• Beribadalah kamu sampai datang "Haqqul Yakin" (kematian)
Kamis, 21 November 2024

Bai’at ‘Aqabah Pertama

Bagikan

Daftar Isi : (Klik Menu menuju Isinya & kembali  ke Menu)

  1. Duta Islam di Madinah
  2. Kesuksesan yang Memuaskan

Pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, kami pernah menyinggung perihal enam orang dari yatsrib yang telah masuk islam pada musim haji tahun 11 dari kenabian dan berjanji kepada rasulullah untuk menyampaikan risalah beliau kepada kaum mereka.

Dari hasil itu, ternyata pada musim haji berikutnya, yakni tahun 12 dari kenabian, tepatnya bulan Juli tahun 621 M datanglah 12 orang laki-laki, diantaranya lima orang dari enam orang yang dulu pernah menghubungi beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada musim lalu. Sedangkan seorang lagi yang tidak hadir kali ini adalah Jabir bin ‘Abdullah bin Ri`ab. Adapun 7 orang baru lainnya adalah:

1. Mu’âdz bin al-Hârits, Ibn ‘Afrâ` dari Bani an-Najjar (suku khazraj)
2. Dzakwân bin ‘Abd al-Qîs dari Bani Zuraiq (suku Khazraj)
3. ‘Ubâdah bin ash-Shâmit dari Bani Ghanam (suku Khazraj)
4. Yazîd bin Tsa’labah, sekutu Bani Ghanam (suku Khazraj)
5. al-‘Abbâs bin ‘Ubâdah bin Nadllah dari suku Bani Salim (suku Khazraj)
6. Abu al-Haytsam bin Ali Tayhân dari suku Bani ‘Abd al-Asyhal (suku Aus)
7. ‘Uwaim bin Sâ’idah dari Bani ‘Amr bin ‘Auf (suku Aus)

Jadi, dua orang terakhir berasal dari suku Aus, sedangkan sisanya berasal dari suku Khazraj.
Mereka ini bertemu dengan Rasululullah di sisi bukit ‘Aqabah di Mina, mereka lalu membai’at beliau seperti bai’at yang pernah dilakukan oleh kaum wanita kepada beliau ketika penaklukan kota Mekkah (Fat-hu Mekkah).

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Ubâdah bin ash-Shâmit bahwasanya Rasulullah bersabda: “Kemarilah berbai’at kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kamu, tidak berbuat dusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian dan tidak berbuat maksiat terhadapku dalam hal yang ma’ruf. Siapa saja diantara kamu yang menepati, maka Allah-lah yang akan mengganjar pahalanya dan siapa saja yang mengenai sesuatu dari hal itu lalu diberi sanksi karenanya di dunia, maka itu adalah penebus dosa baginya, siapa saja yang mengenai sesuatu dari itu lalu Allah tutup aibnya, maka urusannya tergantung kepada Allah; jika Dia menghendaki, Dia mengazabnya dan jika Dia menghendaki, Dia akan mema’afkannya”.
‘Ubâdah berkata: “Lalu aku membai’at beliau atas hal itu”. Dalam naskah yang lain disebutkan: “Lalu kami membai’atnya atas hal itu”.

1. Duta islam Di Manadinah

Setelah bai’at tersebut rampung dan musim hajipun berlalu, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam ingin mengutus salah seorang dari para pembai’at tersebut sebagai duta pertama di Madinah guna mengajarkan syari’at Islam kepada kaum Muslimin di sana, memberikan pemahaman tentang Dien al-Islam serta bergerak menyebarkan Islam di kalangan mereka yang masih dalam kesyirikan.
Untuk pendutaan ini, beliau memilih seorang pemuda Islam yang merupakan as-Sâbiqûn al-Awwalûn (orang-orang yang pertama-tama masuk Islam), yaitu Mush’ab bin ‘Umair al-‘Abdary radliyallâhu ‘anhu.

2. Kesuksesan yang Memuaskan

Mush’ab singgah terlebih dahulu ke kediaman As’ad bin Zurarah, lalu keduanya menyebarkan Islam kepada para penduduk Yatsrib dengan sungguh-sungguh dan penuh vitalitas. Mush’ab ini dikenal sebagai Muqri` (orang yang ahli mengaji dan bacaannya merdu-red).

Salah satu cerita kesuksesan yang amat menawan dari dirinya adalah saat suatu hari As’ad bin Zurarah mengajaknya ikut serta keluar menuju rumah Bani ‘Abdul Asyhal dan rumah Bani Zhafar. Keduanya lantas memasuki salah satu pagar milik Bani Zhafar dan duduk-duduk di atas sebuah sumur yang disebut Maraq. Ketika dalam kondisi demikian, berkerumunlah ke tempat mereka berdua beberapa orang dari kaum Muslimin. Saat itu, Sa’d bin Mu’adz dan As-yad bin Hudlair – keduanya ini adalah pemimpin kaum mereka dari Bani ‘Abdul Asyhal – masih dalam kesyirikan. Tatkala keduanya mendengar perihal kaum Muslimin tersebut, berkatalah Sa’d kepada As-yad: “Pergilah menuju kedua orang yang sudah datang untuk membodohi kaum lemah di kalangan kita, lalu berilah keduanya pelajaran serta laranglah mereka datang ke komplek kita ini. Sesungguhnya, As’ad bin Zurarah tersebut adalah anak bibiku, andaikata bukan karena ikatan itu, niscaya cukuplah aku yang membereskannya”.

Lalu As-yad mengambil tombaknya dan menuju ke arah kedua orang pendatang tersebut. Ketika As’ad melihatnya, dia berkata kepada Mush’ab: “Ini adalah pemimpin kaumnya, dia telah datang kepadamu karena itu, tunjukkanlah kebenaran dari Allah kepadanya”.
Mush’ab berkata: “Bila dia mau duduk, aku pasti berbicara kepadanya”.

As-yad datang lalu berdiri di hadapan keduanya sembari mengumpat dan berkata: “Apa yang kalian berdua bawa kepada kami? Kalian mau membodohi orang-orang lemah di kalangan kami? Menjauhlah dari kami, jika kalian berdua masih memerlukan nyawa kalian!”.
Mush’ab menjawab: “Sudikah kiranya anda duduk dulu lalu mendengar; jika anda berkenan, silahkan anda terima; jika anda tidak berkenan, tahanlah apa yang anda tidak sukai itu dari diri anda”.

Dia membalas: “Ya, aku setuju”. Lalu dia membenahi tombaknya dan duduk.
Kemudian Mush’ab berbicara kepadanya tentang Islam dan membacakan ayat-ayat al-Qur’an.
Dia lalu berkomentar: “Demi Allah! Kami sudah mengenal Islam dari wajahnya sebelum dia berbicara; kecerahannya dan gema takbirnya”. Kemudian dia meneruskan: “Alangkah indahnya ini dan cantiknya?. Lalu, apa yang kalian perbuat, bila kalian mau masuk ke dalam dien ini?”.

Keduanya berkata: “Anda mandi, membersihkan pakaian, kemudian bersyahadat dengan syahadat al-Haq, kemudian mengerjakan shalat dua raka’at”.

Dia lalu berdiri, mandi, membersihkan pakaiannya, bersyahadat dan mengerjakan shalat dua raka’at, kemudian berkata: “Sesungguhnya aku ini berada di bawah misi seorang laki-laki yang bila dia mengikuti kalian berdua, tidak ada seorangpun dari kaumnya yang berani membelakanginya (tidak mengikutinya). Aku akan membimbingnya (Sa’d bin Mu’adz) kepada kalian berdua sekarang. Kemudian dia berlalu dan membawa tombaknya menuju Sa’d yang berada di tengah kaumnya dan sedang duduk-duduk di club mereka.

Sa’d berkata (melihat kedatangan As-yad, red): “Aku bersumpah, demi Allah! Sungguh dia telah datang dengan penampilan yang amat berbeda dari sebelum berpaling dari kalian tadi”.

Tatkala As-yad berdiri di tengah club tersebut, Sa’d berkata kepadanya: “Apa gerangan yang telah kau lakukan?”.
Dia menjawab: “Aku telah berbicara kepada kedua orang tadi, demi Allah! Aku melihat tidak ada apa-apa dengan keduanya. Aku telah melarang keduanya, bahkan keduanya berkata: ‘kami akan melakukan apa yang engkau inginkan’. Aku juga sudah menceritakan bahwa Bani Haritsah telah keluar untuk membunuhnya (As’ad bin Zurarah) sehingga membuatmu malu. Hal ini mereka lakukan, karena sudah mengetahui bahwa dia adalah anak bibimu. Sa’d berdiri dengan penuh emosi atas apa yang barusan diceritakan kepadanya. Dia lalu mengambil tombaknya dan keluar untuk menyongsong keduanya (Mush’ab dan As’ad). Maka, tatkala dia melihat keduanya dalam kondisi yang tenang-tenang saja, pahamlah dia bahwa As-yad hanya bermaksud agar dirinya mendengarkan sesuatu dari keduanya. Diapun berdiri di hadapan keduanya sembari mengumpat dan berkata kepada As’ad bin Zurarah: “Demi Allah, wahai Abu Umamah! Andaikata tidak ada dinding kekerabatan antara engkau dan aku, tentu engkau tidak mengingingkan hal ini dariku; engkau akan menyelimuti kami dengan sesuatu yang kami tidak sukai di komplek kami ini?”.

As’ad pun sebelumnya telah berkata kepada Mush’ab: “Demi Allah, telah datang kepadamu ini seorang pemimpin kaumnya; jika dia mengikutimu, maka tidak akan ada seorang pun yang ketinggalan untuk mengikutimu dari mereka.
Lalu Mush’ab berkata kepada Sa’d bin Mu’adz: “Sudikah kiranya anda duduk dulu dan mendengarkan? Jika anda berkenan, anda boleh terima dan jika anda tidak berkenan, kami akan menjauhkan darimu apa yang anda tidak sukai itu”.

Dia berkata: “Ya, aku setuju”. Lalu dia membenahi tombaknya dan duduk.
Mush’ab mulai memaparkan kepadanya tentang Islam dan membacakan ayat al-Qur’an.
Dia berkomentar: “Demi Allah, kami sudah mengenal Islam di wajahnya sebelum berbicara dalam kecerahannya dan gema takbirnya”. Kemudian dia berkata: “Apa yang kalian lakukan bila kalian masuk Islam?”.

Keduanya menjawab: “Anda mandi, membersihkan pakaian, kemudian bersyahadat dengan syahadat al-Haq, kemudian mengerjakan shalat dua raka’at”. Kemudian dia melakukan hal itu.

Setelah itu, dia meraih tombaknya lalu beranjak menuju club kaumnya. Tatkala mereka melihatnya, berkatalah mereka: “Kami bersumpah atas nama Allah, sungguh dia telah pulang dengan penampilan yang berbeda dengan ketika saat pergi tadi”.
Ketika dia sudah berdiri di hadapan mereka, dia berkata: “Wahai Bani ‘Abdul Asyhal! Bagaimana pendapat kalian terhadap diriku?”.
Mereka menjawab: “Pemimpin kami, orang yang paling utama pendapatnya bagi kami dan orang yang paling mulia keturunannya”.
Dia berkata lagi: “Sesungguhnya ucapan kaum laki-laki dan kaum wanita di kalangan kalian saat ini haram bagiku hingga kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya”. Akhirnya tidak ada seorang laki maupun wanita dari mereka kecuali sudah menjadi Muslim dan Muslimah selain satu orang yang bernama al-Ashram. Dia terlambat masuk Islam hingga hari Uhud. Dia masuk Islam pada ketika itu, ikut berperang dan terbunuh padahal dia belum sempat sujud satu kalipun ke hadapan Allah Ta’ala.
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, mengomentarinya: “Dia telah melakukan sedikit tetapi diberi pahala banyak”.

Mush’ab masih menginap di rumah As’ad bin Zurarah guna mengajak manusia ke jalan Allah, hingga hasilnya, tidak satu rumahpun dari rumah-rumah orang-orang Anshar kecuali di dalamnya sudah ada laki-laki dan wanita yang masuk Islam. Dalam hal ini, hanya rumah Bani Umayyah bin Zaid, Khathmah dan Wa-`il dimana ada seorang penyair mereka yang bernama Qais bin al-Aslat yang menghalang-halangi keislaman mereka karena dia amat dita’ati. Barulah pada perang Khandaq, tahun 5 H mereka masuk Islam.

Sebelum memasuki musim haji kedua, yakni tahun ke-13, Mush’ab bin ‘Umair kembali ke Mekkah dengan membawa sekian cercahan laporan kesuksesan kepada Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Dia menceritakan kepada beliau perihal kabilah-kabilah di Yatsrib, bawaan-bawaan alami yang baik dan tersimpannya sumber kekuatan dan mental baja padanya.

Sumber : Sirah Nabawiyah, Kitab Ar-Rahiqul Makhtum (Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury)

Luas Tanah+/- 740 M2
Luas Bangunan+/- 500 M2
Status LokasiWakaf dari almarhum H.Abdul Manan
Tahun Berdiri1398H/1978M