Bai’at ‘Aqabah Kedua
Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali ke Menu)
- Kontak rahasia antara Rasulullah ﷺ dengan 70 orang jemaah haji dari Madinah yang masih musrik
- Permulaan Pembicaraan Dan Penjelasan Al-‘Abbas Akan Dampak Serius Darinya
- Poin poin Baiat
- Penegasan Kembali Akan Dampak Serius Dari Bai’at
- ‘Aqad Bai’at
- Dua Belas Orang Pemimpin Pilihan
- Syaithan Menyingkap Perihal Perjanjian
- Persiapan Kaum Anshor Untuk Menggempur Kaum Quraisy
- Kaum Quraisy Mengajukan Protes Kepada Para Pemimpin Yatsrib
- Kepastian Berita Bagi Quraisy Dan Upaya Mengusir Para Peserta Bai’at
1. Kontak rahasia antara Rasulullah dengan 70 orang jemaah haji dari Madinah yang masih musrik
Pada musim haji tahun ke-13 dari kenabian (bulan Juni tahun 622 M), datanglah sebanyak hampir 70 orang kaum Muslimin dari Madinah untuk menunaikan manasik haji. Mereka datang bersama rombongan para jema’ah haji dari kaum mereka yang masih musyrik. Kaum muslimin tersebut saling bertanya diantara mereka -saat mereka masih berada di Yatsrib atau sedang dalam perjalanan- hingga kapan mereka harus membiarkan Rasulullah berkeliling, diusir di lereng-lereng bukit dan diancam?.
Tatkala tiba di Mekkah, terjadilah kontak rahasia antara mereka dan Rasulullah yang menghasilkan kesepakatan diantara kedua belah pihak untuk berkumpul pada pertengahan hari-hari Tasyriq di celah yang terletak di samping ‘Aqabah, tempat dimana terdapat Jumrah ula di Mina. Pertemuan ini terlaksana melalui proses yang sangat rahasia di dalam kegelapan malam.
Marilah kita biarkan salah seorang pemimpin kaum Anshar menceritakan sendiri secara spesifik pertemuan historis tersebut yang telah merubah peredaran hari-hari perseteruan antara berhalaisme (paganisme) dan Islam, dia adalah Ka’b bin Malik al-Anshary radliyallâhu ‘anhu :
“Kami berangkat untuk melaksanakan manasik haji dan sebelumnya telah berjanji untuk bertemu dengan Rasulullah di ‘Aqabah pada pertengahan hari-hari Tasyriq. Kami dijanjikan pada malam harinya sementara bersama kami hadir ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram, salah seorang pemimpin dan orang terpandang di kalangan kami. Kami mengajaknya bersama kami -dalam hal ini, kami merahasiakan urusan ini kepada kaum Musyrikin dari kaum kami yang ikut rombongan juga-, lalu kami berbicara kepadanya dan berkata: ‘Wahai Abu Jabir!
Sesungguhnya engkau ini adalah salah seorang pemimpin kami dan orang terpandang diantara kami. Kami tidak suka kondisi anda saat ini akan menjadikan anda sebagai kayu bakar api neraka kelak. Kemudian kami mengajaknya kepada Islam dan memberitahukannya perihal janji kami bertemu dengan Rasulullah di ‘Aqabah. Lalu dia masuk Islam dan menghadiri Bai’atul ‘Aqabah bersama kami dan dia termasuk pemimpinnya”.
Ka’b melanjutkan: “Lalu kami tidur pada malam itu bersama kaum kami di kendaraan hingga ketika sudah mencapai sepertiga malam, kami keluar dari kendaraan menuju tempat perjanjian dengan Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dengan menyusup ala kucing dan sembunyi-sembunyi. Akhirnya kami berkumpul di celah dekat ‘Aqabah. Jumlah kami, 30 orang laki-laki dan dua orang perempuan, yaitu Nasibah binti Ka’b (Ummu ‘Ammar) dari Bani Mazin bin an-Najjar dan Asma` binti ‘Amr (Ummu Mani’) dari Bani Salamah.
Kami berkumpul di celah itu sembari menunggu kedatangan Rasulullah. Beliau pun datang bersama pamannya al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib yang ketika itu masih memeluk agama kaumnya akan tetapi ingin menghadiri urusan yang tengah diikuti oleh anak saudaranya (keponakannya), dia memberikan dukungannya dan dia pulalah orang pertama yang berbicara” .
2. Permulaan Pembicaraan Dan Penjelasan Al-‘Abbas Akan Dampak Serius Darinya
Setelah majlis dipersiapkan, dimulailah pembicaraan-pembicaraan untuk mengesahkan perjanjian persekutuan agama dan militer. Orang pertama yang berbicara adalah al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, paman Rasulullah. Dia berbicara untuk menjelaskan kepada mereka secara gamblang akan dampak serius yang akan mereka pikul di pundak mereka akibat dibuatnya persekutuan tersebut. dia berkata:
“Wahai kaum Khazraj! – Orang-orang Arab menamakan kaum Anshar sebagai Khazraj dan mencakup suku Aus juga- sesungguhnya Muhammad berasal dari kami sebagaimana yang kalian ketahui, kaum kami yang satu pandangan dengan kami telah melarangnya padahal dia dibanggakan oleh kaumnya dan dilindungi di negerinya akan tetapi dia justeru hanya berpihak kepada kalian dan menjumpai kalian. Jika kalian melihat bahwa kalian dapat memenuhi apa yang kalian ajak dia kepadanya dan dapat melindunginya dari orang yang menentangnya, maka itu adalah hak kalian, berikut resiko yang harus ditanggung. Dan jika kalian melihat bahwa kalian justeru akan menyerahkan dirinya dan menghinakannya setelah dia keluar menyongsong kalian, maka dari sekarang tinggalkanlah dia karena sesungguhnya dia masih dibanggakan dan diberi perlindungan oleh kaum dan negerinya”.
Ka’b berkata: “Lalu kami berkata kepadanya:’Kami telah mendengar apa yang telah engkau utarakan, maka berbicaralah wahai Rasulullah! Ambillah untuk dirimu dan Rabbmu apa yang engkau sukai”.
Jawaban ini menunjukkan sikap mereka (kaum Anshar) yang telah memiliki tekad bulat, keberanian, iman dan keikhlasan di dalam mengemban tanggungjawab yang besar ini, sekaligus dampak-dampaknya yang serius.
Setelah itu, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam memberikan penjelasannya, kemudian barulah terjadi pembai’atan.
Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Jabir secara rinci. Jabir berkata: “Kami berkata kepada Rasulullah: ‘Wahai Rasulullah! Untuk hal apa kami membai’atmu?”. Beliau bersabda:
1. Untuk mendengarkan dan ta’at (loyal) di dalam kondisi fit dan kurang fit.
2. Untuk berinfaq di dalam masa sulit dan senang.
3. Untuk berbuat amar ma’ruf dan nahi munkar
4. Untuk tegak di jalan Allah, kalian tidak peduli dengan celaan si pencela selama dilakukan di jalan Allah.
5. Untuk menolongku manakala aku datang kepada kalian, kalian melindungiku dari hal yang biasa kalian lakukan untuk melindungi diri kalian sendiri, isteri-isteri dan anak-anak kalian. Jika hal ini kalian lakukan, maka surgalah bagi kalian”.
Di dalam riwayat Ka’b (yang diriwayatkan oleh Ibn Ishaq), hanya poin terakhir diatas saja yang ada, disana disebutkan:
“Ka’b berkata: ‘Lalu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam berbicara seraya membacakan ayat al-Qur’an, berdoa kepada Allah dan mensugesti mereka untuk masuk Islam, kemudian bersabda: ‘Aku membai’at kalian untuk melindungiku dari hal yang biasa kalian lakukan untuk melindungi isteri-isteri dan anak-anak kalian’. Lalu al-Barâ`bin Ma’rur memegangi tangan beliau sembari berkata: ‘Ya, Demi Dzat Yang telah mengutusmu dengan haq sebagai Nabi, sungguh kami akan melindungimu dari hal yang biasa kami lakukan untuk melindungi jiwa dan isteri-isteri kami. Bai’atlah kami, wahai Rasulullah! Sesungguhnya terdapat tali-temali diantara kami dan orang-orang Yahudi dan kami akan memutusnya. Apakah kiranya kelak bila kami lakukan hal itu, lantas Allah memenangkanmu, engkau akan kembali lagi ke haribaan kaummu dan membiarkan kami?’.
Ka’b berkata: “Lantas Rasulullah pun tersenyum kemudian bersabda: ‘Bahkan darah kalian adalah darahku, kehancuran kalian adalah kehancuranku juga. Aku adalah bagian dari kalian dan kalian adalah bagian dariku, aku akan memerangi orang yang kalian perangi dan mengadakan perdamaian dengan orang yang kalian adakan perdamaian dengannya’ “.
4. Penegasan Kembali Akan Dampak Serius Dari Bai’at
Setelah pembahasan tentang syarat-syarat bai’at rampung dan mereka bersepakat untuk segera melangsungkannya, berdirilah dua orang laki-laki dari angkatan pertama yang masuk Islam pada dua musim lalu, yaitu tahun 11 dan 12 dari kenabian. Salah seorang berdiri, lalu dilanjutkan oleh seorang lagi untuk mempertegas kepada para hadirin akan dampak serius dari resiko yang harus diambil sehingga mereka tidak hanya sekedar membai’at kecuali setelah benar-benar mengetahui secara jelas perihalnya. Demikian pula, keduanya ingin mengetahui seberapa jauh persiapan para hadirin untuk berkorban dan mendapatkan kepastian akan hal itu.
Ibn Ishaq berkata:
“Tatkala mereka berkumpul untuk berbai’at, berkatalah al-‘Abbas bin ‘Ubadah bin Nadllah: ‘Apakah kalian mengetahui untuk apa kalian berbai’at terhadap orang ini (Nabi Muhammad- red)?. Mereka menjawab: ‘Ya’. Dia berkata lagi: ‘Sesungguhnya kalian akan membai’atnya untuk memerangi orang-orang berkulit merah dan hitam. Jika kalian nantinya melihat bahwa bilamana harta kalian musnah karena tertimpa musibah dan para pemuka kalian dibunuh akan menyerahkannya, maka, demi Allah, mulai dari sekarang, bila kalian lakukan itu, akan menjadi kehinaan bagi kalian di dunia dan akhirat. Dan jika kalian nantinya melihat akan mampu menepati janji apa yang kalian ajak dia kepadanya sekalipun harta musnah dan para pemuka kalian terbunuh, maka ambillah dia sebab, Demi Allah, hal itu adalah baik buat kalian di dunia dan akhirat’.
Mereka berkata: ‘Kalau begitu, kami akan mengambilnya sekalipun harta kami ditimpa musibah dan para pemuka kami terbunuh karenanya. Wahai Rasulullah! Apa imbalannya terhadap hal itu bilamana kami dapat menepatinya?’.
Beliau menjawab: ‘Surga’. Lalu mereka berkata: ‘Bentangkan tanganmu!’. Kemudian beliau membentangkan tangannya lantas merekapun membai’atnya”.
Dalam riwayat Jabir, dia (al-‘Abbas bin ‘Ubadah-red) berkata: “Maka kami berdiri untuk membai’atnya. Lalu As’ad bin Zurarah -yang merupakan orang paling muda dari 70 peserta tersebut- memegang tangan beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Namun dia (al-‘Abbas) malah berkata:
‘Sebentar, wahai Ahli Yatsrib! Sesungguhnya kita tidak akan sepenuh hati mendukungnya kecuali kita mengetahui betul bahwa dia adalah Rasulullah. Sesungguhnya, membawanya keluar saat ini berarti memisahkan diri dari orang-orang Arab secara keseluruhan, membunuh orang-orang pilihan kalian dan pedang siap menebas kalian. Karenanya, kalian akan bersabar atas hal itu lalu mengambilnya dan kalian mendapatkan pahala dari Allah. Atau kalian mengkhawatirkan diri kalian celaka lalu kalian biarkan saja dia dan hal itu adalah alasan paling logis di sisi Allah.
Setelah penetapan poin-poin bai’at dan mendapatkan kepastian, maka dimulailah ‘aqad Bai’at dengan cara saling bersalam-salaman.
Setelah menghikayatkan ucapan As’ad bin Zurarah tersebut, Jabir berkata: “Lalu mereka berkata: ‘Wahai As’ad! Bentangkan tanganmu kepada kami, demi Allah, kami tidak akan meninggalkan bai’at ini dan tidak pula menyambutnya”.
Ketika itu barulah As’ad menyadari betapa besarnya kesiapan orang-orang Anshar tersebut untuk berkorban di jalan ini dan diapun dapat memastikan hal itu sebagai seorang da’i besar bersama Mush’ab bin ‘Umair dan orang yang lebih dahulu mengukuhkan bai’at ini.
Ibn Ishaq berkata: “Bani an-Najjar mengklaim bahwa Abu Umamah, As’ad bin Zurarah adalah orang pertama kali membentangkan tangan bai’at ke atas tangan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam”.
Setelah itu, dimulailah bai’at umum. Dalam hal ini, Jabir berkata:”Lalu kami mendatangi orang per-orang dan beliau Shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengambil bai’at kami untuk memberikan surga bagi kami dengan hal itu”.
Sedangkan bai’at yang dilakukan oleh dua orang wanita yang menyaksikan kejadian itu adalah berupa ucapan saja, sebab Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyalami wanita asing sama sekali.
6. Dua Belas Orang Pemimpin Pilihan
Setelah bai’at rampung, Rasulullah meminta agar dipilih 12 orang kepala kaum untuk menjadi pemimpin bagi kaum mereka, mengemban tanggung jawab terhadap mereka di dalam melaksanakan poin-poin bai’at tersebut. Beliau berkata kepada mereka: “Seleksilah 12 orang pemimpin di kalangan kalian untuk menjadi penanggung jawab terhadap apa yang terjadi dengan kaum kalian”.
Seketika itu juga pemilihan mereka dilaksanakan dan mereka masing-masing 12 orang dari kalangan suku Khazraj dan 3 orang dari kalangan suku Aus. Nama-nama mereka adalah sebagai berikut:
1. Para Pemimpin Terpilih Suku Khazraj
1. As’ad bin Zurarah bin ‘Ads
2. Sa’d bin ar-Rabi’ bin ‘Amr
3. ‘Abdullah bin Rawahah bin Tsa’labah
4. Rafi’ bin Malik bin al-‘Ajlan
5. al-Bara` bin Ma’rur bin Shakhr
6. ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram
7. ‘Ubadah bin ash-Shamit bin Qais
8. Sa’d bin ‘Ubadah bin Dulaim
9. al-Mundzir bin ‘Amr bin Khunais
10. Usaid bin Hudhair bin Sammak
11. Sa’ad bin khaitsamah bin al-harist
12. Rifa’ah bin Abdul Munzir bin Subair
2. Para Pemimpin Terpilih Suku Aus
1. Usaid bin Hudlair bin Sammak
2. Sa’d bin Khaitsamah bin al-Harits
3. Rifa’ah bin ‘Abdul Mundzir bin Zubair
Setelah pemilihan para pemimpin terpilih tersebut selesai, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengambil perjanjian lain terhadap mereka ini sebagai para pemimpin pilihan yang diserahi tanggung jawab.
Beliau berkata kepada mereka: “Kalian bertanggung jawab terhadap kaum kalian sebagaimana yang pertanggungjawaban kaum Hawariyin terhadap ‘Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Sedangkan aku adalah penanggung jawab bagi kaumku (yakni kaum Muslimin)”. Mereka berkata: “Ya”.
7. Syaithan Menyingkap Perihal Perjanjian
Setelah perjanjian rampung dan para peserta hampir saja akan berpencar, salah satu syaithan menyingkap pelaksanaannya. Namun manakala penyingkapan ini baru terjadi pada detik-detik akhir saja dan tidak mungkin menyampaikan kepada para pemimpin Quraisy mengenai berita rahasia ini sehingga mereka dapat menyerang secara mendadak orang-orang yang berkumpul di celah itu, maka syaithan tersebut berdiri di puncak bukit sembari berteriak dengan suara yang tidak pernah sekencang itu terdengar, “Wahai Ahlul Akhâsyib (rumah-rumah)! Apakah kalian ingin mengetahui Muhammad dan para penganut Shâbi`ah (menurut klaim mereka-red) yang bersamanya? Sungguh, mereka telah berkumpul untuk memerangi kalian.”
Lalu Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Inilah Azibbul ‘Aqabah (nama syaithan dan berbentuk ular-red), Demi Allah, aku akan mengkonsentrasikan untuk (menghadapi) mu wahai musuh Allah!.” Kemudian beliau menyuruh mereka untuk berpencar dan kembali ke barak masing-masing.
8. Persiapan Kaum Anshor Untuk Menggempur Kaum Quraisy
Ketika mendengar suara syaithan tersebut, al-‘Abbas bin ‘Ubadah bin Nadllah berkata, “Demi Dzat Yang mengutusmu dengan al-Haq, jika engkau menghendaki, maka kami besok akan membuat tunduk penduduk Mina dengan pedang-pedang kami ini.” Lantas Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Kita tidak diperintahkan demikian, akan tetapi kembalilah kalian ke barak masing-masing.” Lantas merekapun kembali dan tidur hingga pagi hari.
9. Kaum Quraisy Mengajukan Protes Kepada Para Pemimpin Yatsrib
Ketika berita tersebut telah sampai ke telinga kaum Quraisy terjadilah kegemparan di tengah mereka yang menimbulkan ketidak stabilan dan kesedihan karena mereka sebenarnya sangat mengetahui persis apa ekses yang akan disemai oleh bai’at seperti itu dan akibatnya langsung terhadap diri dan harta mereka. Maka, begitu pagi menyingsing, berangkatlah rombongan besar yang terdiri dari para pemimpin Mekkah dan para penjahat kelas kakapnya menuju perkemahan penduduk Yatsrib guna mengajukan protes keras terhadap dilaksanakannya perjanjian ini. Mereka berkata, “Wahai Para khalayak suku Khazraj! Sesungguhnya telah sampai berita ke telinga kami bahwa kalian telah mendatangi shahib (teman, maksudnya Nabi Muhammad-red) kami ini untuk kalian bawa keluar dari belakang kami dan membai’atnya dalam upaya menyerang kami. Dan, sesungguhnya demi Allah, tidak ada satu perkampunganpun dari perkampungan yang dihuni bangsa Arab yang lebih kami benci bergejolaknya perang antara kami dan mereka selain kalian.”
Manakala kaum Musyrikin suku Khazraj tidak tahu menahu soal bai’at tersebut karena dilakukan dengan penuh rahasia dan di bawah kegelapan malam, maka mereka-mereka ini langsung bangkit untuk bersumpah atas nama Allah, “Tidak terjadi hal seperti itu dan kami tidak mengetahuinya.” Hingga datanglah mereka menghadap ‘Abdullah bin Ubay bin Salul yang langsung menyeletuk berkata, “Ini berita batil, bukan seperti ini kejadiannya dan kaumku tidak akan ada yang berani lancang terhadapku seperti ini. Andaikata aku berada di Yatsrib niscaya kaumku tersebut tidak berani berbuat seperti itu terhadapku hingga menunggu perintahku dulu.”
Sementara kaum Muslimin di kalangan mereka, satu sama lain saling melirik, kemudian membungkam diri, tidak seorangpun dari mereka yang berbicara, menyanggah ataupun membenarkan.
Pada pemuka Quraisy lebih cenderung membenarkan kaum Musyrikin, lalu pulang dengan tangan hampa.
10. Kepastian Berita Bagi Quraisy Dan Upaya Mengusir Para Peserta Bai’at
Para pemimpin Mekkahpun pulang dalam kondisi semi yakin terhadap kebohongan berita tersebut, akan tetapi mereka masih melacak terus informasi tentangnya dan mengkajinya secara seksama hingga akhirnya mereka yakin bahwa sebenarnya berita itu benar adanya dan pembai’atan benar-benar telah terjadi. Berita tersebut diketahui setelah para jema’ah haji pulang ke negeri mereka masing-masing. Para pasukan berkuda kaum Quraisy bergegas menguber orang-orang Yatsrib. Namun semua ini ibarat nasi telah jadi bubur, hanya saja rupanya mereka sempat memergoki Sa’d bin ‘Ubadah dan al-Mundzir bin ‘Amr, lalu langsung mengusir mereka. Terhadap al-Mundzir, mereka tidak dapat berbuat banyak sedangkan terhadap Sa’d, mereka menangkapnya, kedua tangannya diikat ke lehernya dengan tali kendaraannya, lalu mereka memukulnya, menyeretnya dan mencambak rambutnya hingga memasuki kota Mekkah. Tak berapa lama, datanglah al-Muth’im bin ‘Adiy dan al-Hârits bin Harb bin Umayyah yang membebaskannya dari tangan mereka. Hal ini dapat terjadi, karena Sa’d rupanya pernah memberikan perlindungan kepada kafilah kedua orang tersebut untuk lewat di Madinah. Ketika mereka kehilangan jejak Sa’d, kaum Anshor melakukan musyawarah untuk kembali mengambilnya, namun tiba-tiba dia sudah muncul di hadapan mereka sehingga semua kaum Anshor ini akhirnya meneruskan perjalanan hingga sampai ke Madinah.
Itulah Bai’at ‘Aqabah yang lebih dikenal dengan Bai’at ‘Aqabah Kubro yang berlangsung dalam suasana yang diliputi rasa cinta, loyalitas, solidaritas antar sesama kaum Mukminin yang terpencar-pencar, saling percaya, keberanian dan kepahlawanan di dalam menempuh jalan ini. Seorang Mukmin dari kalangan penduduk Yatsrib tentu amat empati terhadap saudaranya yang tertindas di Mekkah, fanatik terhadapnya, murka terhadap orang yang menzhaliminya serta bergemuruh di seluruh persendian tubuhnya perasaan kasih terhadap saudaranya ini yang dicintainya dari kejauhan di dalam Dzat Allah.
Curahan-curahan hati dan perasaan-perasaan seperti ini bukan muncul akibat adanya hubungan ras yang hanya numpang lewat dan sewaktu-waktu bisa saja redup akan tetapi ia bersumber dari keimanan kepada Allah, Rasul dan Kitab-Nya. Keimanan yang tidak akan luntur di hadapan kekuatan-kekuatan zhalim dan musuh manapun. Keimanan yang bila semilirnya telah berhembus, maka ia akan membawa sesuatu yang menakjubkan terhadap ‘aqidah dan praktiknya. Dengan keimanan seperti ini kaum Muslimin mampu menorehkan berbagai pekerjaan di atas lembaran-lembaran masa, meninggalkan bekas padanya, tiada padanannya di masa lampau dan kontemporer serta tidak akan ada pula pada masa yang akan datang.
Sumber : Sirah Nabawiyah, Kitab Ar-Rahiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury)