Bab Akidah
Apakah Berislam Cukup Dengan Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat Atau Harus Ada Hal- al Yang lainnya.
APAKAH BERISLAM CUKUP DENGAN MENGUCAPKAN DUA KALIMAT SYAHADAT ATAU HARUS ADA HAL- AL YANG LAINNYA.
Pertanyaan:
Apakah cukup dengan rukun Islam pertama saja, yaitu syahadat bahwa tiada Tuhan -yang haq untuk disembah- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah atau harus dengan adanya hal- hal yang lain sehingga keislaman seseorang menjadi sempuma?
Jawaban:
Bila seorang kafir bersyahadat bahwa tiada Tuhan -yang haq untuk disembah- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dengan setulus- tulusnya dan seyakin- yakinnya, dia mengetahui konsekuensinya dan mengamalkannya berdasarkan hal itu, maka dia telah masuk ke dalam Islam. Kemudian dia diminta untuk melakukan shalat dan hukum- hukum Islam yang lainnya.
Oleh karena itu, ketika Nabi shalallahu 'alaihi wasallam mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, beliau bersabda kepadanya, "Sesungguhnyn engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab; bila engkau telah mendatangi mereka maka serulah mereka agar bersyahadat bahwa tiada Tuhan -yang haq untuk disembah- selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Jika mereka menaatimu dengan hal itu, maka beritahukanlah pula kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam;-
jika mereka menaatimu dengan hal itu, maka beritahukanlah lagi kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan untuk membayar zakat yang (prosesnya) diambil dari orang-orang kaya di kalangan mereka untuk dikembalikan (diberikan) kepada kaum fakir mereka.'' (Shahih al-Bukhari, kitab az- Zakah, no. 1458; Shahih Muslim, kitab al- Iman, no. 19)
Beliau shalallahu 'alaihi wasallam tidak menyuruh mereka untuk melakukan shalat dan membayar zakat kecuali setelah bertauhid dan beriman kepada Rasulullah. Bila orang kafir tadi melakukan seperti itu, maka dia telah menjadi Muslim, kemudian dia diminta agar melakukan shalat dan hukum-hukum agama lainnya. Bila dia menolak melakukan hal itu, maka dia terkena hukum- hukum yang lainnya;
jika meninggalkan shalat, penguasa memintanya agar bertaubat, bila menerima maka dia adalah Muslim dan bila menolak, dia dibunuh. Demikian pula, dia diperlakukan sesuai dengan yang semestinya terhadap hukum- hukum agama yang lainnya.
[ Majallah at- Buhuts, vol. 42, hal. 141-142 dari fatwa Syaikh Ibnu Baz ]
Via HijrahApp
Bersumpah Atas Nama Nabi
BERSUMPAH ATAS NAMA NABI
Pertanyaan:
Sebagian orang sudah terbiasa bersumpah atas nama Nabi صلی الله عليه وسلم dan seakan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka namun mereka sama sekali tidak menjadikannya sebagai suatu keyakinan. Apa hukumnya?
Jawaban:
Bersumpah atas nama Nabi صلی الله عليه وسلم atau nama makhluk selain beliau merupakan suatu kemungkaran besar dan termasuk hal yang diharamkan dan bernuansa syirik, sehingga tidak boleh bagi seorangpun bersumpah kecuali atas nama Allah semata.
Al-Imam Ibn Abdil Barr -rodliallaahu'anhu- meriwayatkan adanya ijma' (konsensus) tentang tidak bolehnya bersumpah atas nama selain Allah. Demikian pula, telah terdapat hadits-hadits yang shahih berasal dari Nabi صلی الله عليه وسلم yang melarang hal itu dan mengkategorikannya sebagai kesyirikan sebagaimana terdapat dalam kitab Ash-Shahihain dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda,
إِنَّاللهَيَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِآبَائكُمْ؛ فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أَوْ لِيَصْمُتْ، وَفيِ لَفْظٍفَلاَ يَحْلِفْ إِلاَّ بِاللهِ
"Sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى melarang kalian bersumpah atas nama nenek moyang kalian; barangsiapa ingin bersumpah, maka hendaknya bersumpahlah atas nama Allah atau lebih baik diam."(Al-Bukhari dalam kitab Al-Manaqib (3836); Muslim dalam kitab Al-Iman (1746)).
Di dalam lafazh lain disebutkan, "Maka janganlah dia bersumpah kecuali atas nama Allah." Abu Daud dan At-Tirmidzi telah mengeluarkan dengan sa-nad shahih dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
"Barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah, maka dia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan."(At-Tirmidzi dalam kitab An-Nudzur wa Al-Ayman (1535)).
Demikian pula telah terdapat hadits yang shahih bahwasanya beliau bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِاْلأَمَانَةِ فَلَيْسَ مِنَّا
"Barangsiapa bersumpah atas nama amanat (karena mensejajar-kannya dengan Asma Allah dan SifatNya, pent.), maka dia bukan termasuk golongan kami."(Abu Daud dalam kitab al-Ayman wa an-Nudzur (3253)).
Dan hadits-hadits tentang hal tersebut banyak sekali dan sudah pula diketahui. Oleh karena itu, adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin untuk tidak bersumpah selain atas nama Allah semata dan tidak boleh bagi siapapun untuk bersumpah atas nama selain Allah, siapapun dia berdasarkan hadits-hadits yang telah disinggung tersebut dan hadits-hadits selain itu.
Demikian pula, wajib bagi siapa saja yang sudah terbiasa dengan hal itu untuk berhati-hati terhadapnya dan melarang keluarganya, teman-teman duduk serta orang-orang selain mereka dari melakukan hal itu dalam rangka melaksanakan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
"Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan tangannya (wewenang yang dimilikinya); jika dia tidak mampu melakukannya, maka melalui lisannya dan jika dia juga tidak mampu melakukannya, maka melalui hatinya. Dan inilah selemah-lemah iman."(Muslim dalam kitab al-Iman (49)).
Dan bersumpah atas nama selain Allah termasuk perbuatan syirik kecil berdasarkan hadits terdahulu dan dapat pula menjadi syirik besar bila di dalam hati orang yang bersumpah ini tertanam bahwa sesuatu yang dijadikannya sebagai sumpah tersebut berhak untuk diagungkan sebagaimana haq Allah atas hal itu atau boleh disembah serta niat-niat kekufuran lainnya semisal itu.
Kita bermohon kepada Allah agar menganugerahkan kepada kaum muslimin semuanya keselamatan dari hal itu dan mengaruniakan mereka pemahaman terhadap diennya serta terbebas dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah, sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Mahadekat.
Sumber:
Kitab ad-Da'wah, Juz.II, h.28-29, Dari fatwa Syaikh Bin Baz.
Via HijrahApp
Hukum Meminta Murid untuk Mengingat Gurunya Saat Menghadapi Kemaksiatan
HUKUM MEMINTA MURID UNTUK MENGINGAT GURUNYA SAAT MENGHADAPI KEMAKSIATAN
Pertanyaan:
Seorang syaikh berkata kepada muridnya yang hendak pergi belajar ke negara Eropa saat berpamitan, "Anakku, jika di sana engkau tergoda dengan suatu kemaksiatan, ingatlah gurumu, niscaya Allah akan memalingkanmu dari keburukan dan kekejiannya." Apakah ini termasuk mempersekutukan Allah?
Jawaban:
Ini kemungkaran besar dan syirik terhadap Allah سبحانه و تعالى, karena ia berlindung kepada gurunya untuk menyelamatkannya dari sesuatu. Seharusnya sang guru mengatakan, "Ingatlah Allah dan mohonlah kepada Rabbmu pertolongan dan petunjuk serta berpegang teguh dengannya." Adapun berpesan untuk mengingat gurunya, ini termasuk kesalahan kaum sufi yang mengarahkan para muridnya untuk menyembah mereka di samping Allah, mengadu dan bertawakkal kepada mereka agar bisa memenuhi kebutuhan dan keluar dari kesulitan.
Ini termasuk syirik akbar. Na'udzu billah min dzalik. Seharusnya orang itu bertakwa kepada Allah dan berlindung kepada Allah سبحانه و تعالى dalam segala urusannya serta memohon pertolongan dan petunjuk kepadaNya, bukan kepada gurunya yang mengajarkan untuk berlindung kepadanya. Hanya Allah lah tempat memohon pertolongan.
Rujukan:
Majalah Al-Buhuts, nomor 39, hal. 149-150, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Hukum Menghidupkan Peninggalan-peninggalan Islam Bersejarah
HUKUM MENGHIDUPKAN PENINGGALAN-PENINGGALAN ISLAM BERSEJARAH
Pertanyaan:
Bagaimana hukum Islam tentang menghidupkan peninggalan-peninggalan Islam bersejarah untuk mengambil pelajaran, seperti; Gua Tsur, Gua Hira, perbukitan Ummu Ma'bad, dan membuat jalan untuk mencapai tempat-tempat tersebut sehingga diketahui jihadnya Nabi صلی الله عليه وسلم dan memberikan kesan tersendiri?
Jawaban:
Memelihara peninggalan-peniggalan dalam bentuk menghormati dan memuliakan bisa menyebabkan syirik (mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى), karena jiwa manusia itu lemah dan cenderung menggantungkan diri kepada yang diduganya berguna, sementara mempersekutukan Allah itu banyak macamnya, dan mayoritas orang tidak mengetahuinya.
Orang yang berdiri di hadapan peninggalan-peninggalan tersebut akan melihat orang jahil yang mengusap-usapnya untuk meraih debunya dan shalat di sana serta berdoa kepada orang yang meninggal di sana, karena ia mengira bahwa hal itu bisa mendekatkan dirinya kepada Allah dan bisa menjadi perantara kesembuhannya.
Kemudian hal ini ditambah pula dengan banyaknya para penyeru kesesatan, akibatnya mereka semakin menambah volume kunjungannya, sehingga dengan begitu bisa dijadikan pencaharian. Dan biasanya, di sana tidak ada orang yang memberi tahu si pengunjung bahwa maksudnya adalah hanya untuk mengambil pelajaran, tapi malah sebaliknya.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya dengan isnad shahih dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia berkata, "Kami berangkat bersama Rasulullah صلی الله عليه وسلم ke Hunain, saat itu kami baru keluar dari kekufuran. Saat itu, kaum musyrikin mempunyai tempat pohon khusus yang biasa dikunjungi dan menggantungkan senjatanya di sana, tempat itu disebut Dzatu Anwath. Saat itu kami melewati-nya, lalu kami berkata, ?Wahai Rasulullah, buatkan bagi kami Dzatu Anwath seperti yang mereka miliki." Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
سُبْحَانَ اللهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوْسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ. وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
"Mahasuci Allah, ini seperti yang diucapkan oleh kaumnya Musa, 'Buatkan tuhan untuk kami sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan.' Demi Dzat yang jiwaku ditanganNya, (jika demikian) niscaya kalian menempuh cara orang-orang yang sebelum kalian."
Ucapan para sahabat: (buatkan bagi kami Dzatu Anwath seperti yang mereka miliki) adalah serupa dengan ucapan Bani Israil: (Buatkan tuhan untuk kami sebagaimana mereka memiliki tuhan-tuhan). Hal ini menunjukkan, bahwa ungkapan itu bisa dengan makna dan maksud, tidak hanya dengan lafazh.
Jika menghidupkan peninggalan-peninggalan tersebut dan mengunjunginya termasuk yang disyari'atkan, tentulah Nabi صلی الله عليه وسلم telah melakukannya atau memerintahkannya atau telah dilakukan oleh para sahabat atau telah ditunjukkan oleh mereka, karena mereka adalah manusia yang paling mengetahui syari'at Allah dan paling mencintai Rasulullah صلی الله عليه وسلم.
Tapi pada kenyataannya tidak ada riwayat yang menunjukkan hal itu dari beliau dan tidak pula dari para sahabat beliau, tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa para sahabat mengunjungi Gua Hira' atau Gua Tsur atau mendaki perbukitan Ummu Ma'bad atau pohon tempat diselenggarakannya bai'ah, bahkan ketika Umar -rodhiallaahu'anhu- melihat sebagian orang pergi ke pohon tersebut, di mana Nabi صلی الله عليه وسلم dibai'at di bawahnya, ia memerintahkan untuk menebangnya karena khawatir orang-orang akan berlebihan terhadap tempat tersebut dan melakukan syirik.
Dengan begitu diketahui, bahwa mengunjungi peninggalan-peninggalan tersebut dan membuatkan jalan menuju ke sana adalah bid'ah, tidak ada asalnya dalam syari'at Allah. Hendaknya para ulama kaum muslimin dan para penguasanya mencegah terjadinya faktor-faktor yang bisa mengarah kepada syirik ini demi melindungi tauhid. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
keterangan:
[1] HR. At-Tirmidzi dalam Al-Fitan (2180). Ahmad (2139).
Rujukan:
Majalah Al-Mujahid, tahun IV, hal. 37-38, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Hukum Menyembelih Di Bangunan Kuburan Dan Berdoa Kepada Penghuninya
HUKUM MENYEMBELIH DI BANGUNAN KUBURAN DAN BERDOA KEPADA PENGHUNINYA
Pertanyaan:
Apakah hukum bertaqarrub (beribadah) dengan cara menyembelih sembelihan di sisi bangunan kuburan para wali yang shalih dan ucapan yang berbunyi, "Berkat hak waliMu yang shalih, si fulan, maka sembuhkanlah kami atau jauhkanlah kami dari kesulitan anu"?
Jawaban:
Telah diketahui bersama berdasarkan dah- dalil dari Kitabullah dan as- Sunnah bahwa bertaqarrub dengan cara menyembelih untuk selain Allah, baik untuk para wali, jin, berhala-berhala atau para makhluk lainnya adalah perbuatan syirik kepada Allah dan termasuk perbuatan orang-orang jahiliyah dan musyrikin. Allah aza wajalla berfirman,
"Katakanlah, Sesungguhnyn shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama- tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (Al- An'am: 162-163).
Yang dimaksud dengan 'an-Nusuk' (pada kalimat Wa nusuki- penj.) di dalam ayat tersebut adalah 'adz-Dzabhu' (penyembelihan). Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wata'ala menjelaskan bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah perbuatan syirik kepadaNya sama halnya dengan shalat untuk selain Allah. Dalam ayat lain, Allah berfirman,
"Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak, Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah." (Al-Kautsar: 1-2).
Dalam surat ini, Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kepada nabiNya agar melakukan shalat untuk Rabbnya dan menyembelih untukNya. Ini berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Ahli Syirik, yaitu bersujud kepada selain Allah dan menyembelih untuk selainNya. Demikian pula dalam firman- firmanNya yang lain,
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (Al-Bayyinah: 5).
Ayat- ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Jadi, menyembelih merupakan bentuk ibadah, karenanya wajib dilakukan dengan ikhlas, untuk Allah semata. Di dalam Shahih Muslim dari riwayat Amirul Mukminin, Ali bin Abi Thalib radiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah bersabda,
"Allah melaknat siapa pun yang menyembelih untuk selain Allah." (Shahih Muslim, kitab al- Adhahi dari hadits Ali, no. 1978.)
Sedangkan ucapan seseorang, "Aku meminta kepada Allah melalui (dengan) hak para waliNya", "melalui jah para waliNya", "melalui hak Nabi" atau "melalui jah Nabi"; maka ini semua bukan kategori syirik tetapi bid'ah menurut Jumhur Ulama, di samping merupakan salah satu sarana kesyirikan sebab berdoa adalah ibadah dan tata caranya bersifat tauqifiyyah.
Selain itu, tidak ada hadits yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi kita yang mengindikasikan bahwa bertawassul melalui hak, atau jah salah seorang dari makhluk adalah disyariatkan atau dibolehkan sehingga tidak boleh bagi seorang Muslim menciptakan sendiri (mengada- adakan) suatu bentuk tawassul yang tidak disyariatkan oleh Allah subhanahu wata'ala. Hal ini berdasarkan firmanNya,
"Apakah mereka mempunyai sembahan- sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah." (Asy-Syura: 21).
Juga, berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam,
"Barangsiapa yang berbuat baru (mengada- ada) di dalam urusan kami ini (dien ini) sesuatu yang tidak terdapat di dalamnya, maka ia tertolak." ( Muttafaq 'Alaih; Shahih al-Bukhari, kitab ash- Shulhu, no. 2697; Shahih Muslim, kitab al- Aqdhiyah, no. 1718.)
Dan dalam riwayat Muslim yang juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam shahihnya secara mu'allaq (hadits yang dibuang satu atau lebih dari mata rantai periwayatannya lalu disandarkan langsung kepada periwayat yang berada di atas mata rantai yang dibuang tersebut-penj.) akan tetapi diungkapkan dengan lafazh yang pasti (tegas), disebutkan:
"Barangsiapa yang melakukan suatu amalan / perbuatan (dalam dien ini) yang bukan berpijak kepada perintah kami, maka ia tertolak." (Diriwayatkan secara muallaq oleh Imam al-Bukhari, kitab al-Buyu', bab an-Najasi dan dalam kitab al- Itisham, bab Idza Ijtahada al- 'Amil Riwayat ini diriwayatkan secara maushul (bersambung) di dalam Shahih Muslim, kitab al- Aqdhlyah, no. 1718. )
Makna sabda beliau adalah tertolak bagi pelakunya dan tidak diterima. Oleh karena itu, wajib bagi kaum Muslimin untuk mengikat diri dengan syariat Allah dan berhati-hati dari perbuatan yang di ada-adakan oleh manusia alias bid'ah.
Sedangkan tawassul yang disyariatkan adalah dengan cara bertawassul melalui Asma' dan ShifatNya, mentauhidkanNya dan amal-amal shalih yang di antaranya adalah beriman kepada Allah dan RasulNya, mencintai Allah dan RasulNya dan amal- amal kebajikan dan kebaikan semisal itu. Dalil- dalil yang memperkuat hal itu banyak sekali, di antaranya firman Allah subhanahu wata'ala,
"Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu." (Al-A'raf: 180).
Di antaranya pula, sebagaimana doa yang didengar oleh Nabi shalallahu 'alaihi wasallam dari seseorang yang mengucapkan
اَلَّلهُمَّ إنِّي أسْألُكَ بِأَنِّيْ أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ الَّلهُ ، لَا إلَهَ إلاَّ أَنْتَ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu melalui persaksianku bahwa Engkan adalah Allah, Tiada Tuhan yang haq untuk disembah selain Engkau, Yang Maha tunggal Dan Tempat Bergantung, Yang Tidak beranak dan tidak diperanakkan, Yang tiada bagiNya seorang pun yang dapat menandingi."
Lalu beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Sungguh dia telah memohon kepada Allah melalui NamaNya yang Mahaagung, Yang bilamana dimohonkan melaluinya, pasti Dia akan memberi dan bila Dia dimintai (dengan berdoa) melaluinya, pasti Dia akan mengabulkan."
Di antara dalilnya yang lain adalah hadits tentang tiga orang yang terkurung di dalam gua lantas mereka bertawassul kepada Allah aza wajalla melalui amal- amal shalih mereka; orang pertama bertawassul kepada Allah melalui perbuatan birrul walidain (baktinya terhadap kedua orang tuanya). Orang kedua bertawassul kepada Allah melalui kesucian dirinya dari melakukan zina padahal sudah di depan matanya. Orang ketiga bertawassul kepada Allah melalui tindakannya mengembangkan (menginvestasikan) upah buruhnya (yang minggat), -
kemudian dia menyerahkan semua hasil investasi itu kepadanya (setelah dia datang lagi). Berkat perbuatan-perbuatan di atas, Allah menghindarkan mereka dari kesulitan tersebut, mene- rima doa mereka serta menjadikan batu besar yang menyumbat mulut goa tersebut bergeser dan terbuka. Hadits tersebut disepakati keshahihannya (oleh Imam Bukhari dan Muslim -penj.). Wallahu waliyy at- Taufiq.
[ Kumputan Fatwa dan Beragam Artlkel Syaikh Ibnu Baz, Juz V, hal. 324-326. ]
Via HijrahApp
Hukum Orang Yang Mengatakan, Sesungguhnya Para Wali Dan Orang- Orang Shalih Dapat Memberi Manfaat Atau Menimpakan Mudharat
HUKUM ORANG YANG MENGATAKAN, SESUNGGUHNYA PARA WALI DAN ORANG- ORANG SHALIH DAPAT MEMBERI MANFAAT ATAU MENIMPAKAN MUDHARAT
Pertanyaan:
Ketika saya mendengar acara ini, yakni 'Nur 'ala ad- Darb' (merupakan acara tanya- jawab bersama para ulama besar di sebuali stasiun Radio al- Qur'an [Idza'ah al- Quran] yang bermarkas di Jeddah -penj.), saya banyak mengais manfaat, kliususnya ketika saya mengetahui bahwa para wali dan orang-orang mati tidak dapat memberikan manfaat apa-apa terhadap manusia.
Dan, ketika saya informasikan hal ini kepada keluarga saya, mereka menuduh saya telah kafir dan para wali akan menimpakan mudharat kepada saya. Mereka juga menyatakan telah melihat saya di dalam mimpi dicela oleh orang- orang shalih. Apa nasehat anda kepada mereka yang akalnya telah dihinggapi oleh berbagai khurafat dan bid'ah- bid'ah yang hampir merata di seluruh negeri Arab?
Jawaban:
Kami menasehati semua pihak agar bertakwa kepada Allah dan menyadari bahwa kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat terletak pada beribadah kepada Allah semata, mengikuti Nabi dan berjalan di atas manhaj beliau. Beliaulah penghulu para wali dan seutama-utama para wali. Para rasul dan nabi adalah manusia paling utama. Mereka itulah seutama- utama para wali dan orang-orang shalih, kemudian di urutan setelah mereka dari segi keutamaan adalah sahabat para Nabi dan generasi setelah mereka.
Sedangkan orang yang paling utama di kalangan umat ini adalah para sahabat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam Setelah itu, generasi setelah mereka, yaitu seluruh kaum Mukminin berdasarkan prioritas derajat dan tingkatan mereka di dalam ketakwaan. Para wali adalah orang-orang yang melakukan keshalihan dan istiqamah di atas ketaatan kepada Allah dan RasulNya.
Nabi kita, Muhammad berada di puncak tertinggi di atas para Nabi yang lain, setelah itu para sahabat beliau, lalu diurut berdasarkan skala prioritas di dalam ketakwaan dan keimanan sebagaimana yang telah disinggung di atas. Mencintai mereka karena Allah dan meneladani mereka di dalam kebaikan dan amal shalih adalah sesuatu yang dituntut akan tetapi tidak boleh menggantungkan hati dan beribadah kepada mereka selain Allah, -
tidak boleh memohon kepada mereka sama dengan memohon kepada Allah dan juga tidak boleh meminta pertolongan atau kekuatan kepada mereka, seperti ucapan seseorang, "Wahai Rasulullah! Tolonglah aku", "Wahai Ali! Tolonglah aku", "Wahai Hasan! Tolong dan bantulah aku", "Wahai Sayyidi al- Husainl", "Wahai Syaikh Abdul Qadir Jailani!" atau kepada selain mereka. Semua itu tidak boleh sebab ibadah merupakan hak Allah semata, sebagaimana difirmankanNya,
"Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb kamu Yang telah menciptakanmu dan orang- orang sebelum kamu, semoga kamu bertakwa." (Al- Baqarah: 21).
"Berdoalah kepadaKu, niscaya Aku kabulkan (permintaan) kamu." (Ghafir: 60).
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (Al-Bayyinah: 5).
"Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadaNya." (An-Naml: 62).
"Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung." (Al-Mukminun: 117).
Dalam ayat ini, Allah menamakan mereka sebagai 'orang kafir' karena mereka memohon kepada selainNya.
"Dan sesungguhnya masjid- masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping (menyembah) Allah." (Al-Jinn: 18)
"Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaanNyalah kerajaan. Dan orang- orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa- apa walaupun setipis kulit ari. ]ika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenanknn permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui." (Fathir: 13-14).
Dalam ayat-ayat tersebut, Allah subhanahu wata'ala menjelaskan bahwa orang- orang yang dimohonkan oleh mereka seperti para rasul, wali atau selain mereka tidak dapat mendengar karena mereka terdiri dari orang yang sudah mati, orang yang sibuk berbuat taat kepada Allah seperti halnya para malaikat, orang yang ghaib (tidak berada di tempat) sehingga tidak mendengar apa yang mereka mohon atau berupa benda mati sehingga tidak dapat mendengar ataupun menanggapi.
Kemudian Allah aza wajalla menginformasikan bahwa andaikata mereka mendengar, niscaya mereka tidak akan mengabulkan doa (permohonan) mereka dan mereka akan mengingkari kesyirikan yang mereka lakukan. Dari sini, diketahui bahwa Allah subhanahu wata'ala -lah Yang Maha Mendengar doa (permohonan) dan mengabulkan permohonan orang yang memohon bila Dia menghendaki. Dialah Yang dapat memberikan manfaat dan menimpakan mudharat, Yang memiliki segala sesuatu dan Mahakuasa atas segala sesuatu.
Oleh karena itu, wajib berhati- hati dari beribadah dan menggantungkan diri kepada selainNya, baik kepada orang-orang yang telah mati, orang-orang yang tidak berada di tempat (ghaib), benda mati dan makhluk lainnya selain mereka, yang semuanya tidak dapat mendengar permohonan orang yang memohon dan tidak mampu memberikan manfaat atau menimpakan mudharat
Sedangkan terhadap orang yang masih hidup dan berada di tempat (hadir) serta mampu, maka tidak apa- apa meminta tolong kepadanya terhadap hal yang tidak mampu dia lakukan.
Hal ini sebagaimana yang terjadi dalam kisah Nabi Musa di dalam firmanNya,
"Maka orang yang dari golongannya meminta pertolongan kepadanya, untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya." (Al- Qashash: 15).
Demikian pula, boleh seorang Muslim meminta tolong di dalam berjihad dan memerangi musuh kopada saudara-saudara mereka, kaum Mujahidin. Wallahu Waliyy at- Taufiq.
[ Kumpulan Fatwa dan Beraqam Artikel dari Syaikh Ibnu Baz, Juz V, hal. 359-361. ]
Via HijrahApp
Hukum Orang Yang Meyakini Bahwa Rasulullah bukan manusia biasa
HUKUM ORANG YANG MEYAKINI BAHWA RASULULLAH BUKAN MANUSIA BIASA
Pertanyaan:
Bila seseorang meninggal dunia sementara dia masih memiliki keyakinan bahwa Rasulullah bukan manusia biasa tetapi (meyakini bahwa) beliau mengetahui hal yang ghaib, demikian pula orang tersebut bertawassul kepada para wali, orang-orang yang sudah mati maupun orang yang masih hidup sebagai bentuk taqarrub kepada Allah subhanahu wata'ala;
apakah dia akan masuk neraka dan dianggap sebagai musyrik? Mengingat bahwa dia hanya mengetahui keyakinan seperti ini karena hidup di suatu kawasan yang para ulama dan penduduknya semua menyetujui hal seperti itu; Apa hukumnya dan hukum bersedekah serta berbuat baik kepadanva setelah dia mati?
Jawaban:
Siapa saja yang mati di atas keyakinan seperti ini, vakni meyakini bahwa Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam; bukanlah manusia biasa alias bukan dari Bani Adam atau meyakini bahwa beliau mengetahui hal yang ghaib; maka ini adalah keyakinan kufur yang pelakunya dianggap sebagai orang kafir karena melakukan kekufuran yang besar. Demikian pula, bila dia berdoa, meminta pertolongan atau bernadzar kepada beliau atau selain beliau, seperti kepada para Nabi, orang- orang shalih, jin, para malaikat atau berhala- berhala.
Sebab, ini semua adalah jenis perbuatan orang-orang musyrik terdahulu seperti Abu Jahal dan orang- orang sepertinya. Perbuatan tersebut merupakan syirik akbar sementara sebagian orang menamakan syirik jenis ini sebagai tawassul yang posisinya di bawah syirik akbar.
Ada lagi, jenis lainnya dari tawassul tersebut yang bukan termasuk syirik tetapi perbuatan bid'ah dan sarana kesvirikan, yaitu bertawassul dengan (melalui) jah (kehormatan) para nabi dan orang- orang shalih atau dengan haq mereka atau dzat (diri) mereka. Wajib berhati-hati dari kedua jenis ini semua. Orang yang mati dalam kondisi melakukan jenis pertama di atas, tidak boleh dimandikan, dishalatkan, dikuburkan di pekuburan kaum Muslimin, didoakan ataupun disedekahkan untuknya. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang- orang ynng berimnn memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang- orang musyrik, walaupun orang- orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang- orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam" (At-Taubah: 113).
Sedangkan bertawassul dengan Asma' Allah dan Shifat- ShifatNya, bertauhid dan beriman kepadaNva; maka ini adalah tawassul yang disyariatkan dan sebagai salah satu faktor penyebab terkabulnya doa. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husnn itu." (Al-A'raf: 180).
Juga, berdasarkan hadits yang shahih dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau mendengar orang yang berdoa dan berkata,
اَلَّلهُمَّ إنِّي أسْألُكَ بِأَنِّيْ أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ الَّلهُ ، لَا إلَهَ إلاَّ أَنْتَ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu melalui persaksianku bahwa Engkan adalah Allah, Tiada Tuhan yang haq untuk disembah selain Engkau, Yang Maha tunggal Dan Tempat Bergantung, Yang Tidak beranak dan tidak diperanakkan, Yang tiada bagiNya seorang pun yang dapat menandingi."
Lalu beliau mengomentari orang tersebut,
"Sungguh dia telah memohon kepada Allah melalui NamaNya yang Mahaagung, Yang bilamana dimohonkan melaluinya, pasti Dia akan memberi dan bila Dia dimintai (dengan berdoa) melaluinya, pasti Dia akan mengabulkan."
Demikian pula bertawassul dengan amal-amal shalih seperti bund walidain (berbakti kepada kedua orang tua), menunaikan amanat, menjaga kesucian diri dari perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan semisalnya. Salah satu contohnya, adalah sebagaimana terdapat di dalam hadits tentang kisah tiga orang yang terkurung di dalam sebuah gua.
Kisah ini dimuat di dalam kitab ash- Shahihain (Shahih al- Bukhari dan Shahih Muslim -penj.), intinya bahwa mereka terpaksa harus mampir dan menginap di sebuah gua karena diguyur hujan. Ketika mereka masuk ke dalamnya, tiba- tiba sebuah batu besar menggelinding dari atas bukit sehingga mengurung mereka di dalam gua tersebut.
Mereka berusaha keluar namun tidak mampu sehingga masing-masing mereka saling mengungkapkan bahwa tidak ada yang dapat menyelamatkan mereka dari kurungan batu besar itu kecuali dengan memohon kepada Allah melalui amal-amal shalih yang pernah mereka perbuat. Mereka pun menghadap kepada Allah dan memohon kepadaNya dengan sebagian amal- amal mereka yang baik.
Orang pertama dari mereka berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki kedua orang tua yang sudah tua renta dan aku tidak pernah menuangkan air susu sapi sebelum keduanya, baik untuk isteri maupun untuk anak- anakku. -
Pada suatu hari, aku mencari pohon sehingga membuatku berada jauh, maka tatkala aku mendatangi keduanya untuk menuangkan air susu buat mereka, aku mendapatkan mereka berdua sedang tidur pulas namun aku tidak berani membangunkan keduanya dan juga aku tidak suka menuangkan untuk isteri dan anak-anakku sebelum keduanya.
Akhimya, aku terus dalam kondisi demikian hingga fajarpun menyingsing, lalu keduanya bangun dan meminum air susu tersebut Ya Allah, Engkau Mahatahu bahwa sesimgguhnya jika aku lakukan ini semata mengharap wajahMu, maka keluarkanlah kami dari kondisi yang kami alami ini," lalu terbukalah (merengganglah) batu besar tersebut sedikit namun mereka masih belum bisa keluar.
Lalu orang kedua bertawassul melalui kesucian dirinya dari melakukan perbuatan zina terhadap anak perempuan pamannya yang amat dia cintai. Dia menginginkan berbuat zina dengannya namun dia menolaknya. Kemudian dia (anak perempuan pamannya) dililit suatu kebutuhan yang mendesak sehingga datang menghadapnya untuk memohon bantuan namun dia menolak kecuali bila anak perempuan pamannya ini mau membiarkannya berbuat sekehendak hatinya terhadap dirinya.
Wanita ini pun terpaksa setuju karena dipaksa oleh kondisi, maka diapun kemudian memberinya uang sejumlah 120 dinar. Tatkala dia sudah berada di antara kedua kakinya (untuk berbuat mesum terhadapnya -penj.), perempuan ini kontan berkata, "Wahai Abdullah, takutlah kamu kepada Allah dan janganlah kamu melepaskan cincin kecuali dengan haknya (maksud- nya melakukan hubungan seperti itu haruslah secara sah menurut agama -penj.). -
"Ketika itu, timbul rasa takutnya kepada Allah, lalu berdiri dan meninggalkan emas untuknya karena rasa takutnya kepada Allah Orang ini mengungkapkan tentang perbuatannya itu sembari berkata, "Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui, sesungguhnya jika aku melakukan ini semata karena mengharap wajahMu, maka keluarkanlah kami dari kondisi yang kami alami ini, "lalu terbukalah (merengganglah) batu besar tersebut sedikit lagi namun mereka masih belum bisa keluar.
Kemudian orang ketiga berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki banyak buruh yang aku upah namun aku telah memberikan upah kepada masing-masing mereka kecuali satu orang yang meninggalkan upahnya begitu saja. Upahnya ini kemudian aku investasikan untuk kepentingannya hingga berkembang menjadi beberapa onta, sapi, kambing dan budak. Lalu suatu ketika dia datang menuntut upahnya, maka aku katakan kepadanya, 'Semua ini (yakni onta, sapi, kambing dan budak) adalah upahmu!. -
Dia malah mengatakan, 'Wahai Abdullah, takutlah kamu kepada Allah dan janganlah memperolok-olokku!. Aku menjawab, 'Sungguh, aku tidak memperolok-olokmu, sesungguhnya ini semua adalah hartamu!" Dia pun membawa pergi semuanya. Ya Allah, Engkau Mahatahu bahwa jika sesungguhnya apa yang kuperbuat itu semata-mata mengharap wajahMu, keluarkanlah kami dari kondisi yang kami alami ini." Lalu terbukalah (merengganglah) batu besar tersebut sehingga mereka bisa keluar mereka pun keluar semua dan meneruskan perjalanan.
(Shahih al- Bukhari, hadits- hadits tentang para Nabi, no. 3465; Shahih Muslim, kitab adz- Dzikr wa ad- Du'a, no. 2743.)
Kisah ini menunjukkan bahwa bertawassul melalui amal-amal shalih dan baik adalah sesuatu vang disyariatkan dan Allah aza wajalla pasti akan memberikan jalan keluar dari semua musibah yang menimpa sebagaimana yang terjadi terhadap ketiga orang tersebut. Sedangkan bertawassul melalui jah (kehormatan) si fulan, haq si fulan atau dzat (pribadi) si fulan; semua ini tidak disyariatkan bahkan termasuk perbuatan bid'ah sebagaimana yang telah disinggung di atas. Wallahu Waliyy at- Taufiq.
[ Majalah al- Buhuts, vol. I4O, hal. 155-158, Fatwa dari Syaikh Ibnu Baz. ]
Via HijrahApp
Hukum Orang yang Mengatakan Kepada Saudaranya Sesama Muslim, wahai Si Kafir
HUKUM ORANG YANG MENGATAKAN KEPADA SAUDARANYA SESAMA MUSLIM, 'WAHAI SI KAFIR'
Pertanyaan:
Saya telah bertengkar dengan salah seorang teman saya mengenai suatu masalah dalam kondisi emosi, lalu saya sempat berkata kepadanya, "Menjauhlah engkau, wahai si kafir!" Hal ini saya katakan dengan alasan dia tidak pernah shalat kecuali pada momen- momen tertentu seperti menghadiri perjamuan keluarga dan yang lain. Bagaimana hukumnya berkaitan dengan hal tersebut? Apakah benar bahwa dia demikian? (telah menjadi kafir-penj).
Jawaban:
Telah terdapat hadits yang shahib dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau telah bersabda: "Sesungguhnya (penghalang) antara seseorang dengan syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (Shahih Muslim, kitab al-Iman, no. 82.)
Imam Ahmad dan para pengarang kitab-kitab as-Sunan telah mengeluarkan dengan sanad yang baik dari Buraidah bin al- Hashib radiyallahu anhu dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam hadits yang menyatakan bahwasanya beliau pemah bersabda,
"Batas yang memisahkan antara kami dan mereka adalah shalat; barangsiapa yang meninggalkannya, maka dia telah kafir." ( Musnad Ahmad, Juz V, hal. 346; Sunan at-TIrmldzl, kitab ai-Iman, no. 2621; Sunan an-Nasa'i, kitab ash- Shalah, Jilid I, hal. 232; Sunan Ibnu Majah, Kitab Iqamah ash-Shaiah, no. 1079.)
Hadits- hadits yang menunjukkan makna seperti ini banyak sekali akan tetapi seharusnya anda tidak serta merta melontarkan lafazh tersebut pada masalah sensitif seperti ini. Anda nasehati dia dulu, lalu beritahukan kepadanya bahwa meninggalkan shalat itu adalah kafir hukumnya dan sesat.
Katakan, bahwa kewajibannya adalah bertaubat kepada Allah subhanahu wata'ala. Semoga saja dia dapat mengambil sisi positif dari anda dan menerima nasehat itu. Kita memohon kepada Allah untuk kita semua agar diberikan taufiq dan taubat nashuha dari semua dosa.
[ Kitab "ad- Dakwah" dari Syaikh Ibnu Baz. ]
Via HijrahApp
Kaum Muslimin Wajib Menghentikan Penyusupan Para Musuh Di Negeri-negeri Islam
KAUM MUSLIMIN WAJIB MENGHENTIKAN PENYUSUPAN PARA MUSUH DI NEGERI-NEGERI ISLAM
Pertanyaan:
Para musuh Islam sangat antusias untuk menyusup ke negeri- negeri Islam dengan berbagai cara, dalam pandangan anda, apa kiranya upaya yang harus dilakukan untuk menghadapi arus seperti ini yang mengancam masyarakat Islam?
Jawaban:
Hal ini tidaklah aneh bila dilakukan oleh para misionaris Nasrani maupun Yahudi atau aliran dan sekte- sekte yang merusak selain mereka, karena Allah aza wajalla telah memberitakan kepada kita tentang hal itu dalam firmanNya,
"Orang- orang yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." (Al-Baqarah: 120).'
Dan firmanNya,
"Mereka tidak henti- hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran)." (Al- Baqarah: 217).
Oleh karena itu, mereka berusaha sekuat tenaga untuk menyusup ke negeri- negeri Islam. Dalam hal ini, mereka memiliki berbagai cara, di antaranya: menimbulkan keraguan dan meng- goyahkan pemikiran. Mereka melakukan hal itu tanpa bosan dan jenuh, mereka digerakkan oleh gereja, menebarkan kedengkian dan kebencian melalui pengarahan, dorongan dan usaha keras.
Upaya- upaya yang haras dilakukan adalah bergeraknya para pemimpin dan ulama guna memberikan pencerahan dan pengarahan kepada generasi muda kaum Muslimin untuk melawan upaya musuh- musuh Islam tersebut. Umat Islam adalah umat yang telah mengemban amanat dien ini dan penyampaiannya. Bila kita memiliki antusiasme yang tinggi ketika berada di tengah masyarakat Islam untuk mempersenjatai para pemuda dan pemudi Islam dengan ilmu, ma'rifah, memahami dien dan membiasakan mereka semenjak kecil untuk menerapkan hal itu, -
maka kita tidak akan khawatir atas izin Allah terhadap sesuatu pun dari upaya mereka, selama tetap berpegang teguh kepada Dienidloh, mengagungkannya, mengikuti syariat- syariatnya serta memerangi hal yang menyelisihinya. Bahkan, sebaliknya para musuh akan segan terhadap mereka karena Allah subhanahu wata'ala berfirman,
"Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan." (Ali 'Imran: 120).
Dan ayat- ayat yang semakna dengan ini banyak sekali. Maka, faktor paling penting di dalam menghadapi arus seperti ini adalah dengan menyiapkan generasi yang mengenal hakikat Islam. Dan hal ini akan terlaksana tentunya melalui pengarahan dan bimbingan di rumah dan keluarga, metode- metode pendidikan dan sarana penerangan dan pembangunan masyarakat.
Ditambah lagi dengan peran dari para pemimpin Islam di dalam memberikan pengayoman dan arahan, keinginan untuk melakukan amal yang bermanfaat serta selalu mengingatkan manusia akan hal yang bermanfaat bagi mereka dan menanamkan akidah ke dalam jiwa mereka. Dalam hal ini, Allah berfirman,
"Ingatlah, dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang." (Ar-Ra'd: 28).
Tidak dapat disangkal lagi, bahwa kealpaan merupakan salah satu sebab menyusupnya musuh-musuh Islam ke negeri-negeri Islam melalui kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang menjauhkan kaum Muslimin dari dien mereka, sedikit demi sedikit, untuk kemudian kejahatan menjadi marak di tengahkehidupan mereka dan mereka terpengaruh oleh pemikiran- pemikiran musuh- musuh mereka, padahal Allah memerintahkan agar segolongan kaum Mukmin bersabar, mengajak sabar dan bermujahadah di jalanNya dengan semua sarana dalam firmanNya,
"Hai orang- orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung." (Ali 'Imran: 200).
Dan firmanNya,
“Dan orang- orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan- jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar- benar beserta orang- orang yang berbuat baik." (Al-Ankabut: 69).
Saya bermohon kepada Allah melalui Asma' HusnaNya dan ShifatNya yang Maha tinggi agar memperbaiki kondisi kaum Muslimin, memahamkan mereka di dalam dien ini dan menyatukan para pemimpin mereka untuk berjalan di atas al- haq serta semoga Dia memperbaiki kepemimpinan bagi mereka, sesungguhnya Dia Maha kaya lagi Mulia. Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa 'ala Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam Tasliman Katsira.
[ Kumpulan Fatwa dan Beraqam Artikel dari Syaikh Bin Baz, Juz V, hal. 204-206. ]
Via HijrahApp
Keyakinan Bahwa Rasul shalallahu alaihi wasallam Berada di Setiap Tempat (Dimana- mana)
KEYAKINAN BAHWA RASUL SHALALLAHU 'ALAIHI WASALLAM BERADA DI SETIAP TEMPAT (DIMANA- MANA)
Pertanyaan:
Apakah Rasul shalallahu 'alaihi wasallam berada di setiap tempat (di mana-mana)? Dan apakah beliau juga mengetahui hal yang ghaib?
Jawaban:
Secara aksiomatis telah diketahui dari dien ini dan berdasarkan dalil- dalil syar'i bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tidak mungkin berada di setiap tempat (dimana-mana). Yang ada hanyalah jasadnya saja di kuburannya di Madinah Munawwarah, sedangkan ruhnya berada di ar- Rafiq al-A'la di surga.
Hal ini didukung oleh hadits yang valid yang berasal dari ucapan beliau ketika akan wafat, "Ya Allah! Di ar- Rafiq al- A'la". (Shahih al-B ukhari, kitab al- Maghazy, no. 4437; Shahih Muslim, kitab Fadhail ash- Shahabah, no. 87 dan 2444.) Beliau mengucapkannya tiga kali, lalu beliau menghembus- kan nafas terakhir. Ulama Islam, mulai dari para sahabat dan generasi setelah mereka telah berijma' bahwa beliau shalallahu 'alaihi wasallam telah dikuburkan di rumah isteri beliau, Aisyah radiyallahu anha yang bersebelahan dengan masjid beliau yang mulia.
Jasad beliau hingga saat ini masih di sana, sedangkan roh beliau, para nabi dan rasul yang lain serta arwah kaum Mukminin semuanya berada di surga namun dari sisi kenikmatan dan derajatnya bertingkat- tingkat sesuai dengan kekhususan yang diberikan oleh Allah kepada mereka semua dari sisi ilmu, iman dan kesabaran dalam memikul rintangan di jalan dakwah kepada al- haq. Sementara masalah ghaib, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah semata.
Rasul shalallahu 'alaihi wasallam dan makhluk lainnya hanya mengetahui masalah ghaib yang diberitakan oleh Allah kepada mereka sebagaimana yang tersebut di dalam al- Qur'an dan as- Sunnah berupa penjelasan hal- hal yang terkait dengan surga, neraka, kondisi pada hari Kiamat kelak dan lain sebagainya.
Demikian pula, dengan apa yang ditunjukkan oleh al- Qur'an dan hadits- hadits shahih seperti kabar tentang Dajjal, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, keluamya binatang melata yang sangat besar, turunnya 'Isa al-Masih pada akhir zaman dan semisal itu. Hal ini berdasarkan firman- firman Allah:
"Katakanlah, "Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan." (An- Naml: 65).
"Katakanlah, "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib." (Al-An'am: 50).
Katakanlah, 'Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak- banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang- orang yang beriman' (Al- A'raf: 188).
Ayat-ayat yang semakna dengan itu banyak sekali. Sedangkan dari hadits adalah sebagaimana hadits- hadits shahih yang bersumber dari beliau yang mengindikasikan bahwa beliau tidak mengetahui hal yang ghaib, di antaranya hadits (Shahih al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 50; Shahih Muslim, kitab ai-Iman, no. 9 dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah.) seputar jawaban beliau terhadap pertanyaan Jibril ketika bertanya kepadanya,
"Kapan Hari Kiamat tiba?” Beliau menjawab, "Tidaklah yang ditanya tentangnya lebih mengetahui dari yang bertanya." Kemudian beliau bersabda mengenai: "lima hal yang tidak ada satu pun yang mengetahuinya selain Allah." Kemudian beliau membacakan ayat (artinya), "Sesungguhnya Allah, hanya pada sisiNya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan (Luqman: 34).
Di antaranya lagi, ketika para penyebar berita bohong menyebarkan isu tentang Aisyah bahwa dia telah berbuat mesum, beliau shalallahu 'alaihi wasallam belum mengetahui terbebasnya Aisyah dari tuduhan tersebut kecuali setelah turun wahyu sebagaimana hal ini diungkapkan di dalam surat an- Nur. Kasus lainnya, ketika pada suatu peperangan Aisyah kehilangan kalungnya, beliau sama sekali tidak mengetahui tempat jatuhnya di mana.
Beliau malah mengutus beberapa orang untuk mencarinya namun mereka tidak kunjung menemukannya, baru ketika keledai kendaraan Aisyah akan berangkat, mereka menemukan kalung tersebut di bawahnya. Ini hanya sebagian kecil dari sekian banyak hadits yang semakna dengannya yang berbicara tentang hal itu.
Adapun klaim sebagian kaum sufi bahwa beliau shalallahu 'alaihi wasalla mengentahui hal yang ghaib dan beliau hadir di tengah mereka pada momen momen peringatan maulid (hari lahir) beliau dan lainnya; maka ini semua adalah klaim yang batil dan tidak berdasar sama sekali. Yang menyebabkan mereka melakukan semua itu hanyalah kebodohan mereka tentang al-Qur'an dan as- Sunnah serta manhaj as-Salaf ash- shalih.
Kita memohon kepada Allah bagi kita dan semua kaum Muslimin agar terhindar dari apa yang telah diujiNya kepada mereka (ahli tasawwuf tersebut -penj.). dari hal itu, demikian pula, kita memohon kepadaNya agar memberikan hidayahNya kepada kita dan mereka semua untuk menempuh jalanNya yang lurus, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Berkenan.
[ Majalah al- Mujahid, 66, tabun ke-3, Volume 33 dan 36, bulan Muharram dan Shafar 1612 H. dari Fatwa Syaikh Ibnu Baz. ]
Via HijrahApp
Sikap berlebih-lebihan terhadap Nabi
SIKAP BERLEBIH-LEBIHAN TERHADAP NABI
Pertanyaan:
Saya pernah membaca suatu hadits, yaitu, "Barangsiapa yang namanya Muhammad, maka janganlah kamu memukulinya dan mengumpatnya." Seberapa jauh keshahihannya?
Jawaban:
Hadits ini hanyalah berita bohong dan palsu terhadap Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, ucapan seperti itu tidak ada landasannya di dalam as- Sunnah yang suci. Demikian pula, ucapan orang yang menyatakan bahwa barangsiapa yang dinamai dengan Muhammad, maka dirinva akan mendapatkan jaminan dari Muhammad dan hampir akan memasukkanriya ke surga. Atau ucapan orang yang menyatakan bahwa barangsiapa yang namanya Muhammad, maka rumahnya kelak menjadi begini dan begitu baginya.
Semua berita- berita seperti ini tidak ada kebenarannya sama sekali. Tolok ukumya adalah mengikuti Muhammad, bukan dengan namanya shalallahu 'alaihi wasallam. Betapa banyak orang bernama Muhammad padahal sifatnya amat busuk karena dia tidak mengikuti Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan tidak pula tunduk terhadap syariatnya. Jadi, nama-nama tersebut tidak akan menyucikan diri manusia. Yang menyucikan mereka hanyalah perbuatan shalih dan ketakwaan mereka kepada Allah aza wajalla.
Siapa saja yang bemama Ahmad, Muhammad atau Abu al- Qasim sementara dia kafir atau fasiq, maka tidak akan ada gunanya bagi dirinya. Tapi seharusnya, seorang hamba harus bertakwa kepada Allah, melakukan ketaatan terhadapNya serta komitmen terhadap syariat Allah Yang telah mengutus NabiNya, Muhammad. Inilah yang berguna baginya dan merupakan jalan keselamatan. Sedangkan hanya memiliki nama-nama tersebut tanpa mengamalkan syariat, hal itu tidak ada kaitannya dengan keselamatan atau siksaan.
Sungguh keliru apa yang diucapkan oleh al- Bushiry di dalam Burdahnya (kumpulan syair- syair pujian kepada Nabi secara berlebih- lebihan -penj.) tatkala bertutur,
"Sesungguhnya aku mendapatkan jaminannya (memasukkan ke surga) karena namaku, Muhammad, dialah makhluk yang paling menepati janji- janjinya"
Dan sangat keliru lagi ucapannya yang berbunyi
[ Wahai makhluk yang paling mulia (Muhammad), tidaklah ada bagiku tempat berlindung, selain dirimu manakala terjadi malapetaka nan merata, jika engkau tidak menolongku di hari kiamat kelak, berkat keutamaanmu, bila tidak, katakan saja, wahai si kaki tergelincir, Karenn sesungguhnya di antara kemurahanmu, (memberikan) dunin dan seisinya, Dan di antara ilmumu, iltnu tentang 'lauhul mahfuzh' dan 'al-qalam' (Pena/ catatan amal). ]
Orang yang perlu dikasihani ini telah menjadikan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, tempat berlindungnya di akhirat, bukan Allah Dia telah menyebutkan bahwa dirinya akan binasa bila beliau shalallahu 'alaihi wasallam tidak menolongnya sementara dia lupa bahwa hanya Allah- lah yang berhak menimpakan kemudharatan, memberikan manfaat, menganugerahkan dan mencegah. Dialah yang menyelamatkan para waliNya dan orang- orang yang berbuat taat kepadaNya.
Si penyair ini, juga telah menjadikan Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam sebagai pemilik dunia dan akhirat dengan menyatakan bahwa hal itu adalah sebagian dari kemurahannya, menjadikan beliau sebagai orang yang mengetahui hal yang ghaib dengan menyatakan bahwa di antara ilmu yang dimilikinya adalah ilmu tentang 'Lauhul Mahfuzh' dan 'al-Qalam'. Perkataan ini jelas- jelas kekufuran dan merupakan bentuk ghuluw tertinggi, kita memohon kepada Allah agar selamat dan lepas dari ucapan seperti ini.
Jika orang ini meninggal dunia dalam kondisi demikian (dan nisbat ucapan ini benar berasal darinya -penj.) sementara dia belum bertaubat, maka dia telah meninggal dunia di atas seburuk- buruk kekufuran dan kesesatan. Karenanya, adalah wajib bagi setiap Muslim untuk berhati- hati dari ghuluw semacam ini dan tidak tergiur oleh burdah dan pengarangnya. Allahlah tempat meminta pertolongan dan tiada daya serta upaya melainkan kepada Allah.
[ Kumpulan Fatwa dan Beragam Artikel dari Syaikh bin Baz, Jilid VI, hat. 370-371. ]
Via HijrahApp
Tawasul kepada Nabi yang disyariatkan dan yang tidak disyariatkan
TAWASSUL KEPADA NABI YANG DISYARIATKAN DAN YANG TIDAK DISYARIATKAN
Pertanyaan:
Apa hukum tawassul kepada penghulu para Nabi (Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam); adakah dalil-dalil yaug mengharamkannva?
Jawaban:
Mengenai hukum tawassul kepada Nabi shalallahu 'alaihi wasallam (menjadikan beliau sebagai perantara -penj.) harus dirinci dulu; Bila hal itu dilakukan dengan cara mengikuti beliau, mencintai, taat terhadap perintah dan meninggalkan larangan-larangan beliau serta ikhlas semata karena Allah di dalam beribadah, -
maka inilah yang disyariatkan oleh Islam dan merupakan dien Allah yang dengannya para Nabi diutus, yang merupakan kewajiban bagi setiap mukollaf (orang yang dibebani dengan syariat-penj.) serta merupakan sarana dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sedangkan bertawassul dengan cara meminta kepada beliau, beristighatsah kepadanya, memohon pertolongan kepadanya imtuk mengatasi musuh- musuh dan memohon kesembuhan kepadanya, maka ini adalah syirik yang paling besar. Ini adalah dien Abu Jahal dan konco- konconya semisal kaum paganis (penyembah berhala). Demikian pula, bila dilakukan kepada selain beliau seperti kepada para Nabi, wali, jin, malaikat, pepohonan, bebatuan ataupun berhala- berhala.
Di samping itu, ada jenis lain dari tawassul yang dilakukan banyak orang, yaitu tawassul melalui jah (kedudukan) beliau, hak atau sosok beliau, seperti ucapan seseorang, "Aku memohon kepadaMu, Ya Allah, melalui NabiMu, atau melalui jah NabiMu, hak NabiMu, atau jah para Nabi, atau hak para Nabi, atau jah para wali dan orang- orang shaikh", dan semisalnya, maka ini semua adalah perbuatan bid'ah dan merupakan salah satu dari sarana kesyirikan.
Tidak boleh melakukan hal ini terhadap beliau ataupun terhadap selain beliau karena Allah subhanahu wata'ala tidak pemah mensyariatkan hal itu sementara masalah ibadah bersifat tawqifiyyah (bersumber kepada dalil -penj.) sehingga tidak boleh melakukan salah satu dari nya kecuali bila terdapat dalil yang melegitimasinya dari syariat yang suci ini.
Sedangkan tawassul yang telah dilakukan oleh seorang sahabat yang buta kepada beliau semasa hidupnya, maka yang sebenarnya ini diakukannva adalah bertawassul kepada beliau agar berdoa untuknya dan memohon syafaat kepada Allah sehingga penglihatannya normal kembali. Jadi, bukan tawassul dengan (melalui) sosok, jah (kedudukan) atau hak beliau. Hal ini secara gamblang dapat diketahui melalui jalur cerita dari hadits[1] (tentang itu, ) dan melalui penjelasan yang diberikan oleh para ulama as- Sunnah ketika menjelaskan hadits tersebut.
Syaikhul Islam, Abu al- Abbas, Ibnu Taimiyah rahimakumullah telah memaparkan secara panjang lebar mengenai hal itu di dalam kitab- kitabnya yang demikian banyak dan bermanfaat, di antaranya kitab yang berjudul: "al- Qa'idah al-Jalilah Fi at- Tawassul wa al- Wasilah". Ini adalah kitab yang amat bermanfaat dan pantas untuk dirujuk dan dipelajari.
Hukum bertawassul seperti ini boleh, bila kepada orang- orang yang masih hidup selain beliau, seperti ucapan anda kepada saudara anda, bapak anda atau orang yang anda anggap baik, "Berdoalah kepada Allah untukku agar menyembuhkan penyakitku!", atau "agar memulihkan penglihatanku', "menganugerahiku keturunan", dan semisalnya. Kebolehan akan hal ini adalah berdasarkan ijma1 (kesepakatan) para ulama. Wallahu waliyy at- Taufiq.
[ Kumpulan Fatwa dan Berbagai Artikel dari Syaikh ibnu Baz, Juz V, hal. 322-333. ]
[1](HR. Ahmad, Juz VIII, hal. 138; at- Tirmidzi, kitab ad-Ddawat, no. 3578; an-Nasa’i, kitab 'Amalal-Yaum Wa al- Lailah, hal. 204 serta Ibnu Majah, kitab Iqamah ash-Shalah, no. 1358).
Via HijrahApp
Ucapan sesungguhnya Allah berada disetiap tempat (dimana-mana}
UCAPAN, SESUNGGUHNYA ALLAH BERADA DI SETIAP TEMPAT (DI MANA- MANA)
Pertanyaan:
Saya teringat sebuah kisah di salah satu stasiun radio saat salah seorang anak bertanya kepada ayahnya tentang Allah, lalu sang ayah menjawab bahwa Allah berada di setiap tempat (di mana- mana). Pertanyaan yang ingin saya ajukan, "Bagaimana hukum syariat terhadap jawaban yang seperti ini?"
Jawaban:
Itu adalah jawaban yang batil dan termasuk ucapan ahli bid'ah seperti Jahmiyyah, Mu'tazilah dan orang yang sejalan dengan madz- hab mereka. Jawaban yang tepat dan sesuai dengan manhaj Ahlusunnah wal Jamaah adalah bahwa Allah subhanahu wata'ala berada di langit, di Arsy, di atas seluruh makhlukNya dan ilmuNya meliputi semua tempat sebagaimana yang didukung oleh ayat- ayat al-Qur'an, hadits-hadits Nabi dan ijma' ulama Salaf. Di dalam al-Qur'an, Allah berfirman,
"sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arsy " (Al- A'raf: 54).
Hal ini ditegaskan oleh Allah dengan mengulang- ulangnya dalam enam ayat yang lain di dalam kitabNya. Makna istiwa' menurut Ahlussunnah adalah tinggi dan naik di atas Arasy sesuai dengan keagungan Allah subhanahu wata'ala, tidak ada yang mengetahui caranya selainNya. Hal ini sebagaimana ucapan Imam Malik rahimahullah ketika ditanya tentang hal itu,
"(Yang namanya) Istiwa’ itu sudah dimaklumi sedangkan caranya tidak diketahui, beriman dengannya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah." Yang dimaksud oleh beliau adalah bertanya tentang bagaimana caranya. Ucapan semakna berasal pula dari syaikh beliau, Rabiah bin Abdurrahman. Demikian juga sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummu Salamah radiyallahu anha. Ucapan semacam ini adalah pendapat seluruh Ahlussunnah; para sahabat dan para tokoh ulama Islam setelah mereka.
Allah telah menginformasikan dalam ayat-ayat yang lain bahwa Dia berada di langit dan di ketinggian, seperti dalam firman- firmanNya,
"Maka putusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Maha tinggi lagi Maha besar." (Ghafir: 12).
"KepadaNyalah naik perkataan- perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkanNya.' ( Fathir: 10).
"Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha tinggi lagi Mahabesar." (Al- Baqarah: 255).
"Apakah kamu merasa terhadap Allah yang di langit bahwa Dia menjungkir bahkkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba- tiba bumi itu bergoncang, atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu aknn mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatanKu." (Al-Mulk: 16-17).
Allah telah menjelaskan secara gamblang dalam banyak ayat di dalam kitabNya yang mulia bahwa Dia berada di langit, di ketinggian dan hal ini selaras dengan indikasi ayat- ayat seputar 'istiwa".
Dengan demikian, diketahui bahwa perkataan ahli bid'ah bahwa Allah subhanahu wata'ala berada di setiap tempat (di mana-mana) tidak lain adalah sebatil- batil perkataan. Ini pada hakikatnya adalah madzhab 'al-Huhd' (semacam reinkamasi -penj.) yang diada-adakan dan sesat bahkan merupakan kekufuran dan pendustaan terhadap Allah aza wajalla serta pendustaan terhadap RasulNya shalallahu 'alaihi wasallam di mana secara shahih bersumber dari beliau menyatakan bahwa Rabbnya berada di langit, seperti sabda beliau,
"Tidakkah kalian percaya kepadaku padahal aku ini adalah amin (orang kepercayaan) Dzat Yang berada di langit?" (Shahih al- Bukhari, kitab al- Maghazi, no. 4351; Shahih Muslim, kitab az- Zakah, no. 144, 1064. )
Demikian pula yang terdapat di dalam hadits-hadits tentang Isra' dan Mi'raj serta selainnya.
[ Majalah ad- Dakwah, vol. 1288, Fatwa Syaikh lbnu Baz. ]
Via HijrahApp
Berhukum kepada hukum selain Allah
BERHUKUM KEPADA HUKUM SELAIN ALLAH
Pertanyaan:
Apakah para penguasa yang berhukum kepada hukum selain Allah dianggap sebagai kafir? Bila kita mengatakan, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang Islam, bagaimana pula kita mengomentari firman Allah subhanahu wata'ala, "Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang- orang yang kafir." (Al-Maidah: 44)?
Jawaban:
Vonis terhadap para penguasa yang tidak berhukum kepada hukum Allah ada beberapa macam dan berbeda- beda sesuai dengan keyakinan dan pebuatan- perbuatan mereka; Siapa saja yang berhukum kepada selain hukum Allah dan berpendapat bahwa hal itu lebih baik dari syariat Allah, maka dia kafir menurut pandangan seluruh kaum Muslimin, -
demikian pula (hukum) terhadap orang yang berhukum kepada undang- undang buatan manusia sebagai pengganti syariat Allah dan berpendapat bahwa hal itu adalah boleh. Andaikata dia berkata, "Sesungguhnya berhukum kepada syariat adalah lebih afdhal (ulama)", maka dia juga telah kafir karena telah menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah.
Sedangkan orang yang berhukum kepada selain hukum Allah karena mengikuti hawa nafsu, disuap, adanya permusuhan antara dirinya dan orang yang dihukum atau karena sebab- sebab lainnya sedangkan dia mengetahui bahwa dengan begitu, dia telah berbuat maksiat kepada Allah dan sebenarnya adalah wajib baginya berhukum kepada syariat Allah, -
maka dia dianggap sebagai orang yang berbuat maksiat dan dosa- dosa besar serta telah melakukan kekufuran yang kecil, kezhaliman yang kecil dan kefasikan yang kecil sebagaimana makna yang ditafsirkan oleh hadits dari Ibnu Abbas radiyallahu anhu, Thawus serta beberapa golongan as- Salaf ash-Shalih dan pendapat yang dikenal di kalangan para ulama. Wallahu waliy at- Taufiq.
[ Fatwa Syaikh Ibnu Baz, Majatlah ad- Da'wah, Vol. 963, th. 1405 H. ]
Via HijrahApp