Bab Sholat
Hukum Mengambil Mushaf Dari Masjid, Memanjangkan Punggung Ketika Sujud Dan Melakukan Gerakan Sia-sia Di Dalam Shalat
HUKUM MENGAMBIL MUSHAF DARI MASJID, MEMANJANGKAN PUNGGUNG KETIKA SUJUD DAN MELAKUKAN GERAKAN SIA-SIA DI DALAM SHALAT
Pertanyaan:
Apa hukum mengambil mushaf dari masjid ke rumah, terutama jika hal itu berulang-ulang? Apa pula hukum memanjangkan tubuh ketika sujud? Apa hukum mengeraskan suara bacaan sebelum shalat? Dan apa hukum memainkan jenggot dan pakaian tanpa adanya keperluan saat sedang shalat?
Jawaban:
Mengambil mushaf dari masjid tidak boleh, karena mushaf-mushaf masjid seharusnya tetap berada di masjid dan tidak boleh diambil.
Tentang mengulurkan punggung secara berlebihan ketika sujud, itu tidak harus dilakukan, karena yang harus dilakukan saat sujud adalah meluruskan punggung, tidak memanjang dan memendekkan, tapi secukupnya dengan bertopang pada kedua tangan di atas lantai dan merenggangkannya dari kedua pinggangnya serta merenggangkan perut dari kedua pahanya, artinya sederhana dalam sujud dengan tidak terlalu memanjangkan dan tidak terlalu menekuk, tapi pertengahannya.
Tentang mengangkat suara bacaan sebelum shalat, selayaknya tidak mengangkat suara keras-keras jika ada orang lain di dekatnya, tapi cukup dengan suara yang bisa didengar oleh dirinya sendiri agar tidak mengganggu orang lain atau orang yang sedang shalat atau orang yang sedang membaca, dalam hal ini cukup dengan suara rendah.
Adapun tentang memainkan jenggot atau pakaian ketika shalat, maka hal ini adalah makruh, bahkan yang disunatkan adalah bersikap tenang, Allah سبحانه و تعالى berfirman,
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya." (Al-Mukminun: 1-2).
Karena itu, hendaknya khusyu' dalam melaksanakan shalat, tidak memainkan jenggot ataupun pakaian. Adapun melakukan gerakan ringan karena keperluan, maka hal itu dibolehkan, tapi jika banyak maka hal itu tidak boleh kecuali karena terpaksa.
Rujukan:
Mukhtar Min Fatawa ash-Shalah, hal. 14-15, Syaikh Ibnu Utsaimin.
Via HijrahApp
Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
Pertanyaan:
Apa yang harus dilakukan oleh seseorang, apabila ia telah menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat namun mereka tidak memperdulikannya, apa ia tetap tinggal bersama mereka dan bergaul dengan mereka atau keluar dari rumah tersebut?
Jawaban:
Jika keluarganya tidak mau melaksanakan shalat selamanya, berarti mereka kafir, murtad, keluar dari Islam, maka ia tidak boleh tinggal bersama mereka. Namun demikian ia wajib mendakwahi mereka dan terus menerus mengajak mereka, mudah-mudahan Allah memberi mereka petunjuk, karena orang yang meninggalkan shalat hukumnya kafir berdasarkan dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah serta pendapat para sahabat dan pandangan yang benar. Dalil dari al-Qur'an adalah firman Allah tentang orang-orang musyrik,
"Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menuaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama." (At-Taubah: 11).
Artinya, jika mereka tidak melakukan itu, berarti mereka bukan-lah saudara-saudara kita. Memang persaudaraan agama tidak gugur karena perbuatan-perbuatan maksiat walaupun besar, namun persaudaraan itu akan gugur ketika keluar dari Islam. Dalil dari as-Sunnah adalah sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
إِنَّبَيْنَالرَّجُلِوَبَيْنَالشِّرْكِوَالْكُفْرِتَرْكُالصَّلاَةِ
"Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim, kitab al-Iman (82)).
Disebutkan pula dalam Shahih Muslim sabda beliau dalam hadits Buraidah dan kitab-kitab Sunan,
اَلْعَهْدُالَّذِيْبَيْنَنَاوَبَيْنَهُمُالصَّلاَةُ،فَمَنْتَرَكَهَافَقَدْكَفَرَ
"Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir." (HR. Ahmad (5/346), at-Tirmidzi, kitab al-Iman (2641), an-Nasa'i (1/232), Ibnu Majah (1079)).
Ucapan para sahabat: Amirul Mukminin Umar –rodliallaahu'anhu- berkata, "Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat." (HR. Malik, kitab ath-Thaharah (84)). Maksudnya, tidak ada bagian baik sedikit maupun banyak. Abdullah bin Syaqiq mengatakan, "Para sahabat Nabi صلی الله عليه وسلم tidak memandang suatu amal pun yang apabila ditinggalkan akan menyebabkan kekafiran, selain shalat."
Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya? Tentu saja ini tidak masuk akal. Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat tidak menyebabkan kekufuran, maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari lima hal:
Karena tidak ada dasar dalilnya;
Atau, hal itu terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga meninggalkan shalat;
Atau, hal itu terkait dengan kondisi yang diterima uzurnya untuk meninggalkan shalat;
Atau, hal itu bersifat umum kemudian dikhususkan dengan hadits-hadits yang mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat;
Atau, hal itu lemah sehingga tidak bisa dijadikan alasan.
Setelah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, maka berlaku padanya hukum-hukum orang murtad. Lagi pula, tidak disebutkan dalam nash-nash bahwa orang yang meninggalkan shalat itu Mukmin, atau masuk surga, atau selamat dari neraka, dan sebagainya, yang memalingkan kita dari vonis kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat menjadi vonis kufur nikmat atau kufur yang tidak menyebabkan kekafiran. Di antara hukum-hukum murtad yang berlaku terhadap orang yang meninggalkan shalat:
Pertama: Ia tidak sah menikah. Jika terjadi akad nikah maka nikahnya batal dan isterinya tidak halal baginya. Hal ini berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى tentang para wanita yang berhijrah,
"Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka." (Al-Mumta-hanah: 10).
Kedua: Jika ia meninggalkan shalat setelah akad nikah, maka pernikahannya menjadi gugur sehingga isterinya tidak lagi halal baginya. Hal ini juga berdasarkan ayat yang telah disebutkan tadi. Dan menurut rincian para ahlul ilmi, bahwa hukum ini berlaku baik setelah bercampur maupun belum.
Ketiga: Orang yang tidak melaksanakan shalat, jika ia menyembelih hewan, maka daging hewan sembelihannya tidak halal dimakan, karena daging itu menjadi haram. Padahal, sembelihan orang Yahudi dan Nasrani dihalalkan bagi kita untuk memakannya. Ini berarti -na'udzu billah- sembelihan orang yang tidak shalat itu lebih buruk daripada sembelihan orang Yahudi dan Nasrani.
Keempat: Ia tidak boleh memasuki Makkah atau batas-batas kesuciannya berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberi kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 28).
Kelima: Jika ada kerabatnya yang meninggal, maka ia tidak boleh ikut serta dalam warisan. Misalnya, ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak yang tidak shalat. Orang yang meninggal itu seorang Muslim yang shalat, sementara si anak itu tidak shalat, di samping itu ada juga sepupunya. Siapakah yang berhak mewarisinya? Tentu saja sepupunya, adapun anaknya tidak ikut mendapat warisan, hal ini berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم dalam hadits Usamah,
لاَيَرِثُالْمُسْلِمُالْكَافِرَوَلاَالْكَافِرُالْمُسْلِمَ
"Seorang Muslim tidak mewarisi yang kafir dan seorang kafir tidak mewarisi orang Muslim." (Muttafaq 'Alaih; al-Bukhari, kitab al-Fara'idh (6764), Muslim, kitab al-Fara'idh (1614)).
Juga berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
اَلْحِقُواالْفَرَائِضَبِأَهْلِهَافَمَابَقِيَفَهُوَلأَوْلَىرَجُلٍذَكَرٍ
"Bagikan harta warisan kepada para ahlinya, adapun sisanya adalah untuk laki-laki yang paling berhak." (Al-Bukhari, kitab al-Fara'idh (6732), Muslim, kitab al-Fara'idh (1615)). Hal ini pun berlaku untuk semua warisan.
Keenam: Jika ia meninggal, maka mayatnya tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan dan tidak dikubur di pekuburan kaum Muslimin. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kita keluarkan mayatnya ke padang pasir, lalu dibuatkan lobang, kemudian kita kubur langsung dengan pakaiannya, karena mayat itu tidak ter-hormat. Berdasarkan ini, tidak boleh seseorang yang ditinggal mati oleh orang yang ia ketahui tidak shalat, untuk mempersilahkan kaum Muslimin menyalatinya.
Ketujuh: Bahwa pada hari kiamat nanti ia akan dikumpulkan bersama Firaun, Haman, Qarun, Ubay bin Khalaf dan para pemimpin kaum kafir -na'udzu billah-, dan ia tidak akan masuk surga. Kemudian, tidak boleh keluarganya untuk memohonkan rahmat dan ampunan baginya, karena ia seorang kafir yang tidak berhak mendapatkan itu, hal ini berdasarkan firman Allah سبحانه و تعالى,
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam." (At-Taubah: 113).
Jadi, saudara-saudaraku, masalah ini sangat berbahaya, namun sayangnya, masih ada orang yang menganggap remeh masalah ini, di antaranya ialah dengan menempatkan orang yang tidak shalat di rumahnya, padahal itu tidak boleh. Wallahu a'lam. Semoga shalawat dan salam senantisa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.
Rujukan:
Risalah Shifat Shalatin Nabi, hal. 29-30, Ibnu Utsaimin.
Via HijrahApp
Hukum Shalat Di Masjid Yang Ada Kuburannya
HUKUM SHALAT DI MASJID YANG ADA KUBURANNYA
Pertanyaan:
Apa hukum shalat di masjid yang ada kuburannya?
Jawaban:
Jika masjid tersebut dibangun di atas kuburan, maka shalat di situ hukumnya haram, dan itu harus dihancurkan, sebab Nabi صلی الله عليه وسلم telah melaknat kaum Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid, hal ini sebagai peringatan terhadap apa yang mereka perbuat.
Jika masjid itu telah dibangun lebih dulu daripada kuburannya, maka kuburan itu wajib dikeluarkan dari masjid, lalu dikuburkan di pekuburan umum, dan tidak ada dosa bagi kita dalam situasi seperti ini ketika membongkar kuburan tersebut, karena mayat tersebut di-kubur di tempat yang tidak semestinya, sebab masjid-masjid itu tidak halal untuk menguburkan mayat.
Shalat di masjid (yang ada kuburannya) yang dibangun lebih dulu daripada kuburannya hukumnya sah dengan syarat kuburan tersebut tidak berada di arah kiblat sehingga seolah-olah orang shalat ke arahnya, karena Nabi صلی الله عليه وسلم melarang shalat menghadap kuburan. (HR. Muslim, kitab al-Masajid (973) dengan lafazh, "Janganlah kalian duduk-duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya.") Jika tidak mungkin membongkar kuburan tersebut, maka bisa dengan menghancurkan pagar masjidnya.
Rujukan:
Majmu' Fatawa Wa Rasa'il Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 234-235.
Via HijrahApp
Makmum Yang Masbug Berarti Shalat Sendirian Setelah Imam Salam, Maka Tidak Boleh Membiarkan Orang Lain Lewat Di Depannya
MAKMUM YANG MASBUQ BERARTI SHALAT SENDIRIAN SETELAH IMAM SALAM, MAKA TIDAK BOLEH MEMBIARKAN ORANG LAIN LEWAT DI DEPANNYA
Pertanyaan:
Sebagaimana diketahui, bahwa pembatas imam adalah pembatasnya makmum. Tapi jika imam telah salam, apakah batas tersebut masih berlaku bagi makmum yang masbuq, atau harus ada pembatas yang lain? Saya perhatikan, sebagian orang lewat di depan orang yang masbuq, sementara orang yang masbuq itu tidak melakukan apa-apa. Bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Jika imam telah salam dan makmum yang masbuq berdiri untuk melengkapi kekurangannya, dalam kondisi ini, si makmum shalat sendirian, maka ia harus mencegah orang yang lewat di depannya karena Nabi صلی الله عليه وسلم telah memerintahkannya. Orang-orang yang membiarkan lewatnya orang lain di hadapannya, itu karena ketidaktahuan atau mereka mengira bahwa ketika mereka mendapatkan jamaah, lalu setelah imam salam, mereka masih tetap seperti ketika sedang bersama imam. Padahal sebenarnya, mereka telah terpisah karena imam sudah selesai.
Maka seharusnya mereka mencegah orang yang lewat di depannya ketika menyelesaikan yang tertinggal.
Rujukan:
Kitab ad-Da'wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/92).
Via HijrahApp
Masbug Pada Saat Tahiyat Akhir
MASBUQ PADA SAAT TAHIYAT AKHIR
Pertanyaan:
Seseorang datang terlambat ke masjid, ia mendapati jamaah sedang tasyahhud akhir, apakah ia langsung ikut jamaah mereka atau menunggu jamaah berikutnya? Jika ia ikut jamaah tersebut pada tasyahhud akhir kemudian mendengar ada jamaah baru, apakah ia harus menghentikan shalatnya atau melanjutkannya?
Jawaban:
Jika yang datang saat imam tasyahhud akhir itu tahu bahwa ia akan mendapatkan jamaah berikutnya, maka hendaknya ia menunggu dan shalat bersama jamaah berikutnya, karena pendapat yang kuat adalah bahwa shalat berjamaah itu tidak dianggap kecuali dengan rakaat yang sempurna. Namun jika ia tidak berharap adanya orang lain yang bisa shalat bersamanya, maka yang lebih utama adalah ikut masuk dalam jamaah tersebut, walaupun pada saat tasyahhud akhir, karena mencapai bagian shalat tersebut masih lebih baik daripada tidak sama sekali.
Jika ia ikut imam tersebut karena diperkirakan tidak akan menemukan jamaah berikutnya, lalu ternyata ada jamaah berikutnya dan ia mendengar jamaah berikutnya shalat, maka tidak mengapa ia menghentikan shalatnya lalu ikut shalat jamaah bersama mereka, atau bisa juga ia meniatkan shalat tersebut sebagai shalat sunat, lalu menyelesaikannya dua rakaat, kemudian ikut shalat bersama jama-ah yang kedua. Dan kalau pun ia melanjutkan shalatnya, maka tidak mengapa, ia boleh memilih di antara ketiga pilihan tersebut.
Rujukan:
Mukhtar Min Fatawa ash-shalah, hal. 66, Syaikh Ibnu Utsaimin.
Via HijrahApp
Meluruskan Shaf Hukumnya Sunnah
MELURUSKAN SHAF HUKUMNYA SUNNAH
Pertanyaan:
Saya melihat sebagian orang yang shalat berdiri agak mundur sedikit dari barisan, ada juga yang meletakkan tangannya di pinggang kiri. Bagaimana hukumnya? Apakah ada madzhab yang menyebutkan demikian?
Jawaban:
Meluruskan barisan hukumnya sunat, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa meluruskan barisan hukumnya wajib. Sebab, ketika Nabi صلی الله عليه وسلم melihat dada seorang badui (agak maju dari barisan), beliau bersabda,
"Hendaklah kalian meluruskan barisan atau Allah akan memperselisihkan wajah-wajah kalian."(Al-Bukhari, kitab al-Adzan (717), Muslim, kitab ash-Shalah (436)).
Ini adalah ancaman, dan tidak ada ancaman kecuali untuk yang melakukan keharaman atau meninggalkan yang wajib. Pendapat yang mewajibkan lurusnya barisan shalat adalah pendapat yang kuat. Imam al-Bukhari dalam menyusun kitabnya, memberi judul hadits ini dengan "bab dosa orang yang tidak menyempurnakan barisan." (Al-Bukhari, kitab al-Adzan bab (75) (2/245, al-Fath)).
Adapun meletakkan tangan di pinggang sebelah kiri, tidak ada dasarnya. Saya tidak mengetahui dasar tersebut di dalam as-Sunnah dan tidak pula dalam perkataan para ahlul ilmi.
Sumber:
Kitab Ad-Da'wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/91-92).
Via HijrahApp
Memberi Kode Kepada Imam Agar Menunggu
MEMBERI KODE KEPADA IMAM AGAR MENUNGGU
Pertanyaan:
Saya mendengar ada orang yang jika masuk ke masjid ketika imam sedang ruku, ia mengatakan, "Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." agar imam memanjangkan rukunya sehingga ia bisa mendapatkan rakaat tersebut. Apakah ini boleh?
Jawaban:
Ini tidak ada dasarnya dan tidak pernah terjadi pada masa sahabat -rodhiallaahu'anhu-, tidak pula berasal dari petunjuk mereka. Lain dari itu, perbuatan ini bisa mengganggu orang-orang yang sedang shalat ber-sama imam, padahal mengganggu orang yang sedang shalat itu terlarang, karena gangguan tersebut bisa melengahkan mereka. Diriwayatkan, bahwa pada suatu malam Nabi صلی الله عليه وسلم menemui para sahabatnya, saat itu mereka sedang shalat dengan menyaringkan bacaan, lalu beliau melarangnya, beliau bersabda,
لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ بِالْقُرْآنِ
"Janganlah sebagian kalian mengeraskan bacaan al-Qur'an kepada sebagian yang lain." [3]
Dalam hadits lain disebutkan,
لاَ يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلاَ يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءةِ
"Janganlah sebagian kalian mengganggu sebagian lainnya, dan janganlah sebagian kalian mengencangkan bacaan al-Qur'an kepada sebagian sebagian lainnya." [4]
Ini menunjukkan bahwa setiap yang dapat mengganggu para makmum dalam shalat adalah terlarang, karena hal tersebut dapat mengganggu dan menghalangi di antara orang yang shalat dan shalatnya. Adapun imam, para ahli fiqih -rohimahullah- mengatakan, "Jika merasakan adanya orang yang baru masuk untuk shalat, maka hendaknya ia menunggu, terutama pada rakaat terakhir, karena dengan rakaat terakhir itulah bisa diperolehnya pahala jamaah." Hal ini berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم,
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
"Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat shalat berarti ia telah mendapatkan shalat tersebut." [5]
Tapi jika hal tersebut bisa memberatkan bagi makmum lainnya, maka tidak perlu menunggu, sebab mereka lebih berhak daripada yang baru datang, karena mereka lebih dulu masuk.
keterangan
[3] HR. Malik, kitab Shalat (29).
[4] HR. Abu Dawud, kitab Shalat (1332).
[5] Al-Bukhari, kitab al-Mawaqit (580), Muslim, kitab al-Masajid (607).
rujukan:
Mukhtarat Min Fatawa ash-Shalah, hal. 73, Syaikh Ibnu Utsaimin.
Via HijrahApp
Menempatkan Dupa Di Depan orang orang sholat
MENEMPATKAN DUPA DI DEPAN ORANG-ORANG YANG SHALAT
Pertanyaan:
Apa hukum meletakkan dupa (tempat pembakaran) gaharu di depan orang-orang yang shalat di masjid?
Jawaban:
Tidak apa-apa. Ini tidak termasuk katagori makruh karena berkiblat kepada api sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian ahli fiqih. Mereka yang memakruhkan karena seolah-olah mengha-dap ke arah api, alasannya, karena ini menyerupai kaum majusi yang ibadahnya menyembah api. Perlu diketahui, bahwa kaum majusi itu tidak menyembah api dengan cara seperti shalat.
Dari itu, tidak mengapa menempatkan dupa untuk membakar gaharu di depan orang-orang yang shalat. Boleh juga menempatkan penghangat ruangan elektrik di depan shaf, apalagi jika hanya di tempatkan di depan para makmum, bukan di depan imam.
Rujukan:
Kitab Ad-Da'wah (5), Ibnu Utsaimin (92/89-90).
Via HijrahApp
Shalat Dengan Mengenakan Pakaian Tipis
SHALAT DENGAN MENGENAKAN PAKAIAN TIPIS
Pertanyaan:
Banyak orang yang mengerjakan shalat dengan mengenakan pakaian transparan yang menampakkan warna kulitnya, sementara di balik pakaian tersebut hanya mengenakan celana pendek yang tidak melebihi pertengahan pahanya, sehingga sebagian pahanya kelihatan dari belakang, Bagaimana hukumnya?
Jawaban:
Hukum shalat mereka adalah seperti orang yang shalat hanya dengan mengenakan celana pendek, karena pakaian transparan yang menampakkan warna kulit tidak menutupi aurat, jadi seolah-olah tidak mengenakannya. Karena itu, shalat mereka tidak sah menurut pendapat yang benar di antara dua pendapat ulama, dan ini merupakan pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad -rohimahullah-. Demikian ini, karena yang wajib atas laki-laki yang mengerjakan shalat adalah menutup auratnya antara pusar hingga lutut. Ini batas minimal dalam merealisasikan firman Allah سبحانه و تعالى,
"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid." (Al-A'raf: 31).
Maka yang wajib atas mereka adalah dua pilihan: Mengenakan celana panjang yang menutupi antara pusar hingga lutut, atau tetap mengenakan celana pendek tersebut tapi luarnya diganti dengan baju yang tidak transparan sehingga tidak tampak kulitnya.
Perbuatan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan ini adalah salah dan berbahaya, karena itu, hendaknya mereka bertaubat kepada Allah سبحانه و تعالى dari hal tersebut, lalu berusaha menyempurnakan penutupan auratnya ketika shalat. Semoga Allah سبحانه و تعالى memberikan kebaikan dan petunjuk kepada kita, saudara-saudara kita dan semua kaum Muslimin, yaitu kebaikan yang dicintai dan diridhaiNya. Sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Mahamulia.
Rujukan:
Fatawa Mu'ashirah, hal. 16-17, Syaikh Ibnu Utsaimin.
Via HijrahApp
Shalat Fardhu Bermakmum Kepada Orang Yang Shalat Sunnah
SHALAT FARDHU BERMAKMUM KEPADA ORANG YANG SHALAT SUNNAH
Pertanyaan:
Apa hukum orang yang melaksanakan shalat fardhu dengan bermakmum kepada orang yang mengerjakan shalat sunat?
Jawaban:
Hukumnya sah, karena telah diriwayatkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم, bahwa dalam suatu perjalanan beliau shalat dengan sekelompok para sahabatnya, yaitu shalat khauf dua rakaat, kemudian beliau shalat lagi dua rakaat dengan sekelompok lainnya, shalat beliau yang kedua adalah shalat sunat. Disebutkan juga dalam ash-Shahihain, dari Muadz, bahwa suatu ketika ia telah mengerjakan shalat Isya bersama Nabi صلی الله عليه وسلم, kemudian ia pergi lalu mengimami shalat fardhu kaumnya, shalat mereka adalah shalat fardhu, sedangkan shalat Muadz saat itu adalah shalat sunat. Wallahu walyut taufiq.
Rujukan:
Majalah ad-Da'wah, edisi 1033, Syaikh Ibnu Baz.
Via HijrahApp
Standar Panjang Dan Pendeknya Shalat Adalah Sunnah, Bukan Selera
STANDAR PANJANG DAN PENDEKNYA SHALAT ADALAH SUNNAH, BUKAN SELERA
Pertanyaan:
Ada makmum yang mengeluh kepada saya karena saya terlalu lama berdiri setelah ruku (yakni saat i'tidal). Saat itu memang saya membaca dzikirnya dengan lengkap, yaitu (dst. ربنا ولك الحمد حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه), apakah ada doa ringkas yang bisa dibaca saat bangkit dari ruku sehingga kami tidak memberatkan para makmum?
Jawaban:
Yang wajib bagi imam dan setiap orang yang melaksanakan suatu tugas adalah mengikuti as-Sunnah (tuntunan Rasulullah صلی الله عليه وسلم), bukan mengikuti seseorang sehingga bertolak belakang dengan as-sunnah. Jika terpaksa dan kondisi menuntut, tidak apa-apa sekali-sekali meringankan sedikit, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi صلی الله عليه وسلم. Adapun dalam kondisi yang berkesinambungan, maka mengikuti as-Sunnah menjadi tuntutan dalam mengimami.
Karena itu, teguhlah dalam melaksanakan as-Sunnah dan beritahukan para makmum, bahwa, jika mereka bersabar dalam hal ini, niscaya akan mendapat pahala orang-orang yang bersabar dalam mentaati Allah. Jika memperpendek dan memperpanjang bacaan diserahkan kepada kecenderungan manusia, maka umat ini akan berpecah belah menjadi beberapa kelompok, karena yang terasa sedang bagi sebagian orang bisa terasa panjang bagi sebagian yang lain. Maka hendaknya anda berpedoman kepada as-Sunnah, dan itu mudah untuk diketahui, alhamdulillah.
Untuk itu, kami nasehatkan kepada setiap imam yang mengimami kaum Muslimin di masjid-masjid agar merujuk pada bacaan yang telah dituliskan oleh para ulama tentang sifat shalat Nabi صلی الله عليه وسلم, di antaranya adalah kitabus shalah karya Ibnu Qayyim, buku ini cukup terkenal, juga yang beliau sebutkan dalam buku zaadul ma'ad fi huda khairil 'ibad.
rujukan:
Kitab Ad-Da'wah (5), Syaikh Ibnu Utsaimin (2/90-91).
Via HijrahApp