Bab Sholat
Bersalaman (Berjabat Tangan) Setelah Shalat
BERSALAMAN (BERJABAT TANGAN) SETELAH SHALAT
Pertanyaan:
Bagaimana hukum bersalaman setelah shalat, dan apakah ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnah?
Jawaban:
Pada dasarnya disyariatkan bersalaman ketika berjumpanya sesama Muslim, Nabi صلی الله عليه وسلم senantiasa menyalami para sahabatnya saat berjumpa dengan mereka, dan para sahabat pun jika berjumpa mereka saling bersalaman, Anas dan asy-Sya'bi berkata, "Adalah para sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم, apabila berjumpa, mereka saling bersalaman, dan apabila mereka kembali dari bepergian, mereka berpelukan."
Disebutkan dalam ash-Shahihain , bahwa Thalhah bin Ubaidillah, salah seorang yang dijamin masuk surga, bertolak dari halaqah Nabi صلی الله عليه وسلم di masjidnya menuju Kaab bin Malik ketika Allah menerima taubatnya, lalu ia menyalaminya dan mengucapkan selamat atas diterima taubatnya. Ini perkara yang masyhur di kalangan kaum Muslimin pada masa Nabi صلی الله عليه وسلم dan setelah wafatnya beliau. Juga riwayat dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ تَحَاتَّتْ عَنْهُمَا ذُنُوْبُهُمَا كَمَا يَتَحَاتُّ عَنِ الشَّجَرَةِ وَرَقُهَا
"Tidaklah dua orang Muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali akan berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya de-daunan dari pohonnya." (Abu Dawud, kitab al-Adab (5211, 5212), at- Tirmidzi, kitab al-Isti'dzan (2728), Ibnu Majah, kitab al-Adab (3703), Ahmad (4/289, 303), adapun lafazhnya adalah: "Tidaklah dua orang Muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah.")
Disukai bersalaman ketika berjumpa di masjid atau di dalam barisan, jika keduanya belum bersalaman sebelum shalat maka bersalaman setelahnya, hal ini sebagai pelaksanaan sunnah yang agung itu di samping karena hal ini bisa menguatkan persaudaraan dan menghilangkan permusuhan.
Kemudian jika belum sempat bersalaman sebelum shalat fardhu, disyariatkan untuk bersalaman setelahnya, yaitu setelah dzikir yang masyru'. Sedangkan yang dilakukan oleh sebagian orang, yaitu langsung bersalaman setelah shalat fardu, tepat setelah salam kedua, saya tidak tahu dasarnya. Yang tampak malah itu makruh karena tidak adanya dalil, lagi pula yang disyariatkan bagi orang yang shalat pada saat tersebut adalah langsung berdzikir, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم setelah shalat fardhu.
Adapun shalat sunnah, maka disyariatkan bersalaman setelah salam jika sebelumnya belum sempat bersalaman, karena jika telah bersalaman sebelumnya maka itu sudah cukup.
Rujukan:
Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 50-52, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Cara Mengerjakan Shalat Jika Malam atau Siang Lebih Panjang
CARA MENGERJAKAN SHALAT JIKA MALAM ATAU SIANG LEBIH PANJANG
Pertanyaan:
Terkadang dijumpai di sebagian daerah waktu malam atau waktu siang terasa agak terlalu panjang. Dan terkadang terasa pendek sekali sampai-sampai tidak ada kesempatan (waktu) untuk menunaikan shalat lima waktu. Lalu bagaimana cara menunaikan shalat lima waktu bagi penduduk setempat.
Jawaban:
Apabila di suatu negeri (daerah) waktu malam terasa lebih panjang daripada waktu siang, atau sebaliknya waktu siang terasa lebih panjang daripada waktu malam. Sehingga kita tidak bisa lagi melihat zawal (tergelincirkan matahari) dan tidak pula dapat melihat ghurub (terbenamnya matahari). Maka, dalam keadaan seperti itu cara mengerjakan shalat bagi penduduk setempat cukup dengan memperkirakan waktu-waktu shalat.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Nuwwas bin Sam'an perihal hari dimana pada saat itu Dajjal akan muncul ke muka bumi. Pada saat itu sehari nilainya sama dengan setahun. Mendengar sabda Nabi yang demikian itu, lalu para sahabat bertanya kepada beliau. Jawab Nabi, "Perkirakanlah hari itu dengan sebaik-baiknya." Keputusan beliau itu pun berlaku pada hari kedua (munculnya Dajjal), yaitu sehari nilainya sama dengan sebulan. Dan begitu tiba hari yang ketiga, maka sehari nilainya sama dengan seminggu.
Adapun di daerah (negeri) yang malamnya terasa lebih pendek daripada siangnya. Atau sebaliknya waktu siang lebih pendek daripada waktu malam. Maka, dalam hal ini hukumnya jelas. Yaitu mereka melaksanakan shalat lima waktu seperti pada hari-hari biasa. Sekalipun waktu malam atau siang terlihat pendek sekali. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil (baik dari Al-Qur'an maupun hadits). Wallaah waliyyut taufiq.
Sumber:
Fatwa-Fatwa Syaikh Bin Baz Mengenai Shalat 13/125, pustaka Al Kautsar.
Via HijrahApp
Hikmah Dimasukkannya Kuburan Rasulullah Ke Dalam Masjid
HIKMAH DIMASUKKANNYA KUBURAN RASULULLAH KE DALAM MASJID
Pertanyaan:
Sebagaimana diketahui, bahwa tidak boleh mengubur mayat di dalam masjid, masjid mana pun yang di dalamnya terdapat kuburan maka tidak boleh melaksanakan shalat di dalamnya. Lalu, apa hikmah dimasukkannya kuburan Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan sebagian sahabatnya ke dalam Masjid Nabawi?
Jawaban:
Telah diriwayatkan dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اِتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
"Allah melaknat kaum yahudi dan kaum nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid." (Disepakati keshahihannya: Al-Bukhari, kitab al-Jana'iz (1330), Muslim, kitab al-Masajid (529)).
Dan telah diriwayatkan dari Aisyah -rodliallaahu'anha-, bahwa Ummu Salamah dan Ummu Habibah menceritakan kepada Rasulullah صلی الله عليه وسلم tentang suatu gereja yang pernah mereka lihat di negeri Habasyah termasuk gambar-gambar yang ada di dalamnya, lalu Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda,
أُولئِكَ قَوْمٌ إِذَا مَاتَ فِيْهِمُ الْعَبْدُ الصَّالِحُ أَوِ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجٍدًا وَصَوَّرُوْا فِيْهِ تِلْكَ الصُّوَرَ أُولئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللهِ
"Mereka adalah kaum yang apabila seorang hamba yang sholih di an-tara mereka meninggal atau seorang laki-laki yang shalih, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat gambar-gambar itu di dalamnya. Mereka itu adalah sejahat-jahatnya makhluk di sisi Allah." (Muttafaq 'Alaih: Al-Bukhari, kitab ash-Shalah (434), Muslim, kitab al-Masajid (528)).
Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, dari Jundab bin Abdillah al-Bajali, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda,
إِنَّ اللهَ تَعَالَى اتَّخَذَنِيْ خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاً، أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوْا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذلِكَ
"Sesungguhnya Allah سبحانه و تعالى telah menjadikanku sebagai kekasih sebagaimana Ia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Seandainya aku (dibolehkan) mengambil kekasih dari antara umatku, tentu aku menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang kalian melakukan itu." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (532)).
Diriwayatkan oleh Imam Muslim juga, dari Jabir, ia berkata,
"Rasulullah صلی الله عليه وسلم melarang menghiasi kuburan dan duduk di atasnya serta membuat bangunan di atasnya." (HR. Muslim, kitab al-Jana'iz (970)).
Hadits-hadits shahih ini, dan hadits-hadits lain yang semakna menunjukkan haramnya membuat masjid di atas kuburan dan terlaknatnya orang yang melakukannya, serta haramnya membuat kubah-kubah dan bangunan di atas kuburan, karena hal itu merupakan faktor-faktor kesyirikan dan penyembahan terhadap para penghuninya, sebagaimana yang pernah terjadi dahulu dan sekarang.
Maka yang wajib atas kaum Muslimin di mana saja adalah waspada terhadap apa yang telah dilarang oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم, jangan sampai terpedaya oleh perbuatan orang lain, karena kebenaran adalah ketika menemukan kesesatan seorang Mukmin, maka hendaklah menuntunnya, dan kebenaran itu dapat diketahui dengan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah, bukan berdasarkan pendapat dan perbuatan manusia.
Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan kedua sahabatnya tidak dikubur di dalam masjid, akan tetapi mereka di kubur di rumah Aisyah, namun ketika perluasan masjid pada masa al-Walid bin Abdul Malik di akhir abad pertama hijriyah, rumah tersebut dimasukkan ke dalam masjid (termasuk dalam wilayah perluasan masjid). Demikian ini tidak dianggap mengubur di dalam masjid, karena Rasulullah صلی الله عليه وسلم dan kedua sahabatnya tidak dipindahkan ke tanah masjid, tetapi hanya memasukkan rumah Aisyah, tempat mereka dikubur, ke dalam masjid untuk perluasan.
Jadi hal ini tidak bisa dijadikan alasan oleh siapa pun untuk membolehkan membuat bangunan di atas kuburan atau membangun masjid di atasnya atau menguburkan mayat di dalam masjid, karena adanya hadits-hadits yang melarang hal tersebut, sebagaimana yang telah saya sebutkan tadi. Apa yang dilakukan oleh al-Walid dalam hal ini tidak berarti menyelisihi sunnah yang telah pasti dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Hanya Allah lah yang mampu memberi petunjuk.
Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 4, hal. 337-338, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Hukum Memakan Bawang Kemudian Datang Ke Masjid
HUKUM MEMAKAN BAWANG KEMUDIAN DATANG KE MASJID
Pertanyaan:
Telah diriwayatkan dalam hadits shahih, larangan terhadap orang yang makan bawang merah, barang putih, atau kuras (bawang daun) lalu pergi ke masjid. Apakah dapat ditambahkan pada hal-hal tersebut sesuatu yang mempunyai bau busuk dan haram seperti rokok? Dan apakah hal itu berarti bahwa orang yang telah makan hal-hal tersebut diberi kelonggaran untuk meninggalkan shalat berjamaah sehingga ia tidak berdosa bila meninggalkannya?
Jawaban:
Telah diriwayatkan dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,
مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْ بَصَلاً فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا وَلْيُصَلِّ فِيْ بَيْتِهِ
"Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya." (Al-Bukhari, kitab al-Adzan (855), Muslim, kitab al-Masajid (73, 564)).
Dan telah diriwayatkan pula dari beliau صلی الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda,
إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُوا آدَمَ
"Sesungguhnya para malaikat itu juga terganggu dengan apa-apa yang mengganggu manusia." (Al-Bukhari, kitab al-Adzan (854), Muslim, kitab al-Masajid (564)).
Semua yang beraroma busuk, hukumnya sama dengan hukum bawang putih dan bawang merah, seperti mengisap rokok, juga orang yang ketiaknya bau atau lainnya, yang mengganggu orang lain yang di dekatnya, maka ia dimakruhkan untuk shalat berjamaah, sampai ia menggunakan sesuatu yang dapat menghilangkan bau tersebut.
Yang wajib baginya ialah melakukan hal itu (menghilangkan baunya) semaksimal mungkin, agar ia dapat melakukan shalat berjamaah sesuai yang diwajibkan oleh Allah. Adapun merokok, maka hal itu haram secara mutlak, wajib untuk ditinggalkan setiap saat, karena bisa membahayakan terhadap agama, badan dan harta. Semoga Allah memperbaiki kondisi kaum Muslimin dan memberi petunjuk kepada mereka untuk kebaikan.
Rujukan:
Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 61-62, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Hukum Meninggalkan Shalat dengan sengaja
HUKUM MENINGGALKAN SHALAT DENGAN SENGAJA
Pertanyaan:
Kakak saya tidak melaksanakan shalat, apakah saya boleh berhubungan dengannya atau tidak? Perlu diketahui bahwa ia hanyalah kakak saya seayah.
Jawaban:
Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir, ini berarti ia telah melakukan kekufuran yang besar menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, yang demikian ini jika orang tersebut mengakui kewajiban tersebut. Jika ia tidak mengakui kewajiban tersebut, maka ia kafir menurut seluruh ahlul ilmi, demikian berdasarkan beberapa sabda Nabi صلی الله عليه وسلم:
"Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad." (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/231), at-Tirmidzi, kitab al-Imam (2616), Ibnu Majah, kitab al-Fitan (3973) dengan isnad shahih).
"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, kitab al-Iman (82).
"Perjanjiang (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." (Dikeluarkan oleh Imam Ahmad (5/346) dan para penyusun kitab Sunan dengan isnad shahih, at-Tirmidzi, kitab al-Iman (2621), An-Nasa'i, kitab ash-Shalah (1/232), Ibnu Majah, kitab Iqamatus Shalah (1079)).
Karena orang yang mengingkari kewajiban shalat berarti ia mendustakan Allah dan RasulNya serta ijma' ahlul ilmi wal iman, maka kekufurannya lebih besar daripada yang meninggalkannya karena meremehkan. Untuk kedua kondisi tersebut, wajib atas para penguasa kaum Muslimin untuk menyuruh bertaubat kepada orang yang meninggalkan shalat, jika enggan maka harus dibunuh, hal ini berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan hal ini.
Lain dari itu, selama masa diperintahkan untuk bertaubat, harus mengasingkan orang yang meninggalkan shalat dan tidak berhubungan dengannya serta tidak memenuhi undangannya sampai ia bertaubat kepada Allah dari perbuatannya, namun di samping itu harus tetap menasehatinya dan mengajaknya kepada kebenaran serta memperingatkannya terhadap akibat-akibat buruk karena meninggalkan shalat baik dia dunia maupun diakhirat kelak, dengan demikian diharapkan ia mau bertaubat sehingga Allah menerima taubatnya.
Rujukan:
Kitab ad-Da'wah, halman 93. Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Hukum Menyepelekan Shalat Berjamaah
HUKUM MENYEPELEKAN SHALAT BERJAMAAH
Pertanyaan:
Terkadang dijumpai di sebagian daerah waktu malam atau waktu siang terasa agak terlalu panjang. Dan terkadang terasa pendek sekali sampai-sampai tidak ada kesempatan (waktu) untuk menunaikan shalat lima waktu. Lalu bagaimana cara menunaikan shalat lima waktu bagi penduduk setempat.
Jawaban:
Apabila di suatu negeri (daerah) waktu malam terasa lebih panjang daripada waktu siang, atau sebaliknya waktu siang terasa lebih panjang daripada waktu malam. Sehingga kita tidak bisa lagi melihat zawal (tergelincirkan matahari) dan tidak pula dapat melihat ghurub (terbenamnya matahari). Maka, dalam keadaan seperti itu cara mengerjakan shalat bagi penduduk setempat cukup dengan memperkirakan waktu-waktu shalat.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم, yang diriwayatkan oleh Muslim dari Nuwwas bin Sam'an perihal hari dimana pada saat itu Dajjal akan muncul ke muka bumi. Pada saat itu sehari nilainya sama dengan setahun. Mendengar sabda Nabi yang demikian itu, lalu para sahabat bertanya kepada beliau. Jawab Nabi, "Perkirakanlah hari itu dengan sebaik-baiknya." Keputusan beliau itu pun berlaku pada hari kedua (munculnya Dajjal), yaitu sehari nilainya sama dengan sebulan. Dan begitu tiba hari yang ketiga, maka sehari nilainya sama dengan seminggu.
Adapun di daerah (negeri) yang malamnya terasa lebih pendek daripada siangnya. Atau sebaliknya waktu siang lebih pendek daripada waktu malam. Maka, dalam hal ini hukumnya jelas. Yaitu mereka melaksanakan shalat lima waktu seperti pada hari-hari biasa. Sekalipun waktu malam atau siang terlihat pendek sekali. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil (baik dari Al-Qur'an maupun hadits). Wallaah waliyyut taufiq.
Sumber:
Fatwa-Fatwa Syaikh Bin Baz Mengenai Shalat 13/125, pustaka Al Kautsar.
Via HijrahApp
Hukum Pergi Ke Masjid Yang Jauh Agar Bisa Shalat Di Belakang Imam Yang Bagus Bacaannya
HUKUM PERGI KE MASJID YANG JAUH AGAR BISA SHALAT DI BELAKANG IMAM YANG BAGUS BACAANNYA
Pertanyaan:
Di kota kami ada qari yang bagus bacaannya dan khusyu dalam shalatnya, banyak orang yang datang dari jauh agar bisa shalat bersamanya, seperti dari Riyadh, wilayah timur, Bahah dan sebagainya. Bagaimana hukum kedatangan mereka? Apa benar mereka termasuk dalam larang yang disebutkan dalam hadits, "Tidak boleh memaksakan perjalanan berat kecuali untuk menuju tiga masjid; Masjidil Haram, Masjid al-Aqsha, dan masjidku (Masjid Nabawi)."[1] Mohon penjelasan Syaikh, jazakumullah khairan.
Jawaban:
Menurut kami, itu tidak apa-apa, bahkan itu termasuk perjalanan dalam rangka menuntut ilmu dan mendalami al-Qur'anul Karim serta mendengarkannya dari yang bagus bacaannya. Perjalanan tersebut tidak termasuk memaksakan perjalanan yang terlarang itu. Nabi Musa عليه السلام pernah menempuh perjalanan sulit ketika hendak menemui Khidhir عليه السلام di tempat bertemunya dua lautan untuk menuntut ilmu darinya.
Para ahli ilmu dari kalangan sahabat dan generasi berikutnya menempuh perjalanan dari suatu daerah ke daerah lainnya dan dari satu negeri ke negeri lainnya demi menuntut ilmu. Dan Nabi صلی الله عليه وسلم telah bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ
"Barangsiapa menempuh suatu perjalanan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga." [2]
keterangan
[1] HR al-Bukhari, kitab Fadhlush Shalah (1197).
[2] HR Muslim, kitab adz-Dzikr wad Du'a (2699).
Rujukan:
Majalah al-Buhuts, edisi 42, hal. 137-138, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Hukum Shalat Di Masjid Yang Ada Kuburannya 1
HUKUM SHALAT DI MASJID YANG ADA KUBURANNYA
Pertanyaan:
Apa hukum shalat di masjid yang ada kuburannya?
Jawaban:
Jika masjid tersebut dibangun di atas kuburan, maka shalat di situ hukumnya haram, dan itu harus dihancurkan, sebab Nabi صلی الله عليه وسلم telah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid, hal ini sebagai peringatan terhadap apa yang mereka perbuat.
Jika masjid itu telah dibangun lebih dulu daripada kuburannya, maka kuburan itu wajib dikeluarkan dari masjid, lalu dikuburkan di pekuburan umum, dan tidak ada dosa bagi kita dalam situasi seperti ini ketika membongkar kuburan tersebut, karena mayat tersebut di-kubur di tempat yang tidak semestinya, sebab masjid-masjid itu tidak halal untuk menguburkan mayat.
Shalat di masjid (yang ada kuburannya) yang dibangun lebih dulu daripada kuburannya hukumnya sah dengan syarat kuburan tersebut tidak berada di arah kiblat sehingga seolah-olah orang shalat ke arahnya, karena Nabi صلی الله عليه وسلم melarang shalat menghadap kuburan. (HR. Muslim, kitab al-Masajid (973) dengan lafazh, "Janganlah kalian duduk-duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.") Jika tidak mungkin membongkar kuburan tersebut, maka bisa dengan menghancurkan pagar masjidnya.
Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 234-235.
Via HijrahApp
Hukum Shalat Di Masjid Yang Ada Kuburannya 2
HUKUM SHALAT DI MASJID YANG ADA KUBURANNYA 2
Pertanyaan:
Bagaimana hukum shalat di masjid yang di dalamnya terdapat kuburan, atau di halamannya atau di arah kiblatnya?
Jawaban:
Jika di dalam masjid tersebut terdapat kuburan, maka tidak shah shalat di dalamnya. Baik kuburan tersebut di belakang orang-orang shalat maupun di depan mereka, baik di sebelah kanan maupun di sebelah kiri mereka, hal ini berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
"Allah melaknat orang-orang yahudi dan nashara, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah." (Disepakati keshahihannya: Al-Bukhari, kitab al-Mawaqit (1330), Muslim, kitab al-Masajid (529)).
Dan berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّيْ أَنْهَاكُمْ عَنْ ذلِكَ
"Ketahuilah bahwasanya orang-orang sebelum kamu menjadikan kubu-ran para nabi mereka dan orang-orang shalih mereka menjadi tempat ibadah. Ketahuilah, maka janganlah kamu menjadikan kubur sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kamu dari hal itu." (HR. Muslim dalam kitab shahihnya, al-Masajid (532)).
Lain dari itu, karena shalat di kuburan itu termasuk sarana syirik dan sikap berlebihan terhadap penghuni kuburan, maka kita wajib melarang hal tersebut, sebagai pengamalan terhadap hadits tersebut di atas dan hadits-hadits lainnya yang semakna, serta untuk menutup pintu penyebab syirik.
Rujukan:
Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 17-18, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Hukum shalat di rumah jika letak mesjid jauh
HUKUM SHALAT DI RUMAH JIKA LETAK MESJID JAUH
Pertanyaan:
Saya tinggal di sebuah rumah yang jauh dari mesjid sehingga saya harus pergi dengan menggunakan mobil untuk shalat. Jika saya berjalan kaki (ke mesjid), maka saya kadang-kadang tidak dapat shalat (sama sekali). Tetapi saya dapat mendengar adzan melalui alat pengeras suara. Dalam keadaan seperti ini apakah saya diperbolehkan untuk shalat di rumah atau shalat berjama'ah dengan 3 atau 4 orang tetangga di rumah lain? Semoga Allah membalas kebaikan anda.
Jawaban:
Kewajiban anda adalah melaksanakan shalat dengan saudara-saudara muslim di mesjid jika anda mendengar adzan di toko anda secara alami, yaitu adzan tanpa menggunakan alat pengeras suara. Jika anda berada jauh dari mesjid dan tidak dapat mendengar adzan tanpa alat pengeras suara, maka anda dibolehkan untuk shalat di rumah atau dengan beberapa orang tetangga anda. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم yang berkata kepada seorang yang buta yang meminta izin untuk shalat di rumahnya:
"Apakah kamu mendengar seruan untuk shalat (adzan)?". Dia menjawab:"Ya", maka Rasulullah صلی الله عليه وسلم berkata: "Jawablah panggilan itu" (HR. Muslim di dalam shahihnya).
Dan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم: "Barangsiapa yang mendengar seruan (adzan) dan dia tidak mendatanginya (shalat) maka tidak ada shalat baginya kecuali bila ada udzur." (HR. Ibnu Majah, ad-Daraqutni, Ibnu Hibban dan al-Hakim dengan sanad yang shahih).
Tetapi jika anda menjawab seruan muazdhin sedangkan anda berada jauh dari mesjid dan anda sabar (mau) dengan bersusah-payah berjalan kaki atau pergi dengan mobil (ke mesjid), maka ada kebaikan buat anda dan ini disukai. Allah akan menulis pada catatan amal anda bahwa anda pergi ke mesjid dan kembali dari mesjid dengan jujur dan ikhlas.
Ini berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم dimana beliau berkata kepada seorang yang tinggal jauh dari mesjid an-Nabawi tetapi orang tersebut tidak pernah ketinggalan shalat (berjama'ah) dengan Rasulullah صلی الله عليه وسلم. Dikatakan kepada orang tersebut:
"Jika kamu membeli seekor keledai maka kamu bisa menungganginya pada kegelapan malam dan di atas pasir yang panas." Dia berkata: "Aku tidak ingin rumahku berada di samping mesjid, karena aku ingin sekali langkah kakiku menuju dan pulang ke/dari mesjid dicatat ketika aku kembali kepada keluargaku." Rasulullah صلی الله عليه وسلم berkata: "Allah telah mengumpulkan semua (balasan kebaikan) buatmu". (HR. Muslim di dalam shahihnya).
Rujukan:
Kitaab ad-Da'wah, Volume Two, Question 103. Diterjemahkan dari: http://www.fatwaislam.com
Via HijrahApp
Imam Menunggu Para Makmum Ketika Ruku'
IMAM MENUNGGU PARA MAKMUM KETIKA RUKU'
Pertanyaan:
Apakah imam diharuskan menunggu jika mendengar ada yang datang ketika ia sedang ruku' atau tasyahhud akhir?
Jawaban:
Yang utama adalah tidak tergesa-gesa, yang yang utama pula adalah imam tidak terlalu lambat sehingga memberatkan bagi para makmum, karena mengutamakan para makmum yang lebih dulu datang itu lebih penting, maka selayaknya ia mengutamakan mereka. Tapi jika memperlahan sedikit agar yang baru datang itu mendapatkan ruku, sujud atau tasyahhud bersama imam, maka ini lebih utama bagi imam.
Rujukan:
Fatawa Islamiyyah, Syaikh Ibnu Baz (1/218).
Via HijrahApp
Kacaunya Pikiran Ketika Shalat
KACAUNYA PIKIRAN KETIKA SHALAT
Pertanyaan:
Ketika saya hendak shalat, saya sedang kacau pikiran dan banyak yang dipikirkan, dan rasanya saya tidak begitu sadar terha-dap diri saya sendiri kecuali setelah salam, lalu saya mengulanginya lagi, namun saya rasakan seperti semula, sampai-sampai saya lupa tasyahud awal dan tidak tahu lagi berapa rakaat yang telah saya kerjakan. Hal ini semakin menambah kekhawatiran dan rasa takut saya kepada murka Allah, kemudian saya sujud sahwi. Saya mohon bimbingannya, dan saya haturkan terima kasih.
Jawaban:
Bisikan itu berasal dari setan, yang wajib bagi anda adalah memelihara shalat, konsentrasi dan thuma'ninah dalam melaksanakannya sehingga anda dapat melaksanakannya dengan penuh kesadaran. Allah سبحانه و تعالى telah berfirman,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُون
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al-Mukminun: 1-2).
Ketika Nabi صلی الله عليه وسلم melihat orang yang tidak sempurna shalatnya dan tidak thuma'ninah dalam melaksanakannya, beliau menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya, beliau pun bersabda,
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
"Jika engkau hendak mendirikan shalat, sempurnakanlah wudhu', lalu berdirilah menghadap kiblat kemudian bertakbirlah (takbiratul ihram), lalu bacalah ayat al-Qur'an yang mudah bagimu, kemudian ruku'lah sampai engkau tenang dalam posisi ruku', lalu bangkitlah (berdiri dari ruku') sampai engkau berdiri tegak, kemudian sujudlah sampai eng-kau tenang dalam posisi sujud, lalu bangkitlah (dari sujud) sampai engkau tenang dalam posisi duduk. Kemudian, lakukan itu semua dalam semua shalatmu."
Jika anda sadar bahwa anda sedang shalat di hadapan Allah dan bermunajat kepadaNya, maka hal itu akan mendorong anda untuk khusyu' dan konsentrasi ketika shalat, setan pun akan menjauh dari anda sehingga selamatlah anda dari bisikannya. Jika dalam shalat anda terasa banyak godaan, meniuplah tiga kali ke samping kiri dan memohonlah perlindungan Allah tiga kali dari godaan setan yang terkutuk, insya Allah hal ini akan membebaskan anda.
Nabi صلی الله عليه وسلم pernah menyuruh salah seorang sahabatnya melakukan itu, ketika orang tersebut berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya setan telah menyelinap di antara diriku dan shalatku serta bacaanku, ia mengacaukan shalatku."
Jadi, anda tidak perlu mengulangi shalat karena godaan, akan tetapi hendaknya anda sujud sahwi jika anda telah melakukan apa yang diwajibkan itu. Misalnya, anda tidak melakukan tasyahhud awal karena lupa, atau tidak membaca tasbih ketika ruku' atau sujud karena lupa, atau anda ragu apakah tiga rakaat atau empat rakaat ketika shalat Zhuhur umpamanya, maka anggaplah itu tiga rakaat, lalu sempurnakan shalat, kemudian sujud sahwi dua kali sebelum salam.
Jika dalam shalat Maghrib anda ragu apakah baru dua rakaat atau sudah tiga rakaat, maka anggaplah itu baru dua rakaat lalu sempurnakan, kemudian sujud sahwi dua kali sebelum salam, karena demikianlah yang diperintahkan Nabi صلی الله عليه وسلم.
Semoga Allah melindungi anda dari godaan setan dan menunjuki anda kepada yang diridhaiNya.
Rujukan:
Kitab ad-Da'wah, hal. 76, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Memakan Bawang Putih Atau Bawang Merah Sebelum Shalat
MEMAKAN BAWANG PUTIH ATAU BAWANG MERAH SEBELUM SHALAT
Pertanyaan:
Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, "Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya, karena sesungguhnya para malaikat itu juga terganggu dengan apa-apa yang mengganggu manusia." Apakah ini berarti bahwa orang yang memakan barang-barang tersebut tidak boleh shalat di masjid hingga berlalu waktu makannya, atau berarti memakan barang-barang tersebut tidak dibolehkan bagi orang yang berkewajiban melaksanakan shalat secara berjamaah?
Jawaban:
Hadits ini dan hadits-hadits lainnya yang semakna menunjukkan makruhnya seorang Muslim mengikuti shalat berjamaah selama masih ada bau barang-barang tersebut, karena akan mengganggu orang yang di dekatnya, baik itu karena memakan kuras (bawang daun), bawang merah atau bawang putih atau barang lainnya yang menyebabkan bau tidak sedap, seperti mengisap rokok, sampai baunya hilang. Perlu diketahui, bahwa rokok itu, selain baunya yang busuk, hukumnya juga haram, karena bahayanya banyak dan keburukannya sudah jelas. Ini termasuk dalam cakupan firman Allah سبحانه و تعالى kepada Nabi صلی الله عليه وسلم,
"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk." (Al-A'raf: 157), dan firmanNya,
"Mereka menanyakan kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka". Katakanlah, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik." (Al-Ma'idah: 4).
Sebagaimana diketahui, bahwa rokok termasuk hal-hal yang tidak baik, dengan begitu rokok termasuk yang diharamkan terhadap umat ini. Adapun batasan tiga hari, saya tidak tahu adanya dalil tentang ini. Dan hanya Allahlah yang berkuasa memberi petunjuk.
Rujukan:
Kitab ad-Da'wah, hal. 81-82, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Mendengar Adzan Tapi Tidak Datang Ke Masjid
MENDENGAR ADZAN TAPI TIDAK DATANG KE MASJID
Pertanyaan:
Apa hukumnya orang yang mendengar adzan tapi tidak pergi ke masjid, hanya saja ia mengerjakan seluruh shalatnya di rumah atau di kantor?
Jawaban:
Itu tidak boleh. Yang wajib baginya adalah memenuhi seruan tersebut, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
"Barangsiapa mendengar seruan adzan tapi tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur." (HR. Ibnu Majah (793), ad-Daru Quthni (1/421, 422), Ibnu Hibban (2064), al-Hakim (1/246)).
Pernah ditanyakan kepada Ibnu Abbas, "Apa yang dimaksud dengan udzur tersebut?", ia menjawab, "Rasa takut (tidak aman) dan sakit." Diriwayatkan, bahwa seorang buta datang kepada Rasulullahصلی الله عليه وسلمdan berkata, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di rumahku?" kemudian beliau bertanya,
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجِبْ
"Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?" ia menjawab, "Ya", beliau berkata lagi, "Kalau begitu, penuhilah." (Dikeluarkan oleh Muslim, kitab al-Masajid (653)).
Itu orang buta yang tidak ada penuntunnya, namun demikian Nabi صلی الله عليه وسلم tetap memerintahkannya untuk shalat di masjid. Maka orang yang sehat dan dapat melihat tentu lebih wajib lagi. Maka yang wajib atas seorang Muslim adalah bersegera melaksanakan shalat pada waktunya dengan berjamaah. Tapi jika tempat tinggalnya jauh dari masjid sehingga tidak mendengar adzan, maka tidak mengapa melaksanakannya di rumahnya. Kendati demikian, jika ia mau sedikit bersusah payah dan bersabar, lalu shalat berjamaah di masjid, maka itu lebih baik dan lebih utama baginya.
Rujukan:
Syaikh Ibnu Baz, Fatawa 'Ajilah Limansubi ash-Shihhah, hal. 41-42.
Via HijrahApp
Shalat Fardhu Bermakmum Kepada Orang Yang Shalat Sunnah
SHALAT FARDHU BERMAKMUM KEPADA ORANG YANG SHALAT SUNNAH
Pertanyaan:
Apa hukum orang yang melaksanakan shalat fardhu dengan bermakmum kepada orang yang mengerjakan shalat sunat?
Jawaban:
Hukumnya sah, karena telah diriwayatkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa dalam suatu perjalanan beliau shalat dengan sekelompok para sahabatnya, yaitu shalat khauf dua rakaat, kemudian beliau shalat lagi dua rakaat dengan sekelompok lainnya, shalat beliau yang kedua adalah shalat sunat. Disebutkan juga dalam ash-Shahihain, dari Muadz, bahwa suatu ketika ia telah mengerjakan shalat Isya bersama Nabi صلی الله عليه وسلم, kemudian ia pergi lalu mengimami shalat fardhu kaumnya, shalat mereka adalah shalat fardhu, sedangkan shalat Muadz saat itu adalah shalat sunat. Wallahu walyut taufiq.
Rujukan:
Majalah ad-Da'wah, edisi 1033, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Tata Cara Melaksanakan Shalat Di Dalam Pesawat
TATA CARA MELAKSANAKAN SHALAT DI DALAM PESAWAT
Pertanyaan:
Bagaimana seorang Muslim melaksanakan shalat di dalam pesawat. Apakah lebih baik baginya shalat di pesawat di awal waktu? Atau menunggu sampai tiba di air port, jika akan tiba pada akhir waktu shalat?
Jawaban:
Yang wajib bagi seorang Muslim ketika sedang berada di pesawat, jika tiba waktu shalat, hendaknya ia melaksanakannnya sesuai kemampuannya. Jika ia mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku' dan sujud, maka hendaknya ia melakukan demikian. Tapi jika ia tidak mampu melakukan seperti itu, maka hendaknya ia melakukannya sambil duduk, mengisyaratkan ruku dan sujud (dengan membungkukkan badan).
Jika ia menemukan tempat yang memungkinkan untuk shalat di pesawat dengan berdiri dan sujud di lantainya, maka ia wajib melakukannya dengan berdiri, berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesang-gupanmu." (At-Taghabun: 16).
Dan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم pada Imran bin Al-Hushain di kala ia sedang sakitq
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَّمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَّمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
"Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup maka dengan duduk, jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring sambil miring." (HR. al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, kitab Taqshirus Shalah (1117)).
Dan diriwayatkan pula oleh an-Nasa'i dengan sanad yang shahih, dengan tambahan:
فَإِنْ لَّمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا
"Jika kamu tidak sanggup, maka dengan berbaring terlentang."
Yang lebih utama baginya adalah shalat di awal waktu, tapi jika ia menundanya sampai akhir waktu dan baru melaksanakannya setelah mendarat, maka itu pun boleh. Berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada. Demikian juga hukumnya di mobil, kereta dan kapal laut. Wallahu waliyut taufiq.
Rujukan:
Fatawa Muhimmah Tata'allaqu Bish Shalah, hal. 40-41, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Tergesa-gesa Untuk Shalat
TERGESA-GESA UNTUK SHALAT
Pertanyaan:
Banyak kaum Muslimin yang berambisi untuk tidak ketinggalan apa pun dalam shalat. Jika mereka menuju masjid dan mendengar imam sudah mulai shalat, mereka berlari kecil masuk ke masjid untuk segera shalat. Apa hukum perbuatan atau fenomena ini?
Jawaban:
Tergesa-gesa dan terburu-buru hukumnya makruh dan tidak layak, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
"Jika kalian mendatangi shalat, maka hendaklah dengan tenang (tidak tergesa-gesa), apa yang kalian dapati, ikutilah, dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah."(Al-Bukhari, kitab al-Adzan (635), Muslim, kitab al-Masajid (603)).
Dalam lafazh lain disebutkan, bahwa beliau bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ اْلإِقَامَةَ فَامْشُوْا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِيْنَةِ وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوْا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا
"Jika kalian mendengar iqomah, berangkatlah untuk shalat, dan hendaklah kalian tenang (tidak tergesa-gesa) dan sopan. Janganlah kalian terburu-buru, apa yang kalian dapati, ikutilah, dan yang terlewatkan maka sempurnakanlah."(Al-Bukhari, kitab al-Adzan (636), Muslim, kitab al-Masajid (602)).
Sunnahnya adalah datang menuju shalat dengan berjalan yang disertai kekhusyu'an tanpa tergesa-gesa, berjalan santai seperti biasa dengan khusyu dan tenang hingga mencapai shaf. Ini yang hukumnya sunat.
Sumber:
Fatawa Islamiyyah, Ibnu Baz (1/218-219).
Via HijrahApp
Wajibnya Pelaksanaan Shalat Dengan sholat dengan berjamaah
WAJIBNYA PELAKSANAAN SHALAT DENGAN BERJAMAAH
Pertanyaan:
Wajibkah pelaksanaan shalat dengan berjamaah?
Jawaban:
Dari Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, kepada yang merasa berkepentingan dari kalangan kaum Muslimin, semoga Allah menunjukkan mereka ke jalan yang diridhaiNya serta membimbing saya dan juga mereka ke jalan orang-orang yang takut dan takwa kepadaNya. Amin.
Amma ba'du,
Telah sampai kabar kepada saya, bahwa banyak orang yang menyepelekan pelaksanaan shalat berjamaah, mereka beralasan dengan adanya kemudahan dari sebagian ulama. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan tentang besarnya dan bahayanya perkara ini, dan bahwa tidak selayaknya seorang Muslim menyepelekan perkara yang diagungkan Allah di dalam KitabNya yang agung dan diagungkan oleh RasulNya yang mulia صلی الله عليه وسلم.
Allah سبحانه و تعالى banyak menyebutkan perkara shalat di dalam KitabNya yang mulia dan mengagungkannya serta memerintahkan untuk memeliharanya dan melaksanakannya dengan berjamaah. Allah pun mengabarkan, bahwa menyepelekannya dan bermalas-malasan dalam melaksanakannya termasuk sifat-sifat kaum munafiqin. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'." (Al-Baqarah: 238).
Bagaimana bisa diketahui bahwa seorang hamba memelihara shalat dan mengagungkannya, sementara dalam pelaksanaannya bertolak belakang dengan saudara-saudaranya, bahkan menyepelekannya? Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." (Al-Baqarah: 43).
Ayat yang mulia ini adalah nash yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan ikut serta bersama orang-orang yang melaksa-nakannya. Jika yang dimaksud itu hanya sekedar melaksanakannya (tanpa perintah berjamaah), tentu tidak akan disebutkan di akhir ayat ini kalimat (dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'), karena perintah untuk melaksanakannya telah disebutkan di awal ayat. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata." (An-Nisa': 102).
Allah سبحانه و تعالى mewajibkan pelaksanaan shalat secara berjamaah dalam suasana perang, lebih-lebih dalam suasana damai. Jika ada seseorang yang dibolehkan meninggalkan shalat berjamaah, tentu barisan yang siap menghadap serangan musuh itu lebih berhak untuk diperbolehkan meninggalkannya. Namun ternyata tidak demikian, karena melaksanakan shalat secara berjamaah termasuk kewajiban utama, maka tidak boleh seorang pun meninggalkannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahihain, dari Abu Hurairah -rodliallaahu'anhu-, dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأَحْرِقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ بِالنَّارِ
"Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api tersebut. (Al-Bukhari, kitab al-Khushumat (2420), Muslim, kitab al-Masajid (651)).
Dalam Shahih Muslim disebutkan, dari Abdullah bin Mas'ud -rodliallaahu'anhu-, ia berkata, "Aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat (berjamaah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya atau orang sakit. Bahkan yang sakit pun ada yang dipapah dengan diapit oleh dua orang agar bisa ikut shalat (berjamaah)." Ia juga mengatakan,
"Sesungguhnya Rasulullah صلی الله عليه وسلم telah mengajarkan kepada kita sunanul huda, dan sesungguhnya di antara sunanul huda itu adalah shalat di masjid yang di dalamnya dikumandangkan adzan." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (654)).
Lain dari itu ia juga mengatakan,
"Barangsiapa yang ingin bertemu Allah kelak sebagai seorang Muslim, maka hendaklah ia memelihara shalat-shalat yang diserukan itu, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan untuk Nabi kalian صلی الله عليه وسلم sunanul huda, dan sesungguhnya shalat-shalat tersebut termasuk sunanul huda. Jika kalian shalat di rumah kalian seperti shalatnya penyimpang ini di rumahnya, berarti kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian, niscaya kalian tersesat.
Tidaklah seseorang bersuci dan membaguskan bersucinya, kemudian berangkat ke suatu masjid di antara masjid-masjid ini, kecuali Allah akan menuliskan baginya satu kebaikan untuk setiap langkahnya dan dengannya diangkat satu derajat serta dengannya pula dihapuskan darinya satu kesalahan. Sungguh aku telah menyaksikan kami (para sahabat), tidak ada seorang pun yang meninggalkan shalat (berjamaah) kecuali munafik yang nyata kemunafikannya, dan sungguh seseorang pernah dipapah dengan diapit oleh dua orang lalu diberdirikan di dalam shaf (shalat)." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (257, 654)).
Masih dalam Shahih Muslim, disebutkan riwayat dari Abu Hurairah -rodliallaahu'anhu-, bahwa seorang laki-laki buta berkata kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya keringanan untuk shalat di rumahku?" Nabi صلی الله عليه وسلم bertanya,
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجِبْ
"Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat?" ia menjawab, "Ya", beliau berkata lagi, "Kalau begitu, penuhilah." (HR. Muslim, kitab al-Masajid (653)).
Banyak sekali hadits yang menunjukkan wajibnya shalat berjamaah dan wajibnya pelaksanaan shalat di rumah-rumah Allah yang diizinkan Allah untuk diserukan dan disebutkan namaNya.
Maka yang wajib bagi setiap Muslim adalah memperhatikan perkara ini, bersegera melaksanakannya dan menasehati anak-anaknya, keluarganya, tetangga-tetangganya dan saudara-saudaranya sesama Muslim, sebagai pelaksanaan perintah Allah dan RasulNya dan sebagai kewaspadaan terhadap larangan Allah dan RasulNya, serta untuk menghindarkan diri dari menyerupai kaum munafiqin yang mana Allah telah menyebutkan sifat-sifat mereka yang buruk dan kemalasan mereka dalam melaksankan shalat. Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barangsiapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya." (An-Nisa': 142-143).
Lain dari itu, karena tidak melaksanakannya secara berjamaah termasuk sebab-sebab utama meninggalkannya secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui, bahwa meninggalkan shalat adalah suatu kekufuran dan kesesatan serta keluar dari Islam berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim, kitab al-Iman (82)- HR. Muslim dalam kitab Shahihnya, dari Jabir -rodliallaahu'anhu-).
Juga berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
"Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." ( HR. Ahmad (5/346), at- Tirmidzi (2621), an-Nasa'i (1/222), Ibnu Majah (1079)).
Banyak sekali ayat dan hadits yang menyebutkan tentang agungnya shalat dan wajibnya memelihara pelaksanaanya. Setelah tampak kebenaran ini dan setelah jelas dalil-dalilnya, maka tidak boleh seorang pun mengingkarinya hanya karena ucapan si fulan dan si fulan, karena Allah سبحانه و تعالى telah befirman,
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa': 59).
Dalam ayat lain disebutkan,
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur: 63).
Kemudian dari itu, banyak sekali manfaat dan maslahat yang terkandung di balik shalat berjamaah, di antaranya yang paling nyata adalah; saling mengenal, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, saling menasehati dengan kebenaran dan kesabaran, sebagai dorongan bagi orang yang meninggalkannya, sebagai pelajaran bagi yang tidak tahu, sebagai pengingkaran terhadap kaum munafiqin dan cara menjauhi gaya hidup mereka, menampakkan syiar-syiar Allah di antara para hambaNya, mengajak ke jalan Allah سبحانه و تعالى dengan perkataan dan perbuatan, dan sebagainya.
Semoga Allah menunjukkan saya dan anda sekalian kepada yang diridhaiNya, dan kepada kemaslahatan urusan dunia dan akhirat, serta melindungi kita semua dari keburukan jiwa dan perbuatan kita, dan dari menyerupai kaum kuffar dan munafiqin. Sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Mahamulia.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wa bawakatuh. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya.
Rujukan:
Asy-Syaikh Ibnu Baz, Tabshirah Wa Dzikra, hal. 53-57.
Via HijrahApp
Waktu mustajab pada hari Jum'at
WAKTU MUSTAJAB PADA HARI JUM'AT
Pertanyaan:
Apakah penghujung waktu Ashar pada hari Jum'at merupakan waktu mustajab? Dan apakah seorang Muslim diharuskan berada di masjid saat itu dan wanita diharuskan berada di rumah?
Jawaban:
Pendapat yang paling kuat tentang waktu mustajab pada hari Jum'at ada dua:
Pertama; Waktu tersebut adalah setelah Ashar hingga terbenamnya matahari bagi orang yang duduk menunggu tibanya shalat Maghrib, baik di masjid ataupun di rumah dengan berdoa kepada Allah, baik laki-laki maupun perempuan. Inilah saat yang paling dekat untuk diperkenankan. Tapi bagi laki-laki tidak boleh shalat Maghrib atau lainnya di rumah, kecuali karena udzur yang dibenarkan syariat, sebagaimana yang telah diketahui dari dalil-dalil syariat.
Kedua; Waktu tersebut adalah dari saat duduknya imam atau khathib di atas mimbar untuk menyampaikan khutbah Jum'at hingga selesainya pelaksanaan shalat Jum'at. Doa di dua waktu ini lebih dekat untuk dikabulkan.
Kedua waktu tersebut merupakan waktu yang paling mustajab pada hari Jum'at, keduanya berdasarkan hadits-hadits shahih yang menunjukkannya. Selain itu, perlu kiranya mengusahakan saat mustajab tersebut pada waktu-waktu lainnya (selain yang disebutkan), karena karunia Allah itu sangat luas. Adapun waktu-waktu mustajab dalam semua shalat, baik shalat fardhu maupun shalat sunat adalah ketika sujud, berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
أَقْرَبُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
"Sedekat-dekatnya hamba kepada Rabbnya adalah ketika ia sedang su-jud, maka perbanyaklah doa (di dalam sujud)." [1]
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya, dari Ibnu Abbas -rodhiallaahu'anhu-, bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda,
فَأَمَّا الرُّكُوْعُ فَعَظِّمُوْا فِيْهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَمَّا السُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِي الدُّعَاءِ، فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
"Adapun saat ruku' maka agungkanlah Rabb سبحانه و تعالى, sedangkan ketika sujud maka bersungguh-sungguhlah untuk berdoa, karena itu lebih layak untuk dikabulkan bagi kalian." [2]
keterangan:
[1] Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya dari hadits Abu Hurairah y, dalam bab Shalat (482).
[2] HR Muslim, kitab ash-Shalah (479).
Rujukan:
Majalah al-Buhuts, edisi 34, hal. 142-143, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp