• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Bab Bid’ah

Bagikan

ADAKAH BIDAH HASANAH

Pertanyaan:

Apa pengertian bid'ah dan apa kriterianya? Adakah bid'ah hasanah? Lalu apa makna sabda Nabiصلی الله عليه وسلم,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً

"Barangsiapa yang menempuh kebiasaan yang baik di dalam Islam..." [1]

Jawaban:

Pengertian bid'ah secara syar'i intinya adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan Allah. Bisa juga anda mengatakan bahwa bid'ah adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم dan tidak pula oleh para Khulafaur Rasyidin. Definisi pertama disimpulkan dari firman Allah سبحانه و تعالى,
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah."(Asy-Syura: 21).

Sedangkan definisi kedua disimpulkan dari sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ الْمُحْدَثَاتِ

 

"Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah itu dengan geraham, dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru yang diada-adakan."[2]

Jadi, setiap yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari'atkan Allah atau dengan sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم dan Khulafa'ur Rasyidin, berarti ia pela-ku bid'ah, baik ibadah itu berkaitan dengan Asma' Allah dan sifat-sifatNya ataupun yang berhubungan dengan hukum-hukum dan syari'at-syari'atNya. Adapun perkara-perkara biasa yang mengikuti kebiasaan dan tradisi, maka tidak disebut bid'ah dalam segi agama walaupun disebut bid'ah secara bahasa.

Jadi yang demiki-an ini bukan bid'ah dalam agama dan tidak termasuk hal yang diperingatkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Di dalam agama tidak ada yang disebut bid'ah hasanah. Adapun sunnah hasanah adalah perbuatan yang sesuai dengan syari'at, dan hal ini mencakup; seseorang yang memulai melakukan sunnah atau memulai melakukan suatu amal yang diperintahkan atau kembali melakukannya setelah meninggalkannya atau melakukan sesuatu yang memang disunnahkan sebagai perantara pelaksanaan ibadah yang diperintah-kan. Yang demikian ini ada tiga kategori:

Pertama: Artinya adalah sunnah secara mutlak, yakni yang memulai suatu amal yang diperintahkan. Inilah sebab munculnya hadits tersebut, di mana Nabi صلی الله عليه وسلم menganjurkan untuk bersedekah kepada orang-orang yang datang kepada beliau, karena mereka saat itu sedang dalam kondisi sangat kesulitan, lalu beliau menganjurkan untuk bersedekah. Kemudian datang seorang laki-laki Anshar dengan membawa sekantong perak yang cukup berat di tangannya, lalu ia meletakkannya di kediaman Nabi صلی الله عليه وسلم, kemudian Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,

 

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا

 

"Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya."[3]

Laki-laki tersebut adalah yang melakukan sunnah karena memulai melakukan amal tersebut, bukan berarti memulai membuat amalan baru.

Kedua: Sunnah yang ditinggalkan kemudian seseorang melakukannya dan menghidupkannya. Yang demikian ini disebut melakukan sunnah yang artinya menghidupkannya, tapi bukan berarti membuat amalan baru yang berasal dari dirinya sendiri.

Ketiga: Melakukan sesuatu sebagai perantara pelaksanaan perintah yang disyari'atkan, seperti membangun sekolah, mencetak buku agama dan sebagainya. Yang demikian ini bukan berarti beribadah dengan amalan tersebut, akan tetapi amalan tersebut sebagai perantara untuk melaksanakan perintah yang terkait.

Semua itu termasuk dalam cakupan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,

مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا

 

"Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya."[4]

Tentang masalah ini telah dibahas secara luas di kesempatan lain.

 

Sumber:
Al-Majmu' Ats-Tsamin, juz 1, hal. 29-30, syaikh Ibnu Utsaimin.

keterangan
[1] HR. Muslim dalam Az-Zakah (1017), dan dalam Al-'Ilm (1017).
[2] HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah (42).
[3] HR. Muslim dalam Az-Zakah (1017).
[4] HR. Muslim dalam Az-Zakah dan Al-'Ilm (1017).

Via HijrahApp

APA ITU BIDAH

Pertanyaan:
Apa itu bid'ah?

Jawaban:
Bid'ah adalah sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم,
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

"Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara baru yang diada-adakan, karena setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid'ah, setiap bid'ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka." [1]

Dengan demikian, semua bid'ah, baik yang permulaan maupun yang berkesinambungan, pelakunya berdosa, karena sebagai-mana dikatakan Rasulullah صلی الله عليه وسلم dalam hadits tadi, "(tempatnya) di neraka" Maksudnya, bahwa kesesatan itu menjadi penyebab untuk diadzab di dalam neraka. Karena Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah memperingatkan umatnya terhadap bid'ah, maka dapat dipahami bahwa hal itu benar-benar perusak, karena Rasulullah صلی الله عليه وسلم menyebutnya secara global dan tidakmenyebut secara khusus, sebagaimana dalam sabda beliau tadi,
"Setiap bid'ah adalah sesat."

Kemudian dari itu, pada hakikatnya bid'ah itu merupakan kritikan yang tidak langsung terhadap syarai'at Islam, karena melakukan bid'ah mengandung anggapan bahwa syari'at ini belum sempurna lalu si pelaku bid'ah itu menyempurnakannya dengan mengada-adakan hal baru dalam segi ibadah yang diklaimnya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Kepada pelaku bid'ah kami katakan, setiap bid'ah adalah sesat dan setiap yang sesat itu tempatnya di neraka. Maka seharusnya menghindari semua bid'ah, dan hendaknya setiap orang tidak beribadah kecuali apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya a dan menjadikan beliau benar-benar sebagai penuntunnya. Sebab, orang yang menempuh jalan bid'ah berarti telah menjadi pelaku sebagai penuntunnya dalam bid'ah tersebut di samping Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Wallahu waliyut taufiq.

 

Sumber:
Al-Majmu' Ats-Tsamin, juz 1, hal. 28-29, syaikh Ibnu Utsaimin.

keterangan
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.
[1] HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah (42). Tambahan "dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka)" pada riwayat An-Nasa'i dalam Al-'Idain (1578).

Via HijrahApp

APAKAH TASBEH BID'AH

Pertanyaan:
Disebutkan dalam hadits, "Setiap bid'ah itu sesat" yang artinya bahwa tidak ada bid'ah kecuali itu pasti sesat, dan tidak ada bid'ah hasanah karena setiap bid'ah itu sesat .. Pertanyaannya: Apakah tasbeh dianggap bid'ah? Dan apakah tasbeh termasuk bid'ah hasanah (baik) atau dhalalah (sesat)?

Jawaban:
Tasbeh bukan bid'ah agama, karena seseorang tidak bermaksud beribadah kepada Allah dengan tasbeh, akan tetapi bermaksud menghitung dengan tepat bilangan tasbih, tahlil, tahmid atau takbir yang diucapkannya. Jadi tasbeh ini hanya merupakan perantara, bukan tujuan. Tapi yang lebih utama adalah bertasbih dengan mengguna-kan jari-jari tangannya karena alasan-alasan berikut:

Pertama: Bahwa jari-jari itu kelak akan disuruh berbicara sebagaimana yang dtunjukkan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم.

Kedua: Bahwa bilangan tasbih atau lainnya dengan menggunakan tasbeh bisa menyebabkan seseorang lengah. Kadang kita saksikan banyak orang yang menggunakan tasbeh mengucapkan tasbih tapi matanya melirik ke sana kemari, karena mereka telah mengandalkan biji-biji tasbeh itu untuk menghitung bilangan tasbih, tahlil, tahmid atau takbir yang dikehendakinya. Dan kita dapati sebagian mereka menghitungnya dengan biji-biji tasbeh sementara hatinya lengah, mereka terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri.

Hal ini akan berbeda jika mereka menghitungnya dengan jari tangan, karena biasanya akan lebih mengkonsentrasikan hati.

Ketiga: Bahwa menggunakan tasbeh bisa mendatangkan riya'. Kita jumpai sebagian orang yang senang banyak bertasbih mengalungkan tasbeh-tasbeh panjang di leher mereka dengan jumlah biji-bijinya yang banyak, dengan begitu seolah-olah lisan mereka mengatakan, 'lihatlah kepada kami, kami memuji Allah dengan bilangan biji-biji yang banyak ini.' Astaghfirullah, saya tidak bermaksud menuduh mereka demikian, tapi saya mengkhawatirkan demikian.

Ketiga hal ini harus dihindari oleh orang yang bertasbih menggunakan tasbeh, dan hendaknya ia bertasbih, mensucikan Allah سبحانه و تعالى dengan jari-jari tangannya.

Kemudian dari itu, bahwa menghitung bilangan tasbih itu dengan mengunkaan jari-jari tangan kanan, karena Nabi صلی الله عليه وسلم menghitung bilangan tasbih dengan tangan kanannya, dan tidak diragukan lagi bahwa yang kanan lebih baik daripada yang kiri. Karena itu, menggunakan tangan kanan lebih utama daripada menggunakan tangan kiri. Nabi صلی الله عليه وسلم pun pernah melarang seorang laki-laki makan atau minum dengan tangan kirinya, dan pernah pula beliau menyuruh seseorang makan dengan tangan kanannya, beliau bersabda,

يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

"Nak, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang dekat kamu." [1]

Dalam sabda lainnya beliau menyebutkan,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

 

"Apabila salah seorang kalian makan, maka hendaklah ia makan dengan menggunakan tangan kanannya, dan apabila ia minum, maka hendaklah minum dengan menggunakan tangan kanannya. Karena sesungguhnya setan itu makan dan minum dengan menggunakan tangan kirinya." [2]

Karena itu, menggunakan tangan kanan untuk menghitung bilangan tasbih lebih utama daripada menggunakan tangan kiri, hal ini sebagai pelaksanaan mengikuti As-Sunnah dan lebih mendahulukan yang kanan. Nabi صلی الله عليه وسلم sangat senang mendahulukan yang kanan dalam mengenakan sandal, memulai langkah dan dalam bersuci serta hal-hal lainnya.

Dengan demikian, bertasbih dengan menggunakan tasbeh tidak dianggap bid'ah dalam agama, karena yang dimaksud bid'ah yang terlarang itu adalah bid'ah dalam perkara agama, sedangkan bertasbih dengan menggunakan tasbeh hanyalah merupakan perantara untuk menghitung bilangan dengan tepat. Jadi hanya merupakan perantara yang marjuh. Namun demikian lebih utama menghitung bilangan tasbih dengan menggunakan jari tangan.

keterangan:
[1] HR. Al-Bukhari dalam Al-Ath'imah (5376). Muslim dalam Al-Asyribah (2022).
[2] HR. Muslim dalam Al-Asyribah (2020).

Rujukan:
Nur 'ala Ad-Darb, hal. 68, Syaikh Ibnu Utsaimin.

Via HijrahApp

HARI IBU

Pertanyaan:
Kebiasaan kami, pada setiap tahun merayakan hari khusus yang disebut dengan istilah hari ibu, yaitu pada tanggal 21 Maret. Pada hari itu banyak orang yang merayakannya. Apakah ini halal atau haram. Dan apakah kita harus pula merayakannya dan memberikan hadiah-hadiah?

Jawaban:
Semua perayaan yang bertentangan dengan hari raya yang disyari'atkan adalah bid'ah dan tidak pernah dikenal pada masa para salafus shalih. Bisa jadi perayaan itu bermula dari non muslim, jika demikian, maka di samping itu bid'ah, juga berarti tasyabbuh (menyerupai) musuh-musuh Allah سبحانه و تعالى.

Hari raya-hari raya yang disyari'atkan telah diketahui oleh kaum muslimin, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha serta hari raya mingguan (hari Jum'at). Selain yang tiga ini tidak ada hari raya lain dalam Islam. Semua hari raya selain itu ditolak kepada pelakunya dan batil dalam hukum syariat Allah سبحانه و تعالى berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيْهِ فَهُوَ رَدٌّ

 

"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak."[1]

Yakni ditolak dan tidak diterima di sisi Allah. Dalam lafazh lainnya disebutkan,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

 

"Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak."[2]

Karena itu, maka tidak boleh merayakan hari yang disebutkan oleh penanya, yaitu yang disebutkan sebagai hari ibu, dan tidak boleh juga mengadakan sesuatu yang menunjukkan simbol perayaannya, seperti; menampakkan kegembiraan dan kebahagiaan, memberikan hadiah-hadiah dan sebagainya.

Hendaknya setiap muslim merasa mulia dan bangga dengan agamanya serta merasa cukup dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya dalam agama yang lurus ini dan telah diridhai Allah untuk para hambahNya. Maka hendaknya tidak menambahi dan tidak mengurangi.

Kemudian dari itu, hendaknya setiap muslim tidak menjadi pengekor yang menirukan setiap ajakan, bahkan seharusnya, dengan menjalankan syari'at Allah سبحانه و تعالى, pribadinya menjadi panutan yang ditiru, bukan yang meniru, sehingga menjadi suri teladan dan bukan penjiplak, karena alhamdulillah, syari'at Allah itu sungguh sempurna dari segala sisinya, sebagaimana firmanNya,
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu." (Al-Ma'idah: 3).

Seorang ibu lebih berhak untuk senantiasa dihormati sepanjang tahun, daripada hanya satu hari itu saja, bahkan seorang ibu mempunyai hak terhadap anak-anaknya untuk dijaga dan dihormati serta dita'ati selama bukan dalam kemaksiatan terhadap Allah سبحانه و تعالى, di setiap waktu dan tempat.

keterangan:
[1] HR. Al-Bukhari dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718).
[2] Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham. Imam Muslim menyambungnya dalam Al-Aqdhiyah (18-1718).

Rujukan:
Nur 'ala Ad-Darb, Maktabah Adh-Dhiya', hal. 34-35, Syaikh Ibnu Utsaimin.

Via HijrahApp

HUKUM MERAYAKAN VALENTIN'S DAY

Pertanyaan:
Akhir-akhir ini telah merebak perayaan valentin's day 'terutama di kalangan para pelajar putri', padahal ini merupakan hari raya kaum Nashrani. Mereka mengenakan pakaian berwarna merah dan saling bertukar bunga berwarna merah .. Kami mohon perkenan Syaikh untuk menerangkan hukum perayaan semacam ini, dan apa saran Syaikh untuk kaum muslimin sehubungan dengan masalah-masalah seperti ini. Semoga Allah menjaga dan memelihara Syaikh.

Jawaban:
Tidak boleh merayakan valentin's day karena sebab-sebab berikut:

Pertama: Bahwa itu adalah hari raya bid'ah, tidak ada dasar-nya dalam syari'at.

Kedua: Bahwa itu akan menimbulkan kecengengen dan kecemburuan.

Ketiga: Bahwa itu akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf رضى الله عنهما.

Karena itu, pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan, baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah, ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa mulia dengan agamanya dan tidak merendahkan diri dengan menuruti setiap ajakan. Semoga Allah سبحانه و تعالى melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, dan semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan bimbingan dan petunjukNya.

Rujukan:
Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, tanggal 5/11/1420 H yang beliau tandatangani.

Via HijrahApp

HUKUM PERAYAAN MAULID NABI

Pertanyaan:

Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi?

Jawaban:

Pertama: Malam kelahiran Rasulullah صلی الله عليه وسلم tidak diketahui secara pasti, tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu pada malam kesembilan Rabi'ul Awal, bukan malam kedua belasnya. Kalau demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar menurut sejarah.

Kedua: Dipandang dari segi syari'at, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya itu termasuk syari'at Allah, tentu Nabi صلی الله عليه وسلم telah melakukannya dan telah menyampaikan kepada umatnya, dan seandainya beliau melakukannya dan menyampaikannya, tentulah syari'at ini akan terpelihara, karena Allah سبحانه و تعالى telah berfirman,
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (Al-Hijr: 9).

Karena tidak demikian, maka diketahui bahwa perayaan itu bukan dari agama Allah, dan jika bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya kepada Allah سبحانه و تعالى dan mendekatkan diri kepadaNya dengan itu.

Untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya, yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم, bagaimana mungkin kita, sebagai hamba biasa, mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk mengantarkan kita mencapainya? Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah سبحانه و تعالى karena kita melaksanakan sesuatu dalam agamaNya yang tidak berasal dariNya, lain dari itu, perbuatan ini berarti mendustakan firman Allah سبحانه و تعالى,
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu." (Al-Ma'idah: 3).

Kami katakan: Perayaan ini, jika memang termasuk kesempurnaan agama, mestinya telah ada semenjak sebelum wafatnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم, dan jika tidak termasuk kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah سبحانه و تعالى telah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." (Al-Ma'idah:3). Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk ke-sempurnaan agama dan diadakan setelah wafatnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم, maka ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi.

Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Rasulullah صلی الله عليه وسلم hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan menunjukkan kecintaan terhadap beliau serta membangkitkan semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai Rasulullah صلی الله عليه وسلم juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna keimanan seseorang sehingga menjadikan Rasulullah صلی الله عليه وسلم lebih dicintai daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya.

Mengagungkan Rasulullah صلی الله عليه وسلم juga termasuk ibadah. Demikian juga kecenderungan terhadap Nabi صلی الله عليه وسلم termasuk bagian dari agama karena mengandung kecenderungan terhadap syari'atnya. Jadi, perayaan hari kelahiran Nabi صلی الله عليه وسلم untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkan RasulNya merupakan ibadah. Karena ini merupakan ibadah, sementara ibadah itu sama sekali tidak boleh dilakukan sesuatu yang baru dalam agama Allah yang tidak berasal darinya, maka perayaan hari kelahiran ini bid'ah dan haram.

Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran- kemungkaran besar yang tidak diakui syari'at, naluri dan akal, di mana para pelakunya mendendangkan qasidah- qasidah yang mengandung ghuluw (berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah صلی الله عليه وسلم, sampai-sampai memposisikan beliau lebih utama daripada Allah. Na'udzu billah.

Di antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan para pelaku-nya, ketika dibacakan kisah kelahiran beliau, lalu bacaannya itu sampai pada kalimat 'wulida al-musthafa' mereka semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh Rasulullah صلی الله عليه وسلم hadir di situ maka kami berdiri untuk memuliakannya.

Sungguh ini suatu kebodohan. Kemudian dari itu, berdirinya mereka itu tidak termasuk adab, karena Rasulullah صلی الله عليه وسلم sendiri tidak menyukai orang berdiri untuknya. Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang paling mencintai dan memuliakan beliau, tidak pernah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau tidak menyukainya, padahal saat itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini khayalan-khalayan mereka seperti itu?

Sumber:

Majalah Al-Mujahid, edisi 22, Syaikh Ibnu Utsaimin.

Via HijrahApp

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M