanya, ketika ia tiba di Madinah saat itu Utsman ra. dalam keadaan terkepung. Ia bertanya kepada ‘Aisyah ra. ., Thalhah dan az-Zubair, “Jika Utsman ra. terbunuh, siapakah yang akan kubaiat?” Mereka berkata, “Berbai’atlah kepada Ali ra.!” Al-Ahnaf berkata, “Kemudian aku kembali kepada kaumku lalu sampailah berita yang lebih mengerikan dari yang kukira. Sampai-sampai orang berkata, ‘Aisyah ra.. datang untuk menuntut darah Utsman ra.!’
Akupun bingung, siapakah yang harus kuikuti? Lalu Allah menunjukiku melalui hadits yang aku dengar dari Abu Bakrah [994], ia berkata, ‘Ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa bangsa Persia mengangkat puteri Kisra sebagai raja mereka beliau bersabda, ‘Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita’.” Hadits ini asalnya terdapat dalam kitab Shahih al-Bukliari. [995]
Maksudnya, saat al-Ahnaf bergabung bersama Ali ra. bersama enam ribu pasukan artileri ia berkata kepada Ali ra., “Jika engkau mau aku akan berperang bersamamu, dan jika engkau mau aku akan melindungimu dari sepuluh ribu pedang!” Ali ra. berkata, “Lindungilah kami dari sepuluh ribu pedang!”
Kemudian Ali ra. mengirim utusan kepada Thalhah dan az-Zubair untuk menyampaikan, “Jika kalian sepakat menerima apa yang telah disampaikan oleh al-Qa’qa’ bin Amm, maka tahanlah hingga kami datang untuk mempelajari masalah ini.”
Kemudian Thalhah dan az-Zubair mengirim jawaban tertulis, “Kami sepakat atas perdamaian yang disampaikan oleh al-Qa’qa’.” Orang-orang pun merasa tenang jiwanya dan lega. Tiap-tiap orang bergabung bersama pasukannya. Keesokan sore Ali ra. mengutus Abdullah bin Abbas kepada mereka. Lalu mereka mengirim Muhammad bin Thalhah as-Sajjad.
Malam itu kedua pihak bermalam dalam keadaan baik-baik. Akan tetapi para pembunuh Utsman ra. melalui malam itu dengan seburuk-buruk keadaan. Mereka berunding dan sepakat untuk mengobarkan peperangan pada pagi buta esok hari. Mereka bangun sebelum terbit fajar, jumlah mereka sekitar dua ribu orang. Masing-masing kelompok bergabung bersama pasukannya lalu menyerang mereka dengan pedang. Setiap golongan bergegas menuju kaumnya untuk melindungi mereka. Orang-orang bangun dari tidurnya dan langsung mengambil senjata. Mereka berkata, “Penduduk Kufah menyerbu kami pada malam hari, mereka mengkhianati kita!”
Mereka mengira bahwa para penyerang itu berasal dari pasukan Ali ra.. Sampailah keributan itu kepada Ali ra., beliau berkata, “Ada apa gerangan dengan mereka?” Mereka menjawab, “Penduduk Bashrah menyerbu kami!” Maka kedua belah pihak mengambil senjata masing-masing, mengenakan baju perang dan mengendarai kuda-kuda. Tidak ada seorang pun yang menyadari apa sebenarnya yang telah terjadi996, itulah ketetapan Allah yang berlaku!
11. Pecahnya Pertempuran
Peperangan pun tidak dapat dielakkan, pasukan kuda saling berhadapan, para pejuang saling menyerang, api pertempuran semakin memuncak. Kedua pasukan saling berhadapan, pasukan Ali ra. berjumlah dua puluh ribu personil dan di sekeliling ‘Aisyah ra. dan orang-orang yang bersamanya berkumpul tiga puluh ribu orang. Sementara Saba’iyah pengikut Ibnu Sauda’ semoga Allah memburukkannya tidak henti-hentinya mengobarkan api peperangan. Penyeru yang ditugaskan Ali ra. terus berseru, “Hentikan! Hentikan!” Namun sayang tidak ada seorang pun yang mendengarkannya. Datanglah Ka’ab bin Suur Qadhi Bashrah dan berkata, “Wahai Ummul Mukminin, temuilah orang-orang, barangkali Allah mendamaikan mereka melalui dirimu!”
Maka ‘Aisyah ra. duduk di atas sedekupnya di atas unta dan mereka melindungi sedekup tersebut dengan pelindung. ‘Aisyah ra. pun maju dan berhenti di tempat yang mana ia dapat leluasa melihat pasukan yang tengah bertempur. Mereka saling terlibat baku hantam dan saling menyerang. Syiar mereka pada hari itu adalah tidak boleh menghabisi orang yang terluka dan tidak boleh mengejar orang yang lari. [997] Walaupun demikian banyak sekali korban yang jatuh. Hingga Ali ra. Berkata kepada puteranya, al-Hasan “Wahai puteraku, alangkah baik sekiranya ayahmu mati dua puluh tahun sebelum hari ini!” [998]
Al-Hasan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, bukankah aku telah melarangmu dari hal ini?” Sa’id bin Abi Arubah meriwayatkan dari Qatadah dari al-Hasan dari Qais bin ‘Ubad ia berkata, “Ali ra. berkata pada peperangan Jamal, ‘Wahai Hasan, alangkah baik sekiranya ayahmu mati dua puluh tahun sebelum hari ini’.” Al-Hasan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku, bukankah aku telah melarangmu dari hal ini?” Ali ra. berkata, “Wahai anakku, aku tidak menyangka persoalannya sampai seperti ini!”
Mubarak bin Fudhalah meriwayatkan dari al-Hasan dari Abu Bakrah, ia bercerita, “Ketika perang Jamal semakin memuncak dan Ali ra. melihat kepala-kepala berjatuhan, Ali ra. memeluk puteranya, al-Hasan, ke dadanya kemudian berkata, “Inna lillah, wahai Hasan! Kebaikan apa yang diharapkan setelah hari ini?!”
Al-Hafizh Abu Ya’la al-Mushili berkata, “Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim ad- Dauraqi, ia berkata, Abu Ashim menceritakan kepada kami dari Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik bin Muslim Ar-Raqasyi dari kakeknya, Abdul Malik, dari Abi Jarwi al-Mazini, ia berkata, Aku menyaksikan Ali ra. dan az-Zubair ketika keduanya bersepakat -yakni pada peperangan Jamal- Ali ra. Berkata kepada az-Zubair, ‘Demi Allah aku bertanya kepadamu, bukankah engkau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Engkau akan memerangiku (yakni Ali) sedang engkau berada di pihak yang zhalim ?‘ Az-Zubair berkata, ‘Benar! Aku baru ingat pada saat ini!’ Kemudian ia berpaling. Al-Baihaqi [999] meriwayatkan dari al-Hakim dari jalur Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik bin Muslim ar-Raqqasyi dari kakeknya dari Abu Jarwi al-Mazini dari Ali ra. dan az-Zubair.1 Lalu az-Zubair kembali dengan mengendarai tunggangannya sambil membelah barisan pasukan.
Puteranya, yakni Abdullah bin az-Zubair menahannya dan bertanya, “Ada apa gerangan denganmu?” Az-Zubair berkata, “Ali ra. mengingatkan aku satu hadits yang aku dengar dari Rasulullah ﷺ. Aku mendengar beliau bersabda: ” Engkau akan memeranginya (yakni Ali) sedang engkau zhalim terhadapnya.” Abdullah bin az-Zubair berkata, “Apakah engkau datang untuk berperang? Bukankah engkau datang untuk mendamaikan di antara manusia dan agar Allah memperbaiki keadaan mereka melalui dirimu?!”
Az-Zubair berkata, “Aku telah bersumpah untuk tidak memeranginya!” Abdullah bin az-Zubair berkata, “Merdekakan saja budakmu bernama Sarjas dan majulah untuk mendamaikan mereka!” Maka az-Zubair pun membebaskan budaknya bernama Sarjas dan maju ke depan. Ketika orang-orang saling berselisih dalam persoalan ini beliau pergi menunggang kudanya. Ada yang mengatakan bahwa beliau pergi meninggalkan medan perang karena melihat Ammar bin Yasir bersama Ali ra., dan beliau telah mendengar Rasulullah saw. erkata kepada Ammar: “Engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.[1000]
Beliau khawatir Ammar terbunuh pada peperangan itu. Ibnu Katsir berkata, “Menurutku, hadits yang kami bawakan tersebut kalau shahih dari az-Zubair maka tidak ada yang membuatnya mening-galkan medan pertempuran selain hal tersebut. [1001] Sangat mustahil beliau membatalkan sumpahnya dengan kafarat kemudian kembali ke medan perang melawan Ali ra., wallahu a’lam.
12. Terbunuhnya az-Zubair Dan Thalhah
Ketika az-Zubair meninggalkan medan pertempuran pada peperangan Jamal dan singgah di salah satu oase bernama As-Siba’, ia diikuti oleh seo-rang lelaki bernama Amru bin Jarmuz. Ia menyergap az-Zubair tatkala sedang tidur lalu membunuhnya. Adapun Thalhah, pada saat pertempuran berlangsung ia terkena panah tak bertuan yang tidak diketahui dari mana asalnya mengenai kakinya hingga tembus sampai mengenai kudanya. Kuda itu lari tiada terkendali, Thalhah berteriak, “Hai hamba Allah tolonglah aku, hai hamba Allah tolonglah aku!” Salah seorang budaknya mengejar kuda tersebut dan menangkapnya. Thalhah berkata kepadanya, “Cepat bawa aku ke rumah!” Sementara khuffnya. (sejenis sepatu dari kulit) penuh darah. la berkata kepada budaknya, “Naiklah di belakangku!” Hal itu karena darah terus mengalir dan kondisinya sudah lemah! Budak itu membonceng di bela-kangnya lalu membawanya ke sebuah rumah di Bashrah lalu beliau wafat di sana. [1002] Ada yang mengatakan bahwa beliau gugur di medan perang. Ali ra. menghampiri jenazah beliau dan sangat terpukul menyaksikannya. [1003]
13. Situasi Perang Jamal
‘Aisyah ra. maju ke depan di atas sedekupnya. la memberi Mushaf kepada Ka’ab bin Sur Qadhi Bashrah dan berkata,” Ajaklah mereka kepada Kitabullah!” Ka’ab bin Sur pun maju ke depan dengan membawa Mushaf dan mengajak mereka kepadanya. la disambut oleh bagian depan pasukan Kufah. Pada saat yang bersamaan Abdullah bin Saba’ dan para pengikutnya berada di depan pasukan membunuh siapa saja dari pasukan Bashrah yang dapat mereka bunuh. Mereka tidak membiarkan seorang pun. Ketika mereka melihat Ka’ab bin Sur mengangkat mushaf mereka menghujaninya dengan anak panah hingga tewas. [1004]
Kemudian anak panah mulai menghujani sekedup Aisyah ra.. Ummul Mukminin , Aisyah ra.. berteriak, “Allah! Allah! Ya bunayya, ingatlah Hari Hisab!” la mengangkat tangannya dan melaknat para pembu-nuh Utsman ra.. Orang-orang pun bergemuruh bersamanya dalam doa, hingga gemuruh tersebut sampai telinga Ali ra. ia berkata, “Suara apa itu?” Mereka berkata, “Ummul Mukminin melaknat para pembunuh Utsman ra. dan pendukungnya!” Ali ra. berkata, “Ya Allah laknatlah para pembunuh Utsman ra.!”[1005] Mereka terus menghujani sekedup Aisyah ra.. dengan anak panah sehingga bentuk sekedup itu tak ubahnya seperti seekor landak (yakni anak panah yang menancap padanya seperti duri-duri pada tubuh landak, pent.). Aisyah ra. terus memotivasi pasukan untuk mempertahankan diri dan menghentikan serangan mereka. Mereka terus mendesak hingga medan pertempuran sampai ke tempat Ali bin Abi Thalib ra. berada. Ali ra. berkata kepada puteranya, Muhammad bin al-Hanafiyah, “Cepat maju dengan membawa panji ini!” Namun Muhammad bin al-Hanafiyah tidak sanggup. Maka Ali ra. mengambil panji itu dengan tangannya lalu maju ke depan. Peperangan semakin seru, kadang kala pasukan Bashrah di atas angin dan kadang kala pula pasukan Kufah berada di atas angin. Banyak sekali pasukan yang gugur. Belum pernah ditemukan pertempuran yang banyak menimbulkan korban yang putus tangan dan kakinya selain dalam peperangan ini. ‘Aisyah ra.. terus mendorong pasukannya untuk mengejar para pembunuh Utsman ra. Prajurit-prajurit yang bertempur mendekati unta (yakni unta yang membawa ‘Aisyah ra..), mereka berkata, “Peperangan ini akan terus berlanjut selagi unta ini masih tegak di sini!” Tali kekang unta pada saat itu ada di tangan Umairah bin Yatsribi, ia termasuk salah seorang jagoan yang kesohor. la tetap mempertahankan tali kekang unta itu hingga tewas terbunuh.
Prajurit yang pemberani dan gagah berani mengkhawatirkan keselamatan ‘Aisyah ra. Saat itu panji dan tali kekang unta hanya dipegang oleh jagoan-jagoan gagah berani yang terkenal keberaniannya. Ia membunuh siapa saja yang mendekat ke unta lalu akhirnya terbunuh. Pada saat itu sebagian dari mereka mencederai salah satu mata Adi bin Hatim. Abdullah bin az-Zubair menderita luka sebanyak tiga puluh tujuh liang pada peperangan Jamal ini[1006]. Marwan bin al-Hakam juga terluka. Kemudian seorang lelaki menebas kaki unta lalu membunuhnya, akhirnya unta itu roboh di atas tanah. Ada yang mengatakan bahwa yang mengisyaratkan agar membunuh unta itu adalah Ali bin Abi Thalib ra.. Ada yang mengatakan al-Qa’qa’ bin Amru. Tujuannya agar Ummul Mukminin tidak terkena lemparan panah, karena saat itu ia menjadi sasaran tembak oleh para pemanah. Dan agar ia dapat keluar dari medan pertempuran yang telah menelan korban sangat banyak.
Ketika unta tersebut roboh ke tanah, orang-orang yang berada di dekat-nya mundur. Lalu sekedup Aisyah ra.. dibawa, bentuknya sudah seperti duri-duri landak karena saking banyak anak panah yang menancap padanya. Salah seorang penyeru ditugaskan Ali ra. untuk mengumumkan, “Jangan kejar orang yang melarikan diri, jangan dibantai orang yang terluka dan jangan masuk ke dalam rumah-rumah.” [1007]
Kemudian Ali ra. memerintahkan beberapa orang agar membawa sekedup tersebut keluar dari tumpukan korban-korban yang bergelimpangan. Ali ra. Memerintahkan Muhammad bin Abi Bakar dan Ammar supaya mendirikan kemah untuk ‘Aisyah ra Lalu saudara lelakinya, yakni Muhammad bin Abi Bakar datang menemuinya dan bertanya kepadanya,” Adakah engkau menderita luka?” ‘Aisyah ra menjawab, “Tidak! Ada apa gerangan dengan dirimu hai Ibnul Khats’amiyyah?”
Kemudian Amar mengucapkan salam kepada ‘Aisyah ra, Ammar bertanya, “Bagaimana keadaanmu hai ibunda?” ‘Aisyah ra berkata, “Aku bukan ibumu!” Ammar menjawab, “Engkau tetap sebagai ibundaku meskipun engkau tidak suka!” [1008]
Lalu Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib ra. datang menemui ‘Aisyah ra ‘ seraya mengucapkan salam kepadanya, Ali ra. berkata, “Bagaimana kabarmu wahai Ummi?”
“Baik!” jawab ‘Aisyah ra. Ali ra. berkata, “Semoga Allah mengampunimu.” “Dan mengampunimu juga” jawab ‘Aisyah ra.
Kemudian para amir dan tokoh datang menghampiri Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. dan mengucapkan salam kepadanya. Pada malam hari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. memasuki kota Bashrah didampingi saudara lelakinya, Muhammad bin Abi Bakar . Mereka singgah di rumah Abdullah bin Khalaf al-Khuza’i, rumah yang paling besar di Bashrah.
14. Akhir Pertempuran
Ali bin Abi Thalib ra. bermalam di Bashrah selama tiga hari. Beliau menshalatkan korban yang gugur dari kedua belah pihak. Kemudian beliau mengumpulkan barang-barang yang dirampas dari pasukan ‘Aisyah ra di markas dan memerintahkan agar dibawa ke Masjid Bashrah. Bagi yang mengenali barangnya ia boleh mengambilnya kembali. Kecuali senjata berlambang khalifah yang terdapat di gudang. Total korban yang gugur pada peperangan Jamal dari kedua belah pihak berjumlah sepuluh ribu jiwa.[1009] Lima ribu dari pasukan Ali dan lima ribu dari pasukan ‘Aisyah ra .Semoga Allah merahmati mereka dan meridhai para sahabat yang gugur. Beberapa rekan Ali ra. meminta agar membagi-bagikan harta rampasan yang mereka peroleh dari pasukan Thalhah dan az-Zubair. Namun Ali ra. menolaknya. Sebagian pengikut as-Sakziyyah mencela beliau, mereka berkata, “Bagaimana mungkin engkau halalkan kepada kami darah mereka namun tidak engkau halalkan bagi kami harta-harta mereka?” Sampailah perkataan mereka itu kepada Ali ra., beliau berkata, “Siapakah di antara kalian yang bersedia Ummul Mukminin masuk ke dalam bagiannya?”[1010] Maka diamlah mereka mendengar ucapan beliau tersebut.
Ketika Ali ra. memasuki kota Bashrah, beliau membagi-bagikan harta dari Baitul Mai kepada pasukannya. Setiap orang mendapat lima ratus dirham.[1011] la berkata, “Kalian juga berhak memperoleh bagian sebesar itu dari hadiah-hadiah yang datang dari negeri Syam.” Para pengikut as-Saba’iyyah memprotes kebijakan Ali ra. ini, mereka mengecam beliau dari belakang.
15. Sikap Ali رضي الله عنه Terhadap Penduduk Bashrah
Ali ra. memasuki kota Bashrah pada hari senin empat belas Jumadil Akhir tahun 36 Hijriyah. Penduduk Bashrah membai’at beliau di bawah panji-panji mereka. Sampai-sampai orang-orang yang terluka dan orang-orang yang meminta perlindungan juga membai’at beliau. Abdurrahman bin Abi Bakrah datang menemui beliau dan berbai’at kepada beliau. Beliau berkata kepadanya, “Di manakah orang yang sakit?” -yakni ayahnya-. Abdurrahman menja-wab, “la sedang sakit wahai Amirul Mukminin. Sesungguhnya ia ingin sekali bertemu denganmu.” Ali ra. berkata, “Tuntunlah aku ke tempatnya.” Ali ra. pun pergi menjenguknya. Abu Bakrah ayah Abdurrahman meminta udzur kepada beliau dan beliau menerimanya. Ali ra. menawarkannya jabatan sebagai amir Bashrah, namun ia menolak. Abu Bakrah berkata,” Angkatlah seorang lelaki dari keluargamu yang dapat membuat tenang penduduk negeri ini. Abu Bakrah mengisyaratkan agar mengangkat Abdullah bin Abbas , maka Ali ra. Pun mengangkatnya sebagai amir kota Bashrah. Lalu menunjuk Ziyad bin abihi sebagai petugas penarik pajak dan penanggung jawab Baitul Mai. Ali ra. memerintahkan Ibnu Abbas agar mendengar saran-saran Ziyad.
Pada perang Jamal Ziyad mengasingkan diri dan tidak ikut terlibat dalam pepe-rangan. Kemudian Ali ra. mendatangi rumah tempat Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. ‘ singgah. Ali ra. meminta izin kepadanya lalu masuk sembari mengucapkan salam kepadanya dan ‘Aisyah ra.. menyambutnya dengan ucapan selamat. Seorang lelaki menyampaikan berita kepada Ali ra., “Wahai Amirul Mukminin, di luar ada dua orang lelaki yang mencaci Aisyah ra.” Maka Ali ra. Memerintahkan al-Qa’qa’ bin Amru agar mencambuk kedua lelaki itu masing-masing seratus kali cambuk. [1012]
Lalu ‘Aisyah ra bertanya tentang pasukannya yang terbunuh dan pasukan Ali ra. yang terbunuh. Setiap kali disebutkan nama orang-orang yang terbunuh dari kedua belah pihak ‘Aisyah ra. mendoakan rahmat dan kebaikan untuk mereka. Ketika Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. hendak meninggalkan kota Bashrah, Ali ra. mengirim segala sesuatu yang diperlukan untuknya, mulai dari kendaraan, perbekalan, barang-barang dan lainnya. Dan beliau mengizinkan pasukan Aisyah ra.. yang selamat untuk kembali bersamanya atau jika mau mereka boleh tetap tinggal di Bashrah. Beliau mengirim saudara lelaki ‘Aisyah ra. Muhammad bin Abi Bakar , untuk menyertainya.
Pada hari keberangkatan, Ali ra. mendatangi rumah tempat ‘Aisyah ra. menginap, beliau berdiri di depan pintu bersama orang-orang. Kemudian ‘Aisyah ra. keluar dari rumah dalam sedekupnya, beliau mengucapkan selamat tirtggal kepada mereka dan mendoakan kebaikan untuk mereka. ‘Aisyah ra. berkata, “Wahai bunayya, janganlah saling mencela di antara kalian. Demi Allah sesungguhnya apa yang telah terjadi antara aku dan Ali ra. hanyalah masalah yang biasa terjadi antara seorang wanita dengan ipar-iparnya. Sesungguhnya, meski aku dahulu mencelanya namun sesungguhnya ia adalah seorang hamba yang terpilih.”
Ali ra. berkata, “Ia benar, demi Allah tidak ada masalah yang terjadi antara kami berdua kecuali seperti yang telah disebutkan. Sesungguhnya ia adalah istri nabi kalian , di dunia dan di akhirat.” Kemudian Ali ra. berjalan mengiringinya sampai beberapa mil sembari mengucapkan selamat jalan kepadanya. Peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu awal bulan Rajab tahun 36 Hijriyah. ‘Aisyah ra. dan rombongan berangkat menuju Makkah kemudian ia menetap di sana hingga musim haji pada tahun itu juga kemudian ia kembali ke Madinah. Itulah ringkasan kisah yang disebutkan oleh Abu Ja’ far Ibnu Jarir [1013] dari para ulama sejarah. [1014] Tidak seperti yang disebutkan oleh para pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah) dari kalangan Syi’ah dan lainnya yang menyebarkan haditshadits palsu atas nama sahabat. Dan kisah-kisah palsu yang mereka nukil tentang masalah ini. Jika mereka diajak kepada kebenaran yang nyata mereka berpaling sembari berkata, “Bagi kalian sejarah kalian dan bagi kami sejarah kami.” Jikalau begitu kami katakan kepada mereka: “Kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil” (A\-Qashash: 55).
Referensi :
[958] Yang benar adalah Hakim bin ‘Alqamah, demikan tercantum dalam Tarikh ath-Thabari, 4/421, silahkan lihat biografinya dalam kitab al-Ishabah, 5/126.
[959] Tarikh ath-Thabari, 4/421-422.
[960] Silahkan lihat Tarikh ath-Thabari, 4/442 dari Jalur Saif bin Umar dari guru-gurunya. Saya katakan, Penyebutan Thulaihah bin Khuwailid adalah ganjil, karena sejumlah sejarawan lainnya menyebutkan bahwa Thulaihah terbunuh sebagai syahid pada peperangan Nahawand pada tahun 21 H. Silahkan lihat Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 8/603. Adz-Dzahabi dalam al-‘Ibar, 1/26, Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah, 7/119, dan Ibnu Hajar dalam al-lshabah, 3/543.
[961] Ini adalah ringkasan dari riwayat ath-Thabari dari Jalur Salf bin Umar dari guru-gurunya. Silahkan lihat Tarlkh ath- Thabari, 4/443-446. Namun sebagian dari yang disebutkannya itu perlu ditinjau kembali, Mu’awiyah tidaklah menentang kekhalifahan Ali ra.,namun ia hanya menuntut ditegakkannya hukum atas para pembunuh Utsman ra. tanpa mengulur-ulur waktu sebagaimana pendapat khalifah Ali ra. Yahya bin Sulaiman al-Ju’fi meriwayatkan dengan sanad yang bagus seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Ban, 3/92 dari Abu Muslim al-Khaulani bahwa ia berkata kepada Mu’awiyah, “Apakah engkau menentang khalifahan Ali ataukah engkau sama kedudukannya dengannya?” Mu’awiyah berkata, “Tidak demi Allah, aku tahu ia lebih utama daripadaku dan lebih berhak memegang jabatan itu daripadaku. Akan tetapi bukankah kalian tahu bahwa Utsman ra. dibunuh secara zhalim, sedang aku adalah keponakan beliau? Dan menuntut atas kematian beliau? Hendaklah ia menyerahkan orang-orang yang membunuh Utsman ra. kepadaku niscaya aku akan tunduk kepada kekhalifahannya.” Ali berkata, “Hendaklah ia berbai’at lalu menyerahkan tuntutannya kepada para pembunuh Utsman ra. kepadaku.”
[962] Beliau adalah Amru bin Abasah as-Sulami, biografinya dapat dilihat dalam kitab ath-Thabaqat, 4/157 dan al-Ishabah, 4/658.
[963] Dalam naskah asli disebutkan: Hubasyah, namun itu salah tulis, yang benar adalah Khubasyah, silahkan lihat biografinya dalam kitab al-Ishabah, 3/384.
[964] Tarikh ath-Thabari, 4/352.
[965] Para penulis sejarah menyebutkan bahwa al-Mughirah bin Syu’bah telah menasihati Ali agar mempertahankan para amir yang diangkat oleh Utsman ra., kemudian ia datang lagi pada hart lain dan menasihati Ali agar mencopot mereka. Riwayat ini tidak benar. Diriwayatkan oleh ath-Thabari dari jalur Saif bin Umar dari guru-gurunya yang masih majhul(belumdiketahui identitas mereka). Silahkan lihat Tarikh ath-Thabari, 4/438. Saya katakan, Kisah az-Zubair menuntut jabatan amir di Bashrah tidak shahih. Keluarnya ‘Aisyah ra., az-Zubair dan Thalhah ke Bashrah adalah untuk ishlah (perdamaian) dan usaha untuk menyatukan kalimat kaum muslimin setelah terjadinya perselisihan dan berkembangnya fitnah. Mereka keluar bukan untuk menolak kekhalifahan Ali 4e. Diriwayatkan secara shahih dari al-Ahnaf bin Qais bahwa ia bermusyawarah dengan mereka ketika Utsman ra. dikepung tentang siapakah yang akan dibai’at setelah Utsman ra. terbunuh? Mereka mengisyaratkan agar membai’at Ali bin Abi Thalib <^&. Silahkan lihat Fathul Bari, 13/38.
[966] Hadits riwayat Ibnu Majah dalam Sunamya nomor 2861.
[967] Diriwayatkan oleh ath-Thabari 4/439 dari jalur al-Waqidi dari Ibnu Abi Sabrah dari Abdul Majid bin Suhail. Sanadnya dhaif sekali.
[968] Ini merupakan lafal-lafal mungkar dalam kisah di atas, karena sebenarnya mereka keluar untuk ishlah, dan mereka memilih Bashrah karena dekatnya daerah itu dengan tempat kejadian.
[969] Al-Hau’ab maknanya lembah yang luas. la adalah nama sebuah mata air di tengah jalan menuju Bashrah di daerah Ban Amir bin Kilab, di situ terdapat benteng yang dibangun oleh Abdul Aziz bin Zurarah al-Kalbi {Mu’jamul Buldan, 2/314).
[970] Sllahkan lihat kitab al-Bidayah wan Nihayah, 9/186, hadits ini tercantum juga dalam MusnadImam Ahmad, 6/52 dan 97. Ibnu Katsir berkata, “Sanad ini sesuai dengan syarat Shahihain dan belum diriwayatkan oleh keduanya.” Kemudian beliau menyebutkan jalur lain yang diriwayatkan oleh al-Bazzar. Silahkan lihat kitab KasyfulAstar, 4/94, al-Haitsami berkata dalam kitab Majma’ az-Zawaid, 7/234: “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan perawinya tsiqah.”
[971] Demikian yang beliau katakan. Dalam Tarikh ath-Thabah, 4/457 disebutkan: “Abdullah bin az-Zubair datang menemui ‘Aisyah ra. dan berkata, ‘Selamatkan diri, selamatkan diri, demi Allah sesungguhnya pasukan Ali telah mengejar kalian’.” Rlwayat ini dari jalur Saif dari guru-gurunya, lafal ini adalah mungkar, lafal yang disebutkan dalam kitab Musnad adalah: ‘Sebagian orang yang bersama ‘Aisyah ra. berkata kepadanya, ‘Lanjutkanlah perjalanan, mudah-mudahan kaum muslimin melihat kehadiran anda’.” Dalam riwayat lain dalam kitab Musnsd, “Az-Zubair berkata kepada ‘Aisyah ra..” Riwayat-riwayat ini shahih walillahil hamd.
[972] Dalam buku cetakan tertulis: “aku tidak menerimanya” namun itu adalah kesalahan cetak. Dalam kisah tersebut terdapat lafal mungkar, yaitu anggapan bahwa Thalhah dan az-Zubair berbai’at kepada Ali karena terpaksa. Ini bertentangan dengan realita sebenarnya sebagaimana yang telah dijelaskan.
[973] Mengisyaratkan kepada hadits Abdullah bin Mas’ud y secara marfu’: “Perang dalam Islam akan berkecamuk setiap tiga puluh lima atau tiga puluh enam tahun….” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunamya kitab al-Fitan walMalahim hadits nomor 4254, Ahmad dalam Musnadnya, 1/393, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, 4/521, ia berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disetujui oleh adz- Dzahabi. Dishahih-kan juga oleh Syaikh al-Albani dalam Sitsilah al-ahadits ash-Shahihah nomor 976, beliau menyebutkan Jalur-jalur sanadnya.
[974] Yaitu kata kiasan yang maknanya menghindar dari tempat fitnah. 1M Silahkan lihat catatan biografinya dalam kitab al- Ishabah, 1/74.
[975] Al-Mirbad, suatu tempat yang luas di Bashrah, dulunya adalah pasar unta. Dipakai sebagai tempat bertukar pikiran bagi para penyar dan tempat pidato (Mu’jam al-Buldan, 1/445).
[976] Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam al-Ishabah, 2/178, di bagian ketiga, yaitu bagian orang-orang yang hidup pada zaman nabi namun tidak bertemu dengan beliau. Ibnu Hajar Juga menukil perkatan Ibnu Abdil Bar, “Aku tidak tahu ada satu pun riwayat ataupun khabar yang menunjukkan bahwa ia pernah bertemu dengan Rasulullah saw. .”
[977] Dari awal pembahasan sampai di sini adalah ringkasan dari yang disebutkan oleh ath-Thabari dari sejumlah riwayat dari Saif, dari Abu Mikhnaf dan dari Ibnu Syibah dan lainnya, 4/477.
[978] Tarikh ath-Thabari, 4/447 dari jalur Saif bin Umar.
[979] Al-Khathib al-Baghdadi mengoreksi perkataan ini dalam kitabnya al-Muwadhdhih II AuhamlUam’ wat Tafrlq, 1/275, “It jelas keliru tidak ada syak lagi, karena Khuzaimah bin Tsabit adalah pemilik dua persaksian yang ikut serta bersama Ali dalam peperangan Shiffin. Para ulama sejarah sepakat menyebutkan hal tersebut. Saif bin Umar bukanlah hujjah atas riwayat-riwayat yang dibawanya jika bertentangan dengan perkataan Ahli Ilmu.” Kemudian beliau menyebutkan dalil-dalil yang mendukung perkataannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab al-Ishabah, 2/280, ‘Tidak ada dosa atas Saif, karena kesalahan berasal dari Gurunya.” Silahkan lihat biografi Khuzaimah bin Tsabit dalam ath-Thabaqat al-Kubra, 4/378.
[980] Salah satu tempat persinggahan bagi para jama’ah haji dari Iraq. Abu Dzar al-Ghifari bermukim dan wafat di tempat ini pada tahun 32 H. Lokasinya terletak di sebelah timur Madinah sekitar seratus mil. (Silahkan lihat Mu’JamulBuldan, 2/24, dan Kitab al-Manasik, halaman 330).
[981] Diriwayatkan oleh ath-Thabari, 4/455, dari Jalur Saif bin Umar dari guru-gurunya dan terdapat riwayat penyerta yang dikeluarkan oleh Abu Ya’la dan al-Bazzar. Al-Haitsami berkata dalam kitab Majma’az-Zawaid, 9/138, “Perawi Abu Ya’la adalah perawi kitab Shahih kecuali Ishaq bin Abi Israil, ia adalah seorang perawi tsiqahdsn terpercaya.”
[982] Diriwayatkan oleh ath-Thabari dalam Tar/khnya, 4/456, dari jalur Saif bin Umar dan beliau menyebutkan jalur lain, 4/458 ada jalur lain yang menyertainya yang disebutkan dalam kitab ThabaqatIbnu Sa’arf(dalam catatan biografi al-Hasan bin Ali *&>) dari jalur al-Waqidi (tingkatan kelima dari sahabat, 1/274). 983 Tarikh ath-Thabari, 4/478.
[984] Rifa’ah bin Rafi’ termasuk salah seorang sahabat yang pertama-tama masuk Islam, ia ikut serta dalam peperangan Badar dan Bai’at Aqabah, ikut serta dalam peperangan Jamal dan Shiffin bersama Ali bin Abi Thalib 4&. Kedua puteranya, yakni Ubaid dan Mu’adz meriwayatkan hadits darinya. Dan belum jelas bagiku di sini siapakah di antara keduanya yang berbicara dalam kesempatan tersebut. Silahkan lihat kitab al-Isti’ab, 2/497, dan al-Ishabah, 2/489.
[985] Biografinya disebutkan dalam ThabaqatIbnu Sa’ad, 5/197 dan memasukkannya dalam golongan tabi’in. Silahkan lihat kitab al-Ishabah, 2/35, namanya adalah al-Hajjaj bin Amru bin Ghaziyyah, dan memastikan bahwa ia termasuk sahabat nabi berdasarkan riwayat penulis kitab Sunan yang meriwayatkan sebuah hadits darinya dari Rasulullah saw. 5M dan di dalamnya ditegaskan penyimakan langsung dari beliau
[986] Faid adalah tempat singgah para jama’ah haji dari Iraq, sekarang ini merupakan negeri yang makmur. Terletak di sebelah selatan daerah Hail. (Al-Biladi, Mu’jamul Ma’alim al-Jughrafiyah, halaman 239).
[987] Dzii Qar adalah mata air milik Bakar bin Wail, di mata air ini terukir kisah yang sangat populer antara Bakar dan orangorang Arab yang mengikutinya melawan orang-orang Persia. Dalam pertempuran itu orang-orang Arab memperoleh kemenangan. Pada hari itu pula Rasulullah saw. Ufa lahir (silahkan lihat Mu’jamul Buldan, 4/293).
[988] Hadits riwayat al-Bukhari dalam Shahih beliau kitab al-Fitan Bab Akan terjadi fitnah, orang yang duduk lebih baik daripada orang yang berdiri, dari hadits Abu Hurairah ^e> (silahkan lihat Fathul Bari, 13/30).
[989] Yakni Abu Musa al-Asy’ari
[990] Shahih al-Bukharidalam kitab al-Fitan, hadits nomor 7100 dan 7101 (silahkan lihat FathulBan, 13/53).
[991] Dalam naskah asli tertulis “Sa’ad”, koreksian di atas diambil dari Tarikh ath-Thabari, 4/488.
[992] Maksudnya adalah di tempat yang kemudian dibangun di situ istana Ibnu Ziyad pada masa pemerintahannya di Bashrah pada masa kekhalifahan al-Umawi.
[993] YaKni pada hari akhirat.
[994] Dalam naskah asli tertulis “Abu Bakar”, koreksian ini kami ambil dari kitab Shahih al-Bukhari, 8/92 Kltabul Fitan Bab: Jika dua pasukan muslim saling berhadapan dengan pedang mereka.
[995] Silahkan lihat Shahih al-Bukhan‘bersama syarartnya FathulBari, 3/53.
[996] Pernyatan tersebut menunjukkan bahwa pecahnya pertempuran antara kedua pasukan bukan atas keinginan masingmasing, namun merupakan hasil provokasi dan konspirasi pengikut Saba’iyah dan orang-orang sesat. Sejumlah ulama telah menegaskan hal tersebut, di antaranya; Al-Baqilani dalam at-Tamhld, halaman 233, al-Qadhi Abdul Jabar dalam Tatsbit Dala’il an-Nubuwwah, 1/299, Imamul Haramain dalam al-Ghiyatsi, halaman 114, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dalam al- Awashim minal Qawashim halaman 156, Ibnu Hazm dalam al-Fishal wal Milal, 4/157, pensyarah al-Aqidah ath-Thahawiyah, halaman 546, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitab Minhajus Sunnah, 4/460, “Kemudian para pembunuh Utsman ra. mencium kesepakatan para pembesar sahabat maka merekapun menyalakan api fitnah. Mereka menyerang pasukan Thalhah dan az-Zubair lalu mereka berkata kepada Ali, “Sesungguhnya merekalah (pasukan Thalhah dan az-Zubair) yang lebih dulu menyerang.” Maka kedua belah pihak terlibat dalam pertempuran untuk mempertahankan diri. Baik Ali maupun Thalhah dan az-Zubair sama sekali tidak punya niat untuk bertempur. Sesungguhnya keburukan itu berasal dari para pembunuh Utsman ra..”
[997] Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Mushanathya, 15/263 dengan sanadnya dari Abdu Khair dari Ali bahwa ia berkata pada peperangan Jamal, “Jangan mengejar orang yang lari dan jangan membunuh orang yang terluka. Barangsiapa meletakkan senjatannya maka ia aman.” Silahkan lihat jalur iainnya dalam kitab yang sama, 15/267, dan 15/282.
[998] Silahkan lihat kitab al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah, 15/282 dan 288.
999 Dala’il an-Nubuwwah, 4/415, al-Uqaili berkata, “Sanad-sanad dalam kisah ini sangat lemah.” Silahkan lihat adh-Dhu’afa al- Kabir, 2/300.
[1000] Hadits ini mutawatir, demikian ditegaskan oleh Ibnu Abdil Bar dalam kitab al-Isti’ab, 3/1140, silahkan lihat Nazhmul Mutanatsir minal Hadits al-Mutawatk karangan Ja’far al-Hasani al-Kattani halaman 126 hadits nomor 237. Silahkan lihat Shahih al-Bukhari, 1/541, Fathul Ban, dan Shahih Muslim, nomor 2915 dan 2916.
[1001] Hadits tersebut dalam sanadnya terdapat pembicaraan, Abdul Malik bin Muslim ar-Raqqasyi telah dikomentari oleh al- Bukhari, “Haditsnya tidak shahih!” Silahkan lihat Tahdzib al-Kamal, 2/863 dan Ibnu Hajar berkata dalam kitab Taqrib, 1/523, ” Layyinui hadits1.”
[1002] Penulis berkata, “Ada yang mengatakan bahwa yang memanah Thalhah adalah Marwan bin al-Hakam. Dalam catatan biografi Thalhah disebutkan bahwa yang memanahnya bukan Marwan, tapi orang lain. Menurutku ini yang lebih mendekati kebenaran, walaupun pendapat pertama di atas sangat populer.” aya katakan, Ada tiga riwayat dalam Tarikh Khalifah halaman 185 menegaskan bahwa yang memanah beliau adalah Marwan bin al-Hakam, akan tetapl semuanya mursal. Seperti riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, 15/259, ia berkata, “Abu Usamah telah menceritakan kepadaku, ia berkata, Ismail bin Abi Khalid telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Qais telah mengabarkan kepada kami, ia berkata, ‘Marwan memanah Thalhah pada peperangan Jamal…” Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah, wallahu a’lam.
[1003] Silahkan lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 15/269 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak, 3/372.
[1004] Tarikh Khalifah halaman 185 dan Thabaqat Ibnu Sa’ad, 7/92.
[1005] Silahkan lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 15/268 dan 277.
[1006] Disebutkan dalam catatan biografi Abdullah bin az-Zubair dalam kitab Tarikh Dimasyq\\a\aman 427 bahwa beiiau dipapah dengan luka-luka sebanyak empat puluh liang dan tebasan pedang. Dr. Dhiya’ Akram al-Umari mengatakan dalam buku ‘Ashr Khilafah Rasyidah halaman 411, “Sanadnya shahih.”
[1007] Silahkan lihat kitab al-Mushannafkarsnqzn Ibnu Abi Syaibah, 15/267, 273.
[1008] Sebagaimana dimaklumi bahwa dalam keadaan marah kadang-kadang seseorang mengucapkan perkataan yang tidak dikatakannya setelah marahnya reda. Jika muncul perkataan seperti ini dari Ummul Mukminin makainilah penjelasannya.
[1009] Jumlah ini terlalu berlebihan, khususnya apabila kita ketahui motif pertempuran dalam peperangan tersebut. Demikian pula arahan dari khalifah agar membiarkan orang yang lari dan tidak membunuh orang yang terluka demikian pula pendeknya masa pertempuran yaitu mulai setelah Zhuhur sampai terbenam matahari. Khalifah bin Khayyath dalam kitab Tarikhnya, halaman 187-190, mencantumkan nama-nama korban yang gugur pada peperangan Jamal. Jumlah korban sekitar seratus orang. Jika kita perkirakan seratus atau dua ratus korban lain tidak tercatat maka secara keseluruhan jumlah korban berkisar tiga ratus orang. Wallahu a’lam. Silahkan lihat juga kitab Khalid al-Ghaits, Istisyhad Utsman wa Mauqi’atul Jamal, halaman 214-215.
[1010] Silahkan lihat dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 15/263.
[1011] Silahkan lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 15/263.
[1012] Tarikh ath-Thabah, 4/540 dari jalur Saif bin Umar dari guru-gumnya. Jika riwayat ini shahih maka itu merupakan bentuk hukuman peringatan agar keduanya jera, wallahu a’lam
Sumber : https://hbis.wordpress.com/2010/03/09/aneka-peristiwa-pada-masa-khalifah-ali-bin-abi-thalib/