• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Minggu, 1 Juni 2025

Bab Sholat

Bagikan

ADZAN WANITA DI TENGAH-TENGAH KAUM PRIA

Pertanyaan ke173:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ditanya:
Bolehkah kaum wanita mengumandangkan adzan di tengah-tengah pria?

Jawaban:
Tidak boleh wanita melakukan hal seperti itu karena bertentangan dengan syari'at.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 1/83, fatwa no. 9281.

Via HijrahApp

ADZAN WANITA DI TENGAH-TENGAH KAUM WANITA ATAU SAAT SENDIRIAN

Pertanyaan ke174:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah wajib bagi wanita melakukan adzan dan iqamat untuk mendirikan shalat seorang diri di dalam rumah atau saat melakukan shalat jama'ah sesama kaum wanita?

Jawaban:
Tidak diwajibkan bagi kaum wanita untuk melakukan hal itu dan juga tidak disyari'atkan bagi mereka untuk adzan dan iqamat.

Ibid, fatwa nomor 9419.

Via HijrahApp

ADZANNYA WANITA

Pertanyaan ke171:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta' ditanya:
Bolehkah wanita mengumandangkan adzan, apakah suara wanita dianggap aurat atau tidak?

Jawaban:
Pertama: Pendapat yang benar dari para ulama menyatakan, bahwa wanita tidak boleh mengumandangkan adzan, karena hal semacam ini belum pernah terjadi pada jaman Nabi صلی الله عليه وسلم dan juga tidak pernah terjadi di zaman Khulafa'ur Rasyidin.

Kedua: Dengan tegas kami katakan bahwa suara wanita bukanlah aurat, karena sesungguhnya para wanita di zaman Nabi selalu bertanya kepada Nabi صلی الله عليه وسلم tentang urusan urusan agama Islam, dan mereka juga selalu melakukan hal yang sama pada zaman Khulafa'ur Rasyidin serta para pemimpin setelah mereka.

Di zaman itu juga mereka biasa mengucapkan salam kepada kaum laki-laki asing (non mahram) serta membalas salam, semua hal ini telah diakui serta tidak ada seorang pun di antara para imam yang mengingkari hal ini, akan tetapi walaupun demikian tidak boleh bagi kaum wanita untuk mengangkat suaranya tinggi-tinggi dalam berbicara, juga tidak boleh bagi mereka untuk berbicara dengan suara lemah gemulai, berdasarkan firman Allah:
"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik" (Al-Ahzab: 32)

Karena jika seorang wanita berbicara lemah gemulai maka hal itu dapat memperdaya kaum pria hingga menimbulkan fitnah di antara mereka sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, VI/82, fatwa no. 9522.

Via HijrahApp

AKHIR WAKTU WITIR

Pertanyaan ke246:
SyaikhIbnu Baaz ditanya: Kapan waktu paling akhir dibolehkannya mengerjakan shalatwitir?

Jawaban:
Yaitu pada bagian terakhir waktu malam sebelum terbitnya fajar,hal ini berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم:

"Shalat malam itu (dikerjakan) dua (raka'at) dua (raka'at), bila salah seorang kalian khawatir (keburu) masuk (waktu) Shubuh, maka hendaklah ia shalat satu raka'at sebagai witirnya shalat yang telah dikerjakannya." (Muttafaq 'ala shihhahih).

Ibid, h. 37.

Via HijrahApp

APA HUKUM KELUARNYA WANITA UNTUK SHALAT LED, TERUTAMA DI ZAMAN KITA SEKARANG INI?

Pertanyaan ke241:
SyaikhMuhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apa hukum keluarnya wanita ke tempatshalat led, terutama di zaman kita sekarang ini yang banyak terjadi fitnah, sementara sebagian wanita keluar rumah dengan berhias dan mengenakan wewangian. Jika kami mengatakan boleh, apa pendapat Anda tentang ucapan 'Aisyah: "Seandainya Nabi melihat apa yang dilakukan oleh para wanita, tentulah beliau akan melarangnya'?

Jawaban:
Menurut kami, bahwa para wanita diperintahkan untuk keluar ke tempat shalat led agar dapat menyaksikan kebaikan dan ikut serta bersama kaumMuslimin lainnya dalam shalat dan dakwah mereka, akan tetapi seharusnya mereka keluar dengan sederhana, tidak berhias dan tidak pula mengenakan wewangian. Dengan demikian berarti mereka dapat melaksanakan sunnah dan menghindari fitnah.

Sedangkanpara wanita yang bertabarruj (berhias) dan mengenakan wewangian, maka itu karena ketidaktahuan mereka dan kekurangan para wali mereka dalam urusan mereka. Namun yang demikian ini tidak menghalangi hukum syari'at yang umum,yaitu diperintahkannya para wanita untuk keluar menuju tempat pelaksanaan shalat led.

Adapun mengenai ucapan 'Aisyah, sebagaimana diketahui, bahwa sesuatu yang mubah (boleh) apabila menyebabkan timbulnya sesuatu yang haram maka akan menjadi haram. Jika mayoritas wanita keluar rumah dengan penampilan yang tidak syar'i,maka kami tidak melarang masyarakat keluar (untuk shalat led), hanya saja kami melarang para wanita itu keluar dengan penampilan yang seperti demikian.

As’ilah wa Ajwibah fi Shalatil Idain, Syaikh Ibnu Utsaimin, h. 26.

Via HijrahApp

APA HUKUM SHALAT BERJAMA'AH BAGI KAUM WANITA

Pertanyaan ke204:
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya:
Apa hukum shalat berjama'ah bagi kaum wanita?

Jawaban:
Tentang shalat berjama'ah bagi kaum wanita dengan diimami oleh salah seorang mereka, para ulama berbeda pendapat, ada yang melarang dan ada pula yang membolehkan.

Pendapat yang paling banyak adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi kaum wanita untuk melaksanakan shalat berjama'ah, karena Nabi صلی الله عليه وسلم telah memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengimami anggota keluarganya, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah.

Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum shalat berjama'ah bagi kaum wanita adalah mustahab (disukai) berdasarkan hadits ini, sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hukum shalat berjama'ah bagi kaum wanita seperti itu adalah makruh, sebagian lainnya menyatakan bahwa itu dibolehkan dalam shalat sunnat tapi tidak boleh dalam shalat fardhu.

Mungkin pendapat yang kuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum shalat berjama'ah bagi kaum wanita dengan diimami oleh salah seorang di antara mereka adalah mustahab (disukai). Wanita yang menjadi imam dalam shalat berjama'ah ini harus mengeraskan suaranya saat membaca ayat-ayat AlQur'an yang tidak terdengar oleh kaum pria yang bukan mahramnya.

At-Tanbihat, Syaikh Al-Fauzan, halaman 28.

Via HijrahApp

APA HUKUM SHALAT WANITA DI MASJID

Pertanyaan ke218:
SyaikhShalih Al-Fauzan ditanya: Apa hukum shalat wanita di masjid?

Jawaban:
Dibolehkan bagi kaum wanita keluar dari rumahnya untuk melaksanakan shalat bersama kaum pria di masjid-masjid, akan tetapi shalatmereka di rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka, telah diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya dari Nabi صلی الله عليه وسلم, beliau bersabda:

"Janganlahkalian melarang kaum wanita untuk pergi ke masjid-masjid Allah",

dan dalam hadits lain beliaubersabda:

"Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk ke masjid-masjidwalaupun rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka."

Maka tetap tinggalnya kaum wanita di rumah-rumah mereka dan shalat mereka dirumah mereka adalah lebih baik bagi mereka untuk menjaga dan memelihara diri mereka. Jika kaum wanita hendak pergi ke masjid maka mereka harus memperhatikan adat dan etika yang telah ditetapkan syari'at.

At-Tanbiha Syaikh Al-Fauzan, halaman 28, dengan ringkas.

Via HijrahApp

APABILA SEORANG WANITA YANG MENGELUARKAN CAIRAN BERWUDHU UNTUK SHALAT FARDHU, APAKAH LA BOLEH MENGERJAKAN SHALAT SUNNAT DAN MEMBACA AL-QUR'AN?

Pertanyaan ke238:
Jikaseorang wanita yang terus menerus mengeluarkan cairan (dari kemaluannya)berwudhu untuk mengerjakan shalat fardhu, apakah ia boleh mengerjakan shalat-shalat sunnat sesukanya atau membaca Al-Qur'an dengan wudhu tersebut hingga tibanya waktu shalat berikutnya?

Jawaban:
Jika ia berwudhu untuk mengerjakan suatu shalat fardhu pada permulaan waktu, maka ia boleh mengerjakan shalat fardhu, shalat sunnat danmembaca AlQur'an sesukanya hingga masuk waktu shalat yang lain.

Ibid.

Via HijrahApp

APAKAH ADA NIAT KHUSUS BAGI IMAM YANG MENGIMAMI SHALAT KAUM PRIA DAN WANITA

Pertanyaan ke205:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Apakah disyaratkan bagi seorang imam untuk menetapkan niat khusus bahwa ia mengimami kaum pria dan juga kaum wanita agar shalat jama'ah wanita itu menjadi sah, ataukah cukup baginya meniatkan menjadi imam saja tanpa perlu merinci ma'mumnya yang terdiri dari pria dan wanita?

Jawaban:
Niat seseorang untuk menjadi imam telah mencakup kaum pria dan wanita yang shalat di belakangnya, dan tidak perlu dengan niat khusus mengimami kaum wanita karena tidak ada dalil yang menunjukkan tentang hal itu.

Kaum wanita di masa Rasulullah صلی الله عليه وسلم terkadang melaksanakan shalat berjama'ah bersama beliau, dan tidak ada sabda beliau yang mengatakan bahwa beliau mengkhususkan niat untuk mengimami orang-orang bersama kaum wanita itu.

MajalahAI-Buhuts Al-lslamiyah, Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’, 15/70.

Via HijrahApp

APAKAH DISYARI'ATKAN ADZAN DAN IQAMAT BAGI KAUM WANITA

Pertanyaan ke172:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Apakah disyari'atkan adzan dan iqamat bagi kaum wanita, baik sedang dalam perjalanan ataupun yang tidak, dan saat sendiri ataupun sedang bersama-sama?

Jawaban:
Tidak disyari'atkan bagi kaum wanita untuk melaksanakan adzan dan iqamat baik di dalam perjalanan ataupun tidak. Adzan dan iqamat merupakan hal yang dikhususkan bagi kaum pria sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah صلی الله عليه وسلم.

Fatawa Muhimmah Syaikh Ibnu Baaz, halaman 32. Lihat buku At-Tanbihat 'ala Ahkam Takhtashshu bil Mukminat, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, halaman 27.

Via HijrahApp

APAKAH KAUM WANITA HARUS MELURUSKAN SHAFNYA DALAM SHALAT

Pertanyaan ke216:
SyaikhShalih Al-Fauzan ditanya: Apakah shaf-shaf wanita dalam shalat harus diluruskandan ditertibkan? Apakah hukum shaf pertama sama dengan shaf-shaf lainnya, khususnya bila tempat shalat kaum wanita benar-benar terpisah dari tempat shalat kaum pria?

Jawaban:
Hukum-hukum yang ditetapkan dalam shaf-shaf wanita sama denganhukum-hukum yang ditetapkan dalam shaf-shaf pria dalam hal meluruskan, menertibkan dan mengisi shaf yang kosong.

Kemudian jika di antara kaum pria dan kaum wanitatidak ada tabir, maka sebaik-baiknya shaf wanita adalah yang paling belakang, karena shaf yang paling belakang itu adalah yang paling jauh dari kaum pria, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, akan tetapi jika di antara kaum priadan kaum wanita terdapat tabir pemisah, maka sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling depan, karena dengan adanya tabir berarti sesuatu keburukan yang dikhawatirkan terjadiantara pria dan wanita telah hilang, di samping itu, shaf yang terdepan lebih dekat kepada imam. Wallahu A'lam?

Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 3/56-57.

Via HijrahApp

APAKAH SAH BILA WANITA TERSEBUT MENGERJAKAN SHALAT DHUHA DENGAN WUDHU SHALAT SHUBUH?

Pertanyaan ke239:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Apakah wanita ( yang mengeluarkan cairan darikemaluannya ) tersebut boleh mengerjakan shalat Dhuha dengan wudhu shalat Subuh?

Jawaban:
Itu tidak shah, karena shalat Dhuha telah ditentukan waktunya,maka berwudhu lagi untuk shalat Dhuha setelah masuk waktunya. Sebab, wanita ini hukumnya seperti wanita mustahadhah, dan Nabi صلی الله عليه وسلم telah menyuruh wanita yang mustahadhah agar berwudhu untuk setiap shalat.

Adapun waktu Zhuhur adalah sejak tergelincirnya matahari hingga waktu Ashar,dan waktu Ashar sejak masuknya waktu Ashar hingga matahari berwarna kekuningkuningan, dan daruratnya hingga tenggelamnya matahari. Waktu Maghrib adalah sejak terbenamnya matahari hingga hilangnya sinar merah. Sementara waktu Isya' adalah sejak hilangnya sinar merah hingga pertengahan malam.

52 Su'alan 'an ahkamil haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, h. 31.

Via HijrahApp

APAKAH SEORANG WANITA HARUS IQAMAT SAAT IA MENJADI IMAM

Pertanyaan ke175:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Saya telah mengetahui bahwa seorang wanita tidak boleh iqamat, lalu apakah disyari'atkan baginya beriqamat jika ia mengimami shalat kaum wanita?

Jawaban:
Tidak disunnahkan beriqamat bagi jama'ah shalat kaum wanita yang di imami wanita pula, Ketetapan ini juga berlaku bagi wanita yang melakukan shalat sendiri, sebagaimana tidak disyari'atkan bagi mereka mengumandangkan adzan.

Ibid, halaman 84, fatwa nomor 5176.

Via HijrahApp

APAKAH SHALATNYA SEORANG WANITA DI RUMAH LEBIH UTAMA ATAUKAH DI MASJIDL HARAM

Pertanyaan ke211:
Syaikh AAjhammad bin Shallh Al-Utsaimin ditanya: Apakah shalatnya seorang wanita di rumah lebih utama ataukah di masjidil Haram?

Jawaban:
Shalat sunah di mmah adalah lebih utama baik bagi kaum pria ataupun bagi kaum wanita, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

"Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat-shalat fardhu"

Karena itulah Rasulullah melaksanakan shalat-shalat sunah di rumahnya, padahalbeliau sendiri bersabda:

'Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di tempat-tempat lainnya kecuali Masjidil Haram.”

Berdasarkan sabda ini maka kami katakan: Jika telah dikumandangkan adzanZhuhur, sementara saat itu Anda sedang berada di rumah Anda, yang mana Anda berdomisilidi Mekkah, dan Anda hendak melakukan shalat Zhuhur di Masjidil Haram, maka yang paling utama Anda lakukan adalah hendaknya Anda melaksanakan shalat Rawatib Zhuhur di rumah Anda kemudian Anda datang keMasjidl Haram untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan sebelumnya Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid.

Sebagian ulama berpendapat bahwa berlipatgandanya pahala shalat di ketiga masjid ini adalah khusus pada shalat-shalatfardhu, karena shalat-shalat fardhu inilah yang hendaknya dilaksanakan di masjid masjid itu, adapun shalat-shalat Sunah maka pahalanya tidak dilipat gandakan.

Namun pendapat yang benar adalah bahwa berlipat gandanya pahalaadalah bersifat umum, yaitu untuk semua shalat baik shalat fardhu maupun shalat sunat, hanya saja shalat sunat di Masjidil Haram atau Masjid Nabawi atau Masjid Al-Aqsha tidak berarti lebih baik jika dibanding dengan di rumah,bahkan shalat sunat yang dilakukan di rumah adalah lebih utama.

Akan tetapi jika seseorang masuk ke dalam masjidil Haram lalu ia melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid di Masjidil Haram, maka itu lebih baik seratus ribu kalikebaikan dari pada shalat Tahiyatul Masjid di masjid masjid lainnya, dan shalat tahiyyatul masjid di Masjid Nabawi lebih baik dari seribu shalat tahiyatul masjid di masjid-masjid lainnya-

Begitu juga jika Anda datang dan masuk kedalam Masjidil Haram lalu Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid, kemudian untuk menanti tiba waktunya shalat fardhu Anda melaksanakan shalat sunah, maka sesungguhnya shalat sunah ini lebih baik dari seratus ribu shalat sunah serupadari pada di masjid-masjid lainnya. masih ada pertanyaan lain sehubungan dengan hal tadi, yaitu tentang shalat malam (shalat tarawih pada bulan Ramadhan), apakah bagi wanita lebih utamamelaksanakanrr/a di Masjidil Haram atau di rumah?

Jawabannya adalah;
Untuk shalat-shalat fardhu, maka lebih utama dilaksanakandi rumah, sebab sehubungan dengan shalat fardhu bagi kaum wanita, maka masjidil Haram seperti masjid-masjid lainnya.

Adapun shalat malam Ramadhan, sebagian ahlul ilmi mengatakan: Bahwa yang lebih utama bagi kaum wanita adalah melaksanakan shalat malam di masjid-masjid, berdasarkan dalil bahwa Nabi Shallallahu Aaihi wa Sallam mengumpulkan keluarga serta mengimami mereka dalam melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan, dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar dan Ali bin Abu Thalib,

bahwa kedua sahabat Rasulullah ini memerintahkan seorang pria untuk mengimami shalat kaum wanita di masjid dan dalam masalah ini saya belum bisa memastikan karena dua atsar yang diriwayatkan dari Umar dan Utsman itu lemahsehingga tidak bisa dijadikan hujjah, begitu juga yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengumpulkan keluarganya tidakmenjelaskan bahwa beliau mengumpulkan mereka di masjid untuk shalat berjamaah.

Dan saya belum bisa memastikan, manakah yang lebih utama bagi seorang wanita, melaksanakan shalat tarawih di rumahnya atau di mesjidil Haram? Dan yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya, kecuali jika adanash yang menyebutkan dengan jelas bahwa shalatnya di Masjidil Haram adalah lebih utama. Akan tetapi jika ia datang ke Masjidil Haram maka diharapkan mendapatkan pahala sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Aaihi waSallam:

"Shalat di Masjidil Haram sama dengan seratus ribu shalat (di masjid-masjid lain).“

Namun jika kehadirannya dapat menimbulkan fitnah, maka tidak diragukan lagi bahwashalat di rumahnya adalah lebih utama.

Durus wa Fatawa A-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 3/228.

Via HijrahApp

APAKAH SHALAT SESEORANG DI MASJIDIL HARAM BISA BATAL KETIKA IA IKUT BERJAMA'AH DENGAN IMAM ATAU SHALAT SENDIRIAN KARENA ADA WANITA YANG MELINTAS DI HADAPANNYA

Pertanyaan ke214:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Apakah shalat seseorang di Masjidil Haram bisa batalketika ia ikut berjama'ah dengan imam atau shalat sendirian karena ada wanita yang melintas di hadapannya?

Jawaban:
Tentang wanita yang dapat membatalkan shalat seseorang, hal ini telah ditetapkan dalam kitab shahih Muslim dari hadits Abu Dzar, ia mengatakan: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

"Perempuan, keledai dan anjing hitam dapat memutuskan (membatalkan) shalat seorang Muslim jika dihadapannya tidak ada pembatas (penghalang), seperti jok bagian belakang kendaraan.”

Dengan demikian jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan pembatas shalatnya, jika pelaku shalat itu memiliki pembatas shalat, atau jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan tempat sujudnya, jika orang yang shalat itu tidak memiliki pembatas, maka shalat orangitu menjadi batal, dan wajib baginya untuk mengulangi shalat walaupun ia telah mencapai di rakaat terakhir.

Hal ini pun berlaku jika shalat itu dilakukan di masjid-masjid lainnya menurut pendapat yang paling kuat, karena dalil yang menyebutkan hal ini bersifat umum dan tidak ada pengkhususan pada suatu tempat.

Berdasarkan ini Imam Al-Bukhari mengkategorikan hadits ini dalam "Bab Pembatas Shalat di Mekkah dan Tempat Lainnya", dengan demikian hadits ini bersifat umum, sehingga jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan tempat sujudnya, atau jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan pembatasnya, maka wajib bagi orang yang melakukan shalat itu untuk mengulangi shalat tersebut, kecuali jika yang sedang shalat ini adalah seorang makmum yang shalat di belakang imam, karena pembatas pada imam adalah juga merupakan pembatas bagi orang yang shalat di belakangnya.

Dengan demikian dibolehkan bagi seseorang untuk berjalan di hadapan orang yang shalat di belakang imam dan ia tidak berdosa. Namun jika orang itu berjalan di hadapan orang yang sedang shalat sendirian (tidak berjama'ah mengikuti imam) maka itu hukumnya haram, berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:

"Seandainya orang yang berjalan di hadapan orang yang sedang melaksanakan shalat itu tahu akan dosa perbuatan itu yang akan ditimpakan kepadanya, maka berdiri selama empat puluh lebih baik baginya daripada ia berjalan di hadapannya itu.”

Al-Bazzar meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan empat puluh di sini adalahempat puluh tahun.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/233.

Via HijrahApp

BANGUN DARI TIDUR UNTUK MELAKSANAKAN SHALAT SHUBUH, NAMUN SETELAH MATAHARI TERBIT MELIHAT ADANYA DARAH, APAKAH HARUS MENGULANG SHALATNYA?

Pertanyaan ke226:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Saya bangun dari tidur untuk melaksanakan shalat Shubuh,akan tetapi setelah matahari terbit saya melihat ada darah, apakah saya harus mengulangi shalat saya itu setelah kembali suci atau tidak?

Jawaban:
Ya, wanita yang mengalami seperti itu harus mengulangi shalat tersebut, karena asalnya darah belum keluar, dan jikaasalnya darah itu belumada maka berarti wanita itu telah mendapatkan waktu shalat sebelum ia haidh, akan tetapi yang saya sayangkan di sini adalah bahwa wanita itu bangun dari tidur setelahmatahari terbit untuk melaksanakan shalat Shubuh, untuk itu maka saya sarankan agar setiap orang selalu waspada dengan memiliki sarana-sarana yang layak untukmembangunkan dirinya dari tidur agar dapat shalat Shubuh pada waktunya.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/300.

Via HijrahApp

BEL RUMAH BERBUNYI SEMENTARA SAYA SEDANG MENGERJAKAN SHALAT, APA YANG HARUS SAYA LAKUKAN?

Pertanyaan ke242:
SyaikhAbdul Aziz bin Baaz ditanya: Apabila saya sedang mengerjakan shalat lalu terdengar bunyi bel pintu rumah, sementara tidak ada orang lain di dalam rumah selain saya, maka apa yang harus saya lakukan?

Jawaban:
Jika Anda sedang mengerjakan shalat sunnat, maka masalahnyajadi leluasa, tidak ada salahnya untuk menghentikannya dan mencari tahu siapa yang menekan bel. Namun jika yang sedang dikerjakan itu adalah shalat fardhu, maka tidak perlu terburu-buru, kecuali jika dirasa ada sesuatu yang penting, yangdikhawatirkan terlewat.

Dalam hal ini, bila memungkinkan maka dengan cara memberikan isyarat,yaitu dengan bacaan tasbih bila laki-laki dan dengan tepukan bila wanita, agar orang yang di depan pintu itu mengetahui bahwa yang di dalam rumah sedang shalat, ini sudah cukup, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam:

"Barangsiapa yang dipanggil ketika sedang shalat, maka hendaklah ia bertasbih bila laki-laki dan menepuk bila wanita."

Dan jika memungkinkan untuk memberi isyarat dengan bacaan tasbih (bilalaki-laki) atau tepukan (bila wanita) maka hendaknya melakukannya. Jika hal ini tidak berhasil, karena jaraknya yang terlalu jauh atau tidak terdengar, maka tidak mengapa menghentikan shalat karena hajat tersebut, khususnya bila shalat yang sedangdikerjakan itu shalat sunnat.

Adapun bila shalat itu adalah shalat fardhu, jika dikhawatirkansi pengetuk pintu (atau penekan bel) itu mempunyai sesuatu hal yang penting, maka tidak mengapa pula untuk menghentikannya, kemudian mengulanginya lagi dari awal.

Fatawa al-Mar'ah, Ibnu Baaz, 11/35.

Via HijrahApp

BENARKAH KAUM WANITA TIDAK BOLEH MASUK MASJID KARENA MEREKA ADALAH NAJIS

Pertanyaan ke219:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ditanya: Ada syaikh di negara Muslim mengeluarkan fatwa bahwa kaum wanita tidak boleh melaksanakan shalat di masjid-masjid atau bahwa kaum wanita adalahnajis maka tidak boleh masuk ke dalam masjid. Pendapat semacam ini telah menimbulkan perselisihan di antara kaum Mustimin, bagaimana menurut Anda?

Jawaban:
Manusia bukanlah najis, baik pria maupun wanita, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, karena itu wanita dibolehkan untuk masuk ke dalammasjid kecuali jika ia dalam keadaan junub atau haidh, maka tidak boleh baginya untuk masuk ke masjid kecuali hanya sekadar lewat, dengan syarat ia harus berhati-hati agar darah haidhnya itu tidak menodai masjid,berdasarkan firman Allah:

(Jangan Pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja (An-Nsa1: 43)

Pernah istri-istri Nabi صلی الله عليه وسلم mengunjungi beliau saatbeliau sedang i'tikaf di masjid, pernah juga di masjid Nabi shalallahu alaihi wasallam ada seorang budak perempuan yang mengumpulkan sampah-sampah masjid danmembersihkannya, bahkan Nabi صلی الله عليه وسلم telah melarang kaum pria untuk mencegah kaum wanita melaksanakan shalat di masjid dengan sabdanya:

"Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah."

Dan telah disebutkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwa beliaubersabda:

"Sebaik-baiknya shaf kaum pria adalah shaf yang terdepan sedang shaf yang terburuk adalah shafyang paling belakang, dan sebaik-baiknyashaf kaum wanita adalah shaf yang paling akhir sedang shaf yang terburuk adalah shaf yang paling depan." (Diriwayatkan oleh Mjslim, Abu Daud, An-Nasa’i, At-Tirmidzi dan Ibnu Atajah).

Hadits ini merupakan keterangan tentang kedudukan wanita terhadap shaf-shafkaum pria dalam melaksanakan shalat berjamaah. Telah disebutkan dari Nabi صلی الله عليه وسلم pula bahwa beliau bersabda:

"Jika istri-istri kalian minta izin kepada kalian dimalam hari untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin." (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, AAislim, Abu Daud, AnNasa'i dan At-Tirmidzi).

Al-Lajnah Ad-Da’imah telah mengeluarkan fatwa tentang shalat wanita bersamajama'ah di masjid, fatwa itu berbunyi sebagai berikut Diberi keringanan bagi wanita yang datang ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum at dan untuk melaksanakan shalat-shalat lainnya dengan berjamaah, dan bagi suaminya tidak boleh melarangnya melakukan hal itu, namun shalatnya seorang wanita di rumahnya adalah lebih baik baginya.

Dan jika seorang wanita akan pergi ke masjid maka ia harus memperhatikan etika Islam dengan menggunakan pakaian yang dapat menutupi auratnya, jangan menggunakan pakaian yang tipis(transparan) atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya, tidak menggunakan minyak wangi dan tidak menyatu dalam shaf kaum pria, akan tetapi membuat shaf tersendiri di belakang shaf kaum pria.

Kaum wanitadi zaman Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam pergi ke masjid dengan menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan kain tebal, lalu mereka melakukan shalat di belakang kaum pria. Telah shahih dari Nabi صلی الله عليه وسلم bahwa beliau bersabda:

"Janganlahkalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah".

Beliau juga bersabda:

"Sebaik-baik shaf kaum pria adalah shaf yangpaling depan sedang seburuk- buruknya adalah shaf yang paling akhir, dan sebaik-baik shaf kaum wanita adalah shaf yang paling akhir sedangseburuk-buruknya adalah shaf yang paling depan."

Majalah Al-Buhuts AMslamiyah, Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah, 21/64.

Via HijrahApp

BENARKAH SHAF YANG PALING UTAMA BAGI WANITA DALAM SHALAT ADALAH SHAF YANG PALING BELAKANG

Pertanyaan ke217:
SyaikhShalih Al-Fauzan ditanya: Kaum wanita di bulan Ramadhan berlomba-lomba untukmendapatkan shaf paling belakang dalam shalat berjama'ah di Masjid, mereka enggan duduk di shaf pertama sehingga hal itu menyebabkan shaf-shaf pertama di tempat shalat kaum wanita menjadi kosong, dan sebaliknyashaf terakhir penuh membludak hingga menutup jalan bagi kaum wanita yang ingin menuju ke shaf depan, hal ini mereka lakukan berdasarkan Sunnah Rasul yangberarti:

"Sebaik-baiknya shaf wanita (dalam shalat) adalah shaf palingbelakang", mohon penjelasan Anda tentang ini.

Jawaban:
Mengenai hal ini detailnya sebagai berikut: Jika kaum wanita itu shalat dengan adanya tabir pembatas antara mereka dengan kaum pria, makashaf yang terbaik adalah shaf yang terdepan karena hilangnya hal yang dikhawatirkan terjadi antara pria dan wanita.

Dengan demikian sebaik-baik shaf wanita adalahshaf pertama sebagaimana shaf-shaf pada kaum pria, karena keberadaan tabir pembatas itu dapat menghilangkan kekhawatiran terjadinya fitnah. Hal ini berlaku jika adatabir pembatcis antara pria dan wanita. Dan bagi kaum wanita pun harus meluruskan, menertibkan dan mengisi shaf depan yang kosong, kemudian shaf berikutnya,sebagaimana ketetapan ini berlaku pada shaf kaum pria. Jadi, ketetapan-ketetapan ini berlaku bila ada tabir pembatas.

Ibid, 3/57.

Via HijrahApp

BENARKAH SHALAT JUM'AT SEBAGAI PENGGANTI SHALAT ZHUHUR

Pertanyaan ke220:
Al-LajnahAd-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Jika seorang wanita telah melaksanakan shalatJum'at, apakah ia tidak berkewajiban lagi untuk melaksanakan shalat Zhuhur?

Jawaban:
Jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam Jum'at, maka telah cukup shalat Jum'at itu untuk menggantikan pelaksanaanshalat Zhuhur, dan tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur pada hari itu. Adapun jika melaksanakannya seorang diri, maka tidak boleh baginya untuk melaksanakanshalat kecuali shalat Zhuhur dan tidak boleh baginya melaksanakan shalat Jum'at.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, VIII/212, fatwa nomor4147.

Via HijrahApp

BERANGKATNYA WANITA MUSLIMAH KEMASJID

Pertanyaanke206:
Pria itu dilahirkan sebagai anak Kristiani kemudian ia masuk Islam dan diikuti oleh istrinya pula, suatu hari Jum'at ketika ia pergi ke masjid bersamaistrinya, seseorang berkata: 'Sesungguhnya seorang wanita muslimah dilarang masuk ke dalam masjid', maka pria itu mendatangi imam masjid dan bertanya:

'Mengapa wanita muslimah tidak boleh masuk ke dalammasjid? Imam masjid itu menjawab: "Karena tidak semua wanita muslimah dalam keadaan suci, bahkan seluruh wanita muslimah di Makkah Al-Mukarramah tidak masuk ke dalam masjid-masjid karena hal itu tidak dnzinkan bagi mereka . Pria itu membacakan kepada sang imam surat Al-Jumah ayat 9 yang berarti :

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikanshalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.”, lalu pria itu bertanya:

"Apakah hal ini benardan ini termasuk, ia menyebutkan bahwa kaum wanita Kristiani melaksanakan ibadah di dalam gereja, tapi mengapa diharamkan bagi wanita muslimah untuk masuk ke dalammasjid? la mengharapkan jawaban tentang masalah ini agar dapat menerangkan kaum muslimin.

Jawaban:
Boleh bagi wanita Muslimah untuk melaksanakan shalat di dalammasjid-masjid, dan bagi suaminya tidak boleh melarang istrinya jika ia meminta izin untuk pergi ke masjid selama istrinya tetap menutup aurat dan tidak menampakkan bagian badannya yang diharamkan bagi orang asing untuk melihatnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dan Nabi shalallahualaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

"Jika para isteri kalian minta izinkepada kalian untuk pergi ke masjid maka izinkanlah mereka"

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Janganlah kalian melarang mereka untuk berada di dalam masjid jika mereka minta izin kepada kalian", maka berkata Bilal salah seorang anak Abdullah bin Umar Radiallahu Anhu: DemiAllah kami pasti akan melarang (mereka ke masjid)", maka Abdullah berkata: "Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telahmengatakan itu tapi (mengapa malah) engkau berkata: "Kami pasti akan melarang mereka." Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Mjslim dalam kitab shahihnya.

Jika wanita itu tidak menutup aurat hingga nampak bagian tubuhnya yangdiharamkan bagi pria asing untuk melihatnya, atau wanita itu bersolek dan menggunakan wewangin, maka tidak boleh baginya untuk keluar mmah dalam kondisi seperti ini, apalagi untuk mendatangi masjid serta melaksanakan shalat di dalamnya, karena halitu akan menimbulkan fitnah, Allah aza wajallaberfirman:

"Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka Danhendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka..." (An-Nur 31)

Dan firman Allah pula:

"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anakperempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Ahzab: 59)

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Zainab Ats-Tsaqafiah menceritakan dariRasulullah صلی الله عليه وسلم, bahwa beliau bersabda:

"Jika seorang wanita di antara kalian mengikuti shalat Isya (di masjid) makajanganlah ia berdandan malam itu"

Dalam riwayat lain disebutkan:

"Jika seorang wanita di antara kalian datang ke masjid maka janganlah ia menyentuh (menggunakan) pewangi."

Kedua hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya. Dan dalam hadits-hadits shahih juga telah disebutkan bahwa para isteri sahabat melaksanakan shalat Shubuh berjamaah, mereka menutupi tubuhnya dengan kain-kainhingga tak seorangpun mengenali mereka. Dalam hadits lain pun telah disebutkan bahwa Amrah bind Abdurrahman berkata:

Aku mendengar AisyahRadhiyallahu Anha berkata: 'Seandainya Rasulullah Shallallahu AlaiN wa Sallam melihat apa yang telah terjadi pada kaum wanita, tentulah beliau akan melarang mereka pergi ke masjid sebagaimana dilarangnya kaum wanita bani Isra'il". Ditanyakan kepada Amrah: "Kaum wanita bani Isra'il dilarangpergi ke masjid?" Amrah menjawab: "Ya". Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya.

Nash-nash ini dengan jelas menunjukkan bahwa wanita muslim jika ia konsistendengan norma Islam dalam berpakaian dan menjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan fitnah, yang dapat memperdayakan orang-orang yang lemah imannya dengan berbagai hiasan yang menggoda, maka tidak ada larangan baginya untuk shalat di masjid.

Sebaliknya jika wanita itu dalam keadaan yang dapatmenggoda orang-orang yang cenderung kepada keburukan atau menimbulkan fitnah terhadap orang yang di dalam hatinya terdapat keraguan, maka wanita itu akan dilarang masuk ke dalam masjid, bahkan dilarang baginya untukkeluar dari rumahnya serta menghindari pertemuan-pertemuan.

Adapun mengenai kaum wanita di Mekkah, mereka tidak yang diperkenankan untukmasuk ke dalam masjid-masjid, maka ini adalah tidak benar, yang benar adalah bahwa dibolehkan bagi mereka masuk ke dalam masjid-masjid bahkan dibolehkan bagi mereka masuk ke dalam Masjidil Haram serta melakukan shalat jama ah di dalamnya; hanya saja mereka diberikan ternpat khusus agartidak bercampur dengan kaum pria dalam melaksanakan shalat.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, VII/330-332, fatwa nomor 873.

Via HijrahApp

BERKUMPULNYA WANITA UNTUK SHALAT TARAWIH

Pertanyaan ke200:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Jika beberapa orang wanita berkumpul di suatu rumah dan mereka ingin melaksanakan shalat sunnah seperti shalat tarawih atau shalat fardhu, apakah seseorang di antara mereka harus maju untuk menjadi imam sebagaimana dilakukan oleh kaum pria?

Jawaban:
Hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi imam, baik untuk melaksanakan shalat wajib maupun shalat sunnah, akan tetapi imam wanita itu tidak maju di depan shaf sebagaimana seorang pria mengimami kaum pria dalam shalat berjama'ah, melainkan cukup bagi imam wanita itu untuk berdiri di tengah-tengah shaf pertama.

Ibid, VII/390, fatwa nomor 3907.

Via HijrahApp

BERTAHUN-TAHUN MELAKSANAKAN SHALAT TANPA MENUTUP AURAT

Pertanyaan ke178:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ditanya:
Sejak beberapa tahun lalu saya selalu melaksanakan shalat tanpa menutup aurat, karena saya tidak tahu tentang wajibnya menutup aurat dalam shalat, apakah saya harus mengulangi shalat itu sedangkan shalat dengan tidak menutup aurat telah saya lakukan dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari enam tahun?

Jawaban:
Jika kenyataannya seperti yang Anda sebutkan yaitu tentang ketidaktahuan Anda dalam hal menutup aurat dalam shalat, maka Anda tidak perlu mengulang shalat Anda tersebut yang telah Anda lakukan di masa lalu itu, dan hendaknya Anda bertaubat kepada Allah karena perbuatan Anda yang telah Anda lakukan itu,dan disyaratkan bagi Anda untuk memperbanyak amal-amal shalih berdasarkan firman Allah:
"Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap dijalan yang benar." (Thaha: 82)

Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat ini. Kemudian perlu diketahui bahwa membuka wajah dalam shalat adalah disyari'atkan jika disekelilingnya tidak ada pria asing yang bukan mahramnya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, VI/175-176, fatwa nomor 8708.

Via HijrahApp

BERUSAHA MENDAPATKAN HAIDH LALU MENINGGALKAN SHALAT, WAJIBKAH MENGQADHA SHALAT ITU

Pertanyaan ke224:
Jikaseorang wanita menyengaja untuk mendapatkan haidh dengan cara pengobatan, laluia berhasil mendapatkan haidh dan meninggalkan shalat, apakah wajib baginya untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan itu atau tidak?

Jawaban:
Jika seorang wanita menyengaja untuk mendapatkan haidh lalu ia berhasil mendapat haidh, maka tidak perlu baginya untuk mengqadha shalat-shalatyang ia tinggalkan selama haidh yang ia sengaja itu, karena haidh adalah darah. Jika darah haidh ada maka hukum haidh berlaku, sebagaimana jika ia mengkonsumsi pil pencegah haidh sehingga ia tidak mendapatkan haidh, maka ia tetap diwajibkan untuk melaksanakan shalat dan puasa, serta tidak boleh baginya untuk mengqadhapuasa karena ia tidak sedang haidh.

Berlakunya suatu hukum akan bergantung padaalasannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Mereka bertanyakepadamu tentang haidh. Katakanlah: 'Haidh itu adalah suatu kotoran'." (Al-Baqarah: 222)

Jika kotoran ini ada maka hukum haidh berlaku, dan jika kotoran itu tidak adamaka hukum haidh tidak berlaku.

Ibid, 4/272.

Via HijrahApp

BOLEHKAH KAUM WANITA MENETAPKAN SEORANG WANITA UNTUK MENGIMAMI MEREKA DALAM MELAKUKAN SHALAT DI BULAN RAMADHAN

Pertanyaan ke202:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Bolehkah kaum wanita menetapkan salah seorang di antara mereka untuk mengimami mereka dalam melakukan shalat di bulan Ramadhan atau shalat lainnya?

Jawaban:
Ya, boleh bagi mereka untuk melaksanakan hal semacam itu, telah diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salmah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu yang menunjukkan tentang dibolehkannya hal itu. Wanita yang mengimami shalat kaum wanita harus berdiri di tengah shaf pertama dan mengeraskan suara ketika membaca ayat-ayat Al-Qur'an dalam shalat.

Kitab Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/120.

Via HijrahApp

BOLEHKAH MELARANG WANITA MENGERJAKAN SHALAT LED?

Pertanyaan ke240:
SyaikhAbdul Aziz bin Baaz ditanya: Apakah seorang Muslim boleh meninggalkan shalatled tanpa udzur? dan apakah boleh melarang wanita mengerjakannya bersama orang-orang lainnya?

Jawaban:
Shalat led hukumnya fardhu kifayah menurut mayoritas ahlulilmi, maka untuk sebagian orang boleh meninggalkannya, namun menghadirinya dan ikut serta bersama saudara-saudara Muslim lainnya adalah sunnah mu'akkadah, maka tidak layak ditinggalkan kecuali dengan udzur syar'i.

Sebagian ahlul ilmi yang lain berpendapat, bahwa shalat led hukumnya fardhu'ain seperti halnya shalat Jum'at, maka tidak ada satupun laki-laki mukallaf yang merdeka dan muqim, yang boleh meninggalkannya. Pendapat ini lebih selaras dengan dalil-dalil dan lebih mendekati kebenaran. Dan disunnahkan bagi para wanitauntuk menghadirinya dan menyaksikannya dengan tetap berhijab dan tidak mengenakan wewangian.

Hal ini berdasarkan riwayat dalam Ash-Shahihain dari Ummu 'Athiyyah, bahwa ia berkata:

"Kami diperintahkan untuk menyuruh keluar (menuju tempatpelaksanaan) shalat led, wanita-wanita pingitan yang merdeka dan juga yang sedang haidh, agar mereka (para wanita) menyaksikan kebaikan dan sebagai dakwahnya kaum Muslimin. Adapun wanita yang sedang haidh hendaknya menjauhi tempatshalat."

Dalam lafazh lain disebutkan, bahwa salah seorang wanita berkata: "WahaiRasulullah, (bagaimana bila) salah seorang kami tidak mempunyai jilbab (kain yang menutupi dari atas kepala hingga kaki) untuk bisa keluar ke sana (ke tempat pelaksanaan shalat led)?" Beliau menjawab:

" Hendaknya saudarinya memberikan pinjam jilbabnya.”

Tidak diragukan lagi, bahwa hal ini menunjukkan tentang penekanan keluarnyapara wanita untuk shalat led agar dapat menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslimin.

Fatawa ash-Shiyam, Ibnu Utsaimin, h. 116.

Via HijrahApp

BOLEHKAH SAYA MELAKUKAN SUJUD TILAWAH TANPA MENGENAKAN PENUTUP KEPALA?

Pertanyaan ke252:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Ketika membaca Al-Qur'an yang ada ayat sajadahnya,apakah saya boleh sujud dengan kondisi apa adanya saat itu, yakni tanpa mengenakan penutup kepala dan tubuh?

Jawaban:
Tidak mengapa melakukan sujud tersebut dengan kondisi apapun, walaupun dengan kepala yang terbuka atau serupanya, sebab berdasarkan pendapatyang lebih kuat, bahwa dalam sujud ini tidak berlaku hukum shalat.

Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Ibnu Utsaimin, h. 34.

Via HijrahApp

BOLEHKAH SAYA SHALAT KETIKA SAYA MERASAKAN SAKIT KARENA MELAHIRKAN

Pertanyaan ke234:
SyaikhAbdullah bin Al-Jibrin ditanya: Bolehkah saya melaksanakan shalat ketika sayamerasakan sakit karena melahirkan?

Jawaban:
Seorang wanita melakukan shalat harus dalam keadaan suci dari haidh atau nifas, akan tetapi jika ia mengeluarkan darah sehari sebelum iamelahirkan maka darah itu dianggap darah haidh, jika demikian maka tidak boleh melakukan shalat pada hari itu.

Adapun jika ia tidak mengeluarkan darah, maka ia tetapdiwajibkan melaksanakan shalat walaupun ia sedang merasa sakit karena proses kelahiran, sebagaimana orang sakit yang tetap diwajibkan shalat walaupun ia sedang sakit,karena adanya penyakit itu tidak menggugurkan kewajiban shalat pada seseorang.

Fatawa Al-Mar'ah, Syaikh Al-JIbrin, halaman 35.

Via HijrahApp

BOLEHKAH SEORANG WANITA SHALAT SENDIRI DI BELAKANG SHAF

Pertanyaan ke201:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya:
Bolehkah seorang wanita melaksanakan shalat sendiri dibelakang shaf, sementara ada juga wanita-wanita lainnya yang sedang shalat mengikuti shalat berjama'ah tersebut?

Jawaban:
Jika di dalam masjid itu terdapat kaum wanita lainnya yang turut shalat jama'ah bersamanya, maka wajib baginya untuk masuk shaf atau membuat shaf baru sebagaimana yang dilakukan kaum pria, akan tetapi jika dalam masjid itu hanya sendiri maka tidak mengapa ia berdiri sendirian di belakang shaf.

Al-Majmu'ah Al-Kamilah lifatawa Asy-Syaikh As-Sa'di, halaman 124.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA HAIDH BERDIAM DI MASJID

Pertanyaan ke230:
SyaikhShalih Al-Fauzan ditanya: Apakah wanita haidh dibolehkan untuk berdiam dimasjid?

Jawaban:
Haram bagi wanita haidh untuk berdiam di masjid berdasarkan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم:

"Sesungguhnya aku tidakmenghalalkan masjid bagi wanita haidh dan orang yang sedang junub." Diriwayatkan oleh Abu Daud, dan sabda Rasulullah صلی الله عليه وسلم lainnya:

"Sesugguhnya Masjidtidak halal bagi wanita haidh dan orang yang sedang junub " diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Dibolehkan bagi wanita haidh untuk berjalan melintasi masjid tanpa berdiam dimasjid itu, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu Anha, ia berkata: Rasulullah berkata:

"(Wahai Aisyah) Ambilkanlah untukku alas duduk dari masjid",

makaaku berkata: "Sesungguhnya aku sedang haidh", maka beliau bersabda:

"Sesungguhnyahaidhmu bukan di tanganmu (bukan kehendakmu)", Diriwayatkan oleh seluruh perawi hadits kecuali Al-Bukhari.

Dan dibolehkan bagi wanita untuk membaca dzikir-dzikir yang masyru', sepertimembaca tahlil (Laa llaaha Ulallah), takbir (Allahu Akbar), tasbih (Subhanallah) dan do'ado'a lainnya yang bersumber dari wirid-wirid yangdisyari'atkan di waktu pagi, sore, ketika tidur serta bangun dari tidur juga boleh bagi wanita haidh untuk membaca kitab-kitab ilmiah seperti tafsir, hadits dan fiqh.

At-Tanbihat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, halaman 14.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA NIFAS MELAKSANAKAN SHALAT, PUASA DAN HAJI SEBELUM GENAP EMPAT PULUH HARI MASA NIFASNYA

Pertanyaan ke233:
SyaikhAbdul Aziz bin Baaz ditanya: Apakah wanita nifas boleh melakukan puasa, shalatdan haji jika ia sudah suci sebelum sampai hari keempat puluh dari sejak ia melahirkan?

Jawaban:
Ya, boleh baginya untuk melaksanakan shalat, puasa, haji dan umrah, serta boleh bagi suaminya untuk mencampurinya walaupun belum genap empatpuluh hari masa nifasnya, jika umpamanya ia telah suci pada hari kedua puluh maka ia harus mandi, melaksanakan shalat, puasa dan ia halal untuk digauli oleh suaminya.

Adapun hadits yang diriwayatkan dari Utsman bin Abu Al-'Ash bahwa ia memakruhkan hal itu, maka makruh di sini diartikan sebagai suatu hal yang sebaiknya dijauhisebab tidak ada dalil yang menyebutkan tentang hal ini, pernyataan makruh yang disebutkan tentang hal ini adalah hasil dari ijtihadnya.

Pendapat yang benar adalahdibolehkan bagi wanita itu untuk melakukan hal-hal tersebut jika ia telah suci sebelum genap empat puluh hari dari sejak ia melahirkan, dan jika darah itu kembali lagisebelum hari keempat puluh maka darah yang keluar itu diang-gap sebagai darah nifas, akan tetapi puasanya, shalatnya dan hajinya yang ia lakukan di masa suci itu adalahsah dan tidak perlu diulang.

Kitab Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 1/43.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA SHALAT DENGAN MENGGUNAKAN CADAR DAN SARUNG TANGAN

Pertanyaan ke188:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Bolehkah seorang wanita melaksanakan shalat dengan menggunakan cadar dan sarung tangan?

Jawaban:
Jika wanita itu melaksanakan shalat di dalam rumahnya atau disuatu tempat yang tidak ada orang dapat melihatnya kecuali kaum pria mahramnya maka disyari'atkan baginya untuk membuka wajah beserta kedua telapak tangannya agar kening dan hidungnya dapat menyentuh langsung pada tempat sujud, begitu juga dengan kedua telapak tangannya.

Akan tetapi jika ia melakukan shalat di suatu tempat yang terdapat kaum pria yang bukan mahramnya, maka ia harus menutup wajahnya karena menutup wajah di hadapan pria yang bukan mahramnya wajib hukumnya dan tidak boleh baginya untuk membuka wajahnya di hadapan pria yang bukan mahram sebagaimana disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul.

Menggunakan sarung tangan saat shalat adalah suatu perkara yang disyari'atkan,dan ini adalah suatu perkara yang banyak dilakukan para isteri sahabat, dengan dalil, bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah seorang wanita muhrimah (yang sedang ihram) menggunakan cadar dan jangan pula menggunakan kedua sarung itu.” (Al-Hadits).

Hadits ini menunjukkan bahwa di antara kebiasaan para wanita sahabat adalah mengenakan sarung tangan, berdasarkan ini maka dibolehkan bagi seorang wanita menggunakan sarung tangan saat shalat jika terdapat pria asing yang bukan mahramnya. Adapun yang berhubungan dengan menutup wajah maka hendaknya ia menutupi wajahnya itu dalam shalat ketika duduk dan berdiri, lalu jika ia hendak sujud maka ia membuka wajahnya itu agar kening dan hidungnya menyentuh langsung pada tempat sujud.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/248.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA SHALAT DENGAN MENGGUNAKAN CELANA PANJANG

Pertanyaan ke179:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat dengan tidak menggunakan celana panjang, karena saya banyak melihat kaum wanita yang melakukan shalat dengan menggunakan celana panjang dan di antara mereka adalah istri saya sendiri?

Jawaban:
Wanita yang melakukan shalat harus menggunakan pakaian yang dapat menutupi seluruh auratnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan AisyahRadhiyallahu Anha bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda:
"Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haidh (wanita baliqh) kecuali dengan menggunakan khimar (penutup kepala).”

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salmah, bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam "Bolehkah seorang wanita melaksanakan shalat dengan menggunakan baju kurung serta khimar dan tanpa menggunakan kain sarung?" maka beliau bersabda:
"Boleh jika baju itu panjang yang dapat menutupi seluruh kedua kakinya", hadits ini dikeluarkan oleh Abu Daud serta dishahihkan oleh para imam.

Seluruh tubuh wanita adalah aurat dalam melaksanakan shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, akan tetapi jika terdapat pria asing yang bukan mahramnya maka wanita itu harus menutup wajah dan kedua telapak tangannya itu, dan tidak ada dosa bagi wanita untuk melaksanakan shalat dengan menggunakan celana panjangnya jika celana itu suci.

Ibid, halaman 176, fatwa nomor 4945.

Via HijrahApp

BOLEHKAH WANITA MENGURAIKAN RAMBUTNYA DI DAHI SAAT SHALAT

Pertanyaan ke190:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Bolehkah seorang wanita menguraikan rambutnya (poninya) di dahi saat shalat?

Jawaban:
Hal itu tidak mengapa, akan tetapi jika ia tidak melakukan itu sehingga dahinya dapat menyentuh langsung tempat sujud maka ini lebih utama. Begitu pula jika seorang pria sujud dengan menggunakan sorban atau ujung kainnya maka hal itu pun tidak mengapa, akan tetapi menyentuhkan wajah dan kedua telapak tangan ke tempat sujud secara langsung adalah lebih utama.

Lain halnya jika situasi menuntut seseorang untuk sujud di atas kain atau hal serupa lainnya karena panas atau dinginnya tempat sujud, maka hal itu pun tidak mengapa bahkan lebih utama jika mendukungnya dalam menambah kekhusyu'an. Yang wajib bagi wanita adalah menutup seluruh rambutnya dan badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya jika ia telah baligh, berdasarkan sabda Nabi:
"Allah tidak akan menerima shalat orang yang telah haidh kecuali dengan menggunakan khimar (penutup kepala).”

Yang dimaksud dengan orang yang telah haidh adalah wanita yang sudah baligh.4

Majalah Al-Buhuts Al-lslamiyyah, Fatwa Syaikh Ibnu Baaz, 26/138.

Via HijrahApp

HARUSKAH WANITA MELAKSANAKAN SHALAT LIMA WAKTU DI DALAM MASJID

Pertanyaanke209:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Seorang wanita muda yang menutup auratnya serta konsisten denganpakaian Islam yang disyari'atkan yaitu menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya, jika ia berkeinginan melaksanakan shalat lima waktu di masjid, apakah hal itudiperbolehkan baginya? Dan apakah setiap pergi ke masjid ia harus disertai oleh suaminya?

Jawaban:
Dibolehkan bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat dimasjid jika ia menutup auratnya secara syar'i, yaitu menutup wajahnya serta kedua telapak tangannya serta menghindarkan dirinya dari penggunaan perhiasan dan wewangian, berdasarkan sabda Rasuiullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:

"Janganlahkamu melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah."

Akan tetapi perlu diingat bahwa shalat di rumah adalah lebih baik baginyaberdasarkan sabda Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam pada akhir hadits yang telah disebutkan di atas:

"Namun rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.'

Kitab Ad-Dawah min Fatawa Syaikh Ibnu Baaz, 1/63.

Via HijrahApp

HUKUM ADZANNYA WANITA

Pertanyaan ke170:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya:
Apa hukumnya adzannya wanita?

Jawaban:
Adzan sama sekali bukan hak wanita, tidak boleh bagi wanita untuk mengumandangkan adzan, karena adzan termasuk perkara-perkara yang zhahir dan ditampakkan, yang mana perkara-perkara macam ini adalah urusan pria, sebagaimana wanita tidak diberi tugas untuk melakukan jihad dan hal-hal serupa lainnya.

Adapun bagi umat nashrani, mereka beranggapan bahwa wanita memiliki derajat yang tinggi, bahkan mereka menyematkan pada kaum wanita hal-hal yang bertolak belakang dengan fitrah yang sesungguhnya juga memberlakukan persamaan antara dua jenis manusia yang sesungguhnya berbeda.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/113.

Via HijrahApp

HUKUM MELINTAS DI HADAPAN WANITA YANG SEDANG SHALAT

Pertanyaan ke249:
Al-LajnahAd-Daimah lil Ifta' ditanya: Ayah saya mengatakan bahwa, adalah haram bilawanita sedang shalat fardhu untuk melintas di hadapannya. Tolong beri penjelasan kepada kami, semoga Allah menunjuki Anda?

Jawaban:
Pembatas bagi orang yang shalat adalah sunnah dalam hak laki-laki dan perempuan, masing-masing mereka tidak boleh saling melintas diantara orang yang sedang shalat dan pembatasnya, baik yang sedang shalat itu laki-laki maupun perempuan, dan baik yang melintas itu laki-laki maupun perempuan.

Akan tetapi,jika yang melintas itu seorang wanita maka shalatnya menjadi batal bila ia lewat di hadapannya (bila tanpa batas) atau melintas antara dirinya dan batasnya,kecuali di Masjidil Haram, maka hal itu dimaafkan, karena tidak memungkinkan untuk mewaspadai yang demikian. Hal ini berdasarkan firman Allah aza wajalla:

"Makabertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (At-Taghabun:16).”

Ibid, Juz VII, h . 87, fatwa no. 11580.

Via HijrahApp

HUKUM MENANGGALKAN CELANA PANJANG UNTUK SHALAT

Pertanyaan ke180:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Adakah hukum syar'i yang menunjukkan bahwa wanita harus melepaskan celana panjangnya untuk shalat bila ia menggunakan pakaian yang menutupi aurat sementara celana panjang yang dikenakannya itu suci? Jika melepaskan celana panjang disyari'atkan, apa hikmah yang terkandung di balik ketetapan itu?

Jawaban:
Tidak ada dalil syar'i yang memerintahkan seorang wanita untuk melepaskan celana panjangnya ketika akan mengerjakan shalat jika celana panjang itu suci.

Ibid, halaman 177. fatwa nomor 12295.

Via HijrahApp

HUKUM MENINGGALKAN SHALAT KARENA SAKIT

Pertanyaan ke191:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya:
Ada pertanyaan yang menanyakan tentang shalat-shalat yang ditinggalkan seseorang karena sedang menjalani pengobatan selama hampir dua puluh satu hari, Anda pernah menyebutkan bahwa waktu shalat itu dimulai dengan Zhuhur atau Ashar, bagaimanakah hukumnya?

Jawaban:
Kami katakan bahwa diharuskan baginya untuk mengqadha shalat-shalat yang telah ia tinggalkan semampu mungkin, bahkan jika mungkin maka ia harus melakukan shalat-shalat itu dengan berurutan dalam satu hari, tapi jika tidak mampu dalam satu hari maka dibagi beberapa hari sesuai kemampuannya, hal itu ia lakukan secara tertib menurut hari dan waktu shalat, dari awal hari dan dari awal shalat yang ia tinggalkan.

Adapun mengenai puasanya, karena ditinggalkan sebab sakit dan telah diqadha, maka tidak ada lagi kewajiban mengqadhanya.

Rasa’il wa Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/147.

Via HijrahApp

HUKUM SHALAT WANITA TANPA KHIMAR

Pertanyaan ke187:
Syaikh Abdullah Al-Fauzan ditanya:
Apa hukumnya shalat seorang wanita yang tidak menggunakan khimar?

Jawaban:
Dari Aisyah, ia berkata: Bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
"Allah tidak akan menerima shalat orang yang telah haidh (telah baligh) kecuali jika ia menggunakan khimar.”

Hadits ini menunjukkan bahwa shalat seorang wanita tidak akan diterima kecuali jika ia memakai khimar untuk menutupi kepalanya. Adapun yang dimaksud dengan orang yang telah haidh adalah wanita yang telah baligh, dan bukan dimaksudkan dengan seorang wanita yang sedang mendapatkan haidh, karena wanita yang mendapatkan haidh dilarang untuk melakukan shalat, digunakan kalimat "orang yang telah haidh" karena yang mengalami haidh adalah wanita yang sudah baligh.

Maka seandainya balighnya seorang wanita itu dengan mengalami mimpi basah maka dia termasuk dalam hukum ini. Hadits ini menunjukkan bahwa wanita yang belum baligh jika akan melakukan shalat maka tidak diwajibkan baginya untuk menggunakan khimar.

Ibid halaman 49.

Via HijrahApp

HUKUM SHALAT WANITA DI MASJID

Pertanyaanke207:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Apakah zaman sekarang wanita dibolehkan melakukan shalat dimasjid?

Jawaban:
Ya, dibolehkan bagi seorang wanita untuk melakukan shalat di masjid di zaman ini, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda:

"Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk datang ke masjid-masjid Allah "

Dalam hadits Lain:

"Sebaik-baik shaf shalat kaum pria adalah shaf pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir, dan sebaik-baiknya shqfshalat kaum wanita adalah shaf yang terakhir dan seburuk-buruknya adalah yang pertama."

Ibid, VII/330-202, fatwa nomor 3321.

Via HijrahApp

HUKUM SHALAT DAN PUASA BAGI WANITA HAIDH

Pertanyaan ke228:
SyaikhShalih Al-Fauzan ditanya: Apa hukum shalat dan puasa yang dilakukan oleh wanitayang sedang haidh?

Jawaban:
Haram bagi wanita itu untuk melaksanakannya. Shalat dan puasa yang ia kerjakan tidak sah berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wasallam:

"Bukankahjika wanita sedang haidh tidak shalat dan tidak puasa." (Muttafaqun 'alaih).

Jika wanita haidh telah mendapatkan kesuciannya, maka ia harus mengqadha puasadan tida perlu mengqadha shalat berdasarkan ucapan Aisyah:

"Di zamanRasulullah صلی الله عليه وسلم kami mengalami haidh maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapi kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat." (Muttafaqun 'alaih).

Perbedaannya- wallahu a'lam shalat dilakukan berulang-ulang maka jika shalat itu diqadha akan menimbulkan kesulitan bagi wanita itu, lain halnya dengan puasa.

At-Tanbihat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, halaman 213.

Via HijrahApp

HUKUM WANITA MENGERASKAN BACAAN (JAHR) DALAM SHALAT FARDHU DAN SHALAT SUNAT

Pertanyaan ke254:
SyaikhShalih Al-Fauzan ditanya: Bolehkah wanita mengeraskan bacaan dalam shalatnya, yaitu bacaan dengan suara yang terdengar (oleh orang lain) dalam shalat yang tidak jahr (shalat yang semes-tinya bacaannya dikeraskan), bahkan dalam shalat-shalat sunat rawatib serta shalat-shalat sirriyah (shalatyang semestinya bacaannya pelan). Maksudnya adalah untuk mentartil bacaannya agar bisa lebih khusyu, dan jauh dari hal-hal yang melalaikan pribadi, dan juga tidak ada oranglain bersamanya, baik laki-laki maupun perempuan?

Jawaban:
Dalam shalat malam, disukai baginya untuk mengeraskan suaradalam bacaan shalatnya, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunat, selama itu tidak didengar oleh laki-laki asing (yang bukan mahramnya), sebab dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah karena suaranya.

Jika dikerjakan di tempat yang tidak adalaki-laki asing baginya dan dalam shalat malam, maka ia boleh mengeraskan bacaan, kecuali jika hal itu mengganggu yang lainnya, maka sebaiknya ia pelankan. Adapun dalam shalat siang, karena shalat siang hari sifatnya sirriyah (dengan bacaan pelan), maka bacaannya sekadar bisa terdengar oleh diri sendiri, karenatidak disukai bacaan keras dalam shalat siang hari, sebab hal ini bertolak belakang dengan sunnah.

Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Syaik fi Shalih Al-Fauzan, Juz III, h. 56.

Via HijrahApp

HUKUM WANITA MENJADI IMAM SUAMINYA KARENA LEBIH FAHAM (TENTANG AGAMA)

Pertanyaan ke247:
SyaikhMuhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Bolehkah saya mengimami suami saya dalam shalat, dengan alasan bahwa saya lebih banyak faham dan belajar, yang mana saya mengajar di fakultas Syari'ah, sementara dia setengah buta huruf ?

Jawaban:
Tidak dibolehkan wanita mengimami laki-laki, baik laki-laki itusuaminya, anaknya ataupun ayahnya, sebab wanita tidak boleh menjadi imam laki-laki, karena itu Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda:

'Tidak akan beruntung suatukaum yang menyerahkan perkara mereka kepada wanita."

Bahkan sekalipun wanita itu lebih faham (terhadap Kitabullah), ia tetap tidakboleh mengimaminya, adapun sabda Nabi:

"Hendaknya kaum ini diimami olehorang yang paling bogus bacaannya dalam Kitabullah di antara mereka.”

Maka wanita bersama laki-laki tidak tercakup dalam khithab ini, Allah azawajalla berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan)" (Al-Hujurat: 11)

Allah telah membagi masyarakat menjadi dua bagian, yaitu kaum laki-laki dankaum wanita, berdasarkan ini maka wanita tidak termasuk dalam kategori sabda Nabi:

"Hendaknya kaum ini diimami oleh orang yang paling bogus bacaannya dalam Kitabullah di antara mereka.”

Fatawa al-Mar'ah, h. 38.

Via HijrahApp

HUKUM WANITA YANG MENGENAKAN CADAR KETIKA SHALAT

Pertanyaan ke189:
Syaikh Abdullah Al-Fauzan ditanya:
Apa hukumnya seorang wanita yang mengenakan cadar ketika shalat?

Jawaban:
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni:
Makruh hukumnya seorang wanita mengenakan cadar ketika shalat, karena cadar itu akan menghalanginya menyentuhkan kening dan hidungnya ke tempat sujud, hal ini sama hukumnya dengan seorang pria yang menutup mulutnya ketika shalat, padahal Nabi shalallahu alaihi wasallam telah melarang pria untuk menutup mulutnya ketika shalat.

Zinatul Mar'ah, Syaikh Abdullah Al-Fauzan, halaman 5.

Via HijrahApp

JIKA NAMPAK LENGAN ATAU BETIS SAAT SHALAT

Pertanyaan ke181:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Banyak di antara kaum wanita yang lalai dalam melaksanakan shalat hingga tampak lengannya atau sebagian dari lengannya, kadang juga tampak kakinya atau bahkan betisnya, jika ia melaksanakan shalat seperti itu apakah shalatnya itu sah?

Jawaban:
Yang wajib bagi wanita merdeka yang mukallaf adalah menutup seluruh tubuhnya saat shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangan, karena seluruh tubuh wanita adalah aurat, lalu jika seorang wanita melaksanakan shalat dan terlihat auratnya seperti betis, kaki, kepala, lengan, atau sebagian dari anggota tubuh tersebut maka shalatnya itu tidak sah berdasarkan sabda Nabi:
"Allah tidak menerima shalat orang yang telah haidh (telah baligh) kecuali dengan menggunakan khimar (penutup kepala)". Diriwayatkan oleh Ahmad dan para penyusun kitab Sunan kecuali An-Nasa'i dengan sanad yang shahih.

Yang dimaksud orang yang telah haidh adalah wanita yang telah baligh, berdasarkan sabda Rasulullah:
"Wanita adalah aurat"

juga berdasarkan sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ummu Salmah dari Nabi, bahwa ia (Ummu Salmah) bertanya kepada Nabi tentang wanita yang menggunakan baju serta khimar tanpa menggunakan kain sarung, maka Nabi bersabda:
“Jika baju itu panjang sehingga dapat menutupi terlihatnya kedua kakinya".

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalamkitab Bulughul Maramnya berkata: Hadits ini dishahihkan oleh para imam, namun jika terdapat pria asing yang bukan mahramnya di situ maka wajib baginya untuk menutup wajah dan kedua telapak tangannya.

Fatawa Muhimmah Tata'allaq bish Shalah, Syaikh Ibnu Baaz, halaman 15. Lihat buku Zinatul Mar'ah, Asy-Syaikh Abdullah Al-Fauzan, halaman 48.

Via HijrahApp

JIKA TELAH SUCI SAAT SHALAT ASHAR ATAU ISYA, APAKAH WAJIB MELAKSANAKAN SHALAT ZHUHUR DAN MAGHRIB

Pertanyaan ke192:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Jika seorang wanita telah suci dari haidhnya diwaktu Ashar atau di waktu Isya, apakah diwajibkan baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan Maghrib karena kedua waktu itu memungkinkan untuk dijama'?

Jawaban:
Jika seorang wanita telah suci dari haidh atau nifasnya di waktu Ashar, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan menjama' keduanya menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat para ulama, karena kedua waktu shalat itu adalah satu bagi orang yang berhalangan seperti orang sakit dan musafir, dan wanita ini pun mendapatkan halangan dikarenakan tertundanya kesuciannya dari darah nifas atau darah haidh.

Demikian pula jika ia mendapatkan kesuciannya di saat Isya, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Maghrib dan Isya dengan cara menjama' sebagaimana dtsebutkan di atas. Beberapa sahabat telah menfatwakan hal ini.

Fatawa Muhimmah Tata'allaq bish Shalah, Syaikh Ibnu Baaz, halaman 17.

Via HijrahApp

JIKA TERPAKSA TIDAK SEMPURNA MENUTUP AURAT DALAM SHALAT

Pertanyaan ke177:
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya:
Jika keadaan memaksa seorang wanita tidak sempurna menutup aurat dalam shalatnya atau ia menutup aurat tapi tidak sesuai dengan syari'at Islam, misalnya sebagian rambutnya terlihat atau bagian betisnya nampak karena satu atau lain hal, bagaimana hukumnya?

Jawaban:
Yang pertama kali harus diketahui adalah bahwa menutup aurat adalah wajib bagi kaum wanita dan tidak boleh baginya untuk tidak menutup aurat atau mengabaikannya. Jika telah datang waktu shalat dan seorang wanita muslimah tidak menutup aurat secara sempurna maka mengenai hal ini ada beberapa penjelasan:

1. Jika tidak menutup aurat itu karena kondisi yang memaksanya demikian maka pada saat itu hendaklah ia melaksanakan shalat sesuai dengan keadaan ia saat itu, shalatnya itu sah dan ia pun tidak berdosa karena itu, berdasarkan firman Allah:
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."(Al-Baqarah: 286)

juga firman Allah:
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)

2. Jika tidak menutup aurat itu dikarenakan kondisi yang masih memungkinkan baginya untuk memilih, seperti karena mengikuti adat dan tradisi serta lainnya, maka jika tidak menutup auratnya itu hanya pada wajah dan kedua telapak tangan maka shalatnya itu adalah sah tapi akan mendapatkan dosa jika shalat itu dengan keberadaan pria asing.

Akan tetapi jika bagian tubuh yang terbuka itu adalah betis atau lengan atau rambut kepala atau lainnya maka tidak boleh baginya melaksanakan shalat dalam keadaan seperti itu, dan jika ia melakukan shalat seperti itu maka shalatnya itu adalah batal dan ia berdosa dari dua sisi: Sisi pertama adalah karena ia membuka aurat saat adanya pria yang bukan mahramnya, dan sisi kedua adalah ia melaksanakan shalat dalam keadaan seperti itu.

Kitab Fatawa Ad-Da’wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/94.

Via HijrahApp

JIKA WANITA MENDAPATKAN KESUCIANNYA DI WAKTU ASHAR APAKAH LA HARUS MELAKSANAKAN SHALAT ZHUHUR

Pertanyaan ke193:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Jika seorang wanita mendapatkan kesuciannya dari haidh atau nifas pada waktu Ashar, apakah diharuskan baginya untuk shalat Zhuhur bersama shalat Ashar, ataukah tidak diwajibkan baginya kecuali shalat Ashar saja?

Jawaban:
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah tidak diwajibkan baginya kecuali shalat Ashar saja karena tidak ada dalil yang mewajibkan untuk melaksanakan shalat Zhuhur. Kaidah pokok-pokok ilmu Fiqh mengatakan:

"Asal dari segala sesuatu adalah bebas dari tanggung jawab", kemudian pula bahwa Nabivshalallahu alaihi wasallam telah bersabda:
"Barangsiapa yang dapat melaksanakan shalat Ashar satu rakaat sebelum terbenam matahari, maka berarti ia telah mendapatkan shalat Ashar"

Beliau tidak mengatakan: "Berarti ia telah mendapatkan shalat Zhuhur", seandainya shalat Zhuhur diwajibkan pula (untuk kondisi yang ditanyakan) maka pasti Nabi telah menerangkannya, dan juga seandainya seorang wanita mendapatkan haidh setelah masuk waktu Zhuhur maka ia harus melaksanakan shalat Zhuhur atau mengqadha shalat Zhuhur itu tanpa melaksanakan shalat Ashar, padahal shalat Zhuhur itu bisa dijama' dengan shalat Ashar, hal ini tidak ada bedanya dengan yang digambarkan dalam pertanyaan.

Berdasarkan ini dapat diketahui bahwa pendapat yang benar adalah tidak ada kewajiban bagi wanita itu kecuali melaksanakan shalat Ashar saja berdasarkan petunjuk nash serta kiyas yang dilakukan berdasarkan petunjuk nash itu, begitu juga halnya jika seorang wanita mendapatkan kesuciannya sebelum habis waktu Isya maka yang harus ia lakukan adalah shalat Isya saja dan tidak diharuskan untuk melaksanakan shalat Maghrib.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 13.

Via HijrahApp

KETIKA SEDANG MELAKSANAKAN SHALAT TERINGAT BAHWA PAKAIAN YANG DIKENAKANNYA TERKENA NAJIS

Pertanyaan ke183:
Jika seorang wanita lupa sehingga ia shalat dengan menggunakan pakaian yang telah terkena najis, lalu ditengah shalat ia teringat bahwa pakaian yang dipakainya itu telah terkena najis, apakah boleh bagi wanita itu menghentikan shalatnya untuk mengganti pakaian itu? Dan bilakah saat-saat dibolehkannya menghentikan shalat?

Jawaban:
Barangsiapa yang melaksanakan shalat dengan membawa najis dan ia mengetahui adanya najis itu maka shalatnya batal, akan tetapi jika ia tidak tahu adanya najis hingga selasai shalat maka shalatnya sah dan tidak diharuskan baginya untuk mengulangi shalat itu.

Jika keberadaan najis itu diketahui saat ia melakukan shalat serta memungkinkan baginya untuk menghilangkan najis itu dengan segera, maka hendaknya ia lakukan itu kemudian melanjutkan shalatnya hingga selesai, telah disebutkan dalam hadits Rasulullah bahwa suatu ketika beliau melepaskan kedua sandalnya saat shalat setelah malaikat Jibril mengkhabarkan beliau bahwa pada kedua sandalnya itu terdapat najis dan Nabi صلی الله عليه وسلم tidak membatalkan bagian shalat yang telah dikerjakannya.

Begitu juga bila mengetahui bahwa pada sorbannya terdapat najis, maka hendaklah segera menanggalkannya berdasarkan riwayat tadi.

Adapun jika menghilangkan najis itu membutuhkan suatu proses yang panjang, seperti harus melepaskan baju atau celana atau lainnya yang mana setelah melepaskan pakaian itu ia jauh dari shalatnya, maka hendaknya menghentikan shalat dulu untuk itu dan memulai shalatnya dari awal, seperti halnya bila teringat bahwa ia tidak dalam keadaan suci atau batal wudhunya saat shalat, atau batal shalatnya karena tertawa atau lainnya saat shalat.

Ibid, halaman 36.

Via HijrahApp

KEUTAMAAN SHAF WANITA DALAM SHALAT BERJAMA'AH

Pertanyaan ke198:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang ucapannya yang menyebutkan bahwa keutamaan shaf-shaf wanita kebalikan dari shaf-shaf pria.

Jawaban:
Hal ini berlaku jika kaum wanita melakukan shalat jama'ah bersama kaum pria. Sedangkan jika kaum wanita itu melaksanakan shalat jama'ah sesama mereka saja, maka shaf yang pertama adalah lebih utama dari pada shaf yang kedua dan begitu seterusnya. Keutamaan ini juga berlaku jika mereka di imami oleh seorang pria yang mana dalam pelaksanaan shalat berjama'ah itu tidak mengandung sesuatu yang dibenci atau yang merusak.

Dan pada kenyataannya, bahwa shalatnya kaum wanita secara bershaf-shaf dan berkelompok-kelompok tidak banyak diriwayatkan, tapi mungkin ada suatu kisah yang diriwayatkan seperti demikian atau serupa dengan itu, seperti hadits Ummu Waraqah. Adapun kebanyakan yang ada adalah shalatnya kaum wanita bersama kaum pria, oleh karena itu disebutkan dalam sebuah hadits:
"Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah dari masjid-masjid Allah."

Fatawa wa Rasa’il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/190.

Via HijrahApp

MANAKAH YANG LEBIH UTAMA BAGI WANITA PADA BULAN RAMADHAN, MELAKSANAKAN SHALAT DI MASJIDIL HARAM ATAU DI RUMAH

Pertanyaan ke212:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Bagi kaum wanita khususnya yang melakukan umrah di bulan Ramadhan, dalam pelaksanaanshalat, baik itu shalat fardhu ataupun shalat tarawih, manakah yang lebih utama bagi mereka, melaksanakannya di rumah atau di Masjidil Haram?

Jawaban:
Sunnah Rasul menunjukkan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita adalah melaksanakan shalat di dalam rumahnya, di mana saja ia berada,baik di rumahnya, di Mekkah ataupun selain di Mekkah, karena itulah Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:

"Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah, walaupun sesungguhnya rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka "

Beliau mengucapkan sabda ini saat beliau berada di Madinah, sedangkan saat itu beliau telah menyatakan bahwa shalat di Masjid Nabawi (Masjid di Madinah) terdapat tambahan kebaikan. Mengapa beliau melontarkan sabda yang seperti ini? Karena jika seorang wanita melakukan shalat di rumahnya maka hal ini adalah lebih bisa menutupi dirinya dari pandangan kaum pria asing kepadanya, dan dengan demikian ia lebih terhindar dari fitnah. Maka shalatnva seorang wanita di dalam rumahnya adalah lebih baik dan lebih utama.

Al-Fatawa Al-Makkiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 26.

Via HijrahApp

MENDAPAT HAIDH SEBELUM RAMADHAN, SETELAH MASUK BULAN RAMADHAN LA MENDAPAT HAIDH LAGI, BAGAIMANA HUKUM HAIDH YANG PERTAMA

Pertanyaan ke222:
SyaikhMuhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Bagaimana hukumnya seorang wanita yangmendapat haidh sebelum waktunya, yaitu mendapat haidh sebelum Ramadhan dan setelah habisnya haidh itu ia mandi (bersuci) dan itu pun sebelum Ramadhan, akan tetapi setelah masuk hari kedelapan bulanRamadhan ia mendapatkan haidh lagi dan masa haidh ini adalah masa haidh yang biasanya, bagaimanakah hukumnya shalat-shalat yang ia tinggalkan di masa haidh pertamaitu, apakah ia harus mengqadha shalat-shalat itu atau tidak?

Jawaban:
Tidak perlu seorang wanita mengqadha shalatnya jika disebabkan adanya darah haidh, karena haidh adalah darah dan kapan darah itu ada makaberlaku pula hukum haidh, sebagaimana bila seorang wanita mengkonsumsi pil pencegah haidh sehingga ia tidak mendapatkan haidh, maka ia harus tetap melaksanakan shalatserta puasa, dan tidak boleh baginya mengqadha puasa karena ia tidak dalam keadaan haidh, karena sesungguhnya hukum itu tergantung dengan alasan atau sebabnya.Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.Katakanlah: 'Haidh itu adalah suatu kotoran'." (Al-Baqarah: 222)

Jika kotoran itu ada maka hukum haidh itu pun berlaku, dan jika kotoran itutidak ada maka hukum-hukum haidh pun tidak berlaku.

Durus wa Fatawa Al-Haram Al-Makki, Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/282.

Via HijrahApp

MENDAPATKAN HAIDH BEBERAPA SAAT SETELAH MASUK WAKTU SHALAT, WAJIBKAH MENGQADHA SHALAT TERSEBUT SETELAH SUCI

Pertanyaan ke194:
Jika seorang wanita mendapatkan haidh pada jam satu siang umpamanya, saat itu ia belum melaksanakan shalat Zhuhur, apakah diharuskan baginya untuk mengqadha shalat Zhuhur itu pada saat habis masa haidhnya?

Jawaban:
Ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini, di antara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak diharuskan baginya untuk mengqadha shalat Zhuhur itu, karena ia tidak berbuat kelalaian dan juga tidak berdosa sebab memang dibolehkan baginya untuk menunda shalat Zhuhur itu hingga akhir waktu shalat.

Ada juga yang berpendapat bahwa ia harus mengqadha shalat Zhuhur itu berdasarkan ungkapan yang bersifat umum pada sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang berbunyi:
"Barangsiapa yang dapat melaksanakan satu rakaat dari suatu shalat maka berarti ia telah mendapatkan shalat itu.”

Untuk berhati-hati maka yang lebih baik baginya adalah mengqadha shalat tersebut, karena yang perlu diqadha adalah satu shalat itu saja, yang tidak akan menyulitkannya.

Ibid, halaman 18.

Via HijrahApp

MENDAPATKAN KESUCIAN SEBELUM HABISNYA WAKTU SHALAT, WAJIBKAH MELAKUKAN SHALAT ITU

Pertanyaan ke195:
Apakah hukumnya jika seorang wanita mendapatkan haidh beberapa saat setelah masuknya waktu shalat,

apakah wajib baginya untuk mengqadha shalat itu pada saat suci, begitu juga jika seorang wanita mendapatkan kesuciannya beberapa saat sebelum habisnya waktu shalat, wajibkah ia melaksanakan shalat itu?

Jawaban:
Pertama: Jika seorang wanita mendapatkan haidh beberapa saat setelah masuknya waktu shalat dan ia belum melaksanakan shalat itu sebelum datangnya haidh maka wajib baginya untuk mengqadha shalat itu jika ia telah suci, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah:
"Barangsiapa yang dapat melakukan satu rakaat dari suatu shalat maka berarti Ia telah mendapatkan shalat itu.”

Dan jika seorang wanita telah memasuki waktu shalat sekadar satu rakaat, kemudian ia mendapatkan haidh sebelum melakukan shalat itu maka diharuskan baginya untuk mengqadha shalat itu jika ia telah suci.

Kedua: Jika ia mendapatkan kesuciannya dari haidh beberapa saat sebelum habisnya waktu shalat, maka wajib baginya untuk mengqadha shalat itu, walaupun ia mendapatkan kesuciannya beberapa saat sebelum terbitnya matahari sekadar waktu yang cukup untuk satu rakaat, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Shubuh. Begitu pula jika ia mendapatkan kesuciannya beberapa saat sebelum terbenamnya matahari sekadar waktu yang cukup untuk satu rakaat maka wajib baginya untuk shalat Ashar.

Jika ia mendapatkan kesuciannya sebelum pertengahan malam sekadar waktu yang cukup untuk satu rakaat maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Isya. Jika ia mendapatkan kesuciannya beberapa saat sesudah pertengahan malam maka tidak wajib baginya untuk melaksanakan shalat Isya dan diwajibkan baginya untuk melaksanakan shalat Subuh jika telah datang waktu shalat Shubuh, Allah aza wajalla berfirman:
"Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman." (An-Nisa": 103-104)

Yakni, shalat yang wajib itu ditentukan oleh waktu yang terbatas, yang mana tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat jika telah habis waktunya, juga tidak boleh melaksanakan shalat sebelum tiba waktunya.

52 Su'alan 'an Ahkamil Haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 23.

Via HijrahApp

MENGANGKAT KEDUA TANGAN SAAT SHALAT WITIR

Pertanyaan ke245:
SyaikhIbnu Baaz ditanya: Apa hukum mengangkat kedua tangan dalam do'a witir?

Jawaban:
Disyari'atkan mengangkat kedua tangan dalam qunut witir, karena hal ini termasuk jenis qunut nazilah. Ada riwayat dari Nabi, bahwa beliaumengangkat kedua tangannya ketika berdo’a dalam qunut nazilah. Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dengan isnad shahih.

Fatawa aL Mar'ah, Syaikh Ibnu Baaz, II/36.

Via HijrahApp

PERBEDAAN ANTARA AURAT DALAM SHALAT DENGAN AURAT DALAM PANDANGAN

Pertanyaan ke176:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya:
Apakah bedanya aurat dalam shalat dengan aurat dalam pandangan?

Jawaban:
Seorang wanita merdeka yang telah baligh adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya, bahkan disyari'atkan bagi seorang wanita untuk melakukan shalat dengan wajah terbuka, seandainya wanita shalat dengan wajah tertutup maka shalatnya adalah sah, akan tetapi dengan menutup wajahnya itu ia telah meninggalkan sesuatu yang utama jika shalat ini dilakukan seorang diri dan tanpa keberadaan pria asing.

Jadi perbedaan antara aurat wanita dalam shalat dengan auratnya dalam pandangan adalah, bahwa aurat wanita dalam shalat adalah selain wajah, sedangkan pada selain shalat maka wajah merupakan bagian daripada aurat. Karena membukakan wajah adalah haram, membukakan wajah diharamkan dalam melaksanakan thawaf, shalat dan Lain-lain.

Membukakan wajah diharamkan karena dapat menimbulkan fitnah (keburukan) dan termasuk bagian keindahan-keindahan yang menggerakkan syahwat, karena di antara penggerak timbulnya syahwat adalah wajah. Walaupun memandang ke bagian tempat bersetubuh merupakan penggerak timbulnya syahwat, akan tetapi perlu diingat bahwa wajah wanita memiliki daya tarik tersendiri dalam menimbulkan syahwat.

Kesimpulannya adalah bahwa mereka yang membolehkan membuka wajah pada hakekatnya mereka telah tertipu dengan membuka pintu sebesar-besarnya untuk membukakan wajah, walaupun pendapat ini telah dikemukakan oleh para imam, tapi itu hanya berupa ijtihad, semoga mereka mendapatkan pahala dari ijtihad yang mereka lakukan dan juga mereka dapat dimaafkan atas kesalahan mereka dalam ijtihad itu, akan tetapi yang benar adalah mengikuti kebenaran dari siapapun dan bagaimanapun.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 2/153.

Via HijrahApp

SAHKAH QIYAMUL LAILNYA WANITA MUSTAHADHAH?

Pertanyaan ke237:
SyaikhMuhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Apakah shah qiyamul lailnya wanitamustahadhah selepas pertengahan malam dengan wudhu

Jawaban:
Tidak, jika telah melewati pertengahan malam, maka wajib atasnya untuk memperbaharui wudhu. Ada juga pendapat yang tidak mengharuskannya memperbaharui wudhunya, pendapat ini yang kuat.

52 Sualan an ahkamil haidh, Syaikh Ibnu Utsaimin, h. 32.

Via HijrahApp

SAYA MENGERJAKAN SHALAT SUNNAT TIGA RAKA'AT SETELAH ISYA'

Pertanyaan ke243:
Al-LajnahAd-Daimah lil Ifta' ditanya: Alhamdulillah, saya selalu mengerjakan shalat yang lima waktu di masjid atau shalat sendirian jika tidak memungkinkan untuk shalat di masjid. Hanya saja, saya mengerjakan shalat sunnat setelah Isya' tiga raka'at sebagai ganti lima raka'at. Mohon pertanyaan saya ini dijawab, perlu diketahui, bahwa saya melakukan itu sebagai suatu kebiasaan, dan saya lihat lebih dari separuh orang di beberapa masjid di sejumlah kota dan desa melakukan itu. Mohon jawabannya, semoga Allah memberi taufiq kepada Anda.

Jawaban:
Shalat witir paling sedikitnya satu raka'at dan tidak ada batasan maksimalnya. Bila Anda mengerjakan shalat witir satu, tiga, lima,tujuh, sembilan, sebelas, tiga betas raka'at atau lebih, maka itu boleh, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sunnah Rasulullah baik berupa perkataan maupun perbuatan. Al-'AllamahIbnul Qayyim telah merinci masalah witir dalam bukunya "Zaadul Ma'ad fi Hadyi Khairil 'Ibad", kami sarankan Anda merujuknya untuk mendapatkan tambahanketerangan.

Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah, VII/173, fatwa no. 2836.

Via HijrahApp

SEORANG WANITA HAIDH MELAKSANAKAN SHALAT HANYA KARENA MALU, BAGAIMANA HUKUM PERBUATAN ITU

Pertanyaan ke227:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Seorang wanita haidh melaksanakan shalat karena malu,bagaimanakah hukum perbuatannya itu?

Jawaban:
Tidak boleh bagi wanita untuk melaksanakan shalat saat haidh atau nifas berdasarkan sabda Rasulullah:

"Bukankah jika wanita sedang dan juga tidak puasa"

Kaum Muslimin semuanya telah sepakat bahwa tidak boleh bagi wanita haidh untukmelaksanakan shalat dan puasa, dan bagi wanita yang melakukan hendaknya ia bertaubat kepada Allah serta memohon ampun terhadap apa yang telah ia perbuat.

Fatawa wa Rasaill Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 4/272.

Via HijrahApp

SEORANG WANITA MENDAPATKAN KESUCIANNYA BEBERAPA SAAT SEBELUM TERBENAMNYA MATAHARI, WAJIBKAH LA MELAKSANAKAN SHALAT ZHUHUR DAN ASHAR?

Pertanyaan ke197:
Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta’ ditanya:
Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya dari haidh atau nifas beberapa saat sebelum terbenamnya matahari, apakah wajib baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar?

Dan jika ia mendapatkan kesuciannya sebelum terbitnya fajar, apakah wajib baginya untuk melaksanakan shalat Maghrib dan Isya atau tidak?

Jawaban:
Jika seorang wanita telah mendapatkan kesuciannya dari haidh atau nifasnya sebelum habisnya waktu shalat yang harus ia kerjakan saat itu, maka diwajibkan baginya untuk melaksanakan shalat itu serta shalat yang bisa dijama' bersama shalat itu. Dengan demikian jika seorang wanita mendapat kesuciannya sebelum terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Ashar dan shalat Zhuhur.

Dan barangsiapa yang mendapatkan kesuciannya sebelum terbitnya fajar kedua maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Isya dan shalat Maghrib. Dan barang siapa yang mendapat kesuciannya sebelum terbitnya matahari maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Shubuh.

Majalah Al-Buhuts Al-lslamiyah, Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 2/172.

Via HijrahApp

SEORANG WANITA MENGELUARKAN CAIRAN (DARI KEMALUANNYA), SELAMA ITU TERJADI LA TIDAK MENGERJAKAN SHALAT, HAL INI TERJADI PADA BULAN TERAKHIR KEHAMILAN

Pertanyaan ke236:
SyaikhAbdul Aziz bin Baaz ditanya: Ada seorang wanita hamil yang pada bulankesembilan dari kehamilannya merasakan adanya cairan air seni setiap saat sehingga ia meninggalkan shalat pada bulan terakhir dari kehamilannya itu. Apakah kondisi ini bisa dijadikan alasan untuk meninggalkan shalat? Apa yangseharusnya ia lakukan?

Jawaban:
Bagi wanita tersebut dan yang seumpamanya tidak boleh meninggalkan shalat, bahkan wajib atasnya melaksanakan shalat dengankondisinya itu, dan hendaknya ia berwudhu pada setiap waktu shalat seBagaimana wanita mustahadhah dan senantiasa berusaha semampunya untuk menjaga dengan menggunakan kapas atau lainnya, serta mengerjakan shalat pada waktunya.

Disyari'atkan pula atasnyauntuk mengerjakan shalat-shalat sunnat pada waktunya. la boleh menjama' shalat Zhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya' seperti halnya wanita mustahadhah. Hal ini berdasarkan firman Allah:

"Maka bertaqwalah kamu kepada Allahmenurut kesanggupanmu" (At-Taghabun: 16)

Lain dari itu, ia harus mengqadha shalat-shalat yang ditinggalkannya yangdisertai dengan bertaubat kepada Allah aza wajalla, yaitu disertai dengan penyesalan atas apa yang telah diperbuatnya itu dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, ini berdasarkan firman Allah:

"Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yangberiman supaya kamu beruntung." (An-Nur : 31).

Kitab Fatawa ad-Da’wah, Syaikh Ibnu Baaz, 1/44.

Via HijrahApp

SHALAT DENGAN PAKAIAN YANG TERKENA KENCING ANAKNYA

Pertanyaan ke184:
Al-Lajnah Ad-Da'imah lil Ifta' ditanya:
Ketika menempuh perjalanan dengan menggunakan pesawat, pakaian seorang wanita terkena najis berupa air kencing anaknya dan tidak mungkin baginya untuk mengganti pakaian tersebut, karena seluruh pakaiannya ada di dalam bagasi pesawat, apakah boleh baginya untuk shalat dengan pakaian yang bernajis itu ataukah ia harus menanti hingga pesawat itu sampai di darat, dan perlu diketahui jika pesawat itu sampai di darat maka ia akan kehabisan waktu shalat?

Jawaban:
Hendaknya ia melakukan shalat pada waktunya walaupun harus menggunakan pakaian yang bernajis karena ia mendapat halangan untuk membersihkan pakaian itu atau untuk menggantinya, dan tidak perlu baginya untuk mengulangi shalat itu berdasarkan firman Allah:
"Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu" (At-Taghabun: 16)

Dan sabda Nabi:
“Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampu kalian, dan jika aku melarang kalian pada suatu hal maka tinggalkanlah hal tersebut.” (Muttafaq 'alaih).

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, VII/338, fatwa nomor 12087.

Via HijrahApp

SHALAT HAJAT DAN SHALAT MENGHAFAL AL-QUR'AN

Pertanyaan ke253:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Saya pernah mendengar tentang shalat hajat dan shalatmenghafal Al-Qur'an, betulkah kedua shalat itu ada?

Jawaban:
Keduanya tidak benar, tidak ada shalat hajat dan tidak pulashalat menghafal Al-Qur'an, karena ibadah-ibadah semacam itu tidak mungkin ditetapkan kecuali dengan dalil syar'i sebagai hujjahnya, sementara kedua macam shalat itu tidak ada dalil syar'inya sebagai landasannya, karena itu keduanya tidakdisyari'atkan.

Ibid.

Via HijrahApp

SHALAT SUNNAT SETELAH ISYA' ADALAH DUA RAKA'AT

Pertanyaan ke244:
Al-LajnahAd-Daimah Lil Ifta' ditanya: Saya melihat sebagian orang yang mengerjakan shalat Isya', sebagian mereka mengerjakan shalat sunnat dua raka'at, sementara sebagian yang lain, yang mana saya termasuk di antara mereka, mengerjakan tiga raka'at, dan yang lainnya lagi mengerjakan lima raka'at. Manakah shalat sunnat yang benar di antara itu semua?

Jawaban:
Sunnahnya, bahwa seorang muslim mengerjakan setelah shalat Isya'dua raka'at, ini adalah sunnat rawatib, bila dikerjakan di rumah lebih afdhal (utama), kemudian ditambah dengan witir satu raka'at, atau tiga raka'at atau lima raka'at, dan lebih utama lagi dengan sebelas raka'at, yang dilakukan dengansalam setiap dua raka'at, lalu terakhir salam dengan satu raka'at, hal ini dilakukan pada permulaan malam, atau pertengahannya ataupun pada akhir malam, sesuai dengankondisi yang terasa mudah baginya,

namun yang lebih utama dikerjakan pada akhir malam jikamudah baginya. Demikian sesuai dengan petunjuk Nabi, yang mana 'Aisyah Radhiyallahu Anha berkata: Setiap malam, Rasulullah صلی الله عليه وسلم mengerjakan shalat witir, pada permulaannya atau pertengahannya atau di akhirnya, beliaumengakhiri witirnya hingga waktu sahur. (Muttafaq 'alaih). Diriwayatkan pula oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, dari Jabir Radhiyallahu Anhu dari Nabi shalallahu alaihi wasallam,beliau bersabda:

"Barangsiapa khawatir tidak dapat bangun pada akhir malam, maka hendaklah ia mengerjakan witir pada permulaannya, dan barangsiapa yang optimis akan bangun pada akhir malam, maka hendaklah mengerjakan witir pada akhir malam. Sesungguhnya shalat pada akhir malam itu disaksikan (oleh para malaikat) dan itu lebih utama.”

Ibid.Juz VIII,h. 174-175, fatwa no. 7404.

Via HijrahApp

SHALAT WANITA DENGAN KEBERADAAN KAUM PRIA YANG BUKAN MAHRAM

Pertanyaan ke185:
Al-Lajnah Ad-Da'imah ditanya:
Bagaimanakah seorang wanita melakukan shalat jika terdapat kaum pria asing yang bukan mahramnya seperti di Masjidil Haram? Begitu juga jika ia dalam perjalanan bila tidak menemukan masjid yang tidak memiliki tempat khusus untuk wanita?

Jawaban:
Sesungguhnya seorang wanita harus menutup seluruh tubuhnya saat shalat kecuali wajah dan kedua telapak tangan, akan tetapi jika ia shalat dengan keberadaan kaum pria asing yang dapat melihatnya, maka wajib baginya untuk menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya.

Ibid, VII/338, fatwa nomor 13452.

Via HijrahApp

SHALAT DAN PUASANYA WANITA HAIDH

Pertanyaan ke229:
Al-LajnahAd-Da’imah Lil Ifta’ ditanya: Kami harap Anda memberi kami tambahan pendapattentang shalat dan puasa yang dilakukan wanita saat haidh, kami telah banyak menemukan dalil-dalil tentang hal ini dan kami menginginkan yang benar?

Jawaban:
Jika seorang wanita mendapatkan haidh maka ia harusmeninggalkan shalat dan puasa, lalu jika ia telah mendapatkan kesuciannya maka ia harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya selama haidh itu dan tidak perlu mengqadha shalatnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan lainnya, tentangketerangan Nabi صلی الله عليه وسلم mengenai kekurangan agama wanita, yaitu sabda beliau:

"Bukankah bilaseorang di antara kalian jika ia haidh ia tidak shalat dan tidak puasa."

Juga berdasarkan riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Muadzah, bahwa ia bertanyakepada Aisyah: "Mengapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidak harus mengqadha shalat?", maka Aisyah berkata: Apakah engkau Haruri ? Dia berkata: Saya bukan orang Haruri, tapi saya bertanya, maka Aisyah berkata:

"Kami juga mengalami haidh di zaman Rasulullah صلی الله عليه وسلم, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadhashalat".

Hadits ini riwayat Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya. Sebenarnya ini merupakan ungkapan kasih sayang Allah kepada wanita, Allah tidak mewajibkan untuk mengqadha shalat karena shalat dilakukan berulang-ulangsebanyak lima kali dalam sehari, begitu juga dengan haidh yang terus menerus terjadi setiap bulan pada diri wanita, yang mana jika shalat ini harus diqadha maka halini akan menimbulkan kesulitan yang besar.

Adapun puasa, dikarenakan kewajiban itu hanyasekali dalam setahun, maka kewajiban itu tidak berlaku saat haidh, ini pun merupakan ungkapan kasih sayang Allah kepada wanita, lalu Allah memerintahkan kepada wanita itu untuk mengqadha puasa yang telah ia tinggalkan agar tercapainyakemaslahatan syari'ah bagi wanita itu.

Majalah Al-Buhuts A'-Islamiyah, 26/83.

Via HijrahApp

SHALATNYA KAUM WANITA YANG SEDANG UMRAH DI BULAN RAMADHAN

Pertanyaanke213:
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Manakah yang lebih utama bagi seorang wanita, melaksanakan shalat padamalam-malam Ramadhan di rumahnya atau di masjid, dengan pertimbangan bahwa jika seorang wanita melakukan shalat di masjid maka ia akan mendapatkan siraman-siraman rohani dari penceramah dimasjid. Dan apa saran Anda bagi kaum wanita yamg melaksanakan shalat di masjid-masjid?

Jawaban:
Yang lebih utama dan lebih baik bagi seorang wanita adalah melaksanakan shalat di rumahnya, berdasarkan keumuman makna yang terdapat dalamsabda Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam:

"Namun rumah-rumah mereka adalah lebihbaik bagi mereka (kaum wanita)."

Karena keluarnya mereka dari rumah mereka lebih dapat menimbulkan fitnahdaripada mereka tidak keluar rumah, maka keberadaan wanita di dalam rumah adalah lebih baik bagi mereka daripada mereka pergi keluar untuk shalat di masjid.

Adapunsiraman-siraman rohani masih mungkin mereka dapatkan melalui rekaman-rekaman kaset. Saran saya bagi kaum wanita yang melaksanakan shalat di masjid adalah hendaknya mereka keluar dari rumah mereka dengan tidak berdandan dengan tidak berhias (bersolek) dan tidak pula memakai wewangian.

Al-fatawa Al-Makkiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 20.

Via HijrahApp

SHALATNYA WANITA DI DEPAN CERMIN ATAU GAMBAR

Pertanyaan ke251:
Al-LajnahAd-Daimah lil Ifta' ditanya: Bolehkah seorang wanita muslimah mengerjakanshalat, sementara ia mengenakan kaiung pada lehernya atau cincin, atau mengerjakan shalat di depan gambar atau cermin. Berilah kami jawaban, semoga Allah memberkahi Anda.

Jawaban:
Hendaknya seorang muslim menghindari segala sesuatu yang dapatmenyibukkan dan mengganggu dirinya dalam shalat, maka tidak layak baginya mengerjakan shalat dengan menghadap ke arah cermin atau pintu yang terbuka ataupun lainnya yang dapat menyibukkan atau mengganggu shalatnya.

Dan tidak layak seseorang mengerjakan shalat di suatu tempat yang terdapat gambar-gambar yang dtgantung atau dipancangkan, karena yang demikian ini, dari satu segi menyerupaiorang-orang yang menyembah gambar, sementara dari segi lain, bahwa gambar-gambar tersebut bila berada di hadapannya bisa mengganggunya dalam mengerjakan shalat dan mengalihkan pandangannya ke arah gambar.

Adapun wanita mengenakan perhiasan didalam shalat, ini juga sebenarnya termasuk hal yang menyibukkan, makaselayaknya tidak mengerjakan hal-hal yang dapat menyibukkannya dalam mengerjakan shalat, bahkan sebaiknya ditangguhkan hingga selesai shalat. Namun bila ia bisa mengenakannya tanpa memerlukan waktu yang lama dan tidak banyak bergerak, maka shalatnya shah, karena gerakan ringan, seperti merapikan pakaian, tutup kepala, mengenakan jam tangan dan seumpamanya tidaklah mempengaruhi shalat.

Majalah al-Buhuts al-lslamiyyah.

Via HijrahApp

SUCI SETAMA SATU HARI ATAU SATU MALAM, KEMUDIAN MENGELUARKAN DARAH LAGI SETELAH HABISNYA MASA HAIDH

Pertanyaan ke231:
Al-LajnahAd-Da'imah Lil Ifta’ ditanya: Seorang wanita haidh mengalami perubahan masa haidh, yaitu bertambah lama dua, tiga atau empat hari.

Kebiasaannya semula ia mengalami haidh selama enam atau tujuh hari, kemudianberubah menjadi sepuluh hari atau lima belas hari, dan ia mendapatkan kesuciannya selama satu hari atau satu malam kemudian haidh itu datang kembali, apakah ia harus mandi (bersuci) dan shalat ataukali ia tetap tidak shalat hinggabenar-benar suci, karena masa haidhnya itu melebihi masa haidh biasa dan darah yang keluar itu bukan darah istihadhah, bagaimana ketentuan syari'at tentang masalah ini?

Jawaban:
Jika kenyataannya sebagaimana yang disebutkan yaituberhentinya masa haidh sehari atau semalam di tengah-tengah masa haidh, maka hendaknya ia mandi (bersuci) dan melaksanakan shalat pada masa suci itu, berdasarkan ucapan Ibnu Abbas:

"Jika wanita itu mengeluarkan darah maka ia tidak shalat dan jikaia mendapatkan kesuciannya (walau) sesaat maka hendaknya ia mandi".

Dalam riwayat laindisebutkan bahwa jika masa suci itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dianggap suci, berdasarkan ucapan Aisyah:

"Janganlah kaum wanita itu tergesa-gesa(menganggap dirinya suci dari haidh) sebelum mereka melihat gumpalan putih", karena darah terkadang mengalir dan terkadang pula terhenti,

maka masa sucinya seorangwanita dari haidh tidak bisa ditetapkan hanya karena terhentinya darah haidh, misalnya terhentinya kurang dari satu jam. Demikian pendapat yang dipilih oleh penulis kitab Al-Mughni Al-Hambali.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Buhuts Al-llmiyah, 88.

Via HijrahAp

SUJUD TILAWAH WANITA YANG MENGENAKAN KERUDUNG

Pertanyaan ke250:
Al-LajnahAd-Daimah lil Ifta' ditanya: Apa yang semestinya dilakukan oleh wanita yangsedang membaca Al-Qur'an lalu menemukan ayat sajadah, haruskah ia sujud, bila saat itu ia tidak mengenakan kerudung, atau apa yang seharusnya ia lakukan?

Jawaban:
Yang lebih utama bagi wanita tersebut, bila ia melewati ayatsajadah, hendaknya ia sujud, walaupun saat itu ia tidak mengenakan kerudung, dan bila ia melakukan sujud tilawah tanpa mengenakan kerudung, kami harap tidak apa-apa (tidak ada dosa), karena dalam sujud tilawah tidak berlaku hukum shalat, akantetapi itu hanya merupakan ketundukkan kepada Allah aza wajalla dan untuk mendekatkan diri kepadaNya, seperti halnya dzikir-dzikir dan perbuatan-perbuatan baik lainnya.

Ibid, Juz VIII, h. 263 fatwa no. 13376.

Via HijrahApp

TIDAK SADAR SELAMA DUA HARI KARENA SAKIT AKAN MELAHIRKAN TETAPI TIDAK MENGELUARKAN DARAH, WAJIBKAH MENGQADHA SHALAT

Pertanyaan ke232:
SyaikhAbdurrahman As-Sa'di ditanya: Jika seorang wanita mengalami sakit karena hendakmelahirkan hingga tidak sadar selama dua hari namun ia belum mengeluarkan darah, apakah diharuskan baginya untuk mengqadha shalat atau tidak?

Jawaban:
Ya, diharuskan baginya untuk mengqadha shalat yang iatinggalkan selama dua hari itu, karena ketidaksadaran yang disebabkan penyakit atau rasa sakit dll. Tidak menggugurkan kewajibanshalat seseorang, juga wanita itu belum mengeluarkan darah sehingga ia belum dikenakan hukum nifas.

Al-Majmu'ah Al-Kamllah li fatawa Asy-Syaikh As-Sa'di, halaman 99.

Via HijrahApp

URUTAN SHALAT YANG DIQADHA

Pertanyaan ke196:
Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’ ditanya:
Bagaimanakah urutan shalat Shubuh, Zhuhur, dan Ashar yang harus diqadha seseorang jika ia teringat bahwa ia belum melaksanakan shalat-shalat tersebut?

Jawaban:
Mengqadha shalat-shalat yang tertinggal harus dikerjakan sesegera mungkin dan harus dilaksanakan secara tertib sebagaimana yang telah ditetapkan Allah aza wajalla, yaitu melaksanakan shalat Shubuh terlebih dahulu kemudian shalat Zhuhur kemudian shalat Ashar.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Ifta’, VI/159, fatwa nomor 8708.

Via HijrahApp

WAJIBKAH KAUM WANITA MELAKSANAKAN SHALAT BERJAMA'AH DIRUMAH

Pertanyaan ke203:
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya:
Apakah diwajibkan bagi kaum wanita untuk melakukan shalat fardhu berjama'ah?

Jawaban:
Tidak ada kewajiban bagi kaum wanita untuk melaksanakan shalat berjama'ah, shalat jama'ah hanya diwajibkan bagi kaum pria saja,

sedangkan kaum wanita tidak diwajibkan bagi mereka untuk melaksanakan shalat jama'ah, tapi dibolehkan atau bahkan disukai bila mereka mengerjakan dengan berjama'ah, yaitu dengan menetapkan salah seorang mereka sebagai imam, dan sebagaimana telah kami sebutkan bahwa tempat berdirinya imam itu adalah di tengah-tengah shaf pertama.

Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Asy-Syaikh Al-Fauzan, III/80.

Via HijrahApp

WAJIBKAH MENGQADHA SHALAT-SHALAT YANG DITINGGALKAN SELAMA MASA HAIDH, DAN BOLEHKAH SEKADAR MEMBASUH RAMBUT SAJA KETIKA HAIDH

Pertanyaan ke225:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mengqadhashalat yang ia tinggalkan selama masa haidh, dan bolehkah baginya untuk sekadar membasuh rambut ketika haidh?

Jawaban:
Wanita haidh tidak mengqadha shalatnya berdasarkan nash dan ijma', juga berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم:

"Bukankahjika seorang wanita sedang haidh ia tidak shalat dan tidak puasa."

Aisyah ditanya: "Mengapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidakharus mengqadha shalat ?”, maka Aisyah menjawab:

"Kami pun mengalami halitu, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapi kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat".

Ungkapan Aisyah ini menunjukkan bahwa wanita haidhtidak diperintahkan untuk mengqadha shalat. Adapun membasuh rambut pada masa haidh, maka hal itu dibolehkan. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa tidak boleh baginya membasuh rambut saat haidh, maka hal itu tidaklah benar, bahkan boleh baginya untuk membasuh seluruh kepala dan tubuhnya serta lainnya sesukanya, juga bolehuntuk menggunakan inai saat haidh dan tidak ada dosa baginya.

Fatawa Nur 'ala Ad-Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, halaman 45.

Via HijrahApp

WANITA HAIDH MELAKSANAKAN SHATAT KARENA MALU

Pertanyaan ke223:
SyaikhIbnu Utsaimin ditanya: Apakah boleh bagi seorang wanita haidh untukmelaksanakan shalat hanya karena malu?

Jawaban:
Wanita haidh tidak boleh melaksanakan shalat berdasarkan sabda Nabi صلی الله عليه وسلم:

"Bukankah jika seorang wanita sedanghaidh tidak shalat dan tidak puasa."

Hadits ini disebutkan dalam kitab Ash-Shahihain, maka seorang wanita tidakboleh melakukan shalat, haram baginya melaksanakan shalat, jika ia melakukan shalat maka shalatnya itu tidak sah, dan tidak diwajibkan baginya untuk mengqadha shalat berdasarkan ucapan Aisyah:

"Kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapikami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat".

Wanita haidh yang melakukan shalatkarena malu hukumnya haram, tidak boleh bagi wanita untuk melakukan shalat jika ia sedang mendapat haidh, bahkan jika telah habis masa haidhnya ia tetap tidak boleh melaksanakan shalat jika ia belum mandi wajib (bersuci), jika wanita itutidak mendapatkan air untuk mandi maka ia harus bertayamum untuk melaksanakan shalat sampai ia mendapatkan air untuk kemudian mandi.

Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 4/271.

Via HijrahApp

WANITA MENGIKUTI IMAM MELALUI TELEVISI ATAU RADIO

Pertanyaan ke248:
Al-LajnahAd-Daimah lil Ifta' ditanya: Kami menanyakan tentang shalatnya wanita di dalamrumahnya dengan mengikuti radio atau televisi bila ia bisa mendengar bacaan dan takbirnya. Misalnya dalam shalat fardhu ataupun shalat sunnat. Atau misalnya, di suatu perkampungan, yang mana ia tinggal di dalamnya,atau kota besar seperti Riyadh, yang mana ia jauh dari pusat kota, yang jaraknya sekitar 350 kilometer. Bagaimana itu?

Jawaban:
Tidak boleh, baik itu shalat fardhu maupun shalat sunat, bahkan sekalipun ia bisa mendengar bacaan dan takbirnya imam.

Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, Juz VIII h. 31, fatwa no. 6744.

Via HijrahApp

WANITA MENGIMAMI SHALAT

Pertanyaan ke199:
Al-Lajnah Ad-Da'imah ditanya:
Bolehkah seorang wanita mengimami shalat untuk satu orang wanita? Dan dimanakah wanita yang menjadi ma'mum itu harus berdiri dalam shalat tersebut?

Jawaban:
Seorang wanita boleh mengimami shalat beberapa wanita dengan berdiri di tengah-tengah mereka, dan jika yang menjadi ma'mum hanya seorang, maka ma'mum ini berdiri di sebelah kanan imamnya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta', VII/390, fatwa nomor 8328.

Via HijrahApp

WANITA DI RUMAH BERMA'MUM KEPADA IMAM DI MASJID

Pertanyaanke210:
Syaikh Abdurrahman As-Sa'di ditanya: Bagaimana hukum shalat seorang wanita di dalam rumahnya yangmengikuti shalat imam di masjid?

Jawaban:
Pendapat yang benar adalah boleh melakukan hal seperti itu jika memungkinkan baginya mengikuti imam, yaitu bisa mendengar suara takbir imamatau yang meniru takbirnya atau ia dapat melihat jamaah shalat yang mengikuti imam itu. Sebagian ulama mensyaratkan bagi wanita itu, dapat melihat walaupun hanya pada beberapa bagian gerakan shalat, dan ada juga yang mensyaratkan, hendaknya tidak adanya jalan yang membatasi dirinya dengan imam itu, akan tetapi pendapat ini lemah karena tidak ada dalil yang menunjukkan pada hal itu.

Al-Majmu'ah Al-Kamilah lifatawa Asy-Syaikh As-Sa'di, halaman 125.

Syaikh bin Baaz juga pernah ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab: Jika wanita itu tidak dapat melihat imam dan juga tidak melihat para ma'mumnya, maka melaksanakan shalat sendiri dengan tidak mengikuti imam, adalah cara yang lebih hati-hati.

Majalah Al-Buhuts Al-lslamiyah, 30/110.

Via HijrahApp

SEBAIK-BAIK SHAF WANITA ADALAH YANG PALING AKHIR DAN SEBURUK-BURUKNYA ADALAH YANG PALING DEPAN

Pertanyaan ke215:
SyaikhAbdullah bin Jibrin ditanya: Jika terdapat pembatas (tabir) di suatu masjid yang memisahkan tempat shalat kaum pria dengan tempat shalat kaum wanita, apakah masih berlaku sabda Rasul صلی الله عليه وسلم yang berbunyi:

"Sebaik-baiknya shaf pria adalah shaf terdepan dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terakhir, dan sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terdepan.”

Ataukah tidak berlaku lagi jika demikian keadaannya, sehingga sebaik-baik shaf wanita adalah yang terdepan? Berilah kami jawaban, semoga Allah menunjuki Anda.

Jawaban:
Alasan bahwa sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang paling belakang ialah karena shaf yang paling belakang itu adalah shaf yang paling jauh dari kaum pria, semakin jauh seorang wanita dari kaum pria maka semakin terjaga dan terpelihara kehormatannya, dan semakin jauh dari kecenderungan terhadap kemaksiatan.

Akan tetapi jika tempat shalat kaum wanita jauh dan terpisah dengan dinding atau pembatas sejenis lainnya, sehingga kaum wanita itu hanya mengandalkan pengeras suara dalam mengikuti imam, maka pendapat yang kuat dalam hal ini adalah, bahwa shaf yang pertama ada yang lebih utama dari pada shaf yang dibelakangnya dan seterusnya, karena shaf terdepan ini lebih dekat kepada kiblat.

Fatawa Ash-Shiyam, Syaikh Abdullah Al-JIbrin, halaman 94.

Via HijrahApp

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M