• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Rabu, 30 Juli 2025

Bab Akidah

Bagikan

APAKAH BENAR ORANG-ORANG BARAT TIDAK MEMBENCI ISLAM.

Pertanyaan:
Syaikh yang mulia, apa pendapat anda mengenai orang yang meyakini bahwa orang-orang Barat tidak membenci Islam dan para pemeluknya, tetapi mereka hanya berjalan sesuai kepentingan- kepentingan mereka; bila selaras dengan kepentingan kita, mereka bersama kita dan bila berbenturan kepentingan, mereka memerangi kita?

Jawaban:
Menurut pendapat saya bahwa pandangan seperti ini salah, buktinya orang-orang Barat tersebut ikut membantu para misionaris yang keluar menuju negeri-negeri Islam untuk menyiarkan misi agama Nasrani. Andaikata tidak membenci Islam, niscaya mereka tidak akan membantu para misionaris tersebut di dalam menyiarkan dakwah mereka yang batil. Juga, tidak diragukan lagi bahwa banyak dari kalangan mereka, terutama para pemimpin mereka adalah orang- orang yang materialis.

Yakni, urusan agama tidak penting bagi mereka, yang mereka pentingkan hanyalah kepentingan- kepentingan mereka, Jadi, mereka hanya mengikuti kepentingan materialistis saja. Akan tetapi meskipun demikian, kami tidak melihat bahwa mereka itu menyenangi Islam bahkan mereka itu membencinya, buktinya mereka memfasilitasi para misionaris Nasrani untuk bergiat di bumi kaum Muslimin dan membantu mereka dalam hal tersebut.

[ Fatwa Syaikh lbnu Utsaimin yang ditanda tangani oleh beliau. ]

Via HijrahApp

BAGAIMANA MEMBERIKAN JAWABAN KEPADA PARA PENYEMBAH KUBURAN SEPUTAR KLAIM DIKUBURKANNYA NABI DI DALAM MASJID NABAWI?

Pertanyaan:
Bagaimana memberi jawaban kepada para penyembah kuburan yang berargumentasi dengan dikuburkannya Nabi shalallahu alaihi wasallam di dalam Masjid Nabawi?

Jawaban:
Jawabannya dari beberapa aspek:

a. Bahwa masjid tersebut tidak dibangun di atas kuburan akan tetapi ia sudah dibangun semasa Nabi Shalallahu alaihi wasallam masih hidup.

b. Bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasallam tidak dikuburkan di dalam Masjid sehingga bisa dikatakan bahwa 'ini adalah sama artinya dengan penguburan orang-orang shalih di dalam masjid' akan tetapi beliau Shalallahu alaihi wasallam dikubur- kan di rumahnya (yang berdampingan dengan masjid sebab sebagai- mana disebutkan di dalam hadits yang shahih bahwa para Nabi dikuburkan di tempat di mana mereka wafat-penj.).

c. Bahwa melokalisir rumah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam juga rumah Aisyah sehingga menyatu dengan masjid bukanlah berdasarkan kesepakatan para sahabat akan tetapi hal itu terjadi setelah mayoritas mereka sudah wafat, yaitu sekitar tahun 94 H. Jadi, ia bukanlah atas dasar pembolehan dari para sahabat semuanya, akan tetapi sebagian mereka ada yang menentang hal itu, di antara mereka yang menentang tersebut terdapat pula Said bin al-Musayyib dari kalangan Tabi'in.

d. Bahwa kuburan Nabi tersebut tidak terletak di dalam masjid bahkan telah dilokalisir, karena ia berada di dalam bilik tersendiri yang terpisah dari masjid. Jadi, masjid tersebut tidaklah dibangun di atasnya. Oleh Karena itu, di tempat ini dibuat penjagaan dan dipagari dengan tiga buah dinding. Dan, dinding ini diletakkan pada sisi yang melenceng dari arah kiblat alias berbentuk segitiga. Sudut ini berada di sisi utara sehingga seseorang yang melakukan shalat tidak dapat menghadap ke arahnya karena ia berada pada posisi melenceng (dari arah kiblat).

Dengan demikian, argumentasi para budak (penyembah) kuburan dengan syubhat tersebut sama sekali termentahkan.

[ Kumputan Fatwa dan Risalah Syaikh Ihnu Utsaimin, Juz II, hal. 232-233. ]

Via HijrahApp

BAGAIMANA HUKUM TERHADAP ORANG YANG BERHUKUM KEPADA SELAIN HUKUM ALLAH

Pertanyaan:
Bagaimana hukum terhadap orang yang berhukum kepada selain hukum Allah?

Jawaban:
Sesungguhnya berhukum kepada hukum Allah subhanahu wata’ala termasuk dalam kategori tauhid rububiyyah karena ia merupakan pelaksanaan terhadap hukum Allah subhanahu wata’ala yang merupakan inti kerububiyyahan -Nya, kesempurnaan kekuasaan, dan kewenangan (hak berbuat) -Nya. Karenanya, Allah subhanahu wata’ala menamai orang- orang yang perintahnya diikuti di dalam berhukum -kepada selain hukum Allah- sebagai “Arbab” (rab-rab) bagi orang yang mengikuti mereka sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لا إِلَهَ إِلا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ

”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rab-rab selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah sesembahan Yang Maha Esa; tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At Taubah: 31)

Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wata’ala menamai orang-orang yang perintahnya diikuti di dalam berhukum kepada selain hukum Allah sebagai ”Arbab” karena mereka dinobatkan sebagai para pembuat syariat di samping Allah subhanahu wata’ala. Allah juga menamai para pengikut mereka dengan ”Ibad” (para hamba) karena mereka tunduk dan mematuhi perintahnya (para panutan di dalam menentang hukum Allah subhanahu wata’ala. )

’Ady bin Hatim radhiyallahu ’anhu pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, ”Sesungguhnya mereka (para pengikut) tidak menyembah mereka (para pembuat syariat selain Allah subhanahu wata’ala).” Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

"Tidak demikian, sesungguhnya mereka (arbab itu) telah mengharamkan kepada mereka (pengikutnya) sesuatu yang halal, dan mengharamkan bagi mereka sesuatu yang halal lalu mereka mengikuti mereka, itulah bentuk ibadah mereka terhadap mereka (arbab itu)."

Bila anda telah memahami hal ini, maka perlu anda ketahui pula bahwa orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah subhanahu wata’ala dan ingin agar putusan hukum diserahkan kepada selain Allah subhanahu wata’ala dan rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam, terkait dengan hal ini ada beberapa ayat yang menafikan (meniadakan) iman orang tersebut dan memvonisnya dengan hukum kafir, zalim, dan fasik.

Adapun bagian pertama (yakni ayat-ayat yang menafikan imannya), adalah seperti firman Allah subhanahu wata’ala,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا . وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُودًا . فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا . أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا . وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا . فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

”Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”.

Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.

Sesungguhnya, jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisa’: 60-65)

Dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wata’ala menyebutkan beberapa sifat terhadap orang-orang yang mengklaim beriman padahal mereka itu adalah orang-orang munafik, di antaranya:

Pertama, bahwa mereka ingin menyerahkan putusan hukum kepada thaghut (segala sesuatu yang melampaui hukum-hukum Allah subhanahu wata’ala, -pen.); yakni setiap hal yang bertentangan dengan hukum Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya sebab apa saja yang bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah melampaui batas dan melawan hukum Allah subhanahu wata’ala, Pemilik Hukum dan kembalinya segala sesuatu kepada-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman,

ِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Rabb semesta alam.” (Al A’raf: 54).

Kedua, bahwa bila mereka diajak untuk berhukum kepada hukum Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, mereka menghalang-halangi dan berpaling.

Ketiga, bahwa bila mereka ditimpa oleh suatu musibah akibat ulah tangan mereka sendiri, di antaranya dipergokinya perbuatan mereka; mereka datang sembari bersumpah bahwa yang mereka inginkan hanyalah untuk maksud baik dan beradaptasi (dengan situasi dan kondisi) seperti halnya orang-orang dewasa ini yang menolak hukum-hukum Islam dan berhukum kepada undang-undang yang menyelisihinya dan menganggap bahwa hal itu adalah bentuk berbuat baik yang selaras dengan perkembangan zaman.

Lalu dalam ayat tersebut, Allah subhanahu wata’ala memperingatkan mereka yang mengklaim beriman tadi dan memiliki beberapa sifat tersebut di atas bahwa Dia Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka dan apa yang mereka simpan terkait dengan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang mereka ucapkan. Allah subhanahu wata’ala juga memerintahkan Nabi-Nya agar menasihat mereka dan berkata tentang diri mereka dengan perkataan yang tegas (menyentuh hati).

Kemudian Allah subhanahu wata’ala menjelaskan bahwa hikmah dari diutusnya seorang Rasul adalah agar dia yang ditaati dan diikuti, bukan manusia selainnya, meskipun –yang selainnya ini- otaknya prima dan wawasannya luas. Setelah itu, Allah subhanahu wata’ala bersumpah melalui kerububiyyahan-Nya untuk Rasul-Nya, di mana ini merupakan salah satu jenis rububiyyah-Nya yang paling khusus dan mengandung isyarat akan kebenaran risalah beliau. Allah bersumpah dengan hal itu sebagai penegasan bahwa iman seseorang tidak akan benar kecuali memenuhi tiga hal:

Pertama, menyerahkan putusan hukum dalam berbagai perselisihan kepada Rasul-Nya shallallahu ’alaihi wasallam.

Kedua, berlapang dada terhadap putusan beliau dan tidak boleh ada perasaan tidak puas dan sesak dalam dirinya.

Ketiga, adanya penyerahan diri secara total dengan cara menerima putusan hukum yang beliau berikan dan melaksanakannya tanpa ditunda-tunda atau menyembunyikannya.

Sedangkan bagian ke dua (yakni ayat-ayat yang memvonis kafir, zalim, dan fasik terhadap orang tersebut, -pen) adalah seperti firman Allah subhanahu wata’ala,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

”Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al Maidah: 44)

Juga firman-Nya,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

”Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al Maidah: 45)

Serta firman-Nya,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

”Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al Maidah: 47)

Dalam hal ini, apakah ketiga sifat tersebut dialamatkan kepada satu orang saja? Dalam artian, bahwa tiap orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah subhanahu wata’ala maka dia kafir, zalim, dan fasik? Sebab Allah subhanahu wata’ala memberikan sifat kepada orang-orang kafir sebagai orang-orang yang zalim dan fasik, sebagaimana firman-Nya,

وَالْكَافِرُونَ هُمُ الظَّالِمُونَ

”Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim.”(Al Baqarah: 254)

Dan firman-Nya,

وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Sesungguhnya mereka Telah kafir kepada Allah dan rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (At Taubah: 84)

Maka kemudian, apakah setiap orang yang kafir adalah juga zalim dan fasik? Ataukah sifat-sifat tersebut dialamatkan kepada dua orang berdasarkan alasan mereka enggan berhukum kepada hukum Allah? Pendapat terakhir inilah menurut saya, pendapat yang paling mendekati kebenaran. Wallahu a’lam.

Kami tegaskan, barangsiapa yang tidak berhukum kepada hukum Allah karena meremehkan, mengejeknya atau meyakini bahwa selainnya adalah lebih cocok dan bermanfaat bagi makhluk, maka dia telah kafir yang mengeluarkan dirinya dari agama ini.

Di kalangan orang-orang seperti ini, ada yang membuat undang-undang yang bertentangan dengan syariat Islam sebagai manhaj yang harus dijalani manusia. Tentunya, mereka tidak melakukan hal itu kecuali disertai keyakinan bahwa ia lebih cocok dan bermanfaat bagi makhluk, sebab termasuk hal yang patut diketahui secara akal dan fithrah bahwa manusia tidak akan berpaling dari suatu manhaj ke manhaj lain yang bertentangan, kecuali dia memang meyakini kelebihan manhaj yang lain tersebut dan kelemahan manhaj sebelumnya.

Orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah, sedangkan dia tidak meremehkan dan mengejeknya serta tidak meyakini bahwa selainnya lebih cocok dan bermanfaat bagi makhluk, hanya saja dia berhukum kepada selain hukum-Nya dalam rangka ingin mengerjai terpidana karena balas dendam pribadi terhadap atau alasan lainnya; maka dia adalah orang yang zalim bukan kafir. Sementara tingkatan kezaliman berbeda-beda tergantung kepada kondisi terpidana dan perangkat hukumnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah -berkenaan dengan orang yang menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai Rab selain Allah subhanahu wata’ala- menyatakan bahwa mereka ini terbagi kepada dua kategori:

Pertama, mereka mengetahui bahwa para penguasa telah mengganti agama Allah namun mereka tetap mengikuti dan meyakini kehalalan sesuatu yang sebenarnya telah diharamkan Allah subhanahu wata’ala dan keharaman sesuatu yang telah dihalalkan oleh-Nya karena mengikuti para pemimpin tersebut padahal mereka mengetahui betul bahwa hal itu menyalahi agama para Rasul. Ini hukumnya kafir yang Allah dan Rasul-Nya telah menjadikannya sebagai kesyirikan.

Kedua, keyakinan dan keimanan mereka terhadap kehalalan sesuatu yang sebenarnya haram dan keharaman sesuatu yang sebenarnya halal –demikian ungkapan asli yang dinukil dari Syaikhul Islam- Memang demikian adanya, namun mereka menaati mereka (para pemimpin mereka) di dalam hal maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, sama seperti tindakan seorang muslim ketika melakukan perbuatan maksiat bahwa ia hanya meyakininya sebagai perbuatan maksiat; maka mereka itu hukumnya seperti hukum para pelaku dosa semisal mereka.

[Kumpulan Fatwa Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 208-212. ]

Via HijrahApp

BERTAWASSUL KEPADA NABI

Pertanyaan:
Apakah hukum bertawassul kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam?

Jawaban:
Bertawassul kepada Nabi salallahu alaihi wasallam ada beberapa macam:

Pertama, Bertawassul dengan cara beriman kepadanya; maka ini adalah tawassul yang benar, seperti ucapan seseorang: "Ya Allah, sesungguhnya aku telah beriman kepada Engkau dan kepada NabiMu, maka ampunilah aku" Ucapan seperti ini tidak apa-apa hukumnya sebab hal ini sudah disebutkan oleh Allah di dalam al-Qur'an. firmanNya;

"Ya Rabb kami, sesunggulmya kami mendengar (seruan) yang me- nyeru kepadn iman, (yaitu): "Berimanlah karnu kepada Rabbmu"; maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dan kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (Ali 'Imran: 193).

Juga karena alasan bahwa beriman kepada Rasul shalallahu alaihi wasallam, merupakan wasilah (sarana) yang disyariatkan di dalam meminta ampunan dari segala dosa dan menebus semua kejahatan. Jadi, ini adalah tawassul dengan wasilah yang sudah pasti secara syariat.

Kedua, Bertawassul melalui doa beliau m, yakni beliau berdoa untuk orang yang minta didoakan; ini hukumnya boleh dan juga sah secara syar'i akan tetapi tidak mungkin dilakukan kecuali semasa hidup Rasulullah A- Dalam hal ini, terdapat hadits dari Umar A bahwa dia pernah mengatakan,

"Ya Allah, sesungguhnya kami dulu pernah bertawassul kepadaMu melalui Nabi kami, lantas Engkau berikan kami hujan, dan kami (sekarang) bertawassul kepadaMu melalui paman Nabi kami, maka berikanlah kami curah hujan." Beliau menyuruh al-Abbas berdiri lalu dia berdoa kepada Allah agar diberikan curahan hujan. Jadi, bertawassul dimasa hidup Nabi m melalui doa beliau adalah boleh dan tidak apa-apa.

Ketiga, Bertawassul melalui jah (kehormatan) Rasulullah baik semasa hidup beliau ataupun setelah wafatnya; ini semua adalah tawassul bid'ah yang tidak boleh hukumnya sebab jah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hanya bermanfaat bagi diri beliau sendiri.

Berdasarkan hal ini, maka tidak boleh seseorang mengucapkan, "Ya Allah, sesimgguhnya aku meminta kepadaMu melalui jah NabiMu agar mengampuniku" atau "menganugerahkan anu kepadaku", karena wasilah haruslah efektif sebagai wasilah, dan kata wasiylatun berasal dari kata alwaslu yang maknanya adalah sampai kepada sesuatu. Jadi, wasilah ini haruslah menyam- paikan kepada sesuatu dan bila tidak demikian, maka bertawassul dengannya tidak ada guna dan manfaatnya.

Berpijak pada hal ini, maka karni tegaskan bahwa bertawassul dengan Rasulullah terbagi lagi menjadi beberapa macam:

Pertama, Bertawassul dengan cara beriman kepada beliau dan mengikutinya; ini hukumnya boleh baik semasa hidup beliau ataupun sesudah wafat.

Kedua, Bertawassul melalui doa beliau, yakni seseorang meminta beliau berdoa untuknya; ini juga boleh tetapi semasa hidup beliau saja, tidak setelah beliau wafat karena setelah wafat beliau hal itu tidak dapat dilakukan.

Ketiga, Bertawassul melalui jah (kehormatan) dan kedudukan beliau di sisi Allah, ini tidak boleh hukumnya, baik semasa hidup beliau ataupun setelah wafat karena ia bukanlah jenis wasilah di mana ia tidak dapat menyampaikan seseorang kepada tujuannya sebab bukan bagian dari amalnya.

Bila ada yang berkata, "Aku datang kepada Rasulullah di sisi kuburnya dan aku telah memintanya agar memintakan ampun untukku atau memintakan syafaat bagiku di sisi Allah, apakah hal ini dibolehkan atau tidak? Kami katakan, "Tidak boleh. Bila dia mengatakan, 'Bukankah Allah aza wa jalla berfirman, "Sesungguhnya jikalau mereka -ketika menganiaya dirinya- datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa': 64).

Kami katakan pula, "Bcnar, Allah telah berfirman demikian akan tetapi di situ Dia berfirman dengan lafazh idz zholamuu (ketika menganiaya dirinya). Secara bahasa, status huruf Idz adalah sebagai Zharf yang fungsinya untuk menjelaskan hal-hal yang telah lalu bukan untuk hal-hal yang akan datang. Allah tidak berfirman, وَلَوْ اَنَّهُمْ إذَا ظَلَمُوْا (dengan menggunakan huruf إذا [idza]-penj.) akan tetapi berfirman إذْ ظَلَمُوْا .

Jadi, ayat ini berbicara tentang sesuatu yang telah terjadi semasa hidup Rasulullah sementara bagaimana Rasulullah memohonkan ampunan setelah wafatnya adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan lagi karena seorang hamba yang sudah meninggal dunia, amalnya akan terputus kecuali dari tiga hal sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, "Sedekah jariyah, ilmu yang bernmnfaat atau anak shalih yang mendoakannya (orang tuanya)."

Maka, tidak mungkin bagi seseorang imtuk memintakan ampunan bagi siapa pun setelah dia meninggal dunia bahkan untuk dirinya sendiri pun tidak bisa sebab amalannya telah terputus.

[ Kumpulan Fatwa Tentanq Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 211-219. ]

Via HijrahApp

DI ANTARA BUAH KEIMANAN KEPADA QADHA DAN QADAR

Pertanyaan:
Apakah mungkin, qadha dan qadar bisa membantu bertambah- nya iman seorang Muslim?

Jawaban:
Beriman kepada qadha dan qadar dapat membantu seorang Muslim di dalam melakukan urusan dien dan dunianya karena didasari keimanannya bahwa qudrah (Kekuasaan) Allah aza wajalla adalah di atas segala kekuasaan dan bahwa bila Allah menghendaki sesuatu, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi. Nah, bila seseorang beriman dengan hal ini, maka dia akan melakukan sebab- sebab (sarana-sarana) yang dapat membuat dirinya sampai kepada tujuannya.

Sebagai contoh, dari sejarah yang lalu, kita mengetahui bahwa kaum Muslimin telah mengalami banyak kemenangan besar padahal jumlah mereka sedikit dan persenjataan mereka amat sederhana. Itu semua bisa terjadi karena mereka beriman kepada janji Allah qadha dan qadarNya dan bahwa segala sesuatu adalah berada di tanganNya.

[ Kumpulan FatWa Syaikh Ibnu Utsaimin, Editor; Asyraf Abdul Maqshud, Juz I, hal. 54- ]

Via HijrahApp

HUKUM BERSUMPAH ATAS NAMA SELAIN ALLAH

Pertanyaan:
Apa hukum bersumpah atas nama selain Allah سبحانه و تعالى Padahal telah diriwayatkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda, "Sungguh, demi ayahnya! telah beruntunglah dia, jika dia benar (sungguh-sungguh)." (Muslim dalam kitab Al-Iman (9-11)).

Jawaban:
Bersumpah atas nama selain Allah سبحانه و تعالى, seperti mengatakan "Demi hidupmu", "Demi hidupku" "Demi Tuan Pimpinan" atau "Demi Rakyat", semua itu diharamkan bahkan termasuk syirik sebab jenis pengagungan seperti ini hanya boleh dilakukan terhadap Allah سبحانه و تعالى semata. Barangsiapa yang mengagungkan selain Allah dengan suatu pengagungan yang tidak layak diberikan selain kepada Allah, maka dia telah menjadi Musyrik.

Akan tetapi manakala si orang yang bersumpah ini tidak meyakini keagungan sesuatu yang dijadikan sumpahnya tersebut sebagaimana keagungan Allah, maka dia tidak melakukan syirik besar tetapi syirik kecil. Jadi, barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah, maka dia telah berbuat kesyirikan kecil. Dalam hal ini, Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
"Sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى melarang kalian bersumpah atas nama nenek moyang kalian; barangsiapa yang ingin bersumpah, maka bersumpahlah atas nama Allah atau lebih baik diam. " (Al-Bukhari secara ringkas dalam kitab Manaqib Al-Anshar (3836); Muslim di dalam kitab Al-Iman (III:1646)).

Beliau juga bersabda,
"Barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah maka dia telah berbuat kekufuran atau kesyirikan. " (Abu Daud dalam kitab Al-Iman (3251); At-Tirmidzi dalam kitab An-Nudzur (1535)).

Oleh karena itu, janganlah bersumpah atas nama selain Allah, siapa dan apapun sesuatu yang dijadikan sumpah tersebut sekalipun dia adalah Nabi صلی الله عليه وسلم, Jibril atau para Rasul lainnya, malaikat atau manusia. Demikian juga mereka yang di bawah kedudukan para Rasul. Jadi, janganlah bersumpah atas nama sesuatupun selain Allah سبحانه و تعالى. Sedangkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

 

أَفْلَحَ وَأَبِيْهِ إِنْ صَدَقَ

 

"Sungguh, demi ayahnya! telah beruntunglah dia, jika dia benar (sungguh-sungguh). "

Kata وَأَبِيْهِ (Demi Ayahnya) tersebut masih diperselisihkan oleh para Hafizh (Ulama yang banyak menghafal hadits). Di antara mereka ada yang mengingkari lafazh semacam itu dan menyatakan "Tidak shahih berasal dari Nabi صلی الله عليه وسلم." Berdasarkan statement ini, maka tema yang dipertanyakan tersebut tidak jadi masalah lagi sebab suatu Mu'aridh (lafazh yang bertentangan maknanya dengan lafazh yang lebih masyhur, pent.) harus efektif (sehingga dapat berlaku), sebab bila tidak demikian, maka dia tidak dapat diberlakukan dan tidak ditoleh alias tidak dapat dijadikan acuan.

Akan tetapi berdasarkan statement bahwa kalimat وَأَبِيْهِ tersebut valid, maka jawaban atasnya adalah bahwa ini termasuk Musykil (sesuatu yang rumit) sementara masalah bersumpah atas nama selain Allah termasuk Muhkam (sesuatu yang valid/jelas) sehingga kita memiliki dua hal; Muhkam dan Mutasyabih (yang masih samar). Dan cara yang ditempuh oleh para ulama yang mumpuni keilmuannya dalam hal ini adalah dengan meninggal-kan yang Mutasyabih tersebut dan mengambil yang Muhkam. Hal ini senada dengan firmanNya,
"Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata,"Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami." (Ali Imran:7).

Dan sisi kenapa ia dikatakan sebagai Mutasyabih, karena di dalamnya terdapat banyak sekali kemungkinan-kemungkinan; bisa jadi, hadits tersebut ada sebelum datangnya larangan tentang hal itu. Bisa jadi juga, ia khusus bagi Rasulullah صلی الله عليه وسلم saja (di dalam mengungkapkan lafazh seperti itu, pent.) karena beliau sangat jauh dari melakukan kesyirikan. Bisa jadi pula, ia hanya merupakan sesuatu yang terbiasa diucapkan lisan tanpa maksud sebenarnya.

Nah, manakala terdapat kemungkinan-kemungkinan semacam ini terhadap dimuatnya kalimat tersebut -jika ia memang shahih berasal dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم, maka menjadi kewajiban kita untuk mengambil sesuatu yang sudah Muhkam, yaitu larangan bersumpah atas nama selain Allah.

Akan tetapi terkadang ada sebagian orang yang mempertanyakan, "Sesungguhnya bersumpah atas nama selain Allah telah terbiasa diucapkan lisan dan sangat sulit untuk meninggalkan-nya." Apa jawabannya? Kita katakan, sesungguhnya ini bukanlah suatu hujjah akan tetapi seharusnya berjuanglah melawan diri anda untuk meninggalkan dan keluar dari kebiasan tersebut.

Saya ingat dulu pernah melarang seorang laki-laki mengatakan وَالنَّبِيِّ (Demi Nabi). Ketika itu dia mengucapkan sesuatu kepadaku sembari berkata, "Demi Nabi, aku tidak akan mengulangi-nya." Dia mengucapkan ini hanya untuk menguatkan bahwa tidak akan melakukannya lagi akan tetapi terbiasa diucapkan lisannya.

Maka, kami katakan "Berusahalah semampumu untuk menghapus ucapan seperti itu dari lisanmu sebab ia adalah perbuatan syirik sedangkan perbuatan syirik amat besar bahayanya sekalipun kecil." Dalam hal ini, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah bahkan pernah berkata, "Sesungguhnya kesyirikan tidak akan diampuni Allah sekalipun kecil."

Ibnu Mas'ud -rodliallaahu'anhu-, berkata, "Sungguh, bahwa aku bersumpah atas nama Allah dalam kondisi berdusta adalah lebih aku sukai daripada aku bersumpah atas nama selainNya dalam kondisi jujur."

Syaikhul Islam mengomentari, "Hal itu, karena keburukan perbuatan syirik lebih besar (akibatnya) ketimbang keburukan dosa besar."

Sumber:
Fatawa Syaikh al-Utsaimin, Jld.I.

Via HijrahApp

HUKUM BERTAWASSUL KEPADA NABI

Pertanyaan:
Apakah hukum bertawassul kepada Nabi shalallahu alaihi wasallam?

Jawaban:
Bertawassul kepada Nabi salallahu alaihi wasallam ada beberapa macam:

Pertama, Bertawassul dengan cara beriman kepadanya; maka ini adalah tawassul yang benar, seperti ucapan seseorang: "Ya Allah, sesungguhnya aku telah beriman kepada Engkau dan kepada NabiMu, maka ampunilah aku" Ucapan seperti ini tidak apa-apa hukumnya sebab hal ini sudah disebutkan oleh Allah di dalam al-Qur'an. firmanNya;

"Ya Rabb kami, sesunggulmya kami mendengar (seruan) yang me- nyeru kepadn iman, (yaitu): "Berimanlah karnu kepada Rabbmu"; maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dan kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti." (Ali 'Imran: 193).

Juga karena alasan bahwa beriman kepada Rasul shalallahu alaihi wasallam, merupakan wasilah (sarana) yang disyariatkan di dalam meminta ampunan dari segala dosa dan menebus semua kejahatan. Jadi, ini adalah tawassul dengan wasilah yang sudah pasti secara syariat.

Kedua, Bertawassul melalui doa beliau shalallahu 'alaihi wasallam, yakni beliau berdoa untuk orang yang minta didoakan; ini hukumnya boleh dan juga sah secara syar'i akan tetapi tidak mungkin dilakukan kecuali semasa hidup Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Dalam hal ini, terdapat hadits dari Umar A bahwa dia pernah mengatakan,

"Ya Allah, sesungguhnya kami dulu pernah bertawassul kepadaMu melalui Nabi kami, lantas Engkau berikan kami hujan, dan kami (sekarang) bertawassul kepadaMu melalui paman Nabi kami, maka berikanlah kami curah hujan." Beliau menyuruh al-Abbas berdiri lalu dia berdoa kepada Allah agar diberikan curahan hujan. Jadi, bertawassul dimasa hidup Nabi shalallahu 'alaihi wasallam melalui doa beliau adalah boleh dan tidak apa-apa.

Ketiga, Bertawassul melalui jah (kehormatan) Rasulullah baik semasa hidup beliau ataupun setelah wafatnya; ini semua adalah tawassul bid'ah yang tidak boleh hukumnya sebab jah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hanya bermanfaat bagi diri beliau sendiri.

Berdasarkan hal ini, maka tidak boleh seseorang mengucapkan, "Ya Allah, sesimgguhnya aku meminta kepadaMu melalui jah NabiMu agar mengampuniku" atau "menganugerahkan anu kepadaku", karena wasilah haruslah efektif sebagai wasilah, dan kata wasiylatun berasal dari kata alwaslu yang maknanya adalah sampai kepada sesuatu. Jadi, wasilah ini haruslah menyam- paikan kepada sesuatu dan bila tidak demikian, maka bertawassul dengannya tidak ada guna dan manfaatnya.

Berpijak pada hal ini, maka karni tegaskan bahwa bertawassul dengan Rasulullah terbagi lagi menjadi beberapa macam:

Pertama, Bertawassul dengan cara beriman kepada beliau dan mengikutinya; ini hukumnya boleh baik semasa hidup beliau ataupun sesudah wafat.

Kedua, Bertawassul melalui doa beliau, yakni seseorang meminta beliau berdoa untuknya; ini juga boleh tetapi semasa hidup beliau saja, tidak setelah beliau wafat karena setelah wafat beliau hal itu tidak dapat dilakukan.

Ketiga, Bertawassul melalui jah (kehormatan) dan kedudukan beliau di sisi Allah, ini tidak boleh hukumnya, baik semasa hidup beliau ataupun setelah wafat karena ia bukanlah jenis wasilah di mana ia tidak dapat menyampaikan seseorang kepada tujuannya sebab bukan bagian dari amalnya.

Bila ada yang berkata, "Aku datang kepada Rasulullah di sisi kuburnya dan aku telah memintanya agar memintakan ampun untukku atau memintakan syafaat bagiku di sisi Allah, apakah hal ini dibolehkan atau tidak? Kami katakan, "Tidak boleh. Bila dia mengatakan, 'Bukankah Allah aza wa jalla berfirman;

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا (٦٤

"Sesungguhnya jikalau mereka -ketika menganiaya dirinya- datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."
(An-Nisa': 64).

Kami katakan pula, "Bcnar, Allah telah berfirman demikian akan tetapi di situ Dia berfirman dengan lafazh إِذْ ظَلَمُوا (ketika menganiaya dirinya). Secara bahasa, status huruf إِذْ adalah sebagai Zharf yang fungsinya untuk menjelaskan hal-hal yang telah lalu bukan untuk hal-hal yang akan datang. Allah tidak berfirman, وَلَوْ اَنَّهُمْ إذَا ظَلَمُوْا (dengan menggunakan huruf إذا [idza]-penj.) akan tetapi berfirman إذْ ظَلَمُوْا .

Jadi, ayat ini berbicara tentang sesuatu yang telah terjadi semasa hidup Rasulullah sementara bagaimana Rasulullah memohonkan ampunan setelah wafatnya adalah sesuatu yang tidak dapat dilakukan lagi karena seorang hamba yang sudah meninggal dunia, amalnya akan terputus kecuali dari tiga hal sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam,

"Sedekah jariyah, ilmu yang bernmnfaat atau anak shalih yang mendoakannya (orang tuanya)."

Maka, tidak mungkin bagi seseorang imtuk memintakan ampunan bagi siapa pun setelah dia meninggal dunia bahkan untuk dirinya sendiri pun tidak bisa sebab amalannya telah terputus.

[ Kumpulan Fatwa Tentanq Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 277-279. ]

Via HijrahApp

HUKUM MENCELA AD-DAHR' (MASA)

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum mencela atau mencaci-maki ad-Dahr (masa).

Jawaban:
Mencela ad- Dahr ada tiga kategori:

Pertama, bila yang dimaksud adalah sebagai berita belaka bukan maksud mencela, maka ini hukumnya boleh. Seperti perkataan seseorang, "Cuaca panas hari ini membuat kita letih", atau disebabkan cuaca yang dingin, dan semisalnya karena semua perbuatan tergantung kepada niatnya sementara lafazh tersebut boleh diungkapkan bila hanya sekedar berita.

Kedua, seseorang mencela 'ad-Dahr' karena beranggapan bahwa ia adalah pelaku sesuatu, seperti bila yang dimaksudkannya dengan celaannya itu, bahwa 'ad- Dahr' (masa) itulah yang dapat merubah kondisi menjadi baik atau jelek. Maka, ini adalah perbuatan syirik akbar (syirik paling besar) sebab orang tersebut telah berkeyakinan ada Khaliq lain yang sejajar dengan Allah. Artinya, dia telah menisbatkan (menyandarkan) kejadian-kejadian kepada selain Allah.

Ketiga, Seseorang mencela ad- Dahr dengan keyakinannya bahwa pelaku sesuatu itu adalah Allah akan tetapi dia mencelanya karena ia adalah wadah bagi semua hal-hal yang tidak disukai. Maka, ini haram hukumnya karena menafikan wajibnya bersabar. Jadi, perbuatan ini bukan kekufuran karena orang tersebut tidak mencela Allah secara langsung. Andaikata, dia mencela Allah secara langsung, maka pastilah dia telah kafir hukumnya.

[ Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz I, hal. 197-198. ]

Via HijrahApp

HUKUM MENERANGI MAQAM-MAQAM PARA WALL DAN BERNADZAR DISANA

Pertanyaan:
Apakah hukum menerangi maqam-maqam para wali dan ber- nadzar di Sana?

Jawaban:
Menerangi maqam-maqam para wali dan Nabi, yakni yang dimaksud si penanya ini adalah kuburan-kuburan mereka, maka melakukan ini adalah diharamkan. Terdapat hadits yang shahih ber- sumber dari Nabi M bahwa beliau melaknat pelakunya, karenanya menyinari kuburan-kuburan semacam ini tidak boleh dan pelakunya dilaknat melalui lisan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sendiri.

Jadi, berdasarkan hal ini pula, bila seseorang bernadzar imtuk menerangi kuburan tersebut, maka nadzarnya itu haram hukumnya sebab Nabi shalallahu alaihi wasallam, telah bersabda;

"Barangsiapa yang bernadzar untnk menaati Allah, maka taatilah Dia dan barangsiapa yang bemadzar untuk berbuat maksiat terhadapNya, maka janganlah dia melakukan hal itu (berbuat maksiat terhadapNya)." Shahih al-Bukhari, kitab al- Iman wa an- Nudzur, no. 6696.

Dia tidak boleh menepati nadzar ini akan tetapi apakah dia wajib membayar kaffarat (tebusan) nya dengan kaffarat pelanggaran sumpah karena tidak menepati nadzamya tersebut ataukah tidak wajib? Di sini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Pendapat yang lebih berhati- hati adalah harus membayarnya dengan kaffarat pelanggaran sumpah karena dia tidak menepati nadzarnya ini, wallahu a'lam.

[ Kumpulan Fatwa Tentang Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsamin in, hal. 28. ]

Via HijrahApp

HUKUM MENGADAKAN RITUAL DI KUBURAN DENGAN BERKELILING DAN MEMOHON KEPADA PARA PENGHUNINYA

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum orang yang kebiasaannya mengadakan ritual di kuburan dengan berkeliling di sekitarnya, memohon kepada para penghuninya, bernadzar untuk mereka dan (mengadakan) berbagai ritual lainnya.

Jawaban:
ini pertanyaan yang amat serius dan jawaban nya butuh pemaparan panjang-lebar, -atas pertongan Allah subhanahu wata'ala - kami katakan, sesungguhnya para penghuni kubur tersebut terbagi kepada dua klasifikasi:

Pertama, mereka yang meninggal dunia dalam kondisi Muslim dan manusia telah memuji mereka secara baik; orang yang dalam klasifikasi ini kita harapkan mendapat kebaikan, namun begitu, mereka amat membutuhkan doa dari saudara-saudara mereka, ka-um Muslimin, agar mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah. Ini masuk kategori firman Allah,

"Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, 'Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang'" (Al-Hasyr: 10).

Dia sendiri tidak dapat memberikan manfaat kepada siapa pun karena kondisinya sebagai mayat, jasad tak bernyawa yang tidak bisa membentengi dirinya dari marabahaya apalagi terhadap selainnya. Dia juga tidak dapat mendatangkan manfaat buat dirinya apalagi buat orang lain selain dirinya, karenanya dia amat membutuhkan manfaat (jasa) yang diupayakan oleh saudara-saudaranya sementara dia tidak dapat memberikan manfaat kepada mereka.

Kedua, Orang-orang yang karena ulah perbuatan-perbuatan mereka sendiri, menyeret mereka kepada kefasikan yang mengeluarkan dari dien ini, seperti mereka yang mengaku-aku sebagai para wali, mengetahui hal yang ghaib, dapat menyembuhkan penyakit serta dapat mendatangkan kebaikan dan manfaat melalui sebab- sebab yang tidak diketahui secara fisik dan syara'. Mereka itulah orang-orang yang telah meninggal dunia dalam kekafiran, tidak boleh berdoa untuk mereka, juga tidak boleh memohonkan rahmat buat mereka.

Hal ini berdasarkan firman Allah,

"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dm orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-omng musyrik, walaupun omng-ornng musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya oang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu.

Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwaa bapaknya itu adalah rnusuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri daripadanya. Sesunggidmya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun." (At-Taubah: 113-114).

Mereka itu tidak dapat memberikan manfaat dan tidak pula menimpakan mudharat/ marabahaya kepada siapa pun.

Jadi, tidak boleh bagi siapa pun untuk menggantungkan diri kepada mereka. Bila ternyata ditakdirkan bahwa ada salah seorang yang menyaksikan kekeramatan mereka, seperti terlihat baginya seolah di kuburannya memancar cahaya, atau keluar bau semerbak dari kuburannya dan lain sebagainya, sementara mereka itu dikenal sebagai orang yang mati dalam kekafiran, maka hal ini semata adalah tipu daya iblis dan akal bulusnya untuk membuat mereka terkesan dengan para penghuni kuburan itu.

Saya ingin mengingatkan kaum Muslimin, dari ketergantungan hati kepada siapa pun selain Allah azza wajalla sebab di TanganNya-lah kekuasaan langit dan bumi dan kepadaNya-lah jua semua urusan akan kembali, tidak ada yang dapat mengabulkan permohonan orang yang berhajat selain Allah dan tidak ada yang dapat menyingkap kejahatan selain Allah. Dia berfirman,

"Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya), dan bilakamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepadaNyalah kamu meminta peHolongan." (An-Nahl: 53).

Nasehat saya untuk mereka juga agar tidak hanya mentaklid (mengikuti tanpa dasar ilmu) dalam urusan dien mereka dan hendaknya mereka tidak mengikuti siapa pun selain Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sebagaimana firman Allah,

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al- Alizab: 21).

"Katakanlah, "]ika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu" (Ali 'Imran: 31).

Seluruh kaum Muslimin wajib menimbang perbuatan orang yang mengklaim sebagai wali tersebut dengan timbangan Kitabullah dan as-Sunnah; jika sesuai dengan keduanya, maka semoga saja dia termasuk salah seorang dari para wali Allah, dan jika dia menyelisihi Kitabullah dan as-Sunnah, maka dia bukanlah wali Allah sebab Allah sendiri berfirman,

"Ingatlah, sesungguhya wali- wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang- orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (Yunus: 62-63).

Siapa saja yang beriman dan bertakwa, maka dialah wali Allah dan siapa saja yang bukan demikian, dia bukanlah waliNya. Siapa saja yang ada padanya sebagian iman dan takwa, maka padanya sesuatu dari kewalian itu, meskipun demikian, kita tidak dapat memastikan adanya sesuatu itu pada sosok tertentu akan tetapi kita akan mengatakannya secara keseluruhan bahwa setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka dialah wali Allah.

Ketahuilah, bahwa Allah bisa saja menguji seseorang dengan salah satu dari hal-hal ini; bisa jadi seseorang menggantungkan hati- nya kepada sebuah kuburan lalu memohon kepada penghuninya atau mengambil sesuatu dari tanahnya untuk mencari berkah lantas terkabul keinginannya. Itu adalah cobaan dari Allah terhadap orang ini sebab kita mengetahui bahwa kuburan tersebut tidak dapat mengabulkan permohonan, demikian pula tanah itu tidak dapat dijadikan sebagai penyebab hilangnya suatu marabahaya atau dida-patnya suatu manfaat.

Kita mengetahui hal ini berdasarkan firman- firman Allah subhanahu wata'ala,

"Dari siapakah yang lebih sesnt daripada orang yang rnenyembah sembahan- sembahan selain Allah yang tiada dapat niemperkenankan (doanya) sampai hari kiamat dan mereka lalai dnri (memperhatikan) doa mereka. Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan- sembahan mereka itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan- pemujaan mereka." (Al-Ahqaf: 5-6).

"Dan berhala-berhala yang mereka seru selain Allah, tidak dapat membuat sesuatu apapnn, sedang berhala-berhala ihi (sendiri) dibuat orang. (Berhala-berhala itn) benda mati tidak hidup, dan berhala- berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembah-penyembahnya akan dibangkitkan." (An-Nahl: 20-21).

Dan ayat-ayat yang semakna dengan itu banyak sekali yang menunjukkan bahwa setiap orang yang memohon kepada selain Allah, maka ia tidak akan dapat mengabulkan permohonan tersebut dan tidak akan bermanfaat bagi si pemohonnya, akan tetapi bisa saja apa yang diinginkannya dalam permohonannya tersebut terkabul ketika dia memohon (berdoa) kepada selain Allah sebagai fitnah dan ujian dariNya.

Kami tegaskan, jika sesuatu yang diinginkan itu terkabul ketika berdoa tersebut, yakni doa yang dimohonkan kepada selain Allah, bukan lantaran doanya itu sendiri (hal itu terkabul -penj.)- Dalam hal ini adalah berbeda antara pengertian sesuatu terjadi dengan (karena) sesuatu dan sesuatu terjadi di sisi sesuatu secara kebetulan (ketika melakukan sesuatu itu)-, maka kita mengetahui secara yakin berdasarkan ayat-ayat yang banyak sekali yang disebutkan oleh Allah subhanahu wata'ala di dalam kitabNya bahwa permohonan kepada selain Allah -

bukanlah faktor yang menyebabkan didapatinya suatu manfaat atau tertolaknya suatu mudharat (marabahaya) akan tetapi bisa saja sesuatu terjadi ketika bermohon (melakukan doa) sebagai bentuk fitnah dan ujian. Sebab, Allah terkadang menguji seseorang melalui faktor- faktor yang dapat menyebabkannya melakukan perbuatan maksiat agar Dia mengetahui siapa orang yang menjadi hambaNya dan siapa pula yang menjadi hamba (budak) nafsunya.

Sebagai contoh, bukankah kita mengetahui perihal orang-orang Yahudi yang melanggar ketentuan Allah pada hari Sabtu (Ashhab as-Sabt) di mana Allah telah mengharamkan bagi mereka berburu ikan pada hari tersebut, lalu Allah subhanahu wata'ala menguji mereka dengan menjadikan keberadaan ikan-ikan tersebut banyak sekali pada hari Sabtu tersebut sedangkan pada hari lainnya malah tidak muncul dan kondisi seperti ini berlangsung lama sehingga mereka berkata;

"Kenapa kita mesti melarang diri kita dari berburu ikan-ikan ini?" Kemudian mereka berfikir, menaksir- naksir, merenung lalu memutuskan sembari berkata, "Kalau begitu, kita buat saja jaring ikan dan kita pasang pada hari Jum'at lalu pada hari Ahad kita akan mengambil ikan-ikan tersebut." Mereka berani nekad melakukan hal itu, tidak lain sebagai akal bulus mereka untuk melanggar larangan-larangan Allah. Karenanya, Allah menjadikan mereka kera-kera yang hina, sebagaimana firmanNya;

"Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung- apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik." (Al-A'raf: 163)

Dan firmanNya,

"Dan sesungguhnya telah Kami ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada hari Sabtu, laly Kami berfirman kepada mereka, "Jadilah kamu kera yang hina". Maka Kami jadikan yang demikianitn peringatan bagi orang-orang di masa itu dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa." (Al-Baqarah: 65-66).

Mari kita renungkan, bagaimana Allah demikian memudahkan bagi mereka berburu ikan-ikan tersebut pada hari yang justru mereka dilarang melakukannya akan tetapi mereka -wal 'iyadzu billah- tidak mau bersabar, lantas menyiasatinya dengan akal bulus tersebut terhadap larangan-larangan Allah.

Dalam pada itu, mari kita renungkan pula ujian yang Allah berikan kepada para sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam saat mereka dilarang berburu dalam kondisi sedang berihram padahal buruan-buruan tersebut dengan mudahnya dapat mereka tangkap akan tetapi mereka semua tidak berani melakukan sedikit pun dari larangan itu. Allah subhanahu wata'ala berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepadaNya, biarpun ia tidak dapat melihatNya. Barangsiapa yang melanggar batas sesudah itu, maka baginya adzab yang pedih." (Al- Maidah: 94).

Buruan-buruan itu dengan mudah dapat mereka tangkap; buruan biasa dapat mereka tangkap dengan tangan sedangkan buruan yang berupa burung, dapat mereka bunuh dengan tombak. Ini semua gampang sekali bagi mereka akan tetapi mereka lebih takut kepada Allah subhanahu wata'ala sehingga tidak berani menangkap satupun dari buruan-buruan tersebut.

Demikian seharusnya seseorang wajib bertakwa kepada Allah subhanahu wata'ala manakala faktor yang menyebabkan dilakukannya perbuatan yang diharamkan telah ada di depan mata, dan tidak malah nekad melakukannya. Dia wajib mengetahui bahwa faktor-faktor penyebabnya tersebut dipermudahkanrvya baginya adalah merupakan cobaan dan ujian, karenanya dia harus mengekang dirinya dan bersabar sebab pastilah hasil akhir yang baik akan diraih oleh orangyang bertakwa.

[ Kumpulan Fatwa dan Risalah Shaikh Ibnu Utsaimin, Juz II, hal. 227-231. ]

Via HijrahApp

HUKUM MENGGANTUNGKAN DIRI KEPADA SEBAB-SEBAB (FAKTOR-FAKTOR TERTENTU)

Pertanyaan:
Apakah hukum menggantungkan diri kepada sebab-sebab? (sebab-sebab terjadi dan tercapainya sesuatu- penj.)
Jawaban:
Syaikh al-Utsaimin berkata: Menggantungkan diri kepada sebab-sebab dibagi kepada beberapa jenis:

Pertama, Sebab yang menafikan prinsip tauhid, yaitu seseorang menggantungkan diri kepada sesuatu yang tidak mungkin memiliki pengaruh dan menyandarkan kepadanya secara total dengan berpaling dari Allah, seperti para penyembah (budak) kuburan yang menggantungkan diri kepada penghuni kubur ketika mendapatkan bencana. Ini merupakan syirik akbar yang mengeluarkan pelakunya dari dien ini. Hukum bagi pelakunya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam firmanNya;

"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang- orang zhalim itu seorang penolongpun." (Al-Maidah: 72).

Kedua, Menyandarkan diri kepada sebab yang disyariatkan dan benar tetapi disertai dengan kelalaian terhadap yang menyebabkannya, yaitu Allah aza wajalla; jenis ini merupakan kesyirikan akan tetapi tidak mengeluarkan pelakunya dari dien ini karena dia menyandarkan diri kepada sebab dan lupa kepada yang menyebabkannya, yaitu Allah subhanahu wata'ala

Ketiga, Menggantungkan diri kepada sebab secara murni karena ia merupakan sebab semata disertai penyandaran dirinya secara dasar kepada Allah. Dalam hal ini, dia meyakini bahwa sebab ini berasal dari Allah dan jika Allah menghendaki, Dia akan memutusnya dan jika Dia menghendaki, Dia pasti membiarkannya seperti semula serta (meyakini) bahwa tidak ada pengaruh sebab tersebut terhadap kehendak Allah Subhanahu wata'ala; jenis ini tidak menafikan prinsip tauhid maupun kesempurnaannya.

Sekalipun sebab-sebab yang disyariatkan dan shahih ada, seseorang haruslah tidak menggantungkan dirinya kepada sebab akan tetapi justru menggantungkannya kepada Allah. Jadi, seorang pegawai yang hatinya hanya bergantung kepada gajinya secara total disertai kelengahan terhadap yang menyebabkannya (mendapatkan itu), yaitu Allah aza wajalla, maka ini juga termasuk jenis kesyirikan.

Sedangkan bila dia meyakini bahwa gaji yang diambilnya hanyalah sebagai sebab dan yang menyebabkannya mendapatkan itu adalah Allah aza wajalla; maka ini tidak menafikan sikap tawakkal. Dalam hal ini, Rasulullah sendiri selalu mencari sebab-sebab disertai dengan penyandaran diri kepada yang menyebabkannya, yaitu Allah subhanahu wata'ala

[ Kumpulan Fatwa Tentanq Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 303-30h. ]

Via HijrahApp

HUKUM MENGGERUTU [MENDONGKOL) TERHADAP MUSIBAH YANG MENIMPA

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya mengenai orang yang meng¬gerutu (mendongkol) bila ditimpa suatu musibah; apa hukumnya?

Jawaban:
Kondisi manusia dalam menghadapi musibah ada empat tingkatan:

Tingkatan pertama, menggerutu (mendongkol) terhadapnya. Tingkatan ini ada beberapa macam:

a. Direfleksikan dengan hati, seperti seseorang yang menggerutu terhadap Rabbnya dan geram terhadap takdir yang di- alaminya; perbuatan ini hukumnya haram dan bisa menyebabkan kekufuran. Allah azza wajalla berfirman;

"Dan di antarn manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam kea- daan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat." (Al-Hajj: 11).

b. Direfleksikan dengan lisan, seperti berdoa dengan umpatan 'celaka', 'hancurlah' dan sebagainya; perbuatan ini haram hukumnya.

c. Direfleksikan dengan anggota badan, seperti menampar pipi, menyobek kantong baju, mencabut bulu dan sebagainya; semua ini adalah haram hukumnya karena menafikan kewajiban bersabar.

Tingkatan kedua, bersabar atasnya. Hal ini senada dengan ungkapan seorang penyair "Sabar itu seperti namanya, pait rasanya Akan tetapi hasilnya lebih manis daripada madu."

Orang yang dalam kondisi ini beranggapan bahwa musibah tersebut sebenarnya berat baginya akan tetapi dia kuat menanggung- nya, dia tidak suka hal itu terjadi akan tetapi iman yang bersemayam di hatinya menjaganya dari menggerutu (mendongkol). Terjadi dan tidak terjadinya hal itu tidak sama baginya. Perbuatan seperti ini wajib hukumnya karena Allah memerintahkan untuk bersabar sebagaimana dalam firmanNya,

"Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (Al-Anfal: 46).

Tingkatan ketiga, ridha terhadapnya seperti keridhaan seseorang terhadap musibah yang dialaminya di mana baginya sama saja; ada dan tidak adanya musibah tersebut. Adanya musibah tidak membuat- nya sesak dan menanggungnya dengan perasaan berat. Sikap seperti ini dianjurkan tetapi bukan suatu kewajiban menurut pendapat yang kuat.

Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan sebelumnya amat jelas sekali, sebab dalam tingkatan ini ada dan tidak adanya musibah sama saja bagi orang yang mengalaminya sementara pada tingkatan sebelumnya, adanya musibah dirasakan sulit baginya tetapi dia bersabar atasnya.

Tingkatan keempat, bersyukur atasnya. Ini merupakan tingkatan paling tinggi. Hal ini direfleksikan oleh orang yang mengalaminya dengan bersyukur kepada Allah atas musibah apa saja yang dialami. Dalam hal ini, dia mengetahui bahwa musibah ini merupakan sebab (sarana) untuk menghapus semua kejelekan-kejelekannya (dosa-dosa kecilnva) dan barangkali bisa menambah kebaikannya.

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, bersabda,

"Tiada suatu musibah pun yang mcnimpn seorang Muslim, melain- kan dengannya Allah hapuskan (dosa-dosa kecil) dnrinya sampai- sampai sebatang duri pun yang mcnusuknyn."

[ Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz II, hat. 109-111. ]

Via HijrahApp

HUKUM MENGKAFIRKAN ORANG YAHUDI DAN NASRANI

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanva mengenai klaim salah seorang penceramah di salah satu masjid di Eropa bahwa tidak boleh hukumnya mengkafirkan orang Yahudi dan Nasrani.

Jawaban:
Ucapan yang bersumber dari orang tersebul menyesatkan dan bisa menjadi suatu kekufuran sebab orang-orang Yahudi dan Nasrani telah dikafirkan oleh Allah sendiri di dalam kitabNya, sebagaimana dalam firmanNya,

"Orang-orang yahudi berkata, "Uzair itu putera Allah" dan orang- orang nasrani berkata, "Al-Masih itu putera Allah." Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allahlah mereka; bagaimana mereka snmpai berpaling.

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebngai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) al-Masih pntera Maryam; padahal mereka lumya disuruh menyembah Ilah Yang Malm Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At-Taubah: 30-31).

Maka, hal ini menunjukkan bahwa mereka itu orang-orang musyrik. Dan, dalam ayat-ayat yang lain, Allah menjelaskan lebih gamblang lagi tentang kekufuran mereka,

"Sesunggnhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, 'Sesungguh- nya Allah itu adalah al-Masih putera Maryam" (Al-Maidah: 17).

"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, 'Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga'." (Al-Maidah: 73).

''Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam.'' (Al-Maidah: 78).

"Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam." (Al-Bayyinah: 6).

Masih banyak sekali ayat-ayat dan hadits-hadits tentang masalah ini; barangsiapa yang mengingkari kekufuran orang-orang Yahudi dan Nasrani yang tidak beriman kepada Muhammad shalallahu alaihi wasallam dan mendustakannya, berarti dia telah mendustakan Allah azza wajalla. Mendustakan Allah adalah kekufuran dan barangsiapa yang ragu terhadap kekufuran mereka, maka tidak dapat disangkal lagi kekufurannya pula.

Subhanallah Bagaimana tega orang tersebut (penceramah-penj.) berkata, "Sesungguhnya tidak boleh melabelkan 'kafir' kepada mereka", padahal merekalah yang mengatakan, 'Sesungguhnya Allah itu tiga dari tiga (trinitas) dan Sang Pencipta mereka sendiri telah mengkafirkan mereka? Bagaimana bisa dia tidak tega mengkafirkan mereka padahal merekalah yang mengatakan, "Sesungguhnya almasih itu anak Allah", "Tangan Allah telah dibelenggu" dan yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah fakir dan kamilah yang kaya?"

Bagaimana orang ini tidak tega mengkafirkan mereka dan melabelkan kata 'kafir' kepada mereka padahal mereka telah melabelkan sifat-sifat buruk yang semuanya berisi celaan, umpatan dan makian kepada Rabb mereka? Saya (pemberi fatwa ini) mengajak orang tersebut agar bertaubat kepada Allah M dan menghayati firman Allah,

"Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)." (Al-Qalam: 9).

Karenanya, hendaknya dia tidak bertawar- menawar dengan mereka dalam hal kekufuran mereka. Dan semestinya, dia menjelaskan kepada siapa pun bahwa mereka itu kafir dan termasuk penghuni neraka. Dalam hal ini, Nabi bersabda,

"Demi Yang jiwa Muhammad berada di TanganNya, tidaklah ada seorang pun dari umat ini -umat dakwah- yang mendengar tentang aku, baik dia seorang yahndi ataupun nashrani lantas dia mati padahal belum beriman kepada wahyu yang aku diutus dengannya melainkan dia -kelak- akan menjadi penghuni neraka." Shahih Muslim, kitab al-iman, no. 153

Hendaknya mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani-penj.) berlomba-lomba meraih dua jatah pahala sekaligus sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, . "Tiga orang yang akan mendapatkan dun pahala (sekaligus): (pertama), seorang dari knlnngan Ahli Kitab yang beriman kepada Nabinya (Musa, atau 'Isa alaihi sallam) dan juga beriman kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam ... dst."
(Hadits selengkapnya pada Shahih al-Bukhari, kitab al-Ilm, no. 97; Shahih Muslim, kitab al-Iman, no. 153)

Saya juga sudah mendapatkan komentar dari pengarang buku 'al-Iqna' Fi Hukm al- Murtadd' setelah memaparkan hadits di atas dan beberapa kalimat: "... Atau tidak mengkafirkan orang yang menganut agama selain Islam, seperti orang-orang Nasrani, atau ragu terhadap kekufuran mereka atau membenarkan madzhab mereka, maka dia adalah Kafir." .Sebagaimana yang dinukil dari Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyah, dia berkata:

"Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa gereja-gereja itu adalah rumah-rumah Allah, bahwa Allah disembah di dalamnya serta apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani adalah bentuk ibadah kepada Allah dan ketaatan kepadaNya dan RasulNya
atau (berkeyakinan) bahwa Allah subhanahu wata'ala menyukai hal itu dari mereka, meridhai mereka atau memberikan pertolongan kepada mereka di dalam menaklukkan dan mendirikan syiar dien mereka serta (berkeyakinan juga) bahwa hal itu adalah bentuk taqarrub (mendekatkan diri) atau ketaatan, maka dia telah kafir."

Pada bagian lain di dalam buku tersebut, Syaikhul Islam mengatakan, "Barangsiapa yang meyakini bahwa mengunjungi Ahli Dzimmah (orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan dari pemerintahan Islam-penj.) di gereja-gereja mereka adalah bentuk taqarrub kepada Allah, maka dia telah murtad."

Orang yang mengatakan seperti ini, hendaknya bertaubat kepada Rabbnya dari ucapan yang maha dusta ini dan mengumumkan secara terang-terangan bahwa mereka itu adalah kafir, termasuk para penghuni neraka serta wajib bagi mereka untuk mengikuti Nabi yang unniii (buta aksara), Muhammad shalallahu alaihi wasallam sebab nama beliau sudah tersurat di dalam kitab mereka; Taurat dan injil. Allah azza wajalla berfirman,

"(Yaitu) orang-orang ynng mengikut Rasul, Nabi yang unmi ynng (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu- belenggu yang ada pada mereka.

Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-A'raf: 157).

Hal tersebut merupakan berita gembira yang disampaikan oleh 'Isa bin Maiyam sendiri. Beliau sendiri yang mengatakannya sebagaimana yang dikisahkan oleh RabbNya,

"'Hai bani Israil, sesunggtdmya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan mem- beri kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad) Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, 'Ini adalah sihir yang nyata'." (Ash- Shaff: 6).

Untuk apa dia datang kepada mereka? Siapa yang datang? Orang vang kedatangannya mcrupakan kabar gembira itu adalah Ahmad, namun ketika datang kepada mereka keterangan- kete- rangan yang jelas, mereka menyanggah, "Ini hanyalah sihir yang nyata". Dengan ayat ini, kita akan membantah orang-orang Nasrani yang ingin mengalihkan bahwa, "Orang yang dikabarkan oleh 'Isa itu adalah Ahmad bukan Muhammad".

Kita akan katakan, "Sesungguhnya Allah telah berfirman di dalam ayat tersebut demikian ini, "Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti- bukti yang nyata. "Sementara, tidak ada Rasul yang datang setelah 'Isa selain Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Jadi, Muhammad itulah Ahmad yang dimaksud akan tetapi Allah telah memberikan ilham kepada Nabi 'Isa agar dia menamai Muhammad dengan Ahmad karena kata ahmad merupakan ism tafdlil (Bentuk superlative) dari kata Alhamdu (pujian).

Artinya. dia adalah manusia yang paling banyak memuji Allah. Beliau adalah makhluk vang paling terpuji dalam keseluruhan sifatnya, karenanya beliau adalah orang yang paling banyak memuji kepada Allah. Bila dijadikan dalam bentuk tafdlil sebagai subjek (ismul fa'it), maka (maknanya) beliau adalah manusia yang paling banyak memuji.

Yakni manusia yang paling berhak untuk memuji. Bila dijadikan dalam bentuk tafdlil sebagai objek (ismul maf id), maka (maknanya) beliau adalah orang yang memuji dan dipuji dalam sesempurna- sempurna bentuk pujian yang dimaknai oleh kata 'Ahmad'.

Saya tegaskan, sesungguhnya setiap orang yang mengklaim bahwa di bumi ini ada agama selain Islam yang diterima oleh Allah, maka dia adalah kafir yang tidak diragukan lagi kekafiran- nya karena Allah subhanahu wata'ala sendiri yang berfirman di dalam kitabNya,

"Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali- kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi." (Ali 'Imran: 85).

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk karnu agamamu dan tclah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan tclah Kuridhai Islam itu jadi agamamu." (Al-Maidah: 3).

Maka, berdasarkan hal ini, saya ulangi untuk ketiga kalinya kepada orang tersebut (penceramah dalam pertanyaan di atas- penj.) agar dia bertaubat kepada Allah subhanahu wata'ala dan menjelaskan kepada semua manusia bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut adalah kafir sebab hutjah telah ditegakkan atas mereka dan risalah telah sampai akan tetapi mereka tetap kafir dan membangkang.

Orang-orang Yahudi telah dicap sebagai 'orang-orang yang dimurkai karena mereka itu mengetahui al-haq akan tetapi menentangnya sedangkan orang-orang Nasrani dicap sebagai 'orang-orang yang sesat karena mereka menginginkan al- haq tetapi justru tersesat darinya. Namun sekarang, semua sudah mengetahui al- haq dan mengenalnya. Meskipun demikian, mereka tetap menentangnya, karenanya mereka semua pantas dikatakan sebagai 'orang-orang yang dimurkai'.

Saya mengajak orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut agar beriman kepada Allali azza wajalla, kepada seluruh para rasulNya serta mengikuti Muhammad shalallahu alaihi wasallam karena inilah yang diperintahkan kepada mereka di dalam kitab-kitab mereka sebagaimana Allah berfirman,

"Dan rahmatKu meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmatKu untuk orang- orang ynng bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang- orang yang beriman kepada ayat- ayat Kami, (Yaitu) orang- orang ynng mengikut Rasul, Nabi ynng ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dnn Injil ynng ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjaknn yang mungkar -

dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bngi mereka segala yang buruk dan membuang dnri merekn beban-beban dan belenggu- belenggn yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memulia- kannyn, menolongnyn dnn mengikuti cnhnya yang terang yang diturunkan kepadanya (al- Qur'nn), mereka itulah orang- orang yang beruntung." (Al- A'raf: 156-157).

Demikian juga dalam firmanNya,

"Katakanlah, 'Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada semua, yaitu Allnh yang mempunyai kerajaan Iangit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupknn dan ynng mematikan, maka berimnlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi ynng ummi ynng beriman kepada Allah dan kepada kalimat- kalimatNyn (kitab- kitabNya) dnn ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk'" (AI-A'raf: 158).

Ini semua lebih memperkuat pernyataan kami sebelumnya pada awal jawaban kami dan juga bukan lagi hal yang pelik. Dan Allahlah tempat memohon pertolongan.

[ Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz III, hal. 18-23 ]

Via HijrahApp

HUKUM MENYEMBELIH UNTUK SELAIN ALLAH

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya, apakah hukum menyembelih untuk selain Allah?

Jawaban:
Pada bagian lain di muka telah kami singgung bahwa tauhid 'Ibadah adalah beribadah hanya kepada Allah subhanahu wata'ala semata. Artinya, seseorang tidak beribadah dengan ibadah apapun kepada selain Allah aza wajalla. Seperti diketahui, bahwa menyembelih merupakan bentuk taqarrub yang dilakukan oleh seseorang kepada Rabbnya karena Allah memerintahkan demikian dalam firmanNya,

"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah." (Al- Kautsar: 2).

Setiap taqarrub adalah ibadah, bila seseorang menyembelih sesuatu untuk selain Allah sebagai bentuk pengagungan, ketundukan terhadapnya dan pendekatan diri kepadanya sebagaimana hal itu dilakukan terhadap Rabb subhanahu wata'ala, maka dia telah menjadi musyrik. Dan bila dia telah menjadi musyrik maka sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala telah menjelaskan bahwa Dia telah pula mengharamkan surga bagi si musyrik dan tempatnya adalah neraka.

Berdasarkan hal itu, kami tegaskan: sesungguhnya penyembelihan terhadap kuburan yang dilakukan oleh sebagian orang, yakni kuburan orang yang mereka klaim sebagai para wali merupakan kesyirikan yang mengeluarkan pelakunya dari dien ini.

Nasehat kami untuk mereka agar bertaubat kepada Allah Ta'ala dari perbuatan tersebut Bila mereka bertaubat kepada Allah dan menjadikan sembelihan hanya untuk Allah semata sebagaimana mereka menjadikan shalat dan puasa hanya untuk Allah semata, maka Dia akan mengampuni apa yang telah mereka lakukan seba¬gaimana firmanNya;

"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu. Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu." (Al-Anfal: 38).

Bahkan Allah akan memberikan kepada mereka yang lebih dari itu lagi, yaitu menggantikan kejelekan- kejelekan yang mereka lakukan menjadi kebaikan sebagaimana firmanNya,

"Dan orang- orang yang tidak menyembah Ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipatgandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina, -

kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Malra Penyayang." (Al-Furqan: 68-70).

Sekali lagi, nasehat saya untuk mereka yang melakukan taqarrub dengan menyembelih untuk para penghuni kuburan tersebut, hendaknya bertaubat kepada Allah dari hal itu, kembali kepadaNya serta mengikhlashkan dien hanya untuk Allah subhanahu wata'ala semata. Bila mereka bertaubat kepada Allah Yang Mahamulia lagi Maha Pemberi, hendaklah mereka bergembira karena Allah akan gembira pula dengan taubat orang-orang yang bertaubat dan kembali kepadaNya.

[ Kumpulan Fatwa Tentanq Aqidah dan Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 220-221. ]

Via HijrahApp

HUKUM ORANG YANG BERKATA, YA MUHAMMAD! YA ALI! YA JAILANI!

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang sebagian orang yang berkata, "Ya Muhammad! Ya Ali! Atau Ya Jailani!" ketika mendapatkan suatu musibah berat, apa hukumnya?

Jawaban:
Bila yang dimaksud olehnya adalah berdoa (memohon) kepada mereka itu dan meminta pertolongan, maka dia telah berbuat syirik akbar yang mengeluarkannya dari dien ini. Oleh karena itu, hendaklah dia bertaubat kepada Allah azza wajalla dan berdoa kepadaNya semata, sebagaimana firmanNya,

"Atau siapakah yang niemperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepadaNya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)?" (An-Naml: 62).

Di samping statusnya sebagai orang musyrik, dia juga dikata- kan sebagai safih, yang menyia-nyiakan dirinya sendiri sebagaimana firman Allah yang lain,

dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang memperbodoh dirinya sendiri.." (Al-Baqarah: 130).

dan firmanNya,

"Dan siapakah yang Icbih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat niemperkenankan (doanya) sampai hari kianiat dan mcreka lalai dari (memperhatikan) doa mercka." (Al-Ahqaf: 5).

[ Kumpulan Fatwa Tentang Aqidah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 396-395. ]

Via HijrahApp

HUKUM ORANG YANG MENGATAKAN; SESUNGGUHNYA ALLAH BERADA DI SETIAP TEMPAT (DI MANA- MANA)

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang ucapan sebagian orang bila ditanya, "Di mana Allah?", lalu mereka menjawab, "Allah berada di setiap tempat (di mana-mana)" atau -hanya bilang- "Allah itu ada." Apakah jawaban seperti ini dinyatakan benar secara muthlnq (tanpa embel-embel)?

Jawaban:
Jawaban semacam itu adalah jawaban vang batil baik secara muthlaq ataupun dengan embel-embel. Bila anda ditanya, "Di mana Allah?", maka jawablah, "Allah berada di langit", sebagaimana jawaban yang diberikan oleh seorang wanita ketika ditanya oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam seperti itu, lantas dia menjawab, "Dia berada di langit".

Sedangkan orang yang hanya mengatakan, "Allah itu ada", ini jawaban menghindar dan mengelak (berkelit lidalh) semata. Adapun terhadap orang yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah berada di setiap tempat (di mana-mana)"; bila yang dia maksud dzat- Nya, maka ini adalah kekufuran sebab merupakan bentuk pendustaan terhadap nash- nash yang menekankan hal itu. justru dalil-dalil sam'iy (al-Qur'an dan hadits), logika serta fitrah menyatakan bahwa Allah Mahatinggi di atas segala sesuatu dan di atas langit, beristiwa' di atas ArsyNya.

[ Kumpulan Fatwa dan Risalah Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz I, hal. 132-133 ]

Via HijrahApp

HUKUM ORANG YANG SECARA LAHIRIAH KELIHATAN ISTIQAMAH AKAN TETAPI DIA MEMILIKI KELOMPOK PENGAJIAN YANG DIISI DENGAN DOA (PERMOHONAN) KEPADA RASULULLAH DAN SYAIKH ABDUL QADIR AL-JAILANI

Pertanyaan:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang seorang yang komitmen terhadap shalat dan puasa serta secara lahiriyah kelihatan istiqamah, hanya saja dia memiliki kelompok pengajian yang diisi dengan acara doa (permohonan) kepada Rasulullah Sf dan Syaikh Abdul Qadir al- Jailani; Apa hukum perbuatan seperti ini?

Jawaban:
Informasi yang disampaikan oleh si penanya sungguh menyedihkan hati kita, sebab orang tersebut, yang disebutkan sebagai orang yang komitmen terhadap shalat dan puasa serta kondisinya kelihatan istiqamah, telah dipermainkan oleh setan dan telah menjadikannya keluar dari Islam dengan kesyirikan tersebut, baik dia menyadari hal itu atau tidak.

Doa (permohonan) nya kepada selain Allah azza wajalla adalah perbuatan syirik akbar yang mengeluarkannya dari dien ini, baik dia berdoa (memohon) kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ataupun kepada selain beliau. Tentunya, orang selain beliau lebih rendah kedudukan dan martabatnya di sisi Allah subhanahu wata'ala, karenanya berdoa kepada orang seperti Syaikh Abdul Qadir atau selainnya adalah lebih buruk dan sangat buruk lagi sebab jangankan berdoa kepada mereka, berdoa kepada Rasulullah saja merupakan perbuatan syirik.

Rasulullah sendiri tidak dapat memberikan manfaat ataupun menimpakan mudharat kepada seorang pun. Dalam hal ini, Allah subhanahu wata'ala berfirman seraya memerintahkan kepada beliau dalam firman-firmanNya:

''Katakanlah, "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan"." (Al-Jinn: 21).

''Katakanlah, 'Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman'." (Al-A'raf: 188).

''Katakanlah, 'Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dariNya'." (Al-Jinn: 22).

Jadi, manakala Rasulullah sendiri tidak ada seorang pun yang dapat melindunginya dari Allah, apalagi manusia selain beliau tentunya. Berdoa kepada selain Allah adalah perbuatart syirik yang mengeluarkan pelakunya dari dien ini. Syirik adalah perbuatan yang tidak akan diampnni oleh Allah kecuali si hamba yang melakukannya itu bertaubat berdasarkan firmanNya,

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya (An-Nisa': 48).

Dan pelakunya ini masuk neraka berdasarkan firmanNya pula,

"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun." (Al-Maidah: 72).

Nasehat saya buat orang ini agar dia bertaubat kepada Allah dari perbuatan yang menggugurkan nilai amal tersebut sebab syirik menggugurkan amal berdasarkan firman Allah,

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi- nabi) sebelummu, "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Az-Zumar: 65).

Oleh karena itu, hendaklah dia bertaubat kepada Allah dari perbuatan ini dan beribadahlah kepada Allah dengan berzikir dan ibadah-ibadah yang lain sesuai dengan apa yang disyariatkanNya serta janganlah dia melampauinya dengan melakukan perbuatan- perbuatan syirik ini. Hendaknya dia selalu memikirkan firman Allah ini,

"Dan Rabbmu berfirman, 'Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Ku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari rnenyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadann hina dina'." (Ghafir: 60).

Via HijrahApp

HUKUM TAWASSUL DAN KLASIFIKASINYA

Pertanyaan:
Apakah hukum Tawassul dan apa saja klasifikasinya?

Jawaban:

Kata اَلتَّوَسُّلُ maknanya mengambil/menjadikan wasilah (sarana) dan اَلْوَسِيْلَةُ maknanya setiap sesuatu yang dapat menyampaikan kepada tujuan atnu maksud. Aslinya berasal dari kata اِلْوَصْلُ , (yakni dengan meng- gunakan huruf shad -penj.) sebab huruf ص {shad) di sini dan huruf س (sin) pada kata saling menggantikan kedudukan masing-masing sebagaimana kata صِرَاطٌ dan سِرَاطٌ serta kata بَصْطَة dan بَسْطَة sering diungkapkan dengan kedua-duanya.

Bertawassul di dalam berdoa kepada Allah aza wajalla, maknanya perbuatan seorang yang berdoa mengaitkan doanya dengan sesuatu yang bisa menjadi penyebab terkabulnya doanya tersebut. Tentunya pula, harus ada dalil atas kondisi sesuatu menjadi sebab terkabulnya doa. Hal ini hanya bisa diketahui melalui syariat; siapa saja yang menjadikan sesuatu perkara sebagai wasilah baginya di dalam pengabulan terhadap doanya tanpa dalil dari syariat, berarti dia telah mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya atas nama Allah.

Sebab, bagaimana dia bisa mengetahui bahwa apa yang dijadikan- nya wasilah itu adalah termasuk hal yang diridhai oleh Allah dan penyebab terkabulnya doanya? Padahal, doa itu adalah bagian dari ibadah dan ibadah itu hanya tergantung kepada adanya syariat mengenainya. Allah telah menyangkal terhadap orang yang mengikuti suatu syariat tanpa seizinNva dan menjadikan hal itu sebagai kesyirikan. Dia berfirman;

"Apakah mereka mempunyai sembahan- sembahan sِِelain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama ynng tidak diizinkan Allah" (Asy-Syura: 21).

Dan firmanNya,

"Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan." (At- Taubah: 31).

Bertawassul di dalam berdoa kepada Allah terbagi kepada dua klasifikasi:

Pertama, Hal itu dilakukan dengan wasilah yang diajarkan oleh syariat; ini ada beberapa jenis:

1. Bertawassul melalui Asma' Allah, Shifat- Shifat dan perbuatan- Nya. Dalam hal ini, bertawassul kepada Allah subhanahu wata'ala dengan Nama, Sifat atau PerbuatanNya yang sepadan dengan apa yang dimintakan seseorang. Allah subhanahu wata'ala berfirman,

"Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaul husna itu," (Al-A'raf: 180).

Seperti bila dia berdoa,

يَارَحِيْمُ اِرْحَمْنِي، يَا خَفُوْرُ اِخْفِرْلِيْ

"Wahai Dzat Yang Maha Pengasih, kasihilah aku: wahai Dzat Yang Maha Pengampun, ampunilah aku." Dan semisal itu. Seperti juga di dalam sebuah hadits dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, bahwasanya beliau pernah berdoa,

اَللّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِيْ مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِيْ

"Ya Allah, dengan ilmuMu terhadap yang ghaib dan QudratMu di dalam mencipta, hidupkanlah aku selama kehidupan itu baik bagiku," (Sunan an-Nasa’i, kitab as-Sahwu, Jilid III, hal. 54-55)

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمِ

"Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga besarnya sebagaimana Engkau telah menyampaikan shalawat kepada Nabi Ibrahim dan keluarga besarnya." (Lihat: Shahih al-Bukhari, kitab tentang al-Anbiya, no. 3369; Shahih Muslim, kitab ash-Shalah, no. 407 dari hadits Abu Humaid as-Sa'idi; Shahih al-Bukhari, no. 3370 dan Shahih Muslim, no. 406 dari hadits Kaab bin Ajrah; Shahih al-Bukhari, kitab at-Tafsir, no.4798 dari hadits Abu Said dan Shahih Muslim, no. 405 dari hadits Abu Mas'ud.)

2. Bertawassul kepada Allah dengan beriman dan taat kepada- Nya sebagaimana firmanNya mengenai Ulil Albab,

"Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Rabbmu"; maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah bagi kami dosa- dosa kami." (Ali 'Imran: 193).

Dan firman-firman-Nya,

"Sesungguhnya ada segolongan dan hamba-hamba-Ku berdoa (di dunia): "Ya Rabb kami, kami telah beriman. maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat." (Al-Mukminun: 109),

serta firman-Nya mengenai al-Hawariyyun (para sahabat Nabi Isa 'alaihi sallam)

"Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang nienjadi saksi (tentang keesaan Allah).'' (Ali 'Imran: 53). ’

3. Bertawassul kepada Allah dengan menyebut kondisi orang yang berdoa yang menjelaskan kebutuhan dan hajatnya sebagaimana firmanNya melalui ucapan Musa 'alaihi sallam

رَبِّ إنّى لِمَآ أَنْزَلْتَ إلَىَّ مِنْ خَيْرٍفَقِيرٌ

"Ya Rabbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (AI-Qashash: 24)

4. Bertawassul kepada Allah melalui doa orang yang diharapkan doanya terkabul sebagaimana permintaan para sahabat kepada Nabi shalallahu 'alaihi wasallam agar beliau berdoa kepada Allah untuk mereka seperti ucapan seorang laki-laki yang ketika Nabi sedang berkhutbah Jum'at, dia masuk masjid sembari berkata, "Berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan buat kami." (Shahih al-Bukhari, kitab at-lstisqa', no. 1013; Shahih Muslim, kitab Ahalah at-Istisqa', no. 897.)

Dan ucapan 'Ukasyah bin Muhshin kepada Nabi "Berdoalah kepada Allah agar menjadikanku termasuk dari mereka (tujuh puluh ribu orang yang meniti shirath tanpa hisab-penj.)" (Shahih ai-Bukhari, kitab ath-Thibb, no. 5752; Shahih Muslim, kitab ai-Iman, no. 220 dari hadits Ibnu Abbas; Shahih ai-Bukhari, kitab ai-Libas, no. 5811; Shahih Muslim, no. 216 dari hadits Abu Hurairah dan No. 218 dari hadits 'Imran.81)

Ini semua hanya bisa terjadi semasa hidup orang yang berdoa, sedangkan setelah dia meninggal dunia, maka tidak boleh hukumnya karena dia dianggap tidak memiliki amal dan sudah berpindah ke alam akhirat.

Oleh karena itu, tatkala penduduk mengalami kekeringan pada masa kekhilafahan Umar bin al- Khaththab mereka tidak meminta kepada Nabi shalallahu 'alaihi wasallam agar memintakan hujan turun buat mereka tetapi Umar meminta turun hujan melalui perantaraan al-Abbas, paman Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Dia berkata kepadanya, "Berdirilah lalu mintalah hujan turun!" Lalu al-Abbas berdiri dan berdoa.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari al-‘Utby bahwa ada seorang Arab Badui (yang biasa hidup di pedalaman padang sahara-penj.) datang ke kuburan Nabi صلی الله عليه وسلم sembari berkata, “as-Salam ‘alaika Ya Rasulullah (salam sejahtera untukmu wahai Rasulullah), sesungguhnya aku mendengar Allah سبحانه و تعالى berfirman,

“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa': 64). Dan, aku telah datang meminta ampunan atas dosa-dosaku dengan memohon syafaat kepada Rabbku melalui perantaraanmu? (hingga selesai kisah ini)”; maka ini adalah kisah dusta dan tidak benar sama sekali.

Dalam pada itu, ayat tersebut bukan pula dalil atas hal itu sebab Allah سبحانه و تعالى berfirman, وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا “Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya” (dengan menggunakan kata إِذْ [Idz]-penj.), dan Dia tidak berfirman, وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذَا ظَلَمُوْا (Dengan menggunakan kata إِذَا [Idza]-penj.). Menurut tata bahasa Arab, kata إِذْ (idz) berfungsi untuk menjelaskan hal yang telah lalu bukan hal yang akan datang.

Sementara itu, ayat tersebut berbicara tentang suatu kaum yang berhukum atau hendak berhukum kepada selain Allah dan RasulNya sebagaimana yang didukung oleh alur cerita terdahulu ataupun yang akan datang. Kedua, Tawassul tersebut dilakukan melalui wasilah yang tidak diajarkan oleh agama; ini ada dua jenis:

1. Wasilah yang digunakan telah dibatalkan oleh syariat seperti tawassul yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dengan tuhan-tuhan mereka. Kebatilan jenis ini tentunya amat tampak.

2. Menggunakan wasilah yang didiamkan oleh syariat; ini hukumnya haram dan termasuk jenis kesyirikan. Seperti bertawassul melalui jah (kehormatan) seseorang yang memang terhormat di sisi Allah, lalu dia berkata, “Aku meminta kepadaMu melalui jah Nabi-Mu.”

Ini tidak dibolehkan karena merupakan penetapan terhadap suatu sebab yang tidak dianggap sah oleh syariat dan karena Jah orang yang memang terhormat tidak memiliki pengaruh apa-apa di dalam terkabulnya suatu doa sebab tidak terkait dengan orang yang berdoa ataupun orang yang didoakan tetapi hanya merupakan urusan orang yang terhormat itu sendiri. Dia tidak dapat memberikan manfaat bagi anda di dalam mencapai apa yang anda minta atau di dalam menolak apa yang anda tidak sukai.

Dikatakan sebagai wasilah bagi sesuatu, bilamana ia dapat menyampaikan kepadanya sementara bertawassul (mengambil wasilah) dengan sesuatu kepada hal yang tidak dapat menyampaikannya merupakan bentuk kesia-siaan belaka. Jadi, tidak pantas anda menjadikannya sebagai hal yang mengantarai diri anda dan Rabb anda. Wallahu waliyy at-Taufiq.

[Kumpulan Fatwa Tentanq Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaitmin, hal. 267-270.]

Via HijrahApp

HUKUM TAWASSUL DAN PENJELASAN HADITS AL-ABBAS

Pertanyaan:
Apakah hadits ini kualitasnya 'shahih' dan menunjukkan bolehnya bertawassul dengan jah (kehormatan) para wali? Hadits dimaksud adalah;

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu,
bahwasanya pada masa Umar bin al- Khatthab radhiyallahu anhu, bila mereka ditimpa kekeringan, dia memohon turun hujan melalui perantaraan al-Abbas bin Abdul Muththalib sembari berkata, " Ya Allah, sesungguhnya kami pernah bertawassul kepadaMu melalui Nabi Kami, lantas Engkau turunkan hujan untuk kami, dan sesungguhnya kami (sekarang) bertawassul kepadaMu melalui paman nabi kami, maka turunkanlah hujan kepada kami." Lalu dia (Anas) berkata, "merekapun akhimya diberi curah hujan tersebut."

Jawaban:
Hadits yang diisyaratkan oleh si penanya tadi kualitasnya adalah shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari akan tetapi siapa saja yang mencermatinya, dia akan mendapatkan bahwa justru (hadits tersebut) merupakan dalil atas tidak dibenarkannya bertawassul melalui jah (kehormatan) Nabi shalallahu alaihi wasallam atau melalui orang selain beliau. Hal ini, dikarenakan makna tawassul itu sendiri adalah menjadikan suatu sarana. Dan kata sarana maknanya 'sesuatu yang menyampaikan kepada apa vang dimaksud.

Wasilah yang dimaksud di dalam hadits tersebut adalah kalimat dalam ucapan Umar di atas, "... Sesungguhnya kami (sekarang) bertawassul kepadaMu melalui paman nabi kami, maka turunkanlah hujan bagi kami" Maksudnya di sini adalah bertawassul kepada Allah subhanahu wata'ala melalui doa yang dilakukan oleh Nabi sebagaimana yang dikatakan oleh seorang laki-laki;

"Wahai Rasulullah, harta kami telah musnah dan semua jalan pun telah terputus (tidak ada cara lagi yang dapat diupayakan-penj.), maka berdoalah kepada Allah agar menurunkan hujan (penuh rahmat) untuk kami."

Demikian pula, karena dalam hadits tersebut, Umar berkata kepada al-Abbas, "Berdirilah wahai al-Abbas! Berdoalah kepada Allah", maka dia pun berdoa. Bila benar ini dalam rangka bertawassul melalui jah, maka tentunya Umar akan bertawassul melalui jah Nabi sebelum bertawassul melalui al-Abbas sebab jah Nabi tentunya lebih mulia di sisi Allah ketimbang jah al-Abbas dan orang selainnya.

Juga, andaikata hadits tersebut dalam rangka bertawassul melalui jah, tentunya yang lebih pantas dilakukan oleh Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab adalah bertawassul melalui jah Nabi shalallahu alaihi wasallam, bukan jah al-Abbas bin Abdul Muththalib. Alhasil, bertawassul kepada Allah subhanahu wata'ala melalui doa orang yang diharapkan terkabulnya doa tersebut karena keshalihannya, hukumnya tidak apa-apa.

Para sahabat radiallahu anhum sendiri bertawassul kepada Allah subhanahu wata'ala melalui doa Nabi shalallahu alaihi wasallam untuk mereka. Demikian pula dengan Umar dia bertawassul melalui doa al-Abbas bin Abdul Muththalib radiallahu anhu. Jadi, tidak apa-apa hukumnya bila anda melihat seorang laki- laki yang shalih yang diharapkan sekali terkabulnya (doa) karena makanan, minuman, pakaian serta tempat tinggalnya didapatnya dari cara yang halal dan karena dia dikenal sebagai orang yang ahli 'ibadah dan takwa;

(maka tidak apa-apa) anda memintanya agar berdoa kepada Allah untuk anda sesuai dengan yang anda inginkan, asalkan hal itu tidak menimbulkan sikap ghurur (bangga diri berlebihan sehingga menipu dirinya) ke dalam diri orang yang dimintai doa tersebut, sebab bila hal itu terjadi pada dirinya, maka ketika itu tidak boleh anda lakukan (yang seakan) membunuh dan membinasakannya melalui permintaan tersebut karena sikap itu membahayakan dirinya.

Saya juga tegaskan, hal seperti ini adalah boleh hukumnya namun saya tidak mendukungnya. Menurut saya, seseorang hendak- nya meminta kepada Allah melalui dirinya sendiri tanpa menjadikan perantara antara dirinya dan Allah sebab yang demikian lebih dapat diharapkan terkabulnya dan lebih dekat kepada sikap khassyah (rasa takut).

Saya juga senang bila seseorang meminta didoakan oleh saudaranya yang diharapkan doanya terkabul tersebut agar meniatkan berbuat baik kepadanya (orang yang berdoa) melalui hal tersebut bukan karena sekedar menyampaikan hajatnya belaka, sebab bila dia memintanya karena sekedar menyampaikan hajatnya, berarti dia sama dengan orang yang meminta-minta diberi uang dan semacamnya yang dicela.

Sedangkan bila dia bermaksud dengan hal itu agar dapat memberikan manfaat bagi saudaranya, seperti berbuat baik kepadanya di mana perbuatan baik seorang Muslim tentunya akan diberi ganjaran pahala sebagaimana yang telah diketahui bersama, maka hal itu adalah lebih utama dan lebih baik. Wallahu waliyy at-Taufiq.

[ Kumpulan Fatwa Seputar Aqidah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 283-281. ]

Via HijrahApp

SEBAB-SEBAB YANG DAPAT MEMPERKUAT IMAN

Pertanyaan:
Bagaimana seseorang bisa memperkuat imannya di mana kondisinya tidak dapat terpengaruh oleh makna ayat-ayatyang dibacanya kecuali sedikit sekali?

Jawaban:
Yang jelas, orang ini ketika mengatakan ucapan ini tampak bahwa dia sebenamya seorang yang beriman kepada hari akhir dan membenarkannya akan tetapi pada dirinya ada sedikit kekerasan hati. Penyakit keras hati pada masa sekarang ini banyak sekali dan sebab utamanya adalah berpaling dari beribadah dan ketundukan secara total kepada Allah aza wajalla.

Andaikata seseorang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benamya dan tunduk patuh kepadaNya dengan sebenar-benamya, niscaya dia akan mendapatkan hatinya menjadi lunak dan khusyu'. Dan, andaikata seseorang di antara kita menyongsong al-Qur'an dan mentadabburinya, niscaya dia juga akan mendapatkan hatinya menjadi lunak dan khusyu' sebab Allah subhanahu wata'ala berfirman,

"Kalau sekiranya kami menurunkan al- Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah." (Al-Hasyr: 21).

Di antara penyebab timbulnya penyakit keras hati adalah fenomena hiasan dunia di era kontemporer ini, terbuainya manusia olehnya serta beragamnya problematika. Oleh karena itu, anda bisa menjumpai anak kecil yang belum begitu mengenal godaan dnniawi dan godaan duniawi pun belum menyentuhnya lebih banyak khusyu' dan tangisnya (karena hatinya tersentuh-penj.) dibanding- kan dengan orang dewasa.

Ini adalah pemandangan yang kita saksikan dan kalian saksikan juga sekarang ini di Masjid Al-Haram di saat shalat Qiyamullail. Anda akan menjumpai anak-anak muda berusia delapan belasan tahun dan semisalnya bisa lebih banyak tangisnya karena tersentuh saat disebutkan ayat-ayat yang berisi ancaman atau sugesti daripada orang yang lebih tua dari mereka karena hati mereka lebih lunak dan belum banyak terbuai oleh godaan duniawi dan belum begitu memikirkan problematika- problematika jangka panjang ataupun pendek.

Oleh karena itu, kita menjumpai mereka lebih banyak diliputi rasa khusyu' dan lebih dekat kepada kelunakan hati daripada mereka yang sudah terbelalak oleh godaan duniawi dan terbuai olehnya sehingga menjadikan hati mereka tercerai-berai ke sana dan kemari.

Nasehat saya kepada saudara penanya ini agar mengkonsentrasikan hati dan pemikirannya hanya pada hal yang terkait dengan dien ini semata, antusias dalam membaca al-Qur'an dengan tadabbur dan perlahan serta antusias pula untuk merujuk kepada hadits- hadits yang mengandung targhib (bersifat rangsangan dan sugesti) dan tarhib (bersifat menakutkan dan ultimatum) karena hal ini dapat melunakkan hati.

[ Kumpulan Kajian dan Fatwa di al- Haram al- Makki, Juz III, hal. 380 dari Syaikh Ibnu Utsaimin. ]

Via HijrahApp

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M