• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Bab Bid’ah

Bagikan

AMAL DIKATAKAN SEBAGAI BIDAH

Pertanyaan:
Bilakah suatu amal dianggap bidah dalam syariat nan suci ini, dan apakah sebutan bidah hanya berlaku pada bidang ibadah saja atau mencakup ibadah dan muamalah?

Jawaban:

Bid'ah dalam terminologi syari'at adalah setiap ibadah yang diada-adakan oleh manusia tapi tidak ada asalnya dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah, demikian ini berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم,
"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak."(Disepakati keshahihannya: Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718)).

Dan sabda beliau,
"Barangsapa melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak"(Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham. Disambungkan oleh Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718)).

Pengertian bid'ah dalam terminologi bahasa adalah setiap hal baru yang tidak seperti sebelumnya, hanya saja tidak berkaitan dengan hukum larangan jika bukan merupakan hal baru dalam agama. Sedangkan dalam mu'amalat, jika hal baru itu sesuai dengan syari'at maka termasuk legal secara syar'i, tapi jika menyelisihinya maka merupakan perbuatan batil, dan hal baru dalam mu'amalat tidak disebut bid'ah dalam lingkup syari'at karena tidak termasuk ibadah.

Sumber:
Majalah Ad-Da'wah, tanggal 7/11/1410 H. nomor 1344, Syaikh Ibnu Baz.

Via HijrahApp

BERJABATAN TANGAN SETELAH SHALAT SECARA RUTIN

Pertanyaan:
Apa hukum syari'at mengenai berjabatan tangan setiap selesai shalat, apakah ini bid'ah atau sunnah. Kami mohon penjelasannya beserta dalil-dalilnya.

Jawaban:
Berjabatan tangan setiap selesai shalat secara rutin, kami tidak mengetahui asalnya, bahkan itu bid'ah, padahal telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

 

"Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perin-tahkan maka ia tertolak."[1]

Dalam riwayat lain disebutkan,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ

 

"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak."[2]

Telah dikeluarkan juga fatwa lain mengenai masalah ini.

keterangan:
[1] Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[2] HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697), Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).

Rujukan:
Fatawa Islamiyyah, Darul Arqam, Syaikh Ibnu Baz, hal. 179.

Via HijrahApp

HUKUM BERTASBIH MENGGUNAKAN TASBEH

Pertanyaan:
Apa hukum bertasbih dengan menggunakan tasbeh? Jika tidak ada hukumnya, apa boleh bertasbih dengan menggunakan tasbeh karena alasan untuk menghitung bilangan tasbih?

Jawaban:
Lebih baik meninggalkannya. Sebagian ahli ilmu memakruhkannya, dan yang lebih utama adalah bertasbih dengan menggunakan jari sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم. Diriwayatkan dari beliau صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau memerintahkan untuk menghitung bilangan tasbih dan tahlil dengan jari-jari tangan, beliau bersabda,
إِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ

 

"Sesungguhnya mereka akan ditanya dan mereka akan disuruh berbicara." [1]

keterangan:
[1] Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Ash-Shalah (1501). At-Tirmidzi dalam Ad-Da'awat (3583). Ahmad (6/731).

Rujukan:
Al-Fatawa Kitabud Da'wah, hal. 76, Syaikh Ibnu Baz.

Via HijrahApp

HUKUM MENGUCAPKAN SHADAQALLAHUL 'AZHIM KETIKA SELESAI MEMBACA AL-QUR'AN

Pertanyaan:
Saya sering mendengar, bahwa mengucapkan "shadaqallahul 'azhim" ketika selesai membaca Al-Qur'an adalah perbuatan bid'ah. Namun sebagian orang yang mengatakan bahwa itu boleh, mereka berdalih dengan firman Allah سبحانه و تعالى, "Katakanlah: 'Benarlah (apa yang difirmankan) Allah'." (Ali Imran: 95).

Kemudian dari itu, sebagian orang terpelajar mengatakan kepada saya, bahwa apabila Nabi صلی الله عليه وسلم hendak menghentikan bacaan Al-Qur'an seseorang, beliau mengatakan, "cukup" dan beliau tidak mengatakan, "shadaqallahul 'azhim." Pertanyaan saya: Apakah ucapan "shadaqallahul 'azhim" dibolehkan setelah selesai membaca Al-Qur'anul Karim. Saya mohon perkenan Syaikh menjelaskannya.

Jawaban:
Mayoritas orang terbiasa mengucapkan "shadaqallahul 'azhim" ketika selesai membaca Al-Qur'anul Karim, padahal ini tidak ada asalnya, maka tidak boleh dibiasakan, bahkan menurut kaidah syar'iyah hal ini termasuk bid'ah bila yang mengucap-kannya berkeyakinan bahwa hal ini sunnah. Maka hendaknya ditinggalkan dan tidak membiasakannya karena tidak adanya dalil yang menunjukkannya.

Adapun firman Allah, "Katakanlah, 'Benarlah (apa yang difirmankan) Allah'." (Ali Imran: 95) bukan mengenai masalah ini, tapi merupakan perintah Allah سبحانه و تعالى untuk menjelaskan kepada manusia bahwa apa yang difirmankan Allah itu benar, yaitu yang disebutkan di dalam kitab-kitabNya yang agung, yakni Taurat dan lain-lainnya, dan bahwa Allah itu Maha-benar dalam ucapanNya terhadap para hambaNya di dalam KitabNya yang agung, Al-Qur'an.

Tapi ayat ini bukan dalil yang menunjukkan sunnahnya mengucapkan "shadaqallah" setelah selesai membaca Al-Qur'an atau membaca beberapa ayatnya atau membaca salah satu suratnya, karena hal ini tidak pernah ditetapkan dan tidak pernah dikenal dari Nabi صلی الله عليه وسلم dan tidak pula dari para sahabat beliau -rodhiallaahu'anhu-. Ketika Ibnu Mas'ud -rodhiallaahu'anhu- membacakan awal-awal surat An-Nisa di hadapan Nabi صلی الله عليه وسلم, saat bacaannya sampai pada ayat,‏
"Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)." (An-Nisa': 41).

Beliau berkata kepada Ibnu Mas'ud, "Cukup", Ibnu Mas'ud menceritakan, "Lalu aku menoleh kepada beliau, ternyata kedua matanya meneteskan air mata." [1] Maksudnya, bahwa beliau menangis saat disebutkannya kedudukan yang agung itu pada Hari Kiamat kelak, yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam ayat tadi,
"Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu. (Hai Muhammad) sebagai saksi atas mereka." (An-Nisa': 41).

Yaitu terhadap umat beliau. Dan sejauh yang kami ketahui, tidak ada seorang ahlul ilmi pun yang menukil dari Ibnu Mas'ud -rodhiallaahu'anhu- bahwa ia mengucapkan "shadaqallahul 'azhim" ketika Nabi صلی الله عليه وسلم mengatakan, "Cukup". Maksudnya, bahwa mengakhiri bacaan Al-Qur'an dengan ucapan "shadaqallahul 'azhim" tidak ada asalnya dalam syari'at yang suci. Tapi jika seseorang melakukannya sekali-sekali karena kebutuhan, maka tidak apa-apa.

Rujukan:
Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh Ibnu Baz (7/329-331).

Via HijrahApp

HUKUM MENGUNJUNGI SEORANG GURU UNTUK MEMPELAJARI TAREKAT SUFI ATAU MEMPERSEMBAHKAN KURBAN

Pertanyaan:
Di Sudan, ada seorang guru yang banyak pengikutnya, para pengikutnya itu melakukan berbagai cara untuk mengabdi kepadanya, menaatinya dan mengunjunginya dengan berbekal keyakinan bahwa sang guru itu termasuk wali-wali Allah. Mereka mempelajari Tarekat Sufi Samaniyah darinya. Di sana terdapat kubah besar milik orang tua sang guru, dengan kubah itu para pengikutnya memohon berkah, mempersembahkan apa-apa yang dianggap berharga oleh mereka sebagai nadzar.

Itu mereka lakukan sambil berdzikir disertai dengan menabuh piring dan genderang. Pada tahun ini, guru mereka memerintahkan untuk menziarahi kuburan guru lainnya, lalu para pengikutnya itu pun berangkat, laki-laki maupun perempuan dengan menggunakan ratusan mobil. Apa arahan Syaikh untuk mereka?

Jawaban:
Ini kemungkaran dan kejahatan besar, karena pergi untuk menziarahi kuburan adalah suatu kemungkaran, Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah bersabda,
لاَ تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى

 

"Janganlah kalian mengusahakan perjalanan berat kecuali kepada tiga masjid; Masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha." [1]

Lagi pula, mendekatkan diri kepada para penghuni kuburan dengan nadzar, sembelihan, shalawat, do'a dan memohon pertolongan kepada mereka, semua ini merupakan perbuatan syirik, mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى. Seorang muslim tidak boleh berdoa kepada penghuni kuburan, walaupun penghuni kuburan itu seorang yang mulia seperti para rasul صلی الله عليه وسلم tidak boleh meminta pertolongan kepada mereka, seperti halnya tidak boleh meminta pertolongan kepada berhala, pepohonan dan bintang-bintang.

Adapun permainan piring dan genderang yang mereka maksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah سبحانه و تعالى, ini merupakan bid'ah yang mungkar. Banyak golongan sufi yang beribadah dengan cara demikian, semua ini mungkar dan bid'ah, tidak termasuk yang disyari'atkan Allah, sebab menabuh piring yang disyari'atkan hanya dikhususkan bagi wanita dalam acara perayaan pernikahan untuk mengumumkan pernikahan agar diketahui masyarakat bahwa itu adalah pernikahan, bukan perzinahan.

Selain itu, yang termasuk bid'ah dan sarana-sarana kesyirikan adalah membuat bangunan dan mendirikan masjid di atas kuburan, karena Nabi صلی الله عليه وسلم telah melarang memagari kuburan, membuat bangunan di atasnya dan duduk-duduk di atasnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, dari Jabir bin Abdullah -rodhiallaahuanhu-, ia mengatakan,
"Rasulullah صلی الله عليه وسلم melarang memagari kuburan, duduk-duduk di atasnya dan membuat bangunan di atasnya." [2]

Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

 

"Allah melaknat kaum Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid." [3]

Maka seharusnya kuburan itu tidak ada bangunannya (tidak ditembok), dan tidak boleh meminta berkah pada kuburan atau mengusap-usapnya, serta tidak boleh berdoa dan meminta pertolongan kepada penghuninya, tidak boleh juga mempersembahkan nadzar atau sembelihan untuk mereka. Semua ini termasuk perbuatan jahiliyah.

Kaum muslimin hendaknya mewaspadai ini, dan para ahli ilmu hendaknya menasehati sang guru tersebut, memberitahunya bahwa perbuatan ini batil dan mungkar, dan bahwa menganjurkan manusia untuk memohon pertolongan kepada orang-orang yang sudah mati dan berdoa kepada mereka di samping Allah adalah merupakan perbuatan syirik akbar. Na'udzu billah. Hendaknya kaum muslimin tidak mengikutinya dan tidak terpedaya olehnya, karena ibadah itu hak Allah semata, hanya Allah yang pantas diseru dan diharap. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (Al-Jin:18).

Dalam ayat lainnya disebutkan,
"Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhgnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung." (Al-Mukminun: 117).

Allah menyebut mereka kafir karena mereka menyeru selain Allah, yaitu karena mereka menyeru jin, malaikat, para penghuni kuburan (orang-orang yang telah mati), bintang-bintang dan berhala-berhala. Jika menyeru itu di samping Allah, berarti syirik akbar, Allah سبحانه و تعالى telah berfirman,
"Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa'at dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian itu) maka sesung-guhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." (Yunus: 106).

Yakni orang-orang musyrik (yang mempersekutukan Allah [berbuat syirik]). Kepada siapa saja yang mampu mengingkari kemungkaran ini hendaknya turut serta mengingkarinya, kemudian kepada pemerintahnya, jika itu pemerintah Islam, hendaknya melarang hal ini dan mengajarkan kepada masyarakatnya apa-apa yang telah disyari'atkan dan diwajibkan Allah atas mereka dalam urusan agama sehingga kesyirikan ini bisa dihilangkan.

keterangan:
[1] HR. Al-Bukhari dalam Fadhlush Shalah (1197), Muslim dalam Al-Hajj (1397).
[2] HR. Muslim dalam Al-Jana'iz (970).
[3] HR. Al-Bukhari dalam Al-Jana'iz (1330). Muslim dalam Al-Masajid (529).

Rujukan:
Majalah Al-Buhuts, edisi 39, hal. 143-145, Syaikh Ibnu Baz.

Via HijrahApp

HUKUM MERAYAKAN MALAM ISRA MIRAJ

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba'du,

Tidak diragukan lagi bahwa isra' mi'raj termasuk tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan kebenaran Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan keagungan kedudukan beliau di sisiNya, juga menujukkan kekua-saan Allah yang Mahaagung dan ketinggianNya di atas semua makhlukNya. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Al-Isra': 1).

Telah diriwayatkan dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم secara mutawatir, bahwa beliau naik ke langit, lalu dibukakan baginya pintu-pintu langit sehingga mencapai langit yang ketujuh, kemudian Allah سبحانه و تعالى berbicara kepadanya dan mewajibkan shalat yang lima waktu kepadanya.

Pertama-tama Allah سبحانه و تعالى mewajibkannya lima puluh kali shalat, namun Nabi kita tidak langsung turun ke bumi, tapi beliau kembali kepadaNya dan minta diringankan, sampai akhir-nya hanya lima kali saja tapi pahalanya sama dengan lima puluh kali, karena suatu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Puji dan syukur bagi Allah atas semua ni'matNya.

Tentang kepastian terjadinya malam isra' mi'raj ini tidak disebutkan dalam hadits-hadits shahih, tidak ada yang menyebutkan bahwa itu pada bulan Rajab dan tidak pula pada bulan lainnya. Semua yang memastikannya tidak benar berasal dari Nabi صلی الله عليه وسلم. Demikian menurut para ahli ilmu. Allah mempunyai hikmah tertentu dengan menjadikan manusia lupa akan kepastian tanggal kejadiannya.

Kendatipun kepastiannya diketahui, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan suatu ibadah dan tidak boleh merayakannya, karena Nabi صلی الله عليه وسلم dan para sahabatnya رضي الله عنهم tidak pernah merayakannya dan tidak pernah mengkhususkannya. Jika perayaannya disyari'atkan, tentu Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah menerangkannya kepada umat ini, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan.

Dan jika itu disyari'atkan, tentu sudah diketahui dan dikenal serta dinukilkan dari para sahabat beliau kepada kita, karena mereka senantiasa menyampaikan segala sesuatu dari Nabi mereka yang dibutuhkan umat ini, dan mereka tidak pernah berlebih-lebihan dalam menjalankan agama ini, bahkan merekalah orang-orang yang lebih dahulu melaksanakan setiap kebaikan. Jika perayaan malam tersebut disyari'atkan, tentulah merekalah manusia pertama yang melaksanakannya.

Nabi صلی الله عليه وسلم adalah manusia yang paling loyal terhadap sesama manusia, beliau telah menyampaikan risalah dengan sangat jelas dan telah menunaikan amanat dengan sempurna.

Seandainya memuliakan malam tersebut dan merayakannya termasuk agama Allah, tentulah Nabi صلی الله عليه وسلم tidak melengahkannya tidak menyembunyikannya. Namun karena kenyataannya tidak demikian, maka diketahui bahwa merayakannya dan memuliakannya sama sekali tidak termasuk ajaran Islam, dan tanpa itu Allah telah menyatakan bahwa Dia telah menyempurnakan untuk umat ini agamanya dan telah menyempurnakan nikmatNya serta mengingkari orang yang mensyari'atkan sesuatu dalam agama ini yang tidak diizin-kanNya. Allah سبحانه و تعالى telah berfirman,
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu." (Al-Ma'idah: 3). Kemudian dalam ayat lain disebutkan, "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih." (Asy-Syura:21).

Telah diriwayatkan pula dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam hadits-hadits shahih peringatan terhadap bid'ah dan menjelaskan bahwa bid'ah-bid'ah itu sesat. Hal ini sebagai peringatan bagi umatnya tentang bahayanya yang besar dan agar mereka menjauhkan diri dari melaku-kannya, di antaranya adalah yang disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Aisyah, dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,

 

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak."[1]

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

 

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."[2]

Dalam kitab Shahih Muslim disebutkan, dari Jabir -rodhiallaahu'anhu-, ia mengatakan, bahwa dalam salah satu khutbah Jum'at Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengatakan,

 

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ a وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

"Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah,sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad صلی الله عليه وسلم, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat.[3]

An-Nasa'i menambahkan pada riwayat ini dengan ungkapan,

 

وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

"Dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka."[4]

Dalam As-Sunan disebutkan, dari Irbadh bin Sariyah -rodhiallaahu'anhu-, ia berkata, "Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengimami kami shalat Shubuh, kemudian beliau berbalik menghadap kami, lalu beliau menasehati kami dengan nasehat yang sangat mendalam sehingga membuat air mata menetes dan hati bergetar. Kami mengatakan, 'Wahai Rasulullah, tampaknya ini seperti nasehat perpisahan, maka berwasiatlah kepada kami. Beliau pun bersabda,

 

أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

'Aku berwasiat kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, taat dan patuh, walaupun yang memimpin adalah seorang budak hitam. Sesungguhnya siapa di antara kalian yang masih hidup setelah aku tiada, akan melihat banyak perselisihan, maka hendaklah kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perakara yang baru, karena setiap perkara baru itu adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat'."[5]

Telah disebutkan pula riwayat dari para sahabat beliau dan para salaf shalih setelah mereka, tentang peringatan terhadap bid'ah. Semua ini karena bid'ah itu merupakan penambahan dalam agama dan syari'at yang tidak diizinkan Allah serta merupakan tasyabbuh dengan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nashrani dalam penambahan ritual mereka dan bid'ah mereka yang tidak diizinkan Allah, dan karena melaksanakannya merupakan pengurangan terhadap agama Islam serta tuduhan akan ketidaksempurnaannya.

Tentunya dalam hal ini terkandung kerusakan yang besar, kemungkaran yang keji dan bantahan terhadap firman Allah سبحانه و تعالى, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." (Al-Ma'idah: 3). Serta penentangan yang nyata terha-dap hadits-hadits Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang memperingatkan perbuatan bid'ah dan peringatan untuk menjauhinya.

Mudah-mudahan dalil-dalil yang kami kemukakan tadi sudah cukup dan memuaskan bagi setiap pencari kebenaran untuk mengingkari bid'ah ini, yakni bid'ah perayaan malam isra' mi'raj, dan mewaspadainya, bahwa perayaan ini sama sekali tidak termasuk ajaran agama Islam.

Kemudian dari itu, karena Allah telah mewajibkan untuk loyal terhadap kaum muslimin, menerangkan apa-apa yang disyari'atkan Allah kepada mereka dalam agama ini serta larangan menyembunyikan ilmu, maka saya merasa perlu untuk memperingatkan saudara-saudara saya kaum muslimin terhadap bid'ah ini yang sudah menyebar ke berbagai pelosok, sampai-sampai dikira oleh sebagian orang bahwa perayaan ini termasuk agama.

Hanya Allah-lah tempat meminta, semoga Allah memperbaiki kondisi semua kaum muslimin dan menganugerahi mereka pemahaman dalam masalah agama. Dan semoga Allah menunjuki kita dan mereka semua untuk senantiasa berpegang teguh dengan kebenaran dan konsisten padanya serta meninggalkan segala sesuatu yang menyelisihinya. Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas itu. Shalawat, salam dan berkah semoga dilimpahkan kepada hamba dan utusanNya, Nabi kita, Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Sumber:
At-Tahdzir minal Bida', hal. 16-20, Syaikh Ibnu Baz.

keterangan.
[1] HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697), Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2] HR. Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[3] HR. Muslim dalam Al-Jumu'ah (867).
[4] HR. An-Nasa'i dalam Al-'Idain (1578).
[5] HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). At-Tirmidzi dalam Al-'Ilm (2678). Ibnu Majah dalam Al-Mu-qaddimah (42).

Via HijrahApp

HUKUM ULANG TAHUN

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan jangan-lah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)." (Al-A'raf: 3).

Diriwayatkan dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,

 

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perin-tahkan maka ia tertolak."[1]

Dalam hadits lainnya beliau bersabda,

 

خَيْرُ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ a وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

" Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muammmad صلی الله عليه وسلم, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat." [2]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.

Di samping perayaan-perayaan ini termasuk bid'ah yang tidak ada asalnya dalam syari'at, juga mengandung tasyabbuh (menyerupai) kaum Yahudi dan Nashrani yang biasa menyelenggarakan peringatan hari kelahiran, sementara Nabi صلی الله عليه وسلم telah memperingatkan agar tidak meniru dan mengikuti cara mereka, sebagaimana sabda beliau,

 

لَتَتَّبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضُبٍّ تَبَعْتُمُوْهُمْقُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَىقَالَ فَمَنْ

"Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta, sampai-sampai, seandainya mereka masuk ke dalam sarang biawak pun kalian mengikuti mereka." Kami katakan, "Ya Rasulullah, itu kaum Yahudi dan Nashrani?" Beliau berkata, "Siapa lagi."[3]

Makna 'siapa lagi' artinya mereka itulah yang dimaksud dalam perkataan ini. Kemudian dari itu, dalam hadits lain beliau bersabda,

 

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka."[4]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.

Semoga Allah menunjukkan kita semua kepada yang diridhaiNya.

Sumber:

Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutannawi'ah, juz 4, hal. 283, Syaikh Ibnu Baz.

keterangan
[1] Dikeluarkan oleh Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718). Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham.
[2] Dikeluarkan oleh Muslim dalam Al-Jumu'ah (867).
[3] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim: Al-Bukhari dalam Ahaditsul Anbiya' (3456). Muslim dalam Al-'Ilm (2669).
[4] Ahmad (5094, 5634). Abu Dawud (4031).

Via HijrahApp

TAREKAT TIJANIYAH

Pertanyaan:
Banyak orang di tengah-tengah kami yang menganut Tarekat Tijaniyah, sementara saya mendengar dalam acara Syaikh (nur 'ala ad-darb) bahwa tarekat ini bid'ah, tidak boleh diikuti. Tapi keluarga saya mempunyai wirid dari Syaikh Ahmad at-Tijani yaitu shalawat fatih, mereka mengatakan bahwa shalawat fatih adalah shalawat kepada Nabi صلی الله عليه وسلم. Apa benar shalawat fatih adalah shalawat kepada Nabi Muhammad صلی الله عليه وسلم?

Mereka juga mengatakan, bahwa orang yang membaca shalawat fatih lalu meninggalkannya, ia dianggap kafir. Kemudian mereka mengatakan, 'Jika engkau tidak mampu melaksanakannya lalu meninggalkannya, maka tidak apa-apa. Tapi jika engkau mampu namun meninggalkannya maka dianggap kafir.' Lalu saya katakan kepada kedua orang tua saya bahwa hal ini tidak boleh dilakukan, namun mereka mengatakan, 'Engkau wahaby dan tukang mencela.' Kami mohon penjelasan.

Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa Tarekat Tijaniyah adalah tarekat bid'ah. Kaum muslimin tidak boleh mengikuti tarekat-tarekat bid'ah, tidak Tarekat Tijaniyah, tidak pula yang lainnya, bahkan seharusnya berpegang teguh dengan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم, karena Allah telah berfirman,
"Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'." (Ali Imran: 31).

Artinya, katakanlah kepada manusia wahai Muhammad, 'Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.' Allah pun telah berfirman,
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)." (Al-A'raf: 3).

Dalam ayat lainnya disebutkan,
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (Al-Hasyr: 7).

Dalam ayat lainnya lagi disebutkan,
"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)." (Al-An'am: 153).

As-Subul (jalan-jalan yang lain) di sini maksudnya adalah jalan-jalan yang baru yang berupa perbuatan bid'ah, memperturutkan hawa nafsu, keraguan dan kecenderungan yang diharamkan. Adapun jalan yang ditunjukkan oleh sunnah RasulNya صلی الله عليه وسلم, itulah jalan yang harus diikuti.

Tarekat Tijaniyah, Syadziliyah, Qadariyah dan tarekat-tarekat lainnya yang diada-adakan oleh manusia, tidak boleh diikuti, kecuali yang sesuai dengan syari'at Allah. Yang sesuai itu boleh dilaksanakan karena sejalan dengan syari'at yang suci, bukan karena berasal dari tarekat si fulan atau lainnya, dan karena berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzab: 21).

Dan firmanNya,
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100).

Serta sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

 

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ

"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak." [1]

Dan sabda beliau,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

 

"Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak." [2]

Serta sabda beliau dalam salah satu khutbah Jum'at,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

 

"Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad صلی الله عليه وسلم, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat." [3]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna. Shalawat fatih adalah shalawat kepada Nabi صلی الله عليه وسلم, sebagaimana yang mereka klaimkan, hanya saja shighah lafazhnya tidak seperti yang diriwayatkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم, sebab dalam shalawat fatih itu mereka mengucapkan (Ya Allah, limpahkanlah shalawat dan salam kepada penghulu kami, Muhammad sang pembuka apa-apa yang tertutup, penutup apa-apa yang terdahulu dan pembela kebenaran dengan kebenaran).

Lafazh ini tidak pernah menjadi jawaban mengenai cara bershalawat kepada beliau ketika ditanyakan oleh para sahabat. Adapun yang disyari'atkan bagi umat Islam adalah bershalawat kepada beliau صلی الله عليه وسلم dengan ungkapan yang telah disyari'atkan dan telah diajarkan kepada mereka tanpa harus mengada-adakan yang baru.

Di antaranya adalah sebagaimana disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Ka'b bin 'Ajrah -rodhiallaahuanhu-, bahwa para sahabat رضى الله عنهما bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana kami bershalawat kepadamu?" beliau menjawab,
قُوْلُوْا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

 

"Ucapkanlah (Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah engkau limpahkan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahabaik. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau limpahkan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahabaik.)" [4]

Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari hadits Abu Humaid As-Sa'idi -rodhiallaahuanhu-, dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,
قُوْلُوْا اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

 

"Ucapkanlah (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, para isterinya dan keturunannya sebagaimana telah Engkau limpahkan shalawat kepada keluarg Ibrahim. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad, para isterinya dan keturunannya, sebagaimana telah Engkau limpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahabaik.)" [5]

Dalam hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, dari hadits Ibnu Mas'ud Al-Anshari -rodhiallaahuanhu-, dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,
قُوْلُوْا اَللَّهُمَّ صَلَّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

 

"Ucapkanlah (Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau limpahkan shalawat kepada keluarga Ibrahim. Dan limpahkanlah keberkahan kepada Muhamamd dan keluarga Muhammad sebagaimana telah Engkau limpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesung-guhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahabaik di seluruh alam.)" [6]

Hadits-hadtis ini dan hadits-hadits lainnya yang semakna, telah menjelaskan tentang cara bershalawat kepada beliau yang beliau ridhai untuk umatnya dan telah beliau perintahkan. Adapun shalawat fatih, walaupun secara global maknanya benar, tapi tidak boleh diikuti karena tidak sama dengan yang telah diriwayatkan secara benar dari Nabi صلی الله عليه وسلم yang menerangkan cara bershalawat kepada beliau yang diperintahkan.

Lain dari itu, bahwa kalimat (pembuka apa-apa yang tertutup) mengandung pengertian global yang bisa ditafsiri oleh sebagian pengikut hawa nafsu dengan pengertian yang tidak benar. Wallahu walyut taufiq.

keterangan:
[1] Disepakati keshahihannya, dari hadits Aisyah y: Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697), Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2] Dikeluarkan oleh Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).
[3] Dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Jabir bin Abdullah RA dalam Al-Jumu'ah (867).
[4] HR. Al-Bukhari dalam Ahaditsul Anbiya' (3370), Muslim dalam Ash-Shalah (406).
[5] HR. Al-Bukhari dalam Ahaditsul Anbiya' (3369), Muslim dalam Ash-Shalah (407).
[6] HR. Muslim dalam Ash-Shalah (405).

Rujukan:
Majalah Al-Buhuts, nomor 39, hal. 145-148, Syaikh Ibnu Baz.

Via HijrahApp

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M