Bab Bantahan
Apakah Ulama Cuma Tahu Hukum Syariat
APAKAH ULAMA CUMA TAHU HUKUM SYARIAT
Pertanyaan:
Ada orang yang beranggapan bahwa peran ulama kaum muslimin hanya sebatas hukum- hukum syariat, mereka tidak perlu dilibatkan dalam ilmu-ilmu lainnya, seperti; politik, ekonomi dan sebagainya. Bagaimana pandangan Syaikh mengenai anggapan ini?
Jawaban:
Menurut kami, anggapan ini terlahir dari ketidaktahuan tentang hakikat para ulama. Tidak diragukan lagi, bahwa para ulama syari'at menguasai pula ilmu perekonomian, politik dan lain-lainnya yang tercakup oleh ilmu-ilmu syari'at.
Jika anda ingin tahu kebe-naran ucapan saya ini, coba lihat Muhammad Rasyid Ridha 5, pemilik majalah almanar pada tafsirnya dan buku-buku lainnya. Lihat pula ulama sebelumnya seperti; Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lainnya. Lihat juga para ulama kontemporer, tentu anda akan mendapat bahwa mereka menguasai ilmu politik dan ekonomi yang mereka butuhkan.
Memang benar, di antara para ahli ilmu syari'at ada yang mengedepankan hal paling penting daripada yang penting, sehingga anda mendapatinya memberikan porsi yang sangat besar pada ilmu syar'i sementara pada ilmu lainnya hanya sedikit. Hal ini karena landasan kaidah, memulai dengan yang paling penting sebelum yang penting, karena Nabi صلی الله عليه وسلم telah bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فيِ الدِّيْنِ
"Barangsiapa yang dikehendaki Allah adanya kebaikan padanya, maka akan difahamkan dalam perkara agama."
Rujukan:
Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin
Via HijrahApp
Apakah seorang penguasa muslim boleh menangguhkan sebagian hukum hudud pada waktu-waktu darurat
APAKAH SEORANG PENGUASA MUSLIM BOLEH MENANGGUHKAN SEBAGIAN HUKUM HUDUD PADA WAKTU-WAKTU DARURAT
Pertanyaan:
Apakah seorang penguasa muslim boleh menangguhkan sebagian hukum hudud pada waktu-waktu darurat sebagaimana yang pernah diperbuat Umar bin al-Khaththab -rodliallaahu'anhu-, ketika menggugurkan hukum had mengenai pencurian pada waktu musim paceklik?
Jawaban:
Kaum Muslimin wajib menegakkan kewajiban yang telah Allah syari'atkan pada hukum-hukum hudud sebagaimana Umar bin al-Khaththab -rodliallaahu'anhu-, sendiri pernah berkata ketika sedang di atas mimbar Nabi صلی الله عليه وسلم tatkala menyinggung tentang hukum rajam bagi pezina yang sudah beristeri (muhshan), "Dan aku khawatir jika lama-lama orang-orang akan mengatakan, 'kami tidak mendapatkan hukum rajam di dalam Kitabullah.' Sehingga dengan begitu, mereka menjadi sesat karena meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan Allah سبحانه و تعالى."
Di sini, dia menjelaskan bahwa hal ini adalah merupakan suatu kewajiban dan tidak dapat disangkal lagi bahwa ia adalah kewajiban, karena Allah telah memerintahkannya.
Allah سبحانه و تعالى berfirman di dalam firman-firmanNya,
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya." (Al-Ma'idah:38).
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah." (An-Nur:2).
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia." (Al-Ma'idah:33).
Dan Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوْا إِِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيْهِمْ الضَّعِيْفُ أَقَامُوْا عَلَيْهِ الَحَدَّ، وَأَيْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa karena bila ada orang terpandang diantara mereka yang mencuri, mereka membiarkannya; dan bila orang lemah yang mencuri, maka mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, andaikata Fathimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku potong tangannya."[1]
Jadi, tidak seharusnya hukum-hukum hudud ini tidak difungsikan, apapun situasi dan kondisinya. Riwayat mengenai Umar yang menggugurkan hukum had ketika terjadi kelaparan, perlu diberi catatan dengan dua hal penting;
Pertama, keshahihan riwayatnya. Jadi, kita menuntut kepada setiap siapa saja yang mengklaim hal ini agar membuktikan keshahihan riwayatnya, bahwa ia berasal dari Umar. Kedua, bahwa Umar tidak memberlakukan hukum had tersebut karena mencuatnya syubhat, sebab orang-orang dalam kondisi kelaparan. Jadi, terkadang seseorang mengambil sesutu karena tuntutan kondisi, bukan sengaja untuk mengenyangkan perutnya dengan itu.
Seperti telah diketahui bersama, bahwa wajib bagi kaum muslimin memberi makan kepada saudaranya yang membutuhkan. Dari sini, Umar -rodhiallaahu'anhu- khawatir bila pencuri itu nantinya butuh kepada makanan, namun dia tidak mendapatkannya (karena terhalang), maka dia mencari-cari kesempatan untuk mencuri. Tindakan seperti inilah yang pantas dilakukan Umar, jika atsar yang dinisbahkan kepadanya memang shahih bahwa dia telah menggugurkan atau menghapus hukum had, yaitu had terhadap pencuri pada tahun paceklik.
Sedangkan terhadap para penguasa kita, yakni kebanyakan mereka tidaklah dapat dipercaya komitmen keagamaan mereka, demikian juga kewajiban mereka di dalam memberikan nasehat kepada umat.
Andaikata dibukakan pintu ke arah itu, niscaya sebagian mereka akan mengatakan, "Menegakkan hukum had di zaman ini sudah tidak relevan lagi karena orang-orang kafir, musuh kita akan menuduh kita sebagai orang-orang bengis dan manusia liar dan kita menentang apa yang wajib diperhatikan dari sisi hak-hak asasi manusia." Kemudian hukum hudud dihapus secara keseluruhan sebagaimana -sangat disayangkan sekali- realitas saat ini di kebanyakan negeri muslimin di mana hukum-hukum hudud tidak difungsikan demi menjaga perasaan musuh-musuh Allah.
Oleh karena itu, manakala hukum-hukum hudud tersebut tidak difungsikan lagi, terjadilah banyak sekali tindak kriminal dan orang-orang -bahkan hingga kepada para penguasa yang selalu mengekor dalam hal ini- menjadi linglung, apa tindakan yang harus dilakukan terhadap tindakan kriminal tersebut.
keterangan
[1] HR. Al-Bukhari, Ahadits al-Anbiya' (3475); Muslim, al-Hudud (1688).
Rujukan:
Dari Fatwa Syaikh Ibn Utsaimin.
Via HijrahApp
Bantahan Terhadap Ucapan, Bila Hadits Sesuai dengan Akal Maka la Shahih dan Bila Tidak, Berarti Tidak Shahih
BANTAHAN TERHADAP UCAPAN, BILA HADITS SESUAI DENGAN AKAL MAKA IA SHAHIH DAN BILA TIDAK, BERARTI TIDAK SHAHIH
Pertanyaan:
Bagaimana membantah kebid'ahan ucapan seseorang, "Bila suatu hadits sesuai dengan akal maka ia shahih dan bila tidak, berarti tidak shahih?"
Jawaban:
Bantahannya bahwa ini merupakan tolok ukur yang batil. Bila kita menjadikan akal sebagai pemutus terhadap keshahihan hadits niscaya kita telah termasuk orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka. Dengan tolok ukur akal yang bagaimana kita ingin menimbang hadits-hadits? Sebab, terkadang ada orang yang melihatnya menyalahi akal sedangkan orang lain justru melihatnya sesuai dengan akal padahal semua akal itu berbeda-beda, tidak sependapat.
Dan akal yang sehat dan terhindar dari syubhat serta syahwat (hawa nafsu) adalah yang menerima riwayat yang shahih dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم, baik ia mendapatkan hikmahnya di balik itu ataupun belum mendapatkannya.
Sedangkan siapa yang mengucapkan seperti ucapan tersebut maka berarti dia menyembah Allah berdasarkan hawa nafsunya, bukan petunjukNya.
Rujukan:
Majmu' Durus Fatawa al-Haram al-Makki, Juz.I, h.389, dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin.
Via HijrahApp
Hukum Orang yang Berkilah dengan Mengatakan, Kebanyakan Orang Melakukan yang Seperti Ini
HUKUM ORANG YANG BERKILAH DENGAN MENGATAKAN, KEBANYAKAN ORANG MELAKUKAN YANG SEPERTI INI
Pertanyaan:
Syaikh Ibn Utsaimin ditanyai, "Bila sebagian orang dilarang melakukan suatu perbuatan yang menyelisihi syari'at atau adab Islami, mereka selalu berkilah dengan mengatakan, 'Kebanyakan orang-orang melakukan seperti ini!'."
Jawaban:
Ini bukanlah hujjah berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya." (Al-An'am:116).Dan firmanNya,
"Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya." (Yusuf:103).
Akan tetapi yang menjadi hujjah (standar) adalah apa yang difirmankan Allah tersebut ataupun apa yang disabdakan Rasul-Nya serta amalan para as-Salaf ash-Shalih.
Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Rasa'il Fadhilatisy Syaikh Ibn Utsaimin, Juz.III, h.138.
Via HijrahApp
Hukum Taat Kepada Penguasa yang Tidak Berhukum Kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya
HUKUM TAAT KEPADA PENGUASA YANG TIDAK BERHUKUM KEPADA KITABULLAH DAN SUNNAH RASULNYA
Pertanyaan:
Syaikh Ibn Utsaimin ditanya tentang apakah hukum taat kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya صلی الله عليه وسلم?
Jawaban:
Ketaatan kepada penguasa yang tidak berhukum kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya hanya wajib dilakukan pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya namun tidak wajib memeranginya karena hal itu bahkan tidak boleh kecuali bila sudah mencapai batas kekufuran, maka ketika itu wajib menentangnya dan dia tidak berhak ditaati kaum muslimin.
Dan berhukum kepada selain apa yang ada di dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya mencapai tingkat kekufuran bila mencukupi dua syarat:
Pertama, mengetahui hukum Allah dan RasulNya. Jika dia tidak mengetahuinya, maka tidak kafir karena menyelisihinya.
Kedua, Faktor yang mendorongnya berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah keyakinan bahwa ia adalah hukum yang tidak relevan lagi dengan masa dan yang selainnya lebih relevan lagi darinya dan lebih berguna bagi para hamba-Nya.
Dengan dua syarat ini, berhukum kepada selain apa yang diturunkan Allah adalah merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari agama ini. Hal ini berdasarkan firmanNya,
"Barangsiapa tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (Al-Ma'idah: 44).
Wewenangnya sebagai penguasa menjadi batal, manusia tidak boleh lagi taat kepadanya, wajib memerangi dan mendongkel kekuasaannya.
Sedangkan bila dia berhukum kepada apa yang diturunkan Allah sementara dia meyakini bahwa berhukum kepadanya adalah wajib dan lebih memberikan maslahat bagi para hambaNya akan tetapi dia menyelisihinya karena terdorong hawa nafsu atau ingin berbuat kezhaliman terhadap orang yang dijatuhi hukuman; maka dia bukan kafir akan tetapi sebagai orang yang fasiq atau zhalim, wewenangnya masih berlaku, menaatinya pada selain berbuat maksiat kepada Allah dan RasulNya masih wajib, -
tidak boleh memerangi atau mendongkel kekuasaannya dengan paksa (kekuatan) dan tidak boleh pula membangkang terhadapnya karena Nabi صلی الله عليه وسلم melarang pembangkangan terhadap para pemimpin umat kecuali kita melihat kekufuran yang nyata sementara kita memiliki bukti berdasarkan syari'at Allah سبحانه و تعالى.
Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Rasa'il Syaikh Ibn Utsaimin, Juz.II, h.147-148.
Via HijrahApp
Hukum Terhadap Orang yang Mengingkari Adanya Kehidupan Akhirat
HUKUM TERHADAP ORANG YANG MENGINGKARI ADANYA KEHIDUPAN AKHIRAT
Pertanyaan:
Syaikh Ibn Utsaimin ditanyai, apa hukum terhadap orang yang mengingkari kehidupan akhirat dan mengklaim bahwa hal itu hanyalah khurafat yang ada pada abad-abad pertengahan? Dan bagaimana membungkam argumentasi mereka?
Jawaban:
Barangsiapa yang mengingkari kehidupan akhirat dan mengklaim bahwa hal itu merupakan khurafat yang ada pada abad-abad pertengahan, maka dia kafir. Hal ini berdasarkan firman-firman Allah berikut:
1. FirmanNya,
"Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), 'Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, da kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan.' Dan seandainya kamu melihat ketika mereka dihadapkan kepada Rabbnya (tentulah kamu melihat peristiwa yang mengharukan). Berfirman Allah,'Bukankah (kebangkitan) itu benar,' Mereka menjawab,'Sungguh benar, demi Rabb kami.' Berfirman Allah, 'Karena itu rasakanlah adzab ini, disebabkan kamu mengingkari(nya)'." (Al-An'am:29-30).
2. FirmanNya,
"Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan. Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan setiap orang yang melampui batas lagi berdosa. yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata, "Itu ada-lah dongengan orang-orang yang dahulu." Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka." Kemudian, sesungguhnya mereka benar-benar masuk neraka. Kemudian, dikatakan (kepada mereka), 'Inilah adzab yang dahulu selalu kamu dustakan'." (Al-Muthaffifin:10-17).
3.FirmanNya,
"Bahkan mereka mendustakan hari kiamat. Dan Kami sediakan neraka yang menyala-nyala bagi siapa yang mendustakan hari kiamat." (Al-Furqan:11).
4.FirmanNya (artinya),
"Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmatKu, dan mereka itu mendapat adzab yang pedih." (Al-Ankabut:23).
Sedangkan untuk membungkam argumentasi mereka yang mengingkari tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Sesungguhnya riwayat tentang perkara kebangkitan sudah dinukil secara mutawatir oleh para Nabi dan Rasul di dalam kitab-kitab Ilahi dan syari'at-syari'at langit serta telah diterima secara meluas oleh umat-umat mereka. Bagaimana mungkin kalian mengingkarinya sementara kalian malah membenarkan riwayat yang dinukil para filosof atau pemilik suatu aliran atau prinsip tertentu kepada kalian sekalipun informasi tentang hal itu tidak mencapai tingkatan informasi mengenai perkara kebangkitan, baik dari aspek sarana periwayatannya ataupun persaksian realitas.
Kedua, Sesungguhnya perkara kebangkitan dapat diterima oleh akal. Hal itu ditinjau dari beberapa aspek,
1) Setiap orang tidak ada yang mengingkari bahwa makhluk diciptakan dari tidak ada dan bahwa ia baru terjadi dari tidak terjadi. Maka tentunya, bahwa Yang menciptakan dan menjadikannya ada setelah tidak ada juga mampu mengembalikannya (menghidupkannya) kelak adalah lebih berhak lagi. Hal ini sebagaimana firmanNya,
"Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkannya kembali itu adalah lebih mudah bagiNya." (Ar-Rum:27).
Dan firmanNya,
"Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah janji yang pasti Kami tepati; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya." (Al-Anbiya': 104).
2) Setiap orang tidak ada yang mengingkari keagungan penciptaan langit dan bumi karena bentuk keduanya yang besar dan pembuatannya yang demikian indah. Maka tentunya, bahwa Yang menciptakan keduanya juga mampu mengembalikannya (seperti semula) adalah lebih berhak lagi. Sebagaimana firman-firmanNya,
"Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia." (Ghafir:57).
"Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan langit dan bumi dan Dia tidak merasa payah karena menciptakannya, kuasa menghidupkan orang-orang mati Ya (bahkan) sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." (al-Ahqaf:33).
"Dan Tidaklah Rabb yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan kembali jasad-jasad mereka yang sudah hancur itu? Benar Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencita lagi Maha Mengetahui, Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya,'Jadilah!' maka terjadilah ia." (Yasin:81-82).
3) Setiap orang yang memiliki pengetahuan menyaksikan bumi yang kering dan tumbuh-tumbuhannya mati, lalu turun hujan menyiraminya sehingga menjadi subur dan tumbuh-tumbuhan hidup kembali setelah mati. Yang Mahakuasa untuk menghidupkannya setelah ia mati adalah juga Yang Mahakuasa untuk menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati dan membangkitkannya. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya (Rabb) Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." (Fushshilat:39).
Ketiga, Sesungguhnya perkara kebangkitan dapat dirasakan oleh fisik dan realitas terhadap kejadian-kejadian hidup kembalinya orang-orang yang sudah mati. Di dalam surat Al-Baqarah, Allah menyinggung lima kejadian, yaitu firmanNya,
"Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang-orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, 'Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh' Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, 'Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?' Ia menjawab, 'Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.' -
Allah berfirman, 'Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berobah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya kembali dengan daging.? Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata, 'Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu'." (Al-Baqarah:259).
Keempat, Sesungguhnya hikmah menuntut adanya kebangkitan setelah kematian agar setiap jiwa mendapatkan balasan perbuatannya sebab bila tidak demikian, maka tentunya penciptaan manusia akan menjadi sia-sia, tidak ada nilainya, tidak ada hikmahnya serta tidak akan ada perbedaan antara manusia dan binatang-binatang di dalam kehidupan duniawi ini. Hal ini sebagaimana firman-firman Allah سبحانه و تعالى berikut,
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya;tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) 'Arsy yang mulia. (Al-Mu'minun:115-116).
"Sesungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan." (Thaha:15).
"Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh, 'Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati.' (Tidak demikian), bahkan (pasti Allah akan membangkitkannya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. Agar Allah menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu, dan agar orang-orang kafir itu mengetahui bahwasanya mereka adalah orang-orang yang berdusta. Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, 'Kun (jadilah)', Maka jadilah ia." (An-Nahl:38-40).
"Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah, 'Tidak demikian, demi Rabb-ku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.' Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (At-Taghabun:7).
Maka, bila anda telah menjelaskan argumentasi-argumentasi ini kepada para pengingkar adanya hari kebangkitan namun mereka terus ngotot dengan hal itu, berarti mereka itu adalah orang-orang sombong lagi pembangkang. Dan, orang-orang yang berbuat kezhaliman akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.
Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Rasa'il Syaikh Ibn Utsaimin, Juz.II, h.22-25.
Via HijrahApp
Hukum Ucapan, Sesungguhnya Islam Telah Merongrong Hak Wanita dan Telah Membiarkan Separuh Masyarakat Menganggur
HUKUM UCAPAN, SESUNGGUHNYA ISLAM TELAH MERONGRONG HAK WANITA DAN TELAH MEMBIARKAN SEPARUH MASYARAKAT MENGANGGUR
Pertanyaan:
Sebagian orang ada yang sudah termakan oleh propaganda musuh-musuh Islam melalui publikasi hal-hal yang terencana dan serangan yang terprogram, seperti ucapan mereka, "Sesungguhnya Islam telah merongrong hak wanita di masyarakat dan menonaktifkannya sehingga hanya diam di rumah serta membuat separuh masyarakat menganggur." Apa komentar anda mengenai hal ini dan sanggahan anda terhadap syubhat-syubhat tersebut?
Jawaban:
Komentar saya terhadap hal ini, bahwa ini adalah ucapan yang hanya bersumber dari orang yang jahil terhadap syari'at, terhadap Islam, hak-hak wanita itu sendiri serta terlalu terpukau dengan perilaku dan manhaj yang jauh dari kebenaran yang dilakukan musuh-musuh Allah. Dan alhamdulillah, Islam tidak pernah merongrong hak wanita malah Islam itu adalah agama hikmah yang menempatkan masing-masing orang sesuai dengan proporsinya.
Pekerjaan wanita adalah di rumahnya dan tinggalnya dia di rumahnya demi menjaga kehormatan suaminya, mendidik anak-anaknya, mengurusi urusan rumah serta pekerjaan lainnya yang sesuai dengan kodratnya.
Demikian pula, laki-laki memiliki spesifikasi pekerjaan yang khusus. Yang tampak adalah pekerjaan yang dilakukan untuk mencari rizki dan bermanfaat untuk umat. Sementara bila wanita tinggal di rumahnya untuk kemaslahatannya, anak-anak serta suaminya, maka inilah pekerjaan yang sesuai dengannya, yang menjaga dirinya, melindungi dan menjauhkannya dari perbuatan yang keji. Hal ini tidak akan dapat dilakukan bilamana dia keluar dan bergabung dengan lelaki di dalam pekerjaannya.
Seperti yang sudah diketahui bahwa bilamana dia bergabung dengan lelaki di dalam pekerjaannya, maka akan membahayakan sekali bahkan terhadap pekerjaan si lelaki itu sendiri sebab lelaki memiliki keinginan seksual terhadap wanita, bila dia bersamanya di dalam satu pekerjaan, maka hal ini akan membuatnya sibuk mengurusi si wanita ini apalagi bila dia masih muda dan berparas cantik. Dengan begitu, si laki-laki ini akan melupakan pekerjaannya dan dia tidak akan dapat bekerja secara prima.
Siapa saja yang merenungi kondisi kaum muslimin pada permulaan Islam, maka dia pasti akan mengetahui bagaimana mereka menjaga dan melindungi wanita-wanita pada masa mereka serta bagaimana mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka secara prima.
Rujukan:
Alfazh Wa Mafahim Fi Mizan asy-Syari'ah, h.72-73, dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin
Via HijrahApp
Membantah Tuduhan, Kaum Muslimin Terbelakang Karena Agamanya
MEMBANTAH TUDUHAN, KAUM MUSLIMIN TERBELAKANG KARENA AGAMANYA
Pertanyaan:
Sebagian orang yang lemah imannya mengklaim bahwa sebab keterbelakangan kaum muslimin adalah karena komitmen mereka terhadap agama. Syubhat yang mereka lemparkan menurut klaim tersebut bahwa tatkala orang-orang Barat meninggalkan seluruh agama dan terbebas dari kungkungannya, sampailah mereka kepada kondisi sekarang ini, yaitu kemajuan peradaban sementara kita karena komitmen terhadap agama masih saja mengekor pada mereka, bukannya sebagai orang yang diikuti.
Bagaimana mementahkan tuduhan semacam ini? Barangkali mereka menambahkan lagi satu syubhat lainnya, yaitu ada hujan yang lebat turun di sana, hasil-hasil pertanian dan bumi yang subur menghijau. Mereka mengatakan, ini merupakan bukti kebenaran ajaran mereka.
Jawaban:
Kita katakan, bahwa sesungguhnya pertanyaan semacam ini hanyalah bersumber dari penanya yang lemah imannya atau tidak memiliki iman sama sekali; jahil terhadap realitas sejarah dan tidak mengetahui faktor-faktor kemenangan. Justru, ketika umat Islam komitmen terhadap agama pada periode permulaan Islam, mereka memiliki ‘Izzah (kemuliaan diri), Tamkin (mendapatkan posisi yang mantap), kekuatan dan kekuasaan di seluruh lini kehidupan.
Bahkan sebagian orang berkata, "Sesungguhnya orang-orang Barat belum mampu menimba ilmu apapun kecuali dari ilmu-ilmu yang mereka timba dari kaum muslimin pada periode permulaan Islam."
Akan tetapi umat Islam malah banyak terbelakang dari ajaran diennya sendiri dan mengada-adakan sesuatu di dalam Dienullah yang sebenarnya tidak berasal darinya baik dari sisi aqidah, ucapan dan perbuatan. Karena hal itulah, mereka benar-benar mengalami kemunduran dan keterbelakangan.
Kita mengetahui dengan seyakin-yakinnya dan bersaksi kepada Allah سبحانه و تعالى bahwa andaikata kita kembali kepada manhaj yang dulu pernah diterapkan oleh para pendahulu kita dalam dien ini, niscaya kita akan mendapatkan ‘Izzah, kehormatan dan kemenangan atas seluruh umat manusia. Oleh karena itulah, tatkala Abu Sufyan menceritakan kepada Heraklius, kaisar Romawi –yang ketika itu Kekaisaran Romawi dianggap sebagai negara adidaya- perihal ajaran Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan para sahabatnya, dia mengomentari,
"Jika apa yang kamu katakan mengenai dirinya ini benar, maka berarti dia adalah seorang Nabi- dan sungguh, kekuasaannya akan mencapai tempat di bawah kedua kakiku ini."
Dan tatkala Abu Sufyan dan para rekannya berpaling dari sisi Heraklius, dia berkata, "Urusan si Ibn Kabsyah ini sudah menjadi besar, sesungguhnya Raja Bani al-Ashfar (sebutan Quraisy terhadap orang Romawi) gentar terhadapnya." (Al-Bukhari, Bad'ul Wahyi (7), al-Jihad (2941); Muslim, al-Jihad (1773)).
(Ibn Kabsyah adalah salah seorang dari suku Khuza’ah yang menyembah sesuatu yang bertentangan dengan ibadah bangsa Arab karenanya Abu Sufyan menjuluki Rasulullah demikian, karena beliau juga mengingkari dari apa yang mereka anut, pent.)
Sedangkan mengenai kemajuan di bidang industri, teknologi dan sebagainya yang dicapai di negara-negara Barat yang kafir dan atheis itu, tidaklah agama kita melarang andaikata kita meliriknya akan tetapi sangat disayangkan kita sudah menyia-nyiakan ini dan itu; menyia-nyiakan agama kita dan juga menyia-nyiakan kehidupan dunia kita. Sebab bila tidak, sesungguhnya Dien Islam tidak menentang adanya kemajuan seperti itu bahkan dalam banyak ayat Allah berfirman,
"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu." (Al-Anfal:60).
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizkiNya." (Al-Mulk:15).
"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu." (Al-Baqarah:29).
"Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan." (Ar-Ra'd:4).
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang mengajak secara terang-terangan kepada manusia agar berusaha dan bekerja serta mengambil manfaat akan tetapi bukan dengan mempertaruhkan agama. Kaum kafir tersebut pada dasarnya adalah kafir, agama yang diklaim juga adalah agama yang batil. Jadi kekufuran dan atheistik padanya sama saja, tidak ada perbedaannya. Dalam hal ini, Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya." (Ali Imran: 85).
Jika Ahli Kitab yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan Nashrani memiliki sebagian keunggulan yang tidak sama dengan orang-orang selain mereka akan tetapi mereka sama saja bila dikaitkan dengan masalah akhirat kelak, oleh karena itu Nabi صلی الله عليه وسلم telah bersumpah bahwa tidaklah umat Yahudi atau Nashrani tersebut yang mendengar (dakwah) beliau kemudian tidak mengikuti ajaran yang beliau bawa melainkan ia termasuk penghuni neraka.
Jadi, sejak awal mereka itu adalah kafir, baik bernisbah kepada Yahudi ataupun Nashrani bahkan sekalipun tidak bernis-bah kepada keduanya.
Sementara adanya banyak curahan hujan dan selainnya yang mereka dapatkan, hal ini hanya sebagai cobaan dan ujian dari Allah سبحانه و تعالى. Allah memang menyegerakan bagi mereka anugerah kenikmatan-kenikmatan di dalam kehidupan duniawi sebagaimana yang disabdakan Nabi صلی الله عليه وسلم kepada Umar bin Al-Khaththab tatkala dia melihat beliau lebih mengutamakan tidur beralaskan tikar sehingga membuat Umar menangis. Dia berkata kepada beliau,
"Wahai Rasulullah, orang Persi dan Romawi hidup bergelimang kenikmatan sementara engkau dalam kondisi seperti ini?" Beliau menjawab,
"Masih ragukah engkau wahai Ibn al-Khaththab? Mereka itu kaum yang memang disegerakan untuk mendapatkan kenikmatan-kenikmatan di dalam kehidupan duniawi." (HR. Al-Bukhari, Al-Mazhalim (2467), An-Nikah (5191)).
Kemudian mereka juga ditimpa musibah kelaparan, malapetaka-malapetaka, gempa dan angin-angin topan yang meluluhlantakkan sebagaimana yang diketahui bersama dan selalu disiarkan di radio-radio, koran-koran dan sebagainya.
Akan tetapi orang yang mempertanyakan seperti ini buta. Allah telah membutakan penglihatannya sehingga tidak mengetahui realitas dan hakikat yang sebenarnya. Nasehat saya kepadanya agar dia bertaubat kepada Allah سبحانه و تعالى dari pandangan-pandangan seperti itu sebelum ajal dengan tiba-tiba menjemputnya. Hendaknya dia kembali kepada Rabb-nya dan mengetahui bahwa kita tidak akan mendapatkan ‘Izzah, kehormatan, kemenangan dan kepemimpinan kecuali bila kita telah kembali kepada Dien al-Islam;
kembali dengan sebenar-benarnya yang diimplementasikan melalui ucapan dan perbuatan. Dia juga hendaknya mengetahui bahwa apa yang dilakukan orang-orang Kafir itu adalah batil, bukan Haq dan tempat mereka adalah neraka sebagaimana yang diberitakan Allah سبحانه و تعالى dan melalui lisan RasulNya, Muhammad صلی الله عليه وسلم.
Pertolongan berupa nikmat banyak yang dianugerahkan Allah kepada mereka tersebut hanyalah cobaan, ujian dan penyegeraan kenikmatan, hingga bilamana mereka telah binasa dan meninggalkan kenikmatan-kenikmatan ini menuju Neraka Jahim, barulah penyesalan, derita dan kesedihan akan semakin berlipat bagi mereka. Ini semua merupakah Hikmah Allah dengan memberikan kenikmatan kepada mereka padahal mereka sebagaimana telah saya katakan tadi, tidak akan selamat dari bencana-bencana, gempa, kelaparan, angin topan, banjir dan sebagainya yang menimpa mereka.
Saya memohon kepada Allah agar orang yang mempertanyakan ini mendapatkan hidayah dan taufiq, mengembalikannya ke jalan yang haq dan memberikan pemahaman kepada kita semua terhadap dien ini, sesungguhnya Dia Mahakaya lagi Maha-mulia. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, washallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad Wa ‘Ala Alihi Wa Ashhabihi Ajma’in.
Rujukan:
Alfazh Wa Mafahim Fi Mizan asy-Syari’ah, h.4-9, dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin.
Via HijrahApp
Mencaci-maki Agama dalam Kondisi Emosi
MENCACI-MAKI AGAMA DALAM KONDISI EMOSI
Pertanyaan:
Apa hukum syari'at menurut pandangan anda terhadap orang yang mencaci-maki agama dalam kondisi emosi, apakah dia wajib membayar kafarat? Apa syarat bertaubat dari perbuatan ini? Mengingat saya pernah mendengar dari para ulama yang mengatakan kepada saya, bahwa berdasarkan ucapanmu tersebut, sesungguhnya kamu telah keluar dari Islam. Demikian juga mereka mengatakan bahwa isterimu itu telah menjadi haram bagimu?
Jawaban:
Vonis hukum terhadap orang yang mencaci-maki agama Islam adalah bahwa dia telah melakukan kekufuran sebab mencaci-maki agama dan memperolok-oloknya merupakan tindakan murtad dari Islam dan kekufuran terhadap Allah سبحانه و تعالى dan dien-Nya.
Dalam hal ini, Allah سبحانه و تعالى telah mengisahkan perihal suatu kaum yang memperolok-olok dien Al-Islam, bahwa mereka itu pernah mengatakan, "Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja." Lalu Allah menjelaskan bahwa senda gurau dan bermain-main seperti ini merupakan bentuk olok-olok terhadap Allah, ayat-ayat dan RasulNya dan bahwa mereka telah menjadi kafir karena itu. Allah berfirman,
"Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.' Katakanlah, 'Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman?"(At-Taubah:65-66).
Jadi, memperolok-olok Dienullah, mencaci-makinya, mencaci-maki Allah dan RasulNya atau memperolok keduanya merupakan kekufuran yang mengeluarkan seseorang dari dien ini.
Sekalipun demikian, di sana masih ada peluang untuk bertaubat, sebagaimana firman Allah سبحانه و تعالى,
"Katakanlah, 'Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu terputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesung-guhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'." (Az-Zumar:53).
Bila seseorang bertaubat dari apapun bentuk riddah (keluar dari Islam) yang dilakukannya dan taubatnya itu adalah Taubat Nashuh (taubat yang sebenar-benarnya) serta telah memenuhi lima persyaratan, maka Allah akan menerima taubatNya. Lima syarat yang dimaksud adalah:
Pertama, Taubatnya tersebut dilakukannya dengan ikhlas semata karena Allah. Jadi, faktor yang mendorongnya untuk bertaubat, bukanlah karena riya', nama baik (prestise), takut kepada makhluk ataupun mengharap suatu urusan duniawi yang ingin diraihnya. Bila dia telah berbuat ikhlas dalam taubatnya kepada Allah dan faktor yang mendorongnya adalah ketaqwaan kepada-Nya, takut akan siksaanNya serta mengharap pahalaNya, maka berarti dia telah berbuat ikhlas dalam hal tersebut.
Kedua, Menyesali perbuatan dosa yang telah dilakukan. Yakni, seseorang mendapati dirinya sangat menyesal dan bersedih atas perbuatan yang telah lalu tersebut serta memandangnya sebagai perkara besar yang wajib baginya untuk melepaskan diri darinya.
Ketiga, Berhenti total dari dosa tersebut dan keinginan untuk terus melakukannya. Bila dosanya tersebut berupa tindakannya meninggalkan hal yang wajib, maka setelah taubat dia harus melakukannya dan berusaha semaksimal mungkin untuk membayarnya. Dan jika dosanya tersebut berupa tindakannya melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia harus cepat berhenti total dan menjauhinya. Termasuk juga, bila dosa yang dilakukan terkait dengan makhluk, maka dia harus memberikan hak-hak mereka tersebut atau meminta dihalalkan darinya.
Keempat, Bertekad untuk tidak lagi mengulanginya di masa yang akan datang. Yakni, di dalam hatinya harus tertanam tekad yang bulat untuk tidak lagi mengulangi perbuatan maksiat yang dia telah bertaubat darinya.
Kelima, Taubat tersebut hendaklah terjadi pada waktu yang diperkenankan. Jika terjadi setelah lewat waktu yang diperkenankan tersebut, maka ia tidak diterima. Lewatnya waktu yang diperkenankan tersebut dapat bersifat umum dan dapat pula bersifat khusus. Waktu yang bersifat umum adalah saat matahari terbit dari arah terbenamnya. Maka, bertaubat setelah matahari terbit dari arah terbenamnya tidak dapat diterima. Hal ini berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,
"(Atau) kedatangan sebagian tanda-tanda Rabbmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya." (Al-An'am:158).
Sedangkan waktu yang bersifat khusus adalah saat ajal menjelang. Maka, bila ajal telah menjelang, maka tidak ada gunanya lagi bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan, 'Sesung-guhnya saya bertaubat sekarang', Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran." (An-Nisa':18).
Saya tegaskan kembali, sesungguhnya bila seseorang bertaubat dari dosa apa saja ?sekalipun berupa caci-maki terhadap agama-, maka taubatnya diterima bilamana memenuhi persyaratan yang telah kami singgung tadi. Akan tetapi perlu dia ketahui bahwa suatu ucapan bisa jadi dinilai sebagai kekufuran dan riddah, akan tetapi orang yang mengucapkannya bisa jadi tidak divonis kafir karenanya dengan adanya salah satu penghalang yang menghalangi dari memberikan vonis kafir tersebut terhadapnya.
Dan terhadap orang yang menyebutkan bahwa dirinya telah mencaci-maki agamanya tersebut dalam kondisi emosi, kami katakan, "Jika emosi anda demikian meledak sehingga anda tidak sadar lagi apa yang telah diucapkan, anda tidak sadar lagi di mana diri anda saat itu; di langit atau masih di bumi dan anda telah mengucapkan suatu ucapan yang tidak anda ingat dan tidak anda ketahui, maka ucapan seperti ini tidak dapat dijatuhkan hukum atasnya.
Dengan begitu, tidak dapat dijatuhkan vonis riddah terhadap diri anda karena apa yang anda ucapkan adalah ucapan yang terjadi di bawah sadar (tidak diinginkan dan dimaksudkan demikian). Dan, setiap ucapan yang terjadi di bawah sadar seperti itu, maka Allah tidak akan menghukum anda atasnya. Dalam hal ini, Dia berfirman mengenai sumpah-sumpah tersebut,
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja." (al-Ma'idah:89).
Bila orang yang mengucapkan ucapan kekufuran ini dalam kondisi emosionil yang teramat sangat (meledak-ledak) sehingga dia tidak sadar apa yang diucapkan dan tidak tahu apa yang telah keluar dari mulutnya, maka tidak dapat dijatuhkan hukum atas ucapannya tersebut. Dengan begitu, dia juga tidak dapat dijatuhi vonis riddah.
Manakala tidak dapat dijatuhkan vonis riddah terhadapnya, maka pernikahannya dengan isterinya tidak (secara otomatis) menjadi batal (fasakh). Artinya, dia tetap menjadi isterinya yang sah akan tetapi semestinya bila seseorang merasakan dirinya tersulut emosi, maka cepat-cepatlah memadamkan emosinya ini. Yaitu dengan cara yang telah diwasiatkan Nabi صلی الله عليه وسلم saat ada seorang laki-laki bertanya kepadanya sembari berkata, "Wahai Rasulullah, berilah wasiat (nasehat) kepadaku!."
Lalu beliau menjawab, "Janganlah kamu marah." Lantas orang itu berkali-kali mengulangi lagi pertanyaan itu dan beliaupun tetap menjawab, "Janganlah kamu emosi."[1]
Hendaknya dia dapat menstabilkan kondisi dirinya dan meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Bila dia ketika itu sedang berdiri, maka hendaklah duduk; bila dia sedang duduk, maka hendaklah berbaring; dan bila emosinya benar-benar meledak, maka hendaklah dia berwudhu'.
Melakukan hal-hal seperti ini dapat menghilangkan emosi dari dirinya. Alangkah banyak orang yang menyesal dengan suatu penyesalan yang besar karena telah melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang ada di dalam emosinya tersebut akan tetapi (sangat disayangkan) hal itu setelah waktunya sudah terlewati (alias nasi telah menjadi bubur, pent.).
keterangan
[1] HR. Al-Bukhari di dalam kitab Al-Adab (6116); At-Tirmidzi di dalam kitab Al-Birr wa Ash-Shilah (2020).
Rujukan:
Nur 'Ala ad-Darb, dari fatwa Ibn Utsaimin.
Via HijrahApp
Mengikuti Ulama atau Penguasa Dalam Hal yang Haram
MENGIKUTI ULAMA ATAU PENGUASA DALAM HAL YANG HARAM
Pertanyaan:
Apa hukum mengikuti para ulama atau umara dalam hal menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah atau sebaliknya?
Jawaban:
Mengikuti para ulama atau umara di dalam hal menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah atau sebaliknya terbagi kepada tiga klasifikasi:
Klasifikasi Pertama, mengikuti mereka dalam hal itu sementara dirinya rela terhadap ucapan mereka, mendahulukannya dan mendongkol terhadap hukum Allah. Orang yang melakukan ini adalah kafir karena telah membenci apa yang diturunkan Allah, dan benci terhadap apa yang diturunkan Allah adalah suatu ke-kufuran. Hal ini berdasarkan firman Allah,
"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka." (Muhammad:9).
Semua perbuatan tidak akan dihapuskan kecuali karena kekufuran. Oleh karena itu, setiap orang yang membenci apa yang diturunkan Allah, maka dia telah menjadi Kafir.
Klasifikasi kedua, mengikuti mereka dalam hal itu sementara dirinya hanya rela terhadap hukum Allah dan mengetahui benar bahwa ia adalah lebih utama dan lebih sesuai bagi para hamba dan negeri akan tetapi karena mengikuti hawa nafsunya, dia kemudian mengikuti mereka dalam hal itu. Maka, orang seperti ini tidak kafir akan tetapi fasiq. Jika dipertanyakan, kenapa dia tidak kafir? Jawabnya, karena dia tidak menolak hukum Allah akan tetapi rela terhadapnya namun dia menentangnya karena mengikuti hawa nafsunya. Maka dia sama seperti para pelaku perbuatan maksiat lainnya.
Klasifikasi ketiga, mengikuti mereka karena ketidatahuannya. Dia mengira bahwa hal itu adalah sesuai dengan hukum Allah. Kondisi seperti ini terbagi lagi kepada dua klasifikasi lainnya:
Pertama, memungkinkan bagi dirinya untuk mengetahuinya. Maka dalam hal ini dia adalah seorang yang melampaui batas ataupun teledor dan berdosa atas hal itu sebab Allah memerintahkan agar bertanya kepada para ulama ketika tidak tahu.
Kedua, dia tidak mengetahuinya dan tidak memungkinkan bagi dirinya sendiri untuk mengetahui mana yang benar sehingga dia mengikuti mereka dengan tujuan taqlid. Dia mengira bahwa hal itulah yang haq, maka dia tidak berdosa sebab dia sudah melakukan apa yang diperintahkan kepadanya dan karenanya 'udzurnya diterima (secara syar'i). Oleh karena itu, terdapat hadits dari Nabi صلی الله عليه وسلم yang berbunyi,
مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ
"Barangsiapa yang diberi fatwa tanpa ilmu, maka dosanya (dipikul oleh) orang yang memberikan fatwa kepadanya." (HR.Abu Daud, kitab Al-'Ilm (3657); Ibn Majah semisalnya dalam Mukaddimah (53) dan Ad-Darimi dalam Mukaddimah juga (159))
Andaikata kita katakan terhadap hal di atas, bahwa dia berdosa karena kesalahan orang lain, maka konsekuensinya adalah timbulnya kesulitan dan kesukaran (dan hal ini tidak mungkin terjadi dalam dien ini sebab dien ini telah menghapus kesulitan bagi pemeluknya, pent.). Akibatnya, tidak ada manusia yang menaruh kepercayaan lagi kepada siapapun karena sangat dimungkinkan dia melakukan kesalahan.
Rujukan:
Al-Majmu' Ats-Tsamin, Juz.II, h.129-130, dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin.
Via HijrahApp
Menyebut Hukum Potong Tangan Sebagai Tindak Pelanggaran HAM
MENYEBUT HUKUM POTONG TANGAN SEBAGAI TINDAK PELANGGARAN HAM
Pertanyaan:
Apa pendapat anda terhadap orang yang mengatakan, "Sesungguhnya memotong tangan si pencuri dan menjadikan nilai persaksian kaum wanita separuh dari persaksian kaum lelaki adalah sesuatu yang keras (tidak berprikemanusiaan, pent.), dan melanggar hak asasi kaum perempuan?" Semoga Allah membalas dengan kebaikan bagi anda.
Jawaban:
Saya tegaskan terhadap orang yang mengatakan memotong tangan pencuri dan menjadikan nilai persaksian kaum wanita separuh dari persaksian kaum lelaki sebagai sesuatu yang keras dan melanggar hak asasi kaum wanita, bahwa dengan perkataan ini dia telah keluar (murtad) dari Islam dan kafir terhadap Allah سبحانه و تعالى. Maka, wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah dari hal itu. Bila dia tidak mau, maka dia mati dalam kondisi kafir, sebab hal inilah hukum Allah. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al-Ma'idah:50).
Allah juga telah menjelaskan hikmah di balik adanya hukum potong tangan terhadap pencuri, sebagaimana firmanNya,
"(sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (Al-Ma'idah:38).
Dia juga menerangkan hikmah di balik persaksian kaum wanita, yakni dua orang wanita dan seorang laki-laki (bila tidak ada dua orang saksi laki-laki, pent.), yaitu sebagaimana firmanNya,
"Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya." (Al-Baqarah:282).
Berdasarkan hal ini, maka orang yang mengatakan seperti itu harus bertaubat kepada Allah سبحانه و تعالى, sebab jika tidak, maka dia akan mati dalam kondisi kafir.
rujukan: -
Via HijrahApp
Sikap Pertengahan Dalam Agama
SIKAP PERTENGAHAN DALAM AGAMA
Pertanyaan:
Apakah yang dimaksud dengan al-wasath (sikap pertengahan) di dalam agama? Mohon penjelasan yang rinci dan memuaskan dari yang mulia, semoga Allah membalas jasa anda terhadap Islam dan kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.
Jawaban:
Pengertian al-wasath dalam agama adalah seseorang tidak boleh berlaku ghuluw (berlebih-lebihan) di dalamnya sehingga melampaui batasan yang telah ditentukan oleh Allah سبحانه و تعالى dan tidak pula taqshir, teledor di dalamnya sehingga mengurangi batasan yang telah ditentukan Allah سبحانه و تعالى.
Al-wasath di dalam agama artinya berpegang teguh dengan sirah (perjalanan hidup) Nabi صلی الله عليه وسلم. Ghuluw artinya melampaui batasnya sedangkan taqshir artinya tidak mencapainya (teledor). Sebagai contoh untuk hal tersebut, ada seorang laki-laki yang berkata, "Aku ingin melakukan shalat malam dan tidak akan tidur sepanjang tahun karena shalat merupakan ibadah yang paling utama dan aku ingin menghidupkan seluruh malam dengan shalat. Maka kita katakan, bahwa ini adalah sikap seorang yang berbuat ghuluw di dalam agama dan ini tidak benar.
Dan, hal semacam ini pernah terjadi pada masa Nabi صلی الله عليه وسلم, seperti suatu ketika berkumpullah beberapa orang, lalu salah seorang di antara mereka berkata, "Aku akan shalat malam terus dan tidak akan tidur." Yang satu lagi berkata, "Aku akan berpuasa terus dan tidak akan berbuka." Sedangkan orang ketiganya berkata, "Aku tidak akan menikahi wanita manapun." Lantas hal itu sampai ke telinga Rasulullah صلی الله عليه وسلم, maka bersabdalah beliau,
مَا بَالُ أَقْوَامٌٍ قاَلُوْا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُوْمُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ؛ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
"Ada apakah gerangan suatu kaum yang mengatakan begini dan begitu padahal aku ini juga melakukan shalat, tidur, berpuasa, ber-buka dan menikahi wanita; barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia tidak termasuk ke dalam golonganku." (HR. Al-Bukhari, An-Nikah (5063); Muslim, An-Nikah (1401)).
Mereka itu telah bertindak ghuluw di dalam agama dan Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah berlepas diri dari (tindakan) mereka tersebut karena mereka telah membenci (tidak suka) terhadap sunnah beliau, yakni berpuasa, berbuka, melakukan shalat malam, tidur dan menikahi wanita.
Sedangkan orang yang bertindak taqshir (teledor), adalah orang yang mengatakan, "Aku tidak butuh dengan amalan sunnah. Karena aku tidak akan melakukan hal-hal yang sunnah, dan aku hanya melakukan yang wajib-wajib saja." Padahal orang semacam ini, bisa jadi juga teledor di dalam melakukan hal-hal yang wajib tersebut. Inilah orang yang teledor itu, sementara orang yang bersikap pertengahan adalah orang yang berjalan sesuai dengan sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan Khulafa'ur Rasyidin setelah beliau.
Contoh lainnya, ada tiga orang yang di depan mata mereka berdiri seorang yang fasiq, lalu berkatalah salah seorang di antara mereka, "Aku tidak akan mengucapkan salam kepada si fasiq ini, tidak akan menegur, akan menjauh darinya dan tidak akan berbicara dengannya."
Orang kedua berkata, "Aku tetap mau berjalan dengan si fasiq ini, mengucapkan salam, melempar senyum, mengundangnya dan memenuhi undangannya. Pokoknya, bagiku dia sama seperti orang yang shalih lainnya."
Sedangkan orang ketiga berkata, "Aku tidak suka terhadap si fasik ini karena kefasikannya tersebut dan aku menyukainya karena keimanannya. Aku tidak akan melakukan hajr (isolir/tidak menegur) terhadapnya kecuali bila hal itu menjadi sebab dia berubah. Jika hajr tersebut tidak dapat menjadi sebab dia berubah bahkan semakin menambah kefasikannya, maka aku tidak akan melakukan hajr terhadapnya.
Maka, kita katakan: orang pertama tersebut sudah bertindak melampaui batas lagi ghuluw, orang kedua juga bertindak melampaui batas lagi teledor sedangkan orang ketigalah yang bertindak pertengahan (wasath) tersebut.
Demikian pulalah kita katakan pada seluruh ibadah dan mu'amalat. Di dalam hal tersebut manusia terbagi kepada kelompok yang teledor, bertindak ghuluw dan pertengahan.
Contoh kasus lainnya, ada seorang suami yang menjadi "tawanan' isterinya; mau diperintah olehnya kemana yang dia mau, tidak mencegahnya berbuat dosa dan tidak pula menganjurkannya agar berperilaku mulia. Pokoknya, isterinya telah menguasai pikirannya sehingga isterinya tersebutlah yang menjadi pemimpin rumah tangga.
Ada lagi seorang suami yang sangat kasar dan sombong dan tidak ambil pusing terhadap isterinya, tidak mempedulikanya seakan dia tidak lebih sebagai pembantu. Lalu ada lagi seorang suami yang memperlakukan isterinya dengan cara yang adil sebagaimana perintah Allah dan RasulNya. Allah berfirman,
"Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf." (Al-Baqarah:228).
Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda,
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
"Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, (sebab) jika dia membenci satu akhlak darinya, dia pasti rela dengan akh-laqnya yang lain." (Muslim, ar-Radla' (1469)).
Orang terakhir inilah yang bertindak pertengahan, sedangkan orang pertama sudah bertindak ghuluw di dalam memperlakukan isterinya sedangkan yang satu lagi sudah bertindak teledor. Jadi, perbandingkanlah terhadap amal-amal dan ibadah-ibadah yang lainnya.
Rujukan:
Al-Majmu' Ats-Tsamin, Juz.I, h.39 dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin.
Via HijrahApp